api di bukit menoreh 50

WAJAH Swandaru menjadi merah padam. Sambil bersungut-sungut ditatapnya wajah Agung Sedayu sejenak. Ketika ia melihat Agung Sedayu masih juga tersenyum, Swandaru ber¬gumam, “Tidak. Aku tidak sedang sakit.”

Gurunya tidak segera menyahut. Kini dipandanginya wajah Agung Sedayu yang masih juga tersenyum.

“Benar, Guru. Adi Swandaru sedang sakit. Tetapi yang sakit bukan badannya.”

Gurunya menjadi tegang. Dengan nada yang tinggi ia ber¬tanya, “Ya Swandaru, kau sakit? Tetapi yang sakit bukan ba¬danmu?”

Kini sadarlah Swandaru yang gemuk itu, bahwa gurunya pun agaknya telah dengan sengaja mengganggunya. Karena itu maka jawabnya, “Ya. Yang sakit bukan badanku. Tetapi ingatanku.”

Kiai Gringsing dan Agung Sedayu pun kemudian tertawa, sedang Swandaru masih juga bersungut-sungut. Namun akhirnya Kiai Gringsing berkata, “Baiklah. Kalau demikian biarlah Angger Swandaru berada di sini. Aku agak kurang menghiraukan pera¬saannya. Tetapi kini aku mengerti, bahwa memang sebaiknya Anakmas Swandaru tidak ikut serta. Ia memang perlu beristira¬hat sepekan dua pekan.”

Swandaru tidak menjawab. Ditatapnya wajah Agung Se¬dayu yang melemparkan tatapan matanya jauh-jauh.

“Angger Agung Sedayu akan pergi sendiri bersama pa¬sukan kecil itu mengantarkan Ki Argajaya karena hal itu memang diperlukan,” berkata Kiai Gringsing kemudian.

“Baik Guru,” jawab Agung Sedayu. Namun tiba-tiba me¬reka berpaling ketika terdengar suara Sekar Mirah, “Aku akan ikut serta bersama Kakang Agung Sedayu menggantikan Kakang Swandaru di dalam pasukan itu.”

Kiai Gringsing mengerutkan keningnya. Sekilas ia ber¬paling ke arah Ki Sumangkar, seolah-olah ia berkata, “Apakah kita akan dapat mengijinkannya?”

Ki Sumangkar pun kemudian menarik nafas dalam-dalam.

“Apakah kau perlu ikut bersamanya?” Sumangkar ber¬tanya.

“Ya, Guru,” jawab Sekar Mirah, “Kakang Swandaru merasa perlu untuk tinggal.”

“Tetapi,” berkata Kiai Gringsing, “aku menjadi bingung. Di mana aku harus berada. Aku tinggal di sini atau aku harus pergi bersama Agung Sedayu dan Sekar Mirah?”

“Kenapa Kiai harus pergi bersama aku dan Kakang Agung Sedayu atau menunggui Kakang Swandaru?”

Kiai Gringsing tidak dapat segera menjawab. Tetapi ketika ia memandang wajah Ki Sumangkar, orang tua itu pun mengang¬gukkan kepalanya. Ia tahu bahwa Kiai Gringsing memerlukannya. Adalah kurang bijaksana bahwa yang tua-tua membiarkan anak-anak muda itu tanpa pengawasan, justru mereka telah menyatakan diri mereka saling mengikat.

“Kiai,” berkata Ki Sumangkar kemudian, “aku akan ikut bersama Sekar Mirah dan Angger Agung Sedayu.”

Kiai Gringsing mengangguk-anggukkan kepalanya. Dan agaknya anak-anak muda itu pun kemudian menyadari, kenapa orang-orang tua itu menjadi bingung untuk melepaskan mereka pergi berdua saja.

Dengan demikian, maka meskipun dengan alasan yang lain, Ki Sumangkar turut serta bersama dengan Agung Sedayu dan Sekar Mirah di dalam pasukan kecil yang mengantarkan Ki Argajaya. Atas pendapat Kiai Gringsing, Ki Argapati pun tidak berkeberatan, bahwa kedua orang itu pun pergi bersama Agung Sedayu untuk membantu kesulitan yang mungkin timbul.

Maka setelah pasukan kecil itu bersiap seluruhnya, mereka pun kemudian berangkat meninggalkan induk padukuhan.

Agaknya rombongan kecil itu memang benar-benar telah mena¬rik perhatian. Beberapa orang yang melihatnya segera memberi¬tahukan kepada tetangga-tetangganya, bahwa sekelompok pasukan pe¬ngawal Menoreh telah lewat mengantarkan Ki Argajaya.

“He,” desis seseorang yang melihat pasukan itu, “bu¬kankah di antara mereka itu terdapat Ki Argajaya?”

“Ya, Ki Argajaya? Apakah ia akan dibawa ke tempat hu¬kumannya yang baru?”

“Mungkin, ia akan digantung di bawah Puncang Kembar.”

“Tidak,” seseorang menggeleng, “tidak ada tanda-tanda bahwa ia akan menjalani hukuman. Mungkin ia akan dibebaskan. Bukankah Ki Argapati telah menyerukan pengampunan umum?”

Orang-orang itu pun saling berpadangan. Salah seorang yang tidak mau berteka-teki tiba-tiba berteriak, “He, akan dibawa ke mana orang itu?”

Hampir segenap isi rombongan kecil itu berpaling. Tetapi tidak seorang pun yang menjawab.

“Apakah orang itu akan digantung di bawah Pucang Kem¬bar?” teriak orang itu pula.

Tidak seorang pun juga yang menjawabnya. Namun, pertanyaan itu benar-benar telah menyentuh perasaan Ki Argajaya. Kini ia menyadari, betapa tanggapan rakyat Menoreh kepadanya. Kepada perbuatan yang telah dilakukannya.

Karena itu, maka kepalanya yang tunduk menjadi semakin tunduk. Sebuah pengakuan yang mendalam telah menusuk-nusuk jantungnya. Apalagi ketika dilihatnya sawah-sawah yang kering dan tidak terpelihara. Di sana-sini para petani sedang sibuk memperbaiki parit sehingga mereka masih belum sempat menanami sa¬wahnya yang memang tidak dapat dikerjakannya selama pepe¬rangan berkecamuk.

Hatinya berdesir tajam ketika mereka melewati sebuah regol yang sudah menjadi abu dan belum sempat diperbaiki. Pa¬ra pengawal terpaksa mendampingi Ki Argajaya ketika mereka melihat anak-anak muda yang berkumpul di ujung jalan padukuhannya itu berteriak, “Ha, inilah salah seorang yang telah membakar regol kita.”

“Bukan hanya regol kita,” teriak yang lain, “tetapi ia sudah membakar seluruh Tanah Perdikan Menoreh.”

Terasa dada Ki Argajaya menjadi semakin pepat. Tetapi ia sudah menemukan pengakuan yang pasrah. Ia memang telah melakukan semua kesalahan itu, sehingga ia harus menelan ke¬pahitan perasaan itu tanpa dapat mengelak lagi.

Karena itu maka ia pun kemudian berjalan dengan kepala yang tetap tunduk. Seakan-akan ia tidak berani lagi memandang Tanah Perdikan Menoreh yang porak poranda itu.

“Apakah kita masih akan berjalan jauh?” tiba-tiba salah seorang pengawal berdesis.

Pemimpin pengawal dan kawan-kawannya pun segera berpaling kepadanya. Sudah tentu ia tahu bahwa mereka masih akan berjalan beberapa lama lagi, melintasi beberapa buah bulak dan padukuhan.

“Kenapa?” bertanya pemimpin pengawal.

“Kenapa kita harus mengantarkannya pulang? Apakah orang itu belum pernah melihat jalan di daerah ini?”

Dada Argajaya berdesir. Ternyata bukan saja orang-orang di tepi-tepi jalan yang mengumpatnya. Bahkan di dalam pasukan pengawal ini pun terselip perasaan itu.

Pemimpin pengawal itu pun menjadi berdebar-debar pula. Dugaannya ternyata tidak jauh keliru. Kalau perasaan itu berkembang, maka keadaan akan menjadi panas. Karena itu cepat-cepat ia men¬jawab, “Itu bukan persoalan kita. Kita mengemban perintah Ki Gede Menoreh, apa pun alasannya.”

Ternyata usahanya untuk sementara berhasil. Pengawal itu tidak bertanya lebih lanjut, sedang orang-orang lain yamg mulai di¬jalari oleh perasaan yang serupa, yang agaknya sudah mulai akan terangkat oleh pertanyaan seorang kawannya itu, menjadi terbungkam. Mereka menghormati Kepala Tanah Perdikannya, sehingga mereka patuh menjalani tugas yang dibebankan kepada mereka. Mengantarkan Ki Argajaya dengan selamat sampai di rumahnya, kemudian mengawal rumah itu untuk sementara sam¬pai petugas yang akan menggantikan mereka datang.

Dalam pada itu, di balik gerumbul-gerumbul liar agak di tengah-tengah sawah yang tidak terpelihara, beberapa orang melihat iring-iringan itu dengan wajah yang tegang. Salah seorang daripadanya ada¬lah seorang anak laki-laki yang masih sangat muda.

“Kemana mereka akan pergi?” salah seorang dari me¬reka itu berdesis.

“Ini adalah suatu pameran kebaikan hati Ki Argapati. Mungkin ini adalah satu dari sekian banyak orang yang diam¬puninya dalam rangka pengampunan umum yang telah diteriak¬kan oleh Kepala Tanah Perdikan yang nyaris terbunuh itu.”

Anak yang masih sangat muda yang ada di antara mereka tidak segera dapat menyambung pembicaraan kawan-kawannya. Ia melihat, bahwa di antara rombongan itu adalah ayahnya.

“Bukankah itu Ki Argajaya?” desis seorang kawannya. Anak muda itu mengangguk.

“Agaknya ayah akan diantarkan pulang,” desisnya.

“Pulang? Atau mungkin ke suatu tujuan yang tidak di¬ketahui.”

“Jalan ini adalah jalan pulang. Mungkin ayah telah me¬ngucapkan sumpah untuk tetap setia kepada Ki Gede. Atau janji-janji yang lain.”

“Mungkin. Mungkin juga Ki Argajaya akan menjadi alat yang baik untuk menangkap kita.”

Anak muda itu mengerutkan keningnya. Dan kawannya berkata seterusnya, “Aku tidak mengira bahwa Ki Argajaya akan bersedia melakukannya.”

“Apakah kau yakin bahwa ayah akan berbuat demikian?”

“Lalu apalagi?”

“Apakah ayah tidak sedang dibawa ke suatu tempat un¬tuk menjalani hukuman?”

“Aku sependapat dengan kau. Jalan ini adalah jalan pu¬lang bagi Ki Argajaya.”

Anak muda itu terdiam.

“Kita mengangkat senjata justru karena kita membela pendirian Ki Argajaya, Sidanti, dan Ki Tambak Wedi. Aku menaruh hormat yang tinggi kepada Sidanti yang memilih mati dari segala keadaan yang lain. Ia tidak menyerah meskipun ia berhadapan langsung dengan Ki Argapati, yang meskipun orang itu adalah ayahnya sendiri. Itu adalah suatu sikap yang jantan.”

Anak muda itu menjadi tegang.

“Tetapi Ki Argajaya memilih jalan lain.”

“Persetan orang itu,” geram anak muda itu, “aku akan memilih jalan seperti Kakang Sidanti, meskipun ia adalah ayahku sendiri. Tetapi ayah sudah ingkar pada perjuangan kita. Kita sudah terlanjur menyingsingkan lengan baju kita. Kini ayah menyerahkan diri seperti seorang pengecut.”

“Kita akan berhenti bertempur kalau kita sudah mati. Se¬andainya kita menyerah sekalipun, apakah jaminannya bahwa kita akan benar-benar diampuni seperti Ki Argajaya? Seandainya Ki Argajaya tidak akan dipergunakan sebagai alat untuk menjerat kita, aku kira Argapati tidak akan bersikap begitu lunak kepadanya.”

“Kita akan memilih waktu. Aku mengenal halaman rumahku dengan baik. Pasti jauh lebih baik dari pengawal-pengawal yang bo¬doh itu, sehingga meskipun halaman rumah itu dijaga, aku pasti akan dapat memasukinya.”

“Kita tidak akan ingkar pada perjuangan yang sudah kita letakkan. Kalau kita tidak berputus asa, maka lambat laun kita akan mendapat pengikut pula. Kita harus menumbuhkan ketidakpuasan rakyat kepada keadaan yang berkembang kemudian.”

“Aku akan pulang pada suatu saat,” desis anak muda itu, “aku akan menemui ayah di rumah. Kalau ayah berkeras hati, apa boleh buat. Kakang Sidanti juga mati di tangan ayahnya. Bagaimana kalau terjadi sebaliknya?”

“Sidanti mati dibunuh adiknya selagi ia beradu di hadapan ayahnya.”

“Itu tentu sudah diatur sebelumnya.”

Mereka pun kemudian terdiam sejenak. Mereka memandang iring-iringan. itu semakin lama menjadi semakin jauh.

“Persetan dengan mereka,” anak muda itu menggeram pula, “akan datang saatnya kita menuntut.”

“Ya, kita yang sudah dikorbankannya, kemudian diting¬galkannya dalam keadaan yang sulit ini.”

Sekelompok orang-orang itu pun masih memandangi iring-iringan itu untuk sejenak. Namun kemudian mereka segera bergeser dan menghilang di antara tetanaman liar yang tumbuh di sana sini. Mereka sudah berketetapan untuk membalas sakit hati mereka yang mereka tanggungkan selama ini. Kekalahan yang bertubi-tubi dan apalagi kini mereka, merasa tidak berharga sama sekali. Satu-satunya jalan bagi mereka untuk dapat sekedar mengobati sa¬kit hati itu adalah melakukan kekerasan. Siapa pun korbannya. Dan kini mereka telah menemukan sasaran yang menggairahkan. Ki Argajaya yang telah mereka anggap berkhianat.

Ki Argajaya sendiri merasa bahwa ia memang berada di dalam keadaan yang sulit. Ternyata Ki Argapati bukan hanya sekedar ingin mengawasinya, tetapi kecemasan Kepala Tanah Perdikan itu kini benar-benar dapat dirasakannya.

Tetapi ternyata bahwa di dalam lingkungan para pengawal sendiri ada orang-orang seperti yang dicemaskannya itu, meskipua agaknya pemimpin pengawal telah menunjukkan sikapnya yang baik.

Demikianlah iring-iringan itu semakin lama menjadi semakin mendekati rumah Ki Argajaya. Tetapi semakin banyak pula me¬reka melihat wajah-wajah yang tidak puas dan bahkan memancarkan dendam di hati mereka.

Dengan hati yang berdebar-debar Ki Argajaya kemudian memasuki regol padukuhannya. Iring-iringan itu berhenti sejenak di depan regol karena para pengawal padukuhan itu ingin mende¬ngar keputusan Ki Argapati tentang adiknya itu.

“Ki Argajaya sudah diampuni kesalahannya, seperti juga orang-orang lain yang mendengar seruan Ki Argapati,” pemimpin rombongan pengawal yang mengantarkan Ki Argajaya itu men¬jelaskan.

Pemimpin pengawal padukuhan itu memandang Ki Arga¬jaya dari ujung kakinya sampai ke ikat kepalanya, seakan-akan be¬lum pernah melihat sebelumnya. Dengan nada yang kecut ia bertanya, “Benarkah begitu Ki Argajaya?”

Ki Argajaya merasakan nada yang pahit itu menyentuh perasaannya. Tetapi ia tidak dapat berbuat apa pun juga. Sambil nengangguk ia menjawab, “Ya demikianlah agaknya.”

“Apakah Ki Argajaya tidak memegang tekad perlawanan seperti Sidanti yang mati oleh adiknya sendiri?”

“Aku mengalami perkembangan tanggapan terhadap ke¬adaanku dan keadaan Tanah ini. Ini adalah sikap yang membuat aku dimaafkan oleh Kakang Argapati.”

“Ternyata Sidanti agak lebih jantan dari Ki Argajaya. Ia mati menggenggam tanggung jawab.”

“Aku mengalami perkembangan perasaan, pikiran, dan tanggapan. Ini adalah pertanda bahwa aku masih hidup, seperti orang-orang lain pula. Kadang-kadang keputusan yang telah dibuat hari ini akan disesali di keesokan harinya.”

“Huh, kau memang pandai menyusun kalimat-kalimat itu. Tetapi kau bagi kami tidak lebih dari seorang pengecut.”

Ki Argajaya tidak menjawab. Ia harus menerima peng¬hinaan yang langsung menusuk jantungnya itu.

Pemimpin pengawal yang mengantarkannya pun tidak me¬nyahut. Ia menyadari keadaan yang sedang dihadapinya. Kalau ia ikut campur dalam pembicaraan itu, maka suasananya tidak akan menjadi semakin baik. Karena itu ia telah membatasi diri¬nya untuk membiarkan Ki Argajaya menjawab sendiri pertanya¬an itu selama pembicaraan itu tidak berbahaya bagi segala pihak.

“Bukankah sekarang kau akan pulang ke rumahmu?” tanya pemimpin pengawal itu.

“Ya,” jawab Ki Argajaya.

Tiba-tiba pemimpin pengawal itu menyingkir sambil menbungkukkan kepalanya dalam-dalam, “Silahkan, Tuanku.”

Sekali lagi dada Ki Argajaya berdesir. Tetapi sekali lagi ia harus menelan penghinaan itu.

Sejenak kemudian maka iring-iringan itu pun melanjutkan perjalanannya. Yang menarik perhatian bagi para pengawal bukan saja Ki Argajaya, tetapi seorang gadis yang ada di dalam iring-iringan itu.

“Siapakah gadis itu?” desis salah seorang dari mereka.

Yang lain menggelengkan kepalanya, “Aku pernah meli¬hatnya di rumah Ki Argapati. Mungkin gadis itu kawan Pandan Wangi dari daerah lain, atau mungkin masih ada hubungan keluarga dengannya.”

“Gadis itu datang dari Sangkal Putung,” berkata yang lain. “Gadis itu adalah adik gembala muda yang gemuk, yang ikut membantu kita menumpas pemberontakan Sidanti.”

“Darimana kau tahu.”

“Semua orang mengetahuinya.”

“Aku tidak tahu.”

“Kau memang selalu ketinggalan.”

Kawannya mengerutkan keningnya. Kemudian ia pun berdesis, “Kenapa ia ikut bersama iring-iringan ini?”

“Entahlah. Aku tidak tahu. Nanti aku tanyakan kepada¬nya. Mungkin ia memang mencari aku.”

“Huh, sebaiknya sekali-sekali kau melihat bayangan wajahmu di dalam air. Kau akan tahu bahwa kau sama sekali tidak berbentuk.”

Mereka terdiam ketika mereka melihat pemimpin pengawal di padukuhan itu berjalan di depan mereka sambil bersungut-sungut. Ia masih menyesali Ki Argajaya yang telah membakar Tanah Perdikan ini dan meninggalkan bekas yang sukar untuk dihapus¬kan. Sekarang, agaknya ia telah dibebaskan dari segala tuntutan.

Tetapi ternyata pemimpin pengawal itu kemudian berhenti. Ditatapnya para pengawal yang sedang berbicara itu. Dan tiba-tiba saja ia bertanya, “Kenapa gadis Sangkal Putung yang bernama Sekar Mirah itu ada pula di dalam rombongan ini?”

Pengawal-pengawal itu menggelengkan kepalanya, “Aku tidak tahu,” salah seorang dari mereka menjawab.

Pemimpin pengawal itu mengerutkan keningnya. Namun kemudian ia melanjutkan langkahnya.

“He, ada juga perhatiannya kepada gadis itu,” desis salah seorang dari mereka.

Kawannya tidak menjawab. Dipandanginya saja langkah pemimpin pengawal itu. Kemudian mereka pun saling berpandang¬an satu sama lain. Tetapi mereka tidak berbicara apa pun lagi.

Sementara itu, Ki Argajaya bersama para pengawal yang mengantarkannya menjadi semakin dekat dengan halaman rumah¬nya. Namun ternyata dada Argajaya menjadi kian berdebar-debar. Rumah itu baginya serasa menjadi asing.

Dirumah itulah ia mula-mula bersama Sidanti dan Ki Tambak Wedi merencanakan perlawanan. Pengawal-pengawal yang tinggal di sekitar rumahnya adalah inti dari pasukannya. Apalagi ketika Sidanti menunjukkan beberapa kelebihannya bersama gurunya, maka seakan-akan semakin yakinlah perjuangan mereka untuk men¬dapatkan kemenangan.

Kemudian berdatanganlah orang-orang dari luar tlatah Menoreh yang akan ikut serta di dalam pertarungan antara keluarga itu. Meskipun Ki Argajaya sadar, bahwa mereka tidak akan lebih baik dari perampok-perampok yang melihat medan yang lunak di dalam kemelutnya peperangan, namun Argajaya, Sidanti, dan Ki Tambak Wedi merasa, bahwa pada akhirnya mereka akan dapat menguasai orang-orang itu.

Ternyata bahwa pergaruh mereka semakin lama menjadi semakin besar, sehingga mereka berhasil merebut padukuhan induk dan mendesak Ki Argapati.

Tetapi akhir dari semuanya itu adalah seperti yang disaksi¬kannya kini. Kuburan yang menjadi semakin padat, sawah yang terbengkelai dan permusuhan yang tersebar di mana-mana.

Ki Argajaya seakan-akan tersedar dari lamunannya ketika ia sampai di muka regol rumahnya. Terasa dadanya berdesir tajam sekali. Rumah yang ditinggalkannya beberapa saat itu menjadi seakan-akan sudah bertahun-tahun tidak berpenghuni. Kotor, sepi, dan pintu pringgitan yang tertutup rapat. Tiang-tiang pendapa yang tegak kaku itu bagaikan tubuh-tubuh yang tegang menunggu berakhirnya masa yang pahit.

“Kita sudah sampai,” desis pemimpin pengawal itu, “kami persilahkan Ki Argajaya masuk bersama tamu-tamu itu. Kami akan mengawal di halaman depan dan halaman belakang.”

Ki Argajaya menjadi termangu-mangu. Tetapi ia sadar, bahwa yang disebutnya sebagai tamu-tamunya adalah Agung Sedayu, Sekar Mirah, dan gurunya.

“Kenapa mereka ikut kemari?” katanya di dalam hati, meskipun ia menyadari bahwa mereka harus membantu pemimpin pengawal apabila ia menghadapi kesulitan.

“Silahkan,” pemimpin pengawal itu mengulangi.

“Terima kasih,” sahut Argajaya. Kemudian kepada Agung Sedayu, Sekar Mirah, dan Sumangkar ia berkata, “Mari¬lah. Aku persilahkan kalian melihat-lihat rumah yang menjadi seperti tanah pekuburan ini.”

Tetapi Agung Sedayu menyahut, “Aku akan berada di antara para pengawal, karena aku merupakan bagian dari mereka selagi aku berada di Tanah Perdikan Menoreh.”

Ki Argajaya mengerutkan keningnya. Dan Agung Sedayu berkata selanjutnya, “Silahkanlah Ki Sumangkar dan kau Sekar Mirah. Kawanilah Ki Argajaya yang barangkali akan menjadi kesepian.”

Ki Sumangkar mengerutkan keningnya. Dipandanginya muridnya sejenak, lalu katanya kepada Agung Sedayu, “Baiklah. Aku dan Sekar Mirah akan mengawani Ki Argajaya.”

Maka ditinggalkannya Agung Sedayu bersama para penga¬wal di luar. Ki Sumangkar mengerti, bahwa Agung Sedayu memang ditugaskan untuk mengawani pemimpin pengawal yang mungkin pada suatu saat akan mengalami kesulitan dari anak buahnya sendiri.

Dikawani oleh Ki Sumangkar dan Sekar Mirah, Ki Argajaya pun kemudian naik ke pendapa. Seperti orang asing ia meman¬dang ke sekitarnya dengan berbagai pertanyaan di dalam hatinya. Tiba-tiba saja tangannya menjadi gemetar ketika ia meraba pintu pringgitan yang tertutup.

Perlahan-lahan Ki Argajaya mengetuk pintu rumahnya. Sekali, dua kali. Tetapi ia tidak mendengar jawaban.

Ketukan itu pun semakin lama menjadi semakin keras. Namun masih belum juga terdengar jawaban.

Ki Argajaya menjadi gelisah. “Apakah istriku tidak di rumah?” ia bertanya kepada diri sendiri. Tetapi ia tidak tahu, bagaimana ia harus menjawab pertanyaan itu.

Sebenarnyalah Ki Argajaya tidak mengetahui, bahwa isterinya benar-benar sudah berada di puncak ketakutannya. Setiap kali pintu diketuk, maka setiap kali hatinya serasa tersayat. Kalau ia membukakan pintu, maka yang ditemuinya adalah orang-orang yang selalu menggetarkan perasaannya.

Kadang-kadang para pengawal Tanah Perdikan, muncul dengan senjata terhunus sambil menggeram, “Aku melihat seseorang bersembunyi di rumah ini.”

Tanpa menunggu jawabnya, para pengawal itu pun langsung memasuki rumahnya dan menggeledah setiap sudut. Tetapi karena tidak diketemukan sesuatu, mereka pun pergi sambil bersungut-sungut.

Namun di saat lain, yang tiba-tiba saja menyusup masuk pada saat pintu dibuka adalah sisa-sisa orang-orang suaminya. Dengan kasar mereka minta persediaan apa saja yang ada. Katanya, “Anakmulah yang memerlukan semua itu.”

Dengan demikian maka perasaan perempuan yang menjadi semakin tua itu bagaikan ilalang yang diombang-ambingkan oleh angin prahara. Tanpa pegangan.

Kini setiap ketukan pintu terasa bagaikan pisau yang menyengat jantungnya. Karena itu, maka ia tidak lagi berani bangkit dari amben bambu di ruang dalam.

“Kalau aku tidak membuka pintu itu, mereka pasti akan mengelilingi rumah ini,” desisnya. Dan perempuan itu memang membiarkan pintu samping rumahnya tetap terbuka. Siang dan malam. Ia tidak perlu lagi membuka pintu, seandainya laki-laki yang kasar dari pihak mana pun juga ingin memasuki rumahnya.

Namun Ki Argajaya tidak mengetahui, bahwa pintu samping itu terbuka. Karena itu ia pun mengetuk semakin lama semakin keras

Nyi Argajaya yang mendengar ketukan itu pun menjadi gelisah pula. Orang-orang yang biasa datang ke rumahnya sudah menge¬tahui, bahwa pintu sebelah selalu terbuka.

Tetapi Nyai Argajaya masih tetap duduk di tempatnya. Dicobanya untuk menduga-duga siapakah kira-kira yang telah mengetuk pintunya itu semakin lama justru menjadi semakin keras.

“Mungkin para pengawal padukuhan ini baru saja diganti dengan orang-orang baru,” katanya di dalam hati, “mereka masih belum tahu bahwa pintu disebelah selalu terbuka.”

Nyai Argajaya menjadi ragu-ragu sejenak. Namun akhirnya ia memutuskan, “Biar sajalah. Kalau mereka mau memecah pintu, biarlah pintu itu dipecah. Kalau salah seorang dari mereka sempat menengok ke samping, mereka pasti akan melihat pintu terbuka.”

Ki Argajaya yang sedang mengetok pintu itu pun menjadi gelisah pula. Bahkan ia berkata di dalam hatinya, “Apakah rumah ini benar-benar sudah kosong?”

Tetapi ia tidak berani membenarkan angan-angannya itu. “Tidak,” ia membantah sendiri di dalam hatinya pula, “istriku pasti masih berada di rumah ini.”

Karena itu, maka sekali lagi ia mengetuk semakin keras. Kali ini ia memanggil isterinya dengan suara yang gemetar, “Nyai, Nyai. Apakah kau tidak ada di rumah?”

Ternyata suara itu didengar oleh Nyai Argajaya. Semula ia tidak dapat mengenal lagi suara itu. Namun lambat laun, warna suara yang semula kabur itu, menjadi semakin lama semakin jelas di depan mata hatinya.

“Nyai, Nyai.”

Tiba-tiba Nyai Argajaya menjadi berdebar-debar. Ia tidak percaya lagi pada pendengarnya yang sudah terlampau sering keliru. Namun demikian, suara ini terlampau menarik baginya, sehingga dipasangnya pendengarannya baik-baik.

“Nyai, Nyai.”

Terasa darah perempuan tua yang sudah hampir membeku itu menjadi hangat kembali. Kini ia mulai berpengharapan, bahwa ia tidak salah lagi dengan pendengarannya kali ini.

Perlahan-lahan ia berdiri dan berjalan selangkah-selangkah mendekati pintu. Dengan suara parau tiba-tiba saja ia bertanya, “Siapa di luar?”

Jawaban itu telah menyentuh perasaan Ki Argajaya, se¬hingga dengan serta-merta ia menjawab, “Aku, Nyai. Argajaya.”

Dada perempuan tua itu berdesir. Tetapi ia tidak segera yakin akan pendengarannya. Sekian lama ia mengalami kekece¬waan. Dan kali ini ia menjadi ragu-ragu. Apakah ia benar-benar mendengar suara itu.

“Aku, Nyai. Bukakan pintu.”

Kini Nyai Argajaya menjadi semakin yakin, bahwa yang didengarnya itu adalah suara suaminya. Karena itu, maka de¬ngan tergesa-gesa ia pergi ke pintu pringgitan. Dengan tergesa-gesa pula dilontarkannya selarak, sehingga suaranya berderak-derak di lantai.

Dengan serta-merta, perempuan itu membuka daun pintu. Namun hampir saja ia menjadi pingsan ketika yang berdiri di hadapannya adalah seorang laki-laki yang tidak dikenal. Sumangkar.

“O,” terdengar ia mengeluh, “apa lagi yang akan da¬tang di rumah ini.”

Namun sebelum ia kehilangan tenaganya, terasa daun pintu itu terdorong ke samping. Ketika pintu itu terbuka lebar, barulah ia melihat orang-orang lain yang berdiri di luar. Seorang gadis muda dan seorang laki-laki yang pucat.

“Kakang. Kakang Argajaya. Benarkah?”

“Ya, Nyai. Aku Argajaya.”

“O,” tiba-tiba perempuan itu memekik sambil berlari ke arah suaminya.

“Akhirnya kau pulang juga.”

Ki Argajaya memeluk isterinya yang menangis. Ia tidak menghiraukan lagi, siapa saja yang ada di tempat itu. Tetapi ia ingin menumpahkan segala macam kepahitan, kepedihan, dan berbagai perasaan yang bercampur baur di dalam dadanya. Lewat air matanya yang seperti terperas dari pusat jantungnya, Nyai Argajaya menangis sejadi-jadinya.

Ki Argajaya dapat mengerti, betapa berat penderitaan yang dialami oleh isterinya saat ia tidak ada di rumah. Pasti tidak kurang pedihnya dari yang dialaminya sendiri.

“Sudahlah, Nyai,” Ki Argajaya berusaha menenteram¬kan hati istertnya itu, “kita mempunyai dua orang tamu.”

Tetapi Nyai Argajaya seolah-olah tidak mendengar kata-kata itu. Ia masih belum puas menumpahkan segala macam perasaan yang selama ini menyumbat dadanya.

Ki Sumangkar hanya dapat menundukkan kepalanya, sedang Sekar Mirah melemparkan tatapan matanya jauh-jauh. Betapa keras hatinya, tetapi ia pun seorang gadis, sehingga terasa matanya menjadi panas mendengar tangis Ki Argajaya yang memelas.

Seperti kepada Sidanti, kebencian Sekar Mirah kepada Argajaya pun pernah sampai ke puncak ubun-ubunnya. Namun melihat keadaannya, ia tidak dapat mempertahankan perasaannya itu. Seperti pada saat ia melihat mayat Sidanti terbujur di lantai bermandi darah, maka kini ia menjadi iba hati melihat pertemuan dua orang tua yang telah mengalami kepahitan hidup masing-masing.

“Sudahlah, Nyai,” Argajaya masih berusaha menenteram¬kan hati isterinya meskipun tenggorokannya sendiri serasa ter¬sumbat.

“Anakmu, Kakang,” desis perempuan itu.

“Bagaimana dengan anak itu,” bertanya suaminya.

“Ia masih belum kembali.”

“Sama sekali?”

“Ya, sama sekali. Tetapi aku memang pernah melihatnya, hanya seperti bayangan hantu yang tampak sekejap lalu meng¬hilang lagi.”

Ki Argajaya menarik nafas dalam-dalam. Lalu ia pun bertanya, “Dengan siapa kau tinggal di rumah ini?”

“Dengan perempuan tua itu, pemomong anakmu.”

Ki Argajaya mengangguk-anggukkan kepalanya, “Ia masih di sini?”

“Ia mengawani aku dalam keadaan apa pun.”

“Di mana ia sekarang?”

“Ia berada di rumah belakang. Jarang-jarang sekali ia masuk ke dalam kalau aku tidak memanggilnya.”

Ki Argajaya mengangguk-anggukkan kepalanya. Kini dihadapi¬nya keluarganya yang porak-poranda seperti Tanah Perdikan Menoreh ini pula. Dengan demikian ia menjadi semakin menya¬dari, bahwa akibat dari sikap yang keras yang telah menyalakan api peperangan di Tanah ini benar-benar tidak bermanfaat bagi siapa pun.

Mereka pun kemudian bersama-sama duduk di atas sebuah amben yang besar di ruang dalam. Seperti halamannya, maka rumah itu pun seakan-akan sama sekali tidak berpenghuni. Kotor dan tidak terawat.

“Maaf,” desis Nyai Argajaya, “kami tidak dapat me¬nerima kalian dengan cara yang lebih baik.”

Ki Sumangkar mengangguk-anggukkan kepalanya sambil menjawab, “Tidak apa, Nyai. Di dalam masa-masa seperti ini, kita tidak akan dapat menuntut terlampau banyak. Kita harus memahami keadaan.”

“Tetapi rumah ini benar-benar menjadi rumah hantu.”

Ki Sumangkar tersenyum. “Aku sudah terbiasa berada di tengah-tengah peperangan.”

Ki Argajaya mengerutkan keningnya. Dan tiba-tiba sorot matanya seakan-akan bertanya tentang laki-laki tua yang mengawani Se¬kar Mirah itu.

“Maksudku,” dengan serta-merta Sumangkar menyam¬bung, “aku sudah sering mengalami masa-masa yang pahit. Aku melihat bergesernya kekuasaan dari Denak ke Pajang. Kemu¬dian pergolakan yang seakan-akan tidak ada henti-hentinya antara Pa¬jang dan Jipang. Dengan demikian, aku dapat banyak melihat akibat dari peperangan.”

Argajaya mengangguk-anggukkan kepalanya. “Perang itu pasti lebih dahsyat dari yang kita alami di ini.”

Ki Sumangkar menarik nafas dalam-dalam. Terkenang olehnya sekilas, betapa ia tinggal di hutan-hutan dan di pategalan-pategalan yang terbengkelai, pada saat ia mengikuti pasukan Tohpati yang su¬dah kehilangan arah perjuangannya.

Katanya di dalam hati, “Perang itu di mana-mana sama. Yang menimbulkan kematian, kekerasan, dan penyimpangan dari sifat-sifat kemanusiaan yang wajar.”

Sejenak Sumangkar menundukkan kepalanya. Argajaya hanyut ke dalam suatu kenangan yang mendebarkan. Ia mengang¬kat wajahnya ketika ia mendengar Nyai Argajaya berdiri sambil berkata, “Maaf, aku akan ke dapur sejenak.”

“Jangan menjadi sibuk karena kedatangan kami,” jawab Sumangkar.

Nyai Argajaya menarik nafas, “Hanya airlah yang akan dapat aku sediakan untuk menjamu tamu-tamu kami sekarang.”

“Itu sudah cukup. Dan anggaplah bahwa kami sama se¬kali bukan tamu. Kami akan tinggal di sini beberapa hari.”

“He,” Nyai Argajaya terperanjat. Kemudian ditatapnya wajah suaminya, seolah-olah ia minta pertimbangan.

“Ya,” berkata Ki Argajaya, “mereka datang bersama sepasukan kecil pengawal, mengawani aku di perjalanan. Mereka akan tinggal di sini untuk beberapa lama, untuk melindungi aku dan keluargaku dari dendam yang mungkin tumbuh di pihak-pihak yang terlibat dalam pertengkaran di atas Tanah Perdikan ini.”

“Tetapi,” Nyai Argajaya tidak melanjutkan kata-katanya.

Ki Argajaya ternyata menangkap kegelisahan di dalam hati isterinya. Katanya, “Kita tidak usah malu mengatakan, bahwa kita tidak akan dapat menjamu mereka selama mereka ada di rumah ini. Bukankah begitu.”

Perempuan itu ragu-ragu sejenak. Namun kemudian ia pun menganggukkan kepalanya.

“Bukan tanggungan kita, Nyai,” berkata Ki Argajaya kemudian. “Mereka akan mendapat rangsum mereka dari dapur-dapur yang khusus dibuat untuk anggauta-anggauta pengawal yang bertugas di seluruh Tanah Perdikan ini.”

Perempuan itu mengangguk-angguk pula. Tetapi kini ditatapnya wajah kedua orang tamunya itu. Dan agaknya Ki Argajaya pun menangkap maksudnya. Katanya, “Kedua tamu kita ini pun akan mendapat bagian dari mereka.”

Nyai Argajaya menarik nafas dalam-dalam. Kemudian katanya, “Sokurlah. Aku tidak akan dapat berbuat apa-apa. Keadaanku sudah terlampau parah. Aku hanya mempunyai persediaan yang sangat terbatas. Itu pun aku dapatkan dengan susah payah. Perempuan tua pemomong anakmu itulah yang mencari untuk kami di sini, dengan menukarkan macam-macam barang yang ada dengan beras dan jagung.”

Ki Argajaya mengerutkan keningnya. Ia menjadi semakin menyadari kepahitan hidup isterinya selama ini.

“Kami berdua jangan menjadi beban yang membuat Nyai terlampau sibuk,” ulang Sumangkar kemudian. “Kami sudah mendapat bagian kami di antara pasukan pengawal. Tetapi ha¬nya karena kami termasuk orang-orang yang agak lain dari anggauta pengawal yang lain, maka kami telah dipersilahkan masuk ke¬ dalam rumah ini oleh Ki Argajaya.”

Nyai Argajaya menjadi heran, dan bahkan Ki Argajaya pun bertanya-tanya di dalam hatinya, “Apakah kelainan itu?”

Dan Ki Sumangkar pun meneruskan, “Perbedaan itu ada¬lah, karena aku adalah seorang tua yang barangkali tidak lagi dapat berbuat terlampau banyak seperti anak-anak muda, sedang anakku ini adalah seorang gadis.”

Ki Argajaya mengangguk-anggukkan kepalanya. Sambil mengu¬sap keningnya ia berkata, “Aku sudah menjadi bingung, karena aku tidak dapat melihat kelainan itu. Justru sekarang aku baru menyadari akan hal itu. Aku hanya menganggap bahwa kalian adalah tamu-tamu kami. Tamu-tamu Tanah Perdikan Menoreh.”

Ki Sumangkar tersenyum. Katanya, “Karena itu, silahkan Nyai duduk saja di sini. Kita dapat berbicara tentang banyak hal yang kita alami masing-masing selama ini.

“Terima, kasih, tetapi aku akan merebus air,” Nyai Argajaya pun kemudian meninggalkan ruangan itu. Yang tinggal adalah Sumangkar, Sekar Mirah, dari Argajaya. Namun sejenak mereka hanya saling berdiam diri, meskipun di dalam dada masing-masing menggelepar berbagai masalah yang sedang mereka hadapi di saat-saat yang akan segera datang.

Dalam pada itu, para pengawal segera mencari tempatnya masing-masing tanpa menunggu Ki Argajaya. Mereka seakan-akan me¬ngerti, bahwa Ki Argajaya tidak akan sempat menunjukkan tempat bagi mereka. Karena itu sebagian dari mereka pun segera naik ke pendapa, dan yang lain duduk-duduk di serambi gandok.

“Apakah di sini tidak ada selembar tikar pun?” desis sa¬lah seorang pengawal.

Yang lain, yang duduk di tangga mengerutkan keningnya. Katanya, “Huh, di sini kita akan mengalami kejemuan selama beberapa hari.”

“Beberapa hari?”

“Ya. Apa kau sangka nanti sore kau dapat pulang ke rumah isterimu?”

Kawannya hanya dapat menarik nafas dalam-dalam.

“Kalau tidak ada tikar di sini, kita akan tidur di lantai.”

“Tidak. Aku akan mencari belarak, dan aku akan mem¬buat ketepe. Apa bedanya dengan tikar?”

Kawannya tidak menyahut. Sambil menguap ia bersandar pada sebuah tiang. Tetapi sejenak kemudian digeleng-gelengkannya kepalanya. Desisnya, “Aku sudah mulai mengantuk.”

“Persetan dengan Ki Argajaya. Biar saja kalau orang ini dirampok rakyat seperti macan di alun-alun. Apakah keberatannya? Mungkin karena ia adik Ki Argapati. Tetapi ia sudah melawan kakaknya itu. Apa lagi yang harus disayangkan?”

Tidak seorang pun yang menjawab. Namun wajah-wajah mereka telah membayangkan kelesuan. Sejak perang berkecamuk, para pengawal itu seakan-akan belum pernah beristirahat sepenuhnya. Setiap kali mereka masih harus bergilir menjaga daerah-daerah yang terpencil. Dan kini mereka harus mengawal orang yang telah membakar Tanah Perdikan ini menjadi abu.

Namun perintah yang mereka terima harus mereka kerjakan. Betapa pun beratnya, mereka harus melakukannya di halaman yang kotor dan menjemukan itu pula. Dengan hati yang berat mereka harus mendengarkan nama mereka disebut oleh pimpinan me¬reka untuk berjaga-jaga pada waktu-waktu tertentu, berganti-gantian di depan regol halaman dan di bagian belakang rumah itu.

“Kita mencari tikar di gerbang padukuhan ini. Barangkali para pengawal di sana mempunyai kelebihan,” berkata salah seorang dari antara pengawal itu. “Aku mengantuk sekali. Nanti malam aku bertugas. Sekarang aku akan tidur.”

“Carilah. Kalau ada, aku ikut tidur.”

Tetapi yang lain berkata, “Aku akan bertanya kepada Ki Argajaya, apakah di rumah ini tidak ada tikar sama sekali, meskipun tikar lama.”

Demikianlah, maka para pengawal itu pun mulai menempat¬kan dirinya. Tanpa dipersilahkan oleh Ki Argajaya yang masih belum mapan benar meskipun di rumah sendiri, para pengawal itu mencari tempatnya masing-masing. Mereka mencari sendiri tikar di rumah itu. Ternyata mereka masih, menemukan beberapa helai dan bahkan ada di antaranya yang masih baru. Di antara para pengawal itu adalah Agung Sedayu yang selalu dibawa ber¬bincang oleh pimpinan pengawal itu, sementara Sumangkar dan Sekar Mirah yang menjadi tamu Ki Argajaya itu mendapat tempat di ruang dalam.

“Bilik kami terlampau kotor,” berkata Nyai Argajaya, “sehingga malam ini masih belum dapat dipergunakan.”

“Sudahlah,” sahut Sumangkar, “biarlah aku tidur di amben ini bersama-sama dengan Ki Argajaya, sedang Sekar Mirah dapat saja tidur di sembarang tempat di dalam rumah ini.”

“Biarlah ia tidur di dalam bilik yang sering aku perguna¬kan sehari-hari. Aku akan tidur di bilik sebelah,” berkata Nyai Argajaya.

“Dimana pun aku dapat tidur,” berkata Sekar Mirah. Demikianlah sambil minum dan makan ubi rebus mereka mencoba untuk berbicara wajar, meskipun kadang-kadang terasa juga pembicaraan mereka membeku.

Sekar Mirah yang sama sekali tidak mengetahui keadaan rumah itu, tanpa prasangka apa pun kemudian memasuki bilik yang diperuntukkan baginya. Bilik Nyai Argajaya.

Ketika malam pun kemudian turun, menyelubungi pedukuhan itu maka masing-masing segera mengambil tempatnya untuk beristi¬rahat. Ki Sumangkar dan Ki Argajaya mempergunakan amben besar di ruang tengah, sedang Nyai Argajaya tidur di bilik di sebelah bilik Sekar Mirah, meskipun masih belum bersih benar.

Dalam pada itu, serombongan orang-orang yang benar-benar sudah tidak dapat berpikir jernih, masih berusaha mendekati rumah Ki Argajaya. Mereka itu justru dipimpin oleh seorang anak muda, putera Ki Argajaya sendiri.

“Aku harus dapat bertemu dengan ayah dan ibu malam ini,” berkata anak muda itu.

“Berbahaya sekali,” desis kawannya, “kenapa kita ti¬dak menunggu kesempatan lain yang lebih baik.”

“Terlampau lama. Aku kira pengawal-pengawal itu akan tetap berada di rumah itu untuk beberapa hari.”

“Tetapi tidak di hari pertama,” kawannya masih men¬coba meyakinkan. “Mereka masih segar, dan mereka masih ber¬ada di puncak kewaspadaan.”

“Sudah aku katakan, aku mengenal halaman rumah itu lebih baik dari siapa pun. Tidak seorang pun yang mengetahui lubang di atap rumah itu. Aku dapat masuk lewat lubang itu langsung ke bilik dalam.”

“Tetapi seluruh halaman diawasi oleh para pengawal.”

“Mereka tidak akan dapat melihat segala sudut. Mereka tidak akan melihat jalur yang telah dibuat di balik-balik gerumbul di halaman samping di antara pagar batu dan lumbung yang ko¬song itu.”

Kawannya mengerutkan keningnya. Tetapi ia menjadi cemas, bahwa kali ini mereka tidak akan dapat lolos lagi.

“Di siang hari pun beberapa orang di antara kita berhasil melepaskan diri dari pengawal-pengawal yang bodoh itu. Apalagi malam yang gelap seperti ini.”

Kawan-kawannya saling berpandangan sejenak. Namun sorot mata mereka masih juga dapat memancarkan kecemasan. Meskipun mereka selama ini seakan-akan sudah tidak berperhitungan lagi, namun untuk memasuki halaman itu pada malam pertama dari kehadiran Ki Argajaya, merupakan suatu tindakan yang seharus¬nya tidak dilakukan.

“Apakah kalian takut?” tiba-tiba anak muda itu bertanya.

“Bukan, bukan karena takut,” jawab salah seorang ka¬wannya, “tetapi kita masih dapat berbuat banyak. Kenapa kita harus membunuh diri?”

“Huh, kalian memang sudah menjadi pengecut. Kalau kalian memang tidak berani masuk, biar aku sajalah yang me¬masuki halaman rumah itu.”

“Sudah aku katakan, kami tidak takut. Tetapi itu suatu tindakan yang kurang bijaksana.”

“Aku tidak peduli. Tetapi aku yakin bahwa tidak se¬orang pun yang akan melihat aku memasuki halaman rumah itu dan bahkan sampai aku masuk ke bilik dalam, bilik ibu.”

Kawan-kawannya tidak segera menjawab. Tetapi kekhawatiran yang sangat, tidak dapat mereka sembunyikan.

Tiba-tiba salah seorang dari mereka berkata, “Baiklah, kalau kau memang berkeras untuk bertemu dengan ayah dan ibumu. Tetapi bagaimana kalau ada di antara para pengawal itu yang tidur di dalam rumahmu, sehingga ia dapat membahayakan ke¬datanganmu.”

“Kalau hanya dua atau tiga orang pengawal, biarlah, aku akan menyelesaikan.”

“Tetapi hal itu akan memanggil pengawal-pengawal yang lain di luar rumah.”

“O, sejak kapan kalian mulai ragu-ragu untuk melakukan se¬suatu tindakan? Kalau kita semua berpikir serupa itu, kita tidak akan sempat melakukan apa-apa. Sebaiknya kita menyerah saja me¬menuhi panggilan Ki Argapati. Kita akan diampuni dan kita tidak akan dituntut apa pun juga. Tetapi dengan demikian kita sudah berkhianat terhadap perjuangan kita, terhadap Kakang Sidanti yang gagah berani dan gurunya Ki Tambak Wedi. Di dalam bilik yang dijaga ketat Kakang Sidanti masih melakukan perlawanan.”

“Benar,” sahut seorang yang sudah agak tua, “tetapi manakah yang penting. Berhasil memasuki rumah itu dan me¬nemui ayah dan ibumu, entah akibat apa yang timbul dari per¬temuan itu, atau hanya sekedar menunjukkan keberanian?”

Anak muda itu tidak menjawab.

“Kalau kau hanya ingin sekedar menunjukkan keberanian, marilah kita serang rumah itu dari depan. Tetapi kalau kau ingin bertemu dengan ayah ibu, biarlah kita berpikir sejenak, cara yang sebaik-baiknya kita tempuh.”

Anak muda itu tidak segera menyahut. Dipandanginya wa¬jah kawannya yang sudah agak tua itu.

“Bagaimana?”

“Aku ingin bertemu dengan ayah dan ibu, meskipun ka¬lau pembicaraan kita tidak berhasil, aku akan mengambil sikap tegas.”

“Nah, kalau begitu, kita harus membuat pertimbangan-pertimbangan. Kalau kita memang seorang pemberani, biarlah kita mati, tetapi kalau persoalan yang ingin, kita lakukan itu sesudah selesai. Dalam hal ini, setelah kau berhasil bertemu dengan ayah dan ibumu.”

“Ibu tidak bersalah,” berkata anak muda itu, “tetapi ayah sudah berkhianat.”

“Terserahlah menurut penilaianmu. Kami tidak berani me¬ngambil sikap, karena kami tidak tahu pasti bagaimana tanggapanmu atas kelakuan ayahmu itu.”

“Sikapku tegas. Ayah sudah mengkhianati perjuangan kami.”

“Lalu maksudmu?”

“Ayah harus memilih. Berada di pihak kami dengan me¬ninggalkan rumah itu, menembus penjagaan atas dirinya, atau ………” suaranya terputus.

“Atau,” desak kawannya.

“Mati sajalah seperti Kakang Sidanti.”

“Tidak mungkin. Ayahmu tidak akan mungkin mati jan¬tan seperti Sidanti. Kalau ia kau bunuh misalnya, maka ia akan menjadi semakin hina.”

“Memang ia pantas dihinakan.”

Kawannya itu tidak menyahut lagi. Sejenak mereka saling berpandangan. Tetapi mereka masih tetap saling berdiam diri.

“Marilah,” berkata anak muda itu.

“Tunggu lewat tengah malam, kalau kau memang tidak dapat dicegah lagi.”

Anak muda itu hampir tidak dapat menyabarkan dirinya lagi. Tetapi kali ini ia menurut. Ia akan memasuki rumahnya lewat tengah malam, langsung memanjat dan masuk ke dalam le¬wat lubang yang memang sudah disediakan di atas atap, langsung memasuki bilik tidur ibunya. Tetapi anak muda itu sama sekali tidak mengetahui, bahwa yang ada di dalam bilik itu kini sama sekali bukan ibunya lagi, tetapi seorang gadis dari Sangkal Putung yang bernama Sekar Mirah.

Demikianlah maka mereka menunggu dengan gelisah, sam¬pai bintang Gubug Penceng condong ke Barat. Putera Ki Argajaya itu hampir sudah tidak dapat bersabar lagi. Setiap kali dibelai¬nya hulu pedangnya sambil menggeram.

Namun ia masih harus duduk termenung beberapa saat lagi lamanya.

Angin malam yang dingin bertiup semakin lama semakin basah. Di kejauhan terdengar suara burung kedasih mengusik se¬pinya malam. Sedang bintang yang gemerlapan tergantung me¬nebar di seluruh dataran langit yang luas.

Anak muda yang sedang menunggu itu rasa-rasanya sudah ti¬dak dapat bersabar lagi. Bintang Gubug Penceng di atas ujung Selatan rasa-rasanya tergeser terlampau lamban.

“Apakah ini belum tengah malam,” anak muda itu ber¬tanya.

“Kira-kira saat ini baru tengah malam,” jawab yang lain.

“Aku akan pergi. Sendiri.”

Kawan-kawannya saling berpandangan sejenak. Agaknya anak itu sudah dihinggapi oleh kemarahan yang tidak dapat dikendali¬kannya lagi, sehingga ia terlampau bernafsu untuk melakukan rencananya itu tanpa menghiraukan apa pun juga.

“Kalian menunggu aku di sini.”

“Jangan tergesa-gesa,” berkata kawannya yang sudah agak tua, “kau tidak boleh pergi sendiri. Itu sangat berbahaya bagimu.”

“Tetapi kemungkinan untuk diketahui oleh para penjaga itu menjadi semakin berkurang. Aku dapat mencari jalan se¬babnya untuk dapat sampai ke dalam bilik ibu. Kalau ada orang lain yang ikut bersamamu, maka ia hanya akan mengganggu saja.”

“Jangan kehilangan akal. Kalau kau mempunyai kawan meskipun hanya seorang, maka kau akan dapat berbincang tentang sesuatu hal yang harus segera kau putuskan. Apalagi, kalau kau harus melawan beberapa orang sekaligus di dalam rumah itu. Kau mempunyai kawan pula agar perkelahian itu cepat selesai sebelum para pengawal yang lain mengetahuinya.”

Anak muda itu merenung sejenak. Tetapi ia tidak segera mengambil keputusan. Bahkan ia bertanya, “Kalau aku mem¬bawa seorang kawan, siapakah yang akan pergi bersamaku?”

“Kaulah yang harus memilih. Siapakah yang paling kau percaya di antara kami.”

Anak muda itu mengerutkan keningnya. Dan tiba-tiba saja ia berkata lemah, “Orang itu sudah mati.”

“Jangan kau hiraukan lagi si kurus yang sudah dibunuh oleh orang asing itu. Sekarang, pilihlah di antara kami yang ma¬sih ada. Kami tidak kalah tangguh dari si kurus itu.”

Anak itu mengangguk-anggukkan kepalanya. Kemudian dipandanginya seorang anak yang masih muda pula, meskipun agak lebih tua dari dirinya sendiri. Seorang anak muda yang berbadan ke¬kar dan berdada bidang, meskipun tidak terlampau tinggi.

“Kau sajalah,” berkata putera Ki Argajaya.

“Tepat,” jawab kawannya yang sudah agak tua, “orang ini adalah orang yang paling baik di antara kami.”

“Badak itu memang akan berguna bagimu,” desis ka¬wannya yang lain.

Anak muda yang bertubuh kekar itu tersenyum. Ia merasa mendapat kehormatan dari kawan-kawannya yang lain. Dan ia kemu¬dian menjawab, “Aku senang sekali ikut bersamamu. Aku ingin melihat, apakah para pengawal yang ada di rumahmu itu sudah ada yang aku kenal.”

“Jangan mencari perkara. Kalian pergi untuk menemui Ki Argajaya. Itulah masalahnya. Bukan melihat pengawal yang lagi berjaga-jaga. Bukan menantang mereka berkelahi. Terserahlah ka¬lau persoalan yang sebenarnya telah selesai. Tetapi yang pen¬ting, kalian dapat bertemu dengan Ki Argajaya. Kalau Ki Ar¬gajaya bersedia meninggalkan rumahnya dan bergabung bersama kita, maka lambat laun kita pasti akan berhasil menyusun ke¬kuatan lebih baik dari yang ada sekarang. Bahkan mungkin akan dapat mengimbangi kekuatan Argapati lagi.”

Anak muda itu mengangguk-anggukkan kepalanya. Terbayang di rongga matanya peperangan yang baru saja terjadi di atas Tanah Perdikan ini. Peperangan yang telah menghancurkan sendi-sendi kehidupan rakyatnya.

Tetapi kalau perjuangannya menang, Ki Argajaya berhasil mengusir kakaknya, maka garis kekuasaan Menoreh akan ber¬pindah pada garis keturunan keluarganya. Apalagi Sidanti kini sudah tidak ada lagi. Maka tanggung jawab perjuangan berpin¬dah ke tangannya.

Anak yang masih terlalu muda itu merasa, sepeninggal Sidanti ialah yang harus memimpin perjuangan. Namun kadang-kadang ia mengeluh di dalam hati. “Kakang Sidanti didampingi sepe¬nuhnya oleh gurunya, bahkan sampai mengorbankan nyawanya. Tetapi aku tidak mendapat perlindungan dari siapa pun. Bahkan ayah telah berkhianat.”

“Nah, hati-hatilah. Perjuangan kita masih panjang. Kalau kalian gagal, maka semuanya akan berhenti sampai di sini. Kita harus menelan semua kekalahan, semua hinaan dan semua ke¬salahan,” terdengar kawannya yang sudah agak tua itu mem¬peringatkan.

“Tunggulah kalian di sini. Aku akan pergi sekarang.”

“Sudah tentu kami tidak akan sekedar menunggu. Kami akan memancing perhatian para pengawal itu. Pengawal yang ada di regol padukuhan, dan pengawal yang ada di halaman ru¬mah Ki Argajaya.”

“Apa yang akan kalian lakukan.”

“Bermain-main.”

“Ya, tetapi apa yang akan kalian perbuat.”

“Kami akan membakar rumah di pojok desa itu. Semua perhatian akan tertumpah kepada api yang menyala.”

“Tidak ada gunanya. Itu adalah tugas para pengawal di¬ regol padukuhan dan kawan-kawannya. Yang ada di halaman rumah ayah itu pasti tidak akan beranjak. Mereka justru akan menjadi semakin bersiaga.”

“Tentu. Tetapi perhatian mereka sepenuhnya akan ter¬tuju kepada api itu. Dua orang di antara kami akan menyerang halaman rumah itu dari depan dengan panah.”

“Kalian tidak akan mendapatkan apa-apa. Mereka pasti akan berlindung.”

“Soalnya bukan mengenai sasaran, tetapi menarik per¬hatian. Mereka memang akan bersiaga. Tetapi aku berani ber¬taruh kepala, bahwa perhatian mereka tertuju kepada lawan di luar halaman. Kalau kalian menyusup di dalam gerumbul-gerumbul di sebelah kandang, dan naik ke atap rumah itu, pasti tidak akan mereka duga sama sekali.”

Anak muda itu mengangguk-anggukkan kepalanya

“Masuklah ke halaman rumah itu setelah api mulai me¬nyala,” berkata orang yang sudah agak tua itu. “Ingat. Tepat pada saat api mulai menyala. Mereka belum sempat memikirkan apa-apa, selain memperhatikan api itu. Baru kemudian mereka akan bersikap. Dalam pada itu kau sudah ada di atas atap. Setidak-tidaknya kau sudah ada di halaman itu. Serangan kami kemudian akan menarik perhatian mereka selanjutnya, sehingga kau akan sela-mat memasuki rumah itu.”

“Baiklah. Aku harap ibu tidak akan mengganggu aku, karena aku akan langsung sampai ke biliknya.” Anak itu ber¬henti sejenak, lalu, “Cepat, lakukanlah rencana kalian itu.”

Kawan-kawannya kemudian segera meninggalkannya. Mereka pergi ke sasaran yang telah mereka pilih. Sebuah rumah di pojok desa.

Dengan tanpa mendapat kesulitan sama sekali masing-masing dapat mendekati sasaran mereka dengan segera. Para pengawal hanya berada di sekitar regol padukuhan, sedang mereka yang mengawal Ki Argajaya sama sekali tidak beranjak dari halaman rumah itu, kecuali penghubungnya yang kadang-kadang pergi mengam¬bil kebutuhan-kebutuhan lain bagi mereka dan seisi halaman itu, termasuk Ki Argajaya dan keluarganya.

Memang kadang-kadang para pengawal di regol padukuhan itu melepaskan sekelompok kecil orang-orangnya untuk meronda dan berkeliling seluruh padukuhan, namun itu terjadi hanya tiga kali dalam semalam suntuk, sehingga tidak akan terlampau sulit untuk menghindari mereka.

Karena itu, maka kawan-kawan putera Ki Argajaya itu pun segera mencapai rumah yang telah mereka tandai. Rumah kecil dan beratap ilalang.

“Sekarang?” bertanya salah seorang dari mereka perlahan-lahan.

Orang yang sudah setengah tua menganggukkan kepalanya sambil berdesis, “Apakah isi rumah itu sudah tidur?”

“Sudah.”

“Berapa orang?”

“Hanya dua orang. Seorang laki-laki setengah umur dengan seorang anaknya, seorang laki-laki muda yang malas.”

“Tidak ada perempuan?”

Kawannya menggeleng, “Tidak ada. Isteri laki-laki itu sudah meninggal hampir tiga bulan yang lalu.”

Laki-laki setengah tua itu pun mengangguk-anggukkan kepalanya. Dan tiba-tiba saja ia bertanya, “Siapa yang akan memancing para pengawal di rumah Ki Argajaya dengan panah?”

“Tentu dua di antara kami,” jawab salah seorang dari mereka.

Orang tua itu pun kemudian menunjuk kedua orang yang dimaksud. Katanya, “Hati-hatilah. Mendekatlah lewat jalan depan. Tetapi kalian harus segera melarikan diri kalau kalian masih be¬lum jemu menjalani tata kehidupan yang kau tempuh selama ini.”

“Aku akan lepas dari segala akibat serangan itu,” ber¬kata salah seorang dari keduanya yang ditunjuk itu.

“Jangan terlampau sombong,” desis kawannya yang lain. Tetapi orang itu hanya tersenyum saja. Sambil menimang busurnya ia pun kemudian berdesis, “Aku pergi sekarang.”

Maka dua orang dari antara mereka itu pun segera memi¬sahkan diri. Dengan hati-hati mereka menyusup di antara rimbunnya dedaunan di kebun-kebun, mendekati halaman rumah Ki Argajaya jus¬tru dari jurusan depan.

Sejenak kemudian maka mereka pun telah siap di tempatnya. Dengan dada berdebar-debar mereka menunggu api yang akan segera menyala di sudut desa.

Orang tua yang sudah siap membakar rumah itu pun masih sempat berkata, “Bangunkan pemilik rumah ini.”

“Kenapa?”

“Supaya mereka selamat meninggalkan rumahnya yang terbakar.”

Kawan-kawannya menjadi heran. Namun salah seorang dari mereka tertawa sambil berkata, “He, sejak kapan kau menjadi se¬orang yang luhur budi? Justru kami ingin membakarnya hidup-hidup. Nyalakan lebih dahulu dinding di sekitar pintu depan dan pintu butulan, supaya orang itu tidak dapat lari.”

“Orang itu tidak tahu apa-apa. Bukankah seorang laki-laki setengah tua dan anaknya yang malas.”

“Justru karena kemalasannya itulah ia pantas dibakar hi¬dup-hidup karena anak itu sama sekali tidak berguna.”

Orang tua itu tidak menyahut lagi. Tiba-tiba saja ia menghentakkan kakinya pada dinding rumah atap yang kecil itu sambil berkata, “He, bangun, cepat!”

Orang yang ada di dalam rumah itu terkejut. Sayup-sayup ia mendengar suara di luar rumahnya.

“Siapa?”

Tetapi sudah tidak ada jawaban lagi. Yang didengarnya adalah gemericik api yang mulai menjilat sudut rumahnya.

Orang tua yang ada di dalam rumah itu pun terkejut bukan kepalang. Dengan serta-merta ia terloncat dari pembaringannya. Dengan tubuh gemetar ia pergi ke amben di sudut. Anaknya laki-laki masih saja tidur dengan nyenyaknya.

““He, bangun, bangun. Rumah ini terbakar.”

Anaknya masih sempat menggeliat, kemudian berkisar seta¬pak sambil melingkarkan tubuhnya kembali.

“Bangun, bangun. Rumah kita terbakar.” Diguncang-guncangnya tubuh anaknya yang masih saja berusaha untuk meneruskan mimpinya.

Akhirnya anak itu terbangun juga. Tetapi ia menjadi agak bingung. Terheran-heran ia melihat ayahnya menariknya dari pem¬baringannya, “Cepat, rumah kita terbakar.”

Sebuah ledakan bambu telah mengejutkannya. Barulah ia kini sadar, bahwa rumahnya telah mulai dimakan api.

Dengan tergesa-gesa ia pun bangkit. Tetapi api sudah cukup besar, sehingga tidak mungkin lagi untuk dipadamkannya. Yang dapat mereka lakukan kemudian adalah menyambar pakaian mereka yang sudah kumal di sampiran, kemudian segera berlari-lari ke luar rumah. Di emper depan orang tua itu masih melihat kentongan kecilnya bergantungan, terayun-ayun seperti sedang dibuai. Dengan serta-merta ia mencari sepotong kayu, dan dipukulnya kentongannya itu sekuat-kuat tenaganya, tiga kali berturut-turut.

Ternyata, api itu benar-benar dapat menggoncangkan kesenyapan malam. Sejenak kemudian suara kentongan itu pun menjalar sam¬pai ke telinga para peronda di gardu padukuhan.

“Kebakaran,” desis salah seorang dan mereka, lalu, “lihat api sudah mulai naik.”

“Marilah kita lihat.”

“Hati-hati,” tiba-tiba pemimpinnya memperingatkan, “pergilah dengan kelompokmu. Yang lain tetap tinggal di sini. Aku yakin bahwa ada kesengajaan untuk memancing kami sekarang.”

Para pengawal itu tertegun sejenak. Dari sorot mata mereka, terasa bahwa timbul berbagai pertanyaan di dalam dada. Sekilas mereka memandang api yang menjadi semakin besar, kemudian mereka pandangi wajah pemimpin mereka yang tegang.

“Maksudku,” berkata pemimpin itu, “kalian harus pergi ke tempat itu dalam kesiagaan tempur, bukan seperti rombongan orang-orang ingin melihat tayub. Mengerti?”

Para pengawal itu pun mengangguk-anggukkan kepalanya. Mereka terkejut ketika justru pemimpinnya yang kemudian mendesak mereka, “Cepat! Jangan terlampau lamban berpikir.”

Maka sekelompok pengawal pun segera bersiaga. Dengan senjata masing-masing mereka berangkat ke tempat api yang semakin lama menjadi semakin besar.

Pemimpin pengawal di regol padukuhan itu sebelah-menyebelah, segera mempersiapkan diri mereka. Agaknya sesuatu memang telah terjadi, tepat pada saat Ki Argajaya siang tadi kembali ke rumahnya.

“Mungkin mereka melakukan gerakan dengan seluruh ke¬kuatan mereka yang tersisa,” berkata pemimpin pengawal di padukuhan itu. “Tetapi kita tidak tahu pasti apakah maksud mereka. Apakah mereka ingin mengambil Ki Argajaya untuk memperkuat kedudukan mereka, atau justru mereka ingin, mele¬paskan dendam karena Ki Argajaya mereka anggap berkhianat.”

Para pemimpin kelompok yang mendengarkan penjelasan itu pun mengangguk-anggukkan kepalanya.

“Cepat, hubungi para pengawal di pintu regol di ujung jalan yang lain dari padukuhan ini. Tutup semua pintu. Tidak seorang pun boleh masuk atau keluar. Awasi segala sudut sejauh dapat dijangkau.”

Dengan demikian maka para pengawal di padukuhan itu pun menjadi sibuk. Beberapa kelompok-kelompok kecil segera memencar dengan alat-alat yang dapat memberikan tanda setiap saat di samping senjata-senjata mereka yang siap di tangan.

Pada saat yang bersamaan, pengawal yang sedang bertugas berjaga-jaga di depan regol halaman Ki Argajaya pun melihat api itu. Sejenak mereka termangu-mangu, namun sejenak kemudian mereka pun sadar, bahwa mereka harus melaporkannya. Maka salah se¬orang dari mereka pun kemudian dengan tergesa-gesa menemui pemimpinnya.

Ternyata api itu sudah mengejutkan seisi halaman. Para pengawal, yang segera bersiap di halaman, terpaku melihat nyala api yang semakin lama menjadi semakin besar.

“Semua bersiaga di tempat masing-masing seperti yang sudah ditentukan, apabila keadaan menjadi panas,” perintah pemimpin pengawal itu.

Perintah itu tidak perlu diulangi. Maka para pengawal itu pun segera memencar ke tempat-tempat yang memang sudah ditentukan di dalam halaman. Mereka mengerti, bahwa mereka tidak dapat keluar dari halaman itu, apa pun yang terjadi, kecuali keadaan sudah sangat memaksa. Tugas mereka adalah di dalam halaman rumah Ki Argajaya, karena di luar halaman rumah itu sudah menjadi tanggung jawab para pengawal yang di tempatkan di padukuhan itu.

Namun para pengawal itu tiba-tiba terkejut ketika, mereka mendengar anak panah berdesing tepat di atas kepala mereka. Dengan gerak naluriah, maka para pengawal pun segera mencari perlindungan. Di balik-balik pepohonan atau di balik pagar batu, yang mengitari halaman.

“Gila,” desis pemimpin pengawal, “apakah orang-orang itu ingin membunuh dirinya?”

Agung Sedayu yang berada di dekat pemimpin pengawal itu tidak segera menyahut. Ia mengetahui tepat, dari mana arah anak panah itu.

Beberapa anak panah yang lain pun segera menyusul, melun¬cur dari arah yang berbeda-beda, seolah-olah beberapa orang telah mengepung halaman rumah Ki Argajaya.

Pemimpin pengawal itu menjadi tegang. Terdengar ia ber¬desis, “Berapa orang kira-kira yang datang menyerang halaman ini?”

Agung Sedayu tidak segera menjawab. Dicobanya meng¬amati dengan cermat, dari mana saja anak panah itu meluncur.

Namun akhirnya Agung Sedayu berkata, “Tidak lebih dari dua atau tiga orang.”

“He,” pemimpin pengawal itu mengerutkan keningnya.

“Mereka berpindah-pindah tempat.”

Pemimpin pengawal itu mengangguk-anggukkan kepalanya. Katanya, “Kita tidak dapat mengejar mereka. Nanti dapat terjadi salah paham, apabila para pengawal di regol padukuhan itu pun sudah melakukan pengejaran.”

“Ya, kita bertahan di batas halaman ini,” sahut Agung Sedayu.

Karena itu, maka para pengawal itu pun tetap tinggal di tempat masing-masing. Di belakang pepohonan, dedaunan yang rimbun di balik dinding-dinding batu dan di belakang regol.

Namun sejenak kemudian anak panah itu pun menjadi sema¬kin jarang, dan akhirnya berhenti sama sekali.

“Mereka sudah berhenti,” desis pemimpin pengawal.

“Mungkin. Tetapi mungkin pula mereka menunggu sasaran.”

Pemimpin pengawal itu pun mengangguk-anggukkan kepalanya.

“Aku akan berada di halaman,” desis Agung Sedayu.

“Jangan,” jawab pemimpin itu, “berbahaya.”

“Tidak. Aku akan membawa perisai.”

“Apa perisaimu itu.”

Agung Sedayu tidak menjawab. Tetapi dilepaskannya ikat kepalanya. Ujungnya dibalutkannya pada tangan kirinya. Kata¬nya, “Tunggulah di sini.”

Pemimpin pengawal itu menjadi berdebar-debar. Dipandanginya saja Agung Sedayu berjalan dengan tenangnya ke tengah-tengah halaman rumah Ki Argajaya.

Meskipun disaput oleh keremangan malam, namun bayangan¬nya masih juga tampak dari jarak yang agak jauh.

Dan ternyata bahwa orang-orang yang melontarkan anak panah itu masih belum meninggalkan halaman itu. Mereka mengerutkan kening mereka, ketika tampak seseorang yang dengan tenangnya justru menampakkan dirinya.

Sejenak kedua orang yang melontarkan anak panah itu memandangi bayangan di halaman dengan herannya. Apalagi ketika bayangan itu kemudian berhenti di tengah-tengah halaman sam¬bil menengadahkah dadanya.

“He, apakah di antara mereka ada juga orang yang mem¬bunuh diri,” pertanyaan itu melonjak di dalam dada kedua orang yang sedang bersembunyi dengan anak-panah yang siap dilun¬curkan.

Tetapi ternyata bayangan yang hitam di halaman itu tidak segera beranjak pergi.

Salah seorang dari kedua orang yang sudah siap dengan busur dan anak panah itu pun mendekati kawannya. Perlahan ia berbisik, “He, kau lihat orang aneh itu?”

“Ya,” sahut kawannya.

“Apa katamu tentang orang itu?”

“Mungkin ia sedang memancing anak panah kami, agar mereka mengetahui arah tempat kami bersembunyi.”

Kawannya mengangguk-anggukkan kepalanya. Desisnya, “Lalu bagaimana dengan kita?”

“Kita tinggalkan tempat ini.”

Kawannya mengangguk-angguk pula. Namun katanya, “Tetapi orang itu tampaknya sengaja menghina kami. Apakah kita tidak mencoba yang seorang itu, kemudian kita dengan segera pergi?”

Kawannya terdiam sejenak. Lalu, “Terserah kepadamu.”

Yang tangannya menjadi gatal itu mengerutkan keningnya. Kemudian diangkatnya busurnya. Dengan cermat dibidiknya bayangan orang yang ada di tengah-tengah halaman itu.

“Aku ingin mengenai dadanya. Bidikanku tidak pernah meleset apabila sasaran itu tetap di tempatnya.”

Kawannya tidak menjawab. Dipandanginya kawannya yang telah mulai menarik tali busurnya sambil menahan nafas.

Sejenak kemudian anak panah itu meluncur secepat tatit menyambar bayangan hitam di halaman. Suaranya berdesing di dalam gelapnya malam.

Agung Sedayu yang sudah terlatih baik segala alat indera¬nya, segera mendengar desing anak panah. Meskipun malam masih tetap kelam, namun oleh ketajaman pendengaran dan tatapan matanya, Agung Sedayu segera dapat mengerti dengan pasti, dari mana dan kemana anak panah itu meluncur. Karena itu, maka segera ia mengibaskan ikat kepalanya berputaran di depan dadanya, sambil memiringkan tubuhnya.

Hampir tidak masuk akal, tetapi para pengawal dan bahkan mereka yang sedang bersembunyi dengan busur dan anak-panah itu, kemudian melihat panahnya tersangkut pada ikat kepala yang sedang berputar itu.

“He,” desis salah seorang dari kedua orang yang sedang bersembunyi itu, “apa yang kau lihat?”

“Ia mengibaskan selembar kain.”

“Dan anak panah itu?”

“Agaknya tersangkut pada kain itu.” Ia berhenti, lalu, “Lihat ia rupa-rupanya ia sedang mencabut anak panah itu.”

“Setan alas!” geram salah seorang dari mereka. “Siapa¬kah orang itu?”

“Kita harus segera pergi. Kalau tidak, kita akan dapat dijebaknya. Orang itu benar-benar luar biasa?”

“Apakah orang itu Ki Argajaya?”

Kawannya menggelengkan kepalanya, “Tidak jelas. Tetapi menilik tinggi tubuhnya, agaknya bukan.”

Keduanya tidak berkata-kata lagi. Tetapi seperti berjanji mereka pun segera bergeser menjauhi tempat itu. Ketika mereka telah berada di halaman yang rimbun di rumah sebelah, salah se¬orang dari mereka berdesis, “Kita harus menjauh secepatnya.”

Keduanya pun kemudian dengan tergesa-gesa merangkak di antara pepohonan menjauhi rumah Ki Argajaya. Mereka sadar, bahwa di padukuhan itu, para peronda pasti sedang berkeliaran, menilik tanda yang bergema. Bunyi kentongan, tiga-tiga ganda ber¬turut-turut.

“Hati-hati,” desis salah seorang dari keduanya, “jangan sampai terjebak oleh para peronda yang pasti sedang menyusuri semua jalan-jalan di seluruh padukuhan ini.”

Kawannya tidak menjawab. Tetapi ia berdesis sambil mele¬takkan jari-jarinya di depan bibirnya yang terkatup.

Sejenak mereka membeku. Lamat-lamat mereka mendengar desir langkah semakin lama semakin dekat.

Keduanya segera berlindung semakin rapat, sambil menahan nafas. Di sebuah lorong sempit di depan mereka, beberapa orang peronda berjalan perlahan-lahan. Bahkan kedua orang itu mendengar mereka berbicara, “Kalau kita dapat menangkap salah seorang dan mereka, kita cincang saja di mulut pedukuhan, supaya yang lain menjadi jera.”

“Kita gantung pada kedua kakinya, dan kepalanya dijung¬kir di bawah. Sepantasnya mereka mendapat hukuman picis.”

Kedua orang yang bersembunyi itu menjadi ngeri pula kare¬nanya, sehingga karena itu, serasa tubuh mereka berkerut semakin kecil.

Mereka menarik nafas dalam-dalam, ketika para peronda itu menjadi semakin jauh, akhirnya desir langkah mereka sudah tidak terdengar lagi.

“Cepat, kita seberangi lorong itu,” Kawannya tidak menjawab, namun mereka berdua pun segera menyusup menyeberangi lorong kecil itu.

Sementara itu, perhatian para pengawal di rumah Ki Argajaya benar-benar sedang dicengkam oleh serangan anak panah di halaman depan, sehingga seperti yang diperhitungkan oleh kawan-kawan putera Ki Argajaya, mereka hampir tidak menaruh perhatian sama sekali kepada segerumbul perdu yang rimbun di samping kandang. Mereka benar-benar tidak melihat, ketika dua orang anak muda meloncati dinding batu dan bersembunyi di dalam gerambul itu.

Meskipun ada beberapa orang penjaga di halaman belakang, namun mereka pun sedang dipengaruhi oleh kemungkinan serang¬an-serangan anak panah yang tiba-tiba saja dapat menyambar mereka seperti yang terjadi di halaman depan.

Dalam saat-saat yang demikian itulah dua orang anak muda yang berada di balik gerumbul-gerumbul perdu itu berkisar selangkah demi selangkah mendekati sudut rumah. Seperti yang mereka harapkan, maka perhatian para penjaga benar-benar telah terampas oleh api dan serangan anak panah yang tidak mereka ketahui dari mana asalnya.

Agung Sedayu yang berada di halaman depan pun sama sekali tidak menyangka, bahwa di dalam pengawasan yang demikian rapatnya, masih juga ada seseorang yang berani memasuki hala¬man, sehingga karena itu, maka ia pun tidak menduga sama sekali, bahwa ada dua orang yang kini sedang memanjat sisi rumah di sebelah kandang.

Meskipun para pengawal sama sekali tidak menjadi lengah, tetapi mereka benar-benar tidak melihat dua orang yang dengan susah payah telah berhasil naik ke atas atap. Perhatian para pengawal masih tetap tertuju kepada setiap kemungkinan yang datang dari luar dinding halaman. Yang mereka bayangkan adalah kemungkinan serangan kekuatan-kekuatan terakhir dari sisa-sisa pasukan Sidanti.

Sejenak kemudian, pemimpin pengawal yang ada di halaman depan rumah Ki Argajaya melihat beberapa peronda mendatangi¬nya. Kemudian salah seorang peronda itu bertanya, “Bukankah halaman ini tidak mendapat gangguan?”

“Pada dasarnya tidak,” jawab pemimpin pengawal.

“Kenapa pada dasarnya?”

“Ada beberapa anak panah yang meluncur ke halaman. Te¬tapi kemudian terhenti.”

“Jadi ada orang-orang yang telah menyerang kalian dengan anak panah?”

“Hanya dua atau tiga orang,” sahut Agung Sedayu.

“Di mana mereka sekarang?”

“Kami tidak tahu. Aku kira mereka sudah melarikan diri.

“Kalian membiarkan saja mereka lari?”

“Kami tidak dapat keluar dari halaman ini. Kami tidak ingin terjadi salah paham dengan kalian. Di dalam gelap kadang-kadang kita sukar membedakan, siapakah yang kita hadapi.”

Para peronda itu mengangguk-anggukkan kepalanya.

“Kita akan mencarinya di seluruh padukuhan,” berkata peronda itu, “tetapi jangan kalian harapkan, kami dapat me¬nemukan mereka. Masih ada satu dua orang yang bersedia me¬nyembunyikan orang-orang itu, atau barangkah mereka sudah me¬loncati dinding pedukuhan yang sekian panjangnya, yang sudah tentu tidak dapat kami awasi seluruhnya dalam waktu yang bersamaan.”

Pemimpin pengawal di halaman itu mengangguk-anggukkan kepalanya. Ia mengerti betapa sulitnya tugas para pengawal padukuhan itu, karena pada suatu waktu ia pun pernah bertugas di padakuhan itu pula.

Ketika para peronda itu pergi, maka pemimpin pengawal itu dan Agung Sedayu duduk di tangga pendapa rumah yang sepi itu tanpa berprasangka apa pun. Apalagi menyangka, bahwa kini dua orang anak-anak muda di atas atap itu sudah merambat mende¬kati sebuah lubang yang memang sudah mereka buat, tepat di atas bilik yang malam itu dipergunakan oleh Sekar Mirah.

Dengan hati-hati keduanya berusaha membuka lubang itu. Sekali-sekali mereka mengamati suara-suara yang masih mungkin terdengar di dalam rumah. Namun agaknya rumah itu sudah sepi.

“Apakah mereka tidak terbangun oleh suara kentongan?” bisik kawannya.

“Mungkin, kita masih harus menunggu sejenak.”

Kawannya pun mengangguk-anggukkan kepalanya. Mereka tidak dapat tergesa-gesa masuk ke dalam bilik itu. Memang kemungkinan bahwa isi rumah itu terbangun adalah besar sekali.

Tetapi rumah itu agaknya benar-benar sudah dicengkam oleh kesenyapan. Lelah dan kantuk agaknya telah menguasai seluruh isinya. Apalagi mereka mempercayai para pengawal yang ada di luar rumah itu sepenuhnya, sehingga tidak seorang pun dari isi rumah itu yang keluar meskipun mereka mendengar juga suara kentongan di kejauhan.

“Tak ada apa-apa di halaman,” perasaan itulah yang telah tumbuh di setiap dada orang-orang yang ada di dalam rumah itu.

Setelah menunggu sejenak, dan kedua anak-anak muda yang ada di atas atap itu tidak mendengar suara apa-apa sama sekali, maka mulailah mereka mencoba memasuki bilik dalam. Dalam keremangan cahaya lampu yang kemerahan, dari lubang atap, ke¬dua anak-anak muda itu melihat seorang perempuan yang sedang tidur dengan nyenyaknya.

“Ibu masih tidur nyenyak,” desis putera Ki Argajaya.

“Hati-hati, jangan mengejutkannya. Kalau ibumu terkejut, mungkin sekali ia akan berteriak.”

Putera Ki Argajaya itu menganggukkan kepalanya. Per¬lahan ia mengikatkan ujung sebuah tali yang memang sudah dibawanya. Kemudian dengau hati-hati sekali ia meluncur ke bawah, tepat di sudut bilik. Dengan tangannya ia memberikan isyarat kepada kawannya, dan kawannya itu pun meluncur pula ke bawah.
Sejenak mereka saling berdiam diri. Dipandanginya saja tubuh yang sebagian terbesar ditutup oleh selimut, sebuah kain panjang. Apalagi perempuan yang sedang tidur itu membelaka¬ngi kedua anak-anak muda itu, sehingga mereka tidak segera me¬ngenalinya.

“Apakah kita biarkan saja ibu tidur, dan kita langsung mencari ayah,” desis putera Ki Argajaya.

“Tidak. Sebaiknya ibumu kau bangunkan supaya ia tidak terkejut dan justru berteriak-teriak.”

Sejenak anak muda itu berpikir. Namun kemudian ia menganggukkan kepalanya, “Baiklah.”

Perlahan-lahan ia maju selangkah. Tetapi langkahnya tertegun ketika ia melihat perempuan itu bergerak. Dan bahkan darahnya tersirap ketika ia mendengar suara, “Kalian tidak usah mem¬bangunkan aku.”

Putera Ki Argajaya itu surut selangkah. Matanya terbela¬lak ketika ia kemudian melihat siapakah yang tidur di dalam bi¬lik itu.

Sekar Mirah yang ternyata mendengar seluruhnya apa yang telah terjadi di atas biliknya, kemudian dua orang meluncur turun itu, perlahan-lahan bangkit dan duduk di bibir pembaringan.

Kedua anak muda yang memasuki bilik itu pun seakan-akan membeku di tempatnya. Sejenak mereka terpesona melihat se¬orang gadis cantik berada di bilik itu, bilik yang biasanya di¬pakai oleh ibunya.

Sekar Mirah yang duduk di pembaringan itu masih saja du¬duk di tempatnya. Dipandanginya kedua anak muda yang ter¬heran-heran itu sambil tersenyum.

“Siapakah kau?” desis putera Ki Argajaya.

“Aku kira kaulah putera Ki Argajaya yang selama ini seakan-akan telah menghilang.”

“Siapa kau?” ulang putera Ki Argajaya itu, “dan ke¬napa kau ada di sini.”

Sekar Mirah mengerutkan keningnya. Dipandanginya saja anak muda yang berdiri termangu-mangu itu. Anak muda yang ber¬perawakan sedang, namun dengan sorot mata yang berapi-api.

“Kalau saja anak ini sempat memelihara dirinya, ia ada¬lah anak muda yang tampan,” desis Sekar Mirah di dalam hati.

“He, kau belum menjawab.”

“Aku,” Sekar Mirah memiringkan kepalanya, “aku ada¬lah tamu Ki Argajaya. Apakah kau belum tahu bahwa ayahmu sudah pulang hari ini.”

Anak muda itu tidak menjawab. Hatinya menjadi semakin berdebar-debar setiap kali ia melihat gadis itu tersenyum.

Tiba-tiba saja, kawannya menggamitnya sambil bertanya, “Apakah gadis itu bukan saudaramu. Saudara yang datang dari jauh atau dari mana pun juga?”

Putera Ki Argajaya itu menggelengkan kepalanya.

“Jadi kau belum mengenalnya dan sama sekali tidak ada hubungan apa pun?”

Sekali lagi anak muda itu menggeleng.

Sekar Mirah yang masih duduk di pinggir pembaringan itu memandangnya dengan seksama. Di dalam hatinya ia berkata, “Anak ini memang agak mirip dengan Sidanti. Sorot matanya yang berapi-api, bibirnya yang terkatup dan apanya lagi?” Sekar Mirah menarik nafas, “Keduanya adalah saudara sepupu.”

Tetapi Sekar Mirah sama sekali tidak mengerti bahwa se¬benarnya anak itu tidak mempunyai hubungan darah dengan Si¬danti.

“Jadi siapa gadis ini,” kawan putera Ki Argajaya itu bertanya.

Putera Ki Argajaya itu menggeleng, “Aku tidak tahu. Aku baru melihatnya.”

“Aku sudah mengenalmu. Bukankah kau bernama Prastawa,” tiba-tiba Sekar Mirah menyela.

“Kau tentu mendengar dari ayah atau ibu.”

Sekar Mirah tertawa Dan tiba-tiba saja ia berkata, “Silahkan. Jangan berdiri saja di situ. Apakah kau ingin bertamu dengan ayahmu? Ia ada di ruang dalam. Tidur di amben besar itu ber¬sama seorang tamu yang lain.”

“Siapakah tamu yang lain itu?”

“Ayahku.”’

“Kau datang bersama ayahmu?”

“Ya.”

“Siapakah kau sebenarnya?”

Sekar Mirah tertawa, “Apakah begitu penting bagimu untuk mengetahui namaku.”

Prastawa, putera Ki Argajaya itu mengerutkan keningnya. Sikap Sekar Mirah dirasakannya sangat aneh. Gadis itu sama sekali tidak terkejut, apalagi menjadi ketakutan.

Namun di luar dugaan kawan Prastawa itu pun kemudian berkata, “Prastawa. Kalau gadis ini memang bukan sanak-ka¬dangmu, kenapa ia berada di sini?”

“Aku tidak tahu,” jawab Prastawa.

“Kalau begitu, biarlah aku mengurusnya.”

Prastawa mengerutkan keningnya. “Maksudmu?” ia bertanya.

Kawannya tiba-tiba saja tertawa, meskipun tidak bersuara. Katanya, “Ia terlampau cantik.”

“Lalu apa yang akan kau lakukan?” bertanya Prastawa.

Kawannya masih tertawa. Lalu, “Apakah kita akan mene¬mui Ki Argajaya lebih dahulu? Aku kira lebih baik kau menemui¬nya sendiri. Kau dapat berbicara dengan leluasa.”

“Lalu kau?”

“Aku tinggal di sini, mengawani gadis ini. Aku dapat mencegahnya kalau ia berteriak dan mengejutkan para penjaga.”

Putera Ki Argajaya itu mengerutkan keningnya. Katanya kemudian, “Tetapi aku belum melihat Ibu.”

“Nah, carilah ibumu. Katakan maksudmu. Tetapi sebaik¬nya kau berbuat seperti seorang anak terhadap orang tuamu. Berbicara dengan baik dan sopan. Aku yakin, bahwa ayahmu akan mengerti, bahwa perjuangan kita masih panjang.”

“Kau terpancang pada kepentinganmu sendiri.”

“Bukankah kau sejak semula akan pergi sendiri? Tetapi pertimbangan keamanan dirimulah yang membawa aku kemari. Tetapi agaknya tidak ada seorang pengawal pun yang ada di dalam rumah ini.”

Prastawa mengerutkan keningnya. Dan ia melihat kawannya itu melangkah mendekati Sekar Mirah, “Kau sudah terdampar ke suatu tempat yang barangkali tidak pernah kau impikan.”

“Kenapa,” bertanya Sekar Mirah tanpa beranjak dari tempatnya.

“Kau sangat diperlukan di sini. Kalau kau tetap tinggal di rumah ini, sedang di halaman rumah ini berkerumun serigala-serigala lapar, maka nasibmu tidak akan berketentuan.”

“Aku datang bersama ayah.”

“Siapa ayahmu.”

“Ya ayahku.”

“Kalau ia mencoba menghalangi mereka, ayahmulah yang akan disingkirkannya dahulu.” Anak muda itu berhenti seben¬tar. Sambil berpaling kepada putera Ki Argajaya ia berkata, “Pergilah ke ayahmu. Aku akan menyelamatkan gadis ini. Kau ma¬sih terlampau muda untuk memikirkan seorang gadis cantik ini.”

Putera Ki Argajaya termenung sejenak. Dipandanginya wajah kawannya yang aneh, kemudian ditatapnya Sekar Mirah yang masih tersenyum-senyum saja.

“Apa yang kau tunggu?” bertanya kawan Prastawa itu.

“Aku tidak mengerti, kenapa gadis itu di sini.”

“Jangan hiraukan. Biarlah aku yang mengurusnya. Seka¬rang kau temui ibu dan kemudian ayahmu.”

Sekali lagi Prastawa memandang wajah Sekar Mirah. Ia tidak dapat mengerti, kenapa sikapnya begitu ramah menerima kedatangan orang yang belum dikenalnya, di tempat yang asing baginya.

“Jangan tunggu sampai pagi,” desis kawannya.

Prastawa menganggukkan kepalanya. Katanya, “Baiklah. Aku akan menemui Ibu dan Ayah. Tetapi kalau aku tidak dapat berbicara dengan mulutku, maka aku akan berbicara dengan sen¬jataku.”

“Pertimbangkan baik-baik.”

“Aku sudah mengerti.”

“Terserahlah,” ternyata kawannya itu sama sekali sudah tidak menghiraukan lagi apa yang akan dilakukan oleh putera Ki Argajaya itu. Perhatiannya seluruhnya telah ditumpahkannya kepada Sekar Mirah yang masih duduk di tempatnya.

“Hati-hatilah dengan gadis itu,” putera Ki Argajaya masih berpesan, “jangan sampai ia dapat mengganggu acara kita.”

“Serahkan kepadaku. Tetapi kau pun harus berhati-hati pula.”

Putera Ki Argajaya itu pun kemudian dengan sangat hati-hati menyibakkan pintu lereg di bilik itu. Ternyata ruang dalam ru¬mah itu pun sudah sepi. Cahaya lampu minyak yang remang-remang sama sekali tidak menyentuh seorang pun yang masih terbangun.

“He, kenapa kau belum juga keluar?” kawannya ber¬desis.

Putera Ki Argajaya itu berpaling. Tetapi ia tidak berkata apa pun. Namun kawannya menjadi tidak sabar lagi. Kalau saja ia tidak sadar akan tugasnya, maka anak muda itu sudah dilem¬parkannya ke luar bilik.

“Bukankah kita sudah yakin bahwa rumah ini sepi. Aku tidak mendengar apa-apa.”

“Bukankah aku harus berhati-hati?” sahut Prastawa.

Kawannya mengangguk kecil, meskipun ia mengumpat-umpat di dalam hati. Namun ketika sekilas dipandanginya Sekar Mirah masih saja duduk tenang di tempatnya, ia menarik nafas dalam-dalam.

Perlahan-lahan putera Ki Argajaya itu pun kemudian melangkah ke luar. Dengan ragu-ragu ia memandang berkeliling. Sebuah perta¬nyaan terbersit di hatinya, “Di manakah ibu tidur?”

Tetapi ketika ia melihat lampu yang kecil menyala di bilik sebelah, ia pun segera mengetahuinya, bahwa ibunya ada di dalam bilik itu.

“Aku harus menemuinya dahulu, supaya ibu tidak berteriak-teriak.”

Prastawa pun kemudian dengan sangat hati-hati melangkah melintasi ruangan dalam menuju ke pembaringan ibunya. Perlahan-lahan pula ia menarik daun pintunya, kemudian melangkah masuk.

Sementara itu, kawannya masih berdiri tegak di hadapan Sekar Mirah yang belum berkisar dari tempatnya.

“He, siapakah sebenarnya kau?” bertanya anak muda itu.

“Siapa aku itu tidak penting buatmu. Apakah yang kau kehendaki dari aku? Aku bukan orang padukuhan ini, bukan penghuni rumah ini sehingga aku tidak akan dapat memberikan banyak keterangan yang kau ingini.”

“Aku tidak memerlukan keterangan apa pun.”

“Lalu apa yang kau inginkan?”

“Kau.”

“Aku?”

“Ya. Aku ingin membawamu ke luar dari rumah ini.”

Sekar Mirah menggelengkan kepalanya, “Tidak mungkin. Ayahku ada di rumah ini dan di halaman rumah ini bertebaran para pengawal.”

“Bodoh kau. Aku dapat masuk tanpa mereka ketahui.”

“Kau memanjat?”

“Ya. Aku memanjat atap rumah ini, kemudian turun de¬ngan tali itu.”

“Aku tidak dapat memanjat.”

“Aku dapat mendukungmu. Lihat, tubuhku hampir sebe¬sar tubuh gajah.”

“Akan kau bawa ke mana aku nanti?”

Anak muda itu terdiam sejenak. Ia tidak dapat menjawab pertanyaan Sekar Mirah.

“Ke mana?” Sekar Mirah mengulang.

Anak muda itu termenung sejenak. Sudah lama ia mening¬galkan rumahnya. Sudah tentu ia tidak dapat pulang sambil membawa seorang gadis. Seandainya demikian, maka ia pasti akan segera ditangkap oleh para pengawal yang sekarang sudah menguasai hampir semua sudut-sudut Tanah Perdikan ini.

“Apakah kau mempunyai rumah?”

Tanpa sesadarnya anak muda itu mengangguk, “Ya. Aku punya rumah.”

“Rumahmu sebesar ini?”

“Ya, rumahku sebesar ini.”

“Dan aku akan kau bawa ke rumahmu?

Anak muda itu menjadi kian bingung. Ia tidak mengerti, bagaimana ia harus menjawab.

Sekar Mirah mengerutkan keningnya. Kemudian terdengar ia berdesah, “Kau tidak mau mengatakan, ke mana aku akan kau bawa.”

Tiba-tiba wajah anak muda itu menjadi tegang. Katanya, “Kau aku bawa ke tempatku sekarang.”

“Kau tentu tinggal bersama kawan-kawanmu. Dan aku akan kau ambil dari daerah serigala lapar dan kau masukkan ke dalam kandang harimau yang juga kelaparan?”

Anak muda itu menjadi semakin bingung. Memang tidak mungkin baginya untuk membawa gadis itu ke sarang persem¬bunyiannya. Di sana terdapat banyak sekali laki-laki yang liar se¬perti dirinya sendiri. Kehadiran Sekar Mirah di antara mereka pasti hanya akan menimbulkan keonaran saja.

Karena itu, maka untuk sejenak laki-laki yang bertubuh se¬perti seekor badak itu berpikir sejenak. Sekali-sekali ditatapnya wa¬jah Sekar Mirah di bawah remang-remang sorot lampu minyak yang redup.

Dan tiba-tiba tanpa sesadarnya laki-laki muda itu bertanya, “Lalu bagaimana sebaiknya?”

Sekar Mirah tersenyum. Katanya, “Kaulah yang menentu¬kan, bagaimana sebaiknya.”

Laki-laki itu menjadi ragu-ragu sejenak. Namun kemudiaan katanya, “Kau ikut aku. Aku tidak tahu ke mana kau akan aku bawa.”

“He, kau aneh sekali.”

“Tidak. Ini bukan hal yang aneh. Aku memerlukan kau dan aku tidak mau dibingungkan oleh tempat dan segala macam.”

“Jadi bagaimana?”

Wajah anak muda itu tiba-tiba menjadi merah. “Ayo, ikut aku.”

“Kau belum mengatakan, ke mana.”

“Jangan bertanya lagi. Kita harus segera keluar dari tem¬pat ini.”

“Jangan tergesa-gesa. Duduklah. Bukankah kau masih me¬nunggu putera Ki Argajaya.”

“Tidak, aku tidak menunggu lagi.”

Sekar Mirah tertawa. Katanya, “Kau seperti anak-anak yang lapar melihat ibunya membawa makanan.”

“Jangan membuat darahku semakin menggelegak.”

“Duduklah.”

“Tidak, Kita harus segera pergi.

“Anak muda,” berkata Sekar Mirah kemudian, “kalau kau memang tidak mempunyai tempat tinggal, kenapa kau tidak menetap di sini saja? Rumah ini terlampau besar untuk dihuni keluarga Ki Argajaya yang sudah terpecah-pecah itu. Mungkin rumah ini dahulu sangat baik dan bersih. Dihuni oleh beberapa orang sanak saudara dan pelayan-pelayan yang sanggup memelihara rumah ini.

“Jangan mengigau,” potong anak muda itu, “ayo, ikut aku. Berdirilah.”

Tetapi Sekar Mirah masih saja tersenyum di tempatnya.

“Kau aneh,” berkata Sekar Mirah, “kau ingin membawa aku tanpa mengerti ke mana kau akan pergi. Sudah aku katakan tinggallah di sini. Atau, aku yang akan membawamu?”

“He?”

“Aku hanya mempunyai seorang saudara laki-laki. Kau dapat aku jadikan saudaraku yang kedua. Aku mempunyai kakak, dan kau akan menjadi adikku.”

“Gila. Gila kau,” tiba-tiba anak muda itu mengumpat-umpat.

“Kau sendirilah yang berteriak. Kalau seisi rumah ini bangun, itu bukan salahku.”

“Aku memerlukan kau tidak sebagai saudara. Aku memer¬lukan kau sebagai seorang perempuan,” laki-laki itu menjadi te¬gang. Lalu, “Ikut aku. Cepat!”

Agaknya ia sudah tidak sabar lagi. Selangkah ia maju me¬nyambar lengan Sekar Mirah dan menariknya. Sekar Mirah tidak melawan. Ia pun terseret beberapa langkah. Namun kemudian tangan anak muda itu dikibaskannya, sehingga pegangannya pun terlepas.

“Kau menyakiti aku,” desis Sekar Mirah.

Namun anak muda itu menjadi heran karenanya. Ia tidak menyangka bahwa Sekar Mirah cukup kuat untuk mengibaskan tangannya, dan apalagi setelah gadis itu berdiri, matanya seakan-akan tidak berkedip lagi memandangi pakaian Sekar Mirah.

“Kenapa kau termenung?” bertanya Sekar Mirah.

“Pakaianmu.”

“Kenapa pakaianku?”

Anak muda itu tidak segera menjawab. Dipandanginya Se¬kar Mirah dari ujung kaki sampai ke ujung rambutnya. Dan tiba-tiba saja ia berdesis, “Kenapa kau berpakaian seperti itu.”

“Kenapa? Ya, kenapa? Bukankah aku berpakaian biasa?”

Hati anak muda itu kini menjadi semakin berdebaran. Pa¬kaian Sekar Mirah bukanlah pakaian gadis-gadis sewajarnya. Di atas Tanah Perdikan ini, hanya Pandan Wangi sajalah gadis yang mengenakan pakaian seperti yang dipakai oleh Sekar Mirah itu. Karena pakaian itu semula ditutupinya dengan kain panjang yang dipergunakannya sebagai selimut, maka anak muda itu tidak begitu memperhatikannya. Namun agaknya cara berpakaian gadis ini telah menunjukkan suatu ciri yang lain dari gadis-gadis kebanyakan.

“Kenapa kau termenung? Apakah kau tidak mau aku ba¬wa pulang, dan aku jadikan adik laki-laki.”

Jantung anak muda itu kini menjadi semakin cepat ber¬dentang. Tetapi tiba-tiba ia menggeram, “Persetan dengan kau. Aku tidak peduli siapa kau dan kenapa kau berpakaian seperti seorang laki-laki. Tetapi aku tahu pasti, kau seorang gadis. Dengan demikian aku memerlukan kau. Mau tidak mau, kau harus aku bawa ke luar dari tempat ini. Aku dapat membuat kau pingsan, kemudian aku dukung kau ke luar dari dalam bilik ini lewat atap.”

“Aku tidak dapat membayangkan, apakah kau benar-benar da¬pat melakukannya. Kalau tanganmu memegangi tubuhku, bagai¬mana kau dapat memanjat.”

“Gila,” anak muda itu menggeram. Matanya menjadi nanar memperhatikan barang-barang yang ada di dalam bilik itu. Ia ingin mendapat alat yang dapat dipakainya untuk memanjat atap. Tetapi ia tidak melihat sesuatu kecuali sebuah geledeg bambu yang tua.

“Nah, apakah kau menemukan jalan keluar.”

“Gila,” ia menggeram, dan tiba-tiba ia menjadi liar, “aku tidak akan membawamu ke luar.”

“Lalu?”

“Aku memerlukan kau sekarang.”

“Gila,” tiba-tiba wajah Sekar Mirah menjadi merah, “sebaiknya kau pikirkan setiap kalimat yang kau ucapkan.”

“Persetan. Jangan banyak tingkah, supaya aku tidak men¬jadi kasar.”

Sekar Mirah mengerutkan keningnya, ketika ia melihat anak muda itu melangkah maju. Matanya seakan-akan telah menyala dan nafasnya menjadi terengah-engah.

Sekar Mirah surut selangkah. Tetapi ia tidak dapat mundur lagi karena ia sudah berdiri melekat pinggir pembaringannya. Karena itu, ia hanya dapat berdiri dengan tegang memandangi anak muda yang seakan-akan ingin menelannya bulat-bulat itu.

Sekar Mirah menjadi ngeri juga melihat sorot mata anak muda itu, sehingga kulitnya serasa meremang. Terkenang sesaat tingkah laku Alap-alap Jalatunda di Padepokan Tambak Wedi, ketika ia diambil oleh Sidanti dari Sangkal Putung.

Tetapi Sekar Mirah sekarang bukanlah Sekar Mirah yang dahulu.

Anak muda itu menjadi semakin dekat kepadanya. Terde¬ngar kemudian ia berdesis, “Kau lebih baik tidak menolak. Aku memang tidak akan dapat membawamu ke mana saja. Tetapi se¬karang kita cukup waktu. Prastawa masih harus menyelesaikan persoalannya dengan ayah dan ibunya.”

Tetapi Sekar Mirah menggelengkan kepalanya. Katanya, “Kau jangan menjadi gila dan liar. Ingat, di sekitar rumah ini para pengawal bertebaran di segala sudut dan hampir di setiap jengkal tanah.”

“Aku tidak peduli.”

“Jangan,” desis Sekar Mirah.

Namun orang itu justru menjadi semakin liar. Matanya menjadi merah dan dadanya berdentangan tidak menentu.

“Jangan menolak.”

“Jangan.”

“Aku tidak dapat dicegah lagi.”

“Aku dapat berteriak.”

“Aku akan membungkam mulutmu.”

Sekar Mirah mengerutkan keningnya. Menilik sorot mata¬nya, anak muda itu memang tidak akan dapat dicegah lagi.

Belum lagi Sekar Mirah berbuat apa-apa, maka tiba-tiba saja anak muda itu meloncat menerkamnya. Menurut perhitungannya. Se¬kar Mirah tidak akan dapat lolos lagi, karena ia sudah berdiri melekat pembaringan.

Tetapi anak muda itu terkejut, ketika tanpa disangka-sangka ia merasa tangannya yang terulur itu terdorong ke samping. De¬mikian keras dan apalagi didorong oleh kekuatannva sendiri, sehingga anak muda itu terhuyung-huyung membentur dinding kayu.

“He,” bertanya Sekar Mirah, “kenapa kau?”

Anak muda itu menggeram. Tetapi otaknya telah menjadi gelap sehingga ia tidak segera dapat menilai apa yang telah ter¬jadi. Karena itu, maka sekali lagi ia bersiap. Dengan tangan gemetar ia menunjuk wajah Sekar Mirah, “Kau mau mengelak, he? Kaulah yang memulainya, sehingga kau tidak akan dapat menghentikannya sekarang sebelum aku menjadi puas.”

Sekar Mirah mengerutkan keningnya. Dengan sudut mata¬nya ia memandang gulungan tikar di pinggir pembaringannya. Di situlah senjatanya disimpan.

“Aku belum tahu, apakah yang dapat dilakukan oleh anak ini,” katanya di dalam hati. “Tetapi agaknya ia sudah kehilang¬an akal, sehingga tidak akan terlampau sulit mengurusnya.”

Sebenarnyalah bahwa anak muda itu sudah kehilangan akal. Ia sudah tidak tahu lagi apa saja yang mungkin dapat terjadi.

Sementara itu, Prastawa dengan ragu-ragu berdiri di sisi pembaringan ibunya. Tampaknya ibunya tidur terlampau nyenyak. Selama ini Nyai Argajaya memang tidak pernah dapat tidur senyenyak itu. Namun agaknya kedatangan suaminya telah membuat hatinya menjadi lebih tenteram, meskipun masih juga di¬bayangi oleh ketidak-tentuan. Karena itulah maka malam itu ia dapat tidur dengan nyenyaknya.

Sekali-sekali Prastawa menjulurkan tangannya untuk membangunkannya, namun setiap kali tangannya itu ditariknya kem¬bali. Betapa pun juga perempuan yang tidur itu adalah ibunya.

Tetapi ketika teringat akan maksudnya memasuki rumah itu, maka anak muda itu pun menggeretakkan giginya, seolah-olah ia sedang mengumpulkan kekuatan yang ada di dalam dirinya untuk mengatasi getar perasaannya sebagai seorang anak.

Sejenak ia masih diam mematung. Namun sejenak kemudian ia melangkah maju. Dengan tangan gemetar akhirnya ia menyen¬tuh kaki ibunya yang sedang tidur dengan nyenyaknya itu.

Sentuhan itu agaknya telah membagunkan ibunya. Dikedip-kedipkannya matanya yang buram. Seperti bermimpi ia melihat anaknya berdiri tegak di hadapannya.

“Kau, kaukah itu?”

“Ya, Ibu.”

“O,” dengan serta-merta ibunya bangkit, lalu katanya, “kali ini kau tidak boleh pergi lagi, Prastawa. Ayahmu telah kem¬bali. Apakah kau sudah mengetahuinya.”

“Sudah, Ibu.”

“Kau sudah menemuinya?”

Anak muda itu menggelengkan kepalanya.

“Ayahmu ada di ruang dalam,” tiba-tiba ia mengerutkan ke¬ningnya. Sejenak kemudian ia bertanya, “Dari mana kau masuk?”

“Dari lubang itu.”

“Dan kau turun di bilik ibu?”

“Ya, Ibu.”

“Di bilik itu ada seorang gadis yang sedang tidur. Aku lupa mengatakannya, bahwa di atas atap ada sebuah lubang yang dapat ditutup dan dibuka. O, kalau ia tahu, ia pasti akan sangat terkejut.”

“Gadis itu sudah tahu, Ibu.”

“He, dan gadis itu tidak berteriak.”

Anak muda itu mengerutkan keningnya, Tiba-tiba saja tim¬bul pertanyaan di dalam hatinya, “Ya, gadis itu tidak berteriak. Tampaknya gadis itu seolah-olah justru menunggu kedatangan ka¬mi. Aneh.”

“Bagaimana dengan gadis itu? Apakah kau …….” suara ibunya terputus.

“Maksud ibu, aku telah membunuhnya?”

Ibunya mengangguk lemah.

“Tidak, Ibu. Gadis itu masih ada di dalam biliknya. Ia tidak terkejut sama sekali melihat kehadiranku.”

Nyai Argajaya mengerutkan keningnya. Sejenak ia terdiam sambil menatap wajah anaknya, seakan-akan ia tidak percaya pada keterangannya.

“Aku berkata sebenarnya, Ibu,” seolah-olah anaknya itu pun mengerti apa yang tersirat di dalam hatinya.

“Lalu apakah yang dilakukannya sekarang?”

“Ia masih ada di dalam bilik itu bersama seorang kawanku.”

“He? Jadi kau datang tidak seorang diri?”

“Tidak. Aku datang bersama kawanku. Ia ada di dalam bi¬lik bersama gadis itu.”

“Lalu, lalu apakah yang mereka lakukan? Maksudku, apa¬kah anak muda itu telah membunuh atau mengancam gadis itu?”

“Tetapi gadis itu bersikap baik kepada kami. Ia menge¬tahui kami memasuki ruangan itu. Sambil tersenyum-senyum ia mempersilahkan kami.”

“Ah,” Nyai Argajaya menjadi bingung, “aku tidak me¬ngerti apa yang kau katakan.”

“Sudahlah, jangan hiraukan gadis itu. Ia sudah ada yang mengawaninya. Agaknya gadis itu pun senang mendapatkan se¬orang kawan.”

“Tentu tidak. Aku tidak percaya bahwa ia senang men¬dapatkan kawan. Kawan itu adalah kawan-kawanmu. Aku mengenal mereka.” Ibunya berhenti sejenak, “Sedang aku, orang tua ini pun ngeri melihat kawan-kawanmu dan sikapnya yang liar.”

“Ibu.”

“Tetapi, bukankah kau tidak akan pergi lagi dari rumah ini? Kalau kawanmu itu bersedia, biarlah ia tinggal di sini pula, asal ia tidak membuat keributan. Biarlah ayahmu yang menanggungnya.”

“Tidak!” tiba-tiba anak itu membentak, sehingga ibunya terkejut karenanya.

“O,” Prastawa tergagap, “bukan maksudku mengejut¬kan Ibu. Tetapi kami tidak akan menetap. Kami datang untuk menjemput ayah agar ayah bersedia membantu kami.”

“Prastawa,” ibunya terkejut bukan buatan sehingga ke¬mudian ia berdiri saja dengan mulut ternganga.

“Ibu tidak usah menyingkirkannya. Ini adalah persoalan laki-laki. Kami sudah terlanjur mengangkat senjata. Ayahlah yang pertama-tama telah memulainya. Tetapi kini kamilah yang mendapat kesulitan karenanya Kakang Sidanti sudah terbunuh, orang-orang lain yang memimpin perjuangan ini pun telah terbunuh pula. Apakah ayah akan sampai hati mendapat pengampunan dari Ki Argapati, lalu duduk memeluk lutut di rumah ini sementara sisa-sisa pasukan¬nya berkeliaran dan selalu dikejar-kejar saja oleh para pengawal Menoreh?”

“Jangan. Jangan, Anakku. Baik kau mau pun ayahmu, se¬baiknya tidak memulainya lagi. Aku sudah cukup lama mende¬rita karena pertengkaran antara Kakang Argapati dengan ayahmu itu.”

“Ibu adalah seorang perempuan. Ibu tidak banyak me¬ngerti, kenapa kami berperang.”

“Apakah kau sendiri mengerti kenapa kalian berperang?”

Anak muda itu mengerutkan keningnya. Kemudian menarik nafas dalam.

“Tidak, Anakku. Kau tidak boleh terseret oleh arus yang tidak kau mengerti,” berkata ibunya. “Aku yakin kalau ayah¬mu dahulu mempunyai sesuatu pamrih kenapa ia memulainya. Tetapi kini ayahmu sudah berhasil menempatkan dirinya di dalam suatu keadaan yang mau tidak mau harus diakuinya seba¬gai suatu kenyataan.”

Prastawa berdiri mematung. Ditatapnya nyala api yang bergetar disentuh angin malam yang bertiup menyusup dinding.

Tiba-tiba ia menggeram, “Hatiku sudah terbakar. Hati ini sudah terlanjur menyala, dan tidak akan dapat dipadamkan lagi.”

“Jangan begitu, Anakku. Jangan mengeraskan hati di jalan yang sesat.”

“Aku tidak pernah merasa sesat jalan. Ayahlah yang membawa aku memasuki ujung jalan ini. Dan sekarang, aku ha¬rus berjalan sampai ke ujung yang lain.”

“Kau keliru. Ayahmu telah melihat jalan simpang yang dapat menyelamatkan dirinya.”

“Ayah hanya sekedar mementingkan diri sendiri.”

“Tidak, justru keselamatan rakyat Menoreh yang ter¬sisa. Yang tidak ikut menjadi abu karena api yang telah mem¬bakar Tanah Perdikan ini.”

“Itu sikap pengecut.”

Dan tiba-tiba keduanya terkejut ketika mereka mendengar sua¬ra yang serak di muka pintu, “Jadi kau datang untuk menjemput ayahmu sebagai seorang pengecut.”

Prastawa dan ibunya serentak berpaling. Dada mereka ber¬desir ketika mereka melihat Ki Argajaya berdiri di muka pintu dengan wajah yang suram.

Sejenak Prastawa terdiam. Namun sejenak kemudian ia berkata, “Ya. Ayah seorang pengecut.”

Di luar dugaannya, Ki Argajaya menganggukkan kepalanya, “Ya, aku memang seorang pengecut. Ternyata aku tidak berani melihat Tanah ini menjadi semakin lumat setelah kini menjadi abu.”

“Bohong! Ayah hanya sekedar mementingkan diri sendiri. Keselamatan Ayah sendiri.”

“Prastawa,” suara ayahnya merendah, “marilah, duduk¬lah di ruang dalam. Kita akan berbicara dengan baik. Aku dapat berbicara sebagai seorang ayah, dan kau sebagai seorang anak laki-laki.”

“Tidak. Itu tidak perlu. Aku hanya menuntut agar Ayah tetap ikut di dalam perjuangan ini. Kenapa Ayah tidak menerus¬kan perjuangannya sampai saat terakhir seperti Kakang Sidanti dan Ki Tambak Wedi? Nama mereka akan tetap dikenang. Kalau kami mendapat kemenangan, maka akan dibuat masing-masing sebuah patung dan akan dipasang di gapura induk padukuhan Menoreh.”

Ki Argajaya menarik nafas dalam-dalam. Sejak sekian lama anaknya berada di dalam lingkungan itu, sehingga hatinya telah men¬jadi beku, terselubung oleh keputus-asaan yang menyeretnya ke dalam keadaannya itu. Tanpa harapan dan cita-cita.

Penyesalan yang dalam telah menikam jantung Ki Arga¬jaya. Anak itu tinggallah satu-satunya anaknya sejak anak perem¬puannya meninggal dunia. Tetapi ia sendiri telah menjerumus¬kannya ke dalam suatu keadaan yang hitam kelam, sehingga anak itu sendiri tidak dapat melihat hari depannya sama sekali.

“Aku memang salah langkah,” katanya di dalam hati. “Maksudku memang merintis jalan bagi anak itu. Tetapi, karena aku tidak berjalan di jalan yang benar, akhirnya aku justru ter¬pelanting ke dalam keadaan yang sangat pahit.”

Ki Argajaya terkejut ketika ia mendengar anaknya ber¬kata, “Bagaimana, Ayah? Apakah Ayah sependapat dengan aku, bahwa perjuangan ini harus diteruskan?”

“Prastawa,” suara Ki Argajaya merendah, “marilah duduk di sini. Bukankah kau tidak tergesa-gesa?”

“Aku tergesa-gesa. Kawanku menunggu aku di bilik ibu.”

“He,” Ki Argajaya mengerutkan keningnya, “maksud¬mu, kau membawa seorang kawan yang kini berada di bilik itu.”

“Ya. Biarlah ia menunggui gadis itu. Kami tidak tahu, apakah yang dapat dilakukannya. Apakah ia akan berteriak, atau ia memang mengharapkan kedatangan seorang laki-laki.”

Ki Argajaya termenung sejenak. Lalu, “Marilah, kau dan kawanmu aku persilahkan duduk sebentar. Yang kita bicarakan adalah masalah yang penting. Sudah tentu tidak dengan cara ini. Berdiri dengan tegang di tengah-tengah pintu.”

Prastawa merenung sejenak. Namun kemudian ia mengge¬leng sambil menghentakkan perasaan sendiri yang mulai tersentuh-sentuh kata-kata orang tuanya, “Tidak. Aku tidak akan duduk. Aku tetap di sini.”

“Tetapi kawanmu itu Prastawa. Sebaiknya kita berbicara sambil mengendapkan perasaan sendiri yang mulai terbuka sehingga aku mengerti keadaanmu yang sebenarnya dan kau mengerti keadaanku yang sebenarnya. Dengan demikian kita akan dapat mengambil kesimpulan daripadanya.”

Prastawa masih termenung.

“Marilah,” ayahnya pun kemudian menarik tangan anak itu. Selangkah Prastawa mengikutinya. Tetapi kemudan ia me¬nyentakkan tangannya sambil berkata, “Tidak! Aku tidak mau.”

Ki Argajaya berdiri membeku. Ditatapnya wajah anak itu sejenak. Kemudian perlahan-lahan ia mengangguk-anggukkan kepalanya sambil menarik nafas dalam-dalam.

“Sudah sewajarnya ia bersikap begitu,” berkata di dalam hati. Ia memang tidak dapat ingkar, bahwa ia telah menjerumus¬kan anaknya ke dalam keadaannya yang sekarang.

Tetapi Prastawa itu tidak dapat mengelak ketika ibunya mendekatinya dan berbisik di telinganya, “Marilah bersama ibu, Ngger.”

Prastawa tidak mempunyai kekuatan yang cukup untuk mengibaskan tangan ibunya. Meskipun ia mencoba bertahan di tempatnya, ketika ibunya menariknya, namun kemudian Prastawa pun melangkah mengikutinya.

Ki Argajaya menarik nafas dalam-dalam. Ia melangkah di belakang anaknya yang berjalan bersama ibunya ke ruang tengah.

“O, Kiai sudah bangun?” bertanya Nyai Argajaya.

“Apakah ada tamu malam-malam begini?” bertanya Sumangkar yang telah duduk di pinggir amben.

“Anakku, Kiai,” jawab Nyai Argajaya yang masih membimbing Prastawa.

“O,” Sumangkar mengangguk-anggukkan kepalanya.

“Ini tamu ayahmu, Ngger,” berkata Nyai Argajaya kepa¬da anaknya.

“Apakah orang ini termasuk pengawal yang mengawasi Ayah di sini?”

“Ia tamuku, Prastawa,” sahut ayahnya. “Ia bukan orang Menoreh.”

Anak muda itu mengerutkan keningnya. Tiba-tiba ia melangkah surut sambil berkata, “Inikah orang-orang asing yang ikut campur dalam persoalan Menoreh?”

Sumangkar mengerutkan keningnya. Kemudian ia pun terse¬nyum sambil berkata, “Aku belum lama berada di sini, Anakmas. Aku datang setelah keadaan menjadi baik kembali. Bahkan aku tidak melihat apa yang telah terjadi di sini.”

Prastawa mengerutkan keningnya. Katanya kemudian, “Ha, sekarang aku tahu. Kau dan anak perempuan itu pasti datang bersama Ayah dan para pengawal. Tentu.”

Sumangkar mengangguk-anggukkan kepalanya, “Memang aku dan anakku datang bersama Ki Argajaya. Tetapi kami tidak ikut campur tentang keadaan di atas Tanah Perdikan ini.”

“Sudahlah, Ngger,” berkata ibunya, “jangan hiraukan apa pun juga. Duduklah. Rumah ini adalah rumahmu, milikmu. Sekarang kau berada di rumahmu sendiri. Karena itu jangan gelisah.”

Prastawa masih tetap berdiri di tempatnya.

“Duduklah. Marilah kita berbicara. Apakah kita akan menemukan persesuaian atau tidak, terserahlah kepada keadaan nanti. Tetapi marilah kita mulai dengan hati yang bening, niat yang baik dan harapan-harapan yang dapat memberikan ketenteraman hati. Terutama perempuan-perempuan tua seperti aku.”

Prastawa masih berdiri di tempatnya. Tetapi perlahan-lahan ia berdesis, “Aku tidak datang seorang diri.”

“Marilah kita panggil kawanmu itu.”

“Ia ada di dalam bilik Ibu.”

Dada Nyai Argajaya menjadi berdebar-debar. Sekilas dipandanginya Ki Sumangkar. Tetapi kemudian ia berkata, “Marilah, ber¬sama Ibu.”

Keduanya pun kemudian berjalan ke bilik yang dipergunakan oleh Sekar Mirah. Dalam pada itu, detak jantung Nyai Argajaya menjadi semakin cepat. Ia tidak berani membayangkan apa yang telah terjadi di dalam bilik itu.

“Seandainya kawan Prastawa menjadi gila dan liar, maka malanglah nasib gadis itu.”

Tetapi Nyai Argajaya tidak mengatakannya, meskipun se¬makin dekat mereka dengan daun pintu yang tertutup hatinya menjadi semakin berdebar-debar.

Sejenak kemudian mereka sudah berdiri di depan pintu. Mereka sama sekali tidak mendengar suara apa pun dari dalam. Sepi.

Putera Ki Argajaya pun menjadi termangu-mangu. Kawannya memang bukan seorang anak muda yang jinak. Orang itu kadang-kadang dapat berbuat liar dan bahkan dapat menjadi buas.

“Apakah yang dilakukan oleh kawanmu itu?” bisik Nyai Argajaya.

Prastawa tidak menyahut. Tetapi perlahan-lahan diketuknya pintu bilik yang tertutup itu.

Tetapi agaknya Nyai Argajaya tidak sabar menunggu. Dengan suara serak ia berkata, “Buka, bukalah.”

Seperti didorong oleh sesuatu yang tidak dimengertinya. Prastawa pun mendorong pintu bilik itu sehingga menganga lebar.

Sejenak mereka berdua dicengkam oleh pemandangan, yang membingungkan sehingga nafas mereka terhenti. Dengan mata terbelalak mereka menyaksikan peristiwa yaag sama sekali tidak mereka duga.

“Bagaimana hal ini dapat terjadi?” desis Nyai Argajaya. Prastawa pun kemudian maju selangkah. Diamatinya sesosok tubuh yang terbaring di lantai. Pingsan.

“Apa yang sudah kau lakukan atasnya,” putera Ki Arga¬jaya itu bertanya.

Sejenak bilik itu dicengkam oleh kesenyapan. Namun kemu¬dian terdengar jawaban, “Aku tidak sengaja. Aku hanya me¬nyentuh dadanya. Aku kira ia mempunyai kekuatan yang dapat dibanggakan.”

Nyai Argajaya masih memandanginya dengan mulut ternga¬nga. Ternyata gadis yang menempati biliknya itu adalah seorang gadis yang luar basa. Dengan tenangnya gadis itu duduk di pinggir pembaringannya.

“Aku hanya sekedar membela diri,” berkata Sekar Mirah selanjutnya. “Ia akan melakukan perbuatan yang terkutuk. Aku menolak tubuhnya. Tetapi ia menerkam seperti serigala lapar. Tanpa aku sengaja, agaknya aku sudah memukul dadanya. Hanya sekali, dan kawanmu ini menjadi pingsan.”

Prastawa menggeram. Tiba-tiba saja ia membentak, “Perem¬puan gila. Kau sangka kau dapat menakut-nakuti aku dengan ceriteramu itu. Kau pasti telah membujuknya sehingga ia menjadi lengah. Kemudian selagi ia lengah, kau sudah mengkhianatinya.”

Sekar Mirah menggeleng, “Tidak. Bukan begitu. Aku sama sekali tidak berbuat curang. Aku menyerangnya beradu dada. Bahkan anak inilah yang telah menyerang aku lebih dahulu.”

“Aku tidak percaya. Kau harus menebus dosamu itu.”

“He, kenapa kau marah kepadaku?” berkata Sekar Mirah, “Kenapa kau tidak menghukum kawanmu yang bertindak tidak sepantasnya?”

“Bohong! Bohong kau!”

Tiba-tiba saja Prastawa meloncat maju selangkah ke depan Sekar Mirah sambil berkata, “Jangan ingkar. Kau tidak dapat lari lagi.”

“Prastawa,” panggil ibunya, “kenapa kau menjadi gila? Gadis ini adalah tamuku.”

“Aku tidak peduli. Tetapi ia sudah mengkhianati kawanku. Itu berarti mengkhianati aku pula.”

“Tidak. Kau belum mengetahui keadaan yang sebenarnya. Jangan terburu nafsu.”

“Aku akan menghukumnya.”

Tiba-tiba mereka pun tertegun. Serentak mereka berpaling. Di muka pintu telah berdiri Ki Argajaya dan Sumangkar.

“Gadis itu tamuku, Prastawa.”

“Aku tidak peduli. Aku tidak peduli. Ia sudah menghina kawanku. Itu berarti aku dan seluruh kelompokku terhina pula.”

“Kawanmulah yang mencari perkara,” berkata Sekar Mirah. “Kalau ia dapat berlaku sedikit sopan, maka aku kira tidak akan terjadi sesuatu atasnya.”

Tetapi Prastawa sudah tidak mendengarkan lagi. Sambil menggeram ia beringsut setapak, “Aku akan menuntut.”

“Prastawa,” desis Ki Argajaya.

Namun mereka menjadi heran ketika Ki Sumangkar justru berkata, “Apakah kau benar-benar berbuat salah, Sekar Mirah.”

“Tidak. Aku hanya sekedar membela diri.”

“Tidak mungkin,” potong Prastawa. “Kawanku adalah seorang yang mempunyai kekuatan dan kemampuan cukup. Apa¬kah gadis ini dapat membuatnya pingsan tanpa perlawanan apa¬ pun? Aku sudah pasti, ia telah merayunya, kemudian melakukan perbuatan yang menyinggung perasaan ini.”

“Jangan berprasangka, Prastawa,” sahut Ki Argajaya.

“Aku tidak peduli. Jangankan gadis yang tidak aku kenal. Seisi rumah ini, bahkan Ayah sekalipun, apabila berani menghalang-halangi aku, aku tidak akan memaafkannya.”

Ketika Ki Argajaya akan menjawab lagi, Ki Sumangkar menggamitnya sambil berkata, “Baiklah. Kalau anakku memang bersalah, kau dapat menghukumnya. Tetapi hukuman apa yang akan kau berikan?”

Pertanyaan itu telah membuat Prastawa menjadi bingung. Tanpa sesadarnya ia memandang wajah Sekar Mirah yang se¬dang memandanginya pula, sehingga tatapan mata mereka ber¬temu.

Dengan serta-merta keduanya melemparkan pandangan ma¬tanya ke samping. Namun untuk melepaskan desir jantungnya yang serasa menekan seisi dada, anak muda itu berkata, “Aku akan membunuhnya.”

“Benarkah begitu?” bertanya Sumangkar.

Prastawa menjadi ragu-ragu. Dan sebelum ia sempat menjawab, ibunya berkata, “Kau jangan kehilangan akal anakku. Jangan berbuat sebodoh itu.”

Prastawa mengerutkan keningnya. Ia mencoba untuk ber¬tahan pada pendiriannya. Tetapi sesuatu telah mengaburkan¬nya, sehingga untuk sesaat ia hanya berdiam diri saja.

“Sudahlah. Marilah kita rawat kawanmu itu,” berkata ibunya.

Namun justru dengan demikian, harga diri Prastawa tumbuh kembali, bahkan mencengkam dengan dahsyat. Katanya, “Aku akan menghukumnya. Benar-benar menghukumnya dengan caraku. Aku akan membawanya kepada kawan-kawanku dan memberitahukan kepada mereka apa yang sudah terjadi. Terserahlah kepada me¬reka, apa yang akan mereka lakukan atas gadis ini sebagai hukumannya.”

Kata-kata Prastawa itu benar-benar telah mengejutkan ibu dan ayah¬nya. Namun justru dengan demikian mereka untuk sesaat terdiam mematung. Dengan mata yang hampir tidak berkedip di¬pandanginya anaknya, kemudian Sekar Mirah dan Sumangkar.

Namun dalam keadaan yang demikian itu Sumangkar justru tersenyum, katanya, “Kau mempersulit dirimu sendiri, Anak Muda. Bagaimana kau dapat membawanya ke luar dari ruangan ini?”

Prastawa mengerutkan keningnya. Memang tidak mudah membawa gadis itu keluar dari lingkungan para pengawal di halaman rumah ini.

“Sudahlah, Prastawa,” berkata ibunya. “Kau selalu di¬bayangi oleh dendam yang tidak kunjung padam. Kini tamu yang tidak mengerti apa pun yang terjadi di atas rumah ini, kau jadi¬kan sasaran perasaan dendammu itu.”

“He, apakah gadis ini tidak berbuat apa-apa? Ia sudah me¬rayu kawanku, kemudian mencelakakannya?”

“Tentu tidak,” berkata Sumangkar. “Anakku tidak akan berbuat demikian. Aku yakin bahwa ia tidak berbohong.”

“Aku yakin ia berbohong. Kawanku bukan seorang anak ingusan yang begitu saja dapat dibuatnya pingsan.”
Sumangkar menarik nafas dalam-dalam. Sejenak ia merenung, apakah yang harus dikatakan. Namun kemudian ia tersenyum pula, “Bagaimana gadis itu harus membuktikan bahwa ia ber¬kata sebenarnya? Kalau kawanmu ini nanti sadar, barangkali kau dapat melihatnya sendiri, bahwa anak gadisku itu tidak ber¬bohong.”

Tetapi Prastawa tidak mendengarkannya. Tiba-tiba ia menarik pedangnya dan langsung meloncat maju mendekati Sekar Mirah lebih dekat lagi. Tiba-tiba pula ujung pedangnya sudah merunduk ke dada gadis itu.

“Nah, lihat. Aku mempunyai cara yang menarik untuk membawanya ke luar,” berkata Prastawa.

Semuanya yang menyaksikan hal itu terkejut bukan buatan. Sekar Mirah sendiri pun terkejut pula. Hampir saja ia meloncat dan menangkap pergelangan tangan anak muda itu. Tetapi se¬bagai isyarat Sumangkar menggeleng lemah. Sehingga dengan demikian Sekar Mirah pun mengurungkan niatnya. Namun matanya kini tidak berkisar dari tangan anak muda itu. Setiap ge¬rakan yang terlontar di luar sadarnya mungkin sekali akan me¬robek dada gadis itu. Karena itu Sekar Mirah menjadi tegang dan siap untuk melakukan segala usaha untuk menyelamatkan diri apabila keadaan memaksanya.

Sejenak ia memandang Prastawa, kemudian gurunya yang berkerut-merut. Namun tatapan matanya segera kembali ke tangan putera Ki Argajaya.

“Prastawa,” berkata ibunya, “apakah kau benar-benar sudah kehilangan akal.”

“Tidak. Aku akan membawa gadis ini. Tidak seorang pun yang akan berani mengganggu aku, apabila dengan ujung pedang aku menggiringnya ke luar halaman. Setiap tindakan yang men¬curigakan, akibatnya akan menimpa gadis yang malang ini.”

Sejenak mereka termangu-mangu. Ujung senjata Prastawa telah bergetar seperti getar di dalam jantungnya.

Dengan nada yang tinggi ia berkata, “Ayo, tolonglah ka¬wanku itu, supaya ia segera sadar. Aku akan segera meninggal¬kan tempat terkutuk ini. Mungkin gadis ini akan berguna di persembunyianku.”

Dada Ki Argajaya dan isteterinya menjadi berdentangan karenanya. Namun Sumangkar tampaknya masih tetap tenang. Ia yakin bahwa Sekar Mirah tidak akan terlampau banyak menda¬pat kesulitan.

“Berdirilah,” berkata Prastawa.

Sumangkar mengangguk kecil kepada Sekar Mirah. Ia akan mendapat lebih banyak kesempatan, apabila Prastawa akan mem¬bawanya ke luar bilik.

Sekar Mirah pun kemudian berdiri. Seperti yang diduga oleh Sumangkar, Prastawa pun berkata, “Keluar dari bilik ini, supa¬ya kawanku itu segera mendapat pertolongan.”

Sekar Mirah tidak membantah. Ia melangkah maju mengi¬tari tubuh yang masih terbaring di lantai bilik itu. Dengan sudut matanya ia memandang gulungan ujung tikar di pembaringan, tempat ia menyimpan senjatanya.

Sumangkar mengerti iyarat itu, dan ia pun menganggukkan kepalanya.

“Biarlah aku tolong anak muda ini,” berkata Sumangkar. Ki Argajaya ragu-ragu sejenak. Tetapi ia pun bukan orang yang terlampau bodoh menghadapi keadaan itu. Ia menyadari keadaan Sekar Mirah, sehingga ia pun tanggap akan keadaan, bahwa Se¬kar Mirah memang memiliki kemampuan untuk menjaga dirinya.

Dengan berbagai cara, Sumangkar menolong kawan Pras¬tawa. Digosoknya telinga orang itu dengan minyak, kemudian diangkatnya tangannya tinggi-tinggi berulang kali.

Sejenak kemudian orang itu pun menarik nafas. Perlahan-lahan ia bergerak. Ketika ia membuka matanya, ia terkejut melihat beberapa orang berdiri di sampingnya. Mula-mula kabur, seperti bayangan-bayangan raksasa yang berdiri dekat di sisinya. Namun kemudian pandangan matanya menjadi semakin jelas, sehingga akhirnya ia melihat Ki Argajaya, Nyai Argajaya, dan seorang laki-laki yang tidak dikenalnya, sedang Sekar Mirah dan Prastawa tidak ada di dalam bilik itu.

Dengan kekuatannya yang belum pulih kembali ia men¬coba berdiri. Tertatih-tatih ia berpegangan pada tiang pintu.

“Di mana Prastawa?” ia menggeram.

Prastawa yang berada di luar pintu mendengar pertanyaan itu, sehingga ia pun menjawab, “Aku di sini. Gadis keparat itu ada di sini pula.”

“O,” kawannya berdesis. Sejenak ia menggosok-gosok mata¬nya, kemudian katanya, “aku telah lengah ketika ia memukul dadaku.”

Tidak seorang pun yang menyahut. Ki Argajaya, isterinya, dan Sumangkar membiarkannya ketika anak muda itu dengan langkah yang belum tegak benar keluar dari bilik itu. Sejenak ia berdiri termangu-mangu. kemudian sambil memandangi Sekar Mirah ia berkata, “Bagus. Kau berhasil menguasai gadis itu. Ia ter¬nyata terlampau garang.”

Sekar Mirah masih berdiri di tempatnya. Sekali-sekali ia memandang tangan Prastawa, dan kadang-kadang dipandanginya wajah anak muda yang baru saja sadar dari pingsan itu.

Gadis itu masih saja ragu-ragu, apa yang akan dilakukannya. Dalam pada itu, Ki Argajaya bersama isterinya dan Sumangkar pun telah keluar pula dari dalam bilik.

“Prastawa,” berkata ibunya, “sekali lagi aku meng¬harap, kau jangan dibayangi oleh perasaan dendammu. Duduk¬lah, dan berbicaralah dengan ayahmu. Di saat terakhir keadaan Tanah Perdikan ini sudah berangsur menjadi baik, tetapi apakah tidak demikian dengan seisi rumah ini? Apalagi kini kau mem¬buat persoalan baru dengan tamu-tamu ayahmu.”

“Aku tidak peduli,” jawab Prastawa. “Sudah aku kata¬kan, aku tidak akan menghentikan perjuangan. Sekarang aku akan mendengar keputusan Ayah sebelum aku pergi membawa gadis ini.”

“Keputusan tentang apa, Prastawa?” bertanya ayahnya.

“Ayah harus pergi bersama dengan kami meneruskan perjuangan yang masih jauh dan belum selesai ini. Sepeninggal Kakang Sidanti dan gurunya, akulah yang mengambil alih pimpinan se¬belum Ayah dapat melakukannya.”

“O, kau masih belum melihat kenyataan ini,” berkata ayahnya. “Jangan keras hati seperti Sidanti.”

“Ia seorang yang teguh pada pendiriannya. Apakah aku harus berbuat seperti Ayah? Seperti seorang pengecut.”

“Prastawa,” berkata Ki Argajaya, “dengarlah. Kita sebaiknya berbicara dengan tenang.”

“Tidak, dan aku tidak akan melepaskan gadis ini.”

Ki Argajaya menarik nafas dalam-dalam. Dan tiba-tiba saja ia berkata, “Prastawa, aku adalah ayahmu. Kau wajib mendengar kata-kataku.” Ia berhenti sejenak, lalu, “Aku memang bersalah membawamu dalam kekalutan di atas Tanah Perdikan ini. Tetapi itu suatu kekhilafan. Kini sudah tiba saatnya kita berani menilai diri kita sendiri. Dengan demikian kita akan dapat menen¬tukan sikap yang sebaik-baiknya. Sebaik-baiknya bagi kita sendiri dan terutama sebaik-baiknya bagi Tanah Perdikan Menoreh. Apakah yang dapat kau capai dengan petualangan yang tidak kunjung selesai itu, selagi dendam masih tetap menyala di hati? Prastawa, api yang membakar Tanah ini sudah padam. Tetapi api dendam di dadamu masih tetap kau hembus-hembus dengan segala macam alasan.”

Prastawa termenung sejenak. Namun kemudian ia menjawab, “Ayah mengajari aku memberontak terhadap Paman Argapati. Dan kini Ayah mengajari aku mengkhianati kawan-kawanku.”

Jantung Argajaya serasa tertusuk ujung duri. Sakit sekali. Tetapi ia menganggukkan kepalanya sambil menjawab. “Kalau sikapku kau artikan demikian, kau tidak terlampau salah. Tetapi aku harus melihat alasan dari kedua sikapku itu. Yang pertama, aku mengajarimu memberontak karena aku dipacu oleh nafsu yang tidak terkendali. Nafsu untuk berkuasa, nafsu untuk dihormati, dan nafsu lain-lain yang sebenarnya hanya sekedar nafsu pemanjaan badani. Kini aku menyadari, bahwa nafsu pemanjaan badani itulah yang sebenarnya telah menyeret aku ke dalam jurang yang kelam seperti sekarang. Dan kau yang masih memiliki hari depan yang jauh lebih panjang dari hari-hariku sendiri, ikut pula terjerumus ke dalam masa yang gelap.” Ki Argajaya ber¬henti sejenak, lalu, “Prastawa, sebenarnya apa yang aku laku¬kan itu semata-mata karena aku ingin melihat kau mendapat tempat yang baik di hari depanmu. Tetapi yang aku dapatkan justru sebaliknya.”

Prastawa merasakan suatu sentuhan di hatinya. Sebenarnya ia menyimpan juga suatu pengakuan di dalam hatinya, bahwa ayahnya telah melakukan sesuatu yang berbahaya untuk dirinya, untuk hari depannya. Tetapi usaha itu gagal, dan yang didapati¬nya adalah sebaliknya.

“Nah, kemudian terserah kepadamu, Prastawa. Apakah kau mau mendengar atau tidak. Menurut pendapatku, seumurmu itu sudah cukup dewasa untuk menilai keadaan. Apakah ayahmu benar-benar seorang pengkhianat seperti yang kau katakan, seorang pengecut, seorang pemberontak dan apa lagi, atau kau melihat sesuatu yang lain dari sebutan-sebutan itu.”

Prastawa tidak menyahut. Tampak keningnya berkerut-merut. Dengan hati yang suram ia mencoba menilai keadaan yang sedang dihadapinya.

Namun tiba-tiba ia mendengar kawannya berkata, “Prastawa, jangan terpengaruh. Kau harus tetap bersikap jantan seperti Si¬danti. Kalau Ki Argajaya akan berkhianat, biarlah ia berkhianat. Tetapi kita harus tetap di dalam garis perjuangan yang panjang. Pantang menyerah. Kita tidak segera akan mati besok atau lusa karena dimakan oleh umur. Kita masih cukup muda. Kita masih mempunyai banyak kesempatan. Hanya orang-orang pikun sajalah yang menyerah begitu saja kepada keadaan.”

Bagaimana pun juga, darah Ki Argajaya berdesir mendengar kata-kata itu. Anak muda itu bukan anaknya. Bukan sanak dan bu¬kan kadang. Namun demikian ia masih menahan diri. Kalau ia berbuat sesuatu atas anak muda itu, maka ia akan menggugah kemarahan Prastawa yang agaknya sudah mulai tersentuh oleh kata-katanya.

Tetapi ucapan kawannya itu telah melemparkan Prastawa kembali ke dalam suatu dunia yang gelap tanpa arah. Karena itu, maka ia pun kemudian berkata, “Benar. Aku bukan anak-anak yang dapat dibujuk dengan cara apa pun. Aku sudah dewasa, dan aku sudah cukup mampu menentukan sikap,” ia berhenti sejenak. Ditatapnya wajah ayahnya dan ibunya berganti-ganti. Kemudian, “Aku tetap pada pendirianku. Ayah harus memilih. Ikut aku se-bagai pejuang atau tinggal di sini sebagai pengkhianat. Namun dengan demikian Ayah harus menyadari hukuman apakah yang dapat diberikan kepada seorang pengkhianat.”

“Prastawa,” suara ibunyalah yang melengking dengan gemetar, “jangan berkata begitu. Kau tidak dapat melepaskan diri dari aliran darah ayah dan ibumu dalam tubuhmu. Kau adalah anakku dan anak ayahmu pula. Apa pun yang kami lakukan, aku dan ayahmu, tetapi kau adalah anak kami.”

Sekali lagi Prastawa terdiam. Ia memang tidak akan dapat lari dari kenyataan itu. Ia adalah anak ayah dan ibunya. Ba¬gaimana pun juga, dan apa pun yang telah mereka lakukan.

Namun dalam kebimbangan itu ia mendengar kawannya ber¬kata, “Lalu, apakah akibat dari hubungan itu di dalam perjua¬ngan ini. Argapati telah membunuh anaknya. Apakah Argapati tidak tahu bahwa Sidanti itu anaknya, dan apa pun yang telah dilakukannya, ia adalah anaknya, yang dialiri oleh darahnya?”

Terasa dada Argajaya terguncang. Meskipun ia dibebaskan oleh kakaknya dari segala tuntutan karena pengampunan, namun hukuman ini terasa amat menyiksanya. Anaknya sendiri sama sekali tidak menghargainya lagi. Bahkan anak itu telah mengan¬cam untuk membunuhnya.

“Nah, apa katamu?” bertanya kawan Prastawa itu.

“Kakang Argapati tidak membunuhnya,” berkata Arga¬jaya dengan suara yang serak.

“Omong kosong! Aku yakin, pasti Argapati sendiri yang membunuhnya karena anaknya telah dianggapnya berkhianat kepadanya.”

“Tidak. Yang membunuh Sidanti adalah Pandan Wangi. Itu pun tidak disengajanya. Ia tidak dapat menghindari hentakan gerak naluriahnya saat itu ketika justru Sidanti-lah yang akan membunuh Ki Argapati.”

“Seandainya benar, itu adalah perbuatan jantan. Dan Prastawa pun harus berani berbuat demikian.”

Ki Argajaya menekan dadanya dengan telapak tangannya.

“Nah, apa katamu sekarang,” anak muda kawan Pras¬tawa itu kini berdiri bertolak pinggang. “Aalian tidak akan da¬pat berbuat banyak. Gadis ini dapat mati tanpa arti sama sekali, kalau kalian mencoba untuk berbuat sesuatu. Kini sekali lagi kita akan menguji kejantanan Ki Argajaya. Apakah ia berani meng¬hadapi pertanggungan jawab ini, atau gadis inilah yang akan dijadikannya korban, untuk menyelamatkan dirinya.”

“Prastawa,” suara ibunya seolah-olah tersangkut di kerongkongan, “kau jangan mendengarkan kata-kata iblis itu.”

Prastawa mengerutkan keningnya.

“Kau adalah anakku. Aku mengandungmu, kemudian me¬lahirkan kau dengan susah payah, dibayangi maut. Tidak ubahnya seperti orang yang sedang berperang melawan musuh yang tidak tampak.”

“Maksud Ibu, musuh itu adalah aku yang akan lahir?”

“Bukan. Bukan begitu maksudku.”

“Jadi, aku sudah menyusahkan Ibu?”

“Tidak. Juga tidak,” jawab ibunya. “Aku menyambut kedatanganmu dengan harapan dan cita-cita, bahwa ada seseorang yang akan menyambung hidup kami kelak. Sakit dan cemas itu adalah tebusan dari harapan itu. Dan aku dengan senang hati telah menjalaninya.”

“Lalu, apa maksud, Ibu mengatakannya?”

“Prastawa, kemudian aku dan ayahmu mengasuhmu. Mem¬besarkan kau dengan cinta kasih. Apakah kau menyadari? Kalau kau sedang sakit, semalam suntuk aku mendukungmu, karena kau tidak mau diajak oleh orang lain. Dan apakah kau sangka ayahmu dapat tidur sekejap pun? Ayahmu adalah orang terhormat waktu itu. Ia mempunyai banyak pelayan dan pembantu. Ayah¬mu hampir tidak pernah turun ke sawah kalau bukan karena ke¬inginannya. Tetapi menunggui kau sakit, Prastawa, ayahmu tidak dapat menyuruh salah seorang pembantunya, atau bahkan sepuluh atau lima-puluh orang sekalipun. Kalau aku mendukung¬mu disaat kau sakit, ayahmu duduk betapa pun lelah dan kantuk¬nya, sampai saatnya kau tertidur. Dan hal ini harus dilakukannya sendiri, seperti yang dikehendakinya.”

Prastawa tidak segera menjawab. Perlahan-lahan kepalanya tertunduk. Meskipun samara-samar, ia masih dapat mengingat masa-masa ke¬cilnya itu.

Tetapi sekali lagi kawannya berkata, “Itu bukan salah Prastawa. Ia tidak minta dilahirkan. Ia tidak minta dipelihara dengan susah payah. Bukankah salah orang tuanya pula apabila ia lahir di dunia ini? Semua yang kalian lakukan, juga yang dila¬kukan oleh ayah dan ibuku atasku, adalah tanggung jawab orang-orang tua yang telah melahirkan kami.”

“O,” ibu Prastawa menutup mulutnya dengan kedua belah telapak tangannya, meskipun terdengar kata-katanya, “itukah anggapan anak-anak muda sekarang terhadap orang tuanya?”

“Sudah tentu,” jawab anak muda itu. “Kalian telah me¬lahirkan kami, maka kalian pulalah yang harus memenuhi kebu¬tuhan kami. Seperti kini yang diperlukan oleh Prastawa. Hal ini tidak akan terjadi apabila Prastawa tidak dilahirkan dan Ki Argajaya tidak menuntunnya ke jalan yang sekarang dilaluinya.”

Dada Ki Argajaya menjadi semakin pedih. Namun ternyata isterinya masih juga berkata, “Terserahlah pendapat apa yang ada di dalam kepalamu, Anak Muda, tetapi aku ingin mengajari anakku, bahwa bukan sekedar kemauan kamilah yang telah me¬lahirkannya. Seperti adanya isi dunia ini, maka adanya seseorang merupakan bagian daripadanya. Kami adalah lantaran-lantaran atas ke¬lahiran anak-anak kami. Tetapi asal kelahirannya sama sekali bukan dari kami. Memang kami dapat mencegah diri kami, agar kami tidak menjadi lantaran kelahiran seseorang dengan usaha-usaha badaniah, misalnya seseorang yang tidak kawin, tetapi kuwajiban manusia adalah mempertahankan adanya manusia di muka bumi seperti yang dikehendaki oleh Penciptanya. Prastawa, sebaiknya kau tidak mengikuti jalan pikiran duniawi itu. Jalan pikiran yang sama sekali tidak mempertimbangkan sumber hidup manusia itu sendiri. Tuhan mempercayai manusia untuk melahirkan manusia baru dengan kuwajiban-kuwajiban yang memang dibebankan kepadanya, tetapi manusia-manusia baru itu pun wajib menghargai lantaran kelahiran¬nya atas kekuasaan Tuhan dan atas kepercayaan Tuhan. Bukan¬kah begitu? Dan itu adalah orang tuamu. Ayah dan ibumu. Kalau kau merendahkan harga diri ayah dan ibumu, maka kau telah merendahkan kepercayaan sumber hidupmu atas kedua orang tuamu itu, lantaran-lantaran yang telah dipilihnya.”

Dada Prastawa menjadi berdebar-debar. Yang mengucapkan kata-kata itu adalah ibunya. Ibu yang melahirkannya.

Namun dalam pada itu kawan Prastawa itu pun menjadi ber¬debar pula. Kalau Prastawa terpengaruh oleh orang tuanya, maka ia akan mengalami kesulitan. Ia akan tersudut dan mung¬kin ia akan ditangkap.

Karena itu, maka ia masih berusaha membakar hati Pras¬tawa. Katanya, “Itulah pendapat orang-orang tua, Prastawa. Ia me¬nganggap bahwa kami, anak-anak muda adalah alat-alat untuk memuas¬kan diri. Orang-orang tua sama sekali tidak berbuat apa-apa atas kita tanpa niat mementingkan dirinya sendiri. Mereka ingin menda¬pat tempat bergantung. Kalau mereka berusaha agar kita menjadi manusia yang baik, terhormat dan bahkan kaya raya, adalah ka¬rena kepentingan mereka sendiri. Orang-orang tua itu akan mendapat pujian, dan kelak mendapat tempat di hari tuanya. Itulah sebab¬nya mereka bersusah payah berusaha agar kita menjadi manusia yang melampaui manusia lainnya. Seperti ayahmu yang menginginkan kau menjadi Kepala Tanah Perdikan ini misalnya. Sa¬ma sekali bukan karena kau, bukan karena kepentinganmu, tetapi karena nafsunya sendiri. Nafsu memuaskan diri sendiri itulah.”

“O,” desis ibu Prastawa, “bagaimana kau sampai pada pikiran itu?”

“Kenapa tidak? Ternyata orang-orang tualah yang berusaha menentukan jalan hidup anak-anaknya. Kalau mereka benar-benar mencintai anaknya tanpa pamrih, mereka pasti akan mengikuti jalan pikiran anak-anak muda dan berjuang untuk mereka sesuai dengan jalan, cara, dan cita-cita yang mereka kehendaki. Di sini anak menjadi tujuan pengabdian, bukan alat-alat membanggakan dan memuaskan diri sendiri.”

“Jadi menurut pikiranmu, kasih dan cinta orang tua itu akan melahirkan perbuatan-perbuatan tanpa pertimbagan, dan asal memberikan kepuasan bagi anak-anak mereka? Tidak, Anak Muda. Cinta bukanlah sekedar membenarkan semua perbuatan, memanjakan, dan tanpa arah. Itu salah. Aku memang mempunyai pamrih atas anakku. Tetapi itu untuk kepentingan anakku kelak. Bukan se¬kedar pamrih pribadi. Kalau aku sekedar memanjakan pamrih pribadi, aku dapat menahan kebaikan kepada orang-orang lain, tanpa memerlukan seorang anak pun.”
“Bohong! Semuanya bohong!” anak muda itu memotong. Lalu, “Sekarang, Prastawa, sebelum iblis merasuk ke dalam hati¬mu. Mari, kita keluar dari rumah ini. Sekarang kau harus bertanya, apakah Ki Argajaya bersedia pergi bersama kita atau ti¬dak. Gadis ini akan menjadi tanggungan.”

Kini Prastawa telah benar-benar dicengkam oleh suatu keragu-raguan. Karena itu ia tidak menjawab. Pedangnya sudah tidak lurus lagi mengarah ke lambung Sekar Mirah.

Sekali-sekali terbayang perjuangan yang dianggapnya masih belum selesai. Namun kemudian terngiang kata-kata ibunya, dan bayangan-bayangan di masa kecilnya. Alangkah sejuknya barada di dalam pe¬lukan ayah dan ibu. Apakah kini ia harus melawan keduanya dan menyakiti bukan saja hatinya tetapi juga tubuhnya.

Kawan Prastawa menjadi semakin cemas melihat keragu-raguan itu, melihat wajah Prastawa yang menjadi suram dan tunduk.

“O, agaknya racun itu telah mencengkam perasaan anak itu,” berkata kawan Prastawa di dalam hatinya. Karena itu, maka ia pun segera mencari jalan untuk melepaskan dirinya, se¬andainya Prastawa benar-benar telah terpengaruh oleh kata-kata ayah dan ibunya.

Dalam keheningan itu, tiba-tiba saja kawan Prastawa itu me¬loncat merampas pedang di tangan putera Ki Argajaya yang se¬dang merenung itu. Dengan wajah yang tegang diacungkannya ujung pedang itu ke lambung Sekar Mirah sambil berkata, “Akulah yang kini menguasainya.”

Prastawa sendiri terkejut. Ketika ia menyadari keadaannya, pedangnya sudah berpindah tangan. Selangkah ia terdorong ke samping, kemudian ia tinggal dapat menyaksikan kawannya yang kini menguasai keadaan.

“Semua orang harus menurut perintahku. Kalau tidak, ga¬dis ini akan menjadi korban.”

“Tunggu,” berkata Prastawa.

“Aku tidak yakin bahwa kau mempunyai hati yang teguh.”

Prastawa terdiam sementara kawannya berkata pula, “Kau Prastawa, kau harus mengikuti aku bersama ayahmu.”

Ki Argajaya berdiri saja membeku. Sejenak dipandanginya wajah Sekar Mirah, kemudian wajah Sumangkar. Sedang isterinya menjadi pucat dan gemetar.

“Aku tidak sedang bermain-main. Kalian tidak akan dapat mempengaruhi aku seperti mempengaruhi Prastawa, karena aku bukan apa-apamu.”

“Tetapi dengarlah,” berkata Ki Argajaya. “Di luar rumah ini sepasukan prajurit sedang berjaga-jaga.”

“Aku tidak peduli. Aku menguasai gadis ini. Kalau seorang pun dari mereka tidak tunduk kepada perintahku, maka gadis ini akan mati.”

“Kenapa aku yang akan mati?” tiba-tiba Sekar Mirah ber¬tanya.

“Bodoh. Diam kau, jangan mencoba bertingkah lagi. Aku sekarang sudah siap. Kalau kau sendiri berbuat aneh, kau pun akan mati.”

“Kalau tidak, apakah aku akan kau bawa ke sarangmu?”

“Ya, bersama Prastawa dan Ki Argajaya.”

“Jauh?”

“Diam kau. Jangan banyak berbicara.”

Tetapi sebelum anak muda itu selesai membentak, terasa pedangnya bergetar. Kekuatan yang besar telah mendorong pe¬dangnya ke samping. Ketika ia sadar, maka Sekar Mirah itu telah meloncat beberapa langkah daripadanya.

“Gila, kau sudah gila,” geram anak muda itu.

Kini setiap orang berloncatan menepi. Nyai Argajaya yang ketakutan berdiri di belakang suaminya yang berdiri tegak seperti tonggak.

Anak muda itu kini berdiri melekat dinding dengan pedang terjulur lurus ke depan. Dengan mata yang liar ia berkata, “Kalian benar-benar telah menjadi gila, terutama gadis itu. Aku akan membunuhmu kemudian membunuh setiap orang di dalam ruangan ini.”

“Jangan kehilangan akal,” berkata Sekar Mirah. “Bukankah kau mengenal Ki Argajaya?”

Anak muda itu seakan-akan tidak mendengar kata-kata Sekar Mirah. Setapak ia bergeser mendekati Sekar Mirah. Tetapi Sekar Mirah pun bergeser pula ke samping.

“Kau tidak akan dapat lari,” geram anak muda itu. Sekar Mirah tidak menjawab kata-kata itu, namun justru ia berkata, “Kau seharusnya mengenal kemampuan Ki Argajaya. Kalau Ki Argajaya kehilangan kesabaran, maka ia akan segera bertindak atasmu.”

“Persetan. Tetapi aku pun bukan tikus clurut. Aku adalah satu-satunya orang yang bersenjata di ruang ini,” anak muda itu kemudian berpaling kepada Prastawa. “Prastawa, cepat tentu¬kan, di pihak mana kau berdiri? Apakah kau juga akan berkhianat kepada perjuangan kita?”

Sebelum Prastawa menjawab, terdengar suara Ki Argajaya, “Prastawa. Memang benar. Kau harus segera menentukan si¬kap. Kalau kau memutuskan untuk segera kembali kepada ayah dan ibumu, maka soal anak itu bukanlah soal yang sulit, meskipun ia bersenjata. Tetapi kalau kau benar-benar menganggap aku pengkhianat, dan seharusnya aku dibunuh, maka biarlah aku tidak akan melawan kalau kau memang menghendaki. Tetapi aku memang tidak akan dapat berdiri di pihak mereka yang tidak mau melihat kenyataan.”

Prastawa berdiri membeku di tempatnya. Seakan-akan terjadi benturan yang dahsyat di dalam dadanya.

“Cepat!” anak muda itu membentaknya.

Wajah Prastawa menjadi tegang. Dari keningnya menitik keringat dingin. Sejenak dipandanginya anak muda itu kemu¬dian ayahnya dan ibunya.

“Kaulah yang membawa aku kemari, Prastawa. Apakah kau akan membiarkan aku dibantai di sini karena pengkhianatanmu.”

Ruangan itu pun kemudian serasa dibakar oleh kesenyapan vaag pengap. Dada mereka menjadi sesak, dan darah mereka se¬akan-akan menjadi semakin lambat mengalir. Kini setiap mata hing¬gap pada wajah Prastawa yang tegang dan basah oleh keringat.

Degup jantung anak muda yang memegang pedang itu pun menjadi semakin cepat. Ia hampir tidak sabar lagi menunggu keputusan Prastawa. Sedang Prastawa masih saja diamuk oleh ke¬bimbangan.

Dalam kesenyapan itu terdengar suara Nyai Argajaya, “Prastawa, jangan hanyut pada suatu perasaan sekedar untuk mempertahankan harga dirimu, karena kau tidak mau disebut seorang pengkhianat. Kau harus dapat membedakan, siapakah yang menyebutmu demikian. Kalau yang menyebutmu seorang pengkhianat itu sendiri tidak mengerti tentang dirinya sendiri, apakah kau akan terpengaruh karenanya.”

“Diam, diam kau!” potong anak muda itu. Hampir saja ia meloncat sambil menjulurkan pedangnya. Tetapi langkahnya tertahan karena perempuan itu berdiri di belakang Ki Argajaya. Dan hampir setiap orang di Menoreh mengetahui, bahwa Ki Argajaya memiliki kemampuan yang tidak dapat diabaikan.

Kedua anak-anak muda di ruangan itu, Prastawa dan kawannya, sama-sama menjadi tegang. Tubuh mereka telah basah oleh keringat.

“Cepat, tentukan sikapmu,” geram anak muda itu.

Sekali lagi, semua perhatian telah terampas oleh Prastawa. Wajah-wajah yang tegang memandanginya dengan tajamnya, seolah-olah mereka langsung ingin melihat isi dada anak muda itu.

Ketika Prastawa menggerakkan kepalanya, seakan-akan semua orang berhenti bernafas.

Setelah melampaui perjuangan yang dahsyat di dalam diri¬nya, meskipun dengan penuh keragu-raguan. Prastawa menggeleng¬kan kepalanya sambil berkata lambat hampir tidak terdengar, “Aku tidak dapat melakukannya.”

“He,” anak muda itu terbelalak, “maksudmu?”

“Aku terikat oleh sesuatu yang tidak aku mengerti.”

“Jadi?”

“Aku tinggal di sini.”

“Gila. Gila kau, Prastawa,” wajah anak muda itu menjadi merah padam, serta matanya menjadi bertambah liar. Sejenak dipandanginya Prastawa yang berdiri di atas kakinya yang reng¬gang. Kemudian Ki Argajaya yang sudah bersiaga. Di belakangnya, Nyai Argajaya yang menjadi kian berdebar-debar. Selangkah daripadanva, seorang tua vang tidak dikenalnya yang disebut-sebut sebagai ayah gadis itu. Dan yang terakhir, anak muda itu me¬mandang Sekar Mirah dengan nafas terengah-engah.

Sekar Mirah berdiri tidak begitu jauh daripadanya. Meskipun semuanya tidak bersenjata, tetapi ia harus dapat menguasai orang yang dianggapnya paling lemah. Anak muda itu me¬ngenal kemampuan Prastawa, kemudian Ki Argajaya. Laki-laki tua itu tidak akan banyak artinya baginya. Dan apabila ia dapat menguasai Sekar Mirah, maka gadis itu akan dapat dipakainya un¬tuk perisai.

Tiba-tiba saja anak muda itu meloncat ke arah Sekar Mirah. Ia ingin mengancam gadis itu dengan ujung pedangnya. Dengan suara yang berat ia berkata, “Jangan mencoba melawan.”

Tetapi alangkah terkejutnya, ketika ternyata gadis itu mam¬pu meloncat secepat loncatannya. Ketika ia menjejakkan kakinya di lantai, maka Sekar Mirah telah berada beberapa langkah dari¬padanya.

“Gila. Apakah kau mencoba melarikan diri?” geramnya. Sekar Mirah mengerutkan keningnya. Terbersit niat di dalam hatinya, untuk menghentikan permainan itu. Anak itu tidak boleh terlampau lama mengalami ketegangan yang dapat membuatnya menjadi benar-benar gila.

Karena itu, justru selangkah ia maju. Katanya, “Jangan menjadi liar. Sudah aku katakan, sebaiknya kau tinggal di sini. Aku kira, kau akan diterimanya pula, apabila kau benar-benar meng¬hentikan segala macam tingkah yang dapat mengganggu keten¬teraman Tanah Perdikan ini.”

“Persetan!” anak muda itu tiba-tiba berteriak. Ia tidak menghiraukan lagi para pengawal yang mungkin mendengarnya dari halaman. “Aku bunuh kau. Kita akan mati bersama-sama.”

Dengan garangnya anak muda itu meloncat maju. Kali ini ia tidak sekedar mengancam. Tetapi ia benar-benar mengayunkan pe¬dangnya, menyerang Sekar Mirah.

Tetapi Sekar Mirah sudah bersiaga. Ia mampu melihat ge¬lagat, bahwa anak muda itu akan menyerangnya apabila ia sudah kehilangan akal.

Karena itu, serangan anak muda itu tidak mengejutkan¬nya. Meskipun ia tidak bersenjata, tetapi murid Sumangkar yang berguru dengan tekun itu, tidak banyak mengalami kesulitan untuk mengelak, sehingga serangan anak muda itu sama sekali tidak menyentuh apa pun.

Dengan kemarahan yang membakar dadanya, anak muda itu menggeram. Dengan menghentakkan kakinya ia meloncat menghadapi Sekar Mirah yang menghindar ke samping.

Tetapi sama sekali tidak disangkanya, bahwa gadis itu mampu bergerak lebih cepat, daripadanya. Ketika ia menyadari keadaannya, gadis itu telah menghantam pergelangan tangannya sehingga ia tidak mampu lagi mempertahankan pedangnya, se¬hingga pedang itu pun terpelanting jatuh.

Betapa tangannya seolah-olah tersengat oleh bara api. Dengan serta-merta ia menarik tangannya sambil mengerang kesakitan. Tetapi belum lagi ia sempat mengusap pergelangan tangannya, terasa tubuhnya terdorong kuat sekali, sehingga terhuyung-huyung ia melangkah surut.

“Gila kau,” anak muda itu mengumpat ketika ia melihat Sekar Mirah memungut pedangnya. Tetapi ketika ia siap melompat maju untuk mencegahnya, langkahnya terhenti, karena tiba-tiba saja ujung pedang itu sudah mengarah ke dadanya.

“Kalau kau meloncat maju, maka ujung pedang ini akan tertancap di dadamu,” desis Sekar Mirah.

Anak muda itu tegak bagaikan patung. Ditatapnya wajah Sekar Mirah yang cantik itu dengan sorot mata yang aneh. Wa¬jah yang cantik itu tiba-tiba saja telah berubah menjadi wajah yang menakutkan. Seperti wajah seorang dewi maut yang sudah siap untuk menarikan tari maut dengan sepucuk pedang.

Tetapi Sekar Mirah tidak beranjak dari tempatnya.

“Prastawa,” desis anak muda itu, “kau telah meng¬khianati kawan-kawanmu pula.”

Prastawa tidak menjawab. Ia masih dicengkam oleh ke¬raguan. Ia tidak mengerti manakah yang sebaiknya dipilih. Se¬perti seseorang yang berdiri di simpang jalan yang membujur lurus dan panjang sekali, seakan-akan sama-sama tidak berujung.

“Apakah kau sengaja menjebak aku di rumah ini?” ber¬tanya kawannya.

Prastawa masih berdiri mematung.

Wajah anak muda itu pun menjadi semakin nanar. Ketakutan yang betapa pun lambatnya, kini telah mulai menyentuh jantung¬nya. Di hadapannya berdiri seorang gadis yang ternyata, terlam¬pau garang, segarang seekor harimau betina. Itulah agaknya, maka ia tidak takut berada di kandang serigala. Di sebelah lain Argajaya berdiri tegak dengan tatapan wajah yang menggetar¬kan jantung. Di sebelahnya, orang tua yang disebut ayah gadis yang garang itu. Agaknya ia tidak segarang anak gadisnya? Sedang di sebelah lain berdiri termangu-mangu seorang anak yang masih terlampau muda, yang justru membawanya masuk ke dalam sarang harimau ini.

Tiba-tiba anak muda itu tidak dapat lagi mengendalikan keta¬kutan yang sudah mencengkam dadanya. Ia tidak mau mati be¬gitu saja. Ia masih akan berusaha di dalam keputus-asaan, untuk keluar dari rumah terkutuk ini.

Karena itu, maka sejenak ia mencoba berpikir. Kemana ia harus melarikan diri, sementara orang-orang yang berdiri di sekitarnya itu seolah-olah telah berubah menjadi sekelompok iblis yang mena¬kutkan, yang siap menerkamnya dan merobek-robek tubuhnya.

Ketika ia tidak lagi dapat menahan ledakan di dadanya, tiba-tiba ia melompat. Sekilas ia teringat pada seutas tali yang masih masih menggantung di dalam bilik dalam.

“He, apakah kau akan lari?” bertanya Sekar Mirah.

Tetapi anak muda itu sama sekali tidak menghiraukannya lagi. Dengan sekuat-kuat tenaganya ia meloncat masuk ke dalam bilik itu.

Sementara itu, para pengawal yang berada di halaman, lamat-lamat mendengar keributan di dalam rumah. Agung Sedayu yang duduk di sebelah pimpinan pengawal berdesis, “He, kau mendengar se¬suatu di dalam?”

“Ya.”

“Apakah mungkin terjadi keributan?”

Pemimpin pengawal itu ragu-ragu sejenak. “Bagaimana pendapatmu?” ia bertanya. “Kaulah yang lebih mengenal gadis dan gurunya itu.”

“Aku kira tidak akan ada keributan. Tetapi baiklah kita melihatnya.”

Ketika keduannya berdiri, mereka menjadi heran. Mereka memang mendengar keributan. Namun mereka tidak dapat dengan tergesa-gesa memasuki ruangan dalam. Sejenak mereka berdiri di pendapa. Kalau terjadi sesuatu, maka pasti salah satu pihak akan memanggil mereka.

Anak muda yang berlari itu pun kemudian meloncat masuk ke dalam bilik. Semula ia mencoba untuk menutup pintu bilik, tetapi terlambat karena Sekar Mirah telah berada beberapa langkah saja di belakangnya. Karena itu, maka ia harus cepat mencapai tali yang masih tergantung. Tali yang dipergunakan sebagai alat untuk turun masuk ke dalam neraka ini.

Dengan segenap kekuatan dan kemampuan yang ada, anak muda itu pun segera menggapai ujung tali itu. Ternyata ia me¬mang cakap memanjat.

Tetapi anak muda itu mengumpat keras-keras ketika tubuhnya terhempas dilantai. Agaknya Sekar Mirah telah meloncat ke atas pembaringannya, kemudian sekali lagi meloncat sambil menga¬yunkan pedang yang dibawanya memutuskan tali yang masih terjuntai itu, tepat di atas tangan anak muda yang sedang me¬manjat itu.

Namun demikian, anak muda itu tidak berhenti sampai se¬kian. Sekali lagi ia meloncat ke luar dan berlari ke arah pintu.

“Ia tidak akan lolos. Biarlah para pengawal menangkap¬nya,” desis Sekar Mirah.

Argajaya yang telah siap untuk menangkapnya, telah ter¬tegun mendengar desis Sekar Mirah, sejenak ia berdiri ter¬mangu melihat anak muda itu berlari ke pringgitan.

Agung Sedayu yamg berada di pendapa bersama pemimpin pengawal itu pun menjadi semakin berdebar-debar mendengar derap orang berlari. Kini mereka tidak dapat menunggu lagi. Meskipun tidak seorang pun yang memanggil mereka, namun keduanya tanpa berjanji telah melangkah ke pintu.

Ketika Agung Sedayu berdiri tepat di muka pintu, ia men¬dengar seseorang membuka selarak dengan tergesa-gesa.

Agung Sedayu menjadi semakin curiga. Kini ia berdiri di ¬muka pintu. Namun ia terkejut ketika tiba-tiba saja pintu itu ter¬buka dan seseorang telah melanggarnya.

Karena Agung Sedayu tidak menduga sama sekali, maka ia pun tidak menghindari benturan itu. Begitu tiba-tiba sehingga Agung Sedayu terdorong beberapa langkah surut. Tetapi anak muda yang juga terkejut itu pun seakan-akan telah terlempar masuk kembali ke pringgitan dan jatuh terbanting di lantai.

Dengan serta-merta ia pun bangkit. Tetapi ia tidak dapat berbuat apa-apa lagi. Kini ia berdiri di muka Agung Sedayu dan pemimpin pengawal yang sudah meraba hulu pedangnya.

“Siapakah anak ini?” bertanya pemimpin pengawal itu kepada Argajaya yang berdiri termangu-mangu.

Sebelum Argajaya menjawab, Sekar Mirah yang masih me¬megang pedang, maju beberapa langkah. Sambil tersenyum ia berkata, “Kami mendapat dua orang tamu malam ini. Tetapi tamu yang seorang ini agaknya tidak kerasan tinggal di sini.”

Agung Sedayu dan pemimpin pengawal itu mengedarkan tatapan matanya berkeliling. Dilihatnya seorang anak muda yang lain berdiri termangu-mangu dekat di depan dinding bilik di ruang dalam. Dari lubang pintu yang memisahkan pringgitan dan ruang dalam mereka melihat anak muda itu termangu-mangu. Namun me¬reka menarik nafas dalam-dalam, ketika ia melihat Sumangkar berdiri beberapa langkah daripadanya.