api di bukit menoreh 151


Bagaimana dengan Ki Lurah Branjangan dan beberapa orang Senopati Mataram?" bertanya Pangeran Benawa.

"Tidak ada seorangpun yang boleh ikut menemui Pangeran selain Ki Lurah Branjangan," jawab Agung Sedayu.

"Kau memang aneh-aneh. Demikian aku memasuki barak, mereka telah berkerumun. Barangkali ada diantara mereka yang melempari aku dengan batu," berkata Pangeran Benawa.

"Aku akan mengaturnya," jawab Agung Sedayu.

Pangeran Benawa menarik nafas dalam-dalam. Namun kemudian katanya, "Jadi sekarang kau akan membawaku ke barak itu? Mungkin dengan tangan terikat?"

"Ah, jangan begitu Pangeran. Kesediaan Pangeran sudah sangat membesarkan hatiku, untuk kepentingan anak-anak didalam barak itu," jawab Agung Sedayu, "Untuk selanjutnya aku akan mengucapkan terima kasih ganda. Petunjuk Pangeran tentang goa itu, dan kesediaan Pangeran untuk singgah."

Pangeran Benawa mengangguk-angguk ia tidak sampai hati menolak permintaan Agung Sedayu. Karena itu, maka iapun kemudian bersama Agung Sedayu pergi ke barak.

Sementara itu, anak-anak muda didalam barak itupun menunggu dengan gelisah. Bahkan mereka mulai mencemaskan Agung Sedayu, karena merekapun tahu. bahwa orang yang dikejarnya itu adalah orang yang luar biasa.

Ki Lurah Branjangan yang telah membiarkan Agung Sedayu seorang diri mengejar orang itupun menjadi berdebar-debar pula. Segala kemungkinan memang dapat terjadi. Mungkin orang itu benar-benar orang yang memiliki ilmu yang tidak terkatahkan, melampaui ilmu Ajar Tal Pitu. Tetapi mungkin pula orang itu tidak sendiri. Ia lelah berhasil memancing Agung Sedayu kedalam sekelompok orang-orang yang memiliki ilmu yang tinggi.

Namun dalam pada itu, selagi anak-anak muda yang berada di regol itu termangu-mangu mereka telah melihat dua orang berjalan mendekat. Seorang diantara mereka segera dapat mereka kenali. Agung Sedayu. Sementara yang lainpun kemudian dapat mereka kenal pula. meskipun cahaya obor diregol masih belum menggapai keduanya.

"Tentu orang yang sedang dikejarnya itu," desis salah seorang dari anak-anak muda yang berada di regol itu.

"Ya. Agaknya orang itu," sahut yang lain.

Hampir saja mereka beramai-ramai menyongsong Agung Sedayu dan orang yang mereka anggap aneh itu. Tetapi mereka tertegun ketika mereka melihat justru orang itu berhenti, dan Agung Sedayu sendirilah yang berjalan mendekati regol.

"Kenapa orang itu kau tinggalkan?" bertanya salah seorang anak muda itu.

"Katakan kepada Ki Lurah Branjangan," berkata Agung Sedayu, "aku telah berhasil membawanya kemari. Tetapi orang itu cemas bahwa akan terjadi sesuatu atasnya."

"Kenapa?" desis anak muda yang lain.

"Ia merasa bersalah," jawab Agung Sedayu.

"Bawa kemari. Biarlah kami melihatnya," berkata yang lain pula, "Orang itu sudah menghina kami."

"Bukankah kecemasan orang itu benar-benar dapat terjadi. Jika aku membawanya memasuki halaman regol ini? Nampaknya kalian tentu akan mengerumuninya dan bertindak tidak sewajarnya," berkata Agung Sedayu.

"Apa artinya sewajarnya terhadap orang yang telah menghina kami itu," geram yang lain.

"Dengarlah," berkata Agung Sedayu kemudian, "Aku minta ki Lurah Branjangan datang kemari. Jika kalian menuruti kehendak kalian sendiri maka aku suruh orang itu berlari lagi dan bersembunyi di semak-semak, sehingga kalian tidak akan dapat menemukannya lagi Ki Lurah tentu akan marah. Tidak kepadaku, tetapi kepada kalian."

Anak anak muda itu termangu-mangu sejenak. Namun seorang diantara mereka berkata, "Baiklah. Aku akan menyampaikannya."

Ketika anak muda itu kemudian memasuki regol, maka yang lainpun rasa-rasanya ingin meloncat mendekati orang yang bendiri beberapa langkah di hadapan mereka. Tetapi setiap kali mereka harus menahan hati. karena Agung Sedayu agaknya benar-benar tidak ingin seorangpun mendekatinya.

Sejenak kemudian, maka Ki Lurah Branjanganpun dengan tergesa-gesa mendekati Agung Sedayu. Belum lagi langkahnya berhenti, ia sudah berkata, "Kenapa tidak kau bawa saja orang itu kemari Agung Sedayu."

Agung Sedayu tidak segera menjawab, sementara Ki Lurah Branjangan berkata selanjutnya, "Kila akan berbicara dengan orang itu di ruang dalam barak."

Tetapi Agung Sedayu kemudian menjawab, "Orang itu berkeberatan untuk dibawa masuk kedalam barak Ki Lurah."

"Kenapa ia berkeberatan? Kau dapat memaksanya, ia tidak berhak menentukan pilihan apapun juga," berkata Ki Lurah Branjangan.

"Aku tidak dapat memaksanya," jawab Agung Sedayu.

"Kau berhak memaksanya," sahut Ki Lurah, "Ia adalah tawananmu."

"Bukan," jawab Agung Sedayu cepat, "Aku tidak ingin menawannya. Aku hanya ingin berbicara dengan orang itu. Siapakah ia dan apakah maksudnya. Apakah kepentinganku dengan orang itu sehingga aku harus menawannya?"

"Ia sangat mencurigakan," berkata Ki Lurah.

"Setelah aku berhasil menemukannya ternyata kecurigaan kita tidak beralasan. Karena itu, silahkan Ki Lurah bertemu dengan orang itu. Sendiri seperti yang dimintanya," berkata Agung Sedayu.

"Jangan hiraukan permintaannya," berkata Ki Lurah, "aku yang mengambil keputusan disini bukan orang itu."

"Aku bertanggung jawab atas kata-kataku kepadanya. Aku hanya akan mempertemukan orang itu dengan Ki Lurah. Tidak dengan siapapun juga," sahut Agung Sedayu.

"Aku dapat menjatuhkan perintah. Aku mempunyai wewenang atas limpahan kuasa Raden Sutawijaya yang bergelar Senapati Ing Ngalaga," berkata Ki Lurah.

"Jika demikian, terserah kepada Ki Lurah. Ambillah orang itu dan bawalah masuk kedalam barak," desis Agung Sedayu.

Ki Lurah terpaksa menahan gejolak jantungnya. Yang dihadapannya adalah Agung Sedayu. Bukan seorang Senapati Mataram yang memang berada dibawah perintahnya. Namun dalam kegeraman ia bergumam, "Kau memang tidak tepat untuk menjadi seorang Senapati."

"Sudah aku katakan sejak semula." diluar sadarnya Agung Sedayu menjawab, "Bahkan tidak pantas pula berada di lingkungan pasukan yang manapun juga."

Ki Lurah terkejut, Agung Sedayu mempunyai kedudukan khusus di mata Senapati Ing Ngalaga. Jika anak muda itu memutuskan hubungan dengan pasukan khusus itu karena sikap Ki Lurah, maka Raden Sutawijaya tentu akan marah kepadanya.

Karena itu. maka katanya, "Kali ini baiklah. Aku akan menemuinya. Tidak untuk selanjutnya kau dapat bertindak lebih tegas. Kaulah yang memutuskan apakah ia harus menghadap, atau dengan cara lain."

"Sekarang akupun telah memutuskannya," jawab Agung Sedayu, "Orang itu tidak menghadap. Tetapi dengan cara lain."

Ki Lurah menarik nafas dalam-dalam. Tetapi ia mencoba memahami akan pikiran Agung Sedayu. Sementara anak-anak muda yang berdiri di sekitar mereka itupun termangu-mangu. Mereka belum pernah melihat sikap Agung Sedayu sekeras sikapnya waktu itu. Merekapun belum pernah melihat, keduanya berselisih pendapat.

Namun dalam pada itu. Ki Lurah terpaksa memenuhi permintaan Agung Sedayu untuk datang kepada orang yang menunggunya didalam kegelapan. Tetapi Ki Lurah sudah berniat untuk menentukan sikap terhadap orang yang menjengkelkan itu. Jika ia mencurigainya. maka ia bertekad untuk meyakinkan agar Agung Sedayu menahannya.

Tidak seorangpun boleh mengikutinya. Kepada anak-anak muda itu Agung Sedayu berkata, "Tunggulah disini. Jangan melanggar pesanku, agar tidak terjadi sesuatu yang belum pernah terjadi di barak ini."

Dalam pada itu Agung Sedayu dan Ki Lurahpun menjadi semakin dekat dengan orang itu. Ketika orang itu beringsut selangkah. Ki Lurah berkata lantang, "Jangan lari. Jika kau tidak ingin mengalami kesulitan."

"Bukan orang itu yang mengalami kesulitan," potong Agung Sedayu, "tetapi kita."

Ki Lurah mengerutkan keningnya. Sikap Agung Sednyu terasa sangat aneh.

Semakin dekat keduanya dengan orang itu, maka wajah Ki Lurah menjadi semakin tegang. Ia masih belum dapat melihat wajah orang itu dengan jelas, sehingga ia masih belum dapat mengenalnya, siapakah orang yang telah membuat seisi barak itu menjadi berdebaran.

"Nah," berkata Agung Sedayu kemudian ketika keduanya sudah berdiri dihadapan orang itu, "bertanyalah kepadanya dan cobalah Ki Lurah mengambil kesimpulan tentang orang itu."

Ki Lurah mengerutkan keningnya, "Pertanyaannya yang pertama adalah Siapa kau?"

Tetapi orang itu justru mengulangi pertanyaan Ki Lurah, "Siapa aku? Cobalah Ki Lurah menyebutnya."

Wajah Ki Lurah berkerut pada dahinya. Namun hampir saja Ki Lurah membentaknya seandainya orang itu tidak berkata lebih lanjut, "Seharusnya Ki Lurah mengenal aku sejak kita bertemu didepan regol itu."

Ki Lurah bergeser mendekat dipandanginya wajah orang itu dengan seksama. Meskipun malam menjadi semakin gelap, namun ia masih berhasil mengenali orang itu. Dengan suara bergetar ia berkata, "Pangeran Benawa. Benarkah aku berhadapan dengan Pangeran Benawa?"

Pangeran Benawa tersenyum. Jawabnya, "Ya. Kau berhadapan dengan Benawa Ki Lurah."

"O," Jantungnya terasa berdentangan. Sementara Pangeran Benawa berkata, "Sudahlah. tidak apa-apa. Karena itulah, maka aku tidak mau kau bawa kepada anak-anak muda itu. Mungkin anak-anak itu tidak akan mengenaliku tetapi beberapa orang Senapati Mataram yang bertugas di barak itu sebaiknya tidak perlu tahu bahwa aku pernah datang kemari."

"Aku, aku mohon maaf Pangeran," desis Ki Lurah.

"Tidak. Kau tidak bersalah apa-apa." jawab Pangeran Benawa, "yang kau lakukan adalah wajar sekali. Bertanya tentang seseorang yang kau anggap belum mengenalnya. Baru kemudian kau tahu, bahwa kau berhadapan dengan aku."

Ki Lurah menarik nafas dalam-dalam. Katanya, "Aku tidak perlu menyembunyikan perasaaaanku kepada Pangeran. Semula aku berniat untuk memaksa Pangeran datang kebarak. Agung Sedayu sama sekali tidak mengatakan bahwa yang kami hadapi sebenarnya adalah Pangeran."

"Sebenarnyalah anak-anak itu memang tidak perlu tahu. Semula akupun tidak berniat untuk singgah. Tetapi karena permintaan Agung Sedayu maka aku tidak dapat menolaknya. Ia ingin menunjukkan kepada anak-anak muda di barak itu, bahwa para penuntunnya adalah orang-orang yang mumpuni. Jika Agung Sedayu gagal membawa aku kemari, maka anak-anak muda itu akan sangat kecewa, dan menganggap bahwa orang yang mereka agung-agungkan ternyata tidak mampu mengatasi keadaan."

"Aku mengerti Pangeran," Ki Lurah mengangguk-angguk, aku mengucapkan terima kasih. Sebenarnyalah dengan demikian anak-anak tetap menganggap bahwa Agung Sedayu adalah orang yang pilih tanding. Kecuali mereka mengetahui bahwa yang dihadapinya adalah Pangeran Benawa."

"Karena itu aku dapat dipaksanya untuk singgah, karena Agung Sedayu mengancam aku menyebut siapa sebenarnya aku," jawab Pangeran Benawa.

"Jika demikian, apakah yang akan Pangeran lakukan kemudian jika Pangeran tidak ingin singgah ke barak itu ?" bertanya Ki Lurah.

"Aku ingin meneruskan perjalanan. Mudah-mudahan anak-anak di barak itu sudah puas melihat aku dibawa oleh Agung Sedayu menghadap Ki Lurah. Terserah kepada Ki Lurah. apa yang akan Ki Lurah katakan kepada anak-anak itu," jawab Pangeran Benawa. Lalu katanya kepada Agung Sedayu, "Bukankah sudah cukup aku hadir sampai disini."

"Sudah. Sudah Pangeran. Sudah cukup. Aku mengucapkan beribu terima kasih. Anak-anak itu sudah melihat bahwa aku berhasil membawa orang yang mereka curigai menghadap Ki Lurah, sehingga mereka tetap mempunyai keyakinan bahwa yang mereka hadapi sehari-hari tidak membuatnya sangat kecewa," sahut Agung Sedayu, "karena sebenarnyalah, jika Pangeran tidak mau untuk singgah, aku terpaksa menyebut siapa sebenarnya Pangeran."



Pangeran itu tertawa pendek, Katanya, Ki Lurah. ternyata Agung Sedayu sekarang sudah dihinggapi penyakit mementingkan dirinya sendiri, meskipun ia menolak ketika aku menyebutnya demikian. Katanya Justru untuk kepentingan anak-anak muda di barak itu. Bagaimana tanggapan Ki Lurah."

"Aku sependapat dengan Agung Sedayu. Pangeran untuk kepentingan keperecyaan anak-anak itu, bukan saja kepada Agung Sedayu. tetapi kepada para penuntunnya secara umum," jawab Ki Lurah.

Pangeran Benawa tertawa pula. Katanya, "Baiklah. Jika demikian, aku minta diri. Aku akan meneruskan perjalanan. Kemudian susunlah jawaban atas pertanyaan yang tentu akan dilontarkan oleh anak-anak itu kepada kalian berdua."

Ki Lurah teruwa pendek iapun sadar, bahwa seribu pertanyaan harus dijawabnya. Namun kemudian katanya, "Biarlah kami menjawab semua pertanyaan mereka."

Pangeran Benawapun tertawa pula. Kemudian sekali lagi ia minta diri kepada Agung Sedayu ia berpesan, "Berhati-hatilah menghadapi segala kemungkinan yang dapat terjadi atasmu. Meskipun aku mengetahui serba sedikit tentang barak ini. aku tidak akan berceritera kepada siapapun di Pajang. Juga tentang pesan-pesanku sebelumnya kepadamu."

Agung Sedayu mengerutkan keningnya. Namun iapun kemudian mengerti maksud Pangeran Benawa. Ia tentu akan memperingatkan tentang pesannya. bahwa di dinding pegunungan itu terdapat sebuah gua. Kemudian pesan-pesannya bagaimana ia harus menyadap khasiat yang terdapat pada air yang mengalir digoa itu jika ia menginginkannya."

Karena itu. maka Agung Sedayupun menjawab, "Baiklah Pangeran. Aku akan mengingat segala pesan Pangeran."

Pangeran Benawapun mengangguk-angguk kecil. Kemudian iapun mulai beringsut sambil berkata, "Selamat malam Ki Lurah."

Ki Lurah Branjangan tidak dapat berbuat lain kecuali berdesis, "Selamat malam Pangeran."

Sekejap kemudian Pangeran Benawa itupun telah meloncat dan hilang didalam semak-semak yang rimbun.

Anak-anak muda yang menyaksikan pembicaraan itu dari kejauhan, melihat meskipun tidak jelas, orang itu menghilang. Terasa jantung mereka tergetar, Agung Sedayu dan Ki Lurah sama sekali tidak berusaha mencegahnya.

Dalam pada itu, Ki Lurahpun kemudian menarik nafas dalam-dalam sambil berdesis, "Kenapa kau tidak mengatakannya sejak semula, bahwa yang kau jumpai itu adalah Pangeran Benawa."

"Bagaimana aku mengatakannya," sahut Agung Sedayu, "demikian aku mendekati regol. Anak-anak itu sudah mengerumuni aku."

Ki Lurah mengangguk-angguk. Katanya, "Aku akan mendapat kesulitan menjawab pertanyaan anak-anak itu. Tetapi baiklah kita bersepakat mengatakan kepada anak-anak itu. bahwa setelah kita selidiki orang itu sama sekali tidak mempunyai kepentingan apapun dengan barak ini."

"Tetapi kenapa ia berkeliaran disini ?" bertanya Agung Sedayu.

"Ya Kenapa?" Ki Lurah mengulangi.

"Sebut saja orang itu memang seorang yang kurang waras," berkata Agung Sedayu.

"Ah. apakah pantas kita menyebut demikian terhadap Pangeran Benawa," bertanya Ki Lurah.

"Justru untuk melindungi namanya. Jika tidak demikian kita akan terlalu banyak mengalami kesulitan untuk menjawab pertanyaan-pertanyaan anak-anak itu," jawab Agung Sedayu.

Ki Lurah termangu-mangu. Ia merasa ragu-ragu untuk menyebut Pangeran Benawa seperti yang dimaksud oleh Agung Sedayu. Meskipun demikian ia tidak menemukan jawaban yang lebih baik dari itu.

Karena itu. maka katanya kemudian, "Baiklah Agung Sedayu. Tetapi ak memang tidak mempunyai niat untuk menghinanya.

Demikianlah, keduanyapun dengan berat melangkah kembali ke regol halaman barak mereka. Beberapa orang anak muda telahi menyongsongnya. Seperti yang mereka duga, maka pertanyaanpun segera mengalir dari mereka.

"Kenapa orang itu dibiarkan pergi?" bertanya salah seorang dari mereka.

Sebelum pertanyaan itu dijawab, yang lain telah bertanya pula, "Siapakah sebenarnya orang itu ? Apakah benar ia orang Tanah Perdikan ini ?"

Ki Lurah Branjanganlah yang kemudian menjawab, "Anak-anak. Ternyata kita tidak dapat berbuat apa-apa atas orang itu. Setelah kami bertemu dan berbicara dengan orang itu. ternyata orang itu adalah orang yang kurang waras."

"Ah, mustahil." bentak seorang anak muda, "ketika kami berbicara dengan orang itu, sama sekali tidak nampak gejala-gejala kegilaan pada orang itu."

"Mungkin kalian tidak dapat menangkap gejala itu," desis Agung Sedayu. Lalu, "Tetapi aku tidak ingkar bahwa ia memang memiliki sesuatu yang dapat menggetarkan kalian. Ia memang memiliki kemampuan berlari dan bersembunyi. Tetapi sebenarnyalah kemampuannya tidak setinggi yang kalian duga. Kamipun dapat melakukan seperti orang dilakukannya. Berlari secepat-cepatnya menyusup semak-semak."

"Tetapi ia dapat seolah-olah hilang begitu saja," berkata yang lain.

"Itu menurut perasaanmu ia memang mampu berlari cepat sekali. Ia sama sekali tidak bersembunyi seperti yang kalian duga. Tetapi ia berlari sejauh-jauhnya. Untuk itu aku harus mengejarnya," berkata Agung Sedayu kemudian.

Anak-anak itu menarik nafas dalam-dalam. Sementara Agung Sedayu berusaha menjelaskan, "Kalian telah terpengaruh lebih dahulu sebelum kalian mulai mengejar orang itu. Jika perasaan itu tidak ada, maka kalian tidak akan terjebak kedalam keragu-raguan sehingga kalian mencari orang itu diseputar tempat yang kalian anggap, menjadi tempat persembunyiannya."

Anak-anak itu mengangguk-angguk. Namun seorang yang lain bertanya, "Bagaimanapun juga, kenapa orang itu tidak dibawa saja kemari?"

"Tidak perlu," Jawab Ki Lurah. "Semula akupun kecewa, bahwa Agung Sedayu tidak membawanya kemari. Tetapi dalam tekanan pertanyaan-pertanyaan yang berat, orang itu berbicara dengan tidak sadar ia mengucapkan kata-kata kotor dan tidak pantas kalian dengar. Ternyata kemudian aku setuju, bahwa orang itu tidak kami bawa masuk ke barak."

Anak-anak muda itu tidak bertanya lagi. Dua orang Senopati Mataram yang kemudian berada diantara anak-anak muda itu sama sekali tidak bertanya. Namun setelah mereka berada didalam, salah seorang bertanya kepada Ki Lurah, "Ki Lurah, apakah orang itu perlu mendapat perlindungan, apakah nama, kedudukan dan barangkali lingkungannya ?"

Ki Lurah menarik nafas dalam-dalam ia tidak dapat menjawab pertanyaan itu seperti jawabannya kepada anak-anak muda di barak itu.

Karena itu. untuk sesaat Ki Lurah Branjangan justru tidak menjawab. Dipandanginya kedua Senopati itu berganti-ganti. Pada sorot mata mereka, Ki Lurah melihat gejolak perasaan mereka.

Namun, justru karena itu. maka Ki Lurahpun kemudian menjawab, "Siapa sebenarnya orang itu. tidak perlu diketahui. Tetapi orang itu tidak akan mengganggu anak-anak kita lagi."

Kedua Senapati itupun mengangguk-angguk. Mereka tidak akan dapat memaksa Ki Lurah untuk mengatakan siapakah orang itu sebenarnya.

Dalam pada itu. sebenarnyalah anak-anak muda di barak itu telah mempertimbangkan peristiwa yang baru saja terjadi. Mereka memang merasa heran bahwa orang yang mereka curgai itu telah dilepaskan begitu saja.

"Tidak terlalu sulit untuk berpura-pura gila," desis salah seorang diantara mereka.

"Akupun dapat mengumpat-umpat dengan kata-kata kotor agar aku disangka gila," sahut yang lain, "tetapi gila atau tidak, orang itu sebenarnya perlu dibawa ke barak ini."

"Entalah," berkata yang lain lagi, "Ki Lurah Branjangan dan Agung Sedayu tentu mempunyai perhitungan yang lebih baik dari kita. Mungkin Agung Sedayu sengaja melepaskannya justru setelah ia menunjukkan bahwa Agung Sedayu mempunyai kemampuan melampaui orang itu. Dengan demikian, maka orang itu akan membuat laporan tentang kenyataan yang dihadapinya, sehingga orang itu tidak akan merendahkan kita semuanya."

"Mungkin sekali," desis kawannya, "jika orang itu ingin mengukur kemampuan barak ini. ia harus memperhitungkan Agung Sedayu. Jika orang itu tidak dilepas dengan sikap sedikit sombong, mungkin ia tidak akan mendapat kesan yang mendebarkan jantung mereka, seolah olah isi barak ini sama sekali tidak gentar menghadapi kekuatan yang manapun juga.

Kawan-kawannya mengangguk-angguk. Namun dengan demikian, mereka menjadi semakin mengagumi Agung Sedayu. Beberapa orang diantara mereka tidak mampu menemukan orang itu. Namun sebagaimana mereka duga bahwa Agung Sedayu akan dapat menyelesaikannya. meskipun akhir dari persoalan itupun masih merupakan teka-teki. Namun mereka tidak lagi ragu-ragu. apa yang dapat dilakukan oleh Agung Sedayu. Bahwa Agung Sedayu mampu membunuh Ajar Tal Pilu bagi kebanyakan mereka barulah merupakan ceritera meskipun diantara anak-anak muda dari Tanah Perdikan Menoreh yang sempat menyaksikan apa yang telah ternjadi. Tetapi peristiwa kecil dengan orang yang disebut gila itu telah memperkuat keyakinan mereka. Jika Agung Sedayu tidak berhasil membawa orang itu kembali ke barak, maka tentu akan timbul keragu-raguan, apakah benar Ajar Tal Pitu adalah orang yang pilih tanding seperti yang mereka dengar.

Dalam pada itu. pada saat saat kepercayaan anak-anak muda itu utuh terhadap Agung Sedayu, maka sampailah soalnya anak-anak muda yang lain akan dalang menyusul. Karena itulah. maka barak itu terasa menjadi sibuk. Anak-anak muda yang terdahulu akan ikut menerima anak-anak muda yang akan menyusul. Mereka akan ikut membantu menentukan susunan sementara pasukan khusus didalam barak itu. Anak-anak muda yang datang terdahulu itu, akan berada didalam jenjang kepemimpinan.

Pada saat-saat yang demikian itulah, maka Agung Sedayu menganggap bahwa kehadirannya tidak sangat penting didalam barak itu. Pada saatnya kemudian ia akan menerima segala macam tugas yang akan dibebankan kepadanya. Tetapi ia tidak merasa perlu untuk ikut menyusun tataran tubuh pasakan khusus itu sendiri.

Ketika ia mengatakan hal itu kepada Ki Lurah, maka Ki Lurah itupun menjawab, "Ah, bukan begitu anakmas. Tentu kau sangat diperlukan. Kau mengenal banyak lingkungan anak-anak muda. Tentu pendapatmu akan sangat penting bagi kami."

"Ki Lurah," berkata Agung Sedayu, "pada hari-hari pertama, yang akan dilakukan dalam barak ini barulah membagi anak-anak itu. dimana mereka akan tidur. Aku tidak akan lama pergi. Tidak lebih dari sepekan. Selama waktu itu. mungkin anak-anak muda dari daerah-daerah itu masih belum lengkap hadir di barak ini."

"Kau akan pergi kemaaa ngger?" bertanya Ki Lurah.

Agung Sedayu menarik nafas dalam-dalam. Kemudian jawabnya, "Aku memerlukan waktu bagi kepentinganku sendiri. Bukan berarti bahwa aku sudah mementingkan diriku sendiri tanpa menghiraukan kepentingan yang lebih besar, tetapi justru pada saat-saat senggang aku memerlukan waktu barang sepekan."

Ki Lurah Branjangan mengangguk-angguk. Agaknya waktu yang demikian memang tidak banyak yang harus dikerjakan oleh Agung Sedayu. Mereka akan menerima anak-anak muda dari berbagai daerah. Hal itu akan dapat dilakukan oleh anak-anak muda yang telah datang terdahulu. Sementara itu Agung Sedayu dapat melakukan satu hal yang mungkin penting bagi dirinya sendiri.

Karena itu. maka Ki Lurah itupun kemudian berkata, "Baiklah anakmas. Tetapi jangan lebih dari sepekan. Mungkin ada hal-hal yang perlu kita bicarakan bersama.

"Dalam keadaan yang mendesak. Ki Waskita dan Ki Gede akan dapat membantu memecahkan persoalan, selain sepuluh orang pimpinan tertinggi dari pasukan khusus ini yang ditunjuk oleh Raden Sutawijaya." jawab Agung Sedayu.

"Kami tentu tidak akan dapat mencegah angger melakukan sesuatu yang barangkali sangat penting bagimu," berkata Ki Lurah Branjangan lalu, "karena itu silahkan anakmas. Tetapi jangan lebih dari sepekan."

Agung Sedayu tersenyum. Lalu katanya, "Terima kasih Ki Lurah. Aku akan pergi sejak esok pagi."

Malam itu. Agung Sedayupun telah minta diri pula kepada Ki Waskita dan Ki Gede. Ternyata kepada kedua orang itu, Agung Sedayu tidak menyembunyikan kepentinngannya yang sebenarnya, meskipun dengan pesan, bahwa tidak ada orang lain yang mengetahuinya.

"Aneh," desis Ki Gede, "aku adalah orang Tanah Perdikan ini sejak bayi. Tetapi aku belum pernah mendengar ceritera yang mengerikan itu."

Agung Sedayu mengerutkan keningnya Ki Gede adalah Kepala Tanah Perdikan itu. Namun ternyata bahwa ia tidak mengerti tentang goa di dinding kelir itu.

Tetapi dalam pada itu Ki Gedepun berkata, "Tetapi hal itu tidak mustahil. Jika orang yang ditemui oleh Pangeran Benawa itu adalah seorang dukun tua yang mempunyai pengalaman dan pengetahuan jauh lebih luas dari aku, maka apa yang diketahuinya mungkin sekali tidak aku ketahui. Tetapi dukun itu yang disebut Pangeran Benawa itupun tidak aku kenal. Baik namanya maupun tempat tinggalnya."

Agung Sedayu menarik nafas dalam-dalam. Sambil mengangguk-angguk ia berkata, "Aku tidak tahu, apakah Pangeran Benawa mengatakan yang sebenarnya atau ia telah membuat satu ceritera tersendiri. Meskipun demikian aku percaya kepadanya, bahwa ia tentu bermaksud baik."

"Tetapi berhati-hatilah," pesan Ki Waskita, "mudah-mudahan kau dapat melakukan seperti yang dikatakan oleh Pangeran Benawa dan mendapat hasil seperti yang dimaksudkannya pula."

Demikianlah, maka pagi-pagi berikutnya Agung Sedayupun segera berangkat ia tidak langsung pergi ke bagun atas bukit yang mempunyai dinding datar seperti yang dimaksud. Namun ia telah pergi ke hutan di depan dinding itu.

Dari hutan itu ia dapat melihat dinding yang datar seperti kelir. Kemudian ia melihat ditengah-tengah dinding yang datar itu terdapat sebuah goa. Goa yang sulit untuk dicapai, karena tidak ada jalan yang memanjat dari bawah goa itu. Satu-satunya jalan untuk menuju goa itu adalah seperti yang dikatakan oleh Pangeran Benawa. Dengan tali yang diikat pada sebatang pohon diatas goa itu.

Karena itu. maka Agung Sedayu memerlukan sebuah tali ijuk yang kuat. Dengan memberikan kesan yang lain tentang dirinya. Agung Sedayu terpaksa keluar dari hutan itu lagi dan pergi ke pasar terdekat.

Tidak seorangpun yang mencurigainya. Banyak orang yang membeli tali ijuk untuk berbagai keperluan.

Baru dengan tali ijuk itu Agung Sedayu memanjat tebing naik kebagian atas dari bukit yang berdinding datar itu.

Ternyata seperti yang dikatakan oleh Pangeran Benawa. di hutan diatas dinding yang datar itu memang terdapat sebuah tonggak dari sebatang kayu raksasa. Namun dalam pada itu, disebelah menyebelah tonggak itupun masih terdapat pepohonan yang besar meskipun tidak sebesar pokok kayu yang sudah mengering itu.

"Kayu inilah yang disebut dengan pohon hantu itu. berkata Agung Sedayu kepada diri sendiri. Sebenarnyalah, ia menduga, bahwa pohon itu mungkin sekali telah disambar petir, sebagaimana dikatakan oleh Pangeran Benawa. bahwa petir itulah yang dimaksud dengan raja ular bertubuh api dari langit.

Sejenak Agung Sedayu duduk disebelah pohon kayu yang sudah kering itu sambil meneliti tali ijuknya. Mungkin tali itu ada yang cacat sehingga membahayakannya.

Namun dalam pada itu. Tiba-tiba saja jantungnya berdesir ketika ia melihat seekor ular berwarna hitam kelam meluncur di sebelah kakinya. Ular itu tidak terlalu besar. Tidak lebih dari pergelangan tangan. Tetapi ular itu terlalu pendek. Ular sebesar pergelangan tangan itu panjangnya tidak lebih dari dua jengkal. Bahkan kepala dan ekornyapun hampir tidak dapat dibedakan. Namun karena lidah ular itu kadang-kadang terjulur, maka Agung Sedayu pun tahu. dimana letak kepalanya seandainya ular itu tidak merayap maju.

"Ular kendang," desis Agung Sedayu. Dan Agung Sedayupun sadar, ular itu mempunyai ketajaman racun seperti ular bandotan.

Karena itu. maka Agung Sedayu sama sekali tidak berani bergerak Ia harus menunggu ular itu menjadi semakin jauh. Baru kemudian ia menarik nafas dalam-dalam sambil berdiri.

Sambil memandang kesebelah menyebelah. maka Agung Sedayupun menyadari, tentu banyak binatang berbisa berada disekitar tempat itu. Tempat yang semula menjadi daerah maut bagi binatang-binatang berbisa itu. Namun yang kemudian karena pohon hantu itu sudah tidak ada. maka binatang-binatang itu tidak takut lagi berkeliaran di tempat itu.

Jantung Agung Sedayu berdesir ketika ia melihat seekor laba-laba berwarna biru mengkilap merambat disebatang pohon kecil disebelah salah satu dari pohon raksasa yang tumbuh disekitar tonggak itu. Laba-laba yang mempunyai racun tidak kalah kuatnya dari seekor ular.

Namun untunglah, bahwa Agung Sedayu membawa bekal obat untuk melawan racun. Meskipun ia tidak kebal racun, namun jika salah seekor binatang beracun itu menggigitnya, maka ia akan dapat meogobatinya.

Dalam pada itu. dengan hati-hati Agung Sedayupun telah memasang tali ijuknya berjuntai sampai kemulut goa. Ia yakin bahwa tidak akan ada orang yang berada dihutan dihadapan dinding yang datar seperu kelir itu dan menyaksikannya. Meskipun demikian Agung Sedayu menunggu matahari turun rendah disebelah barat.

"Tiga hari tiga malam," berkata Agung Sedayu kepada diri sendiri. Karena ia tidak mulai dari pagi hari. maka iapun menganggap bahwa ia harus mengakhiri waktu yang tiga hari tiga malam itu pada saat matahari telah turun pula.

Sejenak kemudian, maka Agung Sedayu itupun mulai menuruni tali ijuknya. Dengan sangat hati-hati ia merayap pada tali ijuknya di wajah lereng yang datar seperti kelir itu.

Ternyata Agung Sedayu memerlukan waktu yang tidak terlalu cepat. Mulut goa itu tidak terlalu dekat dengan puncak bukit itu. Karena itu. maka rasa-rasanya tangannya menjadi sangat pedih dan panas, sementara keringatnyapun mulai membasahi seluruh pakaiannya.

Karena itulah, agar tangannya tidak terkelupas, maka Agung Sedayu terpaksa mempergunakan ilmu kebalnya, sehingga dengan demikian maka tangannya itu tidak terluka justru karena ia menelusuri tali ijuk yang masih baru dan tajam.

"Tali dari sabut tentu lebih lunak," berkata Agung Sedayu didalam hati, "tetapi tali dari ijuk akan lebih kuat."

Demikianlah, maka setelah menelusur turun beberapa lamanya, akhirnya Agung Sedayupun sampai juga kemulut goa. Dengan hati-hati ia meloncat dan berdiri di bibir goa yang mulai gelap itu.

Agung Sedayu menarik nafas dalam-dalam. ia memperhatikan sisa sinar matahari yang jatuh di hutan dihadapan goa itu. Nampaknya hutan itu terlalu rendah. Ujung pepohonan yang paling tinggipun tidak dapat menggapai mulut goa di dinding kelir itu.

Pada hari yang ketiga. Agung Sedayu akan berada di goa itu sampai sinar matahari jatuh di hutan di hadapan goa itu sebagaimana dilihatnya. Baru ia menggenapi saat yang tiga hari tiga malam itu.

Setelah ia mengamati sisa sinar matahari, maka iapun mulai memperhatikan goa itu. Goa yang ternyata cukup besar. Ketika ia berada di hutan dibawah goa itu, nampaknya mulut goa itu hanya kecil saja. Namun ternyata ketika ia sudah berada dimulut goa itu. ia menyadari bahwa goa itu bukannya goa yang sempit.

"Aku tidak boleh terluka oleh apapun juga sebelum tiga hari tiga malam," berkata Agung Sedayu didalam hatinya.

Sebenarnya dinding goa itu terdiri dari batu batu padas. Jika tubuhnya tergores oleh batu-batu padas itu. maka kulitnya memang akan lerluka. Dan menurut Pangeran Benawa ia harus merendam luka itu didalam air yang mengalir di dalam goa itu. yang ternyata menghilang menjelang ke mulut goa.

Untuk menjaga segala kemungkinan. maka Agung Sedayu masih saja mengetrapkan ilmu kebalnya. Dengan demikian maka ia tidak akan terluka meskipun terjadi sentuhan-sentuhan yang agak keras dengan dinding goa. atau mungkin telapak kakinya menginjak ujung yang runcing.

Sejenak kemudian. maka Agung Sedayupun mulai merayap memasuki goa yang gelap itu. Jauh lebih gelap dari udara diluar yang masih disentuh oleh sisa sinar matahari yang menjadi sangat rendah diujung Barat.

"Kaki ini belum menyentuh air," desis Agung Sedayu.

Ternyata bahwa air di goa itu menghilang kedalam tanah tidak terlalu dekat dengan mulut goa.

Sebenarnyalah, beberapa puluh langkah kemudian. Agung Sedayu telah mendengar desir air. Karena itu. maka iapun menyadari, bahwa ia telah sampai kebagian yang dimaksud oleh Pangeran Benawa.

Karena Agung Sedayu hanya memerlukan air yang harus diminumnya selama tiga hari tiga malam ia berada di goa itu. maka pada hari yang pertama itu. ia tidak ingin memasuki goa itu lebih dalam. Ketika ia mulai menyentuh air. maka iapun kemudian mencuci wajahnya dengan air yang mengalir di dalam goa itu. Alangkah segarnya.

Ketika Agung Sedayu kemudian mencakup air dengan kedua telapak tangannya dan mengangkatnya kemulutnya. Tiba-tiba ia menjadi ragu-ragu. Tetapi keragu-raguan itu hanya sesaat ia sadar, bahwa Pangeran Benawa tentu tidak akan menipunya. Karena jika Pangeran Benawa ingin mencelakainya, ia tidak perlu mengambil jalan melingkar lingkar. Dimanapun. kapanpun ia akan dapat melakukannya.

Karena itu. maka Agung Sedayupun kemudian telah meneguk air yang mengalir didalam goa itu.

Agung Sedayu mengerutkan keningnya. Terasa air itu agak pahit. Namun air itu telah menyegarkan tubuhnya pula. Bahkan kemudian terasa seolah-olah sesuatu tetah menjalari urat darahnya.

Agung Sedayupun kemudian mencari tempat untuk duduk. Sejenak ia merenungi keadaannya. Ketika ia meraba dinding goa itu dan alasnya, maka batu-batu padas tidak lagi terasa runcing dan tajam. Meskipun demikian Agung Sedayu masih juga merasa aman dalam pengetrapan ilmu kebalnya.

Malam yang kemudian turun, membuat goa itu semakin pekat. Agung Sedayu tidak dapat melihat keadaan disekitarnya. Tetapi ia dapat melihat lubang mulut goa. karena di luar udara lebih terang dari kegelapan didalam goa.

Hampir semalam suntuk Agung Sedayu tidak tidur. Namun menjelang pagi ia dapat tidur sejenak sambil bersandar dinding goa. meskipun udara terasa lembab dan dingin.

Ketika Agung Sedayu membuka matanya, ia merasa aneh. Hampir sehari semalam ia tidak makan sama sekali. Tetapi ia tidak merasa lapar. Seolah-olah air yang mengalir didalam goa itu mengandung makanan yang dapat membuatnya tidak merasa lapar.

Ketika kemudian matahari terbit, maka mulailah Agung Sedayu sempat mengamati keadaan goa itu. Semakin tinggi matahari, semakin jelas apa yang nampak didalam goa.

Terasa tengkuk Agung Sedayu meremang. Ternyata di bagian goa yang lebih dalam lagi itu dilihatnya akar pepohonan yang silang menyilang. Akar yang tembus dari dinding yang sebelah menyusup dinding diseberang. Namun demikian. Jika ia menghendaki, maka ia akan dapat menyusup lewat disela-sela akar pepohonan itu memasuki goa lebih dalam lagi.

Tetapi Agung Sedayu belum berminat untuk masuk kedalam. Ia masih tetap duduk di tempatnya tidak terlalu jauh dari mulut goa.

Namun demikian. ia tidak lupa untuk meneguk air yang mengalir di alas goa itu. Seteguk demi seteguk. Dan setiap kali ia merasa sesuatu mengalir di urat darahnya.

Namun dalam pada itu. Tiba-tiba saja Agung Sedayu teringat kepada Raden Sutawijaya yang bergelar Senapa Ing Ngalaga. Ia dapat melakukan dua tiga laku sekaligus.

"Daripada aku hanya duduk saja sambil minum seteguk demi seteguk. tentu aku dapat memanfaatkan waktu," desis Agung Sedayu.

Tiba-tiba saja dipandanginya akar-akar pepohonan yang silang menyilang didalam goa itu. Karena ingatannya kepada laku yang lain yang dapat diperbuauiya didalam goa itu. maka Agung Sedayu itupun sudah bangkit. Perlahan-lahan ia melangkah memasuki goa itu lebih dalam lagi. Ketika ia sampai diantara akar-akar pepohonan yang silang melintang, maka iapun berusaha untuk dapat menyusup di sela-sela akar pepohonan itu.

Di beberapa bagian, terdapat tempat yang agak lapang, sementara air dibawah kakinya justru menjadi lebih besar.

Agaknya alas goa ini berlubang-lubang," berkata Agung Sedayu didalam hatinya, "sebagian dari airnya meresap hilang didalam tanah."

Agung Sedayu tertegun ketika pada satu tempat ia melihat goa itu bercabang. Satu cabang kekiri, yang lain menjelujur lurus kedepan.

Sejenak Agung Sedayu termangu-mangu ia harus memilih. Atau barangkali ia akan menjenguk yang satu kemudian kembali untuk melihat cabang yang lain.

Namun dalam pada itu, Agung Sedayu tiba-tiba saja telah memperhatikan air dibawah kakinya. Ternyata sebagian besar air itu mengalir dari arah cabang yang menjelujur kekiri.

"Aku akan melihat apa yang ada di dalam lubang ini lebih dahulu," berkata Agung Sedayu didalam hatinya.

Namun demikian, ia menganggap bahwa ia harus minum air setelah kedua arus air dari kedua cabang itu bertemu, karena ia tidak tahu pasti apakah kedua aliran itu mempunyai khasiat yang sama.

Meskipun demikian Agung Sedayu telah memasuki lubang yang bercabang ke kiri. Betapa gelapnya lubang itu. Namun Agung Sedayu mempunyai kelebihan dari tangkapan tatapan mata orang kebanyakan. Meskipun gelap sangat pekat, tetapi Agung Sedayu masih dapat melihat bayangan didalam kegelapan itu. Sehingga dengan demikian. maka ia masih saja merayap lebih dalam lagi.

Langkahnya kemudiaa tertegun ketika ia melihat lubang itu menjadi semakin besar, sehingga akhirnya ia telah memasuki ruang yang luas dibawah tanah di dalam sebuah bukit.

"Luar biasa," desisnya. Lubang itu ternyata lebih luas dari lubang yang pernah di ketemukannya di Jati Anom, goa yang pada dindingnya terpahat lukisan dan lambang lambang tata gerak dan ilmu kanuragan dalam jalur ilmu Ki Sadewa.

Yang lebih mendebarkan jantungnya. ternyata di dasar ruangan di dalam goa itu ternyata terdapat sebuah kolam.

Sejenak Agung Sedayu termangu-mangu. Dengan ketajaman penglihatannya ia melihat sebuah kolam yang ditebari dengan bebatuan yang besar berbongkah bongkah. Sementara pada dinding goa itu nampak akar pepohonan yang mencuat dan menjulur silang melintang.

"Aku dapat memanfaatkan keadaan ini," berkata Agung Sedayu didalam hatinya.

Karena itulah, maka Agung Sedayupun telah mempunyai rencana tersendiri. Meskipun setiap kali ia harus berjalan kelubang goa itu bercabang dan minum seteguk air. namun ia kemudian ingin berada di ruang yang luas dengan sebuah kolam air berbatu-batu itu.

Dalam pada itu, maka Agung Sedayupun telah melepaskan kain panjang dan bajunya. Justru karena ia yakin tidak ada seorangpun didalam goa itu. Dengan ketajaman ingatannya. maka iapun mulai menelusuri isi kitab Ki Wsskita. ia ingin memahami sebagian dari isi kitab itu. untuk mendapatkan, kemungkinan seolah-olah tubuhnja menjadi lebih ringan ia sudah berhasil menyerap bunyi jika dikehendaki. Dan usahanya kemudian disamping mengikuti petunjuk Pangeran Benawa. Iapun ingin mendapatkan kekuatan baru seolah-olah dapat memperingan tubuhnya.

Pada hari yang kedua itulah. Agung Sedayu mulai dengan usahanya untuk memantapkan ilmu memperingan tubuh. Ia mulai dengan berloncat-loncatan diatas bebatuan dalam gelap yang pekat. Semakin lama semakin cepat. Meskipun tidak dengan serta merta. Karena untuk mendapatkan kemampuan memperingan tubuh, menurut isi kitab Ki Waskita. Sebenarnyalah Agung Sedayu harus mampu mengatur dengan tepat, kemampuan gerak, kecepatan dengan imbangan kekuatan cadangan yang ada didalam dirinya. Dengan demikian, maka lontaran tenaga yang seimbang dengan kecepatan gerak pada alas tenaga cadangannya itu seolah-olah telah membuat tubuhnya dapat melakukan sesuatu yang tidak dapat dilakukan oleh orang lain.

Demikianlah, dalam kesempatan itu. Agung Sedayu telah berusaha menekuni untuk menemukan dan memahami keseimbangan itu. Jika ia berhasil, maka ketika untuk selanjutnya tinggallah mematangkannya.

Dengan tekun dan tidak mengenal lelah. Agung Sedayu melakukannya didalam kitab Ki Waskita. Sehingga dengan demikian. maka perlahan-lahan terasa oleh Agung Sedayu, bahwa ia akan menemukan keseimbangan itu.

Karena itu. maka iapun menjadi semakin berusaha dengan sungguh-sungguh. Tidak henti-hentinya berloncatan didalam gelap.

Meskipun demikian Agung Sedayu tidak melupakan pesan Pangeran Benawa. Setiap kali ia telah melangkah ke cabang goa itu untuk meneguk air seperti yang pernah dilakukannya. Air itu masih tetap terasa agak pahit. Namun setiap kali ia masih tetap merasa seolah-olah air itu mengaliri seluruh urat darahnya.

Agung Sedayu telah melakukan latihan-latihannya untuk menemukan kemampuan memperingan tubuh itu. tidak saja sehari penuh bahkan sampai malam turun, ia masih tetap melakukannya. Namun ia tetap menyadari bahwa malam telah tiba untuk kedua kalinya selama ia berada didalam goa itu. Ketika ia berada di cabang gua itu maka ia melihat perubahan cahaya di mulut goa yang nampaknya menjadi sempit, dibalik sulur dan akar kekayuan yang saling melintang.

Namun dalam pada itu, Agung Sedayupun menjadi yakin, bukan air yang rasanya agak pahit itu memang mengandung khasiat yang mempengaruhi tubuhnya. Bukan saja arus yang rasa-rasanya menjalari urat darahnya. tetapi ia benar-benar tidak menjadi lapar. Meskipun ia berlatih dengan memeras keringat diudara yang lembab dingin itu. namun rasa-rasanya ia tetap tidak menjadi lapar sama sekali.

Demikianlah, maka hari kedua setelah malam kedua lewat. Agung Sedayu masih tetap menekuni usahanya untuk menemukan kemampuan memperingan tubuhnya. Sebenarnyalah pada hari kedua itu. usahanya sudah mulai nampak. Keseimbangan itu sudah dekat sekali. Rasa-rasanya didalam dirinya sudah diketemukan takaran untuk mendukung kemampuan gerak, kecepatan dan ketrampilannya dengan dukungan tenaga cadangan dalam keseimbangan yang tepat.

Karena itu, maka pada hari kedua itu, ia menjadi semakin cepat dan tangkas. Kakinya seolah-olah tidak lagi menyentuh bebatuan. Bahkan seakan-akan baru ujung jarinya sajalah yang menyentuh batu. maka tubuhnya telah melenting jauh.



Ketika senja turun maka Agung Sedayupun menjadi yakin dengan tuntunan isi kitab Ki Waskita, maka ia telah sampai pada satu kemampuan untuk seolah-olah membuat tubuhnya menjadi ringan.



Karena itulah, maka meskipun kemudian malam turun. Agung Sedayu tidak menghentikan usahanya. Malam tinggal satu lagi. Dan ia harus memanfaatkannya sebaik-baiknya. Sitelah malam terakhir dan sehari tiga malam. Mungkin ia dapat lebih lama lagi berada didalam goa itu. Tetapi apakah dengan demikian dapat berpengaruh pada dirinya, pada wadagnya. Justru karena ia telah minum dengan takaran yang terlalu banyak.



Karena itu. malam dan hari yang tersisa itu dipergunakannya sebaik-baiknya untuk menyelesaikan laku yang kedua yang sekaligus ditempuhnya didalam.

Dengan tekun dan tidak mengenal lelah. Agung Sedayu mengulang-ulang apa yang telah dicapainya. Setapak demi setapak ia medapatkan kemajuan. Tubuhnya dalam sikap yang dikehendakinya, terasa menjadi semakin ringan dalam keseimbangan yang tepat, maka seakan-akan ia mampu mlenting tanpa bobot badannya.

Keseimbangan yang telah dicapainya itu dilakukannya berulang-ulang. Berulang-ulang. Sehingga akhirnya Agung Sedayu yakin, bahwa ia telah berhasil menguasai ilmu yang dikehendakinya. Salah satu dari ilmu yang disadapnya dan isi kitab Ki Waskita.

Betapa kelelahan kemudian mencengkam tubuh Agung Sedayu. Namun kemadian kebanggaan telah mekar di jantungnya ia telah mampu menguasai ilmu memperingan tubuhnya. Jika kelak ia keluar dari goa itu. maka yang dilakukannya hanya mengulang-ulang dan memantapkannya. Tetapi persoalannya telah dapat dikuasainya sebaik-baiknya.

Dalam pada itu. maka iapun tidak lupa untuk selalu meneguk air di tempat goa itu bercabang agar ia tidak salah memilih. Mungkin air didalam kolam itu tidak mempunyai khasiat apapun, karena air yang mempunyai khasiat adalah air yang mengalir di jalur sebelah meski pun arusnya lebih kecil.

Sisa malam dan hari berikutnya telah dipergunakan oleh Agung Sedayu sebaik-baiknya. Namun ketika ia yakin bahwa ia sudah selesai dengan laku dalam pencapaian ilmu memperingan tubuh, maka iapun sempat untuk benstirahat menjelang akhir hari yang ke tiga setelah malam ketiga lampau.

Tetapi rasa-rasanya ia tidak dapat duduk tenang di alas bebatuan didalam ruang yang berkolam itu. Karena itu. maka iapun telah keluar dari jalur yang bercabang kekiri itu, untuk menelusuri jalur yang menjelujur lurus. Namun akhirnya ia tertahan oleh akar-akar pepohonan yang menjadi semakin pepat. Tidak ada lubang yang dapat ditembus untuk sampai kebelakang akar yang silang menyilang itu.

Karena itu. maka Agung Sedayupun kemadian kembali kedekat mulut gua sambil menunggu hari berakhir. Tidak ada lagi yang dikerjakannya selain setiap kali meneguk air yang mengalir dihadapannya.

Ketika matahari telah menjadi semakin redah, maka Agung Sedayupun merasa bahwa laku yang pertama kehadirannya didalam goa itupun telah selesai dilakukannya. Ia sudah berada didalam goa itu tiga hari tiga malam penuh. Ia mulai pada menjelang senja hari dan iapun mengakhiri pada waktu yang sama tiga hari kemudian.

Sambil meneguk air didalam gua itu sekali lagi. maka Agung Sedayupun kemudian melangkah kemulut goa ia melihat sinar matahari yang tersisa tepat seperti saat ia memasuki goa itu.

Ketika ia kemudian berdiri dimulut goa. terasa betapa udara yang sejuk berhembus menyentuh wajahnya. Angin sumilir telah menyapu dinding pegunungan yang datar seperti kelir itu. Dibawah mulut goa. dedaunan nampak bergoyang dalam permainan angin menjelang senja.

Sejenak Agung Sedayu memondang kesekelilingnya. Kemudian iapun menatap tali ijuknya yang masih bergayut pada sebatang pohon dan terurai di mulut goa. Ia akan memanjat tali itu sebagaimana ia pernah menuruninya.

Agung Sedayu masih mempunyai waktu sedikit sebelum gelap menjadi semakin muram di perbukitan itu. Karena itu. maka iapun kemudian meraba tali ijuknya. Meyakinkannya bahwa tali itu tidak akan putus atau terlepas.

Kemudian masih dalam pengetrapan ilmu kebalnya, maka iapun mulai memanjat. Namun demikian kakinya terlepas dari bibir goa, terasa tubuhnya memanjat menjadi jauh lebih ringan. Sentuhan tangannya pada tali. dengan keseimbangan yang mapan antara kekuatan, ketrampilan. kemampuan Ilmu dan dorongan tenaga cadangan telah membuatnya seakan-akan tidak berbobot lagi.

Balas

On 3 Juli 2009 at 19:39 Panembahan Emprit said:



Kitab 151-3

Karena itu. maka dengan mudah dan cepat ia memanjat tali ijuknya. Beberapa saat. kemudian, maka iapun telah sampai kepuncak bukit, kepokok sebatang pohon raksasa yang telah mengering diantara beberapa batang pohon raksasa yang lain. meskipun tidak sebesar pokok yang telah kering itu.

Demikian Agung Sedayu menginjakkan kakinya pada akar pepohonan yang kering itu. maka iapun menarik nafas dalam-dalam. Ternyata bahwa Yang Maha Agung telah melindunginya selama ia berada didalam goa itu. Bahkan ia telah diperkenankan untuk menyelesaikan dua laku sekaligus.

"Tuhan memang Maha Besar," desisnya. Sejenak Agung Sedayupun kemudian beristirahat. Meskipun malam kemudian turun, namun Agung Sedayu dengan kemampuan penglihatannya yang tajam, tidak akan kehilangan jalan menuju ke padukuhan induk Tanah Perdikan Menoreh.

Tetapi Agung Sedayu tidak tergesa-gesa ia berada di puncak bukit itu semalam suntuk. Ia sadar bahwa ditempat itu terdapat banyak sekali binatang berbisa. Namun iapun tahu. tanpa melakukan sesuatu yang mengejutkan binatang-binatang itu, biasanya binatang itu tidak akan menggigit.

Namun akan lebih aman baginya untuk tetap mengetrapkan ilmu kebalnya sehingga binatang berbisa itu tidak akan dapat melukai kulitnya. ia masih belum berani mencoba kekebalannya terhadap bisa. karena ia masih belum meyakinkannya.

Baru menjelang fajar, setelah membenahi pakaiannya. Agung Sedayupun kemudian meninggalkan pokok sebatang pohon raksasa yang sudah mengering itu. Dengan kemampuan penglihatannya yang sangat tajam melampaui ketajaman penglihatan orang kebanyakan, maka Agung Sedayupun menuruni bukit dan langsung menuju ke padukuhan induk Tanah Perdikan Manoreh.

Dalam pada itu. ketika ia berada di bulak panjang. Ia merasa mendapat kesempatan untuk mencoba kemampuannya di ruang yang lepas bebas. Apakah kemampuannya memperingan tubuh yang di dalamnya di sebuah ruang yang sempit itu bukan sekedar kemampuan semu.

Dalam kegelapan menjelang dini hari Agung Sedayu telah berlari di bulak panjang. Ternyata bahwa ia benar-benar mampu membuat tubuhnya menjadi seolah-olah tidak berbobot. Sehingga karena itu. maka iapun mampu bergerak lebih cepat dari sebelumnya.

Untunglah, tidak ada seorangpun yang melihatnya berlari di bulak panjang. Sehingga dengan demikian tidak menimbulkan kebingungan dari orang yang melihatnya itu.

Dengan demikian, maka perjalanan Agung Sedayu menjadi jauh lebih cepat. Ia telah melintasi bulak-bulak yang sepi dengan kecepatan yang mengagumkan.

Namun menjelang padukuhan induk, Agung Sedayu kemudian telah melangkah sebagaimana orang berjalan meskipun ia tetap berusaha untuk mencari jalan yang sepi. sehingga tidak seorangpun akan menjumpainya. Agung Sedayu sadar bahwa pakaian yang dikenakannya tentu sangat kotor. Meskipun di ruang di dalam goa itu ia melepas pakaiannya. tetapi pada saat ia memasuki dan menjelang ia keluar dari goa itu. maka pakaiannya tentu menjadi sangat kotor.

Demikianlah maka saat Agung Sedayu memasuki padukuhan indukpun ia tidak melalui gerbang di lorong yang membelah padukuhan itu. Sementara langit menjadi semakin merah. Karena itu, maka Agung Sedayupun menjadi tergesa-gesa.

Tetapi iapun kemudian bersukur. bahwa ia berhasil memasuki halaman rumah Ki Gede lewat belakang. Dengan mudah Apung Sedayu meloncati dinding kebun di bagian belakang. Kemudian dengan hati-hati ia merayap mendekati pintu gandok.

Pagi telah menjadi semakin terang. Ketika Agung Sedayu mengetuk pintu gandok. maka ia mendengar beberapa orang peronda di gardu di bagian depan halaman rumah Ki Gede tertawa. Nampaknya beberapa orang telah siap untuk meninggalkan gardu itu. karena langit menjadi semakin terang.

Ki Waskita yang telah bangunpun membuka pintu ia terkejut melihat Agung Sedayu yang tergesa-gesa menyelinap masuk. Apalagi ketika ia kemudian melihat, bahwa pakaian Agung Sedayu memang menjadi sangat kotor.

"Kau," desis Ki Waskita.

"Ya paman. Aku agak kesiangan," desis Agung Sedayu.

"Pakaianmu," bertanya Ki Waskita pula.

"Nanti aku akan berceritera," Jawab Agung Sedayu sambil melepas bajunya. "Aku akan ke pakiwan."

Sambil membawa ganti pakaian. Agung Sedayupun kemudian pergi ke pakiwan. Ketika langit menyadi semakin terang, maka iapun telah selesai membersihkan diri dan mencuci pakaiannya.

Beberapa orang terkejut melihat Agung Sedayu tiba-tiba saja telah menyangkutkan pakaiannya pada jemuran di halaman belakang rumah Ki Gede. Seorang perempuan pembantu rumah Ki Gede itupun telah bertanya, "Kapan kau datang kemari? Sudah berapa hari kau tidak nampak datang. Tiba-tiba saja kau sudah berada disini sepagi ini."

Perempuan itu tidak bertanya lebih lanjut. Sementara Agung Sedayupun telah berada kembali didalam biliknya.

Sambil membenahi pakaiannya. Agung Sedayu telah berceritera kepada Ki Waskita. apa yang telah dilakukannya ia menceriterakan sejak awal sampai akhir tentang kedua laku yang telah diselesaikannya sekaligus.

Ki Waskita menarik nafas dalam-dalam. Sambil mengangguk-angguk ia berkata, "Kau telah banyak mendapat pengalaman batin dari Raden Sutawijaya dan Pangeran Benawa. sehingga kau mampu melakukan apa yang baru saja kau selesaikan."

"Memang belum seberapa dibanding dengan kedua orang itu." sahut Agung Sedayu.

"Kau sudah melakukan melampaui kebanyakan orang," berkata Ki Waskita, "aku kira jarang sekali anak-anakk muda sebayamu yang mempunyai ketekunan menuntut ilmu seperti yang kau lakukan."

Agung Sedayu tidak menyahut. Namun iapun telah mengangkat wajahnya ketika ia mendengar pintu berderit. Ternyata Prastawalah yang telah menjenguknya dari celah-celah daun pintu yang sedikit terbuka.

"Kau," desisnya.

"Ya," sahut Agung Sedayu singkat.

Ternyata Prastawa hanya memandanginya saja tanpa melontarkan pertanyaan lebih jauh. Tetapi Agung Sedayu sudah dapat rnembaca sorot matanya, bahwa Prastawapun menjadi heran, bahwa tiba-tiba saja ia sudah berada di dalam gandok itu tanpa melihatnya lewat di regol halaman. Karena hampir semalam suntuk ia berada diregol itu bersama beberapa orang kawannya.

Ketika kemudian Prastawa meninggalkannya, maka Agung Sedayu pun kemudian berkata, "Aku mendapat ijin sepekan dari Ki lurah Branjangan. Aku masih mempunyai satu hari lagi. Jika ada kesempatan aku ingin bertemu dengan guru untuk meyakinkan, apakah aku benar-benar telah kebal racun."

Ki Waskita mengangguk-angguk. Katanya, "Memang sebaiknya kau meyakinkan hal itu dihadapan gurumu. Aku serba sedikit mengetahui juga tentang racun. Tetapi tentu tidak sedalam Kiai Gringsing."

"Waktuku tinggal sehari," desis Agung Sedayu.

"Kau dapat datang ke barak hari ini. Besok kau minta ijin lagi sehari semalam. Karena aku kira kau tidak dapat datang ke Jati Anom tanpa bermalam. Mungkin di padepokan. Mungkin di Sangkal Putung," berkata Ki Waskita.

Agung Sedayu mengangguk-angguk ia memang dapat melakukan seperti yang dikatakan oleh Ki Waskita. Ia datang ke barak, yang menurut dugaannya, segala sesuatunya tentu masih belum siap untuk segera dimulai.

Karena itu, maka sambil mengangguk-angguk Agung Sedayu berkata, "Baiklah Ki Waskita. Jika tidak besok, maka dua tiga hari lagi aku kira masih belum terlalu lambat. Sukurlah jika aku masih belum diperlukan hari ini dan besok di barak itu.

Ki Gede yang kemudian melihatnya telah kembali telah menanyakan pula. apa yang telah dilakukan. Seperti kepada Ki Waskita, maka Agung Sedayupun menceriterakan apa yang telah didapatnya di dalam goa itu meskipun tidak selengkapnya, karena ia masih belum menyebut bagaimana ia menyerap ilmu dari isi kitab Ki Waskita. Sehingga dengan demikian, yang diketahui oleh Ki Gede adalah, bagaimana ia melakukan apa yang dipesankan oleh Pangeran Benawa.

"Aku akan meyakinkannya. Ki Gede," berkata Agung Sedayu kemudian, "karena itu aku memerlukan waktu barang satu dua hari untuk berada di Jati Anom."

"Silahkan ngger. Tetapi berhati-hatilah," pesan Ki Gede, "kau masih selalu dibayangi oleh dendam dari beberapa pihak."

"Aku akan menemui Ki Lurah Branjangan," berkata Agung Seduyu kemudian, "mudah-mudahan aku tidak dicegahnya."



Demikianlah, setelah makan pagi, Agung Sedayu meninggalkan rumah Ki Gede menuju ke barak. Namun dalam pada itu. ia masih sempat memperbandingkan, bahwa dengan minum air yang mengalir didalam goa itu rasa-rasanya tidak terlalu jauh dari makan nasi seperti yang baru saja dilakukannya.

"Air itu memang aneh. Apalagi jika aku menjadi benar-benar kebal bisa seperti yang dikatakan oleh Pangeran Benawa," berkata Agung Sedayu didalam hatinya.

Ketika ia sampai ke barak, maka ia melihat bahwa barak itu sudah menjadi semakin sibuk. Anak-anak muda berkeliaran disegala sudut dan halaman barak yang cukup luas itu.

"Mereka telah datang," berkata Agung Sedayu didalam hatinya.

Ternyata bahwa Agung Sedayu telah bertemu dengan anak-anak muda dari Tanah Perdikan Menoreh yang menyusul kawan-kawannya memasuki barak itu. Ia sendiri ikut menentukan. siapa saja yang akan di kirim ke barak itu untuk menjadi anggauta pasukan khusus yang dibentuk oleh Senapati Ing Ngalaga di Mataram, sebagaimana ia ikut menentukan siapa saja yang akan mendahului memasuki barak itu."

Ketika ia berada di ruang pimpinan pasukan khusus itu, maka Ki Lurah Branjangan telah menyambutnya dengan gembira.

"Ternyata kau datang lebih awal dari yang kuduga," berkata Ki Lurah Branjangan.

"Pekerjaanku yang pertama sudah selesai Ki Lurah," jawab Agung Sedayu.

"Yang pertama. Apakah masih ada yang lain ?" bertanya Ki Lurah itu pula.

Agung Sedayu menarik nafas dalam-dalam. Kemudian katanya, "Aku harus menghadap guru Ki Lurah. Ternyata ada sesuatu yang harus aku yakinkan dihadapan guru."

"Jadi kau akan pergi ke Jati Anom?" bertanya Ki Lurah Branjangan dengan kerut merut dikening.

"Ya. Aku tidak mempunyai pilihan lain. karena persoalannya akan menyangkut masalah perkembangan ilmu, jawab Agung Sedayu.

Ki Lurah menarik nafas dalam-dalam. Tetapi kemudian iapun berkata, "Tentu aku tidak akan dapat mencegahmu ngger. Tetapi seperti yang pertama, aku hanya dapat mohon agar kau tidak terlalu lama pergi. Mungkin sehari kau dapat menempuh perjalanan pulang dan pergi."

"Aku akan bermalam meskipun hanya semalam Ki Lurah," jawab Agung Sedayu.

Ki Lurah mengangguk-angguk. Tidak ada kuasanya untuk melarang Agung Sedayu pergi. Ia tidak termasuk dalam susunan kepemimpinan pasukan khusus itu sebagaimana dimintanya sendiri, meskipun ia bersedia menyumbangkan tenaganya untuk pasukan itu.

"Baiklah," berkata Ki Lurah, "Jika angger memang ingin pergi. aku persilahkan. Tetapi ingat, bahwa anak-anak muda yang terdahulu berada di barak ini, yang sekarang telah siap membantu kepemimpinan pasukan ini. masih perlu selalu meningkatkan kemampuannya. Mereka akan tetap mempunyai kelebihan dari kawan-kawannya yang datang kemudian. Bukan saja untuk kewibawaan mereka. tetapi juga agar pasukan ini benar-benar merupakan pasukan yang memiliki kemampuan yang tinggi pada saat diperlukan."



"Aku hanya memerlukan waktu sehari semalam. Mungkin dua hari semalam," jawab Agung Sedayu.

"Hari ini kau akan menyaksikan isi barak ini?" bertanya Ki Lurah Branjangan, "semua anak-anak muda telah datang. Jenjang kepemimpinannyapun telah terisi."

"Menarik sekali," berkata Agung Sedayu, "aku tidak mempunyai rencana apa-apa hari ini. Baru besok pagi-pagi aku akan berangkat ke Jati Anom."

Hari itu Agung Sedayu telah dipertemukan dengan para perwira yang telah ditunjuk langsung oleh Raden Sutawijaya untuk memimpin barak itu. Namun temyata pimpinan tertinggi untuk sementara masih berada ditangan Ki Lurah branjangan.

Sebagian besar dari para perwira itu ternyata telah mengenal Agung Sedayu. karena Agung Sedayu sering singgah di Mataram dalam hubungannya dengan Raden Sutawijaya yang bergelar Senapati Ing Ngalaga.

"Bukan orang baru bagi kamu," berkata seorang perwira ketika Agung Sedayu memasuki ruang para pemimpin itu.

Agung Sedayu tersenyum. Katanya, "Mudah-mudahan aku masih dapat membantu."

"Tentu," sahut yang lain, "kau mempunyai kedudukan yang aneh. Tetapi anak-anak ini masih perlu ditempa dengan latihan-latihan berat. Apalagi yang baru datang.

Dari para pemimpin pasukan khusus itu Agung Sedayu mengerti. bahwa ia masih tetap harus menempa anak-anak muda yang datang dari berbagai daerah itu, terutama yang datang mendahului kawan-kawannya, ia harus tetap berusaha agar anak-anak muda yang datang lebih dahulu itu mempunyai kelebihan dari kawan-kawannya. karena mereka mendapat tugas untuk membantu para pemimpin pasukan khusus itu pada jenjang-jenjang tertentu.

"Mereka harus tetap berwibawa," berkata Ki Lurah Branjangan.

Namun dalam pada itu. Agung Sedayu masih belum dapat memulainya karena ia akan meninggalkan barak itu lagi untuk dua hari.

"Semuanya sudah siap," berkata salah seorang perwira, "tetapi yang kami lakukan pada satu dua hari ini memang baru saling memperkenalkan diri. Namun demikian pada setiap saat kami sudah dapat mulai dengan latihan-latihan."

"Aku akan datang pada waktunya," jawab Agung Sedayu, "dan akupun akan berusaha untuk menjalankan kewajibanku sebaik-baiknya."

"Terima kasih," berkata Ki Lurah Branjangan, "pembagian waktumu telah kami susun. Jika kau kembali dari Jati Anom. kau dapat melihat susunan pembagian waktu itu yang harus kau tangani untuk sementara memang hanya anak-anak muda yang datang terdahulu."

"Baiklah," jawab Agung Sedayu, "tugas apapun juga. asal masih dalam balas kemampuanku, akan aku lakukan sebaik-baiknya."

Dengan demikian, maka Agung Sedayupun masih belum terjun kedalam tugasnya ia justru minta diri untuk kembali ke rumah Ki Gede. Dikeesokan harinya ia akan pergi ke Jati Anom.

Kepada Ki Waskita dan Ki Gede, Agung Sedayu menceriterakan apa yang sudah dilihatnya dibarak itu. Semuanya memang sudah siap untuk mulai dengan bekerja keras.

"Aku sudah mendapat pemberitahuan dari Ki Lurah meskipun belum terperinci," berkata Ki Gede, "latihan-latihan yang sebenarnya baru akan dimulai beberapa hari mendatang."

"Ya Ki Gede," sahut Agung Sedayu, "pada saat ini mereka baru dalam suasana saling memperkenalkan diri. Karena itu, maka Ki Lurah tidak berkeberatan membiarkan aku pergi barang satu dua hari."

Ki Gede mengangguk angguk sambil berdesis, "Ia memang tidak akan dapat menahanmu."

Agung Sedayu menarik nafas dalam-dalam. Tetapi kedudukannya memang tidak menuntut ikatan yaag terlalu kuat pada segala macam pengeras yang ada didalam barak itu.

"Jadi. kapan kauakan berangkat ngger," bertanya Ki Waskita.

"Besok pagi-pagi aku akan berangkat," Jawab Agung Sedayu.

"Sebaiknya kau tidak seorang diri. Aku akan menemanimu," berkata Ki Waskita kemudian.

Agung Sedayu memandang Ki Gede sejenak. Namun kemudian katanya, "Terima kasih paman. Aku akan senang sekali mendapat kawan di perjalanan."

"Tetapi hanya dua hari," desis Ki Gede.

Agung Sedayu tersenyum. Katanya, "Ya Ki Gede. Aku hanya ingin meyakinkan, apakah ada gunanya aku berada di dalam goa itu selama tiga hari tiga malam."

Ki Gede mengangguk-angguk sambil berkata, "Baiklah. Mudah-mudahan kau mendapatkan sesuatu dengan laku yang berat itu."

Malam itu Agung Sedayu dan Ki Waskita di dalam biliknya seolah-olah tidak merasa mengantuk sama sekali ketika mereka terlibat dalam pembicaraan yang sungguh-sungguh tentang laku yang kedua yang disadap oleh Agung Sedayu dari isi kitab Ki Waskita.

"Sokurlah. Jika kau berhasil ngger," berkata Ki Waskita, "aku sendiri tidak sempat memahaminya dengan sedalam-dalamnya. Nampaknya kau telah berhasil dengan baik dan meyakinkan."

"Tetapi masih harus dimatangkan Kiai," berkata Agung Sedayu, "aku baru berhasil menguasai pathokannya saja. Meskipun dengan demikian hasilnya sudah dapat dilihat."

"Kau harus menunjukkannya kepada gurumu," berkata Ki Waskita ia tentu akan berbangga. Meskipun aku gurumu," berkata Ki Waskita, "ia tentu akan berbangga. Meskipun aku tahu. setiap peningkatan kemampuanmu, maka gurumu selalu berpikir tentang Swandaru. Jika pada suatu saat. Swandaru menyadari bahwa kau telah meninggalkannya agak jauh, maka akan dapat timbul dugaan, bahwa gurumu telah memberikan lebih banyak kepadamu daripada kepada Swandaru."

"Aku tidak bermaksud menyudutkan kedudukan guru," berkata Agung Sedayu dengan nada rendah.

"Kau memang tidak bersalah," berkata Ki Waskita, "yang perlu adalah penjelasannya."

"Mudah-mudahan perasaan seperti itu tidak tumbuh di hati Swandaru," berkata Agung Sedayu kemudian.

Ki Waskita mengangguk-angguk. Seolah-olah kepada dirinya sendiri ia berkata, "Mungkin aku terlalu berprasangka."



Agung Sedayu tidak menjawab. Namun ia tidak segera dapat melupakan kemungkinan seperti yang dikatakan oleh Ki Waskita itu.

Namun dalam pada itu. maka keduanyapun kemudian berbaring dipembaringan dengan angan-angan mereka masing-masing. Tabuh tengah malam telah terdengar di gardu-gardu. Di halaman terdengar suara Prastawa terawa. Namun anak itupun agaknya telah masuk kedalam rumah Ki Gede lewat pintu samping.

Sejenak kemudian kedua-duanyapun telah tertidur. Menjelang fajar. sebagaimana kebiasaan mereka, maka keduanyapun telah bangun. Selelah membersihkan dan membenahi diri lahir dan batin. maka merekapun segera bersiap untuk pergi ke Jati Anom.

"Kalian akan berangkat pagi-pagi benar?" bertanya Ki Gede yang juga sudah bangun.

"Ya," jawab Ki Waskita, "agar waktu kami tidak terlalu sempit di Jati Anom nanti. Agaknya angger Agung Sedayu tentu akan singgah pula di Sangkal Putung."

Setelah makan beberapa potong ubi rebus dan meneguk minuman hangat, maka keduanyapun minta diri untuk meninggalkan Tanah Perdikan barang dua hari.

"Kalau tahu. aku ingin ikut pergi ke Sangkal Putung," berkata Prastawa.

"Kau mengawani aku disini," desis Ki Gede.

Prastawa menarik nafas dalam-dalam, iapun mengerti, bahwa ia harus berada di Tanah Perdikan. Apalagi jika Agung Sedayu dan Ki Waskita pergi. Namun rasa-rasanya ia memang ingin pergi ke Sangkal Pulung. Justru karena di Sangkal Putung tinggal Sekar Mirah.

Tetapi dalam pada itu ia hanya dapat mengantar Agung Sedayu dan Ki Waskita sampai keregol sebagaimana dilakukan oleh Ki Gede.

Sejenak kemudian, maka Agung Sedayu dan Ki Waskitapun telah berpacu dipunggung kuda meskipun tidak terlalu kencang menuju ke Jati Anom.

"Kita tidak usah singgah di Mataram," berkata Agung Sedayu, "jika demikian kita akan kehabisan waktu."

"Ya. Karena itu kita akan menempuh jalan sebelah Utara, meskipun jalan itu tidak sebaik jalan Selatan. Tetapi di sebelah Barat Tambak Baya kita akan turun ke jalan yang lebih baik itu," sahut Ki Waskita.

Dalam pada itu. maka keduanyapun telah mengambil jalan penyeberangan di sebelah Utara. Mereka melalui jalan yang tidak begitu besar, untuk menghindari jalan yang lewat Mataram, agar mereka tidak perlu singgah. Karena mungkin sekali mereka dengan tidak sengaja bertemu dengan para perwira yang akan dapat menceriterakannya kepada Raden Sutawijaya bahwa mereka telah melintasi Mataram. Adalah tidak mapan jika dengan demikian mereka tidak singgah barang sebentar.

Karena itu. maka mereka telah menempuh jalan yang tidak begitu baik. Meskipun demikian kadang-kadang mereka bertemu pula dengan satu dua pedati yang memuat hasil sawah para petani.

Sebelum mereka memasuki jalan yang menghubungkan Mataram dengan Pajang, maka mereka hanya melalui hutan-hutan yang tidak lagi menakutkan, karena jalan-jalan dipinggir hutan itu semakin lama menjadi semakin ramai. Binatang buaspun telah terdesak semakin ketengah. karena mereka tidak kerasan dengan hiruk pikuk di jalan yang melintas dipinggir hutan itu. Apalagi pepohonan di pinggir jalan itupun semakin lama menjadi semakin jarang. Jika seekor harimaupun yang tidak lagi mampu berburu di hutan yang lebat, dan tersesat sampai kejalan itu. maka orang-orang yang lewat telah siap melawannya dengan senjata masing-masing. Apalagi pada umumnya mereka yang melintasi jalan itu tidak seorang diri.

Perjalanan Agung Sedayu dan Ki Waskita tidak mengalami gangguan apapun juga. Mereka melintasi jalan dipinggir hutan itu tanpa hambatan.

Namun dalam pada itu. baik Agung Sedayu maupun Ki Waskita menyadari, bahwa seekor kuda yang muncul dari balik pepohonan hutan telah mengikutinya.

"Apakah hanya sekedar dugaanku," desis Ki Waskita.

"Tidak paman." jawab Agung Sedayu, "nampaknya orang berkuda itu memang mengikuti kita."

"Kita akan berhenti disini," berkata Ki Waskita.

Agung Sedayupun sependapat. Dengan demikian mereka tidak selalu diikuti oleh kegelisahan. Mereka akan segera mengetahui apakah maksud orang yang mengikutinya itu.

Ternyata orang yang mereka anggap mengikuti perjalanan mereka itupun sama sekali tidak berhenti, meskipun ia melihat bahwa kedua orang berkuda di depannya itu berhenti. Karena itu, maka semakin lama maka iapun menjadi semakin dekat.

Akhirnya Agung Sedayu menarik nafas sambil berdesis, "Pangeran Benawa."

Ki Waskitapun mengangguk kecil sambil mengulang, "Ya. Pangeran Benawa."

Sebenarnyalah orang berkuda itu adalah Pangeran Benawa dalam pakaian orang kebanyakan. Demikian kudanya menjadi semakin dekat, maka iapun tersenyum sambil bertanya, "Bukanlah kalian akan pergi ke Jati Anom?"

"Ya Pangeran, "Jawab Agung Sedayu.

"Marilah. Kita akan menempuh perjalanan bersama-sama. Aku akan kembali ke Pajang," berkata Pangeran Benawa.

"Tetapi dari manakah Pangeran ini ?" bertanya Agung Sedayu.

Pangeran Benawa mengerutkan keningnya. Dengan nada tinggi ia justru bertanya, "Bukankah kau tahu bahwa aku berada di Tanah Perdikan Menoreh?"

"Tetapi beberapa hari yang lalu," sahut Agung Sedayu.

"Aku masih tetap berada di Tanah Perdikan Menoreh. Aku tahu kau memanjat naik dari goa itu. Dan aku tahu bahwa kau semalam suntuk berada di puncak bukit. Menjelang fajar baru kau kembali ke padukuhan induk."

Wajah Agung Sedayu menegang. Sementara itu Pangeran Benawa meneruskan, "Agaknya kau dapat melakukan dua kepentingan sekaligus didalam goa itu. Kau telah berhasil meletakan dasar ilmu meringankan tubuh."

Agung Sedayu menarik nafas dalam-dalam. Katanya, "Pangeran melihatnya?"

"Aku mengikutimu. Tetapi kau masih terlalu berhati-hati. Tetapi jika kelak sudah benar-benar mapan, kau akan dapat menjadi semakin cepat bergerak dalam ilmumu yang baru kau pahami itu." jawab Pangeran Benawa.



Agung Sedayu mengangguk-angguk. Meskipun ia tidak bertanya. tetapi ia dapat menarik kesimpulan. Bahwa Pangeran Benawapun memahami ilmu semacam itu, sehingga ia dapat mengikuti dan mengamatinya. Bahkan Ilmu Pangeran Benawa itu tentu sudah lebih mapan dari ilmunya.

Dalam pada itu. Agung Sedayupun teringat kepada Raden Sutawijaya yang kembali dari daerah sekitar Jati Anom dalam tiga laku sekaligus didalam sebuah sendang. Malam itu Raden Sutawijaya kembali ke Mataram hanya dengan berjalan kaki.

"Ilmuku ternyata belum sekuku ireng dibanding dengan kedua orang muda yang aneh ini," berkata Agung Sedayu didalam hatinya.

Sementara itu ketiga orang itupun kemudian bersama-suma menempuh perjalanan. Merekapun kemudian memasuki jalur jalan dari Mataram menuju ke Pajang. Jalan yang menjadi semakin baik karena semakin lama menjadi semakin ramai. Selain lalu lintas orang-orang yang bepergian, maka jalan itupun menjadi jalur perdagangan yang ramai.

Tetapi ternyata kemudian bahwa Pangeran Benawa tidak telaten berkuda lewat jalan yang ramai. Rasa-rasanya ada saja orang yang memperhatikannya. Karena itu, maka katanya, "Aku akan mencari jalan lain."

"Kenapa?" bertanya Ki Waskita.

"Orang-orang yang berpapasan itu rasa-rasanya mengenali aku. Atau aku memang cemas bahwa pada sualu saat aku akan bertemu dengan seseorang yang benar-benar mengenal aku." jawab Pangeran Benawa.

Ki Waskita dan Agung Sedayu tidak dapat mencegahnya. Ketika mereka sampai ke sebuah jalan simpang, maka Pangeran Benawapun telah memisahkan diri dan berkuda di jalan simpang yang kecil.

"Pangeran akan sampai kemana?" bertanya Ki Waskita.

"Aku akan mencari jalan di lereng Gunung Merapi, memotong arah. sehingga aku akan sampai ke Pajang lebih cepat," berkata Pangeran Benawa, "sementara tidak akan ada seorangpun yang mengenal aku diperjalanan."

Dengan demikian maka Ki Waskita kemudian hanya berdua saja bersama Agung Sedayu menempuh perjalanan menuju ke Jati Anom.

"Pangeran yang aneh," desis Ki Waskita, "aku kira maksud Pangeran itu menyusul kita adalah sekedar ingin memberitahukan, bahwa ia selama kau berada di goa itu selalu mengawasimu."

Agung Sedayu mengangguk-angguk. Katanya, "Agaknya memang demikian. Ternyata Pangeran Benawa melihat bahwa aku telah mencoba mempergunakan ilmu meringankan tubuh itu ketika aku kembali dari bukit lewat pategalan dan bulak-bulak panjang."

Diluar sadarnya Ki Waskita itupun kemudian memandangi jalur jalan simpang yang menusuk ke sebuah bulak yang panjong sekali. Seolah-olah jalan itu tidak terputus sampai menembus perut Gunung Merapi.

Dalam pada itu tidak banyak persoalan yang mereka jumpai di perjalanan. Agung Sedayu dan Ki Waskita langsung menuju ke Jati Anom tanpa singgah di Sangkal Putung lebih dahulu.

Ketika mereka mendekati padepokan kecil di dekat Jati Anom itu jantung Agung Sedayu menjadi berdebar-debar. ia seolah-olah merasa, betapa sepinya padepokan itu.

Sebenarnyalah ketika mereka memasuki regol padepokan, maka rasa-rasanya mereka masuk ketempat yang asing. Agung Sedayu dan Ki Waskita yang kemudian meloncat turun, menuntun kuda mereka melintasi halaman.

Seorang cantrik berlari-lari menyongsongnya. Dengan wajah yang cerah cantrik itu berkata, "Selamat datang. Marilah. Silahkan."

Cantrik itupun kemudian menerima kendali kuda Agung Sedayu dan Ki Waskita sambil berkata, "Silahkan naik. Padepokan ini sedang sepi."

"Apakah guru tidak ada ?" bertanya Agung Sedayu.

"Kiai Gringsing berada di Sangkal Putung," jawab cantrik itu.

"Glagah Putih?" bertanya Agung Sedayu pula.

"Di Banyu Asri. Sudah tiga hari. Mungkin hari ini ia akan datang ke padepokan ini. Tetapi aku tidak tahu pasti," jawab cantrik itu.

Agung Sedayu menarik nafas dalam-dalam. Namun ketika ia mengikuti pandangan mata Ki Waskita, maka iapun telah melihat dua ekor kuda tertambat disamping pendapa padepokan itu.

Cantrik itu agaknya mengetahui, bahwa Agung Sedayu ingin mengetahui tentang kuda itu. Maka katanya, "Kuda dua orang prajurit Pajang di Jati Anom yang berada di barak ini. Selain kedua prajurit itu masih ada empat perwira dan Sabungsari serta dua orang prajurit lagi."

Agung Sedayu menarik nafas dalam-dalam ia mengerti maksud kakaknya. Kecuali dengan demikian para perwira itu mendapat tempat yang tidak berdesakkan dirumahnya di Jati Anom, mereka akan membantu mengamankan padepokan itu. Jika terjadi sesuatu agaknya kakaknya juga merasakan betapa keadaan menjadi semakin kemelut. Apalagi setelah Pajang menyusun pasukan khusus dibawah Ki Tumenggung Prabadaru.

"Apakah para prajurit yang lain tidak senang berada di padepokan?" bertanya Ki Waskita.

"Mereka berada di Jati Anom. Tetapi menjelang sore baru mereka kembali kemari. Setiap hari dua orang prajurit tinggal di padepokan bersama kami para cantrik." jawab cantrik itu.

"Bagaimana dengan sawah dan ladang ?" bertanya Agung Sednyu.

"Kami memelihara dengan baik. Selagi Glagah Putih ada di padepokan, iapun dengan rajin bersama kami memelihara sawah dan ladang itu." Jawab cantrik itu.

Agung Sedayu mengangguk-angguk. Belum lagi ia naik kependapa. ia melihat kedua orang prajurit muncul dari samping pendapa. Demikian mereka melihat Agung Sedayu, maka dengan tergesa-gesa merekapun mendapatkannya.

"Kapan kau datang Agung Sedayu?" bertanya prajurit yang sudah mengenalinya itu.

"Baru saja," Jawab Agung Sedayu.

"Silahkan naik. Kami berdua berada di padepokan ini mengawani empat orang perwira yang berada disini, selagi padepokan kosong," Jawab perwira itu.

Agung Sedayu nengangguk-angguk. Tetapi terbayang di sorot matanya bahwa ia menjadi agak kecewa.

Meskipun demikian iapun kemudian naik juga kependapa. Minum air hangat yang dihidangkan oleh para cantrik dan beberapa potong makanan.



"Aku akan pergi ke Banyu Asri sebentar paman," berkata Agung Sedayu kemudian.

Namun prajurit yang menemuinya itu berkata, "Menurut pesannya, ia hanya akan pergi tiga hari. Ada satu keperluan keluarga, sehingga bersama Ki Widura ia telah pergi ke Banyu Asri. Tetapi aku kira hari ini ia akan kembali ke padepokan. Sebelumnya mereka pergi ke Banyu Asri, mereka akan selalu berada di padepokan ini pula."

Agung Sedayu menarik nafas dalam-dalam, ia dapat membayangkan, betapa kesepian telah mencengkam hati anak muda itu. Sehingga dengan demikian, ia akan lebih kerasan di Banyu Asri.

Namun dalam pada itu. Ki Waskita ternyata minta agar Agung Sedayu pergi ke Sangkal Putung lebih dahulu. Katanya, "Kepergianmu yang paling penting adalah menemui gurumu. Bukan berarti kau mengabaikan Glagah Putih, tetapi kau harus menyelesaikan keperluanmu yang utama."

Agung Sedayu menarik nafas dalam-dalam. Namun iapun mengangguk sambil berdesis, "Baiklah paman, kita akan pergi ke Sangkal Pulung."

Karena itulah, maka Agung Sedayu tidak terlalu lama berada dipodepokannya. Sejenak kemudian bersama Ki Waskita, merekapun telah minta diri untuk pergi ke Sangkal Putung.

Kedatangan Agung Sedayu dan Ki Waskita di Sangkal Pulung memang agak mengejutkan. Dengan tergesa-gesa Ki Demang menyongsong mereka demikian ia menerima laporan dari para pembantu dirumah Kademangan itu.

"Marilah," Ki Demang mempersilahkan Ki Waskita dan Agung Sedayu yang telah menyerahkan kudanya kepada seorang pembantu Ki Demang.

Sejenak kemudian merekapun telah duduk dipendapa. Sebagaimana kebiasaan mereka, maka merekapun saling menanyakan tentang keselamatan masing-masing. Baru kemudian Agung Sedayu bertanya, "Apakah guru kebetulan berada disini Ki Demang?"

"Ya ngger," jawab Ki Demang, "Kiai Gringsing sudah beberapa lama berada disini."

"Sekarang ?" bertanya Agung Sedayu pula.

"Kiai Gringsing sedang nganglang bersama Swandaru. Mereka sedang melihat-lihat keadaan Kademangan ini. Dalam saat-saat terakhir, rasa-rasanya kesiagaan memang perlu selalu ditingkatkan," berkata Ki Demang.

Agung Sedayu mengangguk-angguk. Sebelumya ia masih ingin bertanya tentang gurunya. Namun kemudian Pandan Wangi dan Sekar Mirahpun telah hadir pula menemui mereka dipendapa. Sehingga karena itulah maka pembicaranpun menjadi semakin terbatas pada keadaan diri mereka masing-masing.

"Nampaknya ada sesuatu yang penting ngger?" bertanya Ki Demang kemudian.

"Ah. tidak Ki Demang," jawab Agung Sedayu, "rasa-rasanya sudah terlalu lama aku berada di Tanah Perdikan Menoreh. sehingga aku ingin barang satu dua hari melepaskan diri dari kesibukan di Tanah Perdikan itu.

"Bukankah justru anak-anak muda telah berkumpul di Tanah Perdikan?" bertanya Ki Demang.

"Karena itu. aku mendapat waktu untuk beristirahat. Selagi anak-anak yang datang dari beberapa daerah."

Padan Wangi yang berasal dari Tanah Perdikan. serta Sekar Mirah yang ingin tahu apa saja yang telah dilakukan oleh Agung Sedayu itupun telah mambanjirinya dengan pertanyaan-pertanyaan yang kadang-kadang terasa sulit pula untuk dijawab.

Numun demikian Agung Sedayu selalu berusaha untuk dapat memberikan keterangan sejauh tidak menyangkut persoalan yang harus disimpannya.

Untuk beberapa lama mereka berbicara dengan lancar sambil menunggu kedatangan Kiai Gringsing dengan Swandaru yang sedang mengelilingi Kademangan. Tetapi kemudian Pandan Wangi dan Sekar Mirahpun meninggalkan pendapa untuk membanlu pekerjaan di dapur sebagaimana sering mereka lakukan. Apalagi justru karena ada tamu. maka mereka harus menyiapkan jamuan yang agak lain dari kebiasaan mereka sehari-hari.

Namun dalam pada itu. Agung Sedayupun mulai gelisah. Ternyata setelah ia menunggu cukup lama. Kiai Gringsing dan Swandaru masih belum juga datang. Bahkan kemudian Ki Demang telah mempersilahkan mereka beristirahat di gandok.

"Agaknya Swandaru dan Kiai Gringsing melihat padukuhan di ujung Kademangan yang sedang memperbaiki jalan bulak yang mulai berlubang-lubang itu," berkata Ki Demang. Lalu, "Karena itu. silahkan menunggu sambil beristirahat di gandok."

Ketika keduanya sudah berada di gandok, maka Agung Sedayu berdesis, "Kita kehilangan banyak waktu."

"Kiai Gringsing hanya memerlukan waktu yang singkat untuk melihat, apakah kau sudah benar-benar kebal bisa," jawab Ki Waskita segores duri dengan racun yang lemah, akan dapat melihat, apakah kau kebal bisa atau tidak. Baru kemudian ia akan mempergunakan racun yang lebih kuat."

Agung Sedayu mengangguk-angguk tetapi kegelisahan di jantungnya seakan-akan menjadi semakin meningkat.

Tetapi ternyata mereka tidak perlu menunggu lebih lama lagi. Sejenak kemudian terdengar derap kaki kuda Kiai Gringsing dan Swandaru yang kemudian mendengar bahwa Agung Sedayu dan Ki Waskita berada di gandok, dengan tergopoh-gopoh mereka langsung menemuinya sebelum mereka naik kependapa. Disamping perasaan gembira, namun kedua orang itu menjadi berdebar-debar juga. Mungkin ada sesuatu yang penting, karena Sangkal Putung baru saja mengirimkan anak-anak mudanya menyusul beberapa orang anak muda yang terdahulu.

"Tidak ada apa-apa," jawab Agung Sedayu atas pertanyaan Kiai Gringsmg tentang keperluannya, "aku mendapat waktu justru pada saat anak-anak muda itu baru saling memperkenalkan diri. Mereka baru mendapat petunjuk-petunjuk terpenting dari apa yang harus mereka lakukan selama mereka berada didalam barak itu. Kemudian mereka adalah anggauta-anggauta dari sebuah pasukan khusus."

"Sokurlah," Kiai Gringsing mengangguk-angguk. Namun demikian, nalurinya berkata lain. Tentu Agung Sedayu mempunyai satu kepentingan yang khusus sehingga ia telah berusaha untuk segera menemuinya di Sangkal Putung.

"Mudah-mudahan dugaanku keliru. Adalah wajar sekali bahwa ia tergesa-gesa mencari aku kemari, karena disini bukan saja ada aku, tetapi yang penting di Sangkal Putung ada Sekar Mirah," berkata Kiai Gringsing didalam hatinya.

Tidak ada persoalan penting yang dibicarakan dengan Swandaru. Namun dengan gelisah Agung Sedayu harus menunggu satu kesempatan untuk dapat berbicara dengan gurunya tanpa orang lain.

Akhirnya Agung Sedayupun telah berhasil membisikkan ditelinga Kiai Gringsing, "Aku ingin bertemu dengan guru sendiri."

Kiai Gringsing tidak menjawab. Tetapi ia mengangguk kecil.

Dengan demikian, maka debar di jantung Kiai Gringsing menjadi semakin keras. Tentu ada masalah yang akan dibicarakan oleh muridnya. Namun ia menunggu tanpa ada orang lain, meskipun orang lain itu juga muridnya sendiri.

Demikianlah maka setelah mereka berbicara panjang lebar. Kiai Gringsingpun berkata, "Sudahlah beristirahatlah. Nanti kita akan mendapat kesempatan lagi untuk berbicara."

Kiai Gringsing dan Swandarupun kemudian meninggalkan gandok. Mereka memberi kesempatan kepada ke dua orang tamunya untuk beristirahat barang sejenak.

Kiai Gringsing tidak dapat menemui Agung Sedayu sebagaimana dimintanya pada siang hari. Karena itu. maka baru pada malam harinya ia sempat datang ke bilik Agung Sedayu tanpa diketahui oleh Swandaru yang sudah masuk kedalam biliknya.

Dengan tegas Agung Sedayu menceriterakan apa yang pernah terjadi atas dirinya. Sejak ia bertemu dengan Pangeran Benawa. Sehingga ia menyelesaikan dua laku sekaligus didalam goa di bukit dibawah pohon hantu yang sudah kering itu.

Kiai Gringsing mendengarkannya dengan bersungguh-sungguh. Sambil mengangguk-angguk iapun kemudian berkata, "Memang tidak mustahil hal itu dapat terjadi atasmu Agung Sedayu. Namun untuk meyakinkan biarlah aku melihatnya."

Agung Sedayupun kemudian menunggu Kiai Gringsing mempersiapkan beberapa jenis obat-obatan. Ternyata Ki Demang yang belum tidur menyapanya, "Kiai belum tidur?"

"Aku masih berbicara dengan Ki Waskita dan Agung Sedayu," jawab Kiai Gringsing, "rasa-rasanya pembicaraan kami tidak ada habis-habisnya."

Ki Demang mengerutkan keningnya. Hampir saja ia mengikuti Kiai Gringsing ke gandok untuk ikut berbicara. Namun Kiai Gringsing telah mendahuluinya, "Aku ingin memberikan beberapa pengertian tentang obat-obatan kepada anak ini. Tetapi agaknya Agung Sedayu terlalu bodoh untuk mengerti serba sedikit tentang jenis dedaunan."

"O," Ki Demang tersenyum. Tetapi ia mengurungkan niatnya untuk mengikuti Kiai Gringsing. karena menurut pengertiannya. Kiai Gringsing sedang memberikan beberapa tuntunan tentang obat-obatan kepada Agung Sedayu, sehingga kehadirannya akan dapat mengganggu.

Sebenarnyalah Kiai Gringsing telah menyiapkan dua jenis racun dan penawarnya. Racun yang lemah dan racun yang kuat. Sebagaimana diduga oleh Ki Waskita, maka mula-mula Kiai Gringsing telah menggoreskan ujung duri yang dibasahi dengan racun yang lemah.

Dengan berdebar-debar Kiai Gringsing. Ki Waskita dan Agung Sedayu sendiri menunggu akibat dari racun itu pada tubuhnya. Jika nampak gejala-gejala yang kurang baik, maka Agung Sedayu harus segera minum obat penawarnya.



Namun ternyata bahwa tidak ada tanda-tanda yang mencemaskan. Rasanya racun itu sama sekali tidak mempunyai pengaruh buruk terhadapnya. Namun demikian. Agung Sedayu merasakan sesuatu pada tubuhnya, seolah-olah telah terjadi penolakan atas racun yang bekerja didalam dirinya.

Dengan jelas dan terperinci Agung Sedayu menjelaskan kepada Kiai Cruigsing apa saja yang dirasakannya. Sementara dengan tekun Kiai Gringsing dan Ki Waskita yang mempunyai pengetahuan pula meskipun serba sedikit tentang obat-obatan, telah mengikutinya dengan saksama.

"Yang kau rasakan bukan akibat buruk dari racun itu," berkata Kiai Gringsing, "tetapi telah terjadi penolakan didalam tubuhmu."

"Segalanya sudah lenyap sekarang guru," berkata Agung Sedayu kemudian, "aku sudah tidak merasakan apa-apa lagi."

Kiai Gringsing menarik nafas dalam-dalam. Katanya, "Bagus Agung Sedayu. Kau benar-benar kebal racun. Namun ternyata bahwa kau dapat merasa betapa tubuhmu menolak racun itu, sehingga seandainya kau terkena racun. Meskipun racun itu tidak berakibat apapun pada dirimu, namun kau dapat mengetahuinya."



Agung Sedayu menarik nafas dalam-dalam. Namun terjadi sedikit ketegangan pada jantungnya ketika Kiai Gringsing berkata, Marilah. Kita lihat dengan racun yang kuat, sekuat gigitan ular bandotan. Bahkan lebih kuat."



Agung Sedayu tidak menjawab, sementara gurunya yang melihat ketegangan di jantung muridnya berkata, "Jangan cemas. Akupun telah menyediakan penawarnya."

Seperti semula, maka Kiai Gringsing telah menggoreskan ujung duri yang telah direndamnya didalam racun ke lengan Agung Sedayu. Meskipun nampaknya Kiai Gringsing tersenyum, sebenarnyalah iapun menjadi tegang. Apalagi sesaat kemudian ketika ia mengikuti keterangan Agung Sedayu tentang dirinya.

Seperti yang terdahulu. Agung Sedayupun merasakan penolakan di tubuhnya. Seolah-olah darahnya telah mendorong racun yang merayap di urat nadinya. Namun karena racun itu sangat kuat. maka seolah-olah telah terjadi dorong mendorong. Namun akhirnya kekuatan didalam dirinya telah berhasil mengatasi kerja racun yang kuat itu. sehingga perlahan-lahan benturan kekuatan didalam dirinya itupun mulai mereda, dan akhirnya lenyap sama sekali. Yang kemudian nampak pada luka di lengannya oleh goresan ujung duri itu adalah titik darah yang mengembun. Darah merah sebagaimana darah yang keluar dari luka biasa. Namun dibibir luka itu nampak seolah-olah endapan yang mengering berwarna coklat kehitaman.

Kiai Gringsing dan Ki Waskita yang dengan tegang telah menahan nafas itu menarik nafas dslam-dalam. Dengan nada dalam Kiai Gringsing berkata, "Ternyata kau telah mendapatkan kurnia kekebalan terhadap racun dan bisa. Bersukurlah, dan berterima kasihlah kepada Pangeran Benawa jika kau bertemu lagi dengan Pangeran yang aneh itu. Kau benar-benar menjadi kebal. Disamping ilmu kebalmu, kau juga kebal terhadap bisa.

Agung Sedayu yang berdebar-debar itupun merasa betapa dadanya menjadi lapang. Bukan saja karena ia bebas dari kesulitan yang timbul dari racun yang keras, namun ternyata bahwa iaa benar-benar telah menjadi kebal.

Sambil menarik nafas dalam-dalam sebagaimana Kiai Gringsing dan Ki Waskita, maka Agung Sedayupun mengucap didalam hatinya, "Tuhan Maha Pengasih."

Sebenarnyalah air yang mengalir didalam goa di salah satu bukit di Pegunungan Menoreh itu mengandung kasiat yang dapat membuat seseorang menjadi kebal akan bisa. Sebagaimana dilakukan oleh Agung Sedayu. ternyata bahwa ia telah berhasil. Bahkan karena ia telah melakukan dua laku sekaligus didalam goa itu, maka ia-pun telah berhasil menyadap ilmu meringankan tubuh disamping kekebalan akan bisa.

Dengan demikian, maka Agung Sedayu itupun sudah membuat gurunya menjadi berbangga. Disamping Ilmu kanuragannya yang menjadi semakin matang dan mapan. maka ia telah memiliki berbagai Ilmu yang dapat membuatnya menjadi seorang anak muda yang pilih tanding.

Namun dalam pada itu, maka Kiai Gringsingpun selalu berpaling kepada Swandaru. Anak muda itu juga memiliki ilmu kanuragan yang semakin meningkat. Kekuatan dan ketrampilan Swandaru benar-benar pilih tanding. Namun laku yang ditempuh oleh Swandaru memang agak berbeda dari Agung Sedayu. sehingga seakan-akan yang dikuasai oleh Agung Sedayu mempunyai segi-segi yang lebih dalam dari Ilmu yang dikuasai oleh Swandaru. yang lebih banyak memperhatikan unsur kewadagan. Tetapi bukan berarti bahwa Ilmunya tidak meningkat semakin tinggi.

Dalam pada itu. Kiai Gringsingpun kemudian mengobati luka di lengan Agung Sedayu sebagaimana ia mengobati luka karena goresan duri biasa. Dengan mengusap luka itu dengan cairan, maka luka itupun seolah-olah telah menutup seketika.

"Kita sudah selesai Agung Sedayu," berkata Ki Waskita.

"Ya paman," jawab Agung Sedayu. "Tetapi aku masih ingin bertemu dengan Glagah Putih besok."

"Baiklah," berkata Ki Waskita, "besok kita akan singgah di Jati Anom."

"Glagah Putihpun sangat mengherankan," berkata Kiai Gringsing, "ketekunan dan kemauannya yang sangat keras telah mendorongnya untuk maju dengan sangat pesat."

"Sokurlah," berkata Agung Sedayu, "tetapi justru aku ingin segera menemuinya."

Dalam pada itu, malam menjadi semakin larut. Kiai Gringsingpun kemudian meninggalkan bilik Agung Sedayu untuk pergi ke gandok yang lain. Dihalaman ia melihat dua orang peronda berjalan melintas. Sementara Ki Demang agaknya sudah masuk kedalam biliknya pula.

Balas

On 3 Juli 2009 at 19:42 Panembahan Emprit said:



Kitab 151-5

Ketika malam menjadi semakin larut, maka Agung Sedayu dan Ki Waskitapun telah berbaring pula di pembaringannya. Tetapi mereka tidak segera dapat tidur nyenyak. Apalagi Agung Sedayu. ia masih saja merasa betapa ia mendapat kurnia berbagai macam ilmu. Namun dalam pada itu. Rasa-rasanya iapun telah dibebani oleh tanggung jawab yang semakin besar. Jika ia tidak mempunyai iman yang kokoh. maka Ilmu yang bertumpuk didalam dirinya itu justru tidak akan membuat kehidupan disekitarnya menjadi semakin baik, tetapi justru sebaliknya ia akan dapat menjadi sangkrah yang mengotori peradaban yang semakin tinggi.

Ketika fajar hampir membayang di langit, barulah Agung Sedayu sempat tertidur. Demikian pula Ki Waskita. Karena itulah, maka mereka tidak dapat tidur terlalu lama. Tabuh dini hari telah membangunkan mereka.

Tetapi Agung Sedayu dan Ki Waskita tidak dapat meninggalkan Sangkal Putung terlalu pagi. Ternyata disamping maksudnya untuk menemui gurunya dengan kepentingan yang khusus, maka Ki Demangpun telah memanggilnya duduk di pendapa bersama Kiat Gringsing. Ki Waskita dan Swandaru.

"Angger Agung Sedayu," berkata Ki Demang, "karena kau sudah aku anggap sebagai anakku sendiri maka aku tidak akan segan-segan berbicara dengan terbuka."

Agung Sedayu menundukkan kepalanya.

"Waktu yang kita bicarakan dalam hubunganmu dengan Sekar Mirah menjadi semakin dekat. Aku sudah menyisihkan dua ekor lembu khusus bagi persediaan hari yang kalian nanti-nantikan itu. Sudah barang tentu aku tidak dapat mengadakan peralatan tanpa persediaan. Bukan maksudku berlagak sebagai seorang yang kaya raya. Tetapi setidak-tidaknya aku harus menjamu rakyat Kademangan ini." Ki Demang berhenti sejenak. Lalu, "jika hal ini aku sampaikan aku berharap bahwa kau tidak tenggelam dalam tugasmu, sehingga kau melupakan dirimu sendiri. Aku mendengar bahwa selain anak-anak muda dari Sangkal Putung dan Tanah Perdikan Menoreh, masih banyak lagi anak-anak muda dari daerah lain yang berada di Tanah Perdikan itu. Dengan demikian aku dapat membayangkan, bahwa keterlibatanmu dalam pasukan khusus itu membuat kau semakin sibuk."

Agung Sedayu mengangguk kecil. Katanya, "Ya. Ki Demang. Disamping tugasku di Tanah Perdikan Menoreh. aku juga mendapat beberapa tugas di barak pasukan khusus yang dibentuk oleh Mataram itu. Namun sudah tentu bahwa aku tidak akan melupakan bulan terakhir tahun yang menjadi semakin dekat."

"Terima kasih ngger. Tetapi agaknya Ki Waskita dapat menyampaikan hal itu kepada angger Untara dan Ki Widura. Tidak untuk apa-apa, tetapi sudah selayaknya merekapun bersiap-siap," berkata Ki Demang kemudian.

Ki Waskita mengangguk-angguk. Katanya, "Baiklah. Tetapi alangkah baiknya jika Kiai Gringsingpun pada suatu saat dapat bertemu dengan angger Untara untuk membicarakan persoalan ini."

"Tentu," desis Kiai Gringsing, "pada hari-hari tertentu akupun merasa wajib untuk menengok padepokan kita. meskipun untuk sementara dihuni oleh beberapa orang prajurit."

Ki Demang Sangkal Putung mengangguk-angguk. Sebagai orang tua bakal penganten perempuan. Ki Demang memang lebih banyak memikirkan keadaan anak gadisnya dan hari-hari yang mereka tunggu-tunggu itu. karena pada umumnya segala sesuatu akan dilakukan di rumah pihak perempuan.

Namun dalam pada itu, terllintas juga di kepala Agung Sedayu. hubungan antara Pajang dan Mataram menjadi semakin buruk. Jika terjadi sesuatu diantara dua kekuatan itu pada saat-saat yang ditentukan bagi hari perkawinannya. Apakah ia masih dapat melaksanakannya seperti rencana? Hari yang paling baik di bulan terakhir?

Sementara itu. Ki Demang telah menyahut, "Terima kasih Kiai Gringssing, sudah tentu kami mengharap bantuan Kiai sebanyak-banyaknya."

Kiai Gringsing tersenyum. Katanya, "Aku akan melakukan apa saja untuk kebaikan semuanya."

Ki Demang mengangguk-angguk. Namun kemudian iapun berpesan kepada Agung Sedayu, "Ngger. Aku minta demikian kau sampai ke Tanah Perdikan Menoreh, kau katakan kepada Ki Gede bahwa hari-hari yang sudah ditentukan itu tidak akan dirubah-rubah lagi. Dengan demikian maka Ki Gede Menoreh akan ikut mengingat-ingat hari itu. Selebihnya ia tidak akan salah membuat rancangan kegiatan di Tanah Perdikan itu."

Agung Sedayu mengangguk-angguk. Katanya, "Baiklah Ki Demang. Aku akan melakukannya."

"Hal ini harus kau ingat. Waktu sudah semakin pendek. Nampaknya kau dan angger Untara masih tenang-tenang saja," berkata Ki Demang kemudian.

Agung Sedayu menarik nafas panjang. ia mengerti kegelisahan Ki Demang itu. Karena itu maka katanya, "Segalanya akan berjalan sebaik-baiknya Ki Demang."

"Mudah-mudahan," desis Ki Demang, "tetapi aku sudah menyediakan selain dua ekor lembu, beras beberapa tumbu. beberapa batang pohon kelapa yang sengaja tidak pernah aku petik buahnya untuk dua bulan terakhir dan bahkan kayu bakar di sebelah kandang telah tertimbun setinggi teritisan."

Agung Sedayu mengangguk-angguk. Tetapi dengan demikian, maka iapun mengerti bahwa segalanya harus dilakukan sebaik-baiknya agar tidak mengecewakan Ki Demang Sangkal Putung.

Baru sejenak kemudian. Ki Demang melepaskan Agung Sedayu dan Ki Waskita pergi ke Jati Anom. Di halaman Sekar Mirah dan Pandan Wangi ikut melepas mereka.

Sementara itu Kiai Gringsing masih sempat berbisik, "Peliharalah dirimu baik-baik. Ki Demang benar-benar mengharap bahwa peralatan yang akan diselenggarakan itu cukup meriah. Sekar Mirah adalah satu-satunya anak perempuannya."

"Mudah-mudahan tidak bersamaan dengan perang," desis Agung Sedayu seolah-olah diluar sadar.

"Itu diluar kuasaku," jawab Kiai Gringsing.

Agung Sedayu hanya dapat mengangguk-angguk saja.

Demikian Agung Sedayu dan Ki Waskitapun kemudian meninggalkan Sangkal Putung menuju ke Jati Anom.

Jarak antara Jati Anom dan Sangkal Putung memang tidak terlalu jauh. Namun di jarak itu Agung Sedayu telah berpapasan dengan tiga kelompok peronda dan prajurit Pajang di Jati Anom yang sedang nganglang. Untunglah bahwa banyak diantara para prajurit yang sudah mengenalnya. sehingga tidak sekelompok perondapun yang mencurigainya.

Namun dalam pada itu Agung Sedayu itupun berdesis, "Nampaknya kakang Untara juga meningkatkan kewaspadaannya."

"Kakakmu berdiri di tempat yang sulit," berkata Ki Waskita, "ia mengetahui kepincangan yang terdapat di Pajang. Tetapi ia terikat dalam kedudukannya sebagai seorang Senapati Pajang. Karena ia tidak dapat melihat sendiri perkembangan di Pajang itu sendiri, maka ia memang harus berhati-hati."

Agung Sedayu mengagguk-angguk ia memang sudah membayangkan, betapa sulitnya kedudukan Untara menghadapi perkembangan keadaan, ia tahu bahwa Tumenggung Prabadaru sudah melindungi orang yang jelas bersalah. Bahkan telah berusaha menghapus sebuah nama dengan menyatakannya mati terbunuh. Namun ia jugalah yang kemudian menjadi panglima dari pasukan khusus yang dibentuk di Pajang.

Dalam pada itu. perjalanan Agung Sedayu dan Ki Waskita itu sama sekali tidak menjumpai hambatan apapun juga. Demikian mereka mendekati regol halaman, maka mereka melihat seorang anak muda berdiri tegak dengan gelisah.

"Glagah Putih," desis Agung Sedayu.

"Ia sudah kembali," berkata Ki Waskita.

Ketika Agung Sedayu meloncat dari kudanya, maka Glagah Putihpun dengan tergesa-gesa menyongsongnya. Dengan wajah yang cerah. Glagah Putih telah menerima kembali kuda Agung Sedayu sambil berkata, "Kenapa kau tidak menunggu aku kemarin kakang ?"

Agung Sedayu hanya tersenyum saja. Namun kemudian Glagah Putihpun meninggalkan Agung Sedayu untuk menerima kuda Ki Waskita pula.

Sambil menuntun dua ekor kuda Glagah Putih mendahului melintasi halaman. Namun iapun kemudian berhenti untuk menambatkan kedua ekor kuda itu, sementara Ki Widura sudah menunggu mereka di tangga pendapa.

"Kalian datang terlalu siang," berkata Glagah Putih.

"Aku kira kau datang di dini hari kakang?"

Agung Sedayu tersenyum sambil memandang Ki Waskita yang menjawab, "Kami bangun kesiangan. Semalam kami bercerita tentang berbagai hal hampir semalam suntuk."

"Seharusnya kakang dan Ki Waskita bermalam disini," gumam Glagah Putih.

"Tidak ada orang disini," desis Agung Sedayu.

"Kemarin siang aku sudah kembali. Bukankah para cantrik mengatakan bahwa aku akan kembali kemarin?" bertanya Glagah Putih.

Agung Sedayu tersenyum sambil naik ke pendapa ia menjawab, "Tetapi para cantrik tidak mengatakan dengan pasti. Mungkin sekali kau akan kembali kemarin. Tetapi mungkin juga baru hari ini."

"Aku sudah mengatakan dengan pasti. Aku hanya pergi selama tiga hari," berkata Glagah Putih.

"Sudahlah," berkata Ki Widura, "sebaiknya kau persilahkan kakakmu dan Ki Waskita duduk dahulu dipendapa."

"O," Glagah Putih mengangguk-angguk, "marilah, silahkan."

Keduanyapun kemudian naik kependapa diikuti oleh Glagah Putih. Demikian mereka duduk. maka Ki Widura pun telah menanyakan keadaan mereka dan keadaan Tanah Perdikan Menoreh.

Semuanya baik Ki Widura," jawab Ki Waskita, "kami selamat diperjalanan. Dan keluarga di Tanah Perdikan Menorehpun selamat."

"Sukurlah," berkata Ki Widura, "sebenarnyalah Glagah Putih sudah selalu gelisah. Ada semacam dorongan untuk segera dapat bertemu dengan Agung Sedayu.

"O," Agung Sedayu mengangguk-angguk, "ada yang ingin kau bicarakan?"

"Semacam pertanggungan jawab," sahut Glagah Putih, "aku sudah selesai dengan tuntunan Ilmu di goa itu."

Agung Sedanyu mengerutkan keningnya. Dengan ragu-ragu ia bertanya, "Kau sudah benar-benar selesai?"

"Ya. Tentu saja sampai tingkat yang dapat aku capai berdasarkan atas tanda-tanda dan gambar-gambar yang ada di goa itu. Berdasarkan tuntunan laku yang pernah aku terima dari kakang Agung Sedayu. maku aku mencoba untuk mencapai tataran terakhir sampai pada batas tataran yang terhapus itu," jawab Glagah Putih lalu. "Sebaiknya kakang melihat apakah yang sudah aku tempuh itu sudah memenuhi sebagaimana seharusnya."

"Nanti sajalah," potong Ki Widura, "kakakmu baru saja duduk. Biarlah ia minum dahulu barang seteguk."

"Baiklah," desis Glagah Putih sambil mengangguk-angguk. Lalu, "Sebaiknya aku menyediakan minuman lebih dahulu."

Ketika Glagah Putih kemudian masuk kedalam, dan perwira telah hadir pula dipendapa itu. Keduanya telah mengenal Agung Sedayu dengan baik.

"Kami telah menumpang berteduh di padepokan ini," berkata salah seorang perwira.

"Silahkan," sahut Agung Sedayu, "bahkan kami mengucapkan terima kasih atas kesediaan beberapa orang prajurit untuk tinggal di padepokan kecil yang kosong ini."

"Rumah Ki Untara sudah terlalu penuh," berkata perwira itu.

"Padepokan ini mempunyai ruang yang cukup," berkata Agung Sedayu kemudian. Namun tiba-tiba ia bertanya, "Dimana Sabungsari?"

"Ia sedang dalam tugas. Tetapi lewat tengah hari ia akan datang. Iapun berada disini pula bersama kami," jawab perwira itu.

Agung Sedayu mengangguk-angguk. Sementara itu Glagah Putih telah datang dengan minuman hangat dan beberapa potong makanan.

Dalam pada itu. kedua orang perwira itupun telah minta diri untuk pergi ke Jati Anom, karena merekapun akan segera bertugas.

Dalam pada itu, setelah minum beberapa teguk dan berbicara beberapa hal tentang pasukan khusus yang dibentuk oleh Mataram di Tanah Perdikan Menoreh, maka sekali lagi Glagah Putih berkata, "Kakang, apakah kakang sudah cukup beristirahat?"

Agung Sedayu tersenyum. Katanya, "Baiklah. Marilah kita lihat, apa yang telah kau capai selama ini?"

"Kau tidak cukup sabar, Glagah Putih." berkata Ki Widura.

"Biarlah sekarang paman," berkata Agung Sedayu, "nanti aku terpaksa kembali ke Tanah Perdikan Menoreh. karena aku berjanji untuk bermalam hanya satu malam."

"Ah, "desis Ki Widura, "kau dapat bermalam satu malam lagi. Kau tidak akan terikat sekali kepada paugeran sebagaimana anak-anak muda yang menjadi anggauta pasukan khusus itu."

Agung Sedayu termangu-mangu sejenak. Namun demikian katanya, "Aku akan mempertimbangkannya. Tetapi biarlah Glagah Putih masuk kesanggar sekarang."

Ternyata bahwa Ki Waskita dan Ki Widurapun ikut pula masuk kedalam sanggar. Merekapun ingin melihat. apa yang akan dilakukan oleh Agung Sedayu untuk menilai Glagah Putih.

Demikianlah sejenak kemudian merekapun telah berada didalam sanggar. Glagah Putih telah bersiap-siap untuk menunjukkan, sejauh mana ia telah mencapai kemajuan sepeninggal Agung Sedayu. Sementara Agung Sedayu memperhatikannya dengan saksama.

Glagah Putih kemudian sudah memulainya, untuk memanaskan badannya ia mulai dengan gerak-gerak yang sederhana. Gerak tangan dan loncatan-loncatan sekedar untuk membuka gerakan-gerakan yang lebih rumit dan cepat.

Ketika terasa tubuhnya menjadi hangat maka mulailah Glagah Putih menunjukkan kemampuannya yang sebenarnya. Semakin lama semakin meningkat. Semakin cepat dan semakin keras.

Agung Sedayu memperhatikannya dengan sungguh-sungguh ia mulai disentuh oleh perasaan heran. Ternyata Glagah Putih telah maju dengan sangat pesat, ia sudah menguasai semua unsur gerak dan Ilmu yang diturunkan kepadanya lewat Agung Sedayu dan lewat gambar dan lambang-lambang pada dinding goa itu.

"Bukan main," desis Agung Sedayu didalam hatinya, "kemauan yang benar-benar telah membakar gairah dan usahanya. Ia berhasil. Jauh lebih cepat dari yang aku duga."

Sebenarnyalah Glagah Putih telah menunjukkan kemampuannya yang sangat besar. Kakinya berloncatan dengan ringan dan tangkas. Tangannya bergerak dengan cepat, seolah-olah Glagah Putih memiliki seribu pasang tangan yang mampu melakukan apa saja dalam tata gerak ilmunya yang dahsyat.

Ki Waskita menarik nafas dalam-dalam. Ia melihat bukan saja kemajuan Glagah Putih yang masih sangat muda itu. Tetapi iapun melihat kedahsyatan ilmu yang tumurun dari Ki Sadewa. Pada dasarnya ilmu itu adalah ilmu yang mengagumkan.

Demikianlah, maka Glagah Putih benar-benar telah menunjukkan, bahwa ia telah menguasai ilmu yang terlukis pada dinding goa dan urutan yang pertama sampai urutan yang terakhir menjelang bagian yang terhapus pada saat Agung Sedayu berada di dalam goa itu. Bahkan Agung Sedayu telah melihat, dalam beberapa hal. Glagah Putih telah mampu mengembangkan tata gerak yang dipelajarinya pada pahatan didinding goa itu. Sehingga dengan demikian maka nampak betapa jiwa anak muda itu hidup dan trampil menanggapi perkembangan ilmunya.

Agung Sedayu mengangguk-angguk sambil mengikuti gerak Glagah Putih. Sebenarnyalah yang dicapai oleh anak itu telah melampaui dugaannya. Sehingga dengan demikian Agung Sedayu dapat menjajagi. bahwa Glagah Putih memang seorang anak muda yang pinunjul Ing apapak. Anak muda yang memiliki kelebihan dari anak muda kebanyakan.

Beberapa saat kemudian. maka Glagah Putihpun mulai mengendurkan tata geraknya setelah ia mencapai puncak kemampuannya. Perlahan-lahan, sehingga akhirnya ia berhenti sama sekali.

Dengan tubuh yang basah oleh keringat Glagah Putih berdiri tegak menghadap Agung Sedayu yang masih saja terpukau oleh kemajuan yang dicapai oleh adik sepupunya itu.

"Bagaimana menurut pendapatmu kakang?" bertanya Glagah Putih.

Agung Sedayu menarik nafas dalam-dalam. Sebenarnyalah ia mengagumi kemampuan anak itu. Tetapi ia tidak ingin menyesatkan tanggapan Glagah Putih. Karena itu maka katanya, "Ternyata kau mempelajarinya dengan tekun Glagah Putih. Kau sudah memiliki dasar ilmu dari perguruan Ki Sadewa. Tetapi yang kau kuasai baru dasarnya saja. Aku sudah melihat, kau berhasil mengembangkan beberapa bagian. tetapi masih dalam batas-batas yang sempit. Tetapi itu tidak apa. Mungkin orang lain sama sekali belum dapat berbuat seperti yang kau lakukan sekarang."

Glagah Putih berdiri tegak sambil memperhatikan pendapat Agung Sedayu. Sebenarnyalah bahwa Agung Sedayu memujinya. Tetapi tidak berlebih-lebihan sehingga dengan demikian, meskipun Glagah Putih menjadi bangga, tetapi ia tidak kehilangan pengakuan, bahwa sebenarnyalah yang dikuasainya itu baru sebagian saja dari bekal yang harus dimilikinya, apabila pada suatu saat sengaja atau tidak sengaja ia akan terseret kedalam petualangan di dunia oleh kanuragan.

"Karena itu Glagah Putih," berkata Agung Sedayu kemudian, "masih banyak yang harus kau lakukan. Kau harus memahami yang telah kau pelajari itu sebaik-baiknya. Kau harus mengenal watak setiap unsur gerak dari ilmumu itu. Meskipun demikian, kau masih harus tetap dalam satu kesadaran, bahwa kau tidak akan dapat memaksa dirimu sendiri melampaui batas kemampuanmu. Sebenarnyalah bahwa yang dapat dicapai oleh seseorang hanyalah sebutir debu di pantai yang luas. Karena itu kau harus selalu mengingat betapa tingginya langit dan betapa luasnya lautan. Dengan demikian kau akan selalu teringat betapa kecilnya kita dihadapan Yang Maha Pencipta.

Glagah Putih menarik nafas dalam-dalam. Perlahan-lahan ia mengangkat wajahnya, memandangi Agung Sedayu dan Ki Waskita berganti-ganti.

Dua orang yang berdiri dihadapannya itu adalah contoh yang paling dekat, bahwa sebenarnyalah betapa tinggi Ilmu seseorang. namun mereka akan tetap merasa dirinya kecil. Meskipun demikian, sebagaimana dikatakan oleh Agung Sedayu. bahwa masih banyak yang harus dikerjakan. Dan Glagah Putihpun mengerti bahwa ia masih harus bekerja keras. Berusaha. Namun dengan pengenalan diri. betapa terbatasnya kemampuan yang dapat dicapainya.

Dalam pada itu. selagi Glagah Putih sedang merenungi kata-kata Agung Sedayu. maka Agung Sedayupun berkata selanjutnya, "Nah. Glagah Putih. Aku sudah melihat bagaimana kau mempertunjukkan kemampuanmu dalam penguasaan ilmu dasar dari perguruan Ki Sadewa. Sekarang, aku ingin melihat, bagaimana kau mengetrapkan ilmumu dalam benturan Ilmu."

Glagah Putih mengerutkan keningnya. Namun kemudian katanya, "Baiklah kakang. Mudah-mudahan aku tidak terlalu mengecewakan."

Agung Sedayupun kemudian menyingsingkan baju dan kain panjangnya. Kepada Ki Waskita dan Ki Widura ia berkata, "Aku mohon paman berdua sempat mengawasinya. Karena aku terlibat langsung, maka agaknya paman berdua akan dapat lebih jelas melihat, apa yang dapat dilakukan oleh Glagah Putih."

"Aku akan mencoba," berkata Ki Waskita. Namun Ki Widura menyahut, "Mungkin kemampuanku telah tertinggal jauh. Tetapi biarlah aku mencobanya pula."

Agung Srdayu tersenyum. Tetapi ia tidak menjawab.

Sejenak kemudian maka Agung Sedayu dan Glagah Putihpun telah bersiap. Beberapa langkah mereka bergeser berputaran. Namun Agung Sedayulah yang lebih dahulu membuka serangan.

Serangan itu masih belum berarti, Glagah Putih bergeser selangkah kesamping. Namun demikian ia tegak, maka Glagah Putihlah yang kemudian meloncat menyerang.

Demikianlah merekapun kemudian bergerak semakin lama semakin cepat. Mereka saling menyerang berganti-ganti. Glagah Putih ternyata berhasil menyusun unsur-unsur gerak yang telah dikuasainya dalam satu rangkaian yang mapan, sehingga dalam perkelahian yang sebenarnya, perkembangan ilmu itu menjadi lebih nampak.

Dalam pada itu, Agung Sedayu yang ingin menjajagi batas kemampuan Glagah Putih telah menyerangnya dengan cepat. Ternyata ia seolah-olah telah bertempur dengan sungguh-sungguh. Dengan demikian maka Glagah Putihpun telah mengerahkan segenap kemampuannya dalam lambaran Ilmu dari perguruan Ki Sadewa.

Pertempuran itu semakin lama menjadi semakin cepat. Tangan Agung Sedayupun telah mulai mengenai Glagah Putih. Bahkan oleh satu dorongan yang kuat dari arah yang tidak disangka. Glagah Putih sudah terlempar jatuh. Namun setelah sekali berguling, ia sempat melenting berdiri dan bersiap menghadapi segala kemunkinan.

Tetapi serangan Agung Sedayu datangnya terlalu cepat sehingga sekali lagi ia terdorong kesamping. Namun dengan loncatan panjang ia berhasil menguasai keseimbangannya yang goncang.

Latihan yang nampaknya seakan-akan perkelahian yang sesungguhnya itu menjadi semakin cepat. Mula-mula Agung Sedayu mempergunakan cabang ilmu yang sama yang telah dikuasainya pula.

Dengan demikian, maka dalam beberapa hal Glagah Putih mampu menebak gerak lawan berlatihnya, meski pun kadang-kadang ia harus mengakui bahwa Ilmu itu telah berkembang didalam ungkapannya, sehingga beberapa kali ia salah hitung. Karena itu. maka beberapa kali pula ia harus menyeringai menahan sakit dan bahkan dorongan-dorongan yang kuat hampir saja membantingnya dilantai sanggar itu.

Namun semakin lama tata gerak Agung Sedayu menjadi semakin kabur bagi Glagah Putih. Dalam beberapa hal ia tidak mengenal sama sekali unsur-unsur gerak yang dipergunakan oleh Agung Sedayu. Namun ia harus melawannya dengan ilmu yang telah dikuasainya.

Glagah Putihpun kemudian sadar, bahwa dalam perkelahian yang sebenarnya, lawannya justru mempunyai ilmu yang berbeda. Jarang sekali terjadi benturan antara mereka yang memiliki ilmu yang bersumber dari perguruan yang sama, meskipun hal yang demikian itu dapat saja terjadi pada suatu keadaan tertentu.

Dengan perubahan yang terjadi pada perlawanan Agung Sedayu. maka latihan yang keras itu menjadi semakin keras dan cepat. Seolah-olah keduanya benar-benar telah bertempur dengan segenap kemampuannya.

Semakin lama gerak Agung Sedayupun menjadi semakin cepat. Serangannya datang dari segala arah pada setiap saat. Namun Glagah Putih benar-benar telah memiliki ketrampilan yang tinggi. Ia mampu mengimbangi kecepatan gerak Agung Sedayu. Bahkan ketika Glagah Putih teldah mengerahkan tenaga cadangannya sesuai dengan tuntunan yang diberikan oleh Agung Sedayu dan dimatangkan oleh lambang-lambang ilmu yang terdapat didalam goa. maka Agung Sedayu justru menjadi semakin mengaguminya.

Namun dalam pada itu. akhirnya kemampuan Glagah Putihpun sampai kepada batasnya. Batas tingkat ilmunya dan kemudian batas kemampuan wadagnya. Karena itulah, setelah perlawanan Glagah Putih mencapai puncaknya. maka terasa perlawanannya mulai susut.

Agung Sedayu tidak lagi sempat mengingat waktu. Karena itu. ia tidak menyadari, bahwa latihan itu sudah berlangsung cukup lama sehingga matahari justru telah turun ke Barat.

Sementara itu, ternyata bahwa dengan mengerahkan segenap kemampuan dan kekuatannya, maka Glagah Putihpun menjadi terlalu cepat letih. Untuk menghadapi serangan Agung Sedayu yang bagaikan serangan yang sebenarnya, yang benar-benar menyakiti tubuhnya, maka Glagah Putih telah memeras segenap tenaganya.

Balas

On 3 Juli 2009 at 19:43 Panembahan Emprit said:



Kitab 151-6 Habis

Karena itu. ketika sanggar itu menjadi semakin suram. Agung Sedayupun mulai mengurangi tekanannya. Perlahan-lahan meskipun sekali-sekali ia masih menyakiti Glagah Putih, tetapi terasa bahwa Agung Sedayu telah hampir mengakhiri penjajagannya.

Glagah Putih masih tetap bertahan dengan sisa kekuatan dan kemampuannya. Namun tata geraknya mulai goyah dari polanya. Justru karena ia telah menjadi semakin letih.

Akhirnya Agung Sedayu yang melihat keadaan Glagah Putih itupun mengakhiri serangan serangannya, iapun kemudian meloncat menjauh sambil memberikan isyarat, bahwa latihan dan penjajagan itu sudah cukup.

Glagah Putih berdiri termangu-mangu. Nafasnya terengah-engah, sedangkan keringatnya bagaikan terperas dari tubuhnya.

"Cukup Glagah Putih," berkata Agung Sedayu.

Glagah Putih memandang Agung Sedayu dengan heran. Seolah-olah Agung Sedayu itu sama sekali tidak merasakan letih meskipun nampaknya iapun telah bergerak dengan cepat dan keras. Berloncatan dan berputaran. Menyerang dan sekali-sekali menghindar serangan. Rasa-rasanya Agung Sedayu masih tetap segar seperti pada saat ia memasuki sanggar. Seandainya ia tidak mengalami kesulitan apapun dalam penjajagan itu. namun ia telah bergerak dalam tata gerak yang cepat, tangkas dan keras, untuk waktu yang cukup lama.

Dalam pada itu. Agung Sedayu yang tersenyum itu pun berkata, "Kau memang memiliki kemauan yang keras dalam latihan-latihan yang kau lakukan selama ini. Kemampuanmu maju dengan pesat. Kau sudah memiliki tingkat yang cukup bagi anak-anak muda sebayamu. Bahkan kau memiliki kelebihan dari anak-anak muda kebanyakan, maksudku mereka yang mempelajari olah kanuragan untuk waktu yang sama seperti yang kau lakukan."

Glagah Putih menarik nafas dalam-dalam. Betapapun ia merasa terlalu kecil dihadapan Agung Sedayu, namun Agung Sedayu, kakak sepupunya yang menjadi gurunya itu tidak mencelanya dan nampaknya ia tidak kecewa.

Itu sudah cukup bagi Glagah Putih. Seandainya gurunya tidak memujinya, ia sudah merasa tidak menyia-nyiakan tenaga Agung Sedayu yang banyak terbuang untuk kepentingannya.

Dengan nafas yang masih berkejaran di lubang hidungnya ia berkata, "Terima kasih atas pujian itu kakang. Tetapi bagaimanakah yang sebenarnya?"

"Seperti yang aku katakan. Cukup baik, tetapi seperti yang sudah aku katakan pula. kau masih harus banyak berbuat bagi perkembangan ilmumu. Kau masih harus bekerja keras. Yang kau capai adalah tataran pertama. Masih ada banyak tataran. Bahkan tidak akan ada habisnya," berkata Agung Sedayu.

Glagah Putih mengangguk-angguk. Ia mengerti, bahwa ia tidak boleh terlalu cepat berbangga dan dengan demikian segalanya akan berhenti.

"Kembangkan Ilmu yang sudah kau kuasai sesuai dengan pengalamanmu," berkata Agung Sedayu, "pada saatnya kau harus mempelajari bagian dari ilmu itu yang terhapus. Justru puncak dari ilmu itu. Jika kau sudah menguasai puncak dari ilmu yang kau pelalari itu. maka kau sudah mempunyai bekal yang cukup. Bekalmu yang cukup Bekal untuk dikembangkan lebih jauh lagi. karena segala macam ilmu di dunia ini nampaknya berkembang terus. Meskipun ada ilmu yang tengelam dan tidak dikenal lagi. namun yang lain meningkat semakin tinggi."

Glagah Putihpun mendengarkan petunjuk-petunjuk Agung Sedayu itu dengan sungguh-sungguh. Bahkan ia justru telah berjanji kepada diri sendiri. bahwa ia ingin bekerja lebih keras untuk mengembangkan ilmu yang telah dimilikinya.

Sementara itu. maka Agung Sedayupun kemudian berkata, "Aku kira untuk kali ini sudah cukup Glagah Putih. Aku sudah mempunyai sedikit gambaran tentang tingkat ilmumu sekarang.

Glagah Putih mengangguk. Katanya, "Mudah-mudahan tidak mengecewakanmu kakang. Dan mudah-mudahan di saat-saat mendatang, aku akan dapat berbuat lebih baik bagi perkembangan ilmuku."

"Kau harus bekerja keras," jawab Agung Sedayu, "tetapi jangan memaksa diri dan berbuat melampaui batas kemampuanmu."

"Aku mengerti," jawab Glagah Putih.

Demikianlah, maka mereka berempatpun kemudian keluar dari sanggar. Agung Sedayu mengangkat wajahnya. memandang langit yang menjadi merah oleh cahaya matahari yang sudah menjadi sangat rendah.

"Kau bermalam di padepokan ini," desis Widura.

Agung Sedayu tersenyum. Katanya, "Baiklah. Tidak ada pilihan lain."

Sementara itu. maka Glagah Putihpun merasa tubuhnya menjadi nyri dan pedih. Ternyata sentuhan tangan Agung Sedayu benar-benar menyakitinya. Tetapi ia tidak mau mengeluh. Ditahankannya perasaan sakit itu sehingga keringatnya justru tidak susut karenanya.



Namun dalam pada itu. meskipun Glagah Putih tidak mengatakan sesuatu, ternyata Ki Waskita mengetahuinya. Karena itu sambil tersenyum ia berkata, "Dibagian manakah yang terasa nyeri Glagah Putih?"

Glagah Putih tidak dapat berbohong lagi. Iapun tersenyum dan menjawab, "Diseluruh tubuh paman."

Ki Waskita, Ki Widura dan Agung Sedayu tertawa.

"Belum seberapa," berkata Ki Widura, "lebih baik nyeri sekarang daripada tubuhmu koyak di pertempuran yang sebenarnya."

Glagah Putih mengerutkan keningnya. Jawabnya, "Aku mengerti ayah. Karena itu aku diam saja."

Ki Widura tertawa semakin keras. Ketika kemudian ia berpaling mengamati anaknya, nampak beberapa noda kebiru-biruan di wajahnya.

"Aku mempunyai sejenis param yang baik," berkata Ki Waskita mungkin akan dapat menolong."

"Kali ini cukup dengan param," berkata Ki Widura, "bukan sejenis obat untuk memampatkan luka."

Glagah Putih, tidak menyahut. Tetapi perasaan nyeri itu masih menyengat sampai ketulang.

Dalam pada itu. ketika mereka naik kependapa. ternyata ampat orang perwira telah berada di pendapa itu. Dengan senyum yang jernih mereka mempersilahkan Agung Sedayu dan Ki Waskita naik.

"Dari sanggar?" berkata perwira itu.

"Ya," jawab Agung Sedayu sambil duduk, "sekedar melayani Glagah Putih untuk membantu menilik kemampuannya."

Perwira-perwira itu mengangguk-angguk. Salah seorang dari mereka berkata, "Anak itu rajin sekali berlatih. Ilmunya tentu maju dengan pesat jika dinilai sejak kau meninggalkannya beberapa waktu yang lalu."

"Cukup baik," berkata Agung Sedayu, "tetapi ia memang tidak berhenti."

Sejenak kemudian. seorang cantrik telah menghidangkan minuman dan makanan. Sementara Ki Waskita berkata, "Aku akan ke pakiwan."

"Silahkan paman," jawab Agung Sedayu, "Aku akan minum dahulu.

Demikianlah bergantian Agung Sedayu dan Ki Waskita membesihkan diri dan berganti pakaian. Sementara para perwira itu nampaknya sudah tidak mempunyai tugas lagi menjelang malam hari sehingga mereka tetap berada di pendapa.

Baru setelah gelap. Sabungsari datang dari tugasnya ia menjadi sangat gembira dapat bertemu dengan Agung Sedayu dan Ki Waskita. Namun demikian Agung Sedayu tidak mengatakan kepentingannya yang sebenarnya atas kedatangannya ia hanya mengatakan bahwa ia telah merasa sangat rindu dengan padepokan kecil itu dan ia ingin menilik kemajuan ilmu Glagah Putih.

Tetapi Sabungsari tertawa. Katanya, "Kau sudah tidak lagi dapat menahan betapa rindu gejolak didalam hati. Tetapi tidak dengan padepokan ini."

"Lalu?" bertanya Agung Sedayu.

Sabungsari tertawa semakin keras. Para perwira itu pun mulai tersenyum. karena merekapun mengerti yang dimaksudkan oleh Sabungsari. Bahkan seorang dari antara mereka berkata, "Tentu Sangkal Putung."

Wajah Agung Sedayu memerah sesaat. Namun iapun kemudian tersenyum sambil berkata, "Tentu aku tidak dapat membantah."

Demikianlah pembicaraan mereka di pendapa itu menjadi meriah dengan gurau. Apalagi ketika Glagah Putih ada diantara mereka bersama ayahnya. Beberapa orang melihat noda kebiru-biruan di tubuhnya sehingga dengan tertawa Sabungsari berkata, "Apa saja yang telah dilakukan oleh Agung Sedayu? Jika aku ada, aku bantu kau membalasnya."

Glagah Putih tertawa. Katanya, "Ki Waskita sudah menyediakan obatnya."

Percakapan itu berlangsung sampai malam menjadi bertambah dalam. Baru kemudian, setelah mereka makan malam, maka masing-masing segera memasuki biliknya yang terpisah. menebar di lingkungan padepokan itu.

Namun dalam pada itu. ketika mereka sudah beristirahat barang sesaat. Agung Sedayu berkata kepada Glagah Putih, "Marilah. Aku ingin memberimu beberapa petunjuk."

Glagah Pulih termangu-mangu sejenak. Namun apa yang dilakukan oleh Agung Sedayu telah membuka nalarnya. Seolah-olah ia telah dihadapkan kepada kemungkinan-kemungkinan yang cukup banyak untuk mengembangkan llmunya bagi kepentingan yang berbeda-beda.

Karena itu, maka ketika ia mandapat kesempatan untuk melakukannya. maka iapun telah mencobanya.

Dalam beberapa hal Glagah Putih memang sudah melakukannya. Tetapi sangat terbatas dan masih sangat dekat dengan pola unsur gerak pada ilmunya. Namun dengan petunjuk yang diberikan oleh Agung Sedayu. maka kemungkinan yang dihadapinya menjadi sangat luas.

"Kau dapat belajar dari alam," berkata Agung Sedayu, "bagaimana sebatang pohon ilalang tidak roboh oleh angin."