Api di Bukit Menoreh 143

Namun dalam pada itu, datang saatnya Agung Sedayu mempergunakan kesempatan. Selagi lawannya yang merasa, bahwa anak muda itu tidak akan mampu mendekatinya, tiba-tiba saja Agung Sedayu telah menyerangnya dengan cambuknya yang menggelepar dengan dahsyatnya. Sambil meloncat mendekat, Agung Sedayu menghentakkan cambuknya mendatar menyerang lambung.

Lawannya terkejut. Namun ia masih sempat meloncat surut. Ia menganggap bahwa Agung Sedayu tidak akan berani memburunya karena udara yang panas.

Tetapi dugaannya ternyata salah. Agung Sedayu ternyata meloncat mengejarnya, tanpa menghiraukan udara yang bagaikan membakar. Ketika sekali lagi cambuknya meledak, maka terasa ujung cambuk itu memercikkan air. Justru yang terasa panas oleh Ajar Tal Pitu.

Ajar Tal Pitu terkejut. Di icobanya menghentakkan ilmunya untuk menyemburkan panas di seputarnya. Namun Agung Sedayu yang disangkanya masih dipengaruhi oleh udara yang panas itu, telah mendesaknya dengan gerakan-gerakan yang cepat dan berbahaya.

“Anak setan,“ Ajar Tal Pitu itu mengumpat. Sambil meloncat mundur ia berteriak, “Kau benar-benar memiliki ilmu iblis.”

Agung Sedayu tidak menjawab. Ia justru menyerang semakin dahsyat. Cambuknya berputaran dan sekali-sekali meledak menggetarkan darah di jantung lawannya.

Dengan demikian maka pertempuran itu telah berubah. Ajar Tal Pitu yang merasa hampir menguasai lawannya sepenuhnya, ternyata harus melihat kenyataan. Udara yang panas itu, seakan-akan tidak terasa oleh Agung Sedayu yang mengetrapkan ilmu kebalnya.

Meskipun demikian Agung Sedayu tidak melepaskan kewaspadaan. Ia masih menduga. Bahwa kemungkinan lain akan dapat terjadi. Jika lawannya masih memiliki ilmu yang lain, yang akan dapat mengejutkannya. Maka ia harus bersiap menghadapinya.

Sejenak kemudian, ternyata Agung Sedayulah yang telah berhasil mendesak lawannya. Meskipun kekebalannya masih belum sepenuhnya dapat menghindarkannya dari udara yang dibakar oleh ilmu lawannya, namun ia mampu mengatasi perasaan panas yang menembus ilmunya itu.

Dengan cambuknya yang meledak melampaui dahsyatnya ledakan cambuk gurunya, Agung Sedayu berusaha mengurung kebebasan gerak lawannya. Putaran yang cepat dan ayunan tegak, benar-benar bagaikan memagari loncatan-loncatan lawannya yang cepat.

Tetapi lawannya ternyata benar-benar seorang yang tangguh. Pedang di tangannya kadang-kadang terjulur lurus mengarah jantung. Meskipun ujung pedang itu tidak menyentuh kulitnya, tetapi rasa-rasanya jilatan api telah menyentuh tubuhnya, menembus ilmu kebalnya.

“Pedang ini sangat berbahaya,“ berkata Agung Sedayu di dalam hatinya.

Sebenarnyalah Agung Sedayupun kemudian berusaha untuk merampas pedang lawannya. Dengan tidak menghiraukan sentuhan api yang seakan-akan menyambar dari senjata lawanwa. Agung Sedayu mempergunakan ujung cambuknya untuk mengejar tangan lawannya yang menggenggam pedang.

“Anak ini memang gila,“ geram Ajar Tal Pitu yang kemudian telah terdesak.

Perubahan keseimbangan itupun dapat dilihat pula oleh orang-orang Jati Anom yang lain. Kiai Gringsing telah menarik nafas dalam-dalam. Kegelisahannya bagaikan larut oleh curahan air hujan dari langit. Sementara Ki Waskita jantungnya tidak lagi terasa berdentangan di dalam dadanya. Untara dan Widurapun melihat, bahwa Agung Sedayu telah berhasil menguasai keadaan. Bahkan Kiai Gringsing merasa bahwa jika perlu, Agung Sedayu masih akan mampu meningkatkan perlawanannya karena ia masih belum mempergunakan salah satu ilmunya yang dahsyat, ilmu yang memancar pada sorot matanya.

Namun dalam pada itu, timbul pertanyaan pada Kiai Gringsing, “Kenapa ia tidak mempergunakannya ?”

Sebenarnyalah, pada saat-saat sebelumnya. Agung Sedayu tidak mempunyai kesempatan untuk melakukannya. Jika ia berusaha untuk memaksa diri, memusatkan kemampuannya untuk melepaskan ilmunya, maka tubuhnya tentu akan menjadi hangus karena panasnya ilmu lawannya sebelum ia sempat meremas jantung lawannya. Namun dengan mengetrapkan ilmu kebalnya, maka meskipun sesaat tubuhnya bagaikan membara, namun demikian ia berhasil mengetrapkan ilmunya, tubuhnya justru terasa menjadi semakin dingin.

Karena itu, setelah ia dapat mengatasi udara panas di seputarnya, maka memang timbul niatnya untuk sekaligus menghancurkan pertahanan lawannya dengan ilmunya yang mendebarkan.

Ternyata dalam pada itu. Sabungsari yang bertempur melawan tiga orang sekaligus itupun mulai mempertimbangkan untuk melakukannya. Ternyata ia tidak setangkas Agung Sedayu dengan cambuknya dalam lambaran ilmu yang telah luluh di dalam dirinya. Karena itu, untuk dengan cepat mengatasi ketiga orang lawannya, maka Sabungsari mulai memperhitungkan untuk mempergunakan ilmunya yang mirip dengan ilmu Agung Sedayu namun dalam tataran yang semakin ketinggalan.

Namun dalam pada itu. Agung Sedayu yang telah mulai mempertimbangkan untuk melepaskan ilmunya yang serupa, mulai diganggu oleh kemampuan lain dari Ajar Tal Pitu. Karena ia tidak mampu lagi mempengaruhi anak muda itu dengan ilmunya yang mampu membakar udara, maka Ajar Tal Pitu itu mulai dengan serangan-serangannya yang lain yang tidak kalah dahsyatnya.

Dalam keadaan yang gawat bagi Ajar Tal Pitu itu, maka mulailah ia menyebut nama dirinya. Berbeda dengan kemampuan Ki Waskita yang dapat menciptakan ujud dan peristiwa semu, maka Ajar Tal Pitu itu seakan-akan dapat melakukan sesuatu yang tidak masuk akal dengan wadagnya.

Namun Agung Sedayu sudah memperhitungkannya. Pisau-pisau kecil itu tentu bukan tidak berarti dalam keadaan yang sulit.

Ternyata bahwa Ajar Tal Pitu itu memiliki kemampuan bergerak dengan kecepatan yang sulit untuk dimengerti. Seperti yang dikatakannya, ia dalam sekejap dapat melontarkan beberapa buah pisau beruntun. Susul menyusul seperti pancaran air.

Tetapi sebagaimana Ajar Tal Pitu dapat melakukannya, maka Agung Sedayupun dapat melakukan sesuatu yang sulit dimengerti pula oleh Ajar Tal Pitu. Demikian tangan Ajar Tal Pitu itu mulai melepaskan pisau-pisaunya, maka ujung cambuk Agung Sedayupun mulai menggelepar, seakan-akan telah berubah menjadi cambuk yang berjuntai bercabang-cabang yang mampu bergerak sendiri-sendiri memungut pisau-pisau kecil yang begitu terlepas dari tangan lawannya.

“Iblis, gendruwo, thethekan,“ Ajar Tal Pitu itu mengumpat-umpat. Ternyata anak muda itu benar-benar menguasai medan. Ia tidak hanya sekedar dapat menjadi sasaran pengamatannya. Tetapi anak muda itu benar-benar mampu mengimbangi ilmunya.

Karena itulah, maka Ajar Tal Pitu itu menjadi bagaikan telah kepanjingan. Kemarahannya benar-benar tidak terbendung lagi. Tangan kirinya yang mampu bergerak, seperti tangan kanannya, telah menggenggam pedangnya. Kemudian sekali lagi dari tangannya menghambur beberapa buah pisau. Namun yang sekali lagi pisau-pisau itupun telah terpelanting karena sentuhan ujung cambuk Agung Sedayu demikian pisau itu lepas dari tangan.

Namun Ajar Tal Pitu masih belum puas. Iapun tiba-tiba saja telah meloncat surut. Di isarungkannya pedangnya. Kemudian kedua belah tangannya telah bergerak bersama-sama melontarkan pisau-pisau kecil yang bagaikan tidak habis-habisnya itu.

Tetapi sekali lagi Ajar Tal Pitu kecewa. Ujung cambuk Agung Sedayu berputar dengan cepatnya, sehingga seolah-olah telah berubah menjadi sebuah perisai yang bulat dan tidak tertembus oleh lontaran-lontaran pisaunya dari kedua belah tangannya.

Sekali lagi Ajar Tal Pitu mengumpat-umpat. Ia harus mengakui kenyataan yang dihadapinya. Seorang anak yang masih muda, namun yang memiliki ilmu yang tiada taranya.

Ajar Tal Pitu yang sudah menjajagi kemampuan Agung Sedayu dengan ilmunya yang wadag maupun yang halus, menyadari bahwa anak muda itu mampu mengatasinya.

Karena itu, maka Ajar Tal Pitu itupun tidak mempunyai pilihan lain kecuali mempergunakan ilmunya yang terakhir. Ilmu yang jarang ada bandingnya, karena untuk menguasai ilmu itu diperlukan syarat yang sangat berat, yang hanya satu dua orang sajalah yang akan mampu melakukannya meskipun banyak orang yang berusaha.

Dalam keadaan yang pahit menghadapi anak muda yang bernama Agung Sedayu itu, tiba-tiba saja Ajar Tal Pitu meloncat jauh surut. Ia memang berusaha untuk mengambil jarak, agar ia mampu mengetrapkan ilmunya.

Agung Sedayu yang melihat lawannya mengambil jarak, tertegun sejenak. Ketajaman panggraitanya sudah menangkap, bahwa lawannya akan mengetrapkan ilmu yang terakhir karena usahanya dengan ilmu yang masih belum dimengertinya, apakah Gelap Ngampar atau Sangga di ahana, namun yang dapat di atasinya dengan ilmu kebalnya. Kemudian dengan kecepatan gerak wadagnya dengan lontaran-lontaran pisau yang mampu pula diimbanginya.

Dalam pada itu, seperti diduga oleh Agung Sedayu, Ajar Tal Pitu itupun berdiri tegak sambil menyilangkan tangannya. Hanya sekejap.

Dalam pada itu Agung Sedayu terkejut melihat Ajar Tal Pitu itupun seolah-olah mekar dan tumbuh dari dirinya, ujud yang serupa benar dengan dirinya dalam sikap yang sama. Seorang di sebelah kiri dan seorang di sebelah kanan.

“Bukan main,” geram Agung Sedayu, “Inilah ilmu Kakang Pembareb dan Adi Wuragil.”

Sekejap Agung Sedayu justru terpukau oleh ujud itu. Dan iapun pernah mendengar akan kemampuan ilmu itu. Dengan demikian ia benar-benar berhadapan dengan kelipatan tiga dari kemampuan lawannya, karena kedua ujud itu akan mampu melakukan seperti apa yang dilakukan oleh Ajar Tal Pitu itu sendiri. Mereka tidak hanya ujud semu yang dapat membingungkan. Tetapi ilmu itu memiliki kelebihan dari ujud-ujud dan peristiwa-peristiwa semu karena ujud-ujud itu benar-benar akan mampu berbuat sesuatu dengan akibat kewadagan. Ujud-ujud itu akan dapat berdiri pada jarak terpisah dan bersama-sama melontarkan pisau-pisaunya. Jika pisau-pisau itu mengenainya, maka pisau-pisau itu mempunyai akibat yang sama dari pisau Ajar Tal Pitu yang sewajarnya.

Agung Sedayu sejenak menjadi ragu-ragu. Ilmu yang manakah yang paling baik dipergunakan untuk melawan kemampuan lawannya yang ternyata sangat menggetarkan jantung itu.

“Apakah ilmu kebal yang masih belum mapan ini akan dapat melawan kekuatan daya lontar tangan Ajar Tal Pitu ?“ pertanyaan itu tumbuh di hati Agung Sedayu. Untuk melawan seorang Ajar Tal Pitu ia mampu memungut pisau-pisau itu seolah-olah langsung dari tangannya. Tetapi untuk melawan tiga orang Ajar Tal Pitu yang mampu bergerak dengan kecepatan yang sama, maka ia akan mengalami kesulitan.

Dalam pada itu. Bukan saja Agung Sedayu yang menjadi berdebar-debar melihat ilmu lawannya. Namun orang-orang lain yang hadir di arena pertempuran itupun menjadi gelisah. Jika semula mereka merasa, bahwa Agung Sedayu akan dapat menguasai keadaan, maka mereka mulai ragu-ragu kembali. Bahkan mereka mulai dibayangi oleh kekhawatiran.

Ki Pringgajaya yang kemudian menyebut dirinya Ki Partasanjaya itupun menjadi berdebar-debar. Di luar sadarnya iapun berdesis, “Kakang Pembarep dan Adi Wuragil. Jarang orang yang dapat melawannya. Ternyata iblis Tal Pitu itu memiliki ilmu yang dahsyat itu.”

Dalam pada itu, Ki Waskitapun menjadi sangat cemas. Ia tidak akan mampu membantu Agung Sedayu dengan ujud-ujud semunya, karena ketiga ujud Ajar Tal Pitu dalam ilmunya yang dahsyat itu memiliki ketajaman penglihatan yang sama, sehingga ketiganya akan dapat dengan mudah membedakan ujud-ujud semu dan ujud sebenarnya.

Namun dalam pada itu. Agung Sedayu tidak akan menyerah terhadap kenyataan itu. Apapun yang terjadi, ia harus melawannya dengan ilmu yang ada padanya.

Karena itu. Agung Sedayupun mulai mempertimbangkan segala kemungkinan. Perlahan-lahan ia tidak akan melepaskan ilmu kebal yang sudah ditrapkannya, agar ia tidak terbakar oleh ilmu Gelap Ngampar atau Sangga di ahana yang akan menjadi berlipat. Bahkan ia ingin mencoba untuk mengetahui, apakah ilmu kebalnya cukup kuat untuk melawan lontaran pisau Ajar Tal Pitu dalam ujud yang manapun juga. Baru kemudian ia akan menentukan cara yang lain yang akan dapat dipergunakannya untuk melawan ketiganya.

Namun dalam pada itu, satu hal yang justru dapat menjadi petunjuk bagi Agung Sedayu. Ketika ketiga ujud Ajar Tal Pitu itu mulai bergerak, maka merekapun berusaha untuk membaurkan diri, sehingga dengan demikian lawannya akan sulit untuk mengetahui, yang manakah Ajar Tal Pitu yang sebenarnya, dan yang manakah ujud-ujud yang hadir kemudian karena kemampuan ilmunya.

Sementara itu, Kiai Gringsing yang gelisah berdesis di dalam hatinya, “Jadi inikah Ajar Tal Pitu itu ?”

Ternyata ilmu yang terakhir dari Ajar Tal Pitu itu telah memperkenalkan orang itu kepada Kiai Gringsing, atau jika bukan Ajar Tal Pitu itu sendiri, juga perguruannya, karena Kiai Gringsing juga pernah mengenal jenis ilmu itu. Sehingga dengan demikian, maka Agung Sedayupun pernah mendengarnya pula dari Kiai Gringsing dan juga dari Ki Waskita, karena keduanya merasa perlu untuk memperkenalkan Agung Sedayu dengan jenis-jenis ilmu untuk melengkapi pengalamannya.

Justru karena itulah, maka Kiai Gringsing benar-benar menjadi gelisah. Karena sebenenarnyalah ilmu itu memiliki kemampuan tiada taranya. Seakan-akan orang yang memiliki ilmu itu akan dapat melipatkan kemampuannya menjadi tiga kali, seperti ujud yang kemudian nampak seolah-olah menjadi tiga orang.

Namun dalam pada itu, Agung sedayu yang telah basah oleh keringatnya di bawah curahan air hujan itu. Seakan-akan telah memanaskan darahnya. Karena itulah, maka rasa-rasanya segalanya telah berjalan lancar di dalam dirinya. Demikianlah dengan ilmu-ilmunya. Ia hanya memerlukan waktu sekejap untuk mengetrapkan ilmu yang pernah dipelajarinya dengan caranya.

Usaha ketiga ujud lawannya untuk membaurkan diri ternyata telah menjadi petunjuk bagi Agung Sedayu, bahwa ketiga ujud itu menganggap perlu untuk menyembunyikan siapakah yang asli di antara mereka. Dengan demikian, maka Agung Sedayu harus berusaha untuk dapat menemukannya.

Dalam pada itu, ketika ketiga orang lawannya mulai menyerangnya, maka Agung Sedayu mulai mencoba, apakah lontaran-lontaran pisau dari lawannya itu dapat ditangkisnya dengan ilmu kebalnya, seperti panas yang mereka lontarkan.

Ketika pisau meluncur menyambarnya, maka Agung Sedayupun berusaha menangkis dan kadang-kadang, karena datang dari tiga arah, ia harus berloncatan menghindar. Namun dengan hati-hati ia telah dengan sengaja berusaha untuk menyentuh satu dari pisau-pisau itu dengan lengannya, yang telah dilambarinya dengan ilmu kebalnya.

Ternyata bahwa Agung Sedayu berhasil menyelamatkan kulitnya. Namun ia dapat merasa hentakkan pada bagian dalam tubuhnya, meskipun tidak terlalu keras.

Agung Sedayu menarik nafas dalam-dalam. Dengan demikian, maka ia mengerti, bahwa ilmunya yang telah meningkat itu mampu melindunginya, meskipun tidak mutlak, sehingga ia masih harus berusaha untuk menghindari sejauh mungkin sentuhan-sentuhan pisau-pisau kecil yang terlontar seperti derasnya hujan dari langit.

“Tanpa ilmu ini, aku akan menjadi lumat,“ desis Agung Sedayu.

Sementara itu, ternyata Ajar Tal Pitu itupun melihat, bahwa pisau-pisaunya tidak dapat melukai Agung Sedayu meskipun pada lontaran-lontarannya dapat dilihat dengan pasti, bahwa pisau itu telah menyentuh tubuh anak muda itu. Karena itu, maka iapun menggeram. “Kau memiliki ilmu kebal anak muda. Tetapi jangan terlalu bangga dengan ilmu itu. Aku mengerti watak dari ilmu kebal. Meskipun kulitmu tidak terluka, tetapi daging dan tulangmu akan dapat diremukkan oleh ujung-ujung pisauku yang nampaknya tidak melukai kulitmu.”

Agung Sedayu menggeram. Yang dikatakan oleh Ajar Tal Pitu itu memang benar. Kulitnya tidak terluka. Tetapi setiap sentuhan pisau yang dilemparkan dengan kekuatan yang tiada taranya itu memang terasa nyeri pada daging dan tulangnya.

Karena itu, maka Agung Sedayu harus mengambil sikap. Ia tidak akan dapat menangkis dan menghindari semua pisau yang terlontar tidak henti-hentinya, seakan-akan pisau itu tidak akan dapat habis dari persediaan ketiga ujud lawannya.

“Selagi aku masih dapat menahan diri dari patukan pisau-pisau itu,“ berkata Agung Sedayu.

Sejenak kemudian, maka Agung Sedayu itupun meloncat menjauhi lawannya. Sejenak ia berdiri tegak. Kemudian, rasa-rasanya airpun mulai menyibak dari wajahnya. Dan sorot matanyapun mulai menyala.

Agung Sedayu telah mempergunakan sorot matanya untuk melawan ketiga ujud Ajar Tal Pitu yang mengerikan itu.

Bersamaan dengan itu, ternyata Sabungsaripun telah memutuskan untuk melakukan hal yang serupa melawan ketiga orang pengikut Ki Pringgajaya. Ia ingin dengan cepat menyelesaikan perlawanannya, karena iapun menjadi cemas melihat nasib Agung Sedayu menghadapi ilmu lawannya yang sangat dahsyat itu.

Berbeda dengan Sabungsari yang dapat memilih lawan yang manapun juga sebagai sasarannya. Agung Sedayu harus menemukan Ajar Tal Pitu yang sebenarnya di antara ketiga lawannya. Baru dengan demikian ia dapat memadamkan sumber ilmu lawannya yang dahsyat itu, sehingga ilmu itu akan dapat kehilangan kekuatannya.

Namun dalam pada itu, Sabungsaripun ternyata tidak semudah yang diduganya untuk membinasakan lawannya. Sabungsari tidak memiliki ilmu kebal sebagaimana Agung Sedayu. Karena itu. Maka ia harus membuat perhitungan yang sangat cermat menghadapi ketiga lawannya. Sehingga serangan-serangannyapun harus disesuaikan dengan kedudukan ketiga orang lawannya.

Tetapi pada dasarnya Sabungsari memiliki jenis ilmu yang melampaui kemampuan lawannya. Meskipun ia harus berusaha mengambil jarak, namun demikian ia berhasil, maka iapun telah meluncurkan serangan lewat sorot matanya. Meskipun hanya sepintas, karena Sabungsari harus menghindari serangan lawannya yang lain, namun yang sepintas itu telah menyusut tenaga dan kemampuan lawannya.

Dengan demikian, ketika Sabungsari mengulanginya dengan seleret serangan menyentuh lawannya, maka kemampuan lawannya itupun mulai terasa semakin lemah, karena yang seleret sentuhan serangan dari sorot mata anak muda itu seakan-akan telah meremas isi dada.

Karena itulah, maka dengan pasti, Sabungsari akan dapat mengalahkan lawannya meskipun perlahan-lahan.

Glagah Putih ternyata tidak sia-sia menempa dirinya dengan sungguh-sungguh di padepokan. Meskipun ia masih sangat muda, tetapi ternyata bahwa ia telah mempunyai kemampuan melampaui lawannya yang garang, sehingga dengan demikian, maka iapun telah mendesak lawannya itu.

Dalam pada itu. Agung Sedayupun harus mengambil sikap yang tepat untuk tidak terjerumus ke dalam kesulitan menghadapi ilmu lawannya.

Namun Agung Sedayu yang dilindungi oleh ilmu kebalnya itupun. Mencoba untuk membuat perhitungan. Ia harus mencari satu di antara ketiga orang lawannya itu. Ajar Tal Pitu yang sebenarnya. Tetapi iapun sadar, bahwa dalam pada itu. lawannya tentu akan menyerangnya dengan kemampuan yang tiada taranya itu. Ketiganya tentu akan membakarnya dengan panas yang dapat dipancurkan lewat ilmunya dan lontaran-lontaran pisau-pisau kecil dengan ketrampilan tangannya dan kekuatan daya lontar yang luar biasa.

Setelah beberapa kali Agung Sedayu dikenai oleh pisau-pisau kecil lawannya di dalam selubung ilmu kebalnya, maka akhirnya ia memutuskan untuk melakukan bagian yang paling berbahaya dari benturan ilmu yang garang itu. Meskipun ia akan merasa sakit dan panas, tetapi jauh lebih ringan dari rasa sakit dan nyeri itu sendiri karena ia memiliki ilmu kebal. Sementara itu, ia haras dapat mencari dan menemukan Ajar Tal Pitu yang sebenarnya. Agung Sedayupun sadar, bahwa ia harus berpacu dengan waktu. Jika ia terlambat, maka akibatnya akan parah baginya.

Atas dasar perhitungan itulah, maka sorot matanya yang mulai menyalakan ilmunya itupun mulai memancar ke arah lawannya. Sambil berdiri tegak dengan tangan bersilang, ia memandang dengan lontaran ilmunya yang dahsyat lewat sorot matanya.

Serangannya itu diarahkan kepada salah seorang ujud Ajar Tal Pitu yang seakan-akan paling garang di antara ketiga ujud itu. Ujud yang paling dekat berdiri di sebelahnya dengan lontaran-lontaran pisau yang seakan-akan tidak terhitung jumlahnya.

Dalam pada itu, Agung Sedayu telah melepaskan usahanya untuk menghindar dan menangkis serangan-serangan itu, karena ia sedang memusatkan kemamputan lahir batin pada ilmu kebalnya dan pada serangan lewat sorot matanya.

Sejenak kemudian, barulah Agung Sedayu menyadari, bahwa ia telah menyerang ujud yang salah. Ajar Tal Pitu itu seakan-akan tidak merasa sama sekali sentuhan serangan sorot matanya. Bahkan ujud itu berdiri semakin dekat dan melontarkan pisaunya pada jarak yang sangat pendek, sehingga lontaran itu benar-benar terasa sakit oleh Agung Sedayu yang dilindungi oleh ilmu kebal itu, meskipun pisau-pisau itu tidak menembus kulitnya.

Menyadari kesalahan itu, maka Agung Sedayupun telah memindahkan serangannya pada ujud yang kedua. Namun seperti yang pertama maka ujud yang kedua ini seakan-akan tidak terpengaruh sama sekali oleh serangan sorot matanya. Seperti ujud yang pertama-tama. Maka ujud yang kedua ini justru merasa leluasa untuk menyerangnya. Bahkan ternyata ujud itu telah melakukan sesuatu yang sangat berbahaya bagi Agung Sedayu, karena ujud itu telah menarik pedangnya yang seolah-olah menyala.

Sejenak Agung Sedayu disambar oleh keragu-raguan. Apakah lawannya juga memiliki kekebalan sehingga sorot matanya tidak mampu menyentuhnya.

Tetapi Agung Sedayu masih tetap berusaha. Ia melihat ujud yang ketiga. Ujud yang agak kurang garang dari kedua ujud yang lain.

Namun panggraita Agung Sedayu cukup tajam untuk justru menduga bahwa ujud ketiga itu adalah Ajar Tal Pilu yang sebenarnya. Karena itu, maka iapun berasaha menyerangnya pula dengan sorot matanya sambil berdiri tegak dengan tangan bersilang di dada.

Dalam pada itu, kedua ujud yang lain itupun menyerangnya pula dengan garangnya. Yang satu telah melemparinya dengan pisau-pisau kecil ke arah jantungnya, sementara yang lain justru dengan pedangnya yang bagaikan menyala.

Terasa betapa serangan-serangan itu bagaikan meretakkan tulang-tulang di tubuh Agung Sedayu. Meskipun kulitnya tidak terluka, namun kekuatan lawannya hampir tidak tertahankan lagi. Hampir saja Agung Sedayu terdorong oleh serangan-serangan lawannya. Namun ia mencoba bertahan untuk tetap berdiri tegak, sambil memandang ujud ketiga. Sorot matanya yang memancarkan ilmunya yang dahsyat itu telah menyentuh dan langsung menyusup meremas jantung.

Terasa oleh Agung Sedayu, bahwa serangannya yang terakhir telah menyentuh sasaran. Ia merasa betapa ujud itu berusaha untuk meloncat mengelak. Namun Agung Sedayu tidak melepaskannya. Bahkan ia telah menghentakkan kekuatannya mengikuti setiap gerak lawannya.

Dalam pada itu, kedua ujud yang lain telah menyerangnya dengan sangat dahsyatnya. Yang melemparinya dengan pisau itupun telah menarik pedangnya pula. Namun sementara itu. Agung Sedayu seakan-akan tidak menghiraukannya. Tetapi ia tidak mau melepaskan cengkeraman sorot matanya kepada lawannya.

Agung Sedayu melihat dan merasa, ujud yang satu itu berusaha untuk menjauhinya. Ujud itu meloncat dengan langkah-langkah panjang, sementara kedua ujud yang lain masih tetap menyerangnya dengan kekuatan yang sangat tinggi sehingga seakan-akan tulang-tulang Agung Sedayupun menjadi retak dan patah-patah. Kulitnya yang tidak terluka itu sama sekali tidak berhasil melindungi dagingnya yang menjadi lumat.

Namun dalam pada itu. Serangan sorot mata Agung Sedayu yang memiliki kekuatan yang tiada taranya itu ternyata telah mencapai sasaran yang sebenarnya. Ujud itu adalah ujud yang sebenarnya dari Ajar Tal Pitu. Dengan tidak diduganya sama sekali, ia telah mendapat serangan Agung Sedayu yang sangat dahsyat. Betapapun ia berusaha untuk mematahkan serangan itu dengan kedua ujudnya yang lain yang dilontarkan lewat ilmunya Kakang Pembarep dan Adi Wuragil, namun masih terasa serangan lewat sorot mata Agung Sedayu itu mengejarnya dan mencengkam isi dadanya.

“Benar anak iblis,“ geramnya. Serangan itu tidak dapat dilawannya. Betapapun kuat daya tahan tubuhnya, namun terasa isi dadanya teremas.

Tetapi ia masih tetap berusaha. Ia berharap bahwa pengaruh jarak akan terasa pada serangan sorot mata Agung Sedayu itu, sementara kedua ujud yang terlontar dari ilmunya itu akan dapat mematahkan pemusatan serangan dari sumbernya. Kedua ujud itu berusaha untuk menghancurkan Agung Sedayu itu sendiri, sementara Ajar Tal Pitu yang sebenarnya berusaha untuk mengambil jarak.

Tetapi Agung Sedayu berusaha untuk tidak melepaskan lawannya. Karena itu maka iapun berusaha untuk mengikutinya. Sambil memandang lawannya dalam lontaran ilmunya, maka Agung Sedayupun melangkah maju. Namun dalam pada itu. Kedua ujud Ajar Tal Pitu yang lain telah menyerangnya dengan dahsyatnya. Serangan pedang yang tidak berhasil melukai kulit itu bagaikan telah meremukkan tulangnya.

Kedua orang yang sedang bertempur dengan ilmu masing-masing itu berusaha langsung memadamkan serangan lawannya dengan melumpuhkan sumbernya. Serangan Agung Sedayu lewat sorot matanya itupun tidak kalah dahsyatnya dengan serangan kedua ujud Ajar Tal Pitu itu.

Dalam pada itu, ternyata bahwa kemampuan daya tahan Agung Sedayu yang dilambari dengan ilmu kebalnya itupun masih juga terbatas. Serangan lawannya yang dilontarkan lewat kedua ujud yang selalu menyerangnya itu akhirnya berhasil menghentikan. Langkah Agung Sedayu menjadi semakin berat, sehingga karena itu, maka iapun mulai terhuyung-huyung.

Tetapi sementara ia masih dapat melihat lawannya, maka dihentakkannya ilmunya yang dilontarkan lewat sorot matanya itu.

Ternyata ilmu yang sudah mapan itu. Benar-benar memiliki kekuatan tiada taranya. Lawannya yang berusaha untuk melarikan diri dan berlindung dari tatapan mata Agung Sedayu itu masih sempat mempergunakan sisa tenaganya yang terakhir. Namun ternyata hentakkan kekuatan Agung Sedayu bagaikan menghantam jantungnya, sehingga orang itupun bagaikan kehilangan kekuatannya. Sejenak ia tertatih-tatih. Namun kemudian iapun terjatuh. Tetapi ternyata bahwa ia masih bernasib baik. Demikian ia terjatuh, maka ia telah berada di balik sebongkah batu padas sehingga Agung Sedayu tidak dapat melihatnya lagi.

Sementara itu, Agung Sedayu yang telah menghentakkan kekuatannya itupun seakan-akan lelah kehabisan tenaga. Tulangnya bagaikan telah diremukkan dan dagingnya menjadi lumat. Karena itu, maka rasa-rasanya ia tidak mampu lagi melangkah mengejar lawannya.

Telapi dalam pada itu, daya lontar ilmu Kakang Pembarep dan Adi Wuragil yang dahsyat dari Ajar Tal Pilu itupun telah pudar. Tubuhnya yang terkulai di balik batu padas itu, justru saat Agung Sedayu kehilangan keseimbangannya, ilmu itu bagaikan telah padam.

Ketika Agung Sedayu kemudian terduduk dengan lemahnya, maka ujud Ajar Tal Pilu itupun menjadi semakin kabur. Perlahan-lahan ujud itu berubah menjadi asap dan seakan-akan telah terhisap oleh sumbernya di balik batu-batu padas.

Agung Sedayu mengetahui, bahwa lawannya berada di balik batu padas. Tetapi ia tidak mampu lagi untuk bangkit dan berjalan mendekatinya.

Dalam pada itu. Ajar Tal Pitupun menjadi terengah-engah. Tetapi ia tidak mau jatuh ketangan orang-orang Jati Anom. Karena itu. Maka dengan sisa tenaganya, iapun merayap meninggalkan tempatnya, masuk ke dalam semak-semak dan merangkak semakin lama semakin jauh. Di ipaksanya sisa tenaganya yang lemah untuk menyeret tubuhnya di antara pohon-pohon perdu. Sementara beruntunglah Ajar Tal Pitu karena hujan yang tercurah itu seakan-akan memberikan sedikit kesegaran kepadanya.

Sementara Ajar Tal Pitu merangkak di antara pohon-pohon perdu, maka Agung Sedayu telah duduk sambil menyilangkan tangannya di dadanya. Matanya seolah-olah terpejam dan dipusatkannya segenap sisa kemampuannya untuk bertahan. Di icobanya memperbaiki pernafasannya yang memburu dan menenangkan gejolak darahnya di dalam jantungnya.

Agung Sedayu telah mengheningkan diri untuk menolong keadaannya sendiri yang gawat.

Sementara itu, ternyata Sabungsaripun telah berusaha secepatnya untuk mengakhiri pertempuran. Dengan sorot matanya, ia seakan-akan tidak memberi kesempatan lagi kepada lawannya. Seorang demi seorang, ketiga orang lawannya itupun jatuh terkulai tidak berdaya menahan hempasan ilmu yang seakan-akan telah meremas jantung.

Namun dalam pada itu, yang mengejutkan adalah sikap Ki Pringgajaya yang menyebut dirinya Partasanjaya. Ia melihat apa yang telah terjadi atas Ajar Tal Pitu, sehingga dengan demikian ia dapat menduga akhir dari pertempuran itu. Sementara Sabungsaripun telah berhasil melumpuhkan pengikutnya seorang demi seorang, sementara Bandung dan di ogol Legi masih bertempur dengan sengitnya, sehingga masih belum dapat dilihat satu kemungkinan untuk menang.

Karena itu, maka ia telah mengambil satu keputusan. Ia sendiripun sadar, betapa tinggi ilmunya. Kemampuannya bergerak sangat cepat, sehingga seolah-olah melampaui kecepatan waktu itupun tidak memberikan harapan untuk dapat mengalahkan orang bercambuk itu.

Demikian perhatian Kiai Gringsing sejenak ditujukan kepada Agung Sedayu yang terduduk lemah, maka Ki Pringgajaya itu telah mempergunakan kesempatan sebaik-baiknya. Tanpa memberikan pertanda apapun juga kepada orang-orang yang dibawanya maka iapun telah meloncat ke dalam gelap dan langsung berlari memasuki lebatnya hujan dan gemuruhnya petir.

“Gila,“ geram Kiai Gringsing.

Dengan serta merta, maka iapun berusaha untuk mengejarnya. Namun gelap malam, pohon-pohon perdu dan batu-batu padas yang berserakkan, telah memberikan kemungkinan bagi Ki Pringgajaya yang juga memiliki ilmu yang tinggi itu untuk melarikan diri dan hilang bagaikan terhisap bumi.

Kiai Gringsing memang kehilangan waktu sekejap. Seperti Ki Waskita di pinggir Kali Praga telah kehilangan Ki Lurah Pringgabaya, maka Kiai Gringsing itupun telah kehilangan Ki Pringgabaya pula.

Akhirnya Kiai Gringsing menyadari, bahwa ia tidak akan berhasil mencari Ki Pringgajaya, sementara ia menjadi cemas atas nasib Agung Sedayu. Karena itu. Maka iapun segera berlari kembali langsung mendekati Agung Sedayu yang duduk sambil memejamkan matanya dengan tangan bersilang di dada.

Ketika kiai Gringsing mendekatinya. Sabungsaripun telah selesai pula dengan ketiga orang lawannya yang terkapar ditanah yang basah. Sementara itu, maka iapun dengan tergesa-gesa telah mendekati Agung Sedayu pula dan kemudian berjongkok di samping Kiai Gringsing.

“Ia akan berhasil,” desis Kiai Gringsing.

Sabungsari mengangguk-angguk kecil. Sementara Kiai Gringsing berkata, “Tungguilah. Jangan diganggu.”

Sekali lagi Sabungsari mengangguk. Sementara itu Kiai Gringsingpun kemudian bangkit dan meninggalkan Agung Sedayu yang sedang berusaha untuk membenahi diri, ditunggui oleh Sabungsari.

Dalam pada itu. Kiai Gringsing sempat melihat bahwa ternyata Glagah Putih sudah cukup mampu menyelamatkan diri sendiri. Ia justru berhasil mendesak lawannya, seseorang yang telah memiliki pengalaman yang cukup di lingkungan kerasnya olah kanuragan.

Karena itu, maka Kiai Gringsing tidak ingin mengganggunya. Ia tidak akan membuat Glagah Putih kecewa. Sementara iapun akan dapat melihat, sikap Glagah Putih terhadap lawannya yang dikalahkannya.

Yang masih bertempur dengan sengitnya adalah Untara melawan Bandung yang memang sudah dipersiapkan untuk membunuhnya. Di putaran pertempuran yang lain, Widura bertempur pula dengan serunya. Seperti Bandung, di ogol Legipun memang dipersiapkan untuk melawan Widura. Bekas prajurit yang dianggap sudah menjadi semakin tua.

Namun ternyata penilaian Pringgajaya terhadap Untara dan Widura masih kurang cermat. Ki Pringgajaya menduga, bahwa justru karena kewajibannya, Untara tidak sempat berbuat bagi dirinya sendiri, apa lagi berusaha untuk meningkatkan ilmunya. Tetapi ternyata bahwa Untara jauh melampaui dugaannya, sehingga Bandung tidak dapat mengalahkannya, apa lagi membunuhnya.

Demikian di ogol Legi yang berhadapan dengan Widura. Rasa-rasanya ia memang dijerumuskan ke dalam putaran kekuatan yang tidak diduganya.

Sementara itu, ketiga lawan Ki Waskita justru sudah kehilangan gairah untuk bertempur. Apalagi mereka menyadari, bahwa gurunya telah meninggalkan mereka begitu saja, sehingga mereka benar-benar menjadi kecewa. Merekapun tidak akan dapat mengingkari kenyataan, bahwa yang akan menjadi lawan mereka adalah orang-orang yang pilih tanding, yang memiliki kemampuan setingkat dengan gurunya. Jika semula mereka bertiga yang dianggap oleh Ajar Tal Pitu sebagai murid terbaik yang memiliki kekuatan yang dapat dibanggakan, karena segala macam ilmu gurunya telah tertumpah kepada mereka, namun yang masih harus dikembangkan, tetapi yang ternyata ketiganya tidak berdaya berhadapan dengan Ki Waskita.

Sejenak Kiai Gringsing termangu-mangu. Ia menjadi bimbang, apakah yang harus dilakukannya. Jika ia membantu salah seorang dari antara mereka yang bertempur, apakah tidak justru menyinggung perasaan.

Namun dalam pada itu. Sebelum Kiai Gringsing bertindak lebih jauh, maka ia melihat, lawan Untara telah terdesak sehingga tidak lagi sempat menyerang. Dengan sisa kemampuannya ia mencoba bertahan. Namun keadaan tidak menguntungkannya sama sekali. Ki Pringgajaya begitu saja meninggalkannya, seperti Ajar Tal Pitu yang lari tanpa menghiraukan murid-muridnya.

Karena kenyataan itulah, maka pertempuran itu semakin lama menjadi semakin kendor. Bandung dan di ogol Legi merasa tidak perlu lagi mempertaruhkan nyawanya bagi orang-orang yang mereka anggap justru telah menjerumuskannya.

Dengan demikian, maka tidak ada pilihan lain lagi bagi mereka kecuali mengambil jalan yang paling pendek untuk menyelamatkan diri. Mereka yakin bahwa mereka tidak akan mampu melarikan diri dari arena itu, justru beberapa orang yang memiliki ilmu yang tinggi telah bebas dari lawan-lawan mereka.

Karena itu, maka Bandunglah yang mula-mula berani mengambil sikap. Ketika ia sempat meloncat menjauhi lawannya, maka iapun telah melemparkan senjata sambil berkata, “Aku menyerah.”

Untara tertegun sejenak. Dipandanginya lawannya dengan sorot mata kemarahan. Namun ternyata bahwa Untara masih tetap seorang Senapati. Demikian lawannya menyerah, betapapun kemarahan membakar jantungnya, maka iapun kemudian telah menahan diri untuk tidak berbuat sesuatu.

Karena Bandung menyerah, maka yang lainpun telah mengambil sikap serupa. Sepeninggal Ki Pringgajaya yang menyebut dirinya Partasanjaya itu. Maka tidak akan ada artinya lagi, apapun yang mereka lakukan. Juga ketiga orang murid Tal Pitu yang telah kehilangan gurunya itupun tidak lagi berniat untuk melawan lebih lama lagi.

Dengan demikian, maka satu demi satu, mereka yang masih bertempur beberapa saat itupun telah menyerah. Bahkan lawan Glagah Putihpun telah menyerah pula.

“Pengecut,“ teriak Glagah Putih, “Lawan aku sampai akhir.”

“Aku menyerah,“ jawab lawannya yang telah melepaskan senjatanya.

“Ambil senjatamu,“ geram Glagah Putih. Tetapi lawannya sama sekali tidak melakukannya. Sementara itu, Kiai Gringsing sama sekali tidak berusaha mempengaruhinya. Sedangkan Widura sendiri masih sibuk dengan lawannya yang juga menyerah.

Kiai Gringsing menarik nafas dalam-dalam, ketika ia melihat Glagah Pulih itu tidak berbuat lebih jauh lagi. Bahkan ia berkata, “Kau mengecewakan aku. Kau tidak bertempur sampai perlawanan yang terakhir seperti ketiga orang kawanmu yang bertempur melawan Sabungsari itu.”

Lawannya masih tetap berdiam diri.

“Jika kau menyerah, aku terpaksa menyerahkan kau kepada kakang Untara,“ desis Glagah Putih.

Dalam pada itu. Maka orang-orang yang menyerah itupun segera dikumpulkan. Kiai Gringsing masih memerlukan untuk melihat ketiga lawan Sabungsari yang terkapar. Nampaknya mereka sudah tidak mungkin lagi ditolong jiwanya. Dalam keadaan yang gawat, Sabungsari tidak dapat mengendalikan lagi kekuatan yang terpancar dari matanya.

Sejenak kemudian, maka pertempuran itupun telah selesai. Orang-orang yang terluka, termasuk para pengawal Untara telah dikumpulkan. Seorang pengikut Ki Partasanjaya masih mungkin untuk di selamatkan meskipun darah cukup banyak mengalir dari tubuhnya.

Orang-orang tua yang menyertai Untara dari Jati Anom itupun masih berdiri gemetar. Bukan saja oleh dinginnya air hujan yang bagaikan tercurah dari langit, namun juga karena gejolak hati mereka menyaksikan pertempuran yang tidak mereka mengerti sama sekali.

Dalam pada itu. Kiai Gringsingpun telah berada di sisi muridnya bersama Sabungsari dan Glagah Putih yang kecemasan.

Dalam pada itu Agung Sedayu masih tetap duduk sambil berdiam diri. Namun ia agaknya mulai berhasil mengatur pernafasannya. Di arahnyapun mulai terasa semakin dingin dan mulai mengalir dengan wajar. Meskipun demikian tubuhnya menjadi terasa semakin nyeri. Seakan-akan tulang dan dagingnya benar-benar telah hancur lumat sama sekali.

Melihat keadaan muridnya, ditilik dari jalan pernafasannya. Kiai Gringsing menjadi semakin tenang. Perlahan-lahan ia berdesis, “Lakukanlah sebaik-baiknya Agung Sedayu. Kau akan berhasil.”

Agung Sedayu mendengar suara gurunya. Rasa-rasanya suara itu dapat mendorong harapannya yang tumbuh semakin besar, bahwa keadaannya akan semakin baik.

Dalam pada itu, Untarapun mulai berunding dengan Widura dan Ki Waskita, apakah yang sebaiknya mereka lakukan. Di tempat itu adalah beberapa orang yang menyerah dan ada beberapa orang yang terluka. Bahkan ada pula yang telah tidak tertolong lagi jiwanya.

“Aku akan pergi ke Jati Anom,“ berkata Untara, “Aku akan memerintahkan beberapa orang prajurit untuk membenahi keadaan ini.”

“Tetapi jangan pergi sendiri,“ desis Widura.

“Keadaan sudah semakin baik,“ jawab Untara.

“Masih belum,” sahut Widura, “Orang-orang yang melarikan diri itu, mungkin masih berkeliaran di sini.”

“Lawan Agung Sedayu sudah tidak berdaya lagi. Aku kira orang itu benar-benar ingin melarikan diri. Keadaannya sudah parah seperti juga keadaan Agung Sedayu sendiri.”

“Maksud Paman, Ki Pringgajaya ?” bertanya Untara.

“Ya,“ jawab Widura, “Ternyata ia memang memiliki kelebihan.”

“Jadi maksud Paman bagaimana ?“ bertanya Untara.

“Kita membagi kerja ngger,“ ternyata yang menyahut adalah Ki Waskita, “Jika angger ingin pergi ke Jati Anom. Marilah bersama aku. Biarlah Kiai Gringsing dan Sabungsari berada di sini. Mungkin Glagah Putih juga dapat tinggal bersama ayahnya sendiri.”

Untara termangu-mangu sejenak. Namun kemudian katanya, “Baiklah. Kita akan kembali membawa sekelompok prajurit.”

Ternyata Kiai Gringsingpun sependapat. Namun sebelum Untara dan Ki Waskita pergi, maka telah dilakukan tindakan pengamanan terhadap mereka yang menyerah. Dengan ikat kepala mereka sendiri, maka mereka telah diikat tangannya dan mereka harus duduk berjajar di pinggir jalan.

“Jangan berbuat sesuatu yang dapat menghancurkan dirimu sendiri,“ berkata Untara.

“Berhati-hatilah,“ berkata Ki Waskita pula, “Bagaimanapun juga, kau akan berhadapan dengan orang-orang yang mumpuni. Ikat kepala itu sendiri tidak berarti apa-apa bagi kalian. Dengan hentakkan yang tidak terlalu kuat, kalian masing-masing akan dapat memutuskan ikatan tangan kalian. Namun waktu yang sekejap itu diperlukan sekedar untuk menunjukkan siapakah di antara kalian yang harus diselesaikan lebih dahulu.”

Orang-orang yang menyerah itu tidak menjawab. Mereka memang menjadi heran, bahwa tangan mereka hanya sekedar diikat dengan ikat kepala. Namun merekapun kemudian menyadari, bahwa hal itu tentu sudah diperhitungkan. Meskipun orang-orang itu dengan sekali hentak dapat melepaskan ikatannya, tetapi orang-orang yang mengawasi itupun akan segera mengetahui, siapakah di antara mereka yang harus diselesaikan dengan segera. Apalagi orang-orang itu mengetahui, bahwa orang-orang Jati Anom itu memiliki kemampuan yang tidak dapat dijajagi. Lawan ketiga orang pengikut Ki Pringgajaya itu dengan kemampuannya berhasil membunuh ketiga lawannya. Sementara orang tua bercambuk itu mampu mengimbangi ilmu Ki Pringgajaya, bahkan ternyata bahwa orang tua itu memiliki kelebihan barang selapis. Bahkan anak yang masih terlalu muda itupun telah mampu melawan salah seorang pengikut Ki Pringgajaya yang nampaknya terpilih dengan saksama itu.

Karena itu, mereka tidak merasa perlu untuk berbuat sesuatu. Meskipun Bandung dan di ogol Legi serta ketiga murid Tal Pitu itu benar-benar merasa dihinakan oleh ikatan tangannya yang sebenarnya tidak berarti itu.

Dalam pada itu, sementara Kiai Gringsing menunggui Agung Sedayu maka iapun memberikan petunjuk kepada Sabungsari untuk membantu meringankan penderitaan orang-orang yang terluka. Di ibantu oleh Glagah Putih, sedangkan Widura harus mengawasi dengan saksama, orang-orang yang duduk berjajar membelakanginya.

Sejenak kemudian beberapa ekor kuda telah berderap menyusup lebatnya hujan yang masih belum mereda. Angin masih bertiup dengan kencang, sementara lidah api menjilat-jilat di langit.

Orang-orang tua yang ikut bersama Untara pergi ke Sangkal Putung itupun telah dipersilahkan untuk mendahului bersama Untara dan Ki Waskita, agar mereka tidak membeku kedinginan. Namun merekapun menjadi gemetar di punggung kuda, karena tangan mereka seolah-olah telah kehilangan syaraf perasa.

Dalam pada itu, maka jarak yang sudah terlalu pendek itu, dapat mereka lalui dengan selamat. Ternyata orang yang paling dicemaskan, Ki Pringgajaya, tidak menunggu mereka di pinggir jalan.

Kedatangan Untara dalam hujan yang lebat itu memang mengejutkan. Nampaknya ia sangat tergesa-gesa, dan orang di dalam kelompok kecil itu ternyata telah berubah dari saat mereka berangkat.

Demikian Untara naik ke pendapa dalam keadaan basah kuyup, maka iapun segera memerintahkan para pengawal yang bertugas untuk memanggil beberapa orang terpenting. Sementara itu, Untarapun mempersilahkan orang-orang tua itu untuk berada di rumah itu lebih dahulu.

“Jangan tergesa-gesa pulang. Hujan masih terlalu lebat,“ berkata Untara, “Aku akan menyediakan pakaian yang dapat kalian pakai untuk sementara. Dan kalian akan mendapat hidangan minuman panas yang akan dapat menghangatkan tubuh.”

Ketika ia menyerahkan beberapa potong pakaian kepada orang-orang tua yang kedinginan itu. Untara sendiri tidak berganti pakaian, ia masih akan kembali ke tikungan di dekat Lemah Cengkar itu untuk menyelesaikan masalah yang dianggapnya cukup penting.

Sejenak kemudian, ketika orang-orang yang dipanggil telah berkumpul, maka Untarapun segera memerintahkan mereka untuk bersiap-siap.

Tanpa memberikan penjelasan panjang lebar, Untara kemudian membawa mereka pergi ketikungan di sebelah Lemah Cengkar. Mereka hanya sekedar menerima perintah untuk mengikutinya dan membenahi bekas pertempuran.

Prajurit-prajurit itupun tidak terlalu banyak bertanya. Mereka sadar bahwa Untara tentu tergesa-gesa. Karena itu, maka merekapun dengan patuh mengikuti Untara dan Ki Waskita dalam lebatnya hujan yang masih tercurah dari langit.

Baru ketika mereka telah berada di Lemah Cengkar, Untara sempat memberikan sedikit penjelasan tentang peristiwa yang baru saja terjadi.

“Uruslah mereka,“ perintah Untara, “Bawalah yang terluka lebih dahulu, baru kemudian tawanan-tawanan itu. Aku berkepentingan dengan mereka. Beri mereka pakaian, terutama yang terluka. Jangan menambah jumlah kematian. Rawatlah yang telah terbunuh.

Para prajurit itupun kemudian bekerja dengan cepat. Ketika mereka kemudian membawa para tawanan, maka semua orang yang berada di arena itupun bersiap-siap pula. Termasuk Agung Sedayu. Meskipun ia masih terlalu lemah, sementara keadaan di dalam tubuhnya masih parah, ia telah duduk pula di punggung kuda. Di ijaga oleh Glagah Putih dan Sabungsari di sebelah menyebelah.

Atas ijin Untara, maka Agung Sedayu itupun langsung dibawa kembali ke padepokan bersama isi padepokan itu yang lain. Sementara Untara dan para prajuritnya membawa para tawanan ke Jati Anom.

Dengan tegas Untara memerintah untuk mengawasi para tawanan itu sebaik-baiknya. Tidak boleh ada orang lain yang menghubungi mereka tidak setahu Untara.

“Meskipun mereka para perwira dari Pajang, maka semua hubungan dengan para tawanan harus lewat aku,“ berkata Untara.

Perintah Untara yang tegas dan sikapnya yang keras, menunjukkan bahwa ia bersungguh-sungguh dengan perintahnya itu.

Dalam pada itu. Agung Sedayu yang terluka parah di bagian dalam tubuhnya itu telah dibawa dengan hati-hati ke padepokan. Demikian ia turun dari kudanya, maka iapun langsung dipapah oleh Sabungsari, Glagah Putih dan gurunya ke dalam biliknya. Dengan hati-hati pakaiannyapun telah diganti dengan pakaian yang kering, sementara minuman yang hangat telah dititikkan ke bibirnya.

Dengan saksama Kiai Gringsing kemudian merawatnya. Dilihatnya keadaan tubuhnya yang bagaikan lumat di dalam itu.

Namun dalam pada itu, Agung Sedayu masih berdesis perlahan, “Kiai, barangkali Kiai perlu mengobati mereka yang lebih parah dari aku.”

“Mereka telah berada di Jali Anom. Tabib pasukan angger Untara tentu akan mengobati mereka dengan saksama pula. Sementara kau tidak usah memikirkannya, agar hatimu menjadi lebih tenang.”

Agung Sedayu tidak menyahut. Seluruh tubuhnya memang terasa nyeri dan sakit. Karena itu, maka iapun berusaha untuk beristirahat sebaik-baiknya di pembaringannya.

Pakaiannya yang telah diganti dengan pakaian yang kering dan titik-titik minuman hangat, terasa segar. Dalam hujan yang masih saja turun meskipun sudah tidak selebat saat-saat pertempuran itu terjadi di Lemah Cengkar, udara menjadi semakin lama semakin dingin. Karena itu, maka Sabungsari telah menyelimuti Agung Sedayu dengan kain panjang.

Namun sentuhan pada tubuh Agung Sedayu yang kebal itu membuatnya menyeringai kesakitan.

Yang terjadi itu merupakan satu pengalaman pula bagi Glagah Putih. Ia melihat kulit Agung Sedayu tidak terluka, meskipun ia bertempur melawan senjata tajam yang dalam beberapa kali tidak dapat dihindarinya. Karena itu, Glagah Putih yang muda itupun dapat mengambil kesimpulan bahwa Agung Sedayu memiliki ilmu kebal atau sejenisnya. Namun ilmu itu hanya mampu membuat kulit Agung Sedayu menjadi liat. Namun masih belum berhasil melindungi bagian dalam tubuhnya dari lawan yang memiliki ilmu yang tinggi pula.

“Jika kakang Agung Sedayu melawan orang-orang seperti aku. Mungkin keadaan bagian dalam tubuhnyapun tidak akan terluka seperti itu,“ berkata Glagah Putih di dalam hatinya.

Namun dengan demikian, Glagah Putih semakin merasa dirinya terlalu kecil. Dalam arena pertempuran antara kekuatan-kekuatan raksasa seperti Agung Sedayu, Ajar Tal Pitu, Ki Pringgajaya, Kiai Gringsing, Ki Waskita dan Untara serta ayahnya dan yang lain-lain, terasa dirinya memang tidak berarti sama sekali.

Karena itu ia semakin berjanji kepada dirinya sendiri, bahwa ia akan berlatih dengan lebih tekun lagi. Setiap saat. Siang dan malam. Kapan saja ia sempat melakukannya.

Sabungsari yang menunggui Agung Sedayu pula, benar-benar mengagumi anak muda yang terbaring itu. Ketika ia bertemu dengan Agung Sedayu dalam perang tanding, selisih antara kemampuannya dengan Agung Sedayu rasa-rasanya masih belum terlalu besar. Namun kini terasa, bahwa Agung Sedayu telah meninggalkannya semakin jauh.

“Luar biasa,“ berkata Sabungsari di dalam dirinya, “Waktunya telah dihabiskannya untuk bekerja di padepokan ini dan mengajari Glagah Putih. Namun di sela-sela waktu yang sempit itu, ia masih sempat meningkatkan ilmunya demikian pesat.”

Namun seperti yang lain, kecuali gurunya, Sabungsari kurang memahami cara dan kesempatan yang diperoleh Agung Sedayu dari isi kitab Ki Waskita yang telah dibacanya, dan seolah-olah telah dipahatkannya pada dinding jantungnya. Yang nampak oleh prajurit muda itu betapa Agung Sedayu yang umurnya masih sangat muda itu telah berhasil menempa dirinya menjadi seorang yang luar biasa, yang telah berhasil mengimbangi kemampuan Ajar Tal Pitu.

Tetapi Sabungsari tidak lagi dibayangi oleh perasaan iri dan dengki. Dengan tulus ia mengakui, bahwa Agung Sedayu adalah orang yang luar biasa, yang jarang ada duanya. Namun demikian, hal itu seperti Glagah Putih, telah mendorongnya untuk lebih menekuni ilmu yang pada dasarnya sudah dimilikinya sampai tuntas. Tetapi yang masih harus dikembangkannya lebih jauh lagi.

Di Jati Anom Untara masih sibuk dengan para tawanannya. Ia sendiri yang mengatur tempat bagi mereka, dan mengatur para prajurit yang harus menjaga mereka, karena orang-orang yang tertawan itu adalah orang-orang yang mumpuni.

Meskipun Untara menyadari, bahwa orang-orang yang tertawan itu bukan jalur lurus kepada para pemimpin dari satu lingkungan yang mempunyai pendirian dan sikap yang menyimpang, sehingga lewat orang-orang itu ia tidak akan sampai kepuncak pengamatannya. Namun demikian, mereka tentu akan dapat memberikan beberapa keterangan tentang diri mereka sendiri dan lingkungan mereka.

Dalam persoalan yang dihadapinya, Untara telah menemukan satu kepastian, bahwa jalur yang dapat ditelusur adalah hubungan antara Ki Pringgajaya yang kemudian menyebut dirinya Partasanjaya, dan Tumenggung Prabadaru. Bagaimanapun juga Tumenggung itu tidak akan dapat ingkar. Ia adalah orang yang telah berusaha menghapus jejak Pringgajaya dengan melaporkannya bahwa orang itu telah terbunuh. Kemudian, dalam hubungan dengan peristiwa yang baru saja terjadi di dekat Lemah Cengkar itu.

Tetapi ia tidak akan dapat langsung mempersoalkan Tumenggung Prabadaru. Ia yakin, bahwa Tumenggung itu tentu mempunyai kekuatan yang cukup untuk melindungi tingkah lakunya.

“Perjalanannya kedaerah Timur memang harus dipersoalkan,” berkata Untara kepada diri sendiri. Untara mulai curiga, bahwa kepergian Tumenggung Prabadaru kedaerah Timur adalah dalam rangka memperkuat kedudukan golongannya dalam pandangan mata para Adipati di daerah Timur.”

Dengan segala macam pertimbangan, maka Untara menyadari, bahwa ia harus bersikap hati-hati.

Dalam pada itu, ketika para tawanan itu sedang diatur dan kepada mereka diberikan pakaian kering untuk mengganti pakaian mereka yang basah kuyup, maka di Lemah Cengkar, Ki Pringgajaya sedang sibuk merawat Ajar Tal Pitu yang pingsan. Ketika Ki Pringgajaya sudah berhasil melepaskan diri dari pengamatan Kiai Gringsing, maka ia berusaha untuk mencari Ajar Tal Pitu yang menurut pengamatannya tentu dalam keadaan parah.

Beruntunglah. Bahwa Ki Pringgajaya akhirnya dapat menemukannya meskipun sudah hampir terlambat. Demikian orang-orang Jati Anom meninggalkan tikungan. Maka Ki Pringgajaya telah kembali ketempat itu serta berusaha mengikuti jejak Ajar Tal Pitu. Ranting-ranting perdu yang patah dan batang-batang ilalang yang seakan-akan terseret tubuh Ajar Tal Pitu yang lemah itu telah menuntun Ki Pringgajaya untuk mengikuti jejaknya. Sehingga akhirnya Ki Pringgajaya itupun dapat menemukan Ajar Tal Pitu yang pingsan.

“Orang ini memiliki ketahanan tubuh yang luar biasa,“ gumam Ki Pringgajaya, “Dalam keadaan yang parah, ia berhasil nenyingkir cukup jauh dari lawannya yang berilmu iblis. Adalah tidak dapat dimengerti, bagaimana mungkin Agung Sedayu dapat mengalahkan Ajar Tal Pitu. “

Namun yang terjadi itu adalah satu kenyataan. Ajar Tal Pitu tidak dapat mengalahkan Agung Sedayu meskipun ia berhasil melarikan diri. Sementara Ki Pringgajaya itupun tahu, bahwa keadaan Agung Sedayu sendiri tentu juga menjadi sangat buruk, hampir seburuk keadaan Ajar Tal Pilu itu sendiri.

Dengan hati-hati, Ki Pringgajaya berasaha untuk menolong Ajar Tal Pitu. Hujan yang sudah mereda, masih jatuh satu-satu. Titik air yang kemudian diusapkan pada bibir Ajar Tal Pitu. Membuatnya menjadi sedikit segar.

Ketika Ajar Tal Pilu itu kemudian membuka matanya, maka yang dilihatnya adalah malam yang pekat. Hujan masih belum berhenti meskipun sudah jauh berkurang. Namun langit masih nampak gelap merata dari ujung sampai ke ujung.

Ki Ajar Tal Pitu itu berdesis lambat sekali, “Siapa kau ?”

“Partasanjaya, maksudku Pringgajaya. Kau kenal namaku ?“ bertanya Ki Pringgajaya.

Ajar Tal Pitu itu mengangguk. Kemudian bisiknya. “Apakah yang sudah terjadi ?”

“Kau terluka Ki Ajar. Coba kenanglah, apa yang baru saja terjadi atasmu di dekat Lemah Cengkar ini,“ jawab Ki Pringgajaya.

“Jadi aku berada di Lemah Cengkar sekarang ?“ bertanya Ajar Tal Pitu.

“Ya. Kau berada di Lemah Cengkar. Kau baru saja bertempur,“ sahut Ki Pringgajaya.

Ajar Tal Pitu itupun mencoba mengingat-ingat, apakah yang baru saja terjadi. Perlahan-lahan ia mulai dapat melihat di dalam kenangannya, apa yang sudah dilakukan. Mengikuti ketiga muridnya, kemudian melibatkan diri bertempur melawan anak muda yang memiliki ilmu yang luar biasa.

“O, anak iblis itu. Di mana anak itu ? Apakah kau berhasil membunuhnya ?“ bertanya Ajar Tal Pitu itu pula.

Ki Pringgajaya menarik nafas dalam-dalam. Katanya, “Aku juga meninggalkan neraka itu.”

“Apa artinya ?” bertanya Ajar Tal Pitu.

“Aku tidak bertempur terus dalam keadaan yang tidak akan tertolong lagi.” desis Ki Pringgajaya.

“Kau melarikan diri ?“ bertanya Ajar Tal Pitu itu pula.

“Ya,“ jawab Ki Pringgajaya singkat.

“Di mana ketiga orang muridku ?“ suara Ajar Tal Pitu itu tiba-tiba meninggi.

“Aku tidak tahu,“ jawab Ki Pringgajaya.

“Apakah mereka telah terbunuh ?“ tiba-tiba saja nada suara Ajar Tal Pilu itu menurun.

“Aku tidak tahu. Ketika aku kembali ke arena itu, semuanya sudah dibersihkan. Semuanya dibawa oleh prajurit Pajang di Jati Anom. Seandainya ada yang terbunuh, mayatnyapun telah dibawa pula. Untuk dikuburkan. Atau barangkali, langsung dibawa ke kubur yang aku tidak tahu di mana.”

Ajar Tal Pitu menarik nafas dalam-dalam. Dipandanginya Ki Pringgajaya sejenak. Kemudian desisnya, “Aku akan minta pertanggungan jawab Tumenggung Prabadaru.”

“Jangan kau pikirkan sekarang,“ potong Ki Pringgajaya, “Cobalah kau tilik keadaanmu. Badanmu, nafasmu dan darahmu.”

Ajar Tal Pitu itupun kemudian mencoba untuk memperbaiki letak tubuhnya. Perlahan-lahan ia beringsut dan duduk bersandar kedua tangannya yang lemah. Kemudian sambil mengangguk-angsuk kecil ia bergumam, “Anak itu mempunyai ilmu iblis. Aku tidak tahu, bagaimana mungkin dadaku bagaikan terhimpit gunung Merapi dan Merbabu.”

“Kita harus menyingkir dari tempat ini,” berkata Ki Pringgajaya, “Ternyata orang-orang Jati Anorn itu benar-benar memiliki kemampuan di luar dugaan kami. Untara sendiri tidak terlalu mengejutkan, meskipun ia telah berhasil meningkatkan kemampuannya dengan cepat. Widura ternyata sudah tidak lagi dapat mengembangkan dirinya. Namun karena pengalamannya yang luas, ia mampu mempertahankan hidupnya. Yang tidak terduga pula adalah prajurit muda yang memiliki kekuatan yang luar biasa lewat sorot matanya.”

“Yang mana ?” bertanya Ajar Tal Pitu.

“Yang melawan ketiga orang pengikutku. Mereka adalah orang-orang terpilih. Tetapi mereka tidak berdaya melawan Sabungsari,” desis Ki Pringgajaya.

“Karena itu, aku akan minta pertanggungan jawab Tumenggung Prabadaru,“ geram Ajar Tal Pitu berulang kali.

“Kita harus pergi. Itu adalah tugas kita yang pertama. Jika fajar menyingsing, maka kita akan mengalami kesulitan,” desis Ki Pringgajaya, “Hujan telah mereda. Sebentar lagi. langit akan menjadi merah, dan matahari akan terbit.”

“Tulang-tulangku bagaikan patah,” keluh Ajar Tal Pitu, “Aku tidak pernah bertemu dengan orang yang memiliki ilmu iblis. Aku adalah orang yang tidak terkalahkan. Tetapi aku tidak berhasil membunuh anak itu meskipun aku sudah mempergunakan ilmu pamungkasku. Ilmu yang jarang dimiliki orang lain. Aku terbiasa membunuh lawanku, tanpa mempergunakan ilmu puncak itu. Tetapi melawan anak ingusan itu. Aku dapat dikalahkan.”

“Usahakan, agar kita dapat pergi,“ berkata Ki Pringgajaya.

Ajar Tal Pitu tidak menjawab, ia mengerti, bahwa mereka berdua harus meninggalkan tempat itu. Jika fajar menyingsing, mungkin sekelompok prajurit akan meronda daerah yang semalam menjadi ajang pertempuran. Jika para prajurit itu menemukan mereka, maka mereka akan mengalami kesulitan. Apalagi Ajar Tal Pitu ada dalam keadaan yang sangat parah.

“Apakah tidak ada seekor kudapun ?“ bertanya Ajar Tal Pilu.

Sejenak Ki Pringgajaya termangu-mangu. Mereka membawa beberapa ekor kuda. Namun nampaknya kuda-kuda itu telah dibawa pula oleh para prajurit ke Jati Anom.

Namun hal itu telah mengingatkan Ki Pringgajaya atas seekor kuda. Apakah di padukuhan sebelah tidak seorangpun yang mempunyai seekor kuda ? Tetapi apakah orang itu akan memberikan kudanya dengan sukarela.

“Aku tidak peduli,“ geram Ki Pringgajaya, “Aku memerlukan seekor kuda.”

Karena itu, maka iapun berbisik, “Aku akan mencari seekor kuda.”

“Di mana ?“ bertanya Ajar Tal Pitu.

“Di ipadukuhan terdekat. Tunggulah di sini,“ jawab Pringgajaya, “Aku tidak lama.”

Ajar Tal Pitu membiarkan Ki Pringgajaya meninggalkannya menuju kepadukuhan. Meskipun ada juga kekhawatiran bahwa Ki Pringgajaya akan meninggalkannya. Namun jika ia memang ingin berbuat demikian, ia dapat meninggalkannya ketika ia masih pingsan.

Demikianlah, maka Ki Pringgajaya itupun segera berlari ke padukuhan. Ternyata ia memang memiliki kemampuan yang bukan saja dapat dipergunakan dalam pertempuran, tetapi kemampuannya telah mendorongnya untuk berlari secepat langkah-langkah kijang di padang perburuan.

Karena itu, maka iapun segera berada di sebuah padukuhan. Padukuhan yang masih sepi. Meskipun di gardu ada juga dua tiga orang, tetapi nampaknya mereka lebih senang berselimut kain panjang duduk berdesakan di gardu gardu. Udara malam yang basah itu dinginnya bagai menusuk tulang.

Dengan hati-hati Ki Pringgajaya menyusup kebun dan halaman. Ketika ia menemukan sebuah halaman rumah yang cukup besar dengan sebuah kandang kuda. Maka iapun menarik nafas dalam-dalam.

Tetapi ia menjadi sangat kecewa ketika ia mendengar langkah di dalam dapur. Bahkan iapun kemudian menyadari, bahwa seseorang telah bangun dan menyalakan api untuk merebus air. Bahkan ternyata tidak hanya seorang. Ia mendengar orang yang sedang bercakap-cakap.

“Gila,” katanya di dalam hati, “Masih belum fajar, mereka sudah bangun.”

Tetapi Ki Pringgajaya tidak mau mengurungkan niatnya. Namun iapun tidak mau terjadi keributan. Karena itu, maka iapun telah mengambil cara yang paling mudah dilakukannya.

Sejenak kemudian ia berdiri di gardu rumah itu. Di irabanya tiang di gardu rumah itu sambil melepaskan ilmunya. Ilmu yang sebenarnya masih belum dikuasainya dengan baik. Jika ilmu itu dilontarkan bagi orang-orang yang memiliki kepribadian yang cukup kuat dilambari dengan sedikit kemampuan dalam olah kanuragan sehingga daya tahan tubuhnya terbina, ilmu itu tidak akan berpengaruh. Tetapi terhadap orang-orang padukuhan yang tidak mempelajari jenis ilmu apapun, maka ilmu itupun segera menyelubunginya.

ilmu itu adalah ilmu sirep. Orang-orang yang baru saja terbangun itupun tiba-tiba telah tidak lagi dapat bertahan. Bahkan rasa-rasanya mereka tidak sempat kembali ke biliknya, sehingga mereka menjatuhkan diri di manapun mereka sedang berada. Seorang telah berbaring di sebuah amben di dapur, seorang di amben bambu yang besar di ruang tengah dan seorang lagi yang sedang bersiap-siap untuk kepakiwan, telah tertidur di lincak panjang di serambi belakang.

Dengan demikian, maka Ki Pringgajaya tidak mendapat kesulitan lagi untuk mengambil seekor kuda dari kandang orang itu. Meskipun kuda itu bukan kuda yang terlalu tegar, tetapi kuda itu akan cukup memadai.

Setelah memasang pelananya yang juga berada di dalam kandang, maka Ki Pringgajayapun segera membawa kuda itu keluar halaman. Sementara itu, ilmu sirepnya telah dipergunakannya pula ketika ia mendekati gardu di mulut lorong.

Demikian para peronda yang memang sedang bertahan dari kantuknya yang hampir tidak tertahankan, telah disentuh oleh ilmu sirep Ki Pringgajaya, sehingga merekapun telah terbaring dan tertidur di dalam gardu sambil berselimut kain panjang sampai ke ujung kaki.

Tetapi dinginnya dini hari tidak terasa oleh Ki Pringgajaya. Iapun kemudian memacu kudanya ketempat Ajar Tal Pitu menunggu.

Ajar Tal Pitu yang seakan-akan tidak lagi mempunyai kekuatan yang tersisa di tubuhnya itu telah di bantu oleh Ki Pringgajaya naik keatas punggung kuda. Kemudian iapun naik pula bersama Ajar Tal Pitu yang lemah itu.

Dengan demikian, kuda yang mendapat beban terlalu berat itu tidak dapat lari kencang. Meskipun demikian, kuda itu telah berhasil membawa kedua penunggangnya menuju ke tempat persinggahan Ki Pringgajaya.

“Aku harus menyingkir,“ desis Ki Pringgajaya.

“Kenapa ?“ bertanya Ajar Tal Pitu dengan suara yang lemah.

“Pengikutku ada yang tertangkap. Ia akan menunjukkan persembunyianku. Dan karena itu, aku tidak boleh terlambat,“ jawab Ki Pringgajaya.

Ajar Tal Pitu mengerti. Karena itu, ia tidak bertanya lagi.

Meskipun agak terlalu berat, tetapi kuda itu dapat juga berlari. Ketika fajar menyingsing keduanya telah berada di tempat persinggahan Ki Pringgajaya dan orang-orangnya. Dengan tergesa-gesa Ki Pringgajaya memerintahkan orang-orangnya yang berada di tempat itu untuk berkemas dan segera meninggalkannya.

“Kenapa ?“ bertanya seseorang.

“Cepat. Kita harus pergi,“ desis Ki Pringgajaya sambil berganti pakaian, “Tentu ada satu dua orang kita yang tertangkap yang akan dapat menunjukkan tempat ini.”

Orang-orangnya tidak bertanya lagi. Mereka segera mengosongkan tempat yang selama itu mereka pergunakan sebagai tempat persembunyian yang tidak diketahui oleh Untara dan para prajuritnya.

Sambil membawa Ajar Tal Pitu. Maka Ki Pringgajaya yang juga menyebut dirinya Ki Partasanjaya itupun meninggalkan tempat persembunyiannya diikuti oleh para pengikutnya yang tinggal. Agar tidak menimbulkan kecurigaan orang lain, maka merekapun tidak pergi bersama-sama. Ki Pringgajaya yang membawa Ajar Tal Pitu yang sudah berganti pakaian pula hanya diikuti oleh seorang pengikutnya saja.

Tetapi mereka tidak pergi terlalu jauh. Mereka singgah di satu rumah yang tidak terlalu besar untuk menitipkan Ajar Tal Pilu yang dalam keadaan yang parah.

“Berhati-hatilah. Kawan-kawan kita ada yang tertangkap,“ desis Ki Pringgajaya.

“Apakah mereka juga akan menyebut pondokku ini ?“ bertanya penghuni rumah itu.

“Nampaknya tidak. Mereka tidak tahu rumah ini dan tidak mengenal penghuninya. Meskipun demikian, berjaga-jagalah. Orang terluka itu adalah Ajar Tal Pitu. Keadaannya memang parah. Tetapi ia adalah orang yang memiliki ilmu yang luar biasa. Jika keadaannya berangsur baik, ia akan dapat menolong dirinya sendiri.” berkata Ki Pringgajaya.

Ajar Tal Pitupun kemudian dipapah masuk ke dalam rumah itu. Dengan tergesa-gesa Ki Pringgajayapun kemudian meninggalkan tempat itu sambil berpesan, “Kau akan aman di sini Ajar Tal Pitu. Maka suatu saat kita akan bertemu pula di tempat ini. Jika kau sudah dapat meninggalkan rumah ini, sebutlah, waktu yang dapat kau pilih untuk satu pertemuan. Aku akan sering datang pula ke rumah ini.”

Ajar Tal Pitu mengangguk sambil menjawab, “Aku tidak berkeberatan. Aku kira, kita akan bersama-sama menyelesaikan persoalan kita dengan anak iblis dan kawan-kawannya itu.”

“Kau mendendam ?“ bertanya Ki Pringgajaya.

“Hanya orang gila dan lemah hati sajalah yang tidak mendendam. Tetapi jangan bermimpi memanfaatkan dendamku untuk kepentinganmu tanpa imbalan yang memadai,“ desis Ajar Tal Pitu.

“Kaupun iblis,“ geram Ki Pringgajaya sambil melangkah pergi.

Sejenak kemudian, maka Ki Pringgajayapun telah meninggalkan rumah itu. Hujan tinggal sisa-sisanya saja yang nampak di atas tanah yang basah dan air yang tergenang. Beberapa dahan yang patah menyilang di halaman. Nampaknya angin yang besar semalam telah memutar pepohonan hingga berpatahan.

Betapapun juga. Kepergian Ki Pringgajaya telah meninggalkan kesan khusus di hati Ajar Tal Pitu. Ki Pringgajaya telah menolongnya sehingga ia tidak mati di bawah lebatnya hujan yang tercurah dari langit di saat-saat ia pingsan. Meskipun demikian Ajar Tal Pitu itu menggeram Hanya orang-orang cengeng sajalah yang merasa berhutang budi kepada sesama. Pringgajaya tidak menolongku. Tetapi ia memerlukan aku.”

Pada saat Ki Pringgajaya dan seorang pengikutnya berpacu semakin jauh, demikian pula pengikutnya yang lain memencar, maka seperti yang sudah diperhitungkannya, Untarapun bertindak cepat. Orang-orang yang tinggal di padukuhan tempat Ki Pringgajaya tinggal, telah dikejutkan oleh hadirnya sekelompok pasukan berkuda yang dipimpin langsung oleh Untara sendiri. Seorang yang tertangkap telah memberikan keterangan tentang persembunyian Ki Pringgajaya.

Namun betapa mereka menjadi kecewa, bahwa rumah itu telah kosong.

“Apakah kau tidak berbohong ?“ bertanya Untara kepada orang yang menunjukkan tempat itu.

“Tidak,“ jawab orang itu, “Tetapi sebagaimana kau lihat, rumah ini telah kosong. Mereka telah pergi.”

“Ke mana ? Kau tentu dapat menunjukkan tempat-tempat berikutnya.“ Bentak Untara.

Tetapi orang itu menggeleng. Katanya, “Aku hanya mengenal rumah ini. Sejak aku berada di sini.”

Wajah Untara menjadi merah. Kemarahannya yang memuncak hampir tidak terkendalikan lagi. Sambil mencengkam baju pengikut Ki Pringgajaya yang tertangkap dan menunjukkan tempat itu. Ia menggeram, “Kau jangan mempermainkan kami.”

“Tidak. Tidak Senapati,“ orang itu menjadi gemetar, “Aku berkata sebenarnya. Aku adalah salah seorang yang di tempatkan di sini. Ki Partasanjaya sendiri jarang-jarang berada di tempat ini. Ia berada di tempat-tempat yang tidak diketahui oleh para pengikutnya. Pengikutnya yang berada di tempat lain, tidak akan mengetahui bahwa di sini ada juga tempat persinggahannya. Hal itu kami sadari.”

“Dan kalian tidak pernah berusaha mengetahui kenapa Ki Partasanjaya berlaku demikian ?“ bertanya Untara.

“Tidak seorangpun yang akan berani berbuat demikian,” jawab orang itu, “Hanya satu dua orang terpenting sajalah yang mengetahui dua atau tiga tempat persinggahannya.”

Untara menghentakkan tangannya yang menggenggam baju orang itu. Tetapi kemudian orang itupun dilepaskannya. Ia terpaksa mempercayai keterangan orang itu, karena memang masuk akal.

Sejenak para prajurit Pajang di Jati Anom itu meneliti seisi rumah itu. Ia masih menemukan beberapa macam peralatan. Bahkan perapian di dapur masih hangat.

“Mereka meninggalkan tempat ini dengan tergesa-gesa,“ desis salah seorang perwira muda.

“Ya,” sahut Untara, “Agaknya Partasanjaya sudah menduga, bahwa kita akan datang ketempat ini. Ternyata gerak kelompoknya lebih cepat dari kita, sehingga kita hanya menemukan tempat yang sudah kosong.”

“Kita dapat menelusur jejak kepergian mereka,“ berkata seorang prajurit.

“Sulit sekali,” sahut perwira muda, “Di mana-mana air tergenang.”

“Dan mereka nampaknya telah meninggalkan tempat ini dengan tujuan yang berbeda-beda, atau dengan sengaja berpisah-pisah. Di lorong di depan rumah ini kita lihat jejak kaki kuda yang menuju ke arah yang berlawanan.”

Untara mengangguk-angguk. Katanya, “Ki Partasanjaya memang tangkas berpikir. Memang sulit untuk mengikuti jejaknya. Di jalan-jalan simpang mereka tentu akan berpisah-pisah lagi sehingga sulit untuk mengetahui yang manakah jejak Ki Partasanjaya itu.”

Karena itu. Dengan jantung yang berdegupan semakin cepat Untara meninggalkan tempat itu. Ia gagal lagi mengikuti jejak Ki Partasanjaya. Sehingga ia kehilangan satu kesempatan karena kelambatannya.

Untuk mendapatkan kesempatan berikutnya. Untara memerlukan waktu yang tidak menentu. Bahkan dengan demikian Ki Partasanjaya akan menjadi semakin berhati-hati dan ia akan bersembunyi lebih rapat lagi, sehingga para pengikutnya tidak akan mengetahuinya.

Pada saat sekelompok prajurit Pajang di Jati Anom berderap kembali, maka di padepokan kecilnya. Agung Sedayu yang terluka parah sempat tidur sekejap. Glagah Putih dan Sabungsari masih menunggu. Namun sejenak kemudian, Widura telah memanggilnya.

“Mumpung Agung Sedayu dapat tidur, kita pergi ke Jati Anom sejenak. Melaporkan keadaannya kepada Untara,“ berkata Widura.

Sabungsari dan Glagah Putihpun segera berkemas. Sabungsari yang banyak hal mendapat kesempatan khusus, akan minta ijin pula berada beberapa saat di padepokan menunggui Agung Sedayu yang sedang sakit.

Dalam pada itu, Ki Waskita dan Kiai Gringsing yang tinggal di padepokan, duduk di ruang tengah. Jika Agung Sedayu terbangun, mereka akan dapal mendengarnya dan mungkin anak muda yang sedang terluka di bagian tubuhnya itu memerlukan pelayanan.

Sejenak kemudian, maka Ki Widura telah meninggalkan padepokan kecil itu. Langit nampak cerah setelah semalam hujan bagaikan diperas dari langit. Matahari memancar terang, memanasi dedaunan yang kedinginan. Titik-titik air yang masih bergayutan dilembar-lembar daun memantulkan cahaya matahari yang bening.

Beberapa orang yang beriringan pergi ke pasar, nampaknya sama sekali tidak mengetahui apa yang telah terjadi semalam. Bahkan bekas pertempuran yang dahsyat itupun seakan-akan telah dihapus oleh hujan yang deras dan angin yang kencang. Meskipun beberapa orang petani menjadi heran melihat keadaan sawah dan ladangnya yang menjadi ajang pertempuran, tetapi mereka mencari-cari jawab pada angin dan hujan.

“Nampaknya petir meledak di tempat ini,” berkata seseorang.

“Tetapi dedaunan tidak terbakar meskipun kerusakan yang aneh telah terjadi di sini,“ jawab yang lain.

“Petir api memang membakar,” sahut kawannya, “Tetapi ada beberapa jenis petir. Petir paju sama sekali tidak mengandung api, tetapi menghancurkan sasarannya.”

Tetapi para petani itu tetap berteka-teki.

Sementara itu, Ki Waskita dan Kiai Gringsingpun sedang berbincang tentang Agung Sedayu. Mereka harus mengakui, bahwa kemampuan Agung Sedayu telah meningkat dengan pesat. Seolah-olah setiap ia menghadapi lawan baru, maka justru Agung Sedayu sempat mencoba kemampuannya yang menjadi lebih tinggi.

“Ketika Ajar Tal Pitu sempat menyelinap. Agung Sedayu sudah tidak mampu lagi berbuat lebih banyak,“ desis Ki Waskita.

“Ya. Ia sudah sampai pada batas kemampuannya, sehingga Ajar Pitu sempat meninggalkan arena. Tetapi aku yakin, bahwa Ajar itupun terluka parah meskipun ia mempunyai daya tahan dan ilmu yang luar biasa,” sahut Kiai Gringsing.

“Nasibnya masih beruntung,“ berkata Ki Waskita kemudian, “Jika saja kemampuan Agung Sedayu masih utuh, maka batu-batu itupun akan hancur dan tidak akan ada tempat baginya untuk melepaskan diri dari sorot matanya.”

“Ya. Ia sudah terlalu letih. Kekuatan ilmunya tidak lagi utuh. Seperti Ajar Tal Pitu yang kehilangan kekuatannya mempertahankan kemampuan yang dilontarkan lewat ilmunya yang dahsyat itu,” sahut Kiai Gringsing.

“Ternyata Ajar itu memiliki ilmu yang sangat berbahaya. Ia masih menguasai dengan baik ilmu yang jarang lagi terdapat saat ini.”

Kedua orang tua itu mengangguk-angguk. Sebagai orang yang berilmu, maka keduanya mengerti, betapa dahsyatnya ilmu yang dimiliki oleh Ajar Tal Pitu itu.

“Ilmunya melampaui permainanku dengan ujud-ujud semu. Ujud-ujud semu itu sekali tidak mempunyai kemampuan wadag. Tetapi ilmu Ajar Tal Pitu itu agaknya dapat menyentuh lawannya. Bahkan dengan senjata sekalipun,“ berkata Ki Waskita kemudian.

“Tetapi kelebihan ilmu Ki Waskita, Ki Waskita sempat membuat ujud apapun yang Ki Waskita kehendaki sesuai dengan saat dan peristiwa,“ jawab Kiai Gringsing, lalu. “Tetapi tidak demikian dengan ilmu Ajar Tal Pitu. Yang hadir di setiap saat dikehendaki adalah ujud yang ajeg. Ujud yang tidak berubah sama sekali. Namun pada dasarnya tidak ada kelebihan mutlak dari ilmu yang manapun juga.”

Ki Waskita menarik nafas dalam-dalam. Tetapi ia bergumam, “Benar Kiai. Tidak ada kelebihan mutlak. Yang baik tentu ada juga kekurangannya.”

Kedua orang tua itu masih berbincang panjang lebar sambil menunggui Agung Sedayu. Mereka terhenti, ketika mereka mendengar desah perlahan. Agaknya Agung Sedayu telah terbangun dan merasakan betapa sakit tubuhnya.

Kiai Gringsing dan Ki Waskita itupun kemudian bangkit dan mendekati pembaringan Agung Sedayu. Mereka melihat wajah anak muda itu sangat pucat. Pada tubuhnya nampak noda-noda biru merah. Agaknya luka-luka di bagian dalam itu semakin nampak. Darah yang mengental dan daging yang bagaikan menjadi lumat.

“Kau harus makan,“ berkata Kiai Gringsing, “Biarlah seorang cantrik membantumu. Kemudian kau minum obat agar bagian dalam tubuhmu menjadi semakin baik.”

Agung Sedayu yang beringsut itu menyeringai. Tubuhnya benar-benar terasa sakit sekali. Namun iapun kemudian mengangguk. Ia sadar, bahwa Kiai Gringsing tahu pasti apakah yang sebaiknya dilakukannya.

Seorang cantrik kemudian membantunya makan bubur yang sangat cair. Setitik-setitik bubur yang cair itu diteteskanuya ke bibirnya. Betapapun segannya, tetapi Agung Sedayu berusaha untuk dapat menelannya.

Setelah ia berhasil menyerap beberapa tetes bubur cair itu, maka Kiai Gringsingpun kemudian membantunya minum obat yang telah disiapkannya. Obat yang berwarna hijau kecoklatan.

Obat itu terasa pahit sekali di lidah Agung Sedayu. Tetapi ia harus menelannya jika ia ingin lebih cepat sembuh.

Demikian ia makan beberapa titik bubur cair dan obat yang diberikan oleh gurunya. Badannya terasa sedikit segar. Terasa badannya seolah-olah dirayapi oleh arus yang segar meskipun tidak dapat menyingkirkan sama sekali perasaan pedih dan sakit.

Namun dalam pada itu, atas ijin Kiai Gringsing selama usaha penyembuhan itu, Ki Waskita sempat memberikan beberapa petunjuk kepada Agung Sedayu tentang ilmu kebalnya.

“Aku tidak mempunyai kesempatan untuk mempelajarinya sebaik kau ngger, tetapi aku dapat memberikan beberapa peringatan yang barangkali bermanfaat bagimu.”

Agung Sedayu memandang Ki Waskita dengan kerut di keningnya. Namun kemudian dengan lemah ia menyahut, “Terima kasih Ki Waskita.”

“Adalah bukan seharusnya kita melukai bagian tubuh kita sendiri untuk menjajagi kemungkinan dan mengenal watak ilmu kebal. Tetapi keadaanmu sekarang sudah demikian. Keadaan yang tidak menyenangkan itu akan dapat kau ambil manfaatnya,“ berkata Ki Waskita kemudian. Lalu setelah ia berhenti sejenak, “Mungkin kau sedang dicengkam oleh perasaan sakit di seluruh bagian tubuhmu. Namun jika kau dapat mempelajarinya, maka kau akan dapat mengenal watak ilmu itu lebih dalam lagi.”

Agung Sedayu menggigit bibirnya. Ia tidak ingin terlalu sering berdesis oleh perasaan sakit. Namun pesan Ki Waskita itu sangat menarik perhatiannya. Ia memang sedang dalam keadaan luka parah. Namun agaknya ia memang dapat mempelajari keadaannya itu. Sampai pada batas yang manakah ia dapat mengetrapkan ilmu kebalnya. Kemudian ia sempat melihat kelemahan-kelemahan yang nampak di saat ia mengalami luka parah di bagian dalam tubuhnya.

Sambil menahan sakit Agung Sedayu berusaha untuk mengerti apa yang dikatakan oleh Ki Waskita. Namun hal itu menuntut ketabahan hati dan kesungguhan untuk mengesampingkan rasa sakit.

Tetapi ternyata bahwa dalam keadaan yang demikian, telah menyala gejolak di dalam jantung Agung Sedayu satu niat yang mantap untuk melakukannya. Karena itu, maka dengan suara yang berat ia berkata, “Aku akan berusaha Ki Waskita. Mudah-mudahan aku dapat melakukannya. Meskipun tidak sepenuhnya.”

“Cobalah,” berkata Ki Waskita, “Tetapi kau jangan memaksa diri. Jika kau merasa perlu untuk beristirahat, beristirahalah. Keadaanmu akan berlangsung untuk waktu yang cukup panjang, sehingga kau tidak akan tergesa-gesa. Kau dapat mencari keseimbangan dalam usaha penyembuhan dan sekaligus usaha pengenalan atas keadaan yang kau alami. Ingat. Kau tidak menimbulkan keadaan yang parah ini untuk menilai kemampuan dan kemungkinan-kemungkinan lain dari ilmumu, tetapi sebaliknya, bahwa kau lebih dahulu telah jatuh ke dalam keadaan ini. Kau hanya memanfaatkan keadaan yang sudah kau alami bagi satu kepentingan yang bermanfaat bagimu.”

“Ya Ki Waskita,“ jawab Agung Sedayu, “Aku mengerti.”

“Aku akan mencoba membantumu Agung Sedayu,” desis Kiai Gringsing, “Mudah-mudahan kau berhasil. Tetapi kau harus selalu ingat pesan Ki Waskita. Kau jangan memaksa diri. Kau harus mengingat keadaan wadagmu. Lakukanlah, tetapi wadagmu menuntut saat-saat untuk beristirahat. Di sinilah letaknya keseimbangan yang harus kau ingat.”

“Ya guru,“ jawab Agung Sedayu, “Aku mengerti.”

“Sokurlah,” jawab gurunya, “Dengan demikian, yang kau lakukan akan dapat diterima, karena kau sekedar seakan-akan menilai kembali apa yang telah terjadi. Kau tidak melakukan satu kekejaman atas dirimu sendiri bagi kepentingan ilmumu. Tetapi kau berusaha untuk mengenal keadaanmu dalam hubungan dengan ilmumu. Kau mengerti ?”

Agung Sedayu megangguk. Sekali lagi ia menjawab, “Aku mengerti guru.”

Kiai Gringsing menarik nafas dalam-dalam. Kemudian katanya, “Baiklah. Aku yakin kau mengerti maksudku dan maksud Ki Waskita. Mudah-mudahan akan ada manfaatnya bagimu.”

Agung Sedayu memandang gurunya dan Ki Waskita berganti-ganti. Komudian desisnya, “Ya guru. Mudah-mudahan aku dapat melakukannya.”

Kiai Gringsmg dan Ki Waskitapun kemudian meninggalkan Agung Sedayu yang sudah merasa tubuhnya agak segar setelah minum obat, meskipun perasaan nyeri dan sakit masih mencengkam tulang sungsum.

Sementara itu, Ki Widura diiringi Sabungsari dan Glagah Putih telah kembali pula dari Jati Anom. Mereka sempat bertemu dengan Untara yang telah kembali bersama beberapa orang prajuritnya yang gagal menangkap Ki Partasanjaya.

“Untara sudah termasuk bergerak dengan cepat,“ berkata Ki Widura, “Tetapi Ki Pringgajaya nampaknya telah berhasil mendahuluinya. Sehingga Untara terlambat datang.”

Kiai Gringsing mengangguk-angguk. Ternyata bahwa Ki Pringgajaya memang seorang yang licin. Karena itu, maka untuk menghadapinya, diperlukan perhitungan yang cukup cermat.

Dalam pada itu, di saat-saat tertentu. Sabungsari dan Glagah Putih sering berada di bilik Agung Sedayu. Keduanya berusaha untuk melayani Agung Sedayu sebaik-baiknya. Namun kadang-kadang mereka merasa aneh, bahwa Agung Sedayu telah minta mereka untuk meninggalkannya sendiri untuk waktu-waktu tertentu.

“Mudah-mudahan aku dapat tidur nyenyak,“ berkata Agung Sedayu.

Sabungsari dan Glagah Putih tidak berprasangka apapun juga. Meskipun timbul juga pertanyaan, tetapi mereka menganggap bahwa Agung Sedayu benar-benar ingin tidur untuk beristirahat. Kehadiran mereka di bilik itu akan dapat mengganggunya, sehingga ia tidak dapat tidur dengan nyenyak.

Namun dalam pada itu, kadang-kadang Agung Sedayu telah memanggil mereka untuk berada di dalam bilik itu sekedar berbicara tentang apapun juga yang dapat dipergunakan untuk sekedar mengisi waktu dan sedikit melupakan perasaan sakit yang menggigit.

Sebenarnyalah Agung Sedayu berusaha untuk melakukan petunjuk Ki Waskita dan Kiai Gringsing. Ia mencoba mengingat apa yang telah terjadi atasnya. Kemudian iapun mencoba menilai, sampai pada batas manakah ia berhasil mengetrapkan ilmu kebal yang dipelajarinya dari isi kitab Ki Waskita.

Ketajaman ingatan Agung Sedayu telah memberikan gambaran kepadanya, seolah-olah ia melihat apa yang telah terjadi pada dirinya sendiri. Namun pada saat-saat ia akan menukik lebih dalam lagi untuk menilai ilmunya, maka rasa-rasanya badannya masih terlalu letih, sehingga keringatnya telah membasahi pakaian dan pembaringannya, sementara rasa nyeri di tubuhnya masih saja selalu menyengatnya.

Jika ia sudah merasa keletihan yang sangat, maka seperti pesan gurunya dan Ki Waskita, maka iapun melepaskan usahanya untuk menilai keadaannya dalam hubungannya dengan ilmu kebalnya lebih jauh lagi. Pada saat-saat yang demikian, maka ia harus beristirahat sebaik-baiknya.

Meskipun demikian. Agung Sedayu sadar, bahwa penilaiannya kembali atas ilmunya itu, memang sebaiknya dilakukan pada saat tubuhnya masih dicengkam oleh perasaan nyeri dan sakit. Dengan demikian ia akan mendapat petunjuk dan takaran yang tepat yang dapat dipergunakannya untuk menilai ilmunya itu.

“Aku tidak akan sembuh dalam satu dua hari,“ desis Agung Sedayu. “Sehingga dengan demikian ia tidak tergesa-gesa sehingga kehilangan waktu untuk beristirahat sebaik-baiknya.”

Namun dalam pada itu. Pada saat-saat Agung Sedayu mengalami masa penyembuhan. Kiai Gringsing kadang-kadang telah digelitik oleh perkembangan keadaan. Pada saat-saat tertentu, jika ia berada seorang diri di dalam sanggarnya, kadang-kadang ia sempat melihat kepada dirinya sendiri. Kepada orang-orang di sekitarnya. Dan kepada lingkungan luas yang sedang bergejolak semakin dahsyat.

“Keadaan itu tercermin dalam hubungan antara Mataram dan Pajang sekarang ini,” berkata Kiai Gringsing kepada diri sendiri, “Rasa-rasanya udara di atas Pajang membujur sampai ke Mataram menjadi semakin panas. Air di sungai-sungai rasa-rasanya telah mendidih dan tanahpun bagaikan menjadi retak-retak dan menyemburkan api yang menyala.”

Kadang-kadang terasa jantung orang tua itupun menjadi panas. Tetapi ia masih tetap berusaha untuk mengekang diri. Membatasi tingkah lakunya yang sebagaimana dikenal orang pada saat itu.

Namun kadang-kadang tanpa sesadarnya terlonjak pula sentuhan di hatinya orang-orang itu mulai bermunculan. Ilmu yang sudah mengendap berpuluh tahun tiba-tiba telah muncul kembali. Kemampuan yang melampaui kemampuan yang sudah dikagumi. Kesaktian yang mengatasi kesaktian yang pilih tanding. Yang dianggap tidak terkalahkan telah dikalahkan.

Tetapi Kiai Gringsing itu menggelengkan kepalanya.

Jika sekali dirabanya pergelangan tangannya, maka iapun selalu berusaha untuk mengalihkan pikirannya kepada yang lain.

“Agung Sedayu harus segera sembuh,” desisnya, “Apakah pantas orang-orang tua berlomba menyombongkan diri dalam ungkapan ilmu yang paling aneh sekalipun. Biarlah yang muda bangkit menyusun masa depan yang jauh lebih baik.”

Tetapi jauh didasar hatinya terdengar suara lamat-lamat, “Tetapi jika keadaan telah menyudutkan, apa boleh buat.”

Namun dalam pada itu, yang kemudian nampak adalah usaha yang sungguh-sungguh dari Kiai Gringsing untuk mengobati Agung Sedayu. Namun sementara itu. Agung Sedayupun telah mempergunakan waktu dengan sungguh-sungguh pula menjelang kesembuhannya, agar ia dapat mengambil manfaat dari keadaannya.

Sementara Atung Sedayu mendapat perawatan dari Kiai Gringsing, maka Ajar Tal Pitupun telah mendapat perawatan pula. Ki Pringgajaya telah mengirimkan seorang yang memiliki kemampuan untuk mengobati luka di dalam tubuh Ajar Tal Pitu. Sehingga dengan demikian, maka keadaannyapun berangsur sembuh.

Namun keduanya bagaikan sedang berpacu. Ajar Tal Pitu berusaha untuk secepatnya sembuh. Rumah itu bagaikan neraka baginya. Karena iapun telah dibayangi oleh kegelisahan, bahwa setiap saat prajurit Pajang akan datang menyergapnya.

Mereka tidak mengenal tempat ini orang yang tinggal di rumah itu selalu berusaha untuk menenangkannya.

“Mereka bukan orang-orang bodoh,” jawab Ajar Tal Pitu.

“Tetapi tidak banyak orang yang mengenal tempat ini. Hanya beberapa orang kepercayaan Ki Pringgajaya saja,“ jawab penghuni rumah itu.

“Tetapi aku lebih senang cepat sembuh daripada harus tinggal di sini,“ berkata Ajar Tal Pitu itu pula, “Kecuali aku akan segera bebas dari kecemasan untuk ditangkap oleh prajurit-prajurit Pajang, akupun segera dapat mempersiapkan diri. Bahwa anak ingusan itu sudah dapat mengusir aku dari medan, adalah dendam yang tiada taranya dalam hidupku.”

“Masih cukup waktu. Kau tidak perlu tergesa-gesa.”

Ajar Tal Pitu menarik nafas dalam-dalam. Tetapi ia selalu bergumam, “Tumenggung Prabadaru ternyata tidak cermat mengamati lawan yang akan dihadapkan kepada murid-muridku. Aku sendiri tidak mampu berbuat banyak di medan itu. Apalagi murid-muridku yang nampaknya mengalami nasib sangat buruk.”

“Mereka masih tetap hidup,“ berkata penghuni rumah itu, “Kawanku yang berhasil mendengar keterangan para prajurit mengatakan bahwa tiga orang murid Tal Pitu tertangkap hidup.”

“Sulit untuk membedakan antara mati dan tertangkap. Tetapi memang masih ada kemungkinan betapapun kecilnya untuk mengambil murid-muridku dari tangan orang-orang Pajang,” desis Ajar Tal Pitu itu.

Penghuni rumah itu mengangguk-angguk. Tetapi sebenarnyalah, sulit sekali bagi Ajar Tal Pitu untuk membebaskan murid-muridnya yang tertangkap. Kecuali dalam keadaan yang khusus. Namun selama mereka masih hidup, kemungkinan itu memang masih ada.

Dengan usaha yang sungguh-sungguh dan gelora di dalam hati, Ajar Tal Pitu yang seakan-akan tidak terkendali maka nampaknya keadaan Ajar Tal Pilu itu dengan cepat berangsur baik. Dalam waktu beberapa hari saja ia sudah dapat berjalan-jalan. Di kebun belakang tempat ia dirawat. Bahkan ia telah mulai mencoba menggerakkan anggauta badannya. Di malam hari ia sudah mulai meloncat-loncat untuk memulihkan keadaannya. Sedikit demi sedikit. Mula-mula sekedarnya. Semakin lama menjadi semakin banyak dan semakin berat.

“Aku sudah hampir pulih kembali,“ berkata Ajar Tal Pitu itu.

Orang yang tinggal di rumah itupun melihat, seakan-akan Ajar Tal Pitu telah utuh kembali. Meskipun demikian, menurut Ajar Tal Putu itu sendiri, masih ada yang belum pulih seperti sediakala. Ia masih belum dapat memusatkan kemampuannya seutuhnya, sehingga ilmunya yang paling dahsyat dapat terpancar sepenuhnya. Namun perlahan-lahan kemampuannya itupun telah berkembang di setiap hari sejalan dengan perkembangan keadaannya yang menjadi semakin baik.

Agak berbeda dengan Ajar Tal Pitu, Agung Sedayu tidak terlalu tergesa-gesa untuk sembuh. Meskipun keadaannya juga berangsur baik, tetapi Agung Sedayu justru mengambil manfaat dari keadaannya. Pada saat-saat tertentu ia sempat menilai keadaannya dalam hubungannya dengan pengetrapan ilmunya. Meskipun ia tidak berada di Sanggar, tetapi ia mengambil kesempatan untuk berada di dalam biliknya seorang diri.

Ia masih tetap pada alasan untuk dapat beristirahat sebaik-baiknya, sehingga tidak seorangpun yang berada di dalam biliknya.

Pada saat yang demikian, Agung Sedayu sempat menilai dan membuat pertimbangan tentang ilmunya. Seolah-olah ia mendapat bahan banding atas usahanya membangunkan ilmu kebal di dalam dirinya dengan kenyataan yang dialaminya.

Pada setiap kesempatan yang demikian. Agung Sedayu mencoba untuk menelusuri kembali, saat-saat ia mulai mempelajari ilmu itu. Kemudian perkembangannya setapak demi setapak. Sehingga akhirnya sampai pada suatu tataran di mana Ajar Tal Pitu masih berhasil meremukkan bagian dalam tubuhnya.

Pengamatan dan penilaian kembali, serta keadaan tubuhnya yang bagaikan lumat itu, telah menuntun Agung Sedayu menemukan jalan yang tepat meningkatkan ilmunya lebih lanjut. Khususnya ilmu kebalnya. Di saat-saat ia merenung. Maka rasa-rasanya ia menemukan lapisan-lapisan yang akan dapat didakinya sehingga tataran yang jauh lebih baik dari tataran yang telah diinjaknya.

Ketika Agung Sedayu sudah dapat bangkit dari pembaringannya dan berjalan-jalan satu dua langkah di halaman, maka mulailah ia memasuki sanggarnya. Justru ketika tubuhnya masih belum sembuh benar, mulailah ia menempa diri. Dengan sentuhan-sentuhan lemah pada bagian tubuhnya yang bagaikan lumat di dalam. Agung Sedayu mencari kelemahan-kelemahan yang masih ada padanya dan berusaha menemukan lambaran yang dapat menutup kelemahannya itu sesuai dengan ilmu yang dipelajarinya, seperti yang pernah dibacanya dalam kitab yang dipinjamkan oleh Ki Waskita kepadanya, dan isinya terpahat pada dinding jantungnya.

Karena itulah, maka keadaan Agung Sedayu agak berbeda dengan keadaan Ajar Tal Pitu. Ketika Ajar Tal Pilu telah menemukan kekuatannya kembali sehingga hampir pulih seperti sedia kala. Agung Sedayu masih nampak lemah dan merasa sakit dan pedih pada bagian dalam tubuhnya meskipun sudah berangsur berkurang.

Namun dengan demikian, sejalan dengan kesembuhannya yang lambat, maka ilmu kebal Agung Sedayupun meningkat pula semakin mapan, hingga ilmunya akan benar-benar mampu melindungi dirinya terhadap gangguan atas tubuhnya.

Namun dalam pada itu, ia selalu menyadari seperli yang dikatakan oleh gurunya, bahwa tidak ada kelebihan mutlak pada siapapun. Betapapun tinggi ilmu seseorang, namun pada suatu saat, ia akan terpaksa melihat satu kenyataan, bahwa ada kemampuan lain yang dapat melampauinya. Lebih dari itu, apa yang dimiliki itu adalah satu kurnia sehingga penggunaannya harus dikembalikan bagi satu kepentingan yang sejalan dengan kurnia itu sendiri.

Sementara itu, ternyata Untara tidak menemukan apa-apa dari orang-orang yang dapat ditangkapnya. Orang-orang itu hanya dapat menyebut Ki Partasanjaya dan Ki Tumenggung Prabadaru. Selebihnya tidak.

Namun dengan demikian, Untara sudah mempunyai bahan cukup untuk menilai keadaan Tumenggung Prabadaru. Untara sendiri masih belum tahu dengan pasti, apakah yang sebenarnya bergejolak di Pajang, ia menyadari bahwa ada satu kekuatan yang mempunyai sikap dan pendirian tersendiri. Namun iapun masih belum dapat menilai dalam keseluruhan yang menyangkut kekuatan yang samar itu. Pajang sendiri yang mulai rapuh, dan Mataram yang baru tumbuh.

Karena itu. Untara menyadari, bahwa ia harus melangkah dengan hati-hati. Iapun mengerti, bahwa di antara prajurit-prajurit Pajang yang berada di Jati Anom itupun harus dimulainya dengan cermat.

Sementara itu, keadaan Ajar Tal Pitu telah sembuh sama sekali. Kekuatannya telah pulih dan dendamnyapun menjadi semakin membara, karena itu, maka ia bertekad untuk dapat melepaskan dendamnya terhadap anak muda yang baginya merupakan sasaran dendam yang tidak akan dapat dilupakannya.

“Aku harus melakukan tempaan diri itu,“ berkata Ajar Tal Pitu di dalam hatinya, “Ilmuku harus menjadi sempurna, dan aku akan melumatkan anak muda itu menjadi seonggok debu yang tidak berarti lagi.”

Namun Ajar Tal Pitupun sadar sepenuhnya, kepentingannya dapat sejalan dengan kepentingan Ki Pringgajaya. Dan ia tidak mau Ki Pringgajaya justru mengambil keuntungan dari dendamnya tanpa imbalan timbal balik.

Karena itu. Maka Ajar Tal Pilu itupun telah bersedia berbicara dengan Ki Pringgajaya dan Ki Tumenggung Prabadaru. Bahkan berkepentingan dengan Tumenggung yang dianggapnya telah, menjerumuskan murid-muridnya ke dalam kesulitan.

“Aku sendiri tidak dapat berbuat apa-apa pada waktu itu,” berkata Ajar Tal Pitu itu di dalam hatinya.

Ki Pringgajaya yang memenuhi pesannya sebelum ia meninggalkan Ajar Tal Pitu itu, memang telah datang menemuinya. Mereka mulai membicarakan kepentingan bersama itu. Mereka masing-masing mulai membicarakan imbalan yang paling pantas atas pertimbangan keuntungan pada semua pihak.

“Harus diperhitungkan ketiga muridku yang tertangkap atau terbunuh di pertempuran itu,” berkata Ajar Tal Pitu, “Jika tidak, aku akan menemui Ki Tumenggung sendiri untuk mengajukan persoalanku kepadanya atas ketiga anak-anak itu.”

“Kita akan membicarakannya,“ berkala Ki Pringgajaya.

Tetapi pembicaraan itu sendiri tidak dapat diselesaikan dalam sebuah pembicaraan, karena persoalannya menyangkut pihak lain yang ikut menentukan. Karena itu, Ki Pringgajaya minta agar Ajar Tal Pitu jangan meninggalkan tempat itu.

“Kau kira aku tidak mempunyai kaki yang dapat aku pergunakan untuk menjelajahi seluruh wilayah Pajang. Kenapa aku harus tinggal di sini ? Apakah kau kira jika aku pergi, aku tidak akan dapat kembali lagi kemari pada hari-hari yang ditentukan, atau bertemu di tempat lain yang lebih baik ?”

Ki Pringgajaya tersenyum. Katanya, “Terserah kepadamu. Tiga hari lagi aku akan datang kemari dengan membawa keterangan dari Ki Tumenggung.”

“Tiga hari lagi, saat matahari terbenam aku akan datang,” sahut Ajar Tal Pilu. Lalu. “Setelah itu, aku memerlukan waktu empat puluh hari empat puluh malam untuk menempa diri. Sebelum aku bertemu dengan anak ingusan yang mencoreng arang di keningku itu, aku masih merasa segan untuk mencapai kesempurnaan ilmu karena syaratnya cukup berat. Empat puluh hari empat puluh malam aku harus berpuasa tidak makan beras biji-bijian yang lain, ubi-ubian apapun juga dan garam dalam bentuk apapun. Kemudian tiga hari terakhir aku harus pati geni. Baru kemudian, ilmuku akan menjadi sempurna, dan tidak seorangpun akan dapat mengalahkan aku dalam perang tanding.”

“Juga Agung Sedayu ?“ bertanya Ki Pringgajaya.

“Tentu,“ jawab Ajar Tal Pitu dengan serta merta, “Pertempuran di sebelah Lemah Cengkar itupun telah menyatakan, bahwa ilmuku lebih baik dari ilmunya. Bertanyalah kepada orang-orangmu yang sempat berada di sekitar padepokan kecil itu. Apalagi bertemu dengan cantrik padepokan itu.”

“Untuk apa ?“ bertanya Ki Pringgajaya.

“Agung Sedayu sampai saat ini masih belum sembuh. Bahkan ia masih dalam keadaan parah. Bukankah dengan demikian terbukti bahwa keadaanku lebih baik dari keadaan Agung Sedayu pada saat pertempuran itu berlangsung,“ desis Ajar Tal Pilu.

“Dari mana kau tahu ?“ bertanya Ki Pringgajaya itu pula.

“Aku sudah mengelilingi padepokan kecil itu dan bertemu dengan cantrik yang pergi ke sawah. Aku mendengar dari cantrik itu, apa yang telah terjadi atas Agung Sedayu,“ jawab Ajar Tal Pitu.

“Jika demikian, kenapa kau saat itu melarikan diri dari arena dan bahkan aku ketemukan kau sudah pingsan ?“ bertanya Ki Pringgajaya.

Wajah Ajar Tal Pitu itu menegang sejenak, lalu katanya, “Aku salah duga atas anak muda itu. Aku kira ia masih cukup kuat untuk melawanku. Juga karena pengaruh keadaan pada waktu itu, sehingga aku kurang dapat mengamati keadaan lawanku yang sebenarnya. Karena itu aku meninggalkan arena. Sementara air hujan yang tercurah dari langit mempersulit usahaku untuk memperbaiki pernafasanku sehingga aku justru menjadi pingsan. Tetapi apa kau kira Agung Sedayu tidak pingsan dan bahkan hampir mati. Gurunya adalah seorang yang tiada bandingnya dalam ilmu obat-obatan. Di bawah perawatannya, anak itu masih memerlukan waktu yang lebih lama dari waktu yang diperlukan untuk menyembuhkan luka-lukaku.”

Ki Pringgajaya mengerutkan keningnya. Sambil mengangguk-angguk ia berkata, “Baiklah. Tiga hari lagi setelah matahari terbenam.”

Aku tidak akan dapat bertahan di rumah ini. Aku akan kembali ke padepokanku. Aku harus mempersiapkan diri menjelang saat-saat aku berusaha mencapai tingkat ilmuku yang sempurna.

Ki Pringgajaya tidak berkeberatan apapun yang akan dilakukan oleh Ajar Tal Pitu. Tetapi keduanya sudah berjanji untuk bertemu dalam tiga hari lagi. Keduanya akan membicarakan, persetujuan yang saling menguntungkan. Ki Pringgajaya memerlukan bantuan Ajar Tal Pitu untuk mengurangi hambatan jalan menuju satu masa yang dicita-citakan yang sudah tentu tanpa Pajang dan Mataram, sementara Ajar Tal Pitu memang ingin melepaskan dendamnya yang membara di dalam dadanya. Tetapi justru ia sadar, bahwa Ki Pringgajaya memerlukannya.

Namun dalam pada itu, ternyata Ki Pringgajaya ingin juga membuktikan, apakah yang dikatakan oleh Ajar Tal Pilu itu benar, bahwa Agung Sedayu masih belum sembuh benar.

Untuk itu Ki Pringgajaya telah mengirimkan dua orang dengan sandi untuk berbicara dengan cantrik dari padepokan itu jika mereka pergi ke sawah. Tetapi dengan pesan agar mereka tidak menimbulkan kecurigaan.

Ternyata yang dikatakan oleh Ajar Tal Pilu itu benar. Pada saat Ajar Tal Pilu sudah pulih seperti sedia kala, ternyata bahwa Agung Sedayu masih belum sembuh.

Dari para cantrik yang ditemuinya di sawah. Maka para pengikut Ki Pringgajaya itu mengetahui bahwa meskipun Agung Sedayu sudah dapat bangkit dari pembaringannya. Tetapi masih belum sembuh dari luka-lukanya. Ia masih terlalu lemah dan kadang-kadang bahkan nampak letih sekali.

“Apakah gurunya tidak berusaha untuk menyembuhkannya dengan cepat ?“ bertanya orang itu.

“Tentu. Kiai Gringsing sudah memberikan obat apa saja. Bahkan dengan pengobatan khusus. Tetapi perkembangan kesehatannya sangat lambat,” jawab cantrik itu.

“Kasihan,” desis pengikut Ki Pringgajaya.

“Siapa kau ?“ bertanya cantrik itu.

“Aku. Kau belum pernah melihat aku ?“ pengikut Ki Pringgajaya itu ganti bertanya.

Cantrik itu menggeleng. Jawabnya, “Belum.”

“Aku anak Jati Anom.” jawab pengikut Ki Pringgajaya, “Kita sering berpapasan. Jika kau pergi ke sawah dan kebetulan aku pulang dari sawah.”

“Di mana letak sawahmu ? Begitu jauh ?“ bertanya cantrik itu.

“Aku juga harus mengerjakan sawah Pamanku di paling ujung dari bulak ini. Bukankah sawah padepokanmu terletak di seberang parit dari petak padas yang ditumbuhi perdu itu.” sahut pengikut Ki Pringgajaya.

Cantrik itu mengangguk-angguk sambil menjawab, “Di sanalah kami diperbolehkan membuka hutan.”

“Ya. Tetapi sekarang daerah itu nampak subur. Tidak bedanya dengan sawah Pamanku yang aku garap itu. Nampaknya semula orang mengira bahwa di seberang petak padas itu, tidak akan dapat ditemukan tanah yang subur. Dikiranya tanah itu juga berpadas dengan gerumbul-gerumbul yang jarang. Tetapi kalian berhasil menggarapnya menjadi tanah pertanian yang subur.”

“Kami mengolahnya dengan sungguh-sungguh,“ jawab cantrik itu.

Namun cantrik itu memang tidak curiga sama sekali, bahwa orang-orang itu adalah para pengikut Ki Pringgajaya yang sekedar ingin mengetahui keadaan Agung Sedayu. Dengan demikian cantrik itupun segera melupakannya ketika orang-orang itu telah meninggalkannya.

Sebenarnyalah bahwa keadaan Agung Sedayu memang masih belum pulih seperti sedia kala. Ia masih nampak lemah dan kadang-kadang, bahkan ia menjadi letih seperti orang yang kehabisan tenaga. Seolah-olah luka di dalam tubuhnya itu menjadi bertambah parah. Namun kadang-kadang ia nampak lebih baik sehingga ia dapat berjalan-jalan di kebun di belakang padepokannya bersama Sabungsari dan Glagah Putih.

Namun seperti para cantrik itu tidak menyadari bahwa ia telah memberikan keterangan kepada orang-orang yang justru lawan Agung Sedayu, maka merekapun juga tidak mengerti, bahwa selama itu Agung Sedayu justru telah memanfaatkan keadaannya.

Meskipun tidak ada kesengajaan untuk memperlambat kesembuhannya, tetapi karena pada saat-saat tertentu ia harus menempa diri sehingga menuntutnya mengerahkan tenaganya yang masih belum pulih benar itu, maka kesembuhannyapun menjadi lambat. Dan itupun telah disadarinya, seperti juga disadari oleh Kiai Gringsing dan Ki Waskita.

Namun Kiai Gringsing dan Ki Waskitapun mengetahui, jika nanti Agung Sedayu sembuh, maka ia tentu sudah memiliki ilmu kebal yang mapan. Meskipun ilmu itu tidak setingkat dengan daya tahan ilmu yang pernah dimiliki oleh Sultan Hadiwijaya di Pajang dan yang mungkin juga sudah dimiliki meskipun belum sempurna oleh Raden Sutawijaya. Yaitu ilmu Tameng Waja, namun ilmu kebal yang dipelajari Agung Sedayu dan kemudian di matangkannya justru pada saat-saat tubuhnya terluka di dalam itu. Akan bermanfaat baginya.

Berita yang diterima oleh para pengikut Ki Pringgajaya itu memang menggembirakan bagi Ki Pringgajaya. Dengan demikian iapun sependapat bahwa ilmu Ajar Tal Pitu masih selapis lebih tinggi dari ilmu yang dimiliki Agung Sedayu. Jika kemudian Ajar Tal Pitu masih akan mesu diri. Dengan berpuasa empat puluh hari empat puluh malam, dan kemudian pati geni selama tiga hari tiga malam, maka ilmunya yang dahsyat itu tentu akan mencapai tingkat sempurna. Dengan demikian maka Agung Sedayu tentu tidak akan berhasil melawannya.

Yang menjadi persoalan kemudian, apakah Ajar Tal Pitu akan berhasil melibatkan Agung Sedayu ke dalam perang tanding ?.

Namun dalam pada itu. Kiai Gringsingpun tidak dapat mengabaikan peredaran waktu yang berjalan demikian cepatnya. Seolah-olah orang-orang padepokan kecil di Jati Anom itu telah mengikat satu janji dengan Ki Gede Menoreh, bahwa pada suatu saat. Agung Sedayu akan pergi ke Menoreh menjelang hari-hari yang sudah dibicarakan dengan Ki Demang Sangkal Putung. Dengan demikian, maka segalanya harus cepat diselesaikan. Demikian pula peningkatan ilmu Agung Sedayu pada saat tubuhnya terluka parah.

Karena itu, maka Kiai Gringsingpun telah berusaha mempercepat usaha Agung Sedayu itu agar rencana yang lain tidak tertunda.

Sementara itu. Ajar Tal Pitu telah mengadakan pembicaraan-pembicaraan dengan Ki Pringgajaya sebagai kelanjutan pembicaraan yang pernah mereka lakukan. Atas persetujuan Tumenggung Prabadaru. Maka Ki Pringgajaya yang kemudian menyebut dirinya Ki Partasanjaya itu telah membuat perjanjian-perjanjian baru dengan Ajar Tal Pitu. Jika semula hanya tiga orang muridnya sajalah yang diserahkan kepada Ki Tumenggung, namun yang tidak berhasil melakukan sesuatu, maka kemudian Ajar Tal Pitu sendirilah yang mengikat perjanjian itu.

“Sudah aku katakan,“ berkata Ajar Tal Pitu, “Aku berbicara khusus mengenai Agung Sedayu. Aku tidak peduli orang-orang lain. Karena itu kesempatan yang aku cari adalah kesempatan untuk berperang tanding.”

“Terserah kepadamu,“ jawab Ki Pringgajaya, “Harga yang kita bicarakan juga hanya harga Agung Sedayu, meskipun kami tahu, seandainya kami pura-pura tidak mengetahui tentang hubunganmu dengan dendammu, maka kami tidak akan terlibat.”

“Aku tidak akan berbuat apa-apa,“ desis Ajar Tal Pitu.

“Kamipun dapat bersikap serupa. Apakah kau akan membalas dendam atau tidak bukan urusanku,“ jawab Ki Pringgajaya.

“Kau licik,“ geram Ajar Tal Pitu, “Tetapi baiklah. Aku akan membunuhnya dengan imbalan seperti yang kau katakan. Tetapi bagiku imbalan yang lebih berharga adalah satu kepuasan untuk dapat membunuh orang yang pernah menggagalkan usahaku. Yang pernah menyelamatkan diri dari tanganku.”

Ki Pringgajaya tersenyum. Katanya, “Jangan kau sebut aku licik. Kaulah yang terlalu tamak. Kau ingin membalas dendam, orang lain kau paksa untuk memberikan upah untuk kerjamu itu.”

“Persetan,“ geram Ajar Tal Pitu, “Bukankah ini satu persetujuan.”

“Ya. Satu persetujuan yang mengikat kita,“ jawab Ki Pringgajaya.

“Aku akan melakukan. Tetapi aku harus meyakinkan diriku, bahwa aku akan berhasil. Aku memerlukan waktu empat puluh hari empat puluh malam dan tiga hari tiga malam untuk pati geni,“ berkata Ajar Tal Pitu.

“Terserah,“ jawab Ki Pringgajaya, “Tetapi jika sebelumnya ada orang lain yang berhasil melakukannya, jangan menyesal bahwa imbalan yang aku janjikan akan jatuh ketangan orang lain, dan sementara itu. Dendammu akan tetap membara di jantungmu.”

“Tidak ada orang yang dapat melakukannya,“ jawab Ajar Tal Pitu.

“Apakah kau yakin bahwa aku tidak dapat melakukannya jika aku mendapat kesempatan untuk berperang tanding ?“ bertanya Ki Pringgajaya.

“Kau tidak mampu. Jika kau mampu, kau sudah melakukannya,” jawab Ajar Tal Pitu.

“Aku mempunyai persoalan tersendiri dengan Untara. Ia tentu akan menangkap aku tidak dalam kesempatan perang tanding, ia akan mengerahkan para pengawalnya, karena aku dianggapnya berkhianat sehingga aku tidak akan mendapat kesempatan untuk berperang tanding itu.” Ki Pringgajaya menjelaskan.

“Aku tidak peduli. Tetapi apapun alasannya, kau akan dapat membunuhnya. Dan akulah yang akan melakukannya setelah satu setengah bulan mendatang,“ berkata Ajar Tal Pitu.

“Sudahlah. Terserah kepadamu,“ jawab Ki Pringgajaya, “Lakukan, dan kemudian hubungi aku di tempat ini. Aku akan selalu ingat waktu di sekitar satu setengah bulan itu.”

Ajar Tal Pitu yang kemudian meninggalkan Ki Pringgajaya itu berjanji, akan melakukan seperti apa yang dikatakannya. Ia yakin, setelah ia melakukan kewajiban terakhir untuk menyempurnakan ilmunya, maka ia pasti akan dapat membunuh Agung Sedayu.

“Seandainya aku bukan seorang pemalas, dan sudah melakukannya sebelum aku bertemu dengan anak iblis itu,“ geram Ajar Tal Pitu, “Aku tidak akan menderita malu, bahwa aku telah gagal membunuh anak ingusan itu. Dengan syarat itu, maka ilmuku akan tidak terlawan oleh siapapun.”

Namun dalam pada itu, Ajar Tal Pilu masih juga berusaha bertemu dengan seorang cantrik dari padepokan Kiai Gringsing. Pada saat-saat musim matun, maka ia berharap ada satu dua orang cantrik yang bekerja di sawah. Seperti sawah-sawah yang lain, rumput yang tumbuh di antara batang padi, harus dicabut agar padi yang tumbuh tidak menjadi terdesak oleh batang-batang rumput liar.

Ternyata Ajar Tal Pitu berhasil bertemu dengan cantrik seperti yang diharapkan. Sambil berjongkok di pematang, ia menunggui seorang cantrik yang sedang mencabuti rumput dengan tekunnya.

“Jadi Agung Sedayu masih belum sembuh sampai hari ini ?“ bertanya Ajar Tal Pitu.

“Ya. Nampaknya gurunya menjadi gelisah. Kiai Gringsing sudah berusaha dengan pengobatan khusus. Kadang-kadang keduanya berada di sanggar untuk waktu yang lama. Namun justru Agung Sedayu nampaknya masih saja letih dan payah,“ jawab cantrik itu.

“Kasihan,“ desis Ajar Tal Pitu,“Kalau demikian, aku tidak ingin mengganggunya. Mudah-mudahan ia lekas sembuh. Lain kali sajalah aku menemuinya.”

“Siapa kau ?“ bertanya cantrik itu.

“Bukan apa-apa. Aku kawannya meskipun ia jauh lebih muda dari aku. Aku dan Agung Sedayu mempunyai kegemaran yang sama,” jawab orang itu, “Kadang-kadang kami asyik berbantah dengan tidak ingat waktu lagi tentang beberapa jenis pusaka. Aku seorang penggemar wesi aji.”

Seperti yang telah terjadi, cantrik itupun tidak banyak menaruh minat terhadap orang itu. Demikian orang itu pergi, maka cantrik itupun sudah melupakannya.

Namun dengan demikian Ajar Tal Pitu itupun semakin yakin akan dirinya. Setelah ia mesu diri empat puluh hari empat puluh malam dan kemudian pati-geni tiga hari tiga malam, maka ia dengan mudah akan dapat mengalahkan Agung Sedayu.

Tetapi sementara itu Agung Sedayupun telah sampai pada batas-batas pengamatannya. Atas bantuan gurunya dan Ki Waskita, ia dapat mengambil beberapa kesimpulan, sehingga iapun dapat menentukan langkah-langkah pemantapan ilmunya, dengan dasar-dasar tuntunan dari isi kitab yang pernah dibacanya.

Karena itulah, ketika keadaannya sudah menjadi semakin baik, dan luka-luka di dalam tubuhnya telah sembuh, maka mulailah ia dengan sungguh-sungguh melakukan pembajaan diri di dalam sanggarnya.

“Aku akan memerlukan beberapa waktu lagi agar aku benar-benar menjadi sembuh,“ berkata Agung Sedayu kepada Glagah Putih yang juga menjadi gelisah karena ia harus berlatih tanpa Agung Sedayu untuk waktu yang baginya sudah terlalu lama. Untunglah Sabungsari di luar tugas tugasnya sebagai seorang prajurit mendapat ijin khusus untuk berada di luar baraknya dan tinggal di padepokan itu. Lalu berkata Agung Sedayu pula, “Untuk mempercepat penyembuhan itu. Maka aku memerlukan waktu-waktu khusus untuk berada di sanggar.”

Glagah Pulih mengangguk kecil. Katanya, “Cepatlah sembuh kakang. Semua orang ilmunya meningkat, sementara aku tetap berhenti pada satu tataran yang masih terlalu rendah.”

“Tidak,“ jawab Agung Sedayu, “Tidak terlalu rendah sesuai dengan umurmu.”

“Jangan bergurau. Ketika kakang Agung Sedayu seumurku, tentu kakang sudah mempunyai dasar ilmu yang matang.” desis Glagah Putih.

“Seumurmu aku masih selalu takut lewat tikungan randu alas yang menurut ceriteranya ada gendruwo bermata satu itu. Dan apa lagi ke Lemah Cengkar yang ada harimau putihnya,“ jawab Agung Sedayu. Lalu katanya, “Sehingga karena itu, aku tidak pernah berani ke Sangkal Putung sendiri meskipun Paman Widura ada di Sangkal Putung waktu itu. Bukan karena pasukan Tohpati yang kurang aku mengerti, tetapi karena aku tidak berani melalui jalan yang di tikungannya ada sebatang randu alas dengan gendruwo bermata satu. Juga tidak tterani lewat Macanan.”

“Bohong,“ desis Glagah Putih, “Kakang hanya membesarkan hatiku.”

“Bertanyalah kepada Paman Widura. Paman tahu pasti keadaanku waktu itu,” jawab Agung Sedayu, “Ketika kakang Untara terluka parah di jalan, maka ia memaksa aku untuk pergi ke Sangkal Putung di malam hari dengan cara yang aneh. Ia mengancam akan membunuhku jika aku tidak mau. Ternyata ketakutan yang sangat itu telah mendesak ketakutanku terhadap gendruwo bermata satu.”

Glagah Pulih tertawa. Sabungsari yang mendengar ceritera itu tertawa juga. Tetapi Glagah Putih berkata, “Kakang selalu bergurau jika aku bersungguh-sungguh menuntut untuk mendapatkan waktu.”

Agung Sedayupun tertawa. Katanya, “Sebentar lagi aku akan sembuh sama sekali. Kita akan mulai dengan latihan-latihan seperti sebelum aku terluka.”

“Kapan kakang pergi ke Tanah Perdikan Menoreh ?“ bertanya Glagali Putih.

“Masih lama. Setelah aku sembuh sama sekali,“ jawab Agung Sedayu.

“Waktunya tinggal sedikit sebelum kakang pergi ke Tanah Perdikan Menoreh, sementara aku belum sempat berbuat apa-apa,“ desis Glagah Putih.

“Percayalah. Masih ada waktu,“ jawab Agung Sedayu.

Glagah Putih tidak dapat memaksa. Ia harus berlatih sendiri bersama Sabungsari, atau bersama ayahnya.

Ternyata bahwa sejak hari-hari itu. Agung Sedayu justru lebih banyak berada di dalam sanggar. Kadang-kadang ia sendiri, tetapi kadang-kadang ia bersama dengan Kiai Gringsing dan Ki Waskita.

Namun Glagah Putih menjadi berdebar-debar, ketika sejak ia bangun di satu pagi ia tidak melihat Agung Sedayu. Di pembaringannya tidak ada dan di pakiwan juga tidak ada.

“Ia sudah berada di sanggar,“ berkata Kiai Gringsing.

Glagah Putih mengerutkan keningnya. Namun iapun hanya mengangguk-angguk kecil. Ia sadar, bahwa Agung Sedayu sedang berusaha dengan caranya untuk menyembuhkan luka-lukanya.

Tetapi Glagah Putih menjadi berdebar-debar, ketika matahari mulai condong. Ternyata Agung Sedayu masih belum keluar dari sanggarnya. Bahkan sampai saatnya matahari terbenam.

Dengan gelisah ia menemui Kiai Gringsing dan Ki Waskita untuk menanyakan, kenapa Agung Sedayu tidak keluar dari sanggarnya setelah sehari penuh ia berada di dalam.

“Ia berada pada saat-saat terakhir dari usahanya untuk menyembuhkan dirinya sendiri,“ berkata Kiai Gringsing, “Mungkin ia akan berada di sanggarnya satu hari satu malam.”

“Satu hari satu malam,“ bertanya Glagah Putih dengan heran.

“Ya satu hari satu malam,“ jawab Kiai Gringsing.

“Tidak makan dan tidak minum ?“ bertanya Glagah Putih pula.

“Ya. Tidak makan dan tidak minum,“ jawab Kiai Gringsing, “Bukan baru hari ini. Apakah kau melihat sejak beberapa hari yang lalu, kakangmu Agung Sedayu makan ?”

“Ya,“ Glagah Putih mengerutkan keningnya, “Kakang Sedayu masih belum mau makan.”

Kiai Gringsing tidak bertanya lebih lanjut. Sebenarnyalah bahwa sudah sejak beberapa hari Agung Sedayu mengurangi makan dan minum sesuai dengan petunjuk yang didapatkannya dari isi kitab Ki Waskita. Namun ia mulai makan empon-empon dan dedaunan. Pada hari yang terakhir ia berada di dalam sanggar tanpa makan dan tanpa minum sama sekali. Di ipusatkannya segenap nalar budinya dalam usahanya untuk meningkatkan ilmunya, dengan sepenuh kesadaran bahwa apapun tidak ada yang dapat sempurna. Meskipun demikian, dengan kesungguhan hati Agung Sedayu menghadapkan permohonannya kepada Sumber dari segala sumber, untuk memohon perlindungan dalam ujud ilmu yang dapat membuatnya kebal. Namun dengan sadar, bahwa yang akan dimiliki itu bukannya satu sifat mutlak.

Satu hari satu malam Agung Sedayu berada di dalam sanggar. Dengan gelisah semua orang menunggunya. Terutama Glagah Putih. Hampir semalam suntuk ia tidak dapat memejamkan matanya. Sekali-sekali ia justru keluar dari biliknya, turun kelongkangan. Namun kemudian iapun kembali ke dalam biliknya lagi.

Glagah Putih mendengar dengan terang, saat-saat ayam jantan berkokok untuk yang pertama, kedua dan menjelang dini hari. Kemudian, ia sama sekali tidak tahan untuk tetap berada di dalam biliknya. Menjelang matahari terbit, ia sudah berada di halaman samping, memandang seakan-akan tanpa berkedip ke arah pintu sanggar yang tertutup.

Dalam pada itu, di dalam sanggar padepokan kecil itu. Agung Sedayu masih duduk di atas sebuah batu di gardu. Setelah sehari semalam ia duduk tanpa makan dan minum, terasa seolah-olah isi tubuhnya bergejolak. Di arahnya seakan-akan mengalirkan arus panas dari pusat jantungnya, menjalar keseluruh tubuhnya sampai ke ujung-ujung uratnya. Kulit dagingnya bagaikan dipanggang di atas bara, sehingga menjadi matang karenanya. Sementara tulang-tulangnya seolah-olah telah bergemeretakkan di dalam badannya.

Ketika terdengar suara ayam jantan berkokok didini hari. Agung Sedayu bagaikan terbangun. Tubuhnya yang mulai sembuh itu telah menjadi sakit dan panas melampaui saat-saat ia terluka parah. Namun ketika Agung Sedayu mulai menenangkan hatinya dan berusaha mengatur pernafasannya, terasa yang sakit itu bagaikan terhisap menyusuri urat di seluruh tubuhnya kembali kepusat jantungnya. Sesaat terasa jantungnya yang menjadi sarang segala macam perasaannya itu akan meledak, namun lambat laun titik udara dingin mulai menyentuh jantung yang bagaikan membara itu.

Perlahan-lahan perasaan sakit, pedih, nyeri dan panas itupun mulai susut. Namun perasaan letih dan lelah mulai terasa merayapi segala sendi-sendinya. Bahkan kemudian perasaan mual dan pening telah menjamahnya.

Tetapi seperti yang seharusnya dilakukan, ia sudah melampaui batas yang ditentukan. Karena itu, maka perlahan-lahan ia mulai menggerakkan jari-jarinya. Jari-jari tangan dan kakinya. Kemudian ia mulai beringsut perlahan-lahan. Betapa perasaan letih dan lelah telah mencengkamnya, maka iapun berusaha untuk bangkit.

Agung Sedayu harus berpegangan pada dinding sanggarnya agar ia tidak terjatuh. Rasa-rasanya tanah tempatnya berpijak bagaikan bergoyang oleh pening di kepalanya. Namun ia telah memaksa dirinya untuk merayap sampai ke pintu sanggarnya.

Perlahan-lahan ia mempergunakan sisa tenaganya tmtuk membuka selarak pintu. Kemudian dengan tangan yang lemah ia mulai menarik daun pintu sanggar itu.

Glagah Putihlah yang melihat pertama kali daun pintu itu bergerak. Karena itu, maka iapun segera berlari-lari mendekatinya. Namun langkahnya tertegun ketika ia melihat Agung Sedayu berdiri berpegangan uger-uger pintu dengan wajah yang pucat pasi.

“Kakang,“ desis Glagah Putih.

Agung Sedayu bertahan untuk tidak jatuh. Sekilas ia teringat saat-saat ia mesu diri di dalam goa. Perasaannya mirip dengan yang dirasakannya saat itu.

Meskipun demikian, ia mencoba tersenyum. Dengan suara bergetar ia berkata, “Aku sudah selesai Glagah Putih.”

“Tetapi kakang nampaknya tidak menjadi sembuh,“ jawab Glagah Putih sambil melangkah mendekat.

Agung Sedayupun kemudian berpegangan padapundak adiknya. Katanya, “Tolong aku sampai ke dalam.”

“Kakang menjadi bertambah parah,“ desis Glagah Putih.

Yang terdengar adalah jawaban dari serambi, “Tidak Glagah Putih. Kakakmu akan sembuh.”

Glagah Putih berpaling. Dilihatnya Kiai Gringsing. Ki Waskita, Ki Widura dan Sabungsari berdiri ditangga serambi.

Agung Sedayupun memandang mereka sejenak. Namun kemudian desisnya, “Bantu aku.”

Dengan dipapah oleh Glagah Putih, Agung Sedayu yang merasa tubuhnya letih sekali dan kepalanya bagaikan berputar telah naik lewat pintu samping masuk ke ruang dalam. Dengan tangan gemetar ia menerima semangkuk cairan berwarna putih agak kehijau-hijauan.

“Minumlah,“ desis Kiai Gringsing memberikan minuman itu.

Agung Sedayupun kemudian mengangkat cairan itu kemulutnya dengan tangannya yang lemah. Hampir saja ia gagal meletakkan mangkuk itu ke bibirnya. Namun akhirnya seteguk demi seteguk cairan itu diminumnya.

Terasa kesegaran merayapi seluruh tubuhnya. Badannya yang bagaikan tidak bertulang lagi itupun mulai terasa hidup kembali.

“Beristirahatlah dahulu,“ berkata Kiai Gringsing, “Mungkin kau merasa lapar. Tetapi kau tidak boleh tergesa-gesa makan.”

Agung Sedayu tersenyum. Wajahnya yang pucat sudah mulai dijalari oleh warna darahnya.

Untuk beberapa saat Agung Sedayu duduk dengan tenang. Namun kemudian Kiai Gringsing berkata, “Jika kau masih merasa sangat letih, kau dapat berbaring di pembaringanmu.”

Agung Sedayu memang merasa sangat letih. Matanya menjadi berat oleh perasaan kantuk yang terasa mulai menjamahnya.

Karena itu, maka iapun kemudian minta diri untuk masuk ke dalam biliknya.

Ketika ia bangkit dan berdiri, ternyata bahwa ia tidak lagi merasa gemetar. Beberapa teguk cairan yang diberikan oleh gurunya telah membuat tubuhnya agak segar. Meskipun kemudian ia masih berpegangan pada lengan Glagah Putih, namun ia sudah merasa dapat berjalan dengan tegak.

“Berbaringlah kakang,“ desis Glagah Putih.

Agung Sedayupun kemudian berbaring di pembaringannya. Nampaknya cairan yang diminumnya masih bekerja terus. Tubuhnya menjadi semakin lama semakin segar. Perasaan kantuknya terasa semakin mencengkam. Namun sebelum ia tertidur, Sabungsari telah datang kepadanya sambil membawa semangkuk bubur cair.

“Jangan tidur dahulu,“ desis Sabungsari.

Agung Sedayupun kemudian bangkit dan duduk dibibir pembaringannya. Bubur cair yang masih hangat itupun kemudian dimakannya. Tidak terlalu banyak. Namun serasa tubuhnya segera menjadi semakin kuat. Urat-urat darahnya yang bagaikan membeku mulai bergetar dan rasa-rasanya seisi tubuhnya telah bergerak kembali.

“Duduklah sebentar,“ berkata Sabungsari, “Kemudian tidurlah sehari penuh.”

Demikianlah maka Agung Sedayupun merasa perlu untuk beristirahat sepenuhnya di pembaringan. Namun ketika matanya sudah terkatub, terpaksa dibukanya kembali karena gurunya berdiri di sisinya sambil berkata, “Tidurlah. Karena masih ada yang harus kau kerjakan nanti malam.”

Agung Sedayu memandang wajah gurunya sejenak. Namun sambil tersenyum Kiai Gringsing berkata selanjutnya, “Sudahlah. Sekarang kau memang harus tidur sebaik-baiknya.”

Agung Sedayu tidak bertanya lebih lanjut. Apalagi gurunya itupun segera meninggalkannya. Karena itu, maka iapun telah memejamkan matanya. Dan sejenak kemudian, iapun telah tertidur.

Dengan demikian, maka tubuh Agung Sedayupun menjadi bertambah segar. Ketika ia bangun menjelang tengah hari. Maka terasa tubuhnya telah pulih kembali. Rasa-rasanya segala macam perasaan sakit, pening, letih dan lelah telah lenyap.

Perlahan-lahan Agung Sedayu bangkit. Kemudian ia menggeliat. Ia merasa bahwa ia lelah benar-benar pulih.

Ketika ia kemudian keluar dari dalam biliknya, dan keluar ke pendapa, maka Glagah Putih yang sedang berada di halamanpun melihat. Berlari-lari kecil ia mendekatinya sambil bertanya, “Bagaimana keadaanmu kakang ?”

Agung Sedayu tersenyum. Katanya, “Aku sudah baik Glagah Putih.”

“Ketika kau keluar dari sanggar, kau bukannya menjadi sembuh, tetapi kau nampak semakin parah,“ berkata Glagah Putih.

“Untuk beberapa saat. Tetapi sekarang aku sudah sembuh. Sudah benar-benar sembuh. Bahkan terasa segala perasaan yang mengganggu telah lenyap sama sekali,“ jawab Agung Sedayu.

Glagah Putih mengangguk-angguk. Katanya, “Sokurlah. Tetapi kau masih nampak pucat dan kurus.”

“Itu sudah wajar,” jawab Agung Sedayu, “Aku sudah lama tidak doyan makan. Rasa-rasanya mulutku menjadi pahit sekali.”

“Dan kau tidak makan sehari semalam di dalam sanggar,” sambung Glagah Putih.

“Aku sampai pada taraf penyembuhan yang terakhir. Ternyata cara dan obat yang diberikan oleh Kiai Gringsing benar-benar telah menyembuhkan aku sepenuhnya,” sahut Agung Sedayu.

“Tetapi kau tentu masih belum dibenarkan untuk bekerja berat atau berbuat sesuatu yang dapat membuat sakitmu kambuh lagi. Duduklah,“ berkata Sabungsari kemudian.

“Aku ingin berjalan-jalan di kebun,” berkata Agung Sedayu, “Mudah-mudahan tubuhku menjadi semakin segar.”

”Mari, aku akan mengantarmu,“ desis Glagah Putih.

Keduanyapun kemudian berjalan-jalan di kebun belakang padepokan mereka. Ketika Agung Sedayu melihat buah jambu air yang bergayutan, maka iapun tersenyum sambil berkata, “Tentu segar sekali.”

“Kakang, pohon manggis itu juga berbuah lebat,“ berkata Glagah Putih.

Tetapi Agung Sedayu menggeleng. Katanya, “Perutku baru saja mengalami keadaan yang tidak teratur. Aku tidak berani makan buah manggis.”

“Baiklah, duduklah. Aku akan mengambil buah jambu air itu saja,“ berkala Glagah Putih.

Sambil makan buah-buahan, Agung Sedayu duduk di bawah pohon yang teduh. Tubuhnya terasa semakin segar. Ia tidak merasa lagi bekas luka-luka yang parah di dalam tubuhnya.

Di siang hari. Agung Sedayu telah makan bersama dengan isi padepokan yang lain. Ia tidak lagi makan bubur yang lunak. Tetapi ia sudah makan nasi seperti yang lain.

Namun demikian, setiap kali masih tetap terngiang di telinganya pesan gurunya, bahwa masih ada yang harus dikerjakan malam nanti.

Menjelang sore hari, Sabungsari datang pula dari Jati Anom. Ia jarang tinggal di dalam baraknya. Sebagian besar waktunya di luar tugasnya, ia selalu berada di padepokan.

“Kau sudah kelihatan pulih,“ berkata Sabungsari.

“Ya,“ jawab Agung Sedayu, “Aku sudah benar-benar sembuh.”

Namun dalam pada itu, ketika gelap mulai menyelimuti padepokan itu. Kiai Gringsing berkata kepadanya, “Masuklah ke dalam sanggar. Taraf penyembuhan terakhir masih harus dilakukan.”

Agung Sedayu menarik nafas dalam-dalam, sementara Glagah Putih yang menjadi cemas. Bertanya, “Kiai, apakah kakang masih harus mengalami sesuatu yang dapat membuatnya bertambah pucat dan kurus ?”

Kiai Gringsing tersenyum. Jawabnya,”Tidak Glagah Putih. Segalanya yang terasa berat baginya telah lampau. Tidak ada apa-apa lagi. Benar-benar hanya satu cara untuk melihat, apakah ia benar-benar telah sembuh.”

Glagah Putih tidak bertanya lagi. Namun dengan jantung yang berdebar-debar ia melihat Agung Sedayu memasuki sanggarnya. Diikuti oleh Kiai Gringsing dan Ki Waskita. Sementara ayahnya hanya berada di serambi samping bersama dengan Sabungsari dan kemudian Glagah Putih pula.

Untuk beberapa saat sanggar itu menjedi sepi. Pintunya tertutup rapat. Sementara cahaya lampu minyak yang lemah nampak membayang di dalamnya.

Untuk beberapa saat Glagah Putih menunggu. Namun tiba-tiba ia terkejut ketika ia mendengar ledakan cambuk di dalam sanggar.

“Apa artinya ayah ?,“ bertanya Glagah Putih yang terlonjak berdiri.

“Kiai Gringsing tahu benar apa yang dikerjakan,“ jawab ayahnya.

Glagah Putih yang menjadi tegang itu menarik nafas dalam-dalam, sementara Sabungsaripun menjadi tegang pula.

Dalam pada itu. Di dalam sanggar sebenarnyalah bahwa Kiai Gringsing telah meledakkan cambuknya. Di perintahkannya Agung Sedayu duduk di atas batu. Kemudian dengan cambuknya ia telah memukul Agung Sedayu yang duduk sambil mengetrapkan ilmu kebalnya. Mula-mula perlahan-lahan, namun semakin lama semakin kerab.

“Kau sudah sampai pada tingkat yang lebih baik Agung Sedayu,“ berkata gurunya, “Ilmu kebalmu telah mampu menahan ujung cambukku. Kau bukannya sekedar tidak terluka kulitmu, tetapi bukankah kau tidak merasa sakit pula di dalam tubuhmu.”

Agung Sedayu mengangkat wajahnya. Kemudian sambil menggeleng ia berkata, “Rasa-rasanya tubuhku benar-benar telah dilindungi oleh ilmu itu guru.”

“Bagus,“ berkata Kiai Gringsing, “Aku akan mencoba lagi dengan kekuatan yang lebih besar. Bersiaplah. Tetapi jika kau merasa bahwa ujung cambuk itu menembus ilmumu, katakanlah.”

Agung Sedayu menarik nafas dalam-dalam.

Namun iapun yakin bahwa gurunya tentu mempunyai perhitungann yang mapan. Karena itu, maka katanya pasrah, “Terserahlah kepada guru, aku akan melakukannya.”

“Agung Sedayu,” berkata Kiai Gringsing, “Kau sudah memasuki tataran dari orang-orang yang berilmu tinggi. Karena itu, maka aku akan mempergunakan seluruh kekuatanku untuk meledakkan cambuk ini meskipun tidak dengan serta merta. Karena itu, dalam peningkatan yang perlahan-lahan kau jangan ragu-ragu untuk menghentikannya, apabila terasa bahwa ilmumu masih tertembus oleh kekuatan yang terlontar pada ujung cambukku.”

Agung Sedayu mengangguk. Yang terjadi bukannya perang tanding. Karena itu, ia tidak akan menahan diri, seandainya ia merasa perlu untuk menghentikan sentuhan ujung cambuk Kiai Gringsing.

Dalam pada itu, Agung Sedayupun segera mempersiapkan diri. Sementara itu. Kiai Gringsing mulai memutar cambuknya. Ia tidak lagi mempergunakan kekuatan wajarnya. Tetapi ia mulai menghimpun tenaga cadangannya, meskipun setingkat demi setingkat.

Sejenak kemudian cambuk Kiai Gringsing itupun meledak. Tidak begitu keras seperti ledakan sebelumnya. Namun dalam pada itu telah terlontar kekuatan yang tiada taranya.

Agung Sedayu masih duduk berdiam diri. Ia merasa sentuhan ujung cambuk Kiai Gringsing. Tetapi iapun merasa bahwa ujung cambuk yang meledak tidak terlalu keras dalam tangkapan telinga wadag itu, tidak pula menembus ilmu kebalnya.

Dua tiga kali cambuk Kiai Gringsing meledak. Karena itu tidak melihat Agung Sedayu memberikan isyarat apapun, maka Kiai Gringsing telah meningkatkan kekuatannya. Tenaga cadangannya yang terhimpun menjadi semakin banyak!

Sejenak kemudian cambuk itu meledak. Namun Agung Sedayu masih tetap duduk diam.

“Luar biasa,“ berkata Kiai Gringsing di dalam hatinya. Bahkan kemudian orang tua itupun telah memberanikan diri untuk mengerahkan segenap kemampuannya. Di ihimpunnya segala tenaga cadangan yang dapat dilakukannya. Kiai Gringsing bertekad untuk mempergunakan segenap kemampuannya seakan-akan ia berhadapan dengan lawan yang memiliki ilmu yang tidak ada duanya.

Sejenak kemudian, maka sekali lagi terdengar cambuk itu meledak. Terdengar suaranya justru menjadi semakin lambat. Namun dalam pada itu, terasa di jantung mereka yang mendengarnya, seakan-akan dada mereka telah terguncang pula karenanya.

Ki Widura dan Sabungsari menahan nafasnya. Sementara Glagah Putih menjadi heran, bahwa seolah-olah ia mendengar sesuatu yang lain di dalam sanggar itu. Bahkan iapun menjadi bingung, bahwa jantungnya telah menggelepar pula di dalam dadanya.

Ki Waskita yang juga berada di dalam sanggar itu menahan nafas. Ia mengenal dengan baik. Tingkat ilmu dan kemampuan Kiai Gringsing. Dan iapun mengerti, bahwa Kiai Gringsing telah mempergunakan segala kekuatanmya untuk mencoba kemampuan muridnya.

Dalam pada itu, ketika ujung cambuk Kiai Gringsing itu menyentuh kulit Agung Sedayu. Maka Agung Sedayu itupun berkisar meskipun hanya setebal jari. Ia masih nampak menggigit bibirnya sesaat, meskipun kemudian seolah-olah ia tidak merasakan sesuatu.