api di bukit menoreh 49

SWANDARU menjadi heran melihat sikap itu. Tetapi kemudian ia pun menyadarinya pula, sehingga tiba-tiba saja sikapnya pun menjadi lain. Dengan nada yang datar ia berkata, “Mirah. Kau di sini bukan berada di rumahmu sendiri. Kau harus mencoba menyesuaikan dirimu.”

Gupita melihat sikap kedua anak-anak muda yang tiba-tiba menjadi kaku itu. Karena itu, maka ia pun mencoba untuk mengatasi keadaan, “Marilah kita teruskan perjalanan yang tinggal beberapa langkah ini.”

Pandan Wangi berpaling kepadanya. Dan Gupita pun berkata pula, “Berjalanlah dahulu. Kaulah yang akan mempersilahkan tamu-tamu kami.”

Pandan Wangi tidak menjawab. Tetapi kudanya melangkah lambat mendahului yang lain. Di belakangnya Gupita dan Sumangkar tidak lagi berada di punggung kuda. Mereka pun berloncatan turun dan berjalan bersama-sama dengan Sekar Mirah dan Gupala.

Pandan Wangi-lah yang mendahului masuk ke halaman rumahnya. Didapatinya Samekta dam Kerti berdiri gelisah di tangga pendapa.

“Hem, kau Wangi,” desis Samekta. “Dapat saja kau membuat orang-orang tua berdebar-debar. Dari mana kau, he?”

Pandan Wangi tidak menjawab pertanyaan itu. Tetapi ia langsung memberitahukan kehadiran dua orang tamu, yang salah seorang di antaranya adalah adiknya Gupita.

“Yang seorang?” bertanya Samekta.

“Gurunya,” jawab Pandan Wangi, “seorang yang pasti luar biasa seperti gembala bercambuk itu. Muridnya yang bernama Sekar Mirah, mempunyai kemampuan yang cukup tinggi.”

Samekta mengerutkan keningnya Kemudian ia pun bertanya, “Apakah keperluannya? Tanah Perdikan ini sudah mulai tenang. Apakah mereka akan ikut mengguncang-guncangnya lagi?”

“Tidak, Paman,” jawab Pandan Wangi. “Menilik pembicaraan mereka, agaknya mereka sedang mencari Gupala yang sebenarnya bernama Swandaru.”

“He?”

“Itulah mereka,” berkata Pandan Wangi ketika ia melihat Gupita dan tamu-tamunya memasuki regol.

Samekta sejenak berdiri mematung.

“Sambutlah, Paman. Paman adalah wakil ayah saat ini, sebelum ayah dapat menemui mereka.”

“O,” Samekta tersadar, “marilah,” ajaknya kepada Kerti.

Keduanya pun kemudian menyongsong kedatangan tamu mereka, seorang gadis dengan gurunya yang bernama Sumangkar itu.

Ketika Sekar Mirah melihat Samekta dan Kerti menyongsongnya, maka ia pun bertanya kepada kakaknya, “Yang manakah yang bernama Ki Gede Menoreh?”

“Bukan kedua-duanya,” jawab Swandaru. “Tetapi yang satu, yang di depan itu adalah tetua Tanah Perdikan ini sesudah Ki Argapati. Ialah yang menerima kepercayaan untuk melakukan tugas-tugas pemerintahan. Sedang untuk tugas-tugas yang menyangkut keamanan sebagian terbesar diletakkan pada puterinya itu.”

“Pantas,” desis Sekar Mirah.

“Kenapa?”

“Gadis itu luar biasa.”

“Darimana kau tahu?”

Sekar Mirah tidak menjawab. Tetapi Sumangkar yang mendengar percakapan itu tersenyum. Namun ia tidak sempat menyahut. Sedang Gupita yang meskipun mendengar pula, tetapi ia pura-pura tidak mendengarnya sama sekali.

Gupita-lah yang kemudian memperkenalkan tamu-tamunya kepada Samekta dan Kerti. Keduanya kemudian mempersilahkan Sumangkar dan muridnya untuk naik ke pendapa.

“Di sini tinggal seorang gembala yang aneh,” berkata Samekta kemudian, “yang menurut pengakuannya adalah ayah Gupala dan Gupita. Tetapi sejak semula aku sudah ragu-ragu. Apakah Ki Sumangkar mengenalnya?”

“Siapa?” bertanya Sumangkar.

“Bertanyalah kepada Gupita dan Gupala, siapakah sebenarnya orang yang mengaku ayahnya itu. Seorang gembala yang bersenjata cambuk.”

Sumangkar mengerutkan keningnya. Namun kemudian ia mengangguk-anggukkan kepalanya sambil tersenyum. Ia tahu benar siapakah yang dimaksud oleh Samekta itu. Karena itu ia menjawab, “Apakah yang kalian maksud seorang gembala tua bersenjata cambuk, tetapi juga seorang dukun?”

“Tepat,” sahut Kerti. “Dukun itulah yang mengobati luka-luka Ki Argapati dengan cermatnya, sehingga agaknya luka, itu akan segera dapat sembuh.”

Sumangkar mengangguk-angguk. Katanya kemudian, “Tentu aku mengenalnya. Di manakah gembala itu sekarang?”

“Ia ada di dalam.” Kemudian katanya kepada Gupita, “apakah kau tidak mengundang ayahmu supaya ikut menemui tamu kita di sini?”

Gupita tersenyum. Jawabnya, “Baiklah. Aku akan mengundangnya untuk ikut menemui Ki Sumangkar.”

Gupita pun kemudian masuk ke pringgitan. Gembala tua itu sedang duduk di dalam bilik Ki Argapati.

Dengan hati-hati Gupita menjengukkan kepalanya di pintu yang terbuka. Kemudian mengangguk sambil bertanya, “Apakah aku dapat masuk?”

“Masuklah,” desis gembala itu perlahan-lahan.

Gupita pun segera masuk dengan hati-hati pula.

“Siapakah yang masuk?” bertanya Ki Argapati dengan nada datar.

“Gupita, Ki Gede. Anakku.”

“O, apakah, ada keperluan dengan aku?”

“Tidak, Ki Gede,” sahut Gupita perlahan-lahan. “Aku hanya sekedar menemui ayah untuk menyampaikan pemberitahuan.”

“Ada apa?” bertanya gembala itu.

“Ada tamu, Ayah.”

“Siapa?”

“Ki Sumangkar bersama Sekar Mirah, yang agaknya telah diangkat menjadi muridnya.”

Gembala itu mengerutkan keningnya, namun kemudian ia tertawa. “Baik. Baik, aku akan menemuinya.” Kemudian kepada Ki Gede yang terluka itu gembala tua itu berkata, “Ki Gede, seorang saudaraku datang berkunjung kemari. Aku minta diri sejenak untuk menemuinya.”

Ki Argapati mengangguk-anggukkan kepalanya. Tetapi ia bertanya, “Apakah Pandan Wangi sudah kembali? Bukankah ia pergi bersamamu, Gupita. Ia minta ijin kepadaku. Tetapi menurut Ki Samekta, ia belum datang sehingga menimbulkan kegelisahan.”

“Ya, Ki Gede,” jawab Gupita, “tetapi ia sudah datang bersama aku. Ia berada di pendapa menemui tamu-tamu kami bersama Ki Samekta dan Ki Kerti.”

“Kemana saja kalian pergi?”

“Kami hanya sekedar melihat-lihat daerah Tanah Perdikan ini. Tetapi kami bertemu dengan Ki Sumangkar di perjalanan, sehingga kami bersama-sama kembali ke rumah ini.”

Ki Argapati mengangguk-anggukkan kepalanya, “Sokurlah, kalau tidak terjadi sesuatu di perjalanan.”

“Tidak, Ki Gede.”

“Sekarang silahkan, kalau kalian ingin menemui tamu-tamu kalian,” berkata Ki Argapati kemudian.

“Ya, Ki Gede, kalau Ki Gede tidak berkeberatan, Ki Sumangkar pun akan menemui Ki Gede pula. Tidak ada persoalan apa pun yang akan dibicarakan, selain memperkenalkan dirinya.”

“Tentu aku sama sekali tidak berkeberatan.” Ki Gede berhenti sejenak, kemudian, “Tetapi siapakah Ki Sumangkar itu?”

“Ia pernah menjadi seorang penghuni Kepatihan Jipang. Ki Sumangkar sebenarnya adalah saudara seperguruan Ki Patih Mantahun yang terbunuh di peperangan antara Jipang dan Pajang.”

Ki Argapati mengerutkan keningnya.

“Tetapi,” gembala itu meneruskan, “Sumangkar telah mendapat pengampunan, karena ia tidak banyak terlibat dalam masalah Jipang dan Pajang.”

Ki Argapati kemudian mengangguk-anggukkan kepalanya. Desisnya, “Saudara seperguruan Patih Mantahun, bukanlah orang kebanyakan.”

Gembala tua itu tersenyum, “Demikianlah kiranya, Ki Gede.”

“Baik, baik. Aku akan menerimanya dengan senang hati.”

Sejenak kemudian maka Gupita pun mengikuti gurunya keluar dari bilik Ki Argapati. Di ruang tengah mereka berpapasan dengan Pandan Wangi.

“Kemana, Wangi?” bertanya Gupita.

“Menyiapkan minuman untuk tamu-tamu kita.”

“O,” Gupita mengangguk-angguk, lalu, “ayahmu agaknya menjadi gelisah pula.”

“Kenapa?”

“Kita terlampau lama pergi,” sambung Gupita. Lalu diberitahukannya apa yang sudah dikatakan kepada Ki Gede tentang kepergian mereka berdua. “Jangan salah,” pesan Gupita kepada Pandan Wangi, “kalau kau ingin berceritera, sesuaikan ceriteramu dengan ceriteraku.”

Pandan Wangi mengangguk.

“He,” tegur gembala tua, “darimanakah sebenarnya kalian? Jadi apa yang kau katakan kepada Ki Argapati tidak benar?”

“Bukan tidak benar,” jawab Gupta, “tetapi tidak lengkap. Masih ada beberapa hal yang belum kami katakan sekarang.”

Gembala tua itu menarik nafas. Gumamnya, “Anak-anak muda sekarang kadang-kadang memang membuat orang-orang tua kebingungan.”

Gupita tidak menjawab. Ia mengikut saja di belakang gurunya ketika gurunya meneruskan langkahnya ke pendapa, sedang Pandan Wangi pergi ke dapur untuk mengatur jamuan bagi tamu-tamunya, sebelum ia pergi ke bilik ayahnya.

Pertemuan antara dua orang tua-tua di pendapa rumah itu merupakan pertemuan yang meriah. Dengan nada yang tinggi Sumangkar berkata, “Apakah Kiai selamat selama kita tidak bertemu? Dan bagaimanakah kabar tentang kambing-kambingmu?”

Gembala tua itu pun tertawa. Sambil membungkuk dalam-dalam ia menjawab, “Kami selamat semua di sini. Bagaimana dengan kalian, dan Ki Demang Sangkal Putung suami isteri?”

Sumangkar pun tertawa pula. Ia mengenal orang tua itu dengan seribu nama dan seribu warna. Kali ini ia menjadi seorang gembala dengan kedua anak-anaknya.

“Selamat, Kiai,” jawab Sumangkar kemudian. “Ki Demang dan Nyai Demang Sangkal Putung dan seluruh rakyatnya dalam keadaan selamat. Kademangan Sangkal Putung telah mulai berkembang kembali, setelah sekian lama dibayangi oleh ketakutan.”

“Sokurlah. Dan kini Adi Sumangkar sempat berjalan-jalan sampai ke daerah ini.”

“Ya,” jawab Sumangkar, “Ki Demang Sangkal Putung mengharap Angger Swandaru segera kembali. Kini Sangkal Putung telah diserahkan seluruhnya kepada Sangkal Putung sendiri. Pasukan Pajang sama sekali sudah ditarik.”

“Angger Widura?”

“Sudah ditarik pula.”

“Jadi Paman sudah tidak berada lagi di Sangkal Pulung?” bertanya Gupita.

“Tidak,” jawab Sumangkar, “Sangkal Putung sudah dianggap dapat menjaga dirinya sendiri.”

“Dan Kiai masih saja berada di Sangkal Putung itu?”

“Ya,” sahut Sumangkar, “aku diijinkan tinggal. Tetapi setiap saat aku dipanggil, aku harus datang ke Pajang.”

“Kalau Kiai tidak berada di tempat seperti sekarang ini?”

“Aku sudah mendapat ijin.”

Gupita mengangguk-anggukkan kepalanya. Agaknya Sumangkar masih belum memiliki kebebasannya sepenuhnya.

Dan orang tua itu berkata pula, “Tetapi, aku hampir tidak dapat mengenal lagi daerah sebelah Barat Sangkal Putung. Sejak meninggalkan Prambanan, kami merasakan perubahan yang pasti telah menjadi di sebelah Barat. Hutan Tambak Baya rasa-rasanya sudah tidak singup lagi. Sebuah jalan telah dibuka, dan berbagai padukuhan kecil telah dihuni orang. Semakin ke Barat, yang menurut pengenalan kami sebelumnya semakin pepat, karena daerah itu mendekati Alas Mentaok, namun ternyata justru menjadi semakin ramai. Agaknya Alas Mentaok telah dibuka. Dan menurut pendengaran kami, yang membuka alas Mentaok itu adalah Ki Gede Pemanahan dengan puteranya, Mas Ngabehi Loring Pasar.”

Gembala tua beserta anak-anaknya mengerutkan keningnya. Demikian juga Samekta dan Kerti.

“Apakah Alas Mentaok sudah menjadi sebuah kota yang ramai?”

“Belum dapat disebut sebuah kota,” berkata Sumangkar, “tetapi sebuah padukuhan yang besar, meskipun masih belum teratur. Namun setiap hari berdatangan orang-orang baru dari daerah di sekitarnya, dan menetap menjadi penghuni-penghuni baru dari padukuhan yang semakin lama semakin besar itu. Lebih dari itu, mereka yang mengenal siapakah Ki Gede Pemanahan dan siapakah Sutawijaya itu pun segera mengarahkan pandangan matanya kepada mereka. Padukuhan-padukuhan di sekitar padukuhan besar yang baru itu, secara diam-diam mengakui bahwa Ki Gede Pemanahan dan puteranya, akan dapat memberikan bimbingan kepada mereka, sehingga mereka telah berkiblat ke padukuhan yang baru itu. Mereka tiba-tiba merasa, bahwa mereka menjadi terlampau jauh dari Pajang.”

Gembala tua itu mengangguk-anggukkan kepalanya.

“Tetapi aku tidak tahu, apalagi yaag sudah berkembang di daerah itu, karena aku hanya sekedar lewat.”

Gembala itu mengangguk-anggukkan kepalanya.

“Bagaimanakah dengan padukuhan-padukuhan di sebelah Timur Alas Mentaok itu sendiri. Prambanan dan Sangkal Putung sendiri misalnya?”

“Alas Mentaok baru menjadi dongeng di daerah kami, Sangkal Putung. Tetapi sekali pernah datang Angger Widura dan beberapa orang perwira yang lain. Mereka berbicara dengan Ki Demang tentang perkembangan daerah baru itu.”

“Apa kata mereka?”

Sumangkar menggeleng, “Aku tidak tahu.”

“Aku mendengar sedikit,” berkata Sekar Mirah.

“Apa kata mereka?”

“Kakang Untara mendapat tugas langsung untuk mengawasi daerah Selatan.”

Terasa dada Gupita berdesir mendengar jawaban itu. Sejak semula mereka yang berada di Menoreh telah menduga, bahwa senapati muda itulah yang akan mendapat tugas yang berat itu.

“Tetapi selanjutnya kami tidak tahu.”

Setiap orang yang mendengarkan ceritera itu hanya sekedar mengangguk-anggukkan kepala mereka, sehingga pada suatu saat Pandan Wangi datang dengan nampan kayu di tangannya, membawa minuman bagi tamu-tamu yang baru datang itu.

Sejenak kemudian, mereka pun telah meneguk air hangat dan menikmati makanan yang dihidangkan untuk mereka. Sedang pembicaraan mereka pun telah berkisar tanpa sesadar mereka.

Dengan demikian, maka tamu-tamu yang bermalam di rumah itu pun menjadi bertambah dengan dua orang. Mereka ditempatkan di gandok, kecuali Sekar Mirah, yang mendapat tempat di ruang dalam.

Namun dengan demikian, setiap kali Sekar Mirah pasti melihat bagaimana Pandan Wangi berusaha melayani kakaknya sebaik-baiknya, meskipun masih tetap di dalam pengawasan yang ketat.

Meskipun Sidanti sendiri tetap acuh tak acuh terhadap siapa pun, tetapi Pandan Wangi sama sekali tidak berkecil hati. Ia bersikap baik dan teliti, seperti juga terhadap pamannya. Namun terasa oleh Pandan Wangi, bahwa sikap kakaknya dan pamannya kini telah menjadi jauh berlainan. Hati pamannya yang sekeras batu padas itu semakin lama akan semakin dapat dilunakkan. Tetapi agaknya tidak begitu mudah bagi Sidanti.

Tetapi Pandan Wangi dapat mengerti. Argajaya adalah adik kandung Argapati, sedang sejak kelahirannya, Sidanti telah dipisahkan oleh jarak yang seakan-akan tidak akan terseberangi lagi dari Kepala Tanah Perdikan Menoreh itu, meskipun hal itu belum lama disadarinya.

Meskipun demikian, Pandan Wangi tidak segera berputus asa. Meskipun kadang-kadang ia harus menitikkan air matanya.

Betapa besar dendam yang membara di dada Sekar Mirah terhadap Sidanti, namun sikap Pandan Wangi menumbuhkan iba juga di hatinya. Setiap kali ia melihat betapa Pandan Wangi seakan-akan diguncang-guncang oleh perasaannya. Ia berdiri di persimpangan yang sangat sulit.

Argapati adalah ayahnya. Ayah yang dicintai dan mencintanya. Sedang Sidanti adalah kakaknya, yang dilahirkan oleh ibunya pula. Kakak yaag telah banyak menolongnya sejak ia masih kanak-kanak hingga api permusuhan antara ayah dan kakaknya itu sudah mulai kemelut.

“Kalau Kakang Sidanti tetap berkeras hati dan Ayah kemudian kehilangan kesabarannya, maka hatiku pasti akan semakin hancur.” desisnya kepada diri sendiri.

Dengan hadirnya Sekar Mirah, Pandan Wangi merasa mendapat seorang kawan. Meskipun kadang-kadang ia tidak dapat mengerti sifat kawan barunya, adik Gupala yang juga ternama Swandaru itu, namun sedikit banyak ia mendapat tempat untuk mengungkapkan perasaannya.

Atas nasehat Gupita, Gupala, dan gurunya, Sekar Mirah berusaha menyesuaikan dirinya dengan cara hidup Pandan Wangi, meskipun kadang-kadang ia harus memaksa diri. Sebenarnya Sekar Mirah tidak begitu telaten menenggang perasaan seperti gadis puteri Kepala Tanah Perdikan Menoreh itu. Menurut Sekar Mirah, apabila Sidanti memang berkeras kepala, apa salahnya kalau ia dihukum mati saja meskipun menurut pengertiannya ia adalah putera Argapati sendiri.

“Jangan berkata begitu kepada Pandan Wangi,” Agung Sedayu mencoba menasehatinya.

“Gadis itu terlampau cengeng.”

“Bukan, bukan terlampau cengeng, tetapi perasaannya sangat lembut meskipun ia mampu bertempur dengan sepasang pedangnya di peperangan.”

Sekar Mirah mengerutkan keningnya. Tetapi ia mencoba untuk menahan hatinya. Ia mencoba seolah-olah ia mengerti dan menampung perasaan gadis Menoreh yang lembut itu.

Tetapi di hadapan Swandaru, Sekar Mirah masih juga berkata sambil mencibirkan bibirnya, “He, kaukah yang berkata kepadaku dahulu di Sangkal Putung, bahwa kau akan kembali sambil menjinjing kepala Sidanti?”

“Hus, jangan begitu, Mirah. Hati-hatilah sedikit dengan kata-katamu. Kami semua tidak akan dapat berkata begitu lagi. Kita berhadapan dengan orang-orang yang lain daripada orang-orang Tohpati dan bahkan Sidanti sendiri.”

Sekar Mirah tersenyum. Jawabnya, “Aku mengerti. Mereka mencoba untuk menjadi pahlawan-pahlawan yang luhur budi, yang mengampuni segala kesalahan orang lain, agar dirinya sendiri mendapat pujian atas kebaikan hati itu.”

“Begitukah caramu memandang sikap Ki Argapati, Pandan Wangi, dan orang-orang lain lagi? Apa katamu terhadap Kakang Untara dan Ki Gede Pemanahan yang telah mengampuni Ki Sumangkar, yang sekarang menjadi gurumu?” bertanya Swandaru.

Sekar Mirah mengerutkan keningnya. Tetapi ia tidak menjawab pertanyaan kakaknya.

“Sudahlah. Jangan kita persoalkan lagi. Kau coba menyesuaikan dirimu. Setidak-tidaknya kau harus menjadi tamu yang baik.”’

“Kau sekarang memandang aku menurut caramu,” berkata Sekar Mirah, “tetapi aku tidak boleh memandang sikap orang lain menurut caraku. Sekarang di dalam pandanganmu aku selalu bersalah, sedang gadis Menoreh itu selalu benar, karena kau sudah jatuh cinta kepadanya.”

“Hus.”

“Karena Sidanti adalah kakak gadis yang kau cintai itu, maka kau pun telah merubah niatmu untuk membalas sakit hatimu. Bukankah kau sudah dua atau tiga kali dipukulnya?”

“Sudahlah. Jangan ribut. Lihat, itu Pandan Wangi mencari kau. Ia membutuhkan seorang kawan yang dapat diajaknya membagi duka. Kau adalah adikku, sehingga kau harus membantu aku, agar ia tidak benci kepadaku.”

“Bukankah ternyata bahwa kita masing-masing mementingkan diri kita sendiri?”

“Ya. Aku tidak ingkar.”

Sekar Mirah menjadi bersungut-sungut. Tetapi ia menyongsong Pandan Wangi yang pergi ke arahnya.

Keduanya pun kemudian berjalan bergandengan ke belakang rumah sambil bercakap-cakap dengan akrabnya.

Swandaru menarik nafas dalam-dalam. Tetapi harapannya kini menjadi kian membara di dalam dadanya. Kalau Sekar Mirah dapat membantunya, maka kemungkinan untuk mempertautkan hatinya kepada gadis itu akan berhasil.

Dari hari ke hari, maka luka Ki Argapati pun kian menjadi baik. Dengan sangat hati-hati dan lambat laun Ki Argapati mencoba untuk bangkit dan duduk. Gembala tua itu pun dengan telaten selalu menungguinya apabila Ki Argapati mulai dengan perkembangan baru sesuai dengan kesehatannya yang menjadi semakin baik.

“Aku sudah merasa seakan-akan aku sudah sehat sama sekali,” desisnya.

Gembala tua itu mengangguk-anggukkan kepalanya. Tetapi tampak sesuatu mengganggu pikirannya.

“Kiai,” berkata Ki Argapati, “bagaimana menurut pendapat Kiai dengan keadaanku kemudian? Apakah aku akan dapat pulih kembali seperti sediakala?”

Gembala itu merenung sejenak.

“Berkatalah terus terang. Aku bukan anak-anak lagi.”

“Ki Gede,” berkata gembala tua itu, “aku tidak dapat mengatakan dengan pasti. Meskipun aku tetap berusaha. Namun agaknya ada sesuatu yang kurang pada Ki Gede sekarang, sehingga untuk dapat pulih kembali seperti sediakala, agaknya memerlukan waktu yang sangat panjang.”

Ki Argapati memandang wajah gembala tua itu dengan saksama. Tetapi dari sorot matanya terpancar hatinya yang sudah pasrah kepada pepesten, kepada keharusan yang tidak akan dapat dielakkannya lagi.

Karena itulah maka Ki Argapati tidak lagi menjadi gelisah dan cemas, apa pun yang akan terjadi atasnya. Seandainya ia tidak akan dapat pulih kembali sekalipun. Yang terutama menjadi persoalan di dalam hatinya adalah justru Tanah Perdikan Menoreh. Kalau ia tidak kuasa lagi memimpin tanah ini dan tidak ada orang lain yang dapat dipercayainya, maka Tanah yang kini tinggal abunya ini tidak akan dapat tumbuh dan berkembang kembali. Samekta dan Kerti memang dapat memimpin pemerintahan dalam arti yang sangat sempit. Tetapi untuk mengembangkan apa yang masih tersisa untuk mencapai tingkat yang diharapkan agaknya akan banyak menjumpai kesulitan.

“Tanah ini memerlukan orang kuat,” berkata Ki Argapati di dalam hatinya.

Sekilas terlintas di angan-angannya satu-satunya anaknya Pandan Wangi. Kepadanyalah Ki Argapati menumpahkan segala harapannya.

“Tetapi ia hanya seorang gadis,” desisnya, “bagaimana pun juga nalarnya kadang-kadang terdesak oleh perasaannya.”

“Kiai,” berkata Ki Argapati kepada gembala tua itu, “bagaimana pun juga aku mengucapkan terima kasih yang tidak terhingga kepadamu dan kedua anak-anakmu.”

Gembala tua itu pun tersenyum.

“Tetapi,” berkata Ki Argapati, “aku masih ingin mendapat pertimbanganmu Kiai.”

Gembala tua itu mengerutkan keningnya.

“Apakah yang sebaiknya aku lakukan atas Argajaya dan Sidanti?” bertanya Ki Argapati kemudian.

Gembala tua itu menarik nafas dalam-dalam. Kedua orang itu adalah termasuk dalam keluarga Ki Argapati. Karena itu maka sulitlah baginya untuk menyatakan sikapnya. Apalagi bahan-bahan yang ada padanya tentang hubungan kekeluargaan dan sikap Argajaya dan Sidanti atas Menoreh sebelumnya terlampau sedikit.

“Ki Gede,” berkata gembala itu, “kalau aku boleh berterus terang, aku tidak dapat menyatakan apa pun tentang kedua anggota keluarga terdekat Ki Gede itu. Ki Argajaya adalah adik kandung Ki Gede, sedang Sadanti adalah putera Ki Gede.”

“Kau benar Kiai, tetapi apakah katamu setelah kau melihat sikap mereka kini? Menurut laporan yang aku terima, agaknya Argajaya sempat melihat kepada dirinya sendiri. Kepada apa yang sudah dilakukannya. Ia sempat memisahkan mana yang salah dan mana yang benar. Tetapi agaknya Sidanti masih tetap berkeras hati.”

Gembala tua itu menganggukkan kepalanya, “Ya Ki Gede. Memang demikanlah agaknya. Aku memang menjadi heran justru Angger Sidanti sama sekali tidak mau mengerti akan kedudukannya, meskipun gurunya sudah meninggal.”

Ki Argapati menarik nafas dalam-dalam. Ia menduga bahwa gembala tua itu belum tahu, hubungan yang sebenarnya antara dirinya dan anak muda yang keras hati itu.

“Itulah yang membuat aku berprihatin,” desis Ki Argapati.

“Ki Gede,” berkata gembala tua itu, “aku kira ada jalan yang dapat Ki Gede tempuh. Tetapi sudah tentu itu bukan satu-satunya.”

Ki Gede mengangguk-anggukkan kepalanya.

“Bagaimana kalau Ki Gede memanggil mereka, dan berbicara langsung dari hati ke hati? Ki Gede akan dapat bertanya kepada mereka, bagaimanakah sikap mereka sekarang.”

Ki Gede menarik nafas dalam-dalam. Katanya, “Aku memang sudah berpikir demikian. Aku memang berhasrat untuk memanggil mereka. Tetapi sudah tentu tidak bersama-sama.”

“Aku kira memang itu adalah jalan yang sebaik-baiknya. Kini di rumah ini ada dua orang tamu, yang apabila diperlukan dapat membantu Ki Gede dengan pendapat-pendapatnya pula. Terutama Adi Sumangkar.”

Ki Argapati mengangguk-anggukkan kepalanya. “Sesudah aku bertemu dengan keduanya berganti-ganti, aku memang mungkin memerlukan pendapat-pendapat itu.”

“Aku kira mereka tidak akan berkeberatan.”

“Tetapi bukankah kalian masih akan tinggal di Tanah Perdikan ini untuk waktu yang tidak terlampau pendek?”

“Kami berharap bahwa kami akan segera dapat minta diri, Ki Argapati. Perkembangan di sebelah Timur Kali Praga agaknya memerlukan perhatian. Alas Mentaok yang kini sudah menjadi semakin ramai ternyata menjadi pusat perhatian seluruh kerajaan Pajang. Bahkan daerah di sekitarnya kini seakan-akan telah berpaling ke daerah baru itu.”

Ki Argapati menganggukkan kepalanya. Dan tiba-tiba ia berkata, “Bagaimana dengan Ki Ageng Mangir?”

Gembala tua itu menarik nafas dalam-dalam. Sambil menggelengkan kepalanya ia menjawab, “Aku tidak tahu.”

Ki Argapati merenung sejenak. Tetapi menurut pengenalannya atas Ki Ageng Mangir, agaknya pemimpin Tanah Perdikan di Mangir itu pun tidak akan banyak mengambil peranan di dalam perubahan keadaan yang tidak akan dapat dielakkan lagi. Entahlah apabila Ki Ageng Mangir itu sudah tidak mampu lagi memimpin pemerintahan, dan yang kelak akan menyerahkan pimpinan kepada puteranya. Mungkin puteranya yang kini masih kecil itu akan bersikap lain apabila ia mendengar riwayat perkembangan Tanah Perdikannya dan hadirnya suatu daerah baru di Alas Mentaok yang lebih muda dari Tanah Perdikannya.

“Kiai,” berkata Ki Argapati kemudian, “apalagi menghadapi keadaan yang berkembang terus di sebelah Kali Praga. Tanah Perdikan ini sendiri memerlukan seorang yang kuat. Apabila aku tidak dapat melakukan tugasku dengan baik, maka aku menjadi cemas, bahwa Tanah Perdikan yang kini seakan-akan menjadi lumpuh ini tidak dapat mengikuti perkembangan keadaan, sehingga akhirnya justru ditelan oleh pergeseran yang terjadi di luar Tanah ini sendiri. Apalagi apabila selama ini, kami keluarga Tanah Perdikan ini masih belum dapat mengatasi goncangan-goncangan keadaan yang telah timbul sebagai akibat api yang baru saja membakar Tanah ini.”

Gembala tua itu mengangguk-anggukkan kepalanya.

“Karena itu, aku memanggil Argajaya segera. Kemudian Sidanti. Aku harus mendapat kepastian, apakah mereka akan ikut serta, atau harus kita tinggalkan.”

Gembala tua itu masih mengangguk-angguk. Memang tidak ada jalan lain daripada berbicara langsung dengan keduanya. Baik Argajaya maupun Sidanti.

“Tetapi,” berkata gembala itu, “apakah Ki Gede tidak menunggu keadaan Ki Gede menjadi semakin baik?”

“Kapan, Kiai?” jawab Ki Argapati. “Kalau aku masih harus menunggu lagi, maka aku kira Tanah Perdikan ini akan banyak kehilangan waktu.”

Gembala tua itu tidak menjawab, ia mengerti bahwa Ki Argapati harus bertindak cepat. Apabila Ki Argapati sudah mempunyai keputusan, apakah yang sebaiknya dilakukan atas Argajaya dan Sidanti, maka ia pun akan segera dapat membuat rencana bagi keseluruhan Tanah Perdikannya, meskipun masih banyak masalah yang harus diatasinya. Putera Ki Argajaya yang masih berkeliaran dengan beberapa orang yang keras kepala, tanah yang kering karena parit-parit yang rusak, persediaan makanan yang menipis, dan panen yang harus segera dapat diusahakan untuk mengatasi kekurangan bahan makanan akibat peperangan.

Menoreh memang harus mengadakan perbaikan di segala bidang, terutama mengembalikan kepercayaan rakyat kepada pemimpinnya.

Dalam keadaannya, Ki Gede pasti tidak akan dapat bekerja selincah sebelumnya. Badannya sudah tidak memungkinkan lagi meskipun bukan berarti bahwa Ki Gede harus selalu berada di pembaringan.

“Kiai,” berkata Ki Gede Menoreh kemudian, “aku ingin bertemu dengan Argajaya. Tetapi maaf, aku kira lebih baik tidak seorang pun. yang mendengarkan pembicaraan kami. Bukan karena aku tidak percaya kepada siapa pun juga terutama kepada Kiai, tetapi aku menjaga agar Argajaya dapat berkata dengan hati terbuka.”

Gembala itu mengerutkan keningnya. Namun katanya, “Ki Gede memerlukan saksi meskipun hanya seorang. Saksi itu bukan orang lain, tetapi sebaiknya adalah Angger Pandan Wangi.”

Ki Argapati merenung sejenak. Katanya, “Apakah, kehadiran Pandan Wangi tidak justru mengganggu?”

“Menurut pendapatku tidak, Ki Gede. Pandan Wangi adalah puteri Ki Gede yang diharap kelak akan berperanan di dalam pemerintahan.”

Ki Argapati mengangguk-anggukkan kepalanya, “Baiklah. Aku sependapat. Aku minta tolong sama sekali, apakah Kiai dapat membawa keduanya kemari?”

“Maksud Ki Gede aku harus membawa Angger Pandan Wangi dan Ki Argajaya?”

“Ya.”

Gembala itu merenung sejenak. Kemudian, “Sebaiknya biarlah Angger Pandan Wangi sajalah yang membawa pamannya kemari?”

“Tetapi Argajaya adalah seorang yang keras kepala. Meskipun menurut laporan yang kami terima, orang itu sudah menjadi agak lunak, tetapi aku belum mempercayainya sepenuhnya.”

Gembala itu tidak segera menjawab.

“Bagaimana kalau tiba-tiba timbul niatnya untuk melakukan perbuatan yang tidak terpuji?”

“Ki Gede, kami akan mengawasi dari kejauhan.”

“Argajaya dapat berbuat cukup cepat.”

“Tetapi Angger Pandan Wangi adalah seorang gadis yang cukup terlatih, ia mempunyai kemampuan yang seandainya terpaut, tidak terlampau banyak dari Ki Argajaya. Karena itu, setidak-tidaknya ia mempunyai kesempatan bertahan sampai kami datang mendekati mereka.”

Ki Argapati mengangguk-anggukkan kepalanya.

“Aku sependapat, Kiai,” katanya kemudian, “tetapi aku titipkan keselamatan Pandan Wangi kepadamu.”

Gembala itu mengangguk, “Ya. Aku akan mencoba.”

“Baiklah. Aku menunggu kedatangan Argajaya dan Pandan Wangi.”

Gembala tua itu pun kemudian minta diri. Ditemuinya Pandan Wangi, dan diberitahukannya maksud ayahnya untuk berbicara langsung dengan Ki Argajaya.

“Bagus,” Pandan Wangi menjawab dengan serta-merta, “sudah lama aku memikirkan hal itu. Sebaiknya ayah memang berbicara langsung apabila keadaannya sudah memungkinkan.”

“Ya, Ngger. Aku juga mengharap bahwa segala sesuatunya akan segera selesai.”

“Lalu?”

“Kami sudah terlampau lama di sini. Aku dan anak-anakku harus kembali menyeberang Kali Praga dan Alas Mentaok.”

“Bukankah Alas Mentaok sudah mulai ramai?”

“Kami masih harus membuktikan.”

Pandan Wangi tidak menjawab. Sekilas terbayang kedua anak-anak muda yang mengaku anak gembala tua itu, yang ternyata bernama Agung Sedayu dan Swandaru Geni. Terasa sesuatu berdesir di dadanya. Apakah ia akan dapat membiarkan keduanya pergi begitu saja tanpa kesan apa pun? Bagaimana dengan pesan Swandaru lewat Agung Sedayu?

Pandan Wangi menundukkan kepalanya. Ia sudah pasti tidak akan dapat memikirkan Agung Sedayu. Sama sekali tidak akan ada gunanya, karena sudah hadir Sekar Mirah.

Tetapi anak yang gemuk itu pun agaknya, sudah mulai tersangkut di hatinya, meskipun perlahan-lahan. Sikapnya yang terbuka meskipun tidak terhadapnya dan mengenai masalahnya. Tertawanya yang lepas dan tidak tertahan-tahan. Sikap dan tingkah lakunya yang kadang-kadang penuh kejenakaan.

“Bagaimana, Ngger?” suara gembala tua itu mengejutkannya.

“O,” Pandan Wangi tergagap, “maksud Kiai, aku sekarang supaya membawa Paman Argajaya menghadap Ayah?”

“Ya, Ngger, kami akan mengamat-amati dari kejauhan.”

“Kenapa Kiai masih harus mengamat-amati?”

“Ayahmu masih belum mempercayainya sepenuhnya.”

“Aku percaya kepadanya. Paman tidak akan berbuat apa-apa. Karena itu Kiai tidak perlu mengawasinya. Aku bertanggung jawab atas Paman Argajaya.”

Gembala itu menarik nafas dalam-dalam. Ada juga sifat keras hati pada gadis ini, seperti juga pada keluarga Menoreh yang lain. Pada Ki Argapati dan Ki Argajaya, dan meskipun berbeda sumber aliran darahnya, namun juga Sidanti. Bahkan putera Argajaya itu pun ternyata keras kepala juga.

“Kapan ayah akan menerima Paman?” bertanya Pandan Wangi.

“Sekarang ayahmu sudah siap, Ngger.”

“Baik. Baik. Aku akan pergi kebilik Paman di ujung gandok.”
Pandan Wangi pun kemudian berlari-lari pergi ke bilik Ki Argajaya. Gupita, Gupala, dan beberapa orang pengawal terkejut melihat kedatangannya. Bahkan Sekar Mirah dan Sumangkar yang duduk agak jauh dari mereka pun mengerutkan keningnya.

“Kenapa anak itu berlari-lari” desis Sumangkar.

Sekar Mirah menggelengkan kepalanya. Tetapi ia pun kemudian berdiri dan berjalan mendekatinya.

Gupita dan Gupala yang merasa diserahi tanggung jawab atas Ki Argajaya serentak berdiri dan bertanya, “Ada apa Wangi?”

“O,” Pandan Wangi menarik nafas dalam-dalam, “Ayah memanggil Paman Argajaya.”

Gupita dan Gupala berpandangan sejenak. Namun kemudian guru mereka pun datang sambil berkata, “Ya, Ki Argapati memanggil Ki Argajaya.”

Pandan Wangi mengerutkan keningnya. Katanya, “Apakah kalian tidak percaya kepadaku, sehingga ayahmu perlu menjelaskan?”

“Tidak. Sama sekali tidak,” Gupalalah yang menjawab. “Aku percaya kepadamu.”

Pandan Wangi memandang Gupala dengan tajamnya. Dan Gupala berkata terus, “Silahkan mengambil Ki Argajaya.”

Pandan Wangi tidak menjawab. Tetapi kemudian ia melangkah menghampiri pintu yang diselarak dari luar. Perlahan-lahan ia menarik selarak itu, lalu perlahan pula pintu bilik itu terbuka.

“Paman,” desis Pandan Wangi sebelum ia memasuki bilik itu.

Argajaya yang duduk termenung di atas pembaringannya mengangkat wajahnya. Ketika ia berpaling, memandang ke arah pintu, dilihatnya seorang gadis dengan ragu-ragu memasuki biliknya.

“Paman,” sekali lagi Pandan Wangi berdesis.

“O,” Ki Argajaya menarik nafas dalam-dalam, “kau Wangi.”

“Ya, Paman.”

“Jangan masuk. Udara sangat lembab dan aku hampir tidak dapat bernafas di dalam bilik yang sempit dan gelap ini.”

Pandan Wangi tertegun sejenak.

“Apakah keperluanmu Wangi?”

“Aku akan berbicara sedikit, Paman.”

Argajaya tidak segera menjawab. Matanya yang menyala kini menjadi cekung dan dalam.

Perlahan-lahan ia berdiri dan melangkah mendekati Pandan Wangi.

“Kau lebih baik tetap berada di muka pintu itu Wangi. Kau tidak akan menjadi sesak nafas.”

Pandan Wangi tidak menyahut. Tetapi ditungguinya pamannya mendekatinya.

“Paman,” katanya kemudian setelah pamannya berdiri di hadapannya, “Ayah memanggil Paman.”

Ki Argajaya mengerutkan keningnya. Kemudian kepalanya terangguk-angguk. Sejenak kemudian ia menarik nafas sambil bertanya, “Wangi, apakah ayahmu sudah menemukan keputusan, hukuman apakah yaag akan dijatuhkan atasku?”

“Tidak, Paman,” jawab Pandan Wangi, “Ayah sekedar ingin berbicara dengan Paman.”

“Apakah yang akan dibicarakan?”

“Aku tidak tahu, Paman. Tetapi sudah terang, tentang Tanah Perdikan ini.”

“Pandan Wangi,” berkata Argajaya, “kau tahu bahwa aku pasti sudah dianggap bersalah oleh ayahmu. Sudah tentu ayahmu akan mengambil suatu keputusan untuk menghukum aku.”

“Tidak, Paman. Tidak.”

“Sejak semula ayahmu tidak mau bertanggung jawab terhadap semua tindakanku dan Sidanti yang menyangkut kekuasaan Pajang. Itulah sebabnya Sidanti mencoba mencari kekuatan dibantu oleh gurunya. Karena aku terlibat dalam masalah Tambak Wedi yang langsung berbenturan dengan kekuasaan Pajang di Selatan yang dipimpin oleh Untara, maka aku tidak mempunyai pilihan lain daripada mencoba mencuri kekuatan bersama Sidanti untuk menghadapi setiap tindakan Pajang atas diri kami.”

“Tetapi ternyata Pajang tidak berbuat apa-apa. Bahkan sekarang mereka tidak akan sempat lagi mengurus masalah-masalah yang kecil seperti itu, Paman.”

“Kenapa?.”

“Aku tidak tahu pasti. Tetapi Ki Gede Pemanahan sudah tidak menjadi panglima lagi. Bersama puteranya mereka membuka hutan Mentaok di sebelah Kali Praga.”

Argajaya mengerutkan keningnya. Tetapi kemudian ia berkata, “Mungkin kau salah, Wangi. Mereka membuka Alas Mentaok sebagai batu landasan untuk meloncat ke Barat.”

“Aku kira tidak begitu, Paman.”

Argajaya mengerutkan keningnya. Tetapi ia tidak segera menjawab.

“Tetapi entahlah, apa yang terjadi di seberang Kali Praga. Yang penting sekarang Paman diminta datang oleh Ayah. Tetapi Ayah sama sekali tidak akan menjatuhkan keputusan saat ini.”

Ki Argajaya merenung sejenak. Dari sela-sela pintu yang terbuka ia memandang ke luar, ke hijaunya dedaunan. Ketika terasa angin yang silir menyusup lewat pintu yang terbuka menyentuh wajahnya, ia menarik nafas dalam-dalam.

“Marilah, Paman,” berkata Pandan Wangi, “aku antarkan Paman menghadap ayah.”

“Sudah tentu aku tidak akan dapat ingkar,” jawab Argajaya. “Adalah hak ayahmu untuk memanggil aku, bahkan menggantung aku di alun-alun kalau aku dianggapnya sebagai seorang pengkhianat yang telah menodai Tanah Perdikan ini.”

Pandan Wangi menahan nafasnya sejenak. Ditatapnya wajah pamannya yang cekung dan pucat. Tetapi pada wajah itu kini sudah tidak dilihatnya lagi gelora yang menyala seperti sebelum terjadi peperangan yang telah membuat Tanah Perdikan Menoreh menjadi abu. Wajah yang pucat itu kini seolah-olah seperti wajah telaga yang tenang. Pasrah.

“Paman,” berkata Pandan Wangi kemudian, “aku menjamin bahwa ayah tidak akan menghukum Paman, apabila Paman sejak kini masih tetap menjadi seorang putera Menoreh yang bersedia uutuk bersama-sama membangun tanah ini kembali.”

“Jangan, Pandan Wangi,” potong pamannya, “jangan memberikan jaminan apa-apa. Kalau kau berbeda pendirian dengan ayahmu, maka akan timbul persoalan-persoalan berikutnya sebagai akibat jaminan yang kau berikan itu.”

Pandan Wangi menarik nafas dalam-dalam. Sifat-sifat itu masih juga ditemui pada pamannya yang agaknya sudah pasrah.

“Sekarang, bawalah aku menghadap ayahmu. Apa pun yang akan diperlakukan atasku, aku tidak akan dapat ingkar. Aku tidak dapat menolak dengan cara apa pun. Kasar atau halus.”

Pandan Wangi tidak menyahut. Tetapi ia bergeser ketika pamannya perlahan-lahan melangkah ke luar pintu.

Selangkah di luar pintu Ki Argajaya berhenti sejenak. Disekanya matanya, seakan-akan ia menjadi silau melihat sinar matahari yang menyala di halaman. Namun sejenak kemudian ia melangkah lagi dengan kepala tunduk. Ki Argajaya sama sekali tidak mempedulikan siapa saja yang memandanginya dari dekat dan kejauhan. Ia tidak melihat gembala tua, Gupita dan Gupala, Sumangkar dan bahkan Sekar Mirah yang memandanginya dengan tatapan mata yang tidak berkedip.

Perlahan-lahan Ki Argajaya berjalan naik ke pendapa, kemudian masuk ke pringgitan diantar oleh Pandan Wangi. Beberapa langkah di belakangnya, gembala tua itu mengikutinya. Tetapi ia tidak ikut memasuki bilik Ki Argapati. Karena itu, maka ia pun kemudian duduk saja di ruang tengah bersama beberapa orang prajurit yang bertugas mengawasi bilik Sidarti.

Ketika kaki Argajaya memasuki bilik kakaknya yang masih berbaring, rasanya kaki itu menjadi lemah dan gemetar. Karena itu maka langkahnya pun tertegun sejenak. Terlampau sulit baginya untuk mengendalikan perasaannya yang tiba-tiba saja bergolak.

“Kau Argajaya,” terdengar suara Ki Argapati datar.

Ki Argajaya menelan ludahnya.

“Marilah. Duduklah.”

Ki Argajaya tidak menjawab. Tetapi ia maju selangkah.

“Duduklah.”

Pandan Wangi pun kemudian memberikan sebuah dingklik kayu kepadanya.

Ki Argajaya pun kemudian duduk di atas dingklik kayu itu di dekat pembaringannya Ki Argapati.

“Mendekatlah Argajaya. Badanku masih belum terlampau baik untuk duduk terlampau lama.”

Argajaya tidak menjawab dan tidak bergeser dari tempatnya.

Terdengar desah nafas Ki Gede, kemudian Ki Gede itu pun perlahan-lahan bangkit.

Pandan Wangi segera mendekatinya dan menolongnya duduk. Tetapi ia bertanya, “Apakah Ayah tidak terlampau lelah?”

Ki Argapati menggeleng, “Tidak, Wangi.”

Pandan Wangi tidak bertanya lagi. Dibantunya ayahnya menempatkan diri, duduk menghadap kepada adiknya, Argajaya.

Setelah menarik nafas dalam-dalam Ki Argapati berkata, “Argajaya. Kau sudah mendengar akibat dari peperangan yang baru saja terjadi?”

Ki Argajaya yang menundukkan kepalanya itu mengangguk.

“Ya, Kakang. Aku mendengarnya.”

“Baik,” sahut Ki Argapati, “bukankah kau juga mendengar bahwa Tanah Perdikan ini sudah benar-benar menjadi abu?”

“Ya, Kakang.”

“Ini adalah suatu contoh dan pengalaman yang baik bagi masa depan. Setiap perpecahan tidak akan membawa manfaat apa pun bagi Tanah ini. Seandainya Ki Tambak Wedi, kau, dan Sidanti memenangkan perang yang baru saja terjadi itu, kalian pun pasti hanya akan menemukan sisa-sisa seperti Tanah Perdikan ini sekarang. Kerusuhan masih terdapat di mana-mana. Setiap saat rakyat masih selalu dicengkam oleh ketakutan. Mereka yang selalu menghantui rakyat Tanah Perdikan Menoreh ini.”

Dan tiba-tiba saja Ki Argapati bertanya, “Bagaimana dengan anakmu?”

Ki Argajaya menarik nafas dalam-dalam. Dengan kepala yang masih menunduk ia berkata, “Aku tidak tahu, apa yang telah terjadi atasnya.”

“Pandan Wangi sudah mencoba mencarinya.”

Ki Argajaya tidak menyahut, sedang Pandan Wangi menjadi berdebar-debar. Untunglah bahwa mereka tidak membicarakan anak itu lebih jauh.

“Itu adalah salah satu gambaran, Argajaya,” berkata Ki Argapati, “ayah yang terpisah dari anak, anak yang terpisah dari ibu dan isterinya yang terpisah dari suami.”

Argajaya masih tetap berdiam diri.

“Meskipun hal itu dapat dianggap wajar terjadi dalam peperangan, tetapi alangkah baiknya kalau peperangan, perpecahan lebih-lebih di antara keluarga sendiri itu tidak terjadi. Dengan demikian tidak akan ada suami yang terpisah dari isterinya, ibu yang terpisah dari anaknya dan anak yang terpisah dari bapaknya. Lebih menyedihkan lagi, apabila anak dan ayah, adik dan kakak telah memilih pihak yang berlawanan seperti yang sudah terjadi atas kita berdua, justru sebagai pusat perhatian orang-orang dari tlatah Menoreh ini. Maka jalur perpecahan itu akan membelah seluruh rakyat Tanah Perdikan ini. Bahkan akan membelah keluarga-keluarga dan saudara-saudara sekandung seperti kita pula.”

Ki Argajaya masih saja menundukkan kepalanya. Tetapi kata-kata kakaknya itu telah menyentuh hatinya. Terbayang kembali peristiwa-peristiwa yang telah terjadi di atas Tanah Perdikan ini. Pertempuran demi pertempuran. Kekerasan dan perampasan yang hampir tidak terkendali atas rakyat yang seakan-akan tidak terlindungi lagi.

Dan tiba-tiba Ki Argajaya itu memandang ke dirinya sendiri. Benarkah bahwa ia melakukan perlawanan atas kakaknya itu hanya karena ia memerlukan perlindungan terhadap orang-orang Pajang yang mungkin masih mencarinya sampai ke Tanah Perdikan Menoreh? Benarkah bahwa ia tidak mempunyai pilihan lain kecuali berpihak kepada Sidanti dan Ki Tambak Wedi karena ia sudah terlanjur terlibat dalam peperangan di Tambak Wedi?

Ki Argajaya menarik nafas dalam-dalam. Ia tidak dapat membohongi dirinya sendiri, bahwa ia merasa satu-satunya keluarga trah Argapati. Kalau Ki Argapati tidak ada lagi, maka ia adalah satu-satunya waris yang sah atas Tanah Perdikan ini. Sudah tentu ia harus menyingkirkan pandan Wangi pula. Ia tidak lagi terhalang oleh Sidanti, karena ia akan segera dapat mengumumkan bahwa Sidanti sama sekali bukan darah keturunan Ki Argapati.

Tetapi yang terjadi kini adalah sama sekali tidak seperti yang dibayangkannya waktu itu. Yang terjadi, Tanah Perdikan Menoreh kini menjadi abu setelah terbakar oleh api peperangan di antara keluarga sendiri.

Dan Ki Argajaya yang sedang merenung itu kemudian mendengar suara Ki Argapati, “Argajaya, apakah kau merasakan semuanya itu kini?”

Argajaya mengangguk perlahan, “Ya, Kakang. Aku merasakan kini. Dan aku tidak ingkar, bahwa aku telah ikut membakar Tanah Perdikan Menoreh apa pun alasanku. Karena itu, sekarang Kakang dapat menjatuhkan keputusan, apakah aku akan digantung, atau dipancung atau dipicis sekalipun.”

Ki Argapati mengerutkan alisnya. Katanya, “Kau masih seperti dulu. Apakah kau tidak dapat menanggapi keadaan ini dengan cara yang lain-lain. Apakah kau masih saja mengeraskan hatimu meskipun kau sudah melihat sendiri Tanah Perdikan ini terbakar menjadi abu?”

Ki Argajaya mengangkat wajahnya. Sorot matanya memancarkan pertanyaan yang tersimpan di dalam hatinya atas kata-kata kakaknya.

“Argajaya,” berkata Ki Argapati kemudian, “kalau kau masih berkeras hati, maka harapanku untuk membangun Tanah ini akan lenyap sama sekali. Aku sendiri bukan orang yang dapat menahan diri dan bersabar menghadapi persoalan-persoalan yang berat. Apalagi dalam keadaanku sekarang. Karena itu, aku harap kau dapat mengerti maksudku. Aku pun tidak akan dapat merendahkan diri, mohon kepadamu agar kau sudi membantu aku, seperti kau tidak akan mengatakan kepadaku, bahwa kau merasa bersalah, kemudian minta agar kesalahan itu diampuini dan mendapat kesempatan untuk hidup. Tidak. Kau tidak mau dan aku pun tidak, karena kita masing-masing adalah orang-orang yang berhati batu.”

Dada Ki Argajaya tiba-tiba menjadi berdebar-debar. Dan ia mendengar Ki Argapati berkata seterusnya, “Kau merasa lebih jantan apabila kau digantung atau dipacung di alun-alun, sehingga karena itu kau menantang aku untuk melakukannya.” Argapati berhenti sejenak, lalu, “Argajaya. Kalau aku menuruti perasaanku, aku cenderung untuk memenuhi tantanganmu. Tetapi dengan demikian aku tidak berhasil mengatasi persoalan di antara kita sendiri dengan cara yang baik. Yang aku inginkan, kita dapat membangun Tanah yang sudah menjadi abu ini. Tentu saja dengan ikhlas.”

Ki Argajaya tidak menjawab. Tetapi kepalanya kini tertunduk semakin dalam.

“Kita masing-masing harus bersedia mengorbankan sebagian kecil harga diri kita masing-masing. Mungkin aku terpaksa menelan ucapan-ucapan orang yang tidak senang melihat sikap ini, bahwa aku tidak berani mengambil sikap yang tegas, atau karena kau adalah adik kandungku. Dan kaupun barangkali akan mendapat sebutan seorang pengecut yang minta ampun dan tidak bertanggung jawab setelah kalah di peperangan. Tetapi kalau kelak kita dapat membuktikan bahwa kita berhasil membangun Tanah Perdikan ini sehingga menjadi pulih kembali, maka suara-suara itu akan hilang dengan sendirinya.”

Ki Argajaya tidak menyahut.

“Tetapi sudah tentu, bahwa persetujuan di antara kita harus dibuat dengan ikhlas. Kalau tidak, maka benih-benih api yang akan membakar Tanah ini, kelak masih belum terpadamkan.”

Terasa sesuatu bergetar di dada Argajaya. Belum pernah ia mendapat sentuhan begitu tajam pada dinding jantungnya, sehingga tanpa sesadarnya kepalanya terangguk-angguk lemah.

“Bagaimana pendapatmu, Argajaya?”

Sejenak ia masih berdiam diri. Tetapi kepalanya masih terangguk-angguk.

“Apakah kau dapat mengerti dan bersedia untuk bersama-sama dengan semua orang yang masih ada dan sejalan dengan pikiran kita untuk membangun kembali Tanah ini.”

Ki Argajaya menarik nafas dalam-dalam. Kemudian diangkatnya kepalanya perlahan-lahan sambil berdesis, “Ya, Kakang. Aku mengerti maksud Kakang. Agaknya meskipun samar-samar aku telah dapat melihat ke dalam diriku sendiri. Apakah memang benar kata-kata Kakang Argapati bahwa aku adalah orang yang keras kepala? Jika demikian, maka biarlah aku mencoba untuk melunakkan diri sendiri. Dan agaknya aku memang harus mengakui bahwa aku kadang-kadang tidak dapat mempertimbangkan sikapku lebih dahulu.”

Ki Argapati mengangguk-anggukkan kepalanya.

“Sekarang,” berkata Ki Argapati, “apakah katamu tentang masa depan Tanah ini, tentang kau dan tentang aku? Apakah kau dapat menerima pendapatku?”

Ki Argajaya mengangguk-angguk kecil pula, sambil menyahut perlahan-lahan, “Aku akan menerima kemurahan hati Kakang itu dengan segala senang hati dan terima kasih. Kalau aku memang masih mendapat kesempatan, maka kesempatan itu akan aku pergunakan sebaik-baiknya.”

Sejenak Ki Argapati berdiam diri sambil menatap wajah adiknya seakan-akan ingin mengunyah jawaban itu di dalam hati.

Sepercik harapan telah tumbuh di dalam dada Ki Argapati, bahwa ia akan dapat menyiapkan kembali Tanah Perdikan Menoreh, meskipun ia masih harus tetap mempunyai kecurigaan, bahwa masih ada benih-benih yang dapat menyalakan api di kemudian hari.

“Agaknya laporan-laporan tentang Argajaya ada juga benarnya,” katanya di dalam hati. “Setelah ia mendapat kesempatan menilai perbuatannya, maka agaknya ia menemukan kesadarannya.”

Tanpa sesadarnya Ki Argapati mengangguk-anggukkan kepalanya.

Ketika terpandang olehnya wajah puterinya Pandan Wangi, maka puterinya itu pun mengangguk kecil.

“Agaknya Pandan Wangi menyetujui pembicaraan ini,” katanya di dalam hati pula, “tetapi, apabila pembicaraan nanti sampai pada Sidanti, apakah juga akan dapat selancar ini?”

Sejenak mereka yang ada di dalam ruangan itu saling berdiam diri, tenggelam dalam angan-angan masing-masing.

“Argajaya,” berkata Ki Argapati kemudian, “aku merasa bahwa aku pun akan segera sembuh sama sekali. Kalau kau dapat melupakan apa yang terjadi, maka aku kira Tanah ini akan segera pulih kembali seperti sedia kala.”

Argajaya tidak menjawab. Tetapi ia mengangguk-anggukkan kepalanya.

“Argajaya,” berkata Ki Argapati kemudian, “aku akan segera mempersiapkan segala sesuatunya. Aku juga akan segera bertemu dengan Sidanti. Mudah-mudahan hatinya pun sudah terbuka. Dengan demikian kita akan segera dapat bersama-sama membangun Tanah yang tinggal sisa-sisanya ini.”

Tetapi dada Argajaya tiba-tiba menjadi berdebar-debar. Ia mengenal benar sifat Sidanti yang keras seperti batu hitam. Karena itu, apakah usaha Ki Argapati itu akan berhasil?

Sejenak Ki Argajaya melihat ke dirinya sendiri. Ke hatinya yang semula tidak kalah kerasnya dari Sidanti. Namun akhirnya hatinya menjadi luluh. Bukan saja karena ia menyadari segala kekeliruannya, tetapi sebagian juga karena sikap Argapati yang tidak disangka-sangka. Menurut pengenalan Ki Argajaya, kakaknya itu pun berhati padas. Namun agaknya kali ini ia sempat mempergunakan nalarnya. Bukan sekedar perasaannya.

“Argajaya,” berkata Ki Argapati kemudian, “meskipun kita sudah menemukan persetujuan, tetapi aku minta maaf, bahwa aku masih akan mempersilahkan kau kembali ke dalam bilikmu. Mungkin bilik itu sama sekali tidak memadai. Setelah aku menemukan kesamaan pendapat dengan Sidanti, kita akan segera berbuat sesuatu. Kau akan segera dapat mencari anakmu bersama dengan beberapa orang yang akan mengawani kau dalam perjalanan, karena orang-orang yang tidak puas mungkin masih akan melakukan tindakan-tindakan yang tidak sepantasnya.”

“Terserahlah kepada Kakang,” jawab Ki Argajaya.

“Nah, Argajaya, biarlah Pandan Wangi membawamu kembali. Besok atau lusa kita akan bertemu lagi. Hari ini aku akan berusaha bertemu dengan Sidanti supaya masalahnya, lekas selesai.”

Argajaya mengangguk-anggukkan kepalanya. Namun tiba-tiba ia tidak dapat menahan diri ketika dari mulutnya meloncat suatu peringatan kepada kakaknya, “Hati-hatilah terhadap Sidanti, Kakang.”

Ki Argapati mengerutkan keningnya. Tetapi dari lontaran kata-kata itu ia melihat ketulusan hati Argajaya. Karena itu maka ia menjawab, “Terima kasih Argajaya. Aku akan berhati-hati kepadanya. Tetapi aku telah mengenalnya sejak kecil. Ia adalah anakku.”

Ki Argajaya memandang wajah Argapati sejenak. Tetapi tampaklah kemuraman yang dalam menikam jantungnya. Kata-kata itu telah dipaksanya untuk meloncat dari bibirnya, sedang hatinya sendiri tersayat karenanya.

Namun Ki Argajaya tidak berkata apa pun lagi.

“Argajaya,” Ki Argapatilah yang berkata lagi, “biarlah Pandan Wangi mengantarkan kau.” Kemudian kepada Pandan Wangi ia berkata, “Langsung sajalah kau pergi menjemput kakakmu. Bawalah ia kemari. Aku ingin berbicara pula kepadanya.”

“Baik, Ayah,” jawab Pandan Wangi.

“Marilah, Wangi,” berkata Ki Argajaya. Lalu kepada Ki Argapati, “Aku minita diri Kakang. Aku menunggu apa pun yang akan Kakang lakukan. Tetapi sebelumnya aku mengucapkan diperbanyak terima kasih atas kebaikan hati Kakang itu.”

“Sudahlah. Kita saling memerlukan.”

Pandan Wangi pun kemudian, mengantarkan pamannya keluar dari bilik ayahnya. Di ambang pintu, Pandan Wangi melihat gembala tua itu duduk di antara mereka yang bertugas menjaga Sidanti.

“Hem, gembala itu tidak percaya lagi kepada Paman Argajaya dan barangkali juga kepada Kakang Sidanti,” katanya di dalam hati. Tetapi ia tidak mengucapkan kata-kata itu.

Ketika Argajaya juga melihat gembala itu, maka ia pun segera berpaling. Ia masih belum dapat mengatur perasaannya apabila ia melihat orang-orang dari luar Tanah Perdikan ini, tetapi terlampau banyak ikut mencampuri masalah di dalam wilayah ini.

Karena itu, maka Argajaya pun kemudian melangkah tanpa berpaling lagi diikuti oleh Pandan Wangi. Apalagi ketika di luar pendapa ia melihat Gupita dan Gupala dan bahkan Sekar Mirah ada di antara mereka. Dahinya pun segera menjadi berkerut-merut. Tetapi tidak ada yang dapat dilakukannya selain membuang wajahnya. Ia menjadi muak mendengar suara Gupala dan Gupita dari dalam biliknya, selama Gupala dan Gupita bertugas di luar pintu menungguinya.

“Mereka pun harus pergi. Selama mereka masih ada di atas Tanah ini, Kakang Argapati tidak akan dapat melakukan pekerjaannya sesuai dengan kehendaknya yang murni. Orang-orang ini pun pasti mempunyai maksud pula untuk kepentingan diri mereka sendiri, yang mungkin bertentangan dengan kepentingan Tanah Perdikan ini,” katanya di dalam hati.

Gupala dan Gupita pun sama sekali tidak menegurnya. Bahkan mereka pun kemudian berpaling pula memandang kearah lain.

Sejenak kemudian Ki Argajaya telah masuk kembali ke dalam biliknya. Namun pertemuannya dengan kakaknya menjadikannya semakin menyadari diri. Meskipun perlahan-lahan namun pasti, bahwa Ki Argajaya merasa, bahwa tidak ada jalan lain daripada menundukkan kepalanya kembali di hadapan kakaknya. Baik sebagai seorang saudara muda, maupun sebagai seorang warga Tanah Perdikan Menoreh.

Ki Argajaya mengangkat wajahnya ketika ia mendengar Pandan Wangi berkata, “Silahkan, Paman, aku minta diri untuk menemui Kakang Sidanti.”

“O,” Ki Argajaya menjawab, “baiklah. Mudah-mudahan semuanya dapat berjalan lancar seperti yang diharapkan oleh ayahmu. Sekali lagi aku menyampaikan terima kasih atas kemurahannya. Tetapi aku pun berpesan, agar orang-orang asing itu segera diusir dari Tanah ini. Mereka akan menjadi benalu yang memuakkan apabila mereka dibiarkan untuk tetap berada di atas Tanah ini.”

Pandan Wangi mengerutkan keningnya. “Maksud Paman?” ia bertanya.

“Orang-orang gila itu. Swandaru, Agung Sedayu, gurunya, dan orang-orang lain yang datang bersamanya. Termasuk perempuan muda itu pula.”

Pandan Wangi menarik nafas. Tetapi ia tidak menjawab. Yang dikatakannya kemudian, “Silahkan Paman beristirahat. Aku akan menemui Kakang Sidanti.”

Argajaya mengangguk-anggukkan kepalanya. Kemudian ia melangkah ke pembaringannya di dalam bilik yang gelap dan lembab.

Sejenak kemudian pintu bilik itu pun tertutup kembali. Argajaya merasa bahwa kini ia kembali terpisah dari dunia di sekitarnya. Dunianya adalah ruangan yang sempit, gelap, dan lembab. Dunia yang sama sekali tidak berarti apa-apa itu.

Ia mengangkat kepalanya ketika ia mendengar pintu, biliknya diselarak dari luar. Dan ia berdesah ketika ia mendengar suara Gupala, “Aku akan menungguinya.”

“Jagalah ia baik-baik,” pesan Pandan Wangi.

“Tentu. Aku akan menjaganya baik-baik.”

Sejenak kemudian tidak terdengar apa-apa lagi. Sepi. Agaknya Pandan Wangi telah pergi meninggalkan pintu biliknya.

Sebenarnyalah bahwa Pandan Wangi telah pergi. Dengan hati yang berdebar-debar ia menuju ke bilik kakaknya. Terasa sesuatu yang lain. Dan gadis itu sadar, bahwa kakaknya Sidanti memang bersikap lain dari pamannya, Ki Argajaya.

“Aku akan mencoba melunakkan hatinya,” katanya di dalam hati. Namun demikian Pandan Wangi sendiri masih ragu-ragu. Apakah ia akan berhasil? Agaknya hati Sidanti benar-benar sudah mengeras, sekeras batu hitam.

“Tetapi kami harus berusaha. Keputusan terakhir terserah kepada ayah,” ia berbicara kepada dirinya sendiri.

Di muka pintu ruangan tengah ia menjadi ragu-ragu sejenak. Ia masih melihat gembala tua itu duduk di antara penjaga bilik Sidanti.

“Marilah, Ngger,” gembala itu mempersilahkan.

Pandan Wangi maju beberapa langkah, kemudian katanya, “Kiai, aku mendapat perintah dari ayah untuk membawa Kakang Sidanti menghadap sekarang.”

“Sekarang?” bertanya gembala itu.

“Ya. Ayah ingin menyelesaikan pembicaraan ini sama sekali. Kemudian ayah akan segera dapat menyusun rencana untuk Tanah Perdikan ini. Rencana yang segera dapat dikerjakan, dan rencana yang akan dikerjakan kemudian.”

Gembala tua itu mengangguk-anggukkan kepalanya. Pembicaraan antara Ki Argapati dan Sidanti pasti akan merupakan peristiwa yang cukup penting. Sementara itu ia tidak melihat Ki Samekta dan Ki Kerti.

“Karena itu,” berkata Pandan Wangi kemudian, “aku akan menemui Kakang Sidanti sekarang.”

“Ya, ya. Silahkan,” berkata orang tua itu. “Tetapi apakah Angger melihat Ki Samekta dan Ki Kerti?”

“’Mereka berada di antara para pengawal. Mungkin sekarang mereka sedang nganglang atau melihat-lihat apa pun.”

“Apakah mereka tidak dipanggil oleh Ki Argapati?”

“Kali ini tidak.”

Gembala itu mengangguk-anggukkan kepalanya. Katanya kemudian, “Kalau begitu, silahkanlah. Tetapi hati-hatilah.”

“Aku adalah adiknya. Aku mengenal tabiatnya sejak kanak-kanak.”

Gembala itu mengangguk-anggukkan kepalanya. Agaknya Pandan Wangi sama sekali tidak dapat melepaskan hubungan yang telah mengikatnya sejak ia dilahirkan. Sebagai dua orang anak yang dilahirkan oleh ibu yang sama, maka Pandan Wangi tetap merasa sebagai seorang adik dan Sidanti adalah seorang kakak. Pergaulan mereka di masa kanak-kanak pun agaknya membekas terlampau dalam di hati gadis itu.

Pandan Wangi pun kemudian melangkah perlahan-lahan mendekati ujung ruangan itu. Di muka pintu bilik Sidanti, Pandan Wangi menjadi ragu-ragu sejenak. Tetapi ia berusaha menindas setiap perasaan yang telah menghambatnya.

“Sekasar-kasar Kakang Sidanti, ia tetap kakakku. Ia masih berusaha menolongku justru di permulaan pertentangan antara ayah dan Kakang Sidanti itu, sedang Kakang Sidanti sadar, bahwa aku pasti akan berpihak kepada ayah.”

Ketika Pandan Wangi maju semakin dekat, maka seorang pengawal telah mendekatinya dan berkata, “Apakah pintu ini akan dibuka.”

“Ya,” jawab Pandan Wangi.

Pengawal itu pun kemudian maju ke depan pintu. Perlahan-lahan ia meraba selaraknya, dan perlahan-lahan ia mulai menarik. Namun demikian dadanya menjadi kian berdebar-debar. Berbagai bayangan melonjak di kepalanya. Bagaimana kalau tiba-tiba saja pintu ini menyentak terbuka. Kemudian sebuah pukulan melayang ke wajahnya, sehingga ia menjadi pingsan.

Oleh angan-angannya sendiri, maka tangannya menjadi semakin gemetar. Ketika selarak itu telah terlepas, maka tiba-tiba selarak itu sekan-akan meloncat dari tangannya dan jatuh berderak-derak dilantai.

Semua orang terkejut karenanya. Lebih-lebih lagi adalah orang itu sendiri, sehingga ia meloncat beberapa langkah surut sambil menarik pedangnya.

“He, kenapa kau?” bertanya kawannya.

Ketika ia menyadari keadaanya, maka wajahnya menjadi merah padam. Tersipu-sipu ia menyarungkan pedangnya kembali sambil melangkah maju.

“Kenapa kau, he?” bertanya Pandan Wangi.

“Tidak apa-apa,” jawab pengawal itu. Tetapi hatinya masih tetap berdebaran.

Ketika kemudian Pandan Wangi perlahan-lahan membuka pintu, pengawal itu menekan nafasnya. Namun kemudian ia menarik nafas dalam-dalam ketika dari sela-sela pintu yang mulai terbuka itu ia melihat Sidanti duduk saja di pembaringannya. Bahkan berpaling pun tidak. Seakan-akan ia tidak mendengar pintu itu terbuka dan adiknya melangkah masuk.

“Kakang,” desis Pandan Wangi kemudian.

Tanpa berpaling Sidanti katanya, “Kenapa kau kemari?”

Pandan Wangi tidak segera menyahut. Selangkah ia maju. Ditatapnya wajah kakaknya yang muram dan gelap. Rambutnya yang kusut dan ikat kepalanya yang tersangkut di lehernya.

Terasa dada Pandan Wangi tergetar. Setiap kali ia melihat kakaknya itu dikawani oleh beberapa orang pengawal dan diawasi oleh gembala tua, apabila ia pergi ke sumur atau ke pakiwan. Namun ia tidak melihat wajah yang semuram dan segelap itu.

“Kenapa?” suaranya datar.

Terasa kesepian yang tajam membakar dada anak muda itu. Ia merasa bahwa kini ia tinggal hidup sendiri. Karena itu maka setiap orang sama sekali sudah tidak berarti lagi baginya. Juga Pandan Wangi.

“Kakang,” berkata Pandan Wangi, “aku perlu berbicara sedikit.”

“Tidak,” jawab Sidanti, “tidak ada yang dapat kita bicarakan.”

“Tentu ada Kakang. Soal apa pun juga.”

“Tidak. Pergilah. Tinggalkan aku sendiri.”

Pandan Wangi mengerutkan keningnya. Namun ia maju selangkah, “Kakang, aku ingin berbicara kepadamu. Bukankah aku adikmu.”

“Dahulu kau adikku. Tetapi sekarang kau sudah berpihak kepada laki-laki tamak itu.”

Dada Pandan Wangi tergetar. Ia memang sudah menyadari bahwa ia seakan-akan berdiri di simpang jalan yang paling sulit untuk memilih arah. Sidanti adalah kakaknya, dan Argapati adalah ayahnya. Tetapi sama sekali tidak ada hubungan darah antara Argapati dan Sidanti itu. Bahkan sejak dilahirkan, sebuah jurang yang dalam memang telah ternganga di antara keduanya. Betapa pun Ki Argapati mencoba menimbuni jurang itu, namun ketika banjir bandang yang dahsyat melanda dari tebing-tebing pegunungan, maka semua lumpur di dalam jurang yang sedikit demi sedikit tertimbun itu telah hanyut kembali seluruhnya. Dan jurang itu kini menganga semakin dalam dan semakin lebar.

“Kakang,” berkata Pandan Wangi, “apa pun yang telah terjadi atas diri kita masing-masing, tetapi ikatan itu tidak akan dapat berubah. Kau dilahirkan oleh Rara Wulan, dan aku pun dilahirkan oleh perempuan itu pula. Kita tidak akan dapat lari dari kenyataan itu. Kenyataan bahwa kita seibu. Kita adalah kakak-beradik.”

“Aku bukan laki-laki cengeng,” suara Sidanti meninggi, “aku tidak mau terbelenggu oleh ikatan-ikatan yang tidak aku kehendaki. Aku tidak minta dilahirkan oleh perempuan yang melahirkan kau juga. Aku tidak pernah menghendaki apa pun atas kelahiranku. Justru aku merasa tersiksa bahwa aku telah dilahirkan oleh perempuan yang bernama Rara Wulan itu, karena ia berhubungan dengan laki-laki yaug bukan bakal suaminya.”

“Kakang.”

“Apakah kau akan ingkar? Bukankah kau yang mengatakan bahwa kita tidak dapat lari dari kenyataan. Dan kenyataan itu mengatakan bahwa perempuan yang bernama Rara Wulan itu telah berbuat keji karena ia berhubungan dengan Ki Tambak Wedi sehingga aku terlempar ke dunia dengan cacat yang tidak akan terhapuskan. Apakah aku harus berbangga dan berterima kasih atas kejadian serupa itu? Kalau kemudian Rara Wulan itu melahirkan kau juga itu sama sekali tidak aku minta.” Sidanti berhenti sejenak, lalu, “apakah sekarang aku harus tetap mengikatkan diri pada masalah-masalah dan hubungan yang tidak aku kehendaki itu. Tidak. Tidak. Aku kini sudah melepaskan diri dari semuanya itu. Aku adalah aku. Aku tidak terikat oleh siapa pun.”

“Kakang,” suara Pandan Wangi menjadi semakin dalam, “hatimu menjadi gelap. Kau sudah kehilangan dirimu sendiri.”

“Di dalam bilik yang sempit ini aku menemukan diriku. Aku. Aku. Tanpa orang lain aku tetap Sidanti. Dan kini suatu kenyataan pula, yang menurut kau, sebaiknya tidak kita hindari bahwa aku adalah aku sendiri. Tanpa kau, tanpa Argapati, tanpa Tambak Wedi seandainya ia masih hidup, tanpa Argajaya, dan tanpa Rara Wulan seandainya ia masih ada pula.”

Pandan Wangi menggelengkan kepalanya. Tetapi matanya mulai basah, “Tidak, Kakang. Tidak mungkin. Kau adalah putera ibuku. Itu tidak akan dapat berubah betapa pun kau membencinya, betapa kau menganggap ia perempuan yang paling hina sekalipun. Kau dapat malu kepada dirimu sendiri, bahwa kau mempunyai seorang ibu bernama Rara Wulan dan seorang ayah bernama Tambak Wedi, tetapi kau tidak dapat menghapusnya. Itu sudah terjadi. Kau sudah lahir. Dan kau adalah kau itu juga.”

Suara Pandan Wangi terpotong oleh isaknya yang seakan-akan menyumbat kerongkongannya. Sejenak ia tidak dapat mengucapkan kata-kata selain suara isaknya yang tertahan-tahan.

Sidanti masih duduk di tempatnya. Ia sama sekali tidak berpaling dan beringsut sama sekali. Tatapan matanya yang tajam, seakan-akan terpaku ke sudut bilik yang sempit itu.

Dengan susah payah Pandan Wangi mencoba menahan perasaannya. Dengan susah payah ia membendung air matanya. Tetapi setitik-setitik air mata itu jatuh pecah di atas lantai.

“Kau hanya akan memamerkan tangismu,” geram Sidanti kemudian.

Pandan Wangi tidak segera menjawab. Dengan ujung bajunya ia mengusap matanya yang basah.

“Kalau kau hanya akan menangis, sebaiknya kau keluar.”

“Tidak. Aku tidak menangis,” jawab Pandan Wangi terputus-putus.

“Bohong! Kau menangis.”

“Tidak.”

“Air matamu mengalir semakin deras.”

“Itu adalah air mata kegadisanku. Tetapi aku tidak mau tunduk pada perasaan itu. Aku harus tetap pada suatu pendirian bahwa kau harus menghadap ayah saat ini. Memang itu bukan ayahmu, itu adalah ayahku. Tetapi kita bersama-sama adalah putera Tanah Perdikan ini yang bersama-sama mempunyai tanggung jawab bagi masa depannya. Kau dilahirkan dan dibesarkan di atas Tanah ini meskipun kau kemudian pergi ke Tambak Wedi. Ibumu adalah anak Tanah ini juga. Kau tidak dapat acuh tidak acuh terhadap masa depan Tanah ini. Mungkin orang yang bernama Ki Tambak Wedi itu seandainya masih hidup sama sekali tidak peduli, apakah Tanah ini menjadi abu atau akan tetap berkembang. Tetapi kau tidak. Kau tidak dapat.”

“Diam! Diam!” bentak Sidanti.

“Kenapa aku harus diam? Marilah kita berbicara tentang diri kita, pendirian kita, sikap kita dan pandangan hidup kita masing-masing. Baik atas Tanah Perdikan Menoreh maupun atas diri kita sendiri.”

“Cukup! Cukup!”

“Aku akan berbicara. Kalau kau akan berbicara, berbicaralah. Mungkin kau akan melepaskan endapan-endapan yang selama ini terpaksa kau simpan di dalam dadamu. Sekarang lontarkanlah semuanya. Mungkin kau akan mengatakan bahwa Argapati adalah seorang yang tamak, yang tidak bertanggung jawab, yang hanya mementingkan dirinya sendiri, yang apa lagi, apa lagi. Kemudian kau dapat menilai orang-orang lain, menilai aku, menilai ibuku dan ibumu itu dan menilai apa pun juga. Berbicaralah, berteriaklah sepuas-puasmu.” Pandan Wangi berhenti sejenak, kemudian, “Tetapi apa yang sudah terjadi akan tetap seperti yang sudah terjadi itu. Kau akan tetap menjadi anak Rara Wulan seperti aku.”

“Cukup, cukup!” Sidanti berteriak semakin keras, sehingga setiap orang yang berada di ruang tengah menjadi berdebar-debar. Gembala tua yang ada di ruangan itu telah beringsut mendekat. Ia tidak dapat lengah, seandainya Sidanti kehilangan kendali atas dirinya sendiri.

Tetapi yang dilihatnya, Sidanti itu tiba-tiba menundukkan kepalanya dalam-dalam.

Sejenak bilik itu menjadi sepi. Hanya desah nafas mereka sajalah yang terdengar, saling berkejaran.

Dengan dada yang berdebar-debar mereka yang berada di luar bilik itu melihat lewat pintu yang masih terbuka, apa yang kira-kira akan terjadi.

Mereka kemudian menahan nafas ketika tiba-tiba saja mereka melihat Pandan Wangi meloncat maju. Dengan serta-merta ia berjongkok di hadapan kakaknya yang masih menundukkan kepalanya dalam-dalam. Dengan nada suara yang meninggi Pandan Wangi berkata sambil mengguncangi lengan Sidanti, “Kakang. Kakang. Dengarlah kata-kataku. Aku datang kepadamu sebagai seorang anak Tanah Perdikan ini, dan lebih daripada itu aku tidak akan dapat melepaskan diri dari ikatan kekeluargaan kita. Kakang. Apakah kau tidak sempat melihat ke dalam dirimu, ke masa lampau kita dan ke masa datang yang panjang?”

Sidanti tidak menjawab. Tetapi ia tidak dapat menatap wajah adiknya, sehingga karena itu ia memalingkan wajahnya.

“Kakang. Berbicaralah seperti kau dahulu berbicara kepadaku.”

Sidanti masih tetap berdiam diri.

“Kakang. Kenapa kau diam saja, kenapa?”

Tetapi Sidanti masih tetap mematung.

Akhirnya bagaimanpun juga, Pandan Wangi tetap seorang gadis yang tidak kuat menahan gelora perasaannya. Seperti bendungan yang tidak tahan lagi menahan arus banjir yang melandanya, Pandan Wangi kemudian menangis sejadi-jadinya. Tanpa malu-malu diletakkannya kepalanya di pangkuan kakaknya yang masih duduk diam seperti patung batu.

Tetapi Sidanti tidak mengusirnya. Sidanti tidak lagi berkata. Terasa sesuatu bergetar di dada anak muda yang keras hati itu. Guncangan isak tangis Pandan Wangi telah mengguncang jantungnya pula.

Kembali keduanya terdiam. Tetapi kini yang terdengar adalah isak tangis Pandan Wangi yang semakin keras. Air matanya pun menjadi semakin deras mengalir.

Tetapi Sidanti tidak mengusirnya Sidanti tidak lagi berteriak-teriak. Meskipun hatinya telah mengeras sekeras batu, namun Pandan Wangi tetap mempunyai kesan yang lain padanya. Meskipun ia berusaha, tetapi ia tidak akan dapat melepaskan dirinya dari kenangan masa kanak-kanaknya.

Terbayang di angan-angannya gadis kecil itu menangis memeluknya sambil berkata terputus-putus, “Kakang, anak itu nakal Kakang. Aku dicubitnya. Permainanku diambilnya.”

Di saat-saat yang demikian itulah ia berteriak, “Siapa yang nakal? Tunggu di sini. Aku pilin tangannya.”

Tetapi apakah yang harus dilakukannya kini? Pandan Wangi kini menangis di pangkuannya dalam keadaan yang jauh berbeda dari tangis seorang gadis kecil.

Apalagi pikiran Sidanti sendiri memang sedang kalut oleh keadaan yang tidak menentu baginya. Sidanti tidak tahu apa yang akan terjadi atas dirinya. Mungkin Ki Argapati kini sudah menyiapkan seorang pengawal untuk memenggal lehernya, atau menggantungnya di alun-alun. Sedang kini Pandan Wangi sedang membujuknya untuk menghadap ayahnya, agar ia dapat mendengar keputusan hukuman itu.

Terasa dada Sidanti bergetar. Hampir saja ia mendorong Pandan Wangi dan melemparkannya ke sudut ruangan.

“Ia membawa sepasang pedang,” katanya di dalam hati, “Aku dapat mengambilnya dan mempergunakannya. Atau aku dapat menjadikan gadis ini sebagai perisai untuk keluar dari rumah ini.”

Ketika Sidanti hampir saja melakukannya, tiba-tiba tangannya menjadi gemetar. Ia benar-benar tidak dapat berbuat demikian betapa pun ia sendiri sedang dilanda oleh kekalutan hati. Meskipun Sidanti mencoba menyingkirkan segala macam pertimbangan, namun ia masih tetap diam tanpa berbuat sesuatu.

Sejenak kemudian, ketika tangis Pandan Wangi mereda, maka terdengar suaranya kembali, “Kakang, apakah kau mendengarkan aku?”

Sidanti tidak menjawab.

“Akulah yang minta kepadamu.”

“Kau membujuk aku, Wangi. Kau ingin mengeluarkan aku dari bilik ini, dan tidak akan kembali lagi ke mari.”

“Kenapa, Kakang?”

“Sidanti akan tinggal namanya saja,” sahut Sidanti. “Aku menyesal bahwa aku tidak terbunuh di peperangan. Itu akan menjadi jauh lebih baik dari keadaanku sekarang.”

“Tidak. Kalau kau terbunuh, maka tidak akan ada kemungkinan lagi bagimu, untuk turut serta membangun Tanah ini.”

“Sekarang pun tidak.”

“Ada. Seperti Paman Argajaya. Paman telah menyatakan kesediaanya untuk ikut serta membangkitkan Tanah ini kembali.

Sidanti mengerutkan keningnya. “Begitukah dengan Paman Argajaya?”

“Ya.”

Sidanti terdiam sejenak. Wajahnya menjadi tegang kembali. Namun sejenak kemudian ia menarik nafas.

“Argajaya adalah adik Argapati,” katanya. “Aku bukan apa-apanya.”

“Itu tidak penting. Yang penting, kita adalah putera-putera Tanah Perdikan. Pada kitalah terletak tanggung jawab masa depan Tanah ini. Tanah yang kini sudah menjadi abu.”

“He, kau ingin mengatakan bahwa akulah yang telah membakar Tanah ini, dan adalah menjadi tanggung jawabku untuk mengembalikannya kembali.”

“Tidak. Bukan itu. Kita akan melupakan apa yang sudah terjadi. Kita akan melupakannya.”

Sidanti terdiam sejenak. Ditatapnya wajah adiknya dengan saksama. Dilihatnya wajah itu tidak secerah wajahnya dahulu. Betapa sayunya.

Ketika Pandan Wangi kemudian menatapnya dengan mata yang merah karena tangis, Sidanti tidak dapat menolaknya lagi.

“Aku minta kau pergi kepada ayah, Kakang.”

Sidanti tidak menjawab.

“Bukankah kau bersedia?”

Sidanti akhirnya menganggukkan kepalanya.

“Kalau bukan kau, Wangi, aku tidak akan beranjak dari tempat ini apa pun yang akan terjadi atasku. Aku kira aku akan lebih merasa berbahagia kalau aku mati di bilik ini daripada di alun-alun.”

“Aku yang meminta kau pergi.”

Sidanti mengangkat wajahnya. Dipandanginya sudut-sudut bilik ini, seolah-olah ia tidak akan dapat melihatnya lagi.

“Di sini aku tinggal di masa kecil itu. Di bilik ini pula aku tidur. Kadang-kadang sendiri, kadang-kadang bersama Paman Argajaya.”

Sidanti terdiam sejenak, “aku merasa bersukur bahwa aku masih sempat melihat untuk yang terakhir kalinya sebelum aku mati.”

“Kau tidak akan mati.”

“Marilah, Pandan Wangi,” berkata Sidanti, “aku sudah muak melihat wajah-wajah di luar bilik ini. Kau lupa menutup pintu.”

Pandan Wangi berpaling. Ia melihat beberapa orang yang duduk di ruang dalam agak jauh dari pintu bilik itu.

“Mereka tidak akan dapat berbuat apa-apa.”

“Maksudku, mereka adalah orang-orang yang memuakkan. Mereka adalah penjilat-penjilat yang tidak tahu diri.”

Pandan Wangi tidak menjawab. Ia takut kalau suasana itu akan rusak karenanya. Karena itu, maka ia hanya sekedar menganggukkan kepalanya saja.

Pandan Wangi kemudian berdiri ketika air matanya sudah menjadi agak kering. Sidanti pun berdiri pula dan berjalan mengikuti Pandan Wangi. Sekali-sekali matanya masih juga tertarik pada sepasang pedang di lambung adiknya. Tetapi ia tidak berbuat apa-apa.

Ketika ia melintasi ruang tengah, anak muda itu sama sekali tidak mengacuhkan, siapa saja yang duduk di atas tikar pandan itu. Ia hanya sekilas melihat sebuah tombak pendek yang mencuat di antara mereka. Maka sadarlah ia bahwa orang-orang yang duduk itu pasti para pengawal yang sedang menjaganya, sedang di antara mereka adalah gembala tua yang dikenalnya bernama Kiai Gringsing.

Seperti Argajaya, maka ketika kakinya melangkah memasuki ruangan bilik Ki Argapati, hatinya menjadi berdebar-debar. Tetapi ia merasa heran, bahwa di dalam bilik itu sama sekali tidak terdapat para pengawal yang berjaga-jaga.

Ki Argapati yang melihat kedatangannya pun segera bangkit dan duduk di pembaringannya. Dengan nada yang dalam ia berkata, “Kemarilah, Sidanti.”

Sidanti tidak menjawab. Tetapi yang pertama-tama dilihatnya adakah tombak pendek yang bersandar dinding di atas pembaringan Ki Argapati.

Tetapi segera ia menggeser tatapan matanya kepada Ki Argapati yang duduk dengan nafas yang masih belum teratur benar karena luka-lukanya.

“Duduklah dulu, Sidanti,” orang tua itu mempersilahkan Sidanti duduk di atas dingklik kayu di dekat pembaringannya.

Tetapi Sidanti tidak segera duduk. Ia berdiri saja di tempatnya. Meskipun demikian ia masih juga merasa heran. Bilik tempat Ki Argapati berbaring itu sama sekali tidak seperti yang dibayangkannya. Tidak ada seorang pengawal pun yang ada di dalam. Ki Argapati yang sakit itu tidak juga diapit-apit oleh dua orang pengawal pilihan, kemudian di setiap sudut, dan di sisi pintu, tidak juga ada ujung-ujung senjata yang merunduk ke arahnya.

“Duduklah,” Ki Argapati mengulangi. Tetapi Sidanti masih tetap berdiam diri.

Pandan Wangi-lah yang kemudian membimbingnya dan meletakkannya di atas dingklik itu. Seperti anak-anak yang dibimbing ibunya Sidanti tidak melawan. Ia melangkah dengan berat, dan kemudian duduk di atas dingklik kayu itu dengan kepala tunduk.

“Sudah lama aku ingin berbicara dengan kau, Sidanti,” berkata Ki Argapati, “tetapi lukaku agaknya masih belum mengijinkan. Hari ini aku merasa agak ringan, sehingga aku segera memanggil kau dan pamanmu berganti-ganti.”

Sidanti tidak menjawab. Kepalanya masih saja menunduk.

“Apakah adikmu sudah mengatakan sesuatu kepadamu?”

Sidanti mengangkat wajahnya sejenak, kemudian dipalingkannya kepalanya kepada Pandan Wangi. Tetapi kepalanya itu pun kemudian menunduk lagi tanpa menjawab apa pun juga.

“Aku belum mengatakan apa-apa kepadanya, Ayah,” sela Pandan Wangi. “Aku hanya mengajaknya kemari, agar Ayah mengatakan sendiri maksud Ayah itu.”

Ki Argapati mengangguk-anggukkan kepalanya, “Baiklah, Pandan Wangi. Aku akan mengatakannya seperti aku mengatakan kepada Argajaya.”

Tetapi Sidanti sama sekali tidak menyahut.

Ki Argapati terdiam sejenak. Dipandanginya kepala Sidanti yang menunduk. Tetapi tangkapan mata hati Ki Argapati yang tajam segera merasakan, bahwa hati Sidanti masih belum dapat dilunakkan sama sekali, tidak seperti pamannya Argajaya.

“Anak ini benar-benar keras kepala,” berkata Ki Argapati di dalam hatinya. Meskipun demikian Ki Argapati masih akan mencobanya untuk menjajagi hati Sidanti lebih jauh.

“Sidanti,” katanya, “apakah hatimu sudah terbuka untuk berbicara? Seperti pamanmu Argajaya, aku membawanya berbicara tentang keadaan kita saat ini. Tentang Tanah Perdikan Menoreh, dan tentang masa depannya. Aku ingin bersama melihat, di mana kita sekarang ini berada. Dan ke mana kita masing-masing akan pergi. Kalau kita dapat menemukan persesuaian arah, maka kita akan dapat berjalan bersama-sama.”

Ternyata Sidanti masih belum menjawab. Kepalanya masih menunduk, seakan-akan ia sedang merenungi dirinya sendiri dalam-dalam.

“Sidanti, kenapa kau diam saja?” bertanya Ki Argapati. “Katakanlah apa yang ingin kau katakan. Aku memang ingin mendengarkan isi hatimu dengan terbuka, supaya aku dapat memperhitungkan segala sesuatu buat masa depan Tanah ini.”

Perlahan-lahan Sidanti mengangkat wajahnya. Tetapi wajah itu adalah wajah yang suram dan gelap. Dengan suara parau ia berkata datar, “Kalau kau akan menjatuhkan hukuman atasku, segera katakan. Ternyata aku menjadi muak berada di bilik ini lebih lama lagi.”

“Kakang,” Pandan Wangi memotong, “sadarilah keadaan ini, Kakang. Kita sedang mencari jalan sebaik-baiknya, agar kita menemukan titik pertemuan.”

“Itulah yang sulit. Kalian kini sedang berkuasa atasku. Kalian dapat berbuat apa saja.”

“Tetapi kami tidak ingin berbuat demikian. Kami ingin mencari cara yang baik. Seperti Paman Argajaya, yang dengan hati terbuka menyatakan keinginannya untuk bersama-sama membangun kembali Tanah Perdikan ini.”

“Apakah aku harus berjanji seperti Paman Argajaya itu pula?”

“Tidak, Sidanti,” sela Ki Argapati, “tidak seorang pun yang mengharuskannya. Mungkin aku dapat memaksa berjanji. Tetapi janji yang demikian adalah janji yang tidak akan menghasilkan buah yang wajar. Janji itu sendiri harus terlontar dari hati dan kesadaran diri.”

Jawab Sidanti ternyata telah mengejutkan Pandan Wangi dan Ki Argapati, “Aku tidak akan berjanji apa-apa. Aku tidak merasa wajib untuk berbuat sesuatu.”

“Kakang,” Pandan Wangi hampir berteriak, “kita adalah anak-anak Tanah ini. Kita dilahirkan di atas Tanah ini.”

“Tetapi aku sudah mengkhianati Tanah ini menurut anggapanmu dan anggapan orang-orang yang sekarang ini berkuasa. Kenapa kalian tidak menghukum aku saja? Apakah kalian sedang berusaha untuk memperalat aku, agar perlawanan yang mungkin masih ada itu segera padam?”

“Seandainya demikian, Sidanti,” jawab Ki Argapati, “itu sudah merupakan urusanmu membangun Tanah ini. Dengan demikian maka ketenteraman akan segera pulih kembali.”

“Aku tidak mau diperalat dengan cara itu, dengan cara yang licik. Kalian sudah menang atas pasukanku. Kalian berhak membunuh aku. Aku tidak boleh berkhianat untuk kedua kalinya. Berkhianat menurut anggapanmu dan berkhianat terhadap pasukanku yang telah kau hancurkan. Apalagi berkhianat terhadap guruku, dan………” Sidanti tidak dapat mengatakannya. Terasa sesuatu menahan di kerongkongannya sehingga kata-katanya terputus. Tetapi dengan demikian api kebenciannya kepada Ki Argapati serasa meluap. Tiba-tiba saja ia merasa terlempar pada kenyataannya. Seperti yang dikatakan oleh Pandan Wangi. Dan ia tidak dapat mengingkari kenyataan itu, bahwa Argapati bukan apa-apa baginya.

Ki Argapati menarik nafas dalam-dalam. Ia merasa bahwa usahanya kali ini tidak akan dapat berhasil. Agaknya hati Sidanti benar-benar telah mengeras seperti batu hitam.

Namun demikian, berbeda dengan Ki Argapati, Pandan Wangi merasa bahwa masih ada harapan untuk merubah sikap kakaknya itu. Meskipun harapan itu tampaknya semakin lama menjadi semakin tipis. Tetapi ia masih berkata, “Apakah kita tidak dapat melupakan apa yang telah terjadi? Atau bahkan kita menganggap hal itu sebagai suatu pengalaman?”

“Tidak, tidak!” Sidanti berteriak.

Pandan Wangi terkejut mendengar teriakan itu. Sekilas dipandanginya wajah ayahnya yang tegang. Terasa bahwa di wajah ayahnya itu telah terbayang warna hatinya yang muram.

“Apakah Kakang Sidanti tidak juga dapat dilunakkan?” pertanyaan itu mulai membelit hatinya.

Dalam pada itu, di ruang tengah beberapa orang duduk dengan cemasnya. Mereka kini sudah beringsut dari depan pintu bilik Sidanti ke depan pintu bilik Ki Argapati. Bahkan kini jumlah mereka telah bertambah pula karena Ki Samekta dan Ki Kerti telah ada di antara mereka.

“Apakah Ki Gede memang memanggil Angger Sidanti?” bertanya Samekta sambil berbisik.

“Ya,” jawab gembala tua itu.

Samekta mengangguk-anggukkan kepalanya. Dan Kerti pun berkata, “Ki Argapati masih juga dipengaruhi oleh hubungan masa lampau. Bagaimana pun juga Sidanti pernah dianggap sebagai anaknya.”

“Ya,” jawab Samekta, “tetapi apakah pantas bahwa anak itu kini berteriak-teriak begitu di dalam bilik Ki Argapati yang sedang sakit.”

Kerti mengangguk-anggukkan kepalanya.

“Siapa sajakah yang ada di dalam?” bertanya Kerti kemudian.

“Selain Angger Sidanti hanyalah Angger Pandan Wangi.”

Samekta mengangguk-anggukkan kepalanya pula. Ia percaya kepada Pandan Wangi. Tetapi hatinya hampir-hampir tidak tahan lagi mendengar Sidanti berteriak-teriak dan membentak-bentak.

“Itu sudah terlalu,” gumam Samekta. “Sedang Sidanti yang bukan tawanan saja, tidak sepantasnya berteriak-teriak dan membentak-bentak seperti itu. Apalagi kini Sidanti adalah tawanan.”

“Kalau ia bukan seorang tawanan, aku kira ia tidak akan membentak-bentak,” berkata gembala tua itu lirih.

“Kenapa?”

“Sebagai seorang tawanan ia merasa bahwa tubuhnya terbelenggu. Karena itu, maka yang dapat dilakukan hanyalah sekedar melepaskan suaranya menembus ikatan-ikatan yang membatasinya.”

“Tetapi akibatnya dapat berbahaya bagi dirinya. Kalau Ki Argapati marah, maka segala kebaikan hatinya akan larut, karena ia adalah manusia biasa.”

Gembala tua itu mengangguk-anggukkan kepalanya. Tetapi ia menjawab, “Sidanti telah dicengkam oleh keputus-asaan dan kehilangan pegangan. Ia menyadari hal itu, tetapi agaknya ia memang memilih jalan yang terdekat untuk mati.”

Samekta dan Kerti mengerutkan keningnya. Namun kepala mereka pun kemudian terangguk-angguk lemah.

Sejenak mereka pun terdiam. Mereka mencoba mendengarkan apa yang dikatakan oleh Pandan Wangi. Tetapi mereka tidak dapat mendengarnya dengan jelas, apalagi kemudian terdengar suara Pandan Wangi seakan-akan tenggelam di dalam isaknya.

“Jangan membujuk lagi,” suara Sidanti-lah yang terdengar jelas, “aku sudah memutuskan. Kalau kalian akan membunuh aku, segera lakukanlah. Jangan memaksa aku untuk melakukan hal-hal yang tidak akan mungkin bagiku. Aku tidak bertabiat serendah itu.”

“Kau tidak mau memikirkannya, Kakang,” sahut Pandan Wangi, “kau menanggapinya dengan perasaan tanpa nalar. Itu adalah kebiasaan perempuan. Kau adalah seorang anak muda. Seorang laki-laki. Tetapi hatimu digelapi oleh perasaanmu. Seharusnya kau mempergunakan nalarmu, Kakang.”

“Tidak. Aku tidak dapat kau paksa lagi dengan cara apa pun.”

“Kalau begitu, maka kau adalah laki-laki cengeng. Bukan sebaliknya, karena kau tidak dapat mempergunakan nalarmu.”

Wajah Sidanti menjadi merah padam. Sejenak ia membeku. Dipandanginya wajah Pandan Wangi dan Argapati berganti-ganti.

Melihat kakaknya berdiam diri, maka tumbuh kembalilah harapan Pandan Wangi. Karena itu maka suaranya segera menurun, “Bukankah begitu, Kakang? Bukankah kau seorang laki-laki yang berani menghadapi kenyataan? Seharusnya kau memang tidak usah lari. Marilah kita terima apa yang sudah tersedia di hadapan kita. Kalau kita menerimanya dengan ikhlas, maka semuanya akan berlangsung dengan baik.”

Sidanti tidak menjawab. Dengan demikian maka Pandan Wangi pun menjadi semakin berpengharapan. Bahkan Ki Argapati yang sudah berputus asa untuk dapat mengait Sidanti dari kegelapan, menjadi heran. Apakah Pandan Wangi akan berhasil.

“Kau mengerti maksudku bukan, Kakang?”

Sidanti masih tetap berdiam diri.

Perlahan-lahan Pandan Wangi melangkah mendekati tempat duduk kakaknya sambil berkata pula, “Bukankah kau mengerti? Ini bukan kebaikan hati kami. Tidak. Tetapi kita akan bertanggung jawab bersama-sama.”

Namun yang terjadi kemudian benar-benar di luar dugaan Pandan Wangi. Ternyata kediaman Sidanti telah menumbuhkan kelengahan pada Pandan Wangi. Pandan Wangi tidak dapat mencegahnya ketika tiba-tiba saja Sidanti meloncat menyambar tombak yang terletak di atas pembaringan Ki Argapati. Demikian cepatnya, sehingga Pandan Wangi sadar, ketika tombak itu sudah ada di tangan Sidanti.

Argapati pun terkejut bukan buatan. Getaran dadanya yang tergoncang agaknya telah membuat lukanya menjadi seakan-akan terhenti. Dengan darah yang seakan-akan terhenti ia menatap ujung tombaknya itu merunduk ke arah dadanya yang luka.

Pandan Wangi tidak mendapat kesempatan untuk merebut tombak itu dari tangan kakaknya. Tetapi ia tidak tinggal diam menyaksikan ujung tombak itu menembus dada ayahnya. Karena itu, maka dengan secepat-cepat kemampuannya ia meloncat memeluk kakangnya dari belakang.

Tetapi Sidanti telah menjadi wuru. Seakan-akan ia telah kehilangan akal. Tanpa menghiraukan apa pun lagi, maka dikibaskannya Pandan Wangi sekuat-kuatnya.

Pandan Wangi yang belum siap benar menanggapi peristiwa itu, tidak dapat bertahan. Ia terlempar membentur dinding kayu bilik itu, kemudian terjatuh di lantai.

Kini Sidanti berdiri dengan mata yang merah menghadap Argapati yang belum mampu melakukan perlawanan apa pun karena luka-lukanya. Tombak di tangannya kini telah merunduk kembali setelah diguncang oleh Pandan Wangi, tepat mengarah ke dada Ki Argapati.

Benturan tubuh Pandan Wangi pada dinding kayu telah mengejutkan beberapa orang yang berada di luar pintu. Tetapi mereka tidak segera melihat apa yang telah terjadi di dalamnya. Pintu yang terbuka sedikit, tidak tepat pada pembaringan Ki Argapati, sehingga orang-orang yang di luar pintu, tidak melihat Sidanti yang menggenggam tombak telah menggeram seperti seekor harimau yang terluka.

“Suara apakah itu?” bertanya Ki Samekta.

Tetapi yang lain hanya menggelengkan kepalanya saja. Tidak seorang pun yang beranjak dari tempatnya. Mereka agaknya segan untuk memasuki ruangan itu, sebelum mereka dipanggil.

Namun demikian, tanpa mereka sadari, seorang demi seorang telah beringsut dari tempat duduknya semula.

Pandan Wangi yang terbanting di lantai masih sempat melihat kakaknya maju setapak dengan tombak di tangannya. Dan tiba-tiba saja ia terpekik, “Kakang, Kakang Sidanti. Jangan.”

Tetapi Sidanti sama sekali tidak mendengarkan lagi suara ini. Ia maju selangkah lagi. Kini ia sudah memusatkan tenaganya di telapak tangannya yang menggenggam tombak pendek itu.

Ki Argapati benar-benar telah tidak mempunyai kesempatan apa pun. Ia tidak melihat senjata apa pun yang akan dapat menolongnya, sedang tenaganya sama sekali belum cukup kuat untuk melontarkan tubuhnya dari pembaringannya itu. Karena itu, ia hanya menunggu apa yang akan terjadi, ia mengharap bahwa ia masih sempat untuk mengelak apabila Sidanti benar-benar ingin menghunjamkan, tombak pendeknya.

Ternyata suara Pandan Wangi telah mengejutkan mereka yang berada di luar pintu. Serentak mereka berloncatan dan tanpa menunggu lagi, mereka berlari-larian ke bilik Ki Argapati.

Tetapi untuk memasuki pintu itu mereka memerlukan waktu. Sedang Sidanti telah benar-benar siap menusukkan tombaknya.

Terdengar ia menggeram, “Orang-orang Menoreh hanya dapat menghukum mati aku satu kali. Meskipun aku membunuhmu, maka hukuman itu tidak akan dapat ditambah lagi.”

Ketika gembala tua, Ki Samekta, Kerti, dan beberapa orang prajurit meloncat tlundak pintu, maka pada saat itu, mereka kehilangan segala kemungkinan untuk dapat menolong Ki Argapati karena Sidanti sudah mulai mengayunkan tombaknya untuk menusuk langsung ke dada Ki Argapati.

Tetapi dalam kecemasan yang amat sangat, yang telah mencekam setiap dada, mereka melihat kilatan senjata yang langsung menghunjam ke lambung Sidanti. Demikian, cepat dan kerasnya, sehingga Sidanti yang telah mengayunkan tombak itu terdorong ke samping.

Terdengar sebuah keluhan tertahan. Kemudian perlahan-lahan tombak yang sudah hampir saja menembus dada Ki Argapati itu menjadi bergetar, dan terjatuh di lantai.

Yang telah terjadi itu telah benar-benar mencengkam semua orang yang menyaksikannya. Nafas mereka seakan-akan telah berhenti mengalir ketika kemudian mereka melihat, apakah yang sebenarnya telah terjadi.

Pandan Wangi berdiri dengan tubuh gemetar di sisi pembaringan ayahnya. Dengan wajah yang pucat pasi dipandanginya pedangnya yang masih menghunjam di lambung kakaknya yang berdiri tertatih-tatih. Sejenak Sidanti memandang adiknya, namun kemudian ia tidak lagi mampu bertahan. Perlahan-lahan ia jatuh di atas lututnya, sedang darah yang merah mengalir dari lukanya.

Dengan kekuatan terakhirnya Sidanti masih sempat mencabut pedang yang telah terlepas dari tangan Pandan Wangi itu, kemudian meletakkannya di sampingnya.

Pandan Wangi memandanginya dengan wajah yang tegang beku. Namun ketika kemudian Sidanti tidak lagi mampu berdiri di atas lututnya, dan perlahan-lahan menahan tubuhnya dengan kedua tangannya, terdengar Pandan Wangi menjerit keras sekali, “Kakang. Kakang Sidanti.”

Seperti orang yang kehilangan akal, Pandan Wangi memeluk kakaknya yang sudah hampir kehabisan tenaganya, sehingga justru dengan demikian Sidanti tidak lagi dapat bertahan. Perlahan-lahan ia menelentang dan terbaring dilantai, sedang Pandan Wangi menelungkup memeluknya sambil menangis sejadi-jadinya. Darah Sidanti yang bergelimang di lantai, telah memerahi pakaian gadis itu pula.

“Kakang, Kakang Sidanti.”

Ki Argapati yang masih berada di pembaringan hanya dapat menarik nafas dalam-dalam. Perlahan-lahan ia beringsut dan memaksa dirinya untuk duduk di pinggir pembaringan, sementara gembala tua, Samekta, dan Ki Kerti serta beberapa orang yang lain telah melingkarinya.

“Kakang, Kakang, kenapa jadi begini, Kakang. Aku tidak sengaja, Kakang. Aku tidak sengaja melukaimu.”

Nafas Sidanti semakin cepat memburu. Ketika ia membuka matanya ia melihat Pandan Wangi yang menangis seperti kanak-kanak, meraung-raung tidak terkendali lagi. Penyesalan yang tiada taranya telah melanda dadanya. Dengan gerak naluriah ternyata ia telah meloncat dan menusuk lambung Sidanti untuk mencegah Sidanti membenamkan ujung tombaknya di dada ayahnya.

Ternyata akibat dari tusukan di lambung anak muda itu terlampau parah, sehingga maut telah membayang di wajahnya.

Dalam suatu saat, ternyata Pandan Wangi memang harus memilih. Dan saat itu terlampau pendek. Hanya sekejap. Ia tidak dapat membuat pertimbangan lebih jauh ketika ia melihat kakaknya sudah siap menusukkan tombak pendeknya ke dada Argapati.

Dan Pandan Wangi pun memang sudah melakukan pilihan itu. Betapa besar ikatan kasih antara kakak-beradik, namun ia tidak dapat membiarkan ayahnya terbunuh di pembaringan selagi ia tidak kuasa berbuat apa-apa. Dan di saat yang sekejap itu, ia telah memilih ayahnya daripada kakaknya meskipun akhirnya ia harus memeras air matanya.

“Pandan Wangi,” terdengar suara Sidanti parau.

“Kakang. Aku minta maaf.”

Sidanti mengangguk-anggukkan kepalanya. Orang-orang yang kini berjongkok di sekitarnya melihat Sidanti menyeringai menahan sakit. Namun kemudian mereka menjadi heran dan kemudian terharu ketika mereka melihat Sidanti itu tersenyum, “Kau tidak bersalah, Adikku,” desisnya.

“Aku tidak sengaja, Kakang.”

“Aku tahu bahwa kau memang tidak sengaja. Tetapi dipandang dari segi keharusanmu, kau sudah bertindak tepat. Kau berusaha menyelamatkan ayahmu.”

“Tetapi maksudku tanpa mengorbankan kau.”

“Dalam keadaan ini tidak mungkin, Pandan Wangi,” jawab kakaknya. “Alangkah anehnya hati ini. Justru pada saat terakhir aku melihat cahaya yang terang.”

“Maksudmu, Kakang?”

“Aku merasa bersalah.”

“Kakang,” Pandan Wangi menggucang-guncang tubuh kakaknya.

“Jangan kau guncang, Wangi. Sakit.”

“Tetapi jangan berkata saat-saat terakhir. Kau pasti akan sembuh,” tiba-tiba saja Pandan Wangi dengan nanar mengedarkan tatapan matanya. “Kiai. Kiai,” katanya kepada gembala tua itu, “kenapa kau diam saja? Kenapa kau tidak berbuat sesuatu untuk mengobati luka Kakang Sidanti.”

Gembala tua itu beringsut maju. Tetapi suara Sidanti menjadi semakin lemah, “Tidak ada gunanya. Aku akan mati.”

“Tidak. Tidak. Kau tidak akan mati.”

Sekali lagi Pandan Wangi melihat Sidanti tersenyum. Kemudian dicobanya memandangi Argapati yang duduk di pinggir pembaringannya. “Ayah,” desisnya.

Terasa sesuatu berdesir di dada Ki Argapati. Panggilan itu selalu didengarnya dahulu. Tetapi di saat-saat api membakar Tanah Perdikan, anak muda itu telah menjadi musuhnya. Kini, ketika jari-jari maut mulai merabanya, ia mendengar panggilan itu lagi.

“Aku minta maaf.”

“Kau tidak bersalah, Sidanti,” suara Ki Argapati berat.

Tetapi Sidanti tertawa, “Maafkan aku, Ayah, jangan berkata aku tidak bersalah.”

Ki Argapati terdiam sesaat.

Dan Sidanti mengulanginya, “Aku mengharap Ayah memaafkan kesalahanku.”

“Ya, ya, Sidanti. Aku maafkan semua kesalahanmu.”

“Terima kasih,” nafas Sidanti menjadi semakin sendat.

Dan yang terdengar adalah suara Pandan Wangi, “Kiai, kenapa Kiai diam saja? Apakah Kiai memang mengharap luka itu tidak dapat ditolong lagi.”

Gembala tua itu menarik nafas dalam-dalam. Tetapi, sebagai seorang yang telah mengenal beribu jenis luka, maka luka Sidanti itu tidak akan dapat ditolong lagi.

“Sudahlah,” Sidanti sendiri memang menolak, “aku sudah sampai pada batas,” suaranya menjadi semakin lambat. Lalu, “Kiai, bukankah murid-muridmu ada di sini?”

“Ya. Mereka ada di sini, Ngger.”

“Apakah aku dapat bertemu.”

Gembala itu mengerutkan keningnya, “Apakah maksud Angger Sidanti, anak-anak itu dipanggil kemari?”

Sidanti mengangguk lemah. “Apakah Paman Argajaya juga ada?”

Gembala itu menarik nafas dalam-dalam. Kemudian kepada seseorang yang ada di belakangnya ia memberi isyarat untuk memanggil mereka.

Dengan tergesa-gesa orang itu berdiri. Tetapi di muka pintu ia tertegun sejenak. Dipandanginya Ki Argapati, seolah-olah ingin mendapat ketegasannya.

Ketika Ki Airgapati pun kemudian menganggukkan kepalanya, maka orang itu pun berlari ke gandok. Dengan singkat disampaikannya berita tentang Sidanti dan diperintahkannya kedua murid gembala tua itu membawa Ki Argajaya menghadap.

Mereka pun segera memenuhinya pula. Argajaya justru berjalan di paling depan. Kemudian Gupala dan Gupita. Tetapi tidak hanya mereka, Sekar Mirah dan Sumangkar pun ikut serta pula.

Ketika mereka sampai ke dalam bilik itu, Sidanti sudah menjadi terlampau lemah. Tetapi ia masih sempat melihat Argajaya, Agung Sedayu, dan Swandaru berjongkok di sampingnya. Dan ia masih sempat berbisik, “Maafkan aku.”

Agung Sedayu yang dikenal juga bernama Gupita dan Swandaru yang dipanggil Gupala itu menganggukkan kepalanya. Tetapi mereka tidak dapat mengucapkan sepatah kata pun. Betapa kebencian mencengkam dada mereka, namun mereka menjadi terharu juga melihat kematian yang tidak disangka-sangka itu.

Dalam pada itu, semua orang yang ada di seputarnya terkejut, ketika tiba-tiba saja Sidanti menghentakkan kepalanya dan seolah-olah ia berusaha untuk bangkit. Tetapi ia sudah terlampau lemah, sehingga ia sama sekali tidak berhasil menggerakkan dirinya. Yang terdengar kemudian suaranya lambat, “Apakah mataku masih juga tidak salah? Apakah benar aku melihat Sekar Mirah.”

Agung Sedayu mengerutkan keningnya. Namun ia menjawab, “Ya, Sekar Mirah memang ada di sini.”

Sidanti tersenyum. Bibirnya bergetar lamban sekali. Dan Pandan Wangi masih mendengar ia berdesis, “Mirah.”

Tidak seorang pun yang dapat mengucapkan kata-kata ketika mereka melihat Sidanti menjadi semakin lemah. Tatapan matanya menjadi semakin redup. Tetapi ia masih berusaha tersenyum. Dipandanginya Argajaya yang seolah-olah menjadi semakin kabur, Argapati, Pandan Wangi, Sekar Mirah, dan yang lain-lain.

Sekali lagi Sidanti menarik nafas dalam-dalam, seolah-olah ia ingin menyambung nafasnya yang menjadi semakin pendek. Tetapi ketika ia melepaskan nafas itu, ternyata itu adalah tarikan nafasnya yang terakhir.

Yang terdengar adalah jerit Pandan Wangi yang melengking. Sidanti telah meninggal, justru karena ujung senjatanya, yang tidak dengan sengaja telah menghunjam ke lambung kakaknya yang selama ini masih diharapkannya untuk dapat hidup dan berbuat sesuatu bersama-sama untuk kepentingan Tanah Perdikan Menoreh.

Beberapa orang telah mencoba menenangkan hati gadis itu. Sekar Mirah pun kemudian mendekatinya dan mencoba membawanya pergi meninggalkan mayat Sidanti yang masih terbujur di lantai. Tetapi Pandan Wangi masih saja memeluknya, betapa tubuh itu telah mulai menjadi dingin.

“Pandan Wangi,” bisik Sekar Mirah, “biarlah tubuh Kakang Sidanti segera mendapat perawatan yang sebaik-baiknya.”

Tetapi Pandan Wangi masih belum melepaskannya.

Sekar Mirah menarik nafas dalam-dalam. Bahkan kemudian ditatapnya mayat Sidanti yang pucat.

Tiba-tiba dada Sekar Mirah berdesir. Teringat olehnya, bagaimana Sidanti pernah menculiknya dan menyembunyikannya di padepokan Tambak Wedi. Pada saat itu, hatinya yang seakan-akan terbakar oleh kemarahan dan kebencian, seakan-akan berjanji, bahwa pada suatu saat ia menginginkan kepala anak muda itu. Ia pernah mengharap Agung Sedayu berkata kepadanya, “Aku akan pergi ke Menoreh dan akan kembali, dengan membawa kepala Sidanti.”

Tetapi ketika kini ia melihat anak muda itu terbujur sambil memejamkan matanya, hatinya menjadi iba juga. Bagaimana pun juga, Sidanti pernah tinggal serumah dengan keluarganya di Sangkal Putung. Dan tiba-tiba pula ia merasa, bahwa perasaan Sidanti kepadanya saat itu agaknya memang bersungguh-sungguh. Sidanti tidak sekedar ingin melepaskan ketegangan urat syarafnya selagi ia berada di peperangan. Tetapi Sidanti benar-benar mencintainya.

Argajaya, gembala tua yang dikenal juga bernama Kiai Gringring, Argapati yang duduk di pembaringan, dan orang-orang lain yang ada di sekitar mayat Sidanti itu pun telah mencoba untuk menenteramkan hati Pandan Wangi.

Akhirnya tangis gadis itu pun mereda. Sekali lagi Sekar Mirah berbisik di telinganya, “Marilah kita tinggalkan Kakang Sidanti, agar ia segera mendapat perawatan yang sebaik-baiknya. Ternyata bahwa setiap orang masih menaruh hormat kepadanya. Kepada kejantanannya dan kekerasan hatinya. Ia mati setelah ia mempertahankan keyakinannya sampai batas terakhir.”

Pandan Wangi masih terisak-isak. Dan di sela-sela isaknya ia menjawab, “Tetapi kekerasan hatinya itu pulalah yang menyeretnya ke dalam keadaannya yang pahit ini. Kakang Sidanti sama sekali tidak mau melihat kenyataan yang dihadapinya.”

“Ya, hatinya memang sekeras batu. Tetapi itu adalah ciri kejantanannya. Meskipun ia tersesat jalan. Karena itu, maka biarlah ia dihormati karena kekerasan hatinya pula.”

Pandan Wangi tidak menjawab.

“Marilah. Kau pun perlu membersihkan dirimu. Mandi dan berganti pakaian.”

Pandan Wangi tidak menyahut. Tetapi ketika Sekar Mirah membimbingnya, maka perlahan-lahan ia pun melepaskan pelukannya dan bangkit berdiri. Pakaiannya yang kusut telah dinodai oleh darah Sidanti yang menjadi kehitam-hitaman.

“Marilah,” ajak Sekar Mirah.

Sambil menundukkan kepalanya Pandan Wangi melangkah setapak demi setapak meninggalkan bilik itu dibimbing oleh Sekar Merah. Di depan pintu ia berpaling. Sejenak ia berdiri memandangi tubuh kakaknya yang pucat membeku. Namun kemudian ia meneruskan langkahnya meninggalkan bilik itu.

Sepeninggal Pandan Wangi, barulah mayat Sidanti itu diangkat dan dibawa keluar dari bilik Ki Argapati. Atas perintah Ki Argapati, Sidanti dirawat sebagai putera Kepala Tanah Perdikan Menoreh apa pun yang telah dilakukannya.

Dalam pada itu, ketika tubuh Sidanti sedang sibuk dibersihkan dan dirawat seperlunya, Pandan Wangi duduk di dalam biliknya dengan air mata yang selalu membasah pipinya. Yang paling mencengkamnya adalah justru penyesalan yang sangat, bahwa ia adalah lantaran kematian kakaknya itu.

“Kau tidak dapat berbuat lain, Pandan Wangi,” berkata Sekar Mirah. Lalu, “Aku kira setiap orang akan berbuat seperti yang telah kau lakukan dalam saat-saat serupa itu.”

Pandan Wangi tidak menjawab.

“Kau dapat membuat perbandingan, sekedar untuk mengurangi penyesalan yang selalu menyesakkan dadamu. Seandainya kau tidak berbuat demikian, maka apakah kira-kira jadinya. Kau harus bersukur, bahwa kau hadir pada saat itu. Bukan berarti bahwa Kakang Sidanti pantas dikorbankan, tetapi kau sudah menghindarkan korban yang lebih banyak lagi.”

Pandan Wangi tidak menjawab. Tetapi kepalanya terangguk kecil.

“Kau harus berusaha untuk melupakan apa yang sudah terjadi. Dan kau harus mencoba melihat ke masa depan.”

Pandan Wangi mengangguk pula. Setiap kali ia sendiri selalu mengatakan tentang masa depan. Karena itu, ia tidak harus mengorbankan masa depan itu karena peristiwa yang meledak sesaat.

“Tanah ini memerlukan penanganan,” katanya di dalam hati. Dan Pandan Wangi sadar, bahwa ia tidak boleh tenggelam dalam kekecewaan dan kesedihan.

Dalam pada itu, maka di pendapa orang-orang sedang sibuk merawat tubuh Sidanti yang segera akan dimakamkan.

Seperti perintah Ki Argapati, maka Sidanti diperlakukan sebagai seorang putera Kepala Tanah Perdikan. Meskipun ada di antara mereka, para pengawal dan rakyat Menoreh yang melakukannya dengan setengah hati, karena mereka tidak dapat menutup mata, apa yang telah dilakukan oleh Sidanti itu.

Tetapi bagaimana pun juga mereka harus melakukan perintah Kepala Tanah Perdikannya.

Ketika semuanya sudah selesai, maka mayat Sidanti pun segera dimakamkan dengan penghormatan secukupnya. Argajaya, Pandan Wangi dan para pemimpin Tanah Perdikan Menoreh, gembala tua yang juga bernama Kiai Gringsing serta kedua muridnya, Sumangkar, dan Sekar Mirah hadir di pemakaman itu.

“Aku kehilangan satu-satunya saudara laki-lakiku,” gumam Pandan Wangi ketika mereka kembali dari tanah pekuburan.

“Kau akan segera mendapatkan,” desis Sekar Mirah.

Pandan Wangi tidak menyahut. Tetapi terasa bahwa kini hatinya yang kosong menjadi kian sepi.

“Satu-satunya keluarga adalah ayah,” berkata Pandan Wangi seterusnya.

“Hari ini,” jawab Sekar Mirah, “tetapi keluarga itu akan segera berkembang. Bahkan kita akan meninggalkan ayah-ayah kita untuk hidup dalam keluarga yang baru.”

Pandan Wangi tertegun sejenak. Ditatapnya wajah Sekar Mirah yang tersenyum karenanya.

Tetapi Pandan Wangi tidak menyahut. Kepalanya masih selalu tunduk. Terasa bahwa apa yang baru saja terjadi itu adalah suatu goncangan yang sangat berat baginya.

Di rumahnya pun Pandan Wangi seakan-akan kehilangan segala kegairahannya. Ia tidak mau makan dan sama sekali tidak dapat memejamkan matanya. Terbayang-bayang selalu di rongga matanya, Sidanti yang terbaring berlumuran darah. Sebuah luka yang dalam telah menghunjam di lambungnya.

“Akulah yang membunuhnya. Justru aku.”

Atas desakan Swandaru, Agung Sedayu, dan gurunya sendiri, Sekar Mirah selalu berusaha mengawani Pandan Wangi untuk mengurangi kesepian yang mencengkam dadanya. Tetapi bagaimana pun juga Sekar Mirah sudah mencoba, namun agaknya masih saja ada ruang-ruang yang kosong di dalam hati Pandan Wangi.

Dalam saat-saat yang demikian itulah maka Agung Sedayu berkata kepada Swandaru, “Kau lihat, betapa akibat yang sangat parah telah mencengkam hati gadis itu.”

“Ya. Ia menjadi sangat sedih dan menjadi semakin diam.”

“Swandaru,” berkata Agung Sedayu, “Sekar Mirah memang dapat menjadi sekedar isi di dalam kekosongan jiwa Pandan Wangi. Tetapi ia memerlukan seorang kakak. Tidak sekedar menghiburnya, tetapi yang dapat memberinya ketenangan. Ketenangan seorang gadis dewasa.”

“Maksudmu?”

“Aku tahu, bahwa kau bersungguh-sungguh menaruh hati kepada gadis itu, bukan?”

Swandaru mengerutkan keningnya, “Tentu. Aku memang menaruh hati kepada gadis itu. Sepenuh hati.”

“Nah,” berkata Agung Sedayu, “kini adalah waktunya bagimu. Kau akan dapat mengisi kekosongan hatinya.”

Swandaru termenung sejenak, lalu, “Bagaimana aku dapat mengisinya?”

“Jangan kau tunggu gadis itu melamarmu. Kaulah, yang harus datang kepadanya. Dengan bijaksana dan sopan, rebutlah hatinya.”

“Tetapi, tetapi bukankah kau sudah mengatakan kepadanya?”

“Belum sepenuhnya.”

“Kalau begitu, kau pasti bersedia menolong aku.”

“Swandaru,” berkata Agung Sedayu, “kau sendirilah yang harus melakukannya. Ia memerlukan seseorang setelah ia kehilangan kakaknya.”

“Tetapi aku tidak mengerti, bagaimana aku harus mulai.”

“Hem,” Agung Sedayu menarik nafas dalam-dalam, “pergunakanlah Sekar Mirah. Bukankah kau dapat saja menemuinya bersama Sekar Mirah, kemudian berbicara apa saja?”

Swandaru berpikir sejenak, kemudian ia mengangguk-anggukkan kepalanya, “Ya, aku mengerti.”

“Nah, lakukanlah. Semakin lama ia mengalami kekosongan, semakin berbahaya baginya. Ia akan selalu merenung dan memikirkan banyak sekali kemungkinan di dalam hidupnya. Kalau kau tidak segera hadir di dalam hatinya, mungkin ia tidak akan dapat lagi membuka kemungkinan itu bagi siapa pun.”

“Ya, ya. Aku mengerti.”

Agung Sedayu mengangguk-anggukkan kepalanya. Dipandanginya wajah Swandaru sejenak. Ia melihat sesuatu membayang di wajah yang bulat itu. Agak lain dari kebiasaannya. Ketika dahi Swandaru mulai berkerut, tahulah Agung Sedayu, bahwa adik seperguruannya itu mulai berpikir dengan sungguh-sungguh.

Sebenarnyalah Swandaru memikirkan petunjuk Agung Sedayu itu. Ia sadar, bahwa kekosongan jiwa itu memerlukan isi. Bahkan kemudian ia pun sadar, seandainya Agung Sedayu yang datang kepadanya setiap kali, meskipun membawa pesannya, namun akan dapat terjadi kesalah-pahaman. Justru Agung Sedayu-lah yang akan mengisi kekosongan hati gadis itu.

“Terima kasih,” desisnya, “memang aku harus berbuat sesuatu. Aku sendiri. Tanpa perantara orang lain.”

“Bagus. Tetapi hati-hatilah. Jangan tergesa-gesa supaya tidak terjadi hal yang sebaliknya. Kalau kau salah langkah, maka hatinya tidak akan tersentuh.”

“Ya, ya. Aku mengerti.”

Demikianlah Swandaru mulai berpikir sungguh-sngguh atas masalah yang dihadapinya. Masalah ini memang bukan masalah yang dapat dilakukannya sambil lalu, dengan tertawa dan kemudian dilupakannya. Masalah ini akan menyangkut seluruh hidupnya kelak, yang menurut perhitungan lahiriah masih cukup panjang.

Kali ini Swandaru tidak akan dapat melakukannya dengan cara yang semudah-mudahnya saja. Setiap langkah harus diperhitungkannya masak-masak.

Untunglah bahwa di antara mereka hadir Sekar Mirah yang dapat menjadi jembatan, yang akan menghubungkannya dengan gadis itu.

“Mirah,” berkata Swandaru dalam suatu kesempatan, “sekarang kau harus menolong aku.”

“Apa yang harus aku kerjakan?”

“Kawani aku.”

“Untuk apa?”

“Aku ingin mengatakan sesuatu kepada Pandan Wangi. Aku harus mengatakannya sendiri. Menurut Kakang Agung Selayu, saat ini Pandan Wangi sedang dicengkam oleh kekosongan jiwa.”

Meskipun Sekar Mirah lebih muda dari Swandaru, tetapi ia lebih cepat dapat mengerti apa yang dimaksud. Karena itu maka katanya sambil tersenyum, “Ah, sudah tentu aku tidak akan dapat mengawanimu. Kau harus pergi sendiri kepadanya.”

“Jangan mengganggu aku, Sekar Mirah.”

“Kau keliru. Sudah tentu maksudnya, kau harus dapat mengisi kekosongan jiwanya kalau kau ingin merebut hatinya. Kalau aku selalu mengawanimu, maka maksud itu tidak akan tercapai. Pandan Wangi akan dibayangi oleh perasaan malu seorang gadis.”

Swandaru mengerutkan keningnya.

“Tetapi Kakang Sedayu mengatakan, bahwa kau dapat menjadi penghubung yang baik.”

“Tentu. Maksudnya, aku hanya sekedar mendekatkan kau kepadanya, sehingga kau mendapat kesempatan itu. Bukan mengawani.”

Swandaru mengangguk-angguk kecil.

“Jadi, bagaimana?”

“Ikuti aku. Tetapi kemudian kau harus melakukannya sendiri.”

“Kapan?”

“Sekarang.”

“Jangan sekarang. Dadaku sudah mulai berdebar-debar.”

“Lalu?”

“Sebaiknya nanti, atau besok, agar aku dapat mengatur perasaanku sebaik-baiknya.”

Sekali lagi Sekar Mirah tertawa. Katanya, “Terserahlah kepadamu. Tetapi kalau kau terlampau lamban maka burung itu akan terlepas dan terbang terlampau tinggi. Padahal kau terlampau pendek, sehingga kau akan mengalami kesulitan untuk meraihnya.”

Swandaru tidak menjawab. Tetapi ia bersungut-sungut. Adiknya memang nakal. Tetapi bahwa Sekar Mirah telah menyanggupinya untuk mendekatkannya kepada Pandan Wangi, maka anak yang gemuk itu menjadi agak berlega hati.

Ketika saat itu tiba di keesokan harinya, maka Sekar Mirah berkata, “Marilah, bukankah perasaanmu telah tenang. Selagi Pandan Wangi tidak sedang sibuk. Ia sedang duduk di serambi gandok. Baru saja ia membagikan makan para pengawal.”

Swandaru berpikir sejenak. Namun kemudian, “Ayolah, Kakang, sebaiknya kau ikut pula.”

“Ah, ada-ada saja kau. Aku akan mengganggu,” jawab Agung Sedayu.

“Tetapi kehadiran kita tidak akan menimbulkan kecurigaan. Kita menemuinya seperti biasanya saja.”

“Kalau begitu waktu ini pun akan terbuang seperti biasanya pula.”

“Jadi, bagaimana?”

“Pergilah bersama Sekar Mirah. Kemudian Sekar Mirah akan meninggalkan kau berdua.”

“Jangan sekarang. Jangan sekarang.”

“Kapan. Kapan lagi,” Sekar Mirah hampir berteriak. “Kau akan kehilangan waktu. Suatu ketika kau hanya akan melihat orang datang melamarnya, dan kau kehilangan segala kesempatan.”

Swandaru yang juga dikenal bernama Gupala itu termangu-mangu sejenak.

“Tetapi kali ini aku minta kalian mengawani aku.”

Agung Sedayu tidak dapat menghindar lagi ketika Swandaru menarik tangannya. Sehingga kemudian mereka bertiga berjalan ke serambi gandok.

Tetapi apa yang dikatakan oleh Agung Sedayu. Pembicaraan mereka sama sekali tidak dapat mengarah seperti yang dimaksudkan. Ketegangannya hampir tidak berkata apa-apa, karena Pandan Wangi nampaknya masih diliputi oleh kepedihan hati.

Sekali-sekali Sekar Mirah-lah yang mencoba menenteramkan hatinya seperti yang setiap kali dilakukannya. Seperti setiap kali ia mendengar kata-kata Sekar Mirah, maka Pandan Wangi selalu mengangguk-anggukkan kepalanya.

“Lihat,” bisik Agung Sedayu, “kau tidak akan mendapat kesempatan.”

Swandaru mengerutkan keningnya.

Akhirnya Swandaru benar-benar tidak berbuat apa-apa, karena Pandan Wangi kemudian dipanggil oleh ayahnya.

“Maaf,” berkata gsdis itu, “ayah memanggil aku.”

“Silahkan,” jawab Sekar Mirah, “tetapi di saat lain kami akan selalu mengawani kau kalau kau memerlukan.”

Pandan Wangi mengangguk-anggukkan kepalanya, “Terima kasih.”

Namun demikian tumbuhlah sebuah pertanyaan di hatinya. Sekar Mirah setiap hari sudah selalu mengawaninya. Kenapa tiba-tiba ia harus berkata, bahwa ia selalu akan mengawani di kesempatan lain?

“Tetapi katanya ‘Kami akan selalu mengawani’. Kami, bukan aku,” berkata Pandan Wangi di dalam hatinya.

Ia merasa aneh, bahwa ia sempat mempersoalkan kata-kata itu di dalam hatinya yang sedang pepat. Bahkan sekali-sekali terbayang wajah-wajah yang telah menggetarkan jantungnya. Dalam kekosongan jiwa, wajah-wajah itu rasanya menjadi semakin terbayang. Bahkan semakin dibayangkannya di dalam hatinya.

Pandan Wangi menarik nafas dalam-dalam. Kemudian ia pun meninggalkan anak-anak muda itu berserta Sekar Mirah, masuk dalam bilik ayahnya.

Sepeninggal Pandan Wangi, Sekar Mirah tertawa berkepanjangan meskipun ia berusaha menahannya. Ditatapnya wajah kakaknya yang kecewa dan sekaligus gelisah.

“Nah, apakah yang kau dapatkan?”

Swandaru tidak menjawab. Tetapi dahinya menjadi berkerut-merut.

“Lain kali,” berkata Agung Sedayu, “berbuatlah lebih baik. Kalau kau tetap ragu-ragu, maka kau akan kehilangan banyak waktu. Siapa tahu, besok atau lusa kita harus sudah meninggalkan tempat ini. Sepeninggal Sidanti, agaknya tidak banyak lagi yang harus dilakukan oleh Ki Argapati untuk mengatasi pertentangan yang setiap kali masih akan meledak.”

“Anak Argajaya masih belum diketemukan.”

“Ah, anak-anak itu tidak banyak dapat berbuat. Ia masih belum mempunyai sikap sekuat Sidanti. Kalau pada suatu saat ia bertemu dengan ayah ibunya, ia akan segera tunduk kepada mereka.”

Swandaru mengangguk-anggukkan kepalanya.

“Di dalam setiap tindakan kau pasti lebih cepat mengambil keputusan daripadaku. Kau kadang-kadang menjadi jengkel karena aku selalu saja menunggu dan menurut kau ragu-ragu. Tetapi sekarang kau lebih ragu-ragu daripadaku.”

“Tetapi persoalan ini belum pernah aku hadapi,” jawab Swandaru.

“Berapa kali kau akan menghadapi masalah serupa ini, Kakang?” bertanya Sekar Mirah.

“Maksudku, aku masih sangat asing.”

“Cobalah.”

“Baiklah. Aku akan mencobanya. Aku akan menemuinya dengan Sekar Mirah. Kemudian biarlah Sekar Mirah meninggalkan aku.”

Sekar Mirah tersenyum.

“Sungguh. Aku bersungguh-sungguh.”

Sambil melangkah Sekar Mirah berkata, “Aku percaya. Tetapi marilah kita pergi. Aku akan menemui guru.”

“Untuk apa?”

“He, apakah kita akan selamanya di sini? Bukankah pada suatu saat kita akan kembali ke tempat kita masing-masing? Ayah dan Ibu dahulu berpesan, kami jangan terlampau lama di perjalanan. Ibu pasti menunggu kita dengan gelisah. Aku akan bertanya kepada guru, apakah kami dapat menunggu kau yang maju mundur ini.”

“Hus, jangan mengacaukan perasaanku. Kau dan Ki Sumangkar harus menunggu sampai aku selesai dengan persoalan ini.”

“Kau belum mulai. Kapan akan selesai.”

Swandaru menjadi bersungut-sungut karenanya. Tetapi ia tidak menjawab. Sambil mengikuti langkah adiknya ia menundukkan kepalanya. Sedang Agung Sedayu berjalan di sampingnya. Tetapi mereka pun kemudian tidak berkata apa pun juga.

Sehari-harian Swandaru hanya berbaring saja di ujung gandok, di atas sebuah lincak kayu. Wajahnya tampak bersungguh-sungguh dan gelisah sekaligus. Sekali-sekali ia menarik nafas dalam-dalam. Direka-rekanya apa yang akan dikatakan seandainya ia nanti benar-benar dapat berbicara dengan Pandan Wangi.

Namun tiba-tiba sesuatu telah meledak di dadanya, “Kenapa aku tiba-tiba saja menjadi pengecut?”

Swandaru mengerutkan keningnya. Di dalam pergaulan sehari-hari ia dapat berbuat wajar, berbicara dan bahkan bergurau, dengan gadis itu. Tetapi apabila masalahnya membentur perasaannya terhadap gadis itu, tiba-tiba saja lehernya seakan-akan menjadi berkerut terlampau pendek.

“Aku tidak boleh berlaku demikian,” katanya kepada diri sendiri, “aku harus mulai dengan sikap yang bersungguh-sungguh.”

Perlahan-lahan maka Swaudaru pun kemudian menemukan kepercayaan kepada diri sendiri. Katanya di dalam hati, “Seandainya aku menunda-nunda, maka akhirnya aku pun harus sampai pada masalah itu. Aku harus sampai pada suatu batas, bahwa aku harus mengucapkannya dengan mulutku sendiri.”

Demikianlah di saat Swandaru mendapat kesempatan untuk menjumpai Pandan Wangi bersama Sekar Mirah ketika senja turun di serambi belakang, sikapnya sudah berlainan. Meskipun dadanya masih juga berdebar-debar, tetapi Swandaru tampaknya sudah menjadi tenang.

“Apakah Ki Argapati sudah menjadi semakin baik?” bertanya Sekar Mirah.

“Ya, gembala tua yang ternyata bernama Kiai Gringsing itu dengan tekun merawatnya”

Sekar Mirah mengangguk-anggukkan kepalanya. “Ia seorang dukun yang luar biasa,” desis Sekar Mirah. “Namanya bukan saja Kiai Gringsing. Ketika ia pertama kali muncul di Sangkal Putung, ia memakai pakaian gringsing. Tetapi ia dikenal juga dengan nama Ki Tanu Metir.”

“Tidak,” sahut Swandaru, “ia menyebut dirinya Kiai Gringsing pertama-tama ketika ia menjumpai Kakang Agung Sedayu di perjalanan ke Sangkal Putung.”

“O,” Sekar Mirah mengerutkan keningnya.

Sementara itu, Swandaru meneruskan ceriteranya tentang dukun yang aneh itu, sehingga akhirnya ia menjadi muridnya bersama Agung Sedayu.

“Sampai saat ini, aku masih belum tahu benar, siapakah sebenarnya Kiai Gringsing itu.”

Pandan Wangi mendengarkannya dengan penuh minat.

Namun tiba-tiba ia berpaling ketika Sekar Mirah meloncat berdiri, “He, ada yang harus aku tanyakan kepada guruku di padepokan Ki Gede Menoreh di adbmcadangan dot wordpress dot com.”

“Sesuatu. Tunggulah kau di sini sebentar. Hanya sebentar.”

“Apa?”

Sekar Mirah tidak menunggu jawaban. Dengan tergesa-gesa ia meninggalkan Pandan Wangi dan Swandaru sambil berkata, “Teruskan ceriteramu, Kakang. Aku tidak lama.”

“He,” Pandan Wangi memanggil.

Sekar Mirah berpaling sambil tersenyum. Tetapi ia berjalan.

Swandaru dan Pandan Wangi yang ditinggalkannya sejenak menjadi termangu-mangu. Mereka memandangi langkah Sekar Mirah yang hilang di sudut serambi.

Tetapi Swandaru yang benar-benar ingin menyatakan perasaannya, dan yang perlahan-lahan telah menemukan keberanian itu pun kemudian menarik nafas dalam-dalam. Katanya, “Biar saja anak itu pergi.”

Pandan Wangi tidak menjawab, tetapi kepalanya tiba-tiba saja tertunduk dalam-dalam.

“Sampai di mana aku tadi berceritera?” bertanya Swandaru.

Pandan Wangi mengangkat wajahnya. Ia tidak menyangka bahwa pembicaraan mereka masih akan tetap dapat berjalan lancar. Namun ia tidak menjawab.

“O, ya, kita sudah sampai di jilid limapuluh tiga” berkata Swandaru, “aku sendiri sampai sekarang tidak tahu, siapakah sebenarnya guruku.”

“Aneh,” desis Pandan Wangi tiba-tiba.

“Apa yang aneh.”

“Kau. Kau yang sudah sekian lama berguru, masih juga tidak tahu siapakah gurumu.”

“Memang aneh.”

“Dan sekarang, aku dan orang-orang Menoreh lebih-lebih lagi tidak tahu. Bukan saja siapa gurumu itu, tetapi siapakah kau sebenar-benarnya. Mula-mula kau mengaku seorang gembala. Kemudian adikmu itu mengatakan bahwa kau bukan bernama Gupala, tetapi Swandaru yang kau tambahi sendiri menjadi Swandaru Geni, anak seorang Demang di Sangkal Putung.”

Swandaru tersenyum.

“Kakakmu itu pun orang aneh.”

Swandaru tertawa pendek. Katanya, “Kami memang kumpulan orang aneh-aneh. Tetapi itu adalah ajaran guru. Guru orang aneh. Murid-muridnya pun orang aneh pula.”

Pandan Wangi pun tersenyum pula.

“Tetapi kepadamu aku pasti harus berterus terang,” berkata Swandaru kemudian. Terasa bahwa nadanya menjadi agak gemetar.

Pandan Wangi mengangkat wajahnya, memandang langit yang menjadi semakin hitam. Tanpa memandang Swandaru itu berkata, “Kenapa?”

Swandaru menjadi agak bingung. Tetapi kemudian ia menjawab, “Karena kau pemilik rumah ini, di mana aku, kakak seperguruanku, adikku, dan guru tinggal.”

Pandan Wangi menarik nafas dalam-dalam. Tetapi ia tidak segera menyahut, sehingga suasana menjadi hening sejenak.

Dan tiba-tiba saja terdengar Pandan Wangi menarik nafas panjang. Panjang sekali. Meskipun yang ada di sampingnya kini adalah Gupala, yang ternyata bernama Swandaru itu, namun sekali melintas juga bayangan gembala yang lain, yang telah menyentuh hatinya dengan suara serulingnya.

Tetapi sudah pasti bahwa ia tidak akan dapat menyebut namanya lagi di dalam hatinya, karena kini sudah pasti baginya bahwa telah terjadi ikatan antara gembala yang pandai bermain seruling itu dengan Sekar Mirah.

“Aku memang tidak memerlukannya,” ia menghentak di dalam hatinya sendiri. Namun kemudian terasa seolah-olah dunianya menjadi sepi. Apalagi sepeninggal Sidanti.

Terasa kekosongan yang sunyi telah melihatnya. Di dalam saat-saat tertentu ia merasa, seakan-akan terlempar ke dalam suatu dunia yang asing. Kadang-kadang ia merasa berdiri di atas jalur yang panjang sekali. Seolah-olah tidak ada ujung dan pangkalnya. Kadang-kadang ia seakan-akan berdiri di sebuah padang yang luas. Luas sekali tanpa tepi. Hanya kadang-kadang ia melihat ayahnya berdiri di kejauhan. Dengan luka di dadanya ia berjalan tertatih-tatih. Lambat sekali.

Dalam kesepian, dalam kesendirian di dunia yang serasa asing dan sunyi itu hadir seorang anak nuuda. Anak muda yang mempunyai beberapa kelebihan dari anak-anak muda yang lain.

Tiba-tiba terasa sesuatu telah menyentuh hatinya. Sentuhan-senyuhan yang semula tidak begitu terasa, kini benar-benar telah menumbuhkan kesan yang agak mendalam.

Dalam keadaan itu, Swandaru tidak mau kehilangan kesempatan. Ia harus sampai pada pokok masalah yang selama ini telah direndamnya. Karena itu, maka ia masih juga berusaha mencari jalan, untuk dapat sampai pada masalah itu.

Karena Pandan Wangi masih juga diam saja maka Swandaru itu pun bertanya, “Kenapa kau tiba-tiba terdiam?”

Pandan Wangi berpaling. Tetapi ia tidak menjawab.

Swandaru menjadi agak gelisah. Namun ia tidak mau mundur lagi. Dengan suara yang semakin gemetar, ia kemudian bertanya, “Pandan Wangi, pada suatu saat aku dan rombonganku yang kecil ini pasti akan meninggalkan Tanah Perdikan Menoreh. Karena itu, tidak akan ada salahnya kalau kau mengenal aku bukan sebagai murid seorang guru yang selalu terselubung.”

Pandan Wangi masih tetap berdiam diri.

“Apakah Sekar Mirah sudah mengatakan tentang dirinya dan diriku?”

Pandan Wangi menganggukkan kepalanya.

“Nah, baiklah. Kalau ia berkata bahwa aku adalah anak seorang Demang di Sangkal Putung itu berarti bahwa ia berkata sebenarnya.”

Sekali lagi Pandan Wangi menganggukkan kepalanya.

“Dan selain Sekar Mirah, apakah Kakang Agung Sedayu sudah pernah mengatakan sesuatu tentang dirinya sendiri?”

“Belum,” jawab Pandan Wangi lambat.

“Mungkin. Mungkin ia tidak akan mengatakan tentang dirinya sendiri, sehingga sampai saat ini kau pasti belum mengenalnya dengan baik. Ia adalah seorang anak Jati Anom. Kakaknya adalah seorang Senapati Pajang yang mempunyai daerah kekuasaan di sepanjang sisi Selatan Pulau ini. Tetapi yang penting bukan itu.” Swandaru berhenti sejenak, lalu, “Yang penting bagiku adalah Kakang Agung Sedayu pernah mengatakan sesuatu tentang diriku?”

Sepercik warna merah membayang di wajah Pandan Wangi. Kini ia merasa bahwa ia sudah diseret ke dalam suatu pembicaraan pribadi yang berat.

Dengan demikian Pandan Wangi menjadi semakin tunduk. Diusapnya keringatnya yang membasahi keningnya. Kemudian dengan jari-jarinya ia mempermainkan ujung kain panjangnya. Tetapi Pandan Wangi masih tetap berdiam diri.

“Pandan Wangi,” desis Gupala, “kau belum menjawab pertanyaanku.”

Pandan Wangi menarik nafas dalam-dalam.

“Apakah Kakang Agung Sedayu yang kau panggil sehari-hari dengan nama Gupita itu sudah pernah mengatakan sesuatu pesan dari padaku?”

Tiba-tiba kepala Pandan Wangi terangguk lemah.

Swandaru mengangguk-anggukkan kepalanya pula. Kini ia sudah, hampir sampai pada pokok pembicaraannya. Karena itu, meskipun dadanya menjadi semakin berdebar-debar ia berkata selanjutnya, “Bagaimanakah jawabmu?”

Pandan Wangi tidak segera menjawab. Kepalanya kini terangkat. Dipandanginya hitamnya malam yang kini telah merata. Hijaunya dedaunan yang menjadi kelam dan seolah-olah bersembunyi di balik kegelapan.

Sejemput angin yang silir mengalir mengusap wajah-wajah yang menegang itu. Di kejauhan sinar obor yang lemah telah menyentuh kulit mereka yang menjadi merah tembaga.

Tetapi Pandan Wangi tidak segera menjawab. Di dalam dirinya masih saja terjadi gelora yang mengguncang jantungnya. Namun ia tidak akan dapat lari dari kenyataan, bahwa Swandaru memang mempunyai sentuhan-sentuhan yang membekas di hatinya.

“Bagaimana, Pandan Wangi?” desak Swandaru.

Pandan Wangi menarik nafas. Kemudian terdengar suaranya lemah sekali, “Tetapi Agung Sedayu belum mengatakan pesanmu seluruhnya. Tiba-tiba kalimat-kalimatnya terganggu oleh gerombolan di bawah pimpinan adik sepupuku sendiri.”

“Tetapi bukankah kau sudah tahu maksudnya?”

Swandaru menggerutu di dalam hatinya ketika ia melihat Pandan Wangi menggelengkan kepalanya. Jawabnya, “Belum. Aku belum tahu maksudnya.”

“Tetapi, menurut Kakang Agung Sedayu, ia sudah mengatakannya.”

“Kalau begitu akulah yang tidak mendengarnya,” jawab Pandan Wangi. “Jalan itu memang menegangkan, sehingga perhatianku terlampau banyak tertuju kepada daerah yang sedang kami lewati daripada yang lain-lain.”

“O,” Swandarulah yang kini menundukkan kepalanya, “memang mungkin pesan itu sama sekali tidak berharga bagimu, sehingga kau sama sekali tidak berkesempatan untuk mendengarkannya.”

Pandan Wangi terkejut mendengar suara Swandaru yang tiba-tiba mendatar itu, sehingga ia pun berpaling. Ketika dilihatnya Swandaru menunduk dalam-dalam maka ia pun berdesis, “Tidak. Bukan maksudku untuk mengabaikannya. Tetapi, aku tidak dapat menangkapnya dengan jelas karena berbagai macam keadaan. Aku sudah mencoba untuk mengetahuinya, tetapi tidak seluruhnya aku mengerti.”

“Apakah kesanmu terhadap yang sedikit itu?” desak Swandaru.

Namun jawaban yang didengarnya sama sekali tidak diduganya. Sambil menundukkan kepalanya Pandan Wangi menjawab, “Aku tidak dapat mengatakan sesuatu. Aku takut kalau pesan yang sedikit itu keliru.”

Swandaru menggeleng-gelengkan kepalanya tanpa sesadarnya. Kini sudah pasti baginya untuk mengatakan sendiri. Agaknya Pandan Wangi memang ingin mendengar hal itu daripadanya.

Setelah beberapa kali ini menarik nafas dalam-dalam, maka ia berkata lambat, “Begitulah, Pandan Wangi. Seperti yang aku pesankan kepada Kakang Agung Sedayu,” Swandaru berhenti sejenak. Kemudian, “Seperti yang dinasehatkan oleh Kakang Agung Sedayu kepadaku. Katanya “Swandaru, kau harus mulai dengan suatu sikap hidup yang baru karena umurmu sudah cukup dewasa. Kalau kau memang menaruh hati kepadanya, katakanlah berterus terang.” Dan aku memang tidak ingkar lagi akan hal itu.”

Swandaru berhenti sejenak. Ia menunggu kesan Pandan Wangi atas kata-katanya itu, tetapi Pandan Wangi masih tetap berdiam diri.

“Begitulah Pandan Wangi, dan aku sekarang telah mencoba memenuhi petunjuk Kakang Agung Sedayu.”

Pandan Wangi mengangkat wajahnya. Sekali lagi dilontarkannya tatapan matanya jauh ke alam gelap. Tanpa memandangi Swandaru ia berkata, “Hanya sekedar memenuhi pesan Kakang Agung Sedayu?”

“O, tidak. Tidak,” cepat-cepat Swandaru menyahut. Kini keringatnya sudah mengalir membasahi tubuhnya. Betapa ia mengatur perasaannya, namun terasa jantungnya menjadi semakin cepat berdebaran.

“Bukan maksudku, Pandan Wangi,” katanya, “tetapi aku memang harus mengatakannya. Maksudku bahwa aku sama sekali tidak mengerti apa yang harus aku perbuat. Dan Kakang Agung Sedayu memberi nasehat itu kepadaku.”

Pandan Wangi menundukkan kepalanya pula. Malam menjadi semakin lama semakin gelap, dan obor di regol butulan halaman belakang terombang ambing disentuh angin. Lamat-lamat tampak bayangan para penjaga yang hilir-mudik, meskipun tidak begitu jelas.

Dalam pada itu, seseorang yang sedang berjalan ke regol belakang berhenti sejenak di balik bayangan yang kelam. Tatapan matanya yang tajam memandang kedua sosok tubuh yang duduk di serambi. Meskipun keduanya tidak tersentuh langsung oleh sinar-sinar lampu, tetapi tampak olehnya betapa mereka sedang berbicara bersungguh-sungguh.

Orang itu menarik nafas dalam-dalam. Namun kemudian ia pun melangkah pergi sambil menundukkan kepalanya. Terasa sesuatu berdesir di dadanya. Namun kemudian ia mengatupkan bibirnya rapat-rapat.

“Mudah-mudahan Swandaru berhasil,” desisnya. “Tidak pantas lagi aku memikirkan tentang seseorang.”

Sambil menggigit bibirnya orang itu pun sekali lagi berpaling. Tetapi orang itu, Agung Sedayu, tidak berhenti. Ia sadar bahwa ia harus berdiri di atas kaki yang kuat. Perasaannya memang kadang-kadang menjadi agak lentur. Namun ia mencoba melawannya sekuat-kuatnya.

Sementara itu Swandaru sendiri duduk dengan gelisahnya. Punggungnya menjadi basah oleh keringat. Sekali-sekali ia menarik nafas dalam-dalam, karena serasa dadanya tersumbat oleh perasaannya yang bergejolak.

“Pandan Wangi,” berkata Swandaru kemudian. Dikerahkannya segenap keberaniannya, sehingga meledaklah kata-katanya, “Aku ingin mendengar jawabmu, apakah kau bersedia menjadi imbangan hidupku kelak?”

Pertanyaan Swandaru yang terlampau langsung itu ternyata telah menggetarkan isi dadanya. Terasa darah-darahnya seakan-akan menjadi semakin cepat mengalir.

Kini mulutnya justru menjadi seakan-akan terbungkam. Ia memang mengharapkan Swandaru mengatakan hal itu langsung kepadanya. Bukan sekedar pesan atau cara-cara yang miring. Tetapi ia ingin mendengarnya langsung. Namun justru karena ia kini mendengar pertanyaan itu langsung, maka sejenak ia menjadi kebingungan.

Swandaru yang dengan segala macam usaha dengan pengerahan keberaniannya telah berhasil melontarkan pertanyaan itu, seakan-akan merasa dadanya menjadi terlampau lapang. Seakan-akan ia telah melontarkan sesuatu yang selama ini membebaninya. Karena itu, kini darahnya menjadi tidak terasa terlampau panas, sedang dadanya tidak lagi berguncang-guncang. Bahkan karena Pandan Wangi tidak segera menjawab ia mendesaknya, “Kau belum menjawab, Pandan Wangi.”

Untunglah bahwa cahaya obor di kejauhan tidak mencapai langsung ke tempat mereka, sehingga Swandaru tidak melihat wajah itu menjadi kemerah-merahan.

“Aku sudah mengucapkannya,” berkata Swandaru pula, “dan aku ingin mendengar kau menjawabnya.”

Pandan Wangi mengangkat wajahnya. Tetapi ia tidak berpaling kearah Swandaru. Perlahan-lahan ia berkata, “Kakang Swandaru. Aku adalah seorang gadis. Sudah menjadi kelaziman bagi seorang gadis Menoreh, bahwa lamaran itu ditujukan kepada orang tuanya. Demikian pula aku. Sebaiknya Kakang Swandaru memintanya kepada ayah.”

“Tetapi, bagaimana dengan kau sendiri, Wangi. Aku ingin mendengar perasaanmu.”

“Aku tidak dapat menentukan sesuatu atas diriku sendiri.”

“Tetapi bukankah kau mempunyai perasaan itu?” suara Swandaru menjadi gelisah kembali. “Aku tidak peduli, apakah jawaban orang tuamu nanti. Tetapi bagaimana perasaanmu sendiri?”

“Tidak, Kakang Swandaru,” sahut Pandan Wangi, “kau tidak dapat untuk tidak menghiraukan suara ayahku. Suara ayah itu pasti menentukan. Kalau ayah berkata ya, maka semua itu akan terjadi, tetapi kalau ayah berkata tidak, maka semuanya tidak akan dapat terjadi.”

“Aku tahu, aku tahu,” nada suara Swandaru meninggi, “tetapi aku ingin tahu perasaanmu sendiri. Kalau kau berkata ya, aku akan berusaha melamarmu lewat ayahmu, meskipun memang mungkin juga ditolak dan urung. Tetapi kalau kau berkata tidak, maka aku tidak akan berbuat apa-apa. Meskipun seandainya ayahmu mengijinkan, tetapi aku tidak mendapatkan kau seutuhnya.”

Pandan Wangi tidak dapat mengelak lagi. Ketika Swandaru kemudian bertanya lagi, “Bagaimana pendapatmu, Pandan Wangi?” maka dengan wajah yang merah dan bibir yang gemetar gadis itu menjawab parau, “Apakah kau akan menemui ayah?”

“Tentu. Seandainya bukan aku, karena itu juga tidak lazim, tetapi ayah atau orang-orang tua yang lain, itu pun akan tergantung kepada jawabanmu.”

“Datanglah kepadanya. Bertanyalah kepada ayah.”

“Aku akan melakukannya, tetapi setelah aku mendapat kepastian. Aku juga mempunyai adik seorang gadis. Aku kira adat kita tidak akan jauh berbeda. Kalau seseorang datang melamar, maka orang tuanya akan menjawab ‘Aku akan menanyakannya dahulu kepada gadisku’. Bukankah ayahmu nanti akan berkata begitu juga? Nah, sebelumnya aku sudah membawa jawabnya. Meskipun aku tidak akan dapat mendahului jawaban ayahmu, tetapi setidak-tidaknya aku berpengharapan untuk mendapatkan kau seutuhnya. Kau dan perasaanmu. Kalau kau kemudian mengiakannya, itu bukan karena ayahmu yang mendesaknya. Aku tahu pasti, kalau kau sendiri tidak berkeberatan.”

Pandan Wangi benar-benar sudah tersudut. Sedang Swandaru mendesaknya lagi, “Bagaimana, Wangi?”

Gadis itu tidak dapat menghindarinya. Karena itu, maka betapa pun beratnya, dianggukkannya kepalanya.

“Terima kasih, terima kasih,” terdengar Swandaru berdesis, “aku sudah mengerti perasaanmu sekarang. Aku memang sudah menduga. Tunggulah. Aku akan memenuhi segala macam upacara adat kelak. Tetapi sudah tentu aku harus kembali dahulu ke Sangkal Putung. Namun selain ayahku, aku mempunyai orang tua di sini, guruku. Mungkin sebelum ayahku datang, guruku akan dapat membicarakannya dengan ayahmu. Guruku, guru adikku itu, dan Kakang Agung Sedayu.” Swandaru berhenti sejenak, lalu, “Begitu, bukankah begitu?”

Namun ketika ia tanpa sesadarnya menyentuh lengan Pandan Wangi gadis itu beringsut sejengkal.

Swandaru mengerutkan keningnya. Tetapi ia sadar, bahwa sentuhan di antara mereka memang tidak dibenarkan.

Pandan Wangi sendiri tidak tahu, kenapa ia harus bergeser. Ia tidak mengelak, ketika tangannya dibimbing oleh gembala yang lain di peperangan setelah mereka berkelahi melawan Ki Peda Sura.

“Saat itu, perasaanku telah dirampas oleh tegangnya peperangan,” ia mencoba mencari jawabnya.

“Nah,” terdengar suara Swandaru, “nanti malam aku akan dapat tidur nyenyak, Pandan Wangi. Dan aku akan mengatakannya kepada guruku. Apakah ia dapat berbuat sesuatu sebelumnya, mendahului ayah dan ibuku di Sangkal Putung.”

Pandan Wangi tidak menyahut. Kembali kepalanya tunduk dalam-dalam. Dan malam pun menjadi semakin malam.

Akhirnya kedua anak-anak muda itu menjadi seakan-akan tersadar, bahwa mereka telah terlampau lama duduk berdua, di dalam keremangan malam yang tidak langsung dicapai oleh cahaya obor di kejauhan.

Karena itu, ketika Swandaru mendengar tembang macapat yang melontar dari gandok di sebelah Barat, ia berkata, “Sudahlah Pandan Wangi, aku sudah puas dengan jawabanmu. Aku merasa bahwa kehadiranku di atas Tanah Perdikan ini tidak sia-sia. Bukan saja untuk kepentingan Tanah Perdikanmu, tetapi untuk kepentinganku pula.”

Pandan Wangi tidak menjawab. Tetapi kepalanya terangguk lemah.

“Hari sudah menjadi semakin malam. Aku sudah mendengar salah seorang pengawal membaca tembang macapat.”

Sekali lagi kepala Pandan Wangi terangguk.

Swandaru kemudian berdiri dan melangkah menjauhi serambi. Sekali ia berhenti dan berpaling.

“Apakah kau tidak akan masuk ke dalam,” ia bertanya ketika ia masih melihat Pandan Wangi duduk di tempatnya.

Pandan Wangi menganggukkan kepalanya. Tetapi ia masih tetap berdiam diri.

“Masuklah,” berkata Swandaru, “malam akan menjadi terlampau dingin.”

Perlahan-lahan Pandan Wangi pun berdiri. Seperti bukan kehendaknya sendiri. Ia pun melangkah, menuju ke pintu butulan. Sejenak kemudian ia pun segera hilang di balik pintu.

Swandaru menarik nafas dalam-dalam. Kemudian ia pun meneruskan langkahnya kembali ke ujung gandok. Tugasnya bersama Agung Sedayu masih belum dicabut, menunggui bilik Argajaya, meskipun sudah tidak seketat semula.

Malam itu rasa-rasanya menjadi malam yang terlampau segar bagi Swandaru. Kadang-kadang ia tersenyum sendiri mengenangkan pembicaraannya. Ia merasa sebagai seorang pahlawan yang telah memenangkan perang.

“Apakah kau berhasil?” bertanya Agung Sedayu ketika ia melihat Swandaru berbaring sambil memandang langit-langit biliknya.

“Agaknya aku merasa berhasil,” jawab Swandaru, “aku masih perlu meyakinkan.”

Agung Sedayu tersenyum, “Apa yang akan kau yakinkan?”

“Kebenaran kata-katanya.”

Sambil tertawa Agung Sedayu menepuk bahunya, “Kau memang harus yakin.”

Swandaru tidak menjawab. Ia masih tetap berbaring ketika Agung Sedayu meninggalkan biliknya. Dan Swandaru itu pun tidak mendengar Agung Sedayu bergumam, “Mudah-mudahan kau menemukan kebahagiaan.”

Di ruang dalam, Sekar Mirah sempat juga mengganggu Pandan Wangi yang tersipu-sipu. Karena Sekar Mirah tidak juga berhenti, maka Pandan Wangi pun kemudian berlari menuju ke pintu bilik ayahnya. Namun kemudian, berjingkat ia masuk. Dengan demikian ia berhasil melepaskan dirinya dari Sekar Mirah.

Tetapi pertemuan dan pengakuan merupakan jenjang kehidupan baru bagi keduanya. Keduanya tidak dapat melepaskan diri dari pengaruh perasaan masing-masing, sehingga hampir setiap orang segera dapat melihat, bahwa ada sesuatu yang berkembang di hati keduanya.

Namun bukan saja hati Swandaru dan Pandan Wangi yang telah berkembang. Keadaan di Tanah Perdikan Menoreh pun telah berkembang pula.

Ki Argapati yang mengikuti keadaan dengan seksama, meskipun ia masih tetap berada di pembaringannya, pada suatu kesempatan telah memanggil Argajaya untuk menghadap, dikawani oleh Pandan Wangi, Samekta, dan Ki Kerti.

“Aku percaya kepadamu,” berkata Ki Argapati kepada adiknya setelah mereka berbincang panjang, “mudah-mudahan kau tidak menyia-nyiakan kepercayaanku itu.”

“Aku sudah menyesali semuanya itu, Kakang. Bukan karena aku sudah tidak berdaya lagi. Tetapi aku melihat noda-noda yang melekat di hati ini. Aku memang banyak dipengaruhi oleh pamrih dan ketamakan. Kalau semula aku hanya dicemaskan oleh kejaran orang-orang Pajang, namun kemudian masalahnya menjadi berkembang terlampau jauh, sehingga aku harus malu kepada diri sendiri.”

“Baiklah. Atas persetujuan kami, kau kami ijinkan pulang ke rumahmu.”

“Kakang?”

“Ya. Aku kira kau tahu apa artinya.” Ki Argapati menarik nafas, kemudian, “kau telah ditunggu oleh suatu kewajiban bagi Tanah perdikan ini.”

Argajaya mengangguk-anggukkan kepalanya.

“Ketahuilah, bahwa anakmu masih belum dapat kami ketemukan. Ia masih berada di antara orang-orang yang belum dapat diyakinkan, bahwa apa yang mereka lakukan adalah sia-sia.”

Argajaya mengangguk-anggukkan kepala. Ia mengerti bahwa anaknya telah berada di antara gerombolan orang-orang yang dengan putus asa telah melakukan apa saja tanpa tujuan, selain memuaskan nafsu kekerasan mereka.

“Pulanglah, mungkin anakmu akan datang kepadamu. Ia masih terlampau muda.”

“Baiklah, Kakang. Mudah-mudahan aku dapat menjumpainya dan menjinakkannya.”

“Cobalah,” Argajaya berhenti sejenak. Ia tampak menjadi ragu-ragu, namun kemudian, “Tetapi, kau pun jangan salah mengerti. Apakah kau memerlukan perlindungan? Mungkin seseorang telah menjadi sakit hati atau mencoba untuk melakukan sesuatu atasmu.”

Argajaya menarik nafas pula. Semakin dalam ia menyadari bahwa kakaknya seharusnya tidak mengatakan bahwa ia perlu dilindungi, tetapi ia agaknya memang perlu diawasi.

“Mana yang baik bagi, Kakang,” jawab Argajaya.

“Jangan salah mengerti. Menurut perhitunganku, masih ada orang yang akan melakukan sesuatu yang berbahaya bagimu, karena sikapmu. Kau pasti akan dianggap bersalah terhadap mereka, karena justru kau menyadari keadaanmu yang sebenarnya.”

Argajaya tidak menjawab. Tetapi kepalanya tertunduk dalam-dalam. Ia dapat mengerti sikap kakaknya. Dan karena itu maka ia tidak menolaknya. Meskipun berat ia berkata, “Baiklah, Kakang. Kalau Kakang menganggap perlu.”

“Aku masih menganggap perlu,” jawab Argapati. “Mungkin dari orang-orangmu sendiri yang kini tidak dapat terkendali. Tetapi mungkin juga dari pihak lain. Rakyat yang merasa terjerumus ke dalam kesulitan karena peperangan yang baru lalu dan mereka pasti akan melemparkan kesalahan kepada Sidanti dan gurunya. Apabila yang ada kemudian tinggal kau sendiri, maka kau akan dapat menjadi sasaran kemarahan mereka.”

Ki Argajaya menganggukkan kepalanya. Memang alasan kakaknya dapat diterima, di samping dugaannya yang lain, bahwa kakaknya masih perlu mengawasinya.

Demikianlah maka Ki Argajaya pada hari itu juga telah diijinkan meninggalkan bilik sempit yang dihuninya selama ini. Bilik yang sempit, gelap, dan pengap. Kebebasan yang didapatnya kali ini terasa sebagai suatu kurnia yang tidak ternilai harganya. Kini ia dapat melihat alam yang terbentang. Tidak hanya sesempit sebuah bilik dan bayangan dedaunan yang kadang-kadang dapat dilihatnya dari sela-sela pintunya apabila sedang terbuka.

Diantar oleh sepasukan kecil pengawal, Argajaya akan pulang ke rumahnya. Untuk mengurangi bahaya yang dapat menerkamnya setiap saat, Ki Argapati telah berpesan dengan sungguh-sungguh kepada pemimpin pengawal itu, “Ingat, kau jangan sampai melakukan kesalahan. Aku sudah memaafkan kesalahan Argajaya dengan beberapa macam pertimbangan. Bahkan aku sudah mengumumkan pengampunan umum. Kau harus mengawasi anak buahmu dan setiap orang di sekitar rumah Argajaya. Tidak boleh ada dendam yang dilontarkan kepadanya. Bukan karena Argajaya adikku, tetapi aku mempunyai banyak pertimbangan. Aku mengampuni semua orang yang mau mendengarkan seruanku dan dengan kesungguhan hati berusaha ikut membangunkan kembali Tanah yang sudah hampir runtuh ini.”

Pemimpin pengawal itu mengangguk-anggukkan kepalanya. Tetapi tampaknya ia tidak begitu yakin. Bukan karena ia sendiri tidak dapat menyingkirkan dendam di hatinya, tetapi apakah ia akan mampu membendung perasaan seluruh anak buahnya dan bahkan rakyat di sekitarnya?

“Apakah kau ragu-ragu?” bertanya Ki Argapati.

“Tugas ini sangat berat bagiku,” jawab pemimpin pengawal itu.

“Ya, aku tahu bahwa tugasmu sangat berat. Tetapi aku harap kau dapat melakukannya.”

Orang itu tidak segera menyahut.

Ki Argapati menarik nafas dalam-dalam. Katanya kemudian, “Mungkin kau memerlukan seorang kawan?”

Pemimpin itu menganggukkan kepalanya.

Ki Argapati berpikir sejenak. Tampaklah wajahnya menjadi tegang. Namun sejenak kemudian ia berkata, “Panggillah gembala tua itu.”

Pemimpin pasukan itu ragu-ragu sejenak. Tetapi ia pun kemudian meninggalkan bilik Ki Argapati memanggil gembala tua yang kini juga disebut Kiai Gringsing itu.

“Kiai,” berkata Ki Argapati, “aku memerlukan bantuan Kiai.”

Kiai Gringsing mengerutkan keningnya.

“Aku masih mengharap Kiai berada di Tanah Perdikan ini beberapa saat. Hanya beberapa saat saja.”

“Maksud Ki Gede?”

“Aku akan meminjam anak-anakmu. Salah seorang atau keduanya.”

“Untuk?”

Maka diceriterakannya maksudnya. Untuk melindungi Argajaya ia memerlukan sepasukan prajurit. Tetapi pemimpin prajurit itu memerlukan kawan, karena ia agak bimbang atas kemampuannya melakukan tugas yang berat ini. Ia merasa bahwa ia tidak hanya sekedar berhadapan dengan banyak kemungkinan yang datang dari sekelilingnya. Mungkin sisa-sisa pasukan Argajaya sendiri yang mendendam, mungkin rakyat yang marah, tetapi juga mungkin timbul dari pasukannya itu sendiri.

Kiai Gringsing mengangguk-anggukkan kepalanya. Ia dapat mengerti kesulitan pemimpin pasukan itu. Karena itu maka jawabnya, “Baiklah, Ki Gede. Aku akan menyuruh kedua anak-anakku itu mengikuti Ki Argajaya, karena tugas mereka selama ini pun adalah menjaganya di dalam bilik itu.”

“Terima kasih,” Ki Argapati mengangguk-anggukkan kepalanya.

Tetapi ketika Kiai Gringsing mengatakannya kepada Swandaru, tampak betapa ia menjadi kecewa. Bahkan sambil berdesah ia menjawab, “Guru, apakah aku boleh beristirahat?”

Kiai Gringsing menjadi heran mendengar jawaban itu. Swandaru adalah seorang anak muda yang lebih senang berada dilingkungan ketegangan daripada duduk menunggu sambil bertopang dagu. Tetapi tiba-tiba kini sikapnya menjadi lain.

“Lalu apakah yang akan kamu lakukan?”

“Aku minta ijin untuk beristirahat barang sejenak di rumah ini. Aku ingin beberapa hari tidak lagi dibebani oleh tugas-tugas yang berat.”

Kiai Gringsing masih belum mengerti, kenapa tiba-tiba tabiat muridnya ini berubah. Namun sebelum orang tua itu menanyakannya kepada Swandaru sendiri, Agung Sedayu telah mendahuluinya, “Biarlah aku berangkat sendiri untuk kali ini, Guru.”

“Kenapa?” bertanya Kiai Gringsing.

Agung Sedayu tidak segera menjawab. Tetapi sambil tersenyum dipandanginya wajah Swandaru yang murung.

“Kenapa?” gurunya mendesak.

“Adi Swandaru sedang sakit.”

“Sakit,” guruya menjadi semakin heran, “apakah yang sakit? Kenapa kau tidak mengatakannya kepadaku? Meskipun segalanya tergantung kepada Tuhan Yang Maha Esa, tetapi kita wajib berusaha. Dan aku akan berusaha untuk mengobatinya.”