Api di Bukit Menoreh 141

Swandaru mengangguk-angguk. Ia tidak dapat menyangkal, bahwa Untara adalah pengganti ayah Bunda Agung Sedayu. Meskipun Agung Sedayu sudah cukup dewasa, namun dalam beberapa hal, maka ia tidak akan dapat meninggalkan kakak kandungnya itu.

Karena itu, maka Swandarupun kemudian berkata, “Aku kira Guru akan dapat menemui kakang Untara, mengatakan beberapa hal yang bersangkutan dengan kakang Agung Sedayu. Sudah tentu seperti yang kita sepakati, bahwa dalam hubungan ini, kakang Agung Sedayu akan berada di Tanah Perdikan Menoreh, karena aku minta pertolongannya. Bukan dalam hubungan dengan Mataram.”

Kiai Gringsing mengangguk-angguk. Namun sudah mulai terbayang, Untara akan menghujaninya dengan pertanyaan-pertanyaan yang menyangkut keputusan itu. Dan iapun tidak mengkesampingkan satu kemungkinan bahwa Untara akan tersinggung mendengar bahwa adiknya akan sekedar menjadi seorang yang berada di Tanah Perdikan untuk melakukan tugas bakal kakak iparnya, yang menyandang tugas tersebut karena isterinya.

Tetapi Kiai Gringsing tidak dapat ingkar. Ia adalah guru Agung Sedayu yang akan berbuat sebagaimana ia berbuat bagi anak kandungnya sendiri.

Karena itu, maka Kiai Gringsingpun kemudian memberikan kesanggupannya untuk memberitahukan masalah Agung Sedayu kepada Swandaru setelah ia bertemu dengan Untara, sekaligus membicarakan kemungkinan anak muda itu melakukan tugas di Tanah Perdikan Menoreh.

“Kami akan menunggu Guru,“ berkata Swandaru, “Agaknya hal ini akan menggembirakan ayah pula. Sebenarnyalah bahwa ayah memang sudah menunggu kepastian hubungan antara kakang Agung Sedayu dan Sekar Mirah. Sebagai orang tua dari seorang gadis yang sudah dewasa, maka ayah tentu menginginkan persoalan anak gadisnya itu cepat selesai.”

Kiai Gringsing mengangguk-angguk. Ia mengerti sepenuhnya perasaan Ki Demang itu.

Karena itulah, maka Pandan Wangipun kemudian berkata, “Aku mohon diri untuk keluar dan mungkin aku perlu mengawani Sekar Mirah yang sendiri di luar.”

“Ia bersama Agung Sedayu,“ desis Swandaru.

“Kakang Agung Sedayu masih berbicara dengan Sabungsari,“ jawab Pandan Wangi.

“Bertiga. Sekar Mirahpun berada bersama mereka,“ sahut Swandaru.

Namun demikian Pandan Wangipun kemudian meninggalkan ruang itu diikuti oleh Swandaru. Terasa oleh keduanya, jika sebenarnyalah persoalan Agung Sedayu dan Sekar Mirah cepat diselesaikan, maka hal itu akan terasa baik bagi segala pihak.

Dalam pada itu, setelah Ki Waskita melihat anak-anak muda dari Sangkal Putung itu keluar dari ruang dalam, maka iapun kemudian masuk ke ruang itu. Dengan nada dalam ia berkata, “Aku mohon waktu sebentar Kiai. Ada sesuatu yang ingin aku sampaikan.”

“O, silahkan. Marilah,“ Kiai Gringsing mempersilahkan. Namun kemudian, “Ki Waskita membuat aku menjadi berdebar-debar. Jika Ki Waskita nampak demikian bersungguh-sungguh, tentu ada persoalan yang sangat menarik yang akan disampaikan.”

Ki Waskita tersenyum. Tetapi ia tidak membantah. Memang ada persoalan yang penting yang akan disampaikannya.

Sejenak kemudian, maka kedua orang tua itu telah duduk berhadapan. Namun agaknya Ki Waskita memang nampak bersungguh-sungguh, sehingga Kiai Gringsingpun menanggapinya dengan bersungguh-sungguh pula.

Dalam pada itu, maka Ki Waskitapun segera mengatakan maksudnya. Ia datang menemui Kiai Gringsing dalam keadaan yang khusus, karena ia telah melihat satu keadaan yang baginya sangat menarik perhatiannya.

“Kiai,“ berkata Ki Waskita, “Aku telah melihat satu isyarat. Karena itu, aku ingin menyesuaikan diri dengan pendapat Kiai, apakah yang nampak dalam isyarat itu.”

Kiai Gringsing mengerutkan keningnya. Katanya, “Aku tidak terbiasa melakukannya Ki Waskita. Bukankah justru Ki Waskita telah melakukan hal serupa itu untuk bertahun-tahun lamanya ?”

“Ya Kiai. Aku telah melakukannya untuk bertahun-tahun lamanya. Dalam beberapa hal aku dapat mengatakan dengan keyakinan yang hampir bulat akan arti dari isyarat yang aku lihat. Namun terhadap Agung Sedayu tiba-tiba saja aku menjadi ragu-ragu, seperti Agung Sedayu yang selalu ragu-ragu pula,“ jawab Ki Waskita.

Kiai Gringsing menarik nafas dalam-dalam. Namun sambil tersenyum ia berkata, “Baiklah Ki Waskita. Kita akan berbicara tentang sesuatu yang kurang aku mengerti. Tetapi kita dapat mencobanya.”

“Kiai,“ desis Ki Waskita kemudian, “Masalahnya bukan sekedar isyarat yang aku lihat. Tetapi aku ingin menyesuaikan dengan persoalan-persoalan yang Kiai ketahui. Dengan demikian, maka kita akan dapat menelusuri penglihatan kita dengan dua jalur. Isyarat dan perhitungan.”

Kiai Gringsing mengangguk-angguk. Katanya, “Baiklah. Marilah, kita mencoba untuk menerobos ke masa mendatang.”

Ki Waskita beringsut setapak. Kemudian iapun menceriterakan apa yang sudah dilihatnya pada isyarat di dalam penglihatan batinnya. Kemudian, iapun ingin mengerti, apa saja yang sudah diketahui oleh Kiai Gringsing tentang hubungan antara Agung Sedayu dengan Tanah Perdikan Menoreh, isinya dan segala yang bersangkut paut dengan Tanah Perdikan itu.

Untuk beberapa saat keduanya berbincang. Namun ternyata bahwa jalur pembicaraan mereka berkisar pada kemungkinan yang buram bagi Agung Sedayu.

“Nampaknya ada beberapa persoalan yang akan mengganggu usahanya di Tanah Perdikan itu,“ berkata Ki Waskita, “Meskipun pada umumnya hanya sepintas, namun pada saatnya, ia benar-benar akan dicengkam oleh satu peristiwa yang mengaburkan kedudukannya.”

Kiai Gringsing mengangguk-angguk. Katanya, “Nampaknya memang demikian Ki Waskita. Menurut perhitungan nalar, hal itu memang mungkin terjadi. Di tanah Predikan Menoreh terdapat seorang anak muda yang Ki Waskita tentu sudah mengenalnya.”

“Prastawa,“ desis Ki Waskita.

“Ya. Dan ada beberapa sudut pertimbangan yang dapat mengganggu kedudukannya. Prastawa sebagai seorang keponakan Ki Gede Menoreh yang dapat saja merasa dirinya berhak pula atas Tanah Perdikan itu. Ia dapat merasa lebih berhak dari Agung Sedayu. Ia dapat saja merasa bahwa jika Swandaru berhalangan, maka dirinyalah yang seharusnya menjalankan tugas. Sementara persoalan yang lain, yang dapat menjadi sebab timbulnya kabut di atas Tanah Perdikan itu adalah karena sikap Prastawa yang aneh terhadap Sekar Mirah.”

Ki Waskita mengerutkan keningnya. Mulai terbayang lagi garis-garis warna yang berbeda-beda pada penglihatan batinnya. Sementara itu Kiai Gringsing telah menceriterakan pula apa yang didengarnya dari Swandaru dan Pandan Wangi tentang anak muda yang bernama Prastawa itu.

Dengan bahan yang didengarnya dari Kiai Gringsing, maka Ki Waskita seolah-olah melihat gambaran masa-masa mendatang bagi Agung Sedayu di Tanah Perdikan Menoreh. Ia menjadi semakin cemas melihat bayangan masa mendatang itu. Ia tidak dapat lagi ingkar dari penglihatan dan uraian yang seharusnya dilihatnya. Agung Sedayu akan mengalami cobaan yang sangat berat selama ia berada di Tanah Perdikan Menoreh pada masa dekat atau jauh. Namun seolah-olah ada sedikit ketenangan yang terselip di hatinya. Agung Sedayu akan tetap pada suatu keadaan yang cukup baik betapapun ia mengalami goncangan-goncangan yang sangat berat.

Namun terselip juga pertanyaan di hati Ki Waskita, “Apakah penglihatanku masih belum tuntas, sehingga aku tidak dapat melihat akhir yang paling ujung dari keadaan Agung Sedayu itu ?”

Tetapi Ki Waskita mencemaskan keterbatasan tekad Agung Sedayu. Ia termasuk seorang yang lemah dan penuh dengan kebimbangan. Jika goncangan-goncangan itu terlalu keras baginya, maka kemungkinan untuk tetap bertahan baginya adalah terlalu kecil.

Dalam pada itu, Ki Waskitapun mulai memperhitungkan hubungan antara Tanah Perdikan Menoreh dengan Mataram dan Pajang.

“Ki Waskita,“ berkata Kiai Gringsing kemudian, “Nampaknya Ki Waskita melihat hari-hari yang buram di dalam kehidupan Agung Sedayu. Tetapi nampaknya yang Ki Waskita lihat adalah langkah-langkah yang panjang dari satu masa. Karena itu, mungkin ada gunanya untuk mempertebal satu keyakinan bahwa kesulitan-kesulitan itu akan teratasi.”

“Kiai,“ berkata Ki Waskita, “Apakah Kiai setuju, bahwa pertimbangan-pertimbangan dari kejadian-kejadian yang mungkin akan dialami oleh Agung Sedayu itu dapat diberitahukan kepadanya secara bijaksana dan atas dasar perhitungan nalar. Bukan sekedar ceritera ngayawara menurut penglihatan isyarat semata-mata. Dengan demikian, maka Agung Sedayu akan dapat mempersiapkan diri dan kesiagaan batin untuk mengalami peristiwa-peristiwa yang cukup berat baginya itu.”

“Mungkin ada juga gunanya,“ sahut Kiai Gringsing, “Tetapi harus benar-benar disampaikan dengan bijaksana seperti yang Ki Waskita katakan. Agung Sedayu bukan orang yang mudah berprasangka buruk terhadap orang lain. Karena itulah, maka ia harus mendapat satu keyakinan yang dapat menggugah perasaannya, bahwa hal yang demikian itu akan dapat terjadi. Tentu saja seperti yang Ki Waskita katakan, masalahnya harus dapat diurai dengan nalar.”

Ki Waskita mengangguk-angguk. Ia mengerti watak anak muda itu, hampir seperti yang diketahui oleh Kiai Gringsing sendiri.

Dalam pada itu, maka keduanyapun akhirnya sepakat untuk memberikan bekal lahir dan batin kepada Agung Sedayu, sementara itu, keduanyapun sepakat, bahwa dalam waktu yang dekat Agung Sedayu harus mengikat hubungannya dengan Sekar Mirah dalam satu ikatan perkawinan. Dengan demikian diharapkan bahwa pihak-pihak lain tidak akan lagi mengganggu salah satu dari keduanya.

Demikianlah, maka di luar pengetahuan Agung Sedayu, beberapa pihak telah membicarakan tentang dirinya. Bahkan kemudian atas kesepakatan mereka pula, hal itu disampaikan oleh Kiai Gringsing kepada Ki Gede Menoreh.

Ki Gede Menoreh yang telah berada di pendapa, di lewat senja sambil minum minuman panas bersama dengan orang-orang tua di padepokan itu, mendengarkan keterangan Kiai Gringsing yang berterus terang.

Ki Gede Menoreh menarik nafas dalam-dalam. Sementara itu Kiai Gringsing, Ki Waskita dan Ki Widura menunggu, bagaimanakah sikap Ki Gede atas persoalan yang telah mereka sampaikan itu.

Untuk beberapa saat Ki Gede justru terdiam. Namun ia mengerti, bahwa persoalan yang dikemukakan oleh Kiai Gringsing itu bukan persoalan yang dapat dikesampingkan.

“Ki Gede,“ berkata Kiai Gringsing kemudian, “Betapapun persoalan itu merupakan persoalan yang cukup penting, namun bukan berarti bahwa rencana itu tidak akan dapat dilangsungkan.”

Ki Gede mengangguk-angguk. Katanya, “Ya Kiai. Kitapun ikut memikul tanggung jawab jika terjadi sesuatu yang tidak kita kehendaki. Karena itu, kita yang tua-tua tidak akan melepaskan tanpa pengawasan sama sekali.”

“Ki Gede benar. Selain semua masalah itu, Agung Sedayu bagi Tanah Perdikan Menoreh adalah orang baru. Meskipun Agung Sedayu pernah berada di Tanah Perdikan itu, namun secara keseluruhan ia memang bukan anak Tanah Perdikan itu,“ berkata Kiai Gringsing.

“Benar Kiai. Tetapi itu bukan berarti bahwa Agung Sedayu tidak akan dapat berbuat sesuatu bagi Tanah Perdikan itu. Jika ia sudah berada di Tanah Perdikan Menoreh, maka ia akan mengenal Tanah Perdikan itu sebaik-baiknya. Jika ia memang berniat, maka ia akan dapat mengenali nilai-nilai yang terdapat di atas Tanah Perdikan itu. Dengan demikian ia akan dapat memilih. Nilai-nilai yang manakah yang perlu dipelihara, dikembangkan dan dibina. Meskipun ia tidak ikut serta sebelumnya, bukan berarti bahwa ia tidak akan dapat melakukannya,“ desis Ki Gede Menoreh. Kemudian, “Namun, persoalan-persoalan yang terlalu khusus dan pribadi itu kadang-kadang memang akan dapat mengganggu persoalan besar dalam keseluruhan.”

Ternyata dalam pembicaraan selanjutnya, Ki Gede Menoreh sependapat, bahwa dalam waktu dekat. Agung Sedayu harus mengikat hubungannya dengan Sekar Mirah dalam satu ikatan perkawinan.

Nampaknya pembicaraan itu sudah masak. Meskipun demikian, terlaksananya tergantung sekali dengan yang bersangkutan. Agung Sedayu dan Sekar Mirah harus ditemui dan mereka harus menyatakan pendapat mereka. Baru kemudian Kiai Gringsing akan datang kepada Untara untuk menyampaikan dua masalah sekaligus. Yang pertama mengenai perkawinan Agung Sedayu dan Sekar Mirah, dan yang kedua mengenai permintaan Ki Gede Menoreh dengan kesepakatan Swandaru dan Pandan Wangi untuk menyerahkan bimbingan membantu Tanah Perdikan Menoreh kepada Agung Sedayu seperti yang dilakukan oleh Swandaru atas Kademangan Sangkal Putung, terutama bagi anak-anak mudanya.

“Bukankah Ki Gede tidak tergesa-gesa kembali ke Tanah Perdikan Menoreh ?“ bertanya Kiai Gringsing.

“Aku akan menunggu, jika persoalannya akan cepat mendapat kepastian,“ jawab Ki Gede.

“Aku akan mencobanya. Besok kita akan berbicara dengan Agung Sedayu dan Sekar Mirah,“ berkata Kiai Gringsing, “Tentu saja tidak dengan maksud meninggalkan orang tua Sekar Mirah. Tetapi karena di sini ada Swandaru, maka ia akan dapat mewakili ayahnya mengikuti masalahnya. Baru kemudian masalahnya akan kita sampaikan kepada Ki Demang, ayah Sekar Mirah.”

“Terserahlah kepada Kiai Gringsing,“ jawab Ki Gede, “Kiai tentu lebih banyak mengetahui tentang anak-anak itu.”

“Baiklah. Aku harap, Swandaru besok tidak tergesa-gesa kembali ke Sangkal Putung. Nampaknya Kademangannya tidak dapat ditinggalkannya terlalu lama, justru pada saat-saat seperti ini. Untuk bermalam satu malam di sinipun rasa-rasanya terlalu berat baginya. Aku harus menahannya dan sedikit memaksanya untuk menunggu perkembangan pembicaraan ini,“ berkata Kiai Gringsing.

Dengan demikian, maka persoalannya semakin jelas. Kiai Gringsingpun telah minta kepada Ki Widura, menemui Untara. Sebelum ia mengantar Agung Sedayu menghadap. Bagaimanapun juga, Widura sebagai Pamannya, tentu masih mempunyai wibawa dalam persoalan keluarga dalam hubungan rencana perkawinan Agung Sedayu itu.

Namun karena itulah, maka Ki Gede tidak dapat segera kembali ke Tanah Perdikan Menoreh. Ia masih akan tinggal satu dua hari lagi. Bahkan jika mungkin menunggu kesempatan Kiai Gringsing berbicara dengan Widura. Tetapi sebelum itu dilakukan, besok Kiai Gringsing akan berbicara dengan Agung Sedayu dan Sekar Mirah langsung di bawah saksi orang-orang tua di padepokan itu dan Swandaru bersama isterinya.

Ketika di pagi hari berikutnya. Agung Sedayu dan Sekar Mirah dipanggil oleh Kiai Gringsing, tidak di pendapa, tetapi di ruang dalam yang sementara itu beberapa orang tua telah ada di dalamnya, mereka menjadi berdebar-debar. Agung Sedayu dan Sekar Mirah melihat Swandaru ada di tempat itu pula, sementara Pandan Wangi duduk di sebelahnya sambil menundukkan kepalanya. Suasana yang nampaknya bersungguh-sungguh itu membuat kedua anak muda itu menjadi gelisah.

“Kemarilah. Mendekatlah,” minta Kiai Gringsing kepada kedua anak-anak muda itu.

Dengan ragu-ragu Agung Sedayu dan Sekar Mirahpun mendekat. Mereka duduk dengan kepala tunduk. Seolah-olah mereka duduk di hadapan orang-orang yang akan mengadili mereka dalam satu perkara yang sangat gawat.

Sejenak kemudian terdengar Kiai Gringsing berkata, “Jangan gelisah ngger. Meskipun suasana ini nampaknya sungguh-sungguh, namun kami hanya akan sekedar berbincang tentang persoalan yang sangat wajar. Yang tidak ada ikatan dan apa lagi akibat yang akan dapat mengikat kalian.”

Agung Sedayu mengangkat wajahnya sejenak. Namun kemudian kepalanya tertunduk lagi.

Sekilas terbayang lagi pembicaraan tentang Tanah Perdikan Menoreh itu. Ia sudah menyediakan diri untuk berada di Tanah Perdikan Menoreh jika tidak ada persoalan khusus yang menghalanginya. Dan kini ia harus menghadap orang-orang tua itu lagi, yang tentu dalam persoalan yang ada hubungannya dengan tugas yang akan dibebankan kepadanya di Tanah Perdikan Menoreh.

Dalam pada itu, dengan sangat berhati-hati, dan sama sekali tidak menyinggung persoalan yang menyangkut Prastawa di Tanah Perdikan Menoreh, Kiai Gringsing mulai membayangkan kemungkinan yang lebih jauh lagi dalam hubungan antara Agung Sedayu dan Sekar Mirah.

Agung Sedayu menjadi sangat berdebar-debar. Akhirnya ia mengerti arah pembicaraan orang-orang tua itu. Pada dasarnya mereka menganjurkan agar Agung Sedayu dan Sekar Mirah bersedia untuk dalam waktu dekat melangsungkan perkawinan mereka, meskipun tidak harus sebelum Agung Sedayu berada di Tanah Perdikan Menoreh.

Tidak sepatah katapun dapat diucapkan oleh Agung Sedayu dan Sekar Mirah. Keduanya hanya menundukkan kepalanya saja. Bahkan menganggukpun rasa-rasanya keduanya tidak melakukannya.

Meskipun demikian, orang-orang tua itu mendapat kesan, bahwa keduanya memang tidak menolak. Keduanya yang sudah tidak pernah mengingkari lagi hubungan di antara mereka, memang merasa bahwa sudah waktunya hubungan itu dikukuhkan dengan ikatan perkawinan.

Dalam pada itu. Kiai Gringsing kemudian berkata, “Segalanya akan dilakukan sesuai dengan yang seharusnya. Pada satu saat, keluarga Agung Sedayu akan datang menyampaikan persoalan ini dengan resmi kepada Ki Demang di Sangkal Putung.”

Jantung Sekar Mirah bagaikan berhenti berdenyut. Rasa-rasanya perjalanan yang telah ditempuhnya dalam waktu yang sangat lama itu, pada akhirnya akan sampai juga ke tujuan.

Meskipun dalam pembicaraan itu, hanya orang-orang tua sajalah yang berbicara tanpa jawaban sepatah katapun dari kedua anak-anak muda itu, tetapi persoalannya menjadi jelas. Dalam waktu dekat, segalanya akan dilaksanakan. Namun sebelum langkah-langkah berikutnya dimulai, Kiai Gringsing akan menghadap Untara sebagai saudara tua Agung Sedayu.

Ketika pembicaraan itu dianggap sudah cukup, maka Kiai Gringsingpun kemudian berkata, “Baiklah Agung Sedayu. Kita akan mulai dengan langkah-langkah tertentu. Secepatnya, agar segalanya dapat berjalan dengan lancar dan selamat.“

Agung Sedayu masih tetap berdiam diri.

“Agaknya pembicaraan kita kali ini sudah cukup,“ berkata Kiai Gringsing kemudian, “Nanti, aku dan Pamanmu Ki Widura akan menghadap kakakmu Ki Untara.”

“Nanti ?“ berkata Agung Sedayu dengan satu-satunya kata yang terloncat dari mulutnya.

“Ya, nanti. Hari ini,“ berkata Kiai Gringsing.

Di ada Agung Sedayu menjadi semakin berdebar-debar. Ia tidak mengira bahwa segalanya akan berjalan demikian cepatnya. Seolah-olah ia tidak mendapat waktu sama sekali untuk berpikir.

Karena tidak ada lagi yang akan dibicarakan, maka Agung Sedayu dan Sekar Mirahpun kemudian meninggalkan ruangan itu. Keduanyapun kemudian duduk di serambi samping menghadap kelongkangan. Namun masing-masing ternyata hanya dapat berdiam diri sambil berangan-angan.

Swandaru dan Pandan Wangipun kemudian meninggalkan ruang dalam itu pula. Rasa-rasanya mereka ingin mendengar, apa yang akan dikatakan oleh Agung Sedayu dan Sekar Mirah.

Ketika terdengar keduanya melangkah kelongkangan, maka jantung Agung Sedayu dan Sekar Mirah menjadi semakin berdebar-debar. Namun kemudian Pandan Wangi muncul dari pintu butulan, tiba-tiba saja Sekar Mirah telah meloncat dan berlari memeluknya.

Pandan Wangi terkejut. Namun iapun menyadari betapa perasaan gadis itu telah bergolak. Ketika Pandan Wangi kemudian memeluknya pula dan mengusap rambutnya, terasa air mata Sekar Mirah telah menitik di pundaknya.

“Sudahlah Sekar Mirah,“ berkata Pandan Wangi, “Segalanya akan berjalan dengan lancar.”

Sekar Mirah justru telah terisak. Ia tidak tahu, perasaan apa yang bergejolak di dalam hatinya. Ia sendiri tidak mengerti, apakah ia menjadi gembira, gelisah, cemas atau perasaan apa lagi yang telah bergelut di hatinya.

Pandan Wangipun kemudian membimbingnya kembali ke amben di serambi. Berempat merekapun kemudian duduk di amben bambu. Namun merekapun tidak berbicara apa-apa.

Di ruang dalam, Kiai Gringsingpun kemudian telah bersiap-siap pergi menemui Untara bersama Ki Widura. Sejenak mereka masih memperbincangkan persoalan-persoalan yang akan disampaikan oleh Kiai Gringsing kepada Untara.

“Terimakasih,“ berkata Kiai Gringsing kemudian, “Nampaknya bekal yang akan aku bawa sudah lengkap.”

“Salamku kepada angger Untara,“ berkata Ki Gede Menoreh, “Aku mohon maaf, bahwa aku tidak dapat menghadap. Justru setelah persoalan penting itu disampaikan, aku mungkin sekali akan dapat bertemu barang sejenak jika angger Untara mempunyai waktu sebelum aku kembali ke Tanah Perdikan Menoreh.”

“Akan aku sampaikan Ki Gede. Tetapi aku sendiripun belum tentu dapat menemuinya kali ini, sebab kadang-kadang Ki Untara tidak berada di tempat karena tugasnya,“ jawab Kiai Gringsing.

Demikianlah, maka Kiai Gringsing dan Ki Widurapun kemudian meninggalkan padepokan itu, sementara Ki Gede Menoreh ditemani oleh Ki Waskita menunggu perkembangan pembicaraan itu di padepokan. Sementara itu, Sabungsari telah pergi ke baraknya pula untuk melakukan tugas keprajuritannya.

Swandaru dan Pandan Wangi membantu Agung Sedayu melakukan kewajibannya di padepokan bersama dengan Sekar Mirah, meskipun gadis Sangkal Putung itu tidak begitu senang berada di padepokan kecil itu.

Karena jarak padepokan itu hanya dekat saja dengan rumah Untara yang sekaligus dipergunakan bagi kepentingan prajurit-prajuritnya, maka Kiai Gringsing dan Ki Widura menempuh perjalanan pendek itu dengan berjalan kaki.

Dalam pada itu, keduanya sempat pula menilai keadaan Kademangan Jati Anom itu sendiri. Nampaknya Untara terlalu sibuk dengan tugasnya sehingga ia tidak dapat memberikan banyak waktu untuk membantu perkembangan Kademangannya. Sebagai Kademangan, agaknya Sangkal Putung mendapat kemajuan agak lebih baik dari Jati Anom sendiri.

Ketika mereka mendekati rumah Untara, kedua orang tua itu menjadi berdebar-debar. Selain karena mereka masih belum tahu apakah Untara berada di rumahnya. Juga karena persoalannya memang merupakan persoalan yang akan dapat menimbulkan salah paham.

“Mudah-mudahan ia dapat mengerti,“ desis Ki Widura.

“Tetapi angger Untara memiliki pengamatan yang tajam. Mungkin ia dapat mengerti dalam keseluruhan. Bukan saja mengerti tentang perasaan adiknya dan bakal adik iparnya, tetapi mungkin ia dapat mengerti pula, apa yang akan terjadi kelak dalam hubungan antara Pajang dan Mataram,“ gumam Kiai Gringsing.

Ki Widura menarik nafas dalam-dalam. Sambil mengangguk-angguk ia berkata, “Memang mungkin Kiai. Tetapi mudah-mudahan kita dapat membatasi persoalan. Jika Untara menarik pembicaraan ke sana, justru kitalah yang berpura-pura tidak mengetahuinya.”

Kiai Gringsing tersenyum. Katanya, “Ketajaman penglihatan batin angger Untara akan melihat pula, bahwa kita berpura-pura.”

Ki Widurapun tertawa pendek. Sambil mengangguk-angguk ia berkata, “Memang mungkin. Jika demikian, apa boleh buat.”

Keduanyapun kemudian terdiam ketika mereka melangkah mendekati regol. Seorang pengawal di regol itupun mengangguk hormat ketika mereka melihat Kiai Gringsing dan Ki Widura memasuki regol itu, karena pengawal itu telah mengenal keduanya.

Kepada petugas di gardu penjagaan Kiai Gringsing dan Ki Widura menyampaikan maksudnya untuk bertemu dengan Ki Untara. Karena itulah maka pemimpin prajurit yang sedang bertugas itu segera memerintahkan kepada seorang pengawal untuk menyampaikannya kepada Untara, apakah ia dapat menerima Kiai Gringsing dan Ki Widura.

“Ki Untara nampaknya tidak akan keluar hari ini,“ berkata pemimpin prajurit yang sedang bertugas itu.

“Sokurlah,“ berkata Kiai Gringsing. “Mudah-mudahan kami mendapat waktu untuk sekedar berbicara.”

Ternyata kehadiran kedua orang tua itu telah mengejutkan Untara. Karena itu, dengan tergesa-gesa iapun pergi ke pendapa untuk menyambut kedua orang tamunya itu.

“Silahkan keduanya naik ke pendapa,“ pesan Untara kepada prajurit yang memberitahukan kehadiran kedua orang itu kepadanya. “Aku menunggu.”

Prajurit itupun kemudian menyampaikannya kepada Kiai Gringsing dan Ki Widura serta mempersilahkan mereka naik ke pendapa.

Meskipun jarak antara padepokan dan rumah Untara di Jati Anom yang dipergunakannya untuk kepentingan para prajurit itu tidak terlalu jauh, namun Untarapun seperti lajimnya, menanyakan keselamatan Kiai Gringsing dan Ki Widura di perjalanan dan mereka yang ditinggalkannya di padepokan. Sebaliknya Kiai Gringsing dan Ki Widurapun bertanya pula tentang keselamatan Untara sekeluarga.

Baru kemudian, Untara yang nampaknya melihat sesuatu yang penting pada kedatangan kedua orang tua itupun ingin segera tahu, apakah yang akan mereka katakan.

Kiai Gringsing yang sudah akan mulai mengatakan kepentingan kedatangannya tertegun ketika ia melihat isteri Untara sendirilah yang datang menghidangkan minuman dan makanan.

“Lama Paman dan Kiai Gringsing tidak datang,“ berkata isteri Untara.

“Ada macam-macam kesibukan yang memaksa aku menunda kunjungan yang sebenarnya sudah lama ingin aku lakukan,“ berkata Ki Widura, “Sekarang nampaknya kesempatan itu terbuka. Dan aku memang memerlukan untuk datang menengok keluargamu.”

“Silahkan Paman dan Kiai Gringsing mencicipinya,“ berkata isteri Untara itu, “Hanya sekedar air panas.”

“Terima kasih,“ jawab Kiai Gringsing.

“Silahkan, aku akan menyelesaikan pekerjaanku di belakang.“ isteri Untara itupun kemudian beringsut dari tempat dan seperti yang dikatakannya, iapun pergi ke belakang.

Namun dalam pada itu Ki Widura berdesis, “Isterimu sudah mengandung Untara.”

Untara tersenyum. Jawabnya, “Ya Paman. Aku akan mempunyai seorang anak. Aku berharap laki-laki. Tetapi apapun yang akan dikurniakan Tuhan, aku mengucapkan terima kasih.”

Ki Widura mengangguk-angguk. Katanya, “Mudah-mudahan segalanya dapat berjalan dengan lancar dan selamat.“

“Terima kasih Paman. Di oa dan restu Paman dan Kiai Gringsing sajalah yang kami harapkan.”

“Tentu, tentu, kami akan berdoa bagi angger sekeluarga,“ sahut Kiai Gringsing. Lalu, suaranya merendah, “Nampaknya saatnya memang tepat bahwa kami berdua datang sekarang ini.”

Untara mengerutkan keningnya. Desisnya, “Apakah ada sesuatu yang sangat penting dan mendesak ?”

“Disebut penting memang penting. Jika dianggap tidak, persoalannya memang persoalan yang wajar dan lumrah sekali ngger. Persoalannya adalah persoalan yang pada suatu saat, memang tidak akan dapat dihindari lagi.“ jawab Kiai Gringsing sambil mengangguk-angguk.

Untara mengerutkan keningnya. Namun rasa-rasanya ia menjadi semakin ingin tahu, apakah yang akan dikatakan oleh Kiai Gringsing dan Pamannya Widura. Namun dalam pada itu, ia sudah dapat menebak bahwa persoalannya agaknya menyangkut Agung Sedayu.

“Kiai,“ berkata Untara, “Penting atau tidak penting, rasa-rasanya aku menjadi berdebar-debar.”

Kiai Gringsing tersenyum. Kemudian katanya, “Persoalannya menyangkut adik angger. Agung Sedayu.”

“Aku sudah menduga, Kiai,“ sahut Untara.

Kiai Gringsing menarik nafas dalam-dalam. Sebenarnyalah bahwa iapun menjadi berdebar-debar. Namun ia tidak akan menunda-nunda lagi. Apapun yang akan terjadi, sebaiknya segalanya segera menjadi jelas.

Karena itu, maka dengan sangat hati-hati dan bijaksana Kiai Gringsing telah menyatakan kepada Untara, bahwa saatnya telah datang bagi Agung Sedayu untuk menempuh satu kehidupan baru. Ia sudah cukup dewasa, sementara hubungannya dengan Sekar Mirahpun nampaknya tidak ada kesulitan lagi. Ki Demang Sangkal Putung nampaknya tidak berkeberatan. Swandaru, saudara tua Sekar Mirahpun tidak berkeberatan pula.

“Pada saatnya aku akan mengantarkannya menghadap angger Untara untuk menyampaikan segala-galanya.” berkata Kiai Gringsing.

Untara menarik nafas dalam-dalam. Sambil mengangguk-angguk kecil ia berkata, “Waktunya memang sudah cukup masak. Umur Agung Sedayu sudah cukup. Demikian pula Sekar Mirah. Keduanyapun nampaknya telah bersepakat untuk mengikat perkawinan.“ Untara terdiam sejenak, namun kemudian, “Tetapi apakah yang akan mereka lakukan setelah itu ?”

Pertanyaan itu memang sudah diduganya. Karena itu, maka Kiai Gringsingpun kemudian menyahut, “Sekar Mirah sudah mengenal Agung Sedayu luar dan dalam. Karena itu, Sekar Mirahpun tentu akan menerima Agung Sedayu sebagaimana adanya.”

“Meskipun demikian Kiai,“ jawab Untara, “Dalam kehidupan berkeluarga, maka diperlukan beberapa hal yang berbeda dengan keperluan mereka sebelumnya. Sementara Agung Sedayu sampai saat ini masih belum mempunyai pegangan tertentu.”

“Angger Untara,“ berkata Kiai Gringsing kemudian, “Padepokan kecil itu akan dapat memberinya makan dan pakaian sekedarnya. Hasil sawah dan pategalan untuk sementara akan mencukupi bagi kami seluruh penghuni padepokan itu.”

“Ah,“ jawab Untara, “Apa arti hidup seperti itu. Agung Sedayu masih muda. Ia perlu berkembang dan meletakkan harapan bagi masa datang. Sedang hidup di padepokan nampaknya tidak akan ada satu harapan apapun juga untuk menemukan hari depan yang lebih baik. Sepanjang umurnya, ia adalah penghuni padepokan semacam itu.”

Kiai Gringsing menarik nafas dalam-dalam. Sementara Ki Widura berkata, “Aku sudah memperingatkan hal itu kepada Agung Sedayu. Nampaknya ia menaruh perhatian juga bagi masa depannya. Namun sementara ini ia masih belum dapat menentukan pilihan. Apakah yang pantas dan tepat bagi dirinya. Dalam pada itu. Sekar Mirahpun telah mengetahuinya pula, dan nampaknya gadis itu tidak berkeberatan. Menurut perhitunganku, apabila Agung Sedayu telah mempunyai sisihan, maka ia akan mendapat imbangan sikap. Sekar Mirah akan dapat memberikan pertimbangan dan kemudian mendorongnya untuk mengambil satu keputusan bagi masa depannya. Dalam hal ini, perkawinannya justru akan mempercepat langkah Agung Sedayu menuju ke satu pilihan bagi masa depannya.”

Untara menarik nafas dalam-dalam. Iapun tidak menolak jalan pikiran Pamannya. Bahkan iapun menganggap, bahwa perkawinan Agung Sedayu akan mendorongnya untuk berpikir lebih bersungguh-sungguh bagi satu masa depan yang lebih baik dari sekedar hidup di dalam sebuah padepokan kecil.

Dalam pada itu, Ki Widurapun berkata selanjutnya, “Penundaan yang berkepanjangan akan membuat Agung Sedayu semakin tidak menghiraukan masa depan dan dirinya sendiri.”

“Ya Paman,“ jawab Uitara, “Tetapi jika setelah Agung Sedayu kawin, ia masih tetap berpikir sempit seperti sekarang, apakah hidup kekeluargaannya akan baik ? Aku mengenal sifat Sekar Mirah serba sedikit. Karena itu, aku mohon Paman mempertimbangkannya.”

“Aku juga mengerti serba sedikit tentang gadis Sangkal Putung itu, Untara,“ jawab Ki Widura, “Tetapi justru karena itu, ia akan menjadi cambuk bagi Agung Sedayu. Jika Agung Sedayu tidak mempunyai kemampuan apapun juga, maka sikap Sekar Mirah akan dapat membuatnya semakin jauh terdorong ke belakang. Tetapi sebenarnyalah Agung Sedayu memiliki kemampuan yang cukup, sehingga dorongan Sekar Mirah akan dapat ditanggapinya dengan sikap yang mapan. Bahkan dorongan Sekar Mirah, dilambari dengan kemampuan yang dimiliki oleh Agung Sedayu, maka ia akan dapat menjadi seorang yang akan diperhitungkan kelak.”

Untara mengangguk-angguk kecil, katanya, “Mudah-mudahan Paman. Aku berharap demikian.”

Dalam pada itu, maka Kiai Gringsingpun kemudian menyampaikan satu permintaan dari Ki Gede Menoreh yang berada di padepokannya yang menyangkut Agung Sedayu.

“Apa maksud Ki Gede Menoreh, Kiai ? Apakah dengan demikian berarti, bahwa Agung Sedayu berada di Tanah Perdikan Menoreh sebagai orang yang akan sekedar menjadi semacam hantu sawah untuk menakut-nakuti burung, karena Swandaru berhalangan melakukannya ? Dan ia akan melakukan kewajiban saudara iparnya yang mendapat wewenang karena saudara iparnya itu memperisteri anak Ki Gede Menoreh ?“ bertanya Untara.

Pertanyaan Untara itupun sudah diduga pula oleh Kiai Gringsing. Karena itu, maka jawabnya, “Bukan begitu ngger. Agung Sedayu diminta oleh Ki Gede untuk berada di Tanah Perdikan Menoreh bersamanya. Masih dalam pemerintahan Ki Gede Menoreh. Jika angger Agung Sedayu berada disana, karena Ki Gede minta tolong kepada Agung Sedayu untuk memimpin dan memberikan bimbingan kepada anak-anak muda di Tanah Perdikan Menoreh yang kini nampak semakin mundur karena kesehatan Ki Gede yang juga semakin mundur.”

Untara mengerutkan keningnya. Ia mencoba menterjemahkan keterangan Kiai Gringsing itu. Sementara Widurapun memberikan beberapa keterangan yang senada, “Ia diperlukan karena ia memiliki sesuatu. Bukan karena yang lain, sementara Tanah itu memerlukan pertolongan.”

Untara termenung sejenak. Ia mencoba membayangkan, apa yang akan dilakukan oleh adiknya di Tanah Perdikan Menoreh. Apakah ia akan menjadi pemimpin di Tanah Perdikan Menoreh, atau ia adalah sekedar orang upahan untuk sekedar memberikan latihan-latihan olah kanuragan kepada anak-anak muda, atau ia akan berada di Tanah Perdikan itu karena ia masih mempunyai hubungan keluarga meskipun sudah berbelit, dengan Swandaru ?

Dalam pada itu. Kiai Gringsingpun berkata, “Angger, sebenarnyalah angger Agung Sedayu akan menghadap. Tetapi aku berjanji untuk mengantarkannya kelak jika masalah ini sudah diketahui oleh angger Untara lebih dahulu. Aku cemas, bahwa karena sikapnya yang ragu-ragu yang penuh dengan kebimbangan, Agung Sedayu akan salah sikap di hadapan angger.”

Untara menarik nafas dalam-dalam. Namun kemudian ia mengangguk-angguk sambil berkata, “Sebenarnya aku mempunyai beberapa keberatan Kiai. Tetapi baiklah aku bersikap lain. Aku akan mencoba menanggapinya sebagai seorang anak laki-laki dewasa. Biarlah ia mencari dan menentukan sendiri, apa yang dianggapnya baik baginya.”

Kiai Gringsing menjadi berdebar-debar. Namun kemudian sambil menarik nafas dalam-dalam ia berkata, “Terima kasih ngger. Mudah-mudahan Agung Sedayu dapat mengerti, bagaimana sikap angger Untara terhadapnya. Dan iapun merasa, bahwa ia memang harus menentukan segala sesuatu yang dihadapi di dalam perjalanan hidupnya, sebagai seorang laki-laki dewasa.”

Untara mengangguk-angguk. Tetapi ia benar-benar menempatkan dirinya sebagai seorang kakak dari seorang laki-laki dewasa, yang akan menentukan langkah menuju ke satu harapan bagi masa depannya, meskipun masih terlalu kabur.

“Kiai,“ berkata Untara kemudian, “Biarlah ia melakukan apa yang akan dilakukan. Bukan berarti aku akan melepaskan tanggung jawabku sebagai seorang saudara tua. Tetapi biarlah ia belajar bergumul dengan hidup yang sebenarnya.”

Kiai Gringsing mengangguk-angguk, ia menjadi gembira bahwa Untara tidak bersikap keras sehingga iapun harus bersikap keras. Karena itu maka katanya, “Agung Sedayu akan sangat menghargai sikap angger Untara. Baiklah pada kesempatan lain, aku akan mengantarkannya untuk menghadap angger Untara. Karena pada dasarnya, angger Untara adalah pengganti ayah Bundanya. Dalam hubungannya dengan Sekar Mirah, maka angger tentu dimohon untuk melakukan semacam upacara untuk melamar. Aku akan mendampingi angger, karena aku adalah gurunya.”

“Baiklah Kiai. Aku tidak akan ingkar,“ jawab Untara, “Aku akan melakukannya. Namun aku mohon, bahwa Kiai dapat memberitahukan kepadaku hari-hari yang Kiai perlukan itu tiga atau empat hari sebelumnya agar aku dapat membagi waktuku sebaik-baiknya.”

“Akan kami lakukan ngger. Pada saatnya aku tentu akan datang bersama Agung Sedayu, sekaligus jika mungkin untuk memberitahukan segala persiapan yang diperlukan. Dan menentukan waktu, kapan kita akan pergi ke Sangkal Putung, menemui Ki Demang untuk dengan resmi mohon anak gadisnya yang akan diperisteri oleh Agung Sedayu. Sekaligus menentukan waktu dan menyelesaikan persoalan-persoalan yang lain pula,“ berkata Kiai Gringsing.

Namun dalam pada itu, Untarapun bertanya, “Kiai, yang manakah yang akan dilakukan oleh Agung Sedayu ? Apakah ia akan kawin dahulu baru kemudian pergi ke Menoreh, atau ia akan pergi juga meskipun perkawinan itu belum dilakukan ?”

“Mungkin ia akan pergi juga meskipun perkawinan belum dilaksanakan, namun persoalan-persoalannya telah selesai,“ jawab Kiai Gringsing.

“Demikian tergesa-gesa ?“ bertanya Untara, “Apakah keadaan Tanah Perdikan Menoreh sudah terlalu parah ?”

“Ya ngger. Tanah Perdikan Menoreh susut dengan cepatnya. Sejak Pandan Wangi mengikuti suaminya ke Sangkal Putung, Ki Gede merasa kesepian, dan apa lagi karena ia sering diganggu oleh kakinya yang kadang-kadang dicengkam oleh perasaan sakit,“ jawab Kiai Gringsing.

“Baiklah,“ berkata Untara kemudian, lalu. “Sekali lagi aku akan menganggap bahwa ia adalah seorang laki-laki dewasa yang tahu apa yang baik bagi dirinya.”

Demikianlah, maka Kiai Gringsing dan Ki Widura tidak mengalami kesulitan apapun. Setelah berbincang-bincang beberapa saat lamanya, maka Kiai Gringsing dan Widura itupun segera mohon diri.

Pertemuan antara Kiai Gringsing, Ki Widura dengan Untara itu telah membuka jalan untuk melakukan segala-galanya. Ketika keduanya kemudian kembali ke padepokan dan menceriterakan hasil pembicaraan mereka, maka Ki Gede Menorehpun merasa sangat gembira.

“Segalanya akan berjalan dengan rancak,“ gumam Ki Gede Menoreh, “Ia akan segera pergi dan melakukan apa yang aku inginkan di Tanah Perdikan Menoreh.”

“Ya Ki Gede. Tetapi ia harus melakukan beberapa hal berhubung dengan rencana perkawinannya,“ sahut Kiai Gringsing.

Sekilas membayang kekecewaan di wajah Ki Gede itu. Katanya, “Apakah aku harus menunggu, sampai hari perkawinan itu lewat ?”

“Tidak Ki Gede. Tetapi segala pembicaraanlah yang harus diselesaikan dulu. Semuanya harus diatur. Sehingga seandainya Agung Sedayu berada di Tanah Perdikan Menoreh, maka ia akan kembali tepat pada waktunya untuk melangsungkan hari-hari perkawinannya,“ jawab Kiai Gringsing.

“Dan aku harus menunggu semua persiapan itu ?“ bertanya Ki Gede pula.

Kiai Gringsing menggeleng. Jawabnya, “Tidak perlu Ki Gede. Kami akan menyelesaikan. Tetapi jika Ki Gede sempat menunggunya, maka aku kira semuanya akan cepat berlangsung. Tidak akan ada kesulitan apa-apa, kecuali jika terjadi satu peristiwa yang mengejutkan, seperti yang sudah terjadi beberapa kali.”

“Maaf Kiai, Tentu akan memerlukan waktu yang sangat panjang. Biarlah aku melihat pada saatnya. Namun aku akan menepati janjiku, besok aku akan datang menghadap angger Untara, dan lusa aku akan kembali ke Tanah Perdikan Menoreh.”

“Sebaiknya Ki Gede menunggu meskipun tidak akan sampai pembicaraan ini tuntas,“ berkata Kiai Gringsing.

Tetapi Ki Gede tidak dapat terlalu lama meninggalkan Tanah Perdikannya yang sedang meluncur dari satu tataran ke tataran yang lebih rendah. Bahkan rasa-rasanya terlalu cepat. Orang-orang yang semula merasa dirinya bertanggung jawab sepenuhnya atas Tanah Perdikan itu, dalam waktu singkat telah berubah. Mereka lebih senang mengurus diri mereka sendiri beserta keluarganya tanpa menghiraukan keadaan di sekitarnya daripada berbuat sesuatu bagi Tanah Perdikan Menoreh.

“Nampaknya Prastawa memberikan teladan yang kurang baik,“ berkata Ki Gede di dalam hatinya. “Sebagai seorang pemimpin seharusnya ia memberikan contoh dengan sikap, tingkah laku dan perbuatan-perbuatan yang nyata, karena teladan akan jauh lebih berharga dari seribu kali perintah.”

Karena itu, maka Ki Gedepun kemudian berkata, “Maaf Kiai. Aku akan kembali ke Tanah Pedikan Menoreh. Tetapi aku berjanji bahwa pada waktu yang dekat aku akan datang lagi menjemput angger Agung Sedayu. Meskipun hari perkawinannya belum dapat dilaksanakan segera, tetapi aku harap bahwa semua pembicaraan akan sudah selesai, sehingga pada saat-saat berikutnya, tinggal pembicaraan-pembicaraan mengenai pelaksanaannya saja.”

Kiai Gringsing tidak dapat menahannya lebih lama. Iapun menyadari apa yang sedang terjadi di atas Tanah Perdikan itu. Karena itu, maka katanya kemudian, “Jika demikian, baiklah Ki Gede. Kami akan melangsungkan pembicaraan-pembicaraan di sini. Sementara dalam waktu yang terhitung pendek, Ki Gede akan datang lagi untuk menjemput Agung Sedayu. Aku harap bahwa persoalan yang menyangkut dirinya telah selesai dan kepergiannya tidak akan mengganggu lagi.”

Demikianlah, maka di hari berikutnya Ki Gede memerlukan menghadap Untara diantar oleh Kiai Gringsing. Tidak banyak yang mereka bicarakan, kecuali mengulang apa yang pernah dikatakan oleh Kiai Gringsing. Namun pada kesempatan itu, Untara telah berpesan agar Agung Sedayu mendapat pengamatan sebaik-baiknya.

“Aku titipkan Agung Sedayu kepada Ki Gede,“ berkata Untara, “Ia adalah seorang anak muda yang memerlukan dorongan untuk bertindak. Anak itu selalu dibayangi oleh pertimbangan-pertimbangan yang kadang-kadang tidak perlu, sehingga ia sering sekali mengalami kelambatan untuk mengambil keputusan.”

“Aku akan mencoba ngger. Mudah-mudahan aku dapat memenuhi harapan anakmas Untara,“ jawab Ki Gede.

“Dan sekali-sekali Ki Gede jangan mengikatnya dengan cara apapun juga. Juga tidak dalam hubungannya dengan keluarga Pandan Wangi yang seharusnya mewarisi Tanah Perdikan itu,“ berkata Untara selanjutnya.

Ki Gede menarik nafas dalam-dalam. Tetapi ia sudah mengerti serba sedikit tentang sikap Untara yang terbuka dan berterus terang. Karena itu, maka Ki Gede Menoreh yang sudah masak dengan pengalaman hidup itupun mengangguk-angguk sambil berkata, “Tentu anakmas. Tidak ada ikatan apapun juga atas angger Agung Sedayu. Aku mohon sekedar pertolongan untuk membangunkan Tanah Perdikan yang sedang meluncur turun kemata tangga yang paling rendah dari tataran lingkungan di sekitar Tanah Perdikan Menoreh. Apalagi dibanding dengan Kademangan Sangkal Putung yang berkembang dengan pesatnya.”

“Juga tidak terikat oleh upah dalam pekerjaan yang akan dilakukan itu,“ sambung Untara.

Ki Gede termangu-mangu sejenak. Namun kemudian katanya, “Aku orang tua ngger. Aku hanya sekedar ingin mohon pertolongan. Seandainya aku harus mengupah seseorang yang memiliki kecakapan, kemampuan dan ketrampilan seperti angger Agung Sedayu, apakah seluruh penghasilan Tanah Perdikan Menoreh satu tahun akan cukup untuk mengupah orang yang demikian itu selama satu tahun tinggal di Tanah Perdikan Menoreh ?”

Untara mengangguk-angguk. Sementara iapun agaknya percaya akan keterangan yang diberikan oleh Ki Gede Menoreh. Karena itu, maka katanya kemudian, “Jika demikian, biarlah ia mencoba melakukan seperti yang Ki Gede kehendaki. Tetapi jika ia tidak berhasil jangan seluruh kesalahan ditimpakan kepada anak itu.”

“Tentu, tentu,“ jawab Ki Gede dengan serta merta.

Untarapun kemudian menyatakan harapannya bagi adik kandungnya. Satu-satunya saudaranya, bahwa anak muda itu harus membangun masa depannya. Untuk itu, katanya, “Mudah-mudahan, kehadirannya di Tanah Perdikan Menoreh tidak menutup usahanya untuk membangun hari depannya. Jika ia terlalu lama melakukan kewajiban seperti yang dimaksud oleh Ki Gede, maka aku mencemaskannya bahwa waktunya akan semakin sempit. Ia tidak akan sempat mempersiapkan diri memasuki masa depannya. Sementara di Tanah Perdikan Menoreh ia tidak menanamkan biji yang akan dapat tumbuh dan berbuah bagi masa depannya itu.”

Ki Gede yang sudah cukup berpengalaman menghadapi seribu macam sikap karena umurnya yang sudah semakin tua itu menanggapi pesan Untara dengan dada yang lapang. Ia masih menjawab dengan sareh, “Baiklah anakmas. Aku akan memperhatikan keadaan angger Agung Sedayu. Jika mungkin dan ada kesempatan baik, aku akan berusaha membantunya, agar angger Agung Sedayu menemukan jalan yang cerah bagi masa depannya yang masih sangat panjang.”

Untara mengangguk-angguk. Dengan nada datar ia berkata, “Aku mencemaskannya Ki Gede. Ia adalah satu-satunya saudaraku. Barangkali aku terlalu cemas melihat sikapnya sebagaimana aku melihatnya di masa kanak-kanak.”

Ki Gede mengangguk-angguk. Iapun akhirnya mengerti juga, bahwa Untara terlalu mengasihi adiknya. Meskipun sikapnya agak keras, tetapi sebenarnyalah terpancar kasihnya itu justru pada sikap kerasnya, sesuai dengan watak Untara sendiri.

Akhirnya Ki Gede itupun mohon diri. Ada beberapa pesan Untara yang diberikannya juga kepada Kiai Gringsing sebagai gurunya. Namun dalam banyak hal Untara mempercayai Kiai Gringsing sebagai seseorang yang telah berbuat dengan sungguh-sungguh dan tanpa pamrih, meskipun dalam beberapa hal, ia tidak sependapat dengan jalan pikirannya.

Kedua orang tua itupun akhirnya mohon diri. Di padepokan kecil mereka masih berbincang sejenak. Swandaru dan Pandan Wangi tidak dapat tinggal terlalu lama pula di padepokan itu. Sementara Sekar Mirahpun akan mengikut kakaknya suami isteri kembali ke Sangkal Putung.

“Swandaru,“ berkata Kiai Gringsing, “Kau sudah tahu, apa yang sedang kita bicarakan di sini.”

Swandaru mengangguk-angguk. Sementara itu Sekar Mirah hanya dapat menunduk dalam-dalam.

“Jika kau kembali dan bertemu dengan Ki Demang,“ berkata Kiai Gringsing, “Katakan apa yang kau ketahui. Tetapi juga katakan kepada ayahmu, bahwa kami, maksudku keluarga Agung Sedayu, akan datang sebagaimana seharusnya. Kami mohon maaf, bahwa kami telah membicarakannya lebih dahulu sebelum kami datang ke Sangkal Putung. Namun dengan satu pengertian, bahwa Ki Demang telah mengetahui persoalannya dan tidak pernah menyatakan keberatannya, sementara di sini ada kau yang termasuk salah seorang keluarga yang dapat mewakili Ki Demang di Sangkal Putung.”

Swandaru mengangguk-angguk pula. Katanya, “Ayah akan mengerti persoalannya guru. Dan aku akan mengatakan sebagaimana pesan guru.”

“Baiklah. Kami akan menyelesaikan segala pembicaraan sampai tuntas. Pada suatu saat yang dekat, Ki Gede akan kembali untuk menjemput Agung Sedayu. Dalam pada itu, kami harap semua pembicaraan sudah selesai, sehingga kami hanya tinggal menunggu saat pelaksanaannya saja,“ berkata Kiai Gringsing kemudian.

Swandaru berpaling sekilas kepada Sekar Mirah. Namun Sekar Mirah masih menunduk dalam-dalam.

“Baiklah guru,“ jawab Swandaru kemudian, “Kamipun berharap bahwa segalanya akan cepat selesai.”

Dengan demikian, maka Swandarupun mendahului Ki Gede kembali ke Sangkal Putung bersama isteri dan adiknya.

Sepeninggal Swandaru bersama isteri dan adiknya, maka orang-orang tua yang berada di padepokan itupun masih berbincang beberapa lamanya. Ki Gede Menoreh yang sudah memenuhi janjinya menghadap Untara, telah merencanakan untuk kembali di keesokan harinya.

“Padepokan kecil ini akan kembali menjadi sepi,“ berkata Kiai Gringsing.

“Pada saatnya padepokan ini akan menjadi sangat ramai,“ jawab Ki Gede, “Meskipun tidak seramai Kademangan Sangkal Putung jika hari perkawinan itu datang. Aku kira, Agung Sedayu akan melakukan upacara boyongan. Tetapi aku tidak tahu, apakah ia akan memboyong isterinya ke padepokan kecil ini, atau ke rumah peninggalan orang tuanya yang sekarang dipergunakan oleh Untara dan sebagian dari prajurit-prajuritnya.”

Kiai Gringsing tersenyum. Jawabnya, “Terserah kepada angger Untara. Namun mungkin sekali Agung Sedayu akan membawa isterinya pada upacara boyongan itu tidak ke padepokan kecil ini, dan tidak pula ke rumah penanggalan orang tuanya.”

“Lalu ke mana ?“ bertanya Ki Gede.

“Ke Tanah Perdikan Menoreh,“ jawab Kiai Gringsing.

Ki Gede Menoreh tersenyum. Katanya, “Bila dikehendaki, kami akan sangat senang sekali untuk menerimanya.”

Namun segalanya masih akan dibicarakan kemudian. Sementara itu Ki Gede Menoreh benar-benar telah memutuskan untuk kembali ke Tanah Perdikan Menoreh di keesokan harinya.

Sebenarnyalah setelah bermalam satu malam lagi di padepokan kecil itu, maka Ki Gede Menorehpun segera bersiap-siap untuk meninggalkan padepokan itu. Setelah memperhitungkan waktu sejenak, maka Ki Gede dan Kiai Gringsing bersetuju. Bahwa sebulan lagi Ki Gede akan datang lagi untuk menjemput Agung Sedayu dan mendengarkan segala hasil pembicaraan tentang kemungkinan yang akan segera terjadi dalam saat-saat perkawinan Agung Sedayu dengan gadis Sangkal Putung.

“Kami menunggu Ki Gede,” berkata Kiai Gringsing, “Pada hari kesepuluh bulan depan, aku berharap bahwa segala pembicaraan sudah selesai. Kemudian teserahlah kepada Ki Gede, apakah Ki Gede akan datang di pertengahan bulan, di saat purnama sedang bulat di langit, atau pada saat-saat lain setelah hari kesepuluh itu.”

“Baiklah Kiai,“ jawab Ki Gede, “Kami akan datang di sekitar hari kesepuluh. Tentu tidak akan terlalu jauh dari hari-hari itu, karena kamipun menginginkan, angger Agung Sedayu segera berada di Tanah Perdikan Menoreh.”

Demikianlah, maka Ki Gede bersama pengawalnyapun telah meninggalkan padepokan kecil di Jati Anom. Mereka langsung berpacu menuju ke Mataram. Rasa-rasanya Ki Gede ingin segera bertemu dengan Raden Sutawijaya untuk menyampaikan hasil pembicaraannya yang terakhir dengan Kiai Gringsing, Agung Sedayu dan anak-anak Sangkal Putung yang dapat dianggap sebagai wakil Ki Demang.

Ketika mereka sampai di Mataram, ternyata Raden Sutawijaya tidak sedang meninggalkan rumahnya. Karena itu, maka Ki Gedepun langsung dapat menjumpainya.

“Sokurlah,“ berkata Raden Sutawijaya setelah Ki Gede menyampaikan hasil pembicaraannya, “Mudah-mudahan semuanya dapat berjalan dengan rancak. Aku tidak akan bersembunyi, bahwa akupun berkepentingan. Namun agaknya hal ini tidak akan dapat dikatakan kepada Untara.”

“Ya ngger,“ jawab Ki Gede, “Namun agaknya Untara mulai mencoba mengerti perasaan adiknya. Ia mulai belajar untuk menganggap Agung Sedayu sebagai seorang anak muda yang telah dewasa. Sebelumnya ia masih tetap menganggap adiknya satu-satunya itu sebagai kanak-kanak yang masih harus dibimbingnya, dimarahi dan dilarang untuk melakukan banyak hal yang dianggap oleh kakaknya berbahaya. Sebenarnyalah bahwa Untara terlalu mengasihi adiknya, sehingga ia menjadi terlalu khawatir. Khawatir bahwa adiknya akan mengalami kesulitan dan khawatir, bahwa hari depan adiknya itu akan menjadi sangat suram.”

Raden Sutawijaya mengangguk angguk. Katanya, “Namun pada satu saat Untara dapat memaksa Agung Sedayu untuk melakukan sesuatu yang sebenarnya sangat gawat dan juga sangat menakutkan bagi Agung Sedayu. Tetapi yang dilakukan itu ternyata dapat menjadi sebab, meskipun tidak langsung, untuk membangunkan Agung Sedayu dari bayangan ketakutan dan kekerdilan.”

“Mudah-mudahan seterusnya Untarapun akan tetap bersikap demikian, dengan menganggap bahwa Agung Sedayu memang sudah dewasa,“ berkata Ki Gede Menoreh.

“Akupun berharap, bahwa segalanya akan berjalan dengan baik. Dengan demikian, maka kepentingan kita masing-masing akan terpenuhi.”

Dalam pada itu, setelah Ki Gede menceriterakan apa yang diketahuinya selama ia berada di Jati Anom, maka iapun segera mohon diri untuk melanjutkan perjalanannya.

“Apakah Ki Gede tidak bermalam saja di Mataram ?“ bertanya Raden Sutawijaya.

“Terima kasih ngger. Perjalananku tidak jauh lagi. Akupun merasa bahwa aku sudah terlalu lama meninggalkan Tanah Perdikan Menoreh. Rasa-rasanya memang tidak sampai hati meninggalkan Prastawa terlalu lama seorang diri di Tanah Perdikan Menoreh. Mungkin ia mengalami kesulitan jika ia menghadapi persoalan-persoalan yang rumit. Namun mungkin pula ia akan berbuat sekehendak hatinya menghadapi keadaan yang sedang susut itu,“ jawab Ki Gede. Kemudian, “Karena itu, maka aku mohon diri untuk meninggalkan Mataram, meskipun mungkin lewat senja aku baru sampai ke rumah.”

Raden Sutawijaya termangu-mangu. Namun nampaknya Ki Gede mengerti, bahwa Raden Sutawijaya mencemaskan perjalanannya. Karena itu, maka katanya, “Nampaknya tidak akan ada orang yang mengganggu perjalananku. Orang tua yang sudah tidak berarti apa-apa ini, tentu sudah tidak akan masuk hitungan manapun juga.”

“Ki Gede masih juga seorang jantan seperti masa mudanya. Meskipun aku tidak melihat, bagaimana sikap Ki Gede di masa muda, namun rasa-rasanya aku dapat membayangkannya,“ desis Raden Sutawijaya.

Ki Gede tersenyum. Namun di balik senyumnya, ia menahan segores perasaan yang menyentuh jantungnya. Masa mudanya bukan masa yang cemerlang. Namun Ki Gede sama sekali tidak memberikan kesan gejolak perasaannya.

Dalam pada itu, ternyata Ki Gede benar-benar ingin melanjutkan perjalanan. Karena itu, maka Raden Sutawijaya tidak dapat menahannya. Setelah dijamu minum dan makan, maka Ki Gede dan pengawalnyapun segera melanjutkan perjalanannya.

Dalam pada itu, Ki Gedepun telah mendengar apa yang terjadi atas anak dan menantunya di jalan penyeberangan di Kali Praga. Namun Ki Gede sama sekali tidak mencemaskannya. Rasa-rasanya ia akan berjalan di halaman sendiri meskipun hari akan menjadi gelap.

Sebenarnyalah bahwa perjalanan Ki Gede sama sekali tidak terganggu. Dengan selamat Ki Gede sampai ke Menoreh. Ketika para pengawal sudah menyalakan obor di regol-regol padukuhan, maka Ki Gede dan pengawalnya berkuda di jalan-jalan bulak. Tetapi mereka sudah berada di Tanah Perdikan Menoreh.

Namun dalam pada itu, ketika ia sampai di regol sebuah padukuhan kecil menjelang padukuhan induk, Ki Gede terkejut. Dilihatnya beberapa orang berkumpul di regol. Nampaknya mereka sedang terlibat dalam pembicaraan yang sungguh-sungguh.

Karena itu, maka Ki Gedepun tertarik untuk mendekati sekelompok orang-orang yang sedang sibuk berbincang itu. Bahkan demikian sibuknya orang-orang itu berbicara, sehingga mereka tidak menghiraukan derap kaki kuda yang mendekat. Baru ketika Ki Gede menyapa, orang-orang itu terkejut dan berpaling, “Ki Gede,“ hampir berbareng orang itu berdesis.

“Apakah kedatanganku mengejutkan kalian ?“ bertanya Ki Gede sambil meloncat turun dari kudanya.

Orang-orang itu justru saling berpandangan.

Ki Gedepun termangu-mangu sejenak. Ia melihat perbedaan sikap orang-orang itu. Biasanya mereka menyambut kedatangannya dengan gembira tanpa segan-segan. Namun nampaknya saat itu, mereka dibayangi oleh satu sikap yang tidak dapat dimengerti oleh Ki Gede dan kedua pengawalnya yang telah turun pula dari kudanya.

Sejenak Ki Gede memandangi orang-orang itu. Di iedarkannya tatapan matanya berkeliling. Namun setiap orang yang dipandanginya telah menundukkan kepalanya dalam-dalam

Ki Gede adalah orang yang memiliki ketajaman perasaan. Panggraitanya cukup tinggi, sehingga iapun segera dapat mengerti, bahwa telah terjadi sesuatu di padukuhan itu.

“Apakah yang telah terjadi di sini ?“ bertanya Ki Gede.

Orang-orang itu saling berpandangan lagi. Namun merekapun kemudian menunduk pula dalam-dalam.

“Apa yang terjadi ?“ Ki Gede mengulang.

Orang-orang itu nampaknya menjadi semakin segan dan bahkan ketakutan. Namun akhirnya, seorang yang sudah berambut dan berkumis putih melangkah kedepan sambil berkata dengan nada bergetar, “Ki Gede. Aku adalah orang tua. Jika apa yang telah terjadi, Ki Gede menganggap satu kesalahan yang harus dihukum, maka akulah orang yang paling pantas mendapat hukuman.”

“Apa yang telah terjadi ?“ bertanya Ki Gede sekali lagi.

“Sebenarnya bukan maksud kami menentang kehendak angger Prastawa. Tetapi kami sekedar ingin memperingatkannya. Mungkin yang disampaikan Ki Gede agak berbeda dari yang kami maksudkan,“ jawab orang tua itu, “Karena itu, jika kami dianggap bersalah, maka hukuman apapun akan kami jalani.”

Ki Gede menjadi berdebar-debar. Kemudian tanpa disadarinya selangkah ia maju. Namun dalam pada itu. orang-orang yang berkerumun itupun telah melangkah surut. Justru tiga langkah.

Tetapi orang tua berambut dan berkumis putih itu masih tetap berdiri di tempatnya. Suaranya masih bergetar, “Akulah orang yang paling bersalah, jika angger Prastawa ternyata tidak dapat menahan kemarahannya dan menyampaikannya kepada Ki Gede, sehingga memaksa Ki Gede untuk datang sendiri kepadukuhan yang tidak berarti ini.”

Ki Gede semakin berdebar-debar. Tentu ada sesuatu yang gawat telah terjadi. Karena itu, maka iapun menjelaskan, “Aku belum bertemu dengan Prastawa. Aku baru datang dari Mataram. Karena itu, aku benar-benar tidak mengerti, apa yang telah terjadi di sini dengan kalian dan yang mungkin sekali telah menyangkut nama Prastawa.”

Orang-orang padukuhan yang berkerumun di regol itu nampak terkejut. Namun sekali lagi mereka saling berpandangan. Sekali lagi wajah mereka memancarkan keraguan dan keseganan. Bahkan ketakutan itu masih membayangi mereka.

Sejenak Ki Gede memandangi wajah-wajah yang tegang dan cemas itu. Ketika ia memandang orang tua berambut putih dan berkumis putih itu, maka iapun bertanya lagi, bahkan seolah olah dengan tidak sabar, “Apa yang terjadi ? Katakan. Katakan apa yang kau ketahui.”

Orang tua itu termangu-mangu sejenak. Namun kemudian katanya, “Kami mohon maaf, jika kami telah membuat angger Prastawa marah.”

“Cepat katakan,“ Ki Gede hampir membentak. Orang tua itu menarik nafas dalam-dalam. Kemudian katanya, “Jika Ki Gede benar-benar belum mengetahui persoalannya, baiklah aku akan menceriterakan. Tetapi sebelumnya kami, penghuni padukuhan ini mohon maaf yang sebesar-besarnya.”

“Sudah aku katakan. Aku baru datang dari Mataram. Bukankah kau lihat, dari arah mana aku datang ? Dan bukankah kau lihat, keadaan kami setelah menempuh perjalanan yang agak panjang. Sekali lagi aku tegaskan, aku belum bertemu dengan Prastawa,“ jawab Ki Gede.

Orang tua itu mengangguk-angguk. Lalu katanya, “Sebenarnyalah Ki Gede, angger Prastawa baru saja kembali dari padukuhan ini.”

“Apa anehnya ?“ potong Ki Gede.

“Seperti biasanya angger Prastawa berkeliling di sepanjang lorong yang menghubungkan padukuhan yang satu dengan padukuhan yang lain. Dan seperti biasanya pula, angger Prastawa singgah di padukuhan ini.” sambung orang tua itu.

Namun Ki Gede segera memotong, “Ya. Aku sudah tahu.”

Orang tua itu menarik nafas dalam-dalam. Kemudian katanya, “Dan kali inipun angger Prastawa singgah sejenak di padukuhan ini. Bersama dengan pengawal-pengawalnya, angger Prastawa berhenti di gardu di sebelah regol itu. Pada saat itu, adalah waktunya anak-anak pulang dari sawah. Termasuk gadis-gadis. Di antara gadis-gadis itu terdapat seorang gadis yang agaknya sudah lama berkenalan dengan angger Prastawa. Bukan perkenalan biasa, tetapi perkenalan yang nampaknya semakin erat.”

“Prastawa mengganggu gadis itu ?“ bertanya Ki Gede tidak sabar.

“Tidak secara langsung Ki Gede,“ jawab orang tua itu.

“Maksudmu ?“ Ki Gede mendesak.

“Gadis itupun pulang dari sawah. Namun agaknya gadis itu berjalan di iring-iringan yang paling belakang. Bahkan berjarak lima anam langkah dari kawannya. Adalah kebetulan bahwa ia berjalan bersama seorang anak muda padukuhan ini,“ jawab orang tua itu.

Ki Gede yang tidak sabar memotong lagi, “Prastawa marah kepada anak muda itu ?”

Orang tua itu ragu-ragu sejenak. Lalu, “Ya Ki Gede. Angger Prastawa marah. Ketika keduanya dihentikan di regol ini dan kemudian terjadi pembicaraan di antara mereka, angger Prastawa justru menjadi semakin marah.”

“Anak itu disakiti ?“ Ki Gede mendahului pembicaraan orang tua itu.

Orang tua itu menarik nafas dalam-dalam. Katanya, “Jika. Ki Gede sempat, silahkan Ki Gede mendengarkan ceritera orang-orang yang berkerumun ini, agar bukan hanya aku seorang sajalah yang menyampaikannya.”

Tetapi Ki Gede tidak sabar lagi. Ia sudah dapat membayangkan apa yang terjadi. Karena itu. Maka katanya, “Bawa iku ke rumah anak itu sekarang.”

Orang-orang padukuhan itu termangu-mangu. Namun mereka terkejut ketika sekali lagi Ki Gede berkata lebih keras, “Bawa aku ke rumahnya.”

Orang berambut putih itu menjadi semakin berdebar-debar. Tetapi ia tidak dapat membantah. Karena itu, maka iapun segera melangkah diikuti oleh Ki Gede, pengawalnya dan orang-orang padukuhan itu, menuju ke rumah anak muda yang dikatakan oleh orang tua berambut putih itu.

Selama mereka berjalan beriring, Ki Gede sama sekali tidak berbicara apapun juga, sementara orang-orang yang mengiringinya tidak berani untuk mulai dengan membicarakan sesuatu. Karena itu, maka merekapun hanya saling berdiam diri.

Dalam pada itu, demikian Ki Gede memasuki regol halaman rumah anak muda itu, maka kedua orang tua anak muda itupun telah menjatuhkan diri bersimpuh dikaki Ki Gede. Dengan tangisnya ibu anak itu memohon, “Ampun Ki Gede. Aku mohon ampun. Anakku sama sekali tidak bermaksud melawan angger Prastawa.”

Ki Gede menarik nafas dalam-dalam. Namun dengan suara rendah ia berkata, “Bawa aku kepada anak itu.”

“Aku mohon ampun. Jika Ki Gede menganggapnya bersalah, biarlah hukumannya ditimpakan kepadaku berdua,“ mohon ayahnya.

Ki Gede tidak menghiraukan mereka, karena didesak oleh keinginannya yang bergejolak di dadanya untuk segera melihat anak itu. Karena itu, katanya sekali lagi, “Bawa aku kepadanya. Cepat.”

Karena itu, kedua orang tua, serta orang-orang yang mendengarnya menjadi semakin cemas. Justru karena mereka sadar, bahwa Prastawa adalah keponakan Ki Gede Meskipun ayah Prastawa itu pernah berbuat sesuatu yang mengancam jiwa Ki Gede, tetapi Ki Gede sudah melupakannya, sementara Prastawa justru menjadi orang kepercayaannya.

Tetapi orang-orang itu tidak dapat menolak keinginan Ki Gede. Bahkan Ki Gedepun kemudian melangkah naik ke pendapa yang tidak begitu besar langsung memasuki pintu pringgitan sambil bertanya, “Di mana anak itu sekarang ?”

Ibunya menangis semakin keras. Sementara ayahnya mengikuti Ki Gede dengan wajah yang pucat.

Dalam pada itu, Ki Gedepun tertegun ketika ia mendengar suara keluhan yang tertahan-tahan. Iapun segera mengetahui, bahwa tentu anak itulah yang sedang mengeluh. Karena itu, maka iapun segera memasuki pintu sebuah bilik yang tidak terlalu luas.

Di bilik itu dilihatnya di bawah cahaya lampu minyak seorang anak muda yang sedang berbaring. Namun demikian anak muda itu melihat Ki Gede, maka tiba-tiba saja ia telah mencoba untuk bangkit. Tetapi badannya masih sangat lemah, sehingga yang dapat dilakukannya hanyalah meluncur turun dari amben bambunya sambil memohon, “Ampun Ki Gede. Aku tidak bersalah. Aku sama sekali tidak dengan sengaja melakukannya.”

Ki Gede memandang anak muda itu. Seperti orang lain, anak itu tentu mempunyai dugaan tertentu karena kedatangannya.

Anak muda yang masih sangat lemah itu merangkak mendekati Ki Gede sementara ia masih saja memohon dengan suaranya yang tersendat-sendat.

Ki Gede menarik nafas dalam-dalam. Ketika anak muda itu sudah menjadi semakin dekat, maka Ki Gedepun melangkah maju sambil berkata, “Berbaring sajalah di pembaringanmu.”

“Aku mohon ampun,“ tangis anak muda itu.

Ki Gedepun kemudian membungkuk untuk menolong anak itu bangkit. Dengan suara lembut Ki Gede berkata, “Sudahlah. Berbaring sajalah.”

Anak muda itu menjadi semakin gemetar. Tetapi badannya yang terasa sangat lemah itu sama sekali tidak dapat berbuat sesuatu kecuali menurut saja, apa yang dilakukan oleh Ki Gede.

Dalam pada itu, Ki Gede telah menarik anak itu berdiri. Kemudian memapahnya dengan hati-hati dan meletakkannya di pembaringannya. Sekali lagi ia berkata, “Berbaringlah.”

Anak yang bingung itu termangu-mangu. Namun dengan perlahan-lahan Ki Gede mendorongnya berbaring di pembaringannya.

Tanpa meminta kepada siapapun juga, Ki Gedepun kemudian mengambil lampu minyak di ajug-ajug. Kemudian mendekatkan lampu itu ke tubuh anak muda yang kesakitan itu.

Ki Gede berdesis menahan gejolak perasaannya. Dalam cahaya lampu ia melihat, tubuh anak itu menjadi merah biru. Wajahnya membengkak dan pada matanya terdapat warna merah kebiru-biruan. Di ibibirnya masih nampak bekas darah yang mengering.

Ayah anak muda itu berdiri dengan pucat di pintu bilik. Sementara ibu anak muda itu masih terdengar menangis di luar bilik.

“Apa yang sudah terjadi ?“ bertanya Ki Gede kepada anak muda itu.

“Aku tidak sengaja berbuat sesuatu yang dapat membuat Prastawa marah Ki Gede,“ anak itu mencoba menjelaskan dengan kata-kata yang patah-patah dan gemetar.

“Kau disakiti ?“ bertanya Ki Gede pula.

Anak itu tidak berani menjawab. Matanya yang kemerah-merahan bergerak perlahan-lahan, sementara terdengar ia berdesis menahan sakit.

Ki Gedepun kemudian berpaling kepada ayah anak muda yang berdiri gemetar. Kemudian dengan isyarat tangan, dipanggilnya orang itu mendekat.

Terbungkuk-bungkuk orang itu berjalan mendekat. Sementara Ki Gedepun kemudian berkata, “Anakmu harus mendapat perawatan sebaik-baiknya. Aku akan mengusahakan, agar seorang tabib yang baik akan mengobatinya.”

Ayah anak muda itu justru menjadi bingung. Karena itu, maka iapun hanya dapat berdiri termangu-mangu.

“Di mana rumah gadis itu ?“ tiba-tiba saja Ki Gede bertanya.

Ayah anak muda itu benar-benar bingung menghadapi sikap Ki Gede. Ki Gede tidak mengatakan apa-apa tentang anak laki-lakinya. Semula ia menyangka bahwa Ki Gede yang telah mendapat laporan dari Prastawa itu akan datang untuk menangkap dan menghukumnya. Namun yang dilakukan Ki Gede sama sekali tidak dimengertinya.

“Di mana ?“ desak Ki Gede.

Ayah anak muda itu menjawab terbata-bata, “Di sebelah gardu disimpang empat lorong padukuhan itu Ki Gede.”

Ki Gede menarik nafas dalam-dalam. Kemudian katanya sambil meletakkan kembali lampu minyak diajug-ajug, “Pada saat aku akan kemari lagi. Jagalah anakmu baik-baik. Ia akan mendapat pengobatan yang baik sehingga ia akan segera sembuh.”

Ayah anak muda itu masih bingung ketika Ki Gede minta diri untuk pergi ke rumah gadis yang menjadi sumber persoalan.

“Aku tidak mengerti sikap Ki Gede,“ desis ayah anak muda itu sepeninggal Ki Gede.

“Nampaknya Ki Gede tidak marah,“ tiba-tiba saja isterinya yang masih terisak itu berkata.

“Ia bersikap baik terhadap anak kita. Dan ia mengatakan akan mengirimkan seseorang yang akan dapat mengobatinya,“ berkata ayah anak muda itu pula.

“Mudah-mudahan aku tidak tertipu oleh anggapanku sendiri terhadap Ki Gede,“ berkata isterinya, “Sebenarnyalah bahwa Ki Gede akan marah ketika ia mendengar pengaduan angger Prastawa. Anak kita memang anak bengal. Jika ia tahu, bahwa gadis itu mempunyai hubungan dengan angger Prastawa, kenapa ia masih berani mendekatinya ?”

Dalam pada itu, Ki Gede bersama orang-orang padukuhan itu beriringan pergi ke rumah gadis yang menjadi sumber persoalan. Berbeda dengan semula, Ki Gede telah memanggil laki-laki yang berambut putih dan berkumis putih itu agar berjalan di sampingnya.

“Apakah kau tahu, bagaimana keadaan sebenarnya dari gadis itu ? Apakah ia memang benar kawan baik Prastawa atau bahwa ia bersikap dan berbuat baik karena Prastawa seorang anak muda yang disegani di Tanah Perdikan ini ?“ bertanya Ki Gede.

“Berkatalah sebenarnya,“ minta Ki Gede, “Agar aku dapat menentukan sikap.”

Orang tua itu menarik nafas dalam-dalam. Lalu katanya, “Aku mohon maaf sebelumnya Ki Gede. Sebenarnya aku tidak berani mengatakannya. Tetapi karena Ki Gede minta aku berceritera tentang gadis itu, baiklah aku berkata sebenarnya.“ orang itu berhenti sejenak, lalu, “Kami, penghuni padukuhan ini sebenarnyalah mengetahui, bahwa gadis dan anak muda yang disakiti oleh angger Prastawa itu memang sudah dijodohkan oleh orang tua masing-masing. Sejak angger Prastawa belum sering datang ke rumah gadis itu.”

“Kemudian Prastawa datang dan agaknya tertarik juga kepada gadis itu,“ sambung Ki Gede.

Laki-laki tua itu mengangguk.

“Agaknya Prastawa telah mendengarnya pula bahwa gadis itu telah dipertunangkan. Ketika ia melihat gadis itu berjalan bersama anak muda yang sudah dipertunangkan itu, hatinya terbakar. Dan terjadilah peristiwa yang patut disesalkan itu,“ berkata Ki Gede pula menebak.

“Ya, ya. Ki Gede. Memang demikianlah adanya,“ jawab laki-laki tua itu.

“Tetapi karena Prastawa adalah keponakanku, maka seolah-olah kedua anak padukuhan inilah yang bersalah,“ berkata Ki Gede lebih lanjut.

Orang berambut dan berjanggut putih itu memandang wajah Ki Gede sekilas. Namun di dalam keremangan malam, ia tidak dapat menebak, perasaan apakah yang bergejolak di dalamnya

Meskipun demikian, orang tua itu mendapat kesan dari pertanyaan dan tanggapan Ki Gede atas peristiwa itu, bahwa Ki Gede tidak datang untuk membela keponakannya. Tetapi seperti yang dikatakannya, bahwa ia masih belum tahu apa yang telah terjadi karena ia baru saja datang dari Mataram. Bahkan agaknya Ki Gede Menoreh justru menganggap sikap Prastawa bukan sikap yang benar.

Sejenak kemudian, Ki Gede dan beberapa orang yang mengiringinya telah sampai ke rumah gadis yang menjadi sumber sengketa itu. Sebuah rumah yang tidak begitu besar dengan halaman yang tidak begitu luas. Regol halamannyapun nampak sederhaha dan tidak terawat, karena nampaknya keluarga gadis itu adalah keluarga yang sederhana.

Kedatangan Ki Gede seperti juga di rumah anak laki-laki yang malang itu, telah menimbulkan ketakutan. Namun sikap Ki Gede sama sekali bukan sikap seorang yang datang untuk menghukum mereka.

“Aku ingin bertemu dengan anak gadismu,“ berkata Ki Gede kepada orang tua gadis itu.

Betapapun juga kedua orang tuanya menjadi gemetar. Namun kedua orang tua itu tidak dapat berbuat lain. Di ipanggilnya anak gadisnya yang berada di dalam biliknya.

Dengan ketakutan gadis itu mendekat. Matanya masih nampak kemerah-merahan. Nampaknya ia telah menangis untuk waktu yang lama.

“Mendekatlah,“ panggil Ki Gede.

Gadis itu menjadi semakin gemetar. Namun ia beringsut juga mendekat dan duduk dilantai di hadapan Ki Gede. Tetapi Ki Gede telah bangkit dan menarik gadis itu agar duduk bersama orang tuanya dan Ki Gede di amben bambu yang cukup luas untuk mereka.

“Aku ingin mendengar keteranganmu,“ berkata Ki Gede, “Katakan yang sebenarnya, apakah kau sudah sepaham dengan ayah ibumu, bahwa kau akan kawin dengan anak laki-laki yang bernasib malang itu ?”

Pertanyaan itu membingungkan. Mereka tidak tahu pasti, apakah maksud Ki Gede yang sebenarnya.

Dalam pada itu Ki Gedepun mendesak mereka, “Katakan yang sebenarnya. Dengan demikian aku akan dapat mengambil satu sikap yang benar pula.”

Kedua orang tua itu ragu-ragu. Tetapi melihat sikap dan pertanyaan Ki Gede, mereka mulai menilai, bahwa Ki Gede tidak datang dengan maksud seperti yang mereka bayangkan.

Karena itu, akhirnya ayah gadis itupun mengambil keputusan di dalam hatinya untuk mengatakan yang sebenarnya. Apapun yang akan dialaminya, ia tidak akan dapat mengorbankan anak gadisnya sendiri, sehingga masa depannya akan menjadi sangat suram melampaui kesuraman hidup keluarga yang sederhana itu.

“Ki Gede,“ berkata ayah gadis itu dengan suara gemetar, “Kami, keluarga yang tidak berarti ini, memang sudah mengikuti satu pembicaraan hubungan antara kedua anak-anak kami.”

Ki Gede mengangguk-angguk. Namun katanya kemudian, “Aku ingin mendengar apakah anak gadismu memang sudah menerima hal itu dengan ikhlas.”

Ayah gadis itu termangu-mangu sejenak. Namun kemudian katanya kepada anak gadisnya, “Katakan perasaanmu yang sebenarnya kepada Ki Gede.”

Gadis itu menunduk dalam-dalam. Namun kemudian kepalanya terangguk kecil.

Ki Gede menarik nafas dalam-dalam. Ia mengerti, bahwa gadis itu memang sudah menerima keputusan orang tuanya. Karena itu, maka Ki Gedepun mengerti, bahwa kehadiran Prastawa agaknya telah merusak perasaan gadis itu dan kedua orang tuanya. Bahkan juga keluarga anak muda yang malang itu.

Namun demikian untuk meyakinkan pendapatnya itu Ki Gede masih bertanya, “Bagaimana perasaanmu terhadap Prastawa ? Bukankah ia sering datang kemari ?”

Gadis itu menunduk semakin dalam. Bahkan di luar sadarnya, air matanyapun telah menitik satu-satu. Ketika ia mengusap air mata itu dengan jari-jarinya, maka Ki Gede bertanya, “Apakah kau takut mengatakan yang sebenarnya ? Aku adalah orang tua. Dan aku juga mempunyai anak gadis pada waktu itu, yang sekarang sudah bersuami. Aku kira aku akan dapat mengerti perasaanmu jika kau katakan dengan jujur.”

Sekali lagi gadis itu mengusap matanya. Baru kemudian setelah jantungnya terasa hampir berhenti, ia berdesis lambat, “Aku takut.”

Jawaban itu sudah cukup bagi Ki Gede. Jika gadis itu menerima kehadiran Prastawa di rumahnya, semata-mata karena gadis itu takut untuk menyatakan perasaan yang sebenarnya. Dan hal yang demikian bukannya terjadi untuk pertama kali. Namun bahwa Prastawa telah menyakiti anak muda yang tidak bersalah itu, tentu benar-benar telah menyinggung perasaan orang-orang di padukuhan itu.

Meskipun Ki Gede belum menanyakan kepada orang-orang padukuhan yang sebagian berada di halaman rumah gadis itu, tetapi Ki Gede sudah dapat membayangkan, bahwa orang-orang padukuhan itu telah berusaha mencegah Prastawa untuk berbuat lebih jauh lagi. Yang karena itulah, maka kedatangannya telah membuat orang-orang padukuhan itu menjadi sangat cemas bahwa ia akan memberikan hukuman kepada mereka.

Dalam pada itu, karena Ki Gede merasa bahwa persoalannya sudah cukup diketahuinya, maka iapun kemudian minta diri. Namun ia masih berpesan kepada orang tua gadis itu, “Lakukan apa yang baik menurut kalian. Aku menjamin bahwa tidak akan ada tindakan apapun juga oleh siapapun juga. Kalian berhak menentukan apa yang baik bagi keluarga kalian. Juga bagi anak gadismu.”

Kedua orang tua itu termangu-mangu. Namun Ki Gede menegaskan, “Prastawa tidak akan mengganggu kalian lagi. Aku yang akan mencegahnya.”

Gadis itu masih tetap menunduk dalam-dalam. Namun ayah gadis itulah yang menjawab, “Terima kasih Ki Gede. Namun kami sebenarnyalah hanya dapat berlindung di bawah kemurahan hati Ki Gede.”

“Adalah menjadi kewajibanku. Dan aku akan berbuat yang paling baik yang dapat aku lakukan,“ berkata Ki Gede kemudian.

Demikianlah, dengan kedua orang pengawalnya Ki Gede meninggalkan padukuhan yang memberikan kesan suram baginya.

Dalam pada itu, kepercayaan Ki Gede terhadap Prastawa menjadi semakin susut. Ia memang sudah mendengar, bahwa hal yang demikian itu termasuk kelemahan Prastawa. Tetapi dengan tidak sengaja ia telah melihat sendiri, apa yang telah terjadi. Anak muda yang tidak bersalah itu telah mengalami penganiayaan yang parah. Seandainya anak itu memiliki sedikit kemampuan untuk membela diri, agaknya ia tidak akan berani melawan, karena Prastawa adalah keponakannya.

“Mungkin Prastawa telah menakut-nakuti orang-orang padukuhan itu dengan menyebut namaku,“ desis Ki Gede.

Pengawalnya yang berkuda di sebelah menyebelah itupun mengangguk-angguk. Salah seorang dari mereka menjawab, “Nampaknya memang demikian Ki Gede. Kehadiran Ki Gede membuat mereka menjadi sangat ketakutan.”

“Jika sikap Prastawa itu tidak dihentikan, maka semakin banyak orang yang kurang senang kepadanya,“ berkata Ki Gede kemudian, “Dan hal ini akan sangat berpengaruh bagi kemajuan Tanah Perdikan ini.”

“Jika anak padepokan Jati Anom itu kelak datang, mungkin keadaan akan berubah. Agung Sedayu sudah dikenal di sini meskipun ia tidak terlalu lama berada di Tanah Perdikan ini,“ sahut salah seorang pengawalnya.

“Sebaiknya jangan kalian sebut hal ini lebih dahulu di hadapan Prastawa dan orang-orang Tanah Perdikan Menoreh. Biar aku sendirilah yang memberitahukannya kepada anak bengal itu dengan hati-hati, agar ia tidak terlalu tersinggung karenanya,“ berkata Ki Gede, bahkan kemudian katanya, “Ada beberapa hal yang dapat menyebabkan Prastawa kecewa dengan keputusanku untuk minta bantuan Agung Sedayu bagi kemajuan Tanah Perdikan ini.”

Kedua pengawal itu mengangguk-angguk. Mereka mengerti akan kemungkinan itu, karena merekapun mengenal Prastawa dengan baik.

Karena peristiwa di padukuhan sebelah itulah maka Ki Gede menjadi semakin yakin, bahwa harus ada orang lain yang dapat membantunya membangunkan Tanah Perdikan itu dari suasana yang semakin suram.

Ketika Ki Gede memasuki padukuhan induk maka malam sudah menjadi semakin gelap. Para peronda di regol padukuhan terkejut melihat tiga ekor kuda yang berpacu. Namun merekapun segera melihat, bahwa yang datang adalah Ki Gede bersama dua orang pengawalnya.

Di regol padukuhan Ki Gede menghentikan kudanya. Para perondapun berloncatan turun dari gardu dan berdiri berjajar di pinggir jalan.

“Selamat malam,“ sapa Ki Gede.

“Selamat datang Ki Gede,“ jawab orang-orang itu hampir bersamaan.

“Bagaimana dengan Tanah Perdikan ini selama aku pergi ?“ bertanya Ki Gede kepada para peronda.

“Baik-baik saja Ki Gede. Tidak ada hal-hal yang mencemaskan yang terjadi selama Ki Gede tidak ada di Tanah Perdikan.” jawab salah seorang peronda itu.

“Bagaimana dengan Prastawa,” hampir di luar sadarnya Ki Gede bertanya.

“Nampaknya tidak ada masalah dengan anak muda itu. Ia melakukan kewajibannya sebagaimana biasanya,“ jawab peronda itu.

Ki Gede mengangguk-angguk. Lalu katanya, “Baiklah. Lakukanlah kewajibanmu. Aku akan meneruskan perjalananku yang tinggal selangkah. Aku merasa sangat letih.”

“Silahkan Ki Gede,“ jawab para peronda itu.

Ki Gede dan kedua pengawalnya itupun meneruskan perjalanan mereka. Sejenak kemudian merekapun telah sampai ke rumah Ki Gede yang besar dan berhalaman luas. Namun terasa oleh Ki Gede, betapa sepinya rumah itu.

Setelah berbicara sejenak dengan para pengawalnya yang menanyakan keselamatannya, maka Ki Gedepun menyerahkan kudanya kepada salah seorang di antara mereka. Kemudian naik ke pendapa sambil berkata kepada para pengawal, “Tunggulah.”

“Baik Ki Gede,” jawab hampir bersamaan kedua pengawal itu.

“Apakah kalian akan berada di sini sampai esok, atau kalian akan langsung pulang malam ini ?” bertanya Ki Gede.

“Kami sudah cukup lama pergi Ki Gede. Jika diperkenankan kami akan langsung pulang malam ini,“ jawab salah seorang dari mereka.

“Biarlah dipersiapkan makan kalian. Kalian tentu terasa lapar seperti aku juga lapar,“ berkata Ki Gede.

Para pengawal itu tidak membantah. Meskipun mereka ingin segera bertemu dengan keluarga, namun mereka tidak dapat menolaknya.

Dalam pada itu, ketika Ki Gede memasuki rumahnya, terasa kesepian itu telah mencengkamnya seperti hari-hari yang selalu dilaluinya di rumah itu. Apalagi setelah ia ada untuk beberapa hari di padepokan yang ramai menurut penilaiannya, meskipun padepokan itu hanyalah sebuah padepokan kecil.

Ki Gede yang termangu-mangu itu terkejut ketika seseorang menyusulnya sambil berkata, “Selamat datang Paman.”

Ki Gede berpaling. Dilihatnya Prastawa berdiri di depan pintu sambil tersenyum, “Aku kira Paman tidak akan datang malam-malam begini. Menurut dugaanku, Paman baru akan datang besok.”

Ki Gedepun tersenyum pula. Katanya, “Aku singgah di Mataram, Prastawa.”

“Apakah Senapati Ing Ngalaga juga baru kembali dari Jati Anom bersama Paman hari ini ?“ bertanya Prastawa.

“Tidak. Raden Sutawijaya telah mendahului. Karena itu aku singgah untuk menyampaikan beberapa pesan,“ jawab Ki Gede Menoreh.

“Paman tentu ingin minum minuman panas,“ desis Prastawa.

“Ya Prastawa. Juga kedua pengawal itu. Katakan kepada para pembantu di dapur, kami memerlukan makan dan minum. Jika mereka sudah tidur, tolong, bangunkan mereka, karena kami memang merasa lapar dan haus,“ berkata Ki Gede.

“Baik Paman,“ jawab Prastawa sambil melangkah pergi.

Ki Gede Menoreh menarik nafas dalam-dalam. Namun iapun kemudian meletakkan beberapa perlengkapan dan pusakanya di biliknya. Kemudian iapun pergi kepakiwan.

Dalam pada itu, rumah Ki Gede Menoreh yang sudah lelap itu seolah-olah terbangun. Beberapa orang perempuan mulai menyalakan api di dapur untuk merebus air dan menanak nasi. Sementara Ki Gede membersihkan diri dipakiwan.

Dua orang pengawalnya menjadi gelisah. Sebenarnya mereka ingin segera pulang ke rumah yang sudah beberapa hari mereka tinggalkan. Tetapi mereka terpaksa menunggu orang-orang di dapur menanak nasi.

Tetapi akhirnya nasipun masak. Karena tidak ada lagi lauk yang dapat dihidangkan, maka para pembantu itupun telah mengambil beberapa butir telur di petarangan.

Baru setelah kedua pengawal itu dijamu makan dan minum, maka merekapun dipersilahkan pulang oleh Ki Gede. Meskipun malam menjadi semakin larut, namun mereka tidak ingin bermalam lagi.

Sejenak kemudian, maka kedua pengawal itupun telah meninggalkan rumah Ki Gede yang terasa menjadi semakin sepi. Di regol para peronda telah membagi diri. Sebagian telah terbaring untuk tidur digiliran pertama. Sementara yang lain, duduk bersila dibibir regol bagian dalam. Pada waktu-waktu tertentu dua di antara mereka meronda disekeliling halaman dan kebun berganti-ganti.

Namun dalam pada itu, meskipun sisa makan telah disingkirkan, Ki Gede masih saja duduk di pendapa, meskipun malam telah menjadi semakin dalam. Seolah-olah memang ada yang ditunggunya.

Dalam pada itu, Prastawa yang melihat Ki Gede masih saja duduk di pendapa telah mendekatinya dan duduk pula di sampingnya sambil bertanya, “Apakah Paman tidak lelah dan ingin segera tidur ?”

Ki Gede menarik nafas dalam-dalam. Dipandanginya Prastawa sejenak. Lalu katanya, “Kemarilah. Duduklah di sini, Prastawa.”

Prastawa mengerutkan keningnya. Ia menjadi heran, bahwa Ki Gede nampaknya masih akan berbicara meskipun malam telah larut.

Namun Prastawa tidak membantah. Iapun kemudian duduk di hadapan Ki Gede meskipun dengan hati yang berdebar-debar.

“Prastawa,“ berkata Ki Gede, “Demikian aku sampai di rumah ini, kembali aku merasakan kesepian yang mencengkam. Di irumah ini dahulu ada Pandan Wangi yang kadang-kadang sempat bergurau dengan kau dan para pembantu di dapur. Aku kadang-kadang masih sempat mendengar kau dan Pandan Wangi tertawa dalam kelakar yang segar. Namun sekarang, rasa-rasanya rumah ini benar-benar sepi.”

Prastawa mengangguk-angguk. Iapun merasakan betapa Pamannya merasa kesepian. Sementara ia tidak terlalu banyak dapat bergaul dengan Pamannya, karena ia terlalu sering berada di luar rumah. Tidak di rumah Pamannya dan tidak di rumahnya sendiri.

“Apalagi Prastawa,“ berkata Ki Gede, “Satu-satunya kawanku di rumah ini, kau, jarang-jarang berada di rumah.”

Terasa jantung Prastawa berdesir. Ia merasa kebenaran kata-kata Pamannya. Dan jantungnya menjadi semakin berdebar-debar ketika Pamannya bertanya, “Apakah kau juga merasakan kesepian itu di rumah ini Prastawa ?”

Prastawa termangu-mangu sejenak. Namun kemudian ia mengangguk kecil sambil menjawab, “Ya Paman. Sebenarnyalah akupun merasakan kesepian itu. Aku mohon maaf Paman, bahwa aku tidak berani mengganggu Paman terlalu sering. Karena itulah agaknya aku sering keluar rumah.”

“Prastawa,“ berkata Ki Gede kemudian, “Coba katakan kepadaku, apakah yang kau kerjakan di luar rumah. Apakah kau benar-benar mendapat kesempatan untuk mengisi kekosongan dan kesepianmu ?”

Pertanyaan itu membuat Prastawa semakin berdebar-debar. Karena itu untuk sesaat ia tidak menjawab.

“Prastawa,“ suara Ki Gede menjadi dalam, “Kau nampaknya ingin juga mengetahui, apakah yang aku dapatkan dengan perjalananku kali ini ke Jati Anom.”

Prastawa menarik nafas dalam-dalam. Kemudian ia menjawab, “Ya Paman. Sudah tentu aku ingin segera mengetahuinya.”

“Baiklah. Aku masih belum terlalu letih. Rasa-rasanya aku justru tidak dapat segera tidur. Baru saja aku makan, sehingga aku perlu duduk barang sejenak. Kesempatan ini dapat aku pergunakan untuk sekedar memberikan oleh-oleh bagimu,“ berkata Ki Gede.

“Jika Paman belum letih, aku senang sekali mendengarnya,“ jawab Prastawa.

“Sebenarnyalah aku mengerti, bahwa kau tidak akan kerasan di rumah ini jika kau seorang diri. Di irumah ini ada aku, tetapi aku rasa umur kita terpaut terlalu banyak untuk saling menyesuaikan diri dalam bermacam-macam hal. Perhatianku dan perhatianmu tentu jauh berbeda. Apa yang ingin aku percakapkan dan apa yang ingin kau percakapkan, tentu jauh berbeda pula. Caramu bergurau dan caraku tentu akan lain,“ Ki Gede berhenti sejenak, lalu. “Karena itu, aku telah berusaha untuk mencari seorang kawan buatmu, agar kau tidak terlalu kesepian di rumah ini.”

Wajah Prastawa menegang sejenak. Di luar sadarnya ia beringsut sejengkal. Dengan ragu-ragu ia bertanya, “Siapakah orang itu Paman ?”

Ki Gede merenungi wajah Prastawa sejenak, lalu katanya, “Agung Sedayu. Aku minta ia berada di Tanah Perdikan ini, sehingga ia akan dapat menjadi kawanmu. Umurnya lebih tua sedikit dari umurmu. Pengetahuan dan ilmunyapun barangkali lebih sedikit pula dari pengetahuan dan ilmumu.”

Ternyata jawaban itu mengejutkan Prastawa. Sejenak ia menegang. Kemudian dengan nada yang tinggi ia bertanya, “Maksud Paman, Agung Sedayu dari Jati Anom.”

“Ya Prastawa. Aku kira ia akan dapat mengisi rumah ini untuk beberapa lamanya,“ jawab Ki Gede.

“Apakah artinya itu Paman ?“ suara Prastawa mulai bergetar.

“Bukankah bagimu lebih baik pula ada kawan di rumah, daripada kau harus berada di jalan-jalan di sepanjang sore dan tengah malam pertama di setiap malam,“ desis Ki Gede, “Bahkan kadang-kadang dengan demikian akan dapat menimbulkan persoalan dan salah paham, sehingga dalam gelap hati, sulit untuk dapat mengendalikan perasaan.”

Terasa jantung Prastawa bagaikan berdentangan. Iapun segera teringat, apa yang baru saja terjadi. Apa yang telah dilakukan atas anak muda yang pulang dari sawah berjalan beriringan dengan gadis yang telah menarik perhatiannya.

Sejenak Prastawa bagaikan mematung. Dipandanginya Ki Gede sekilas sambil menebak, apakah maksud Ki Gede mengatakan hal itu kepadanya.

Namun nampaknya Ki Gede memang sudah sampai pada batas kesabarannya tentang kelakuan Prastawa yang sering didengarnya dari beberapa pihak, sementara ia telah melihat sendiri salah satu dari hasil perbuatannya. Karena itu, maka katanya, “Prastawa. Di perjalanan kembali dari Mataram, aku telah melihat salah satu akibat salah paham itu. Seorang anak laki-laki telah kau sakiti. Bahkan cukup parah.”

Wajah Prastawa menjadi merah padam. Bahkan dalam sekilas Ki Gede melihat dendam yang menyala, seolah-olah Prastawa telah berteriak, “Awas kalian yang telah menyampaikan hal ini kepada Paman.”

Tetapi seolah-olah Ki Gede dapat menangkap isi hati yang memang telah membara di dalam dadanya. Karena itu, maka katanya, “Jangan menyalahkan orang-orang itu Prastawa. Ketika aku lewat, aku melihat beberapa orang yang berkerumun di regol sebuah rumah yang sederhana. Aku tertarik kepada mereka yang nampaknya sedang mengalami sesuatu. Sebenarnyalah mereka sedang mengalami satu kejutan batin karena peristiwa yang baru saja terjadi. Kedua orang tua anak muda yang kau sakiti itu menangisi anaknya dengan putus asa,“ Ki Gede berhenti sejenak, lalu. “Kedatanganku merupakan titik embun dalam teriknya padang yang kering. Aku berjanji kepada mereka bahwa kau tidak akan berbuat seperti itu lagi. Di padukuhan itu dan di manapun juga di tlatah Tanah Perdikan Menoreh. Karena itu, aku minta keikhlasanmu Prastawa. Agar kata-kataku dapat dipercaya oleh orang-orang di Tanah Perdikan ini, mudah-mudahan kau dapat mengertinya.”

Wajah Prastawa menjadi semakin tunduk. Pamannya tidak langsung melarangnya. Tetapi ia mengerti sepenuhnya, apa yang dimaksud oleh Pamannya.

Kemudian Ki Gede itupun berkata, “Besok pagi-pagi, aku akan mengirimkan seorang yang pandai dalam ilmu obat-obatan untuk menyembuhkannya. Mudah-mudahan ia tidak menjadi cacat.”

Prastawa sama sekali tidak menyahut. Kata-kata Pamannya itu langsung menghunjam ke jantungnya. Sakit. Tetapi iapun mengerti sepenuhnya dan mengerti, bahwa yang dilakukan itu dapat menyakiti hati orang-orang Tanah Perdikan Menoreh.

“Sudahlah,“ berkata Ki Gede kemudian, “Aku yakin bahwa kau dapat mengerti. Dalam usiamu yang muda itu, hendaknya kau dapat memilih langkah. Meskipun aku tidak dapat mengingkari, bahwa dalam usia muda bagi seorang laki-laki, tentu akan selalu mengerling cantiknya seorang gadis. Namun hendaknya kita dapat sedikit mengekang diri sebagaimana martabat kita di Tanah Perdikan ini.”

Prastawa masih tetap menunduk dalam-dalam. Sementara Ki Gedepun berkata, “Sebenarnya ada masalah lain yang ingin aku katakan. Seperti tadi aku sudah menyinggungnya, aku akan mencari kawan bagimu Prastawa. Kawan yang sebaya meskipun agak lebih tua sedikit daripadamu. Niatku ini timbul bukan karena peristiwa yang baru saja terjadi. Sebelumnya aku memang sudah membicarakannya dengan yang bersangkutan, dengan Kiai Gringsing dan dengan kakakmu Swandaru berdua. Semuanya setuju, bahwa untuk sementara Agung Sedayu akan berada di Tanah Perdikan ini. Ia akan dapat mengawanimu. Di irumah, maupun dalam tugas-tugasmu di lapangan. Jika kau meronda di malam hari, atau melihat-lihat padukuhan-padukuhan yang pada saat-saat terakhir nampak mundur dalam banyak hal. Bukan saja dilihat dari gairah anak-anak mudanya, tetapi juga kemunduran di bidang-bidang yang lain.”

Terasa jantung Prastawa berdentangan. Tetapi justru karena Pamannya baru saja menyatakan kekecewaannya tentang sikapnya, maka rasa-rasanya ia tidak mempunyai kesempatan untuk menyatakan perasaannya.

Karena itu, maka kekecewaan itu hanyalah didekapnya di dalam jantungnya. Namun yang demikian itu, akan dapat merupakan api yang membara di dalam sekam.

Ki Gede dapat melihat hal itu. Ki Gedepun mengetahui kemungkinan yang demikian. Namun ia berharap, bahwa dalam waktu mendatang, ia akan mempunyai kesempatan untuk berbicara lagi dengan anak itu dan memberikan sekedar petunjuk-petunjuk agar ia dapat menempatkan dirinya sebaik-baiknya.

Setelah hal itu dikatakannya, rasa-rasanya beban yang menyumbat dada Ki Gede telah dapat diletakannya. Rasa-rasanya hatinya menjadi sedikit lapang dan malampun tidak lagi terasa kelam dan pepat.

“Sudahlah Prastawa,“ berkata Ki Gede, “Masih ada waktu untuk membicarakannya lebih panjang lagi. Agaknya aku benar-benar letih dan ingin segera tidur. Setelah nasi diperutku tidak lagi terasa menyumbat pernafasan, maka aku akan beristirahat.”

Prastawa menarik nafas dalam-dalam. Seolah-olah ia ingin mendinginkan jantungnya yang membara dengan menghirup sejuknya udara malam. Namun iapun kemudian mohon diri untuk kembali ke gandok.

“Beristirahatlah pula,“ desis Ki Gede.

“Ya Paman,“ sahut Prastawa perlahan sekali.

Dalam pada itu, ketika Prastawa masuk ke dalam gandok, maka dihentakkannya tangannya pada tiang sehingga seakan-akan seluruh gandok itu berguncang.

“Gila,“ geram Prastawa, “Kenapa Paman memanggil anak dungu itu kemari. Ia tidak akan berarti apa-apa di sini selain akan mengganggu saja.”

Tetapi Prastawa tidak kuasa menentang maksud Pamannya. Betapapun ia kecewa atas keputusan itu.

Namun tiba-tiba ia menarik nafas sekali lagi. Ia mulai membayangkan seorang gadis yang namanya dihubungkan dengan Agung Sedayu. Gadis Sangkal Putung yang sangat menarik. Sekar Mirah.

“Apakah gadis itu juga akan selalu datang kemari ?“ berkata Prastawa di dalam hatinya, “Secara resmi gadis itu belum mempunyai ikatan dengan Agung Sedayu. Jika pada suatu saat hatinya berpaling kepadaku, maka aku kira akan dapat bersaing dengan anak padepokan kecil itu. Aku mempunyai kemungkinan hari depan yang jauh lebih baik dari anak padepokan kecil itu. Apalagi jika Sekar Mirah sendiri telah menjatuhkan pilihan.”

Tiba-tiba saja Prastawa tersenyum. Rasa-rasanya ia sudah siap berlomba melawan Agung Sedayu karena ia merasa memiliki banyak kelebihan.

Namun dalam pada itu, Prastawa menjadi berdebar-debar jika dikenangnya keterangan Pamannya tentang sikapnya. Meskipun tidak langsung, namun Pamannya telah memberikan penilaian atas tingkah lakunya.

Betapa dendam menyala di hatinya, tetapi Prastawa tidak akan berani berbuat sesuatu, karena segalanya sudah diketahui oleh Pamannya. Jika ia datang lagi kepadukuhan itu, dan memaki-maki atau bahkan menyakiti orang-orang yang dianggapnya telah menyampaikan laporan itu kepada Pamannya tentu akan menjadi semakin keras terhadapnya.

“Baiklah,“ berkata Prastawa kemudian di dalam hatinya, “Aku akan menunjukkan kepada Paman, bahwa anak muda yang bernama Agung Sedayu itu tidak akan berarti apa-apa di sini. Ia bahkan hanya akan menimbulkan persoalan yang tidak menguntungkan, dan bahkan perpecahan saja. Namun yang aku harapkan adalah, bahwa gadis Sangkal Putung itu akan sering juga datang kemari, sehingga aku akan dapat menentukan siapakah di antara aku dan Agung Sedayu yang lebih menarik baginya, bukan saja karena ujud jasmaniah, tetapi juga ilmu dan kemampuan nalar.”

Prastawa memaksa bibirnya untuk tersenyum. Kemudian, iapun memberingkan dirinya di pembaringannya. Namun demikian ia tidak segera dapat memejamkan matanya. Pikirannya masih saja mondar-mandir tidak menentu.

Sementara itu, Ki Gedepun telah masuk ke dalam biliknya. Justru setelah ia menyampaikan masalah-masalah yang memepatkan dadanya kepada Prastawa, maka Ki Gedepun merasa tenang dalam tidurnya.

Tetapi dalam pada itu, gejolak hati Prastawa tidak mengguncang hatinya hanya dalam saat-saat menjelang tidurnya. Ketika matahari naik di langit, maka iapun telah berada di antara beberapa orang kawannya yang terdekat. Beberapa orang anak muda yang dengan sengaja mengambil perhatian Prastawa untuk kepentingan mereka masing-masing. Dengan demikian, maka dalam beberapa hal mereka mendapat kedudukan lebih baik di dalam pandangan Prastawa dari kawan-kawan mereka yang lain.

“Kita akan mendapat tamu,“ berkata Prastawa kepada kawan-kawannya itu.

“Siapa ?“ bertanya salah seorang dari mereka.

“Kalian tentu sudah mengenalnya. Namanya Agung Sedayu,“ jawab Prastawa.

“O, Agung Sedayu. Saudara Swandaru.“ hampir berbareng kawan-kawannya menjawab.

“Hanya saudara seperguruan,“ sahut Prastawa, “Swandaru adalah anak seorang Demang yang mempunyai daerah yang luas dan besar. Tetapi Agung Sedayu adalah anak padepokan yang kecil dan tidak mempunyai kedudukan apapun juga.”

Tetapi Prastawa terkejut ketika salah seorang kawannya berkata tanpa maksud apa-apa, “Bukankah Agung Sedayu itu saudara tua seperguruan Swandaru, tetapi juga saudara muda Untara Senapati Pajang di Jati Anom.”

Prastawa menggeram. Katanya, “Persetan. Darimana kau mengetahuinya ?”

“Beberapa orang mengatakan demikian,“ jawab anak muda itu.

“Ia memang adik Untara. Tetapi ia sama sekali tidak lagi dihiraukan oleh kakaknya karena pokalnya sendiri.”

Beberapa orang kawannya itu mengerutkan keningnya. Ia mulai menangkap sikap Prastawa. Mula-mula mereka menyangka bahwa Prastawa merasa senang bahwa ia akan mendapat seorang tamu. Namun ternyata bahwa Prastawa mempunyai sikap yang lain.

Dengan hati-hati seorang kawannya bertanya, “Apakah ia akan menjadi tamumu ?”

Prastawa menggeleng sambil menjawab, “Tidak. Aku tidak memerlukannya.”

“Jadi ?“ yang lain berdesis.

“Paman telah mengundangnya untuk tinggal beberapa lama di Tanah Perdikan ini,“ jawab Prastawa, “Memang aneh. Aku tidak mengerti maksud Paman yang sebenarnya, menurut Paman. Agung Sedayu diundang ke Tanah Perdikan ini untuk mengawani aku. Menurut Paman, aku kesepian di sini.”

Kawan-kawannya mengangguk-angguk. Namun tiba-tiba saja Prastawa membentak, “Itu adalah sikap yang bodoh dari seorang Kepala Tanah Perdikan.”

Tidak seorangpun yang menanggapinya.

Kawan-kawan Prastawa itu tidak tahu apa yang sedang bergejolak di hati Prastawa yang sebenarnya. Karena itu, maka mereka menunggu saja apa yang akan dikatakan oleh Prastawa.

“Nah,“ berkata Prastawa, “Jika benar Agung Sedayu akan datang, maka kita akan dapat menentukan sikap. Aku akan menunjukkan kepada Paman, dan kepada anak-anak muda Tanah Perdikan ini, bahwa kehadiran Agung Sedayu sama sekali tidak ada artinya.”

“Apa yang harus kita lakukan ?“ bertanya seorang kawannya.

“Aku akan melihat kemampuan anak Jati Anom itu. Jika ia tidak memiliki kemampuan serendah-rendahnya setingkat dengan ilmuku, maka kehadirannya hanya akan membuat Tanah Perdikan ini menjadi kotor.“ namun tiba-tiba Prastawa berkata, “Tetapi aku tidak berniat untuk mengusirnya. Biarlah ia di sini, tetapi dengan pengertian, bahwa ditanah ini, terdapat anak-anak muda yang memiliki kemampuan melampaui kemampuannya, sehingga ia tidak akan memandang kita terlalu rendah. Apalagi jika niat Paman Argapati memberikan kesempatan kepada anak muda itu untuk memberikan latihan-latihan kanuragan di sini.”

Kawan-kawan Prastawa itu mengangguk-angguk. Seorang di antaranya melangkah maju sambil berkata, “Ia akan menyad iri dirinya sendiri. Bahwa kehadirannya tidak ada gunanya. Ia tidak akan dapat meningkatkan kemampuan anak-anak perdikan yang sudah lebih baik daripadanya.”

“Bodoh,” Prastawa hampir berteriak, “Ia memiliki kemampuan yang tentu lebih tinggi dari kemampuan kalian.”

Anak-anak Tanah Perdikan itu menjadi heran. Namun Prastawa meneruskan, “Tetapi ilmukulah yang lebih tinggi dari ilmunya. Tidak semua anak-anak muda di sini.”

Anak anak itu mengangguk-angguk. Seorang di antara mereka berdesis, “Nah, memang begitulah maksudnya. Tetapi nampaknya kawan kita itu salah ucap.”

“Ya, ya. Begitulah,“ sahut anak muda yang salah ucap itu dengan serta merta. “Aku ingin mengatakan, bahwa meskipun ia memiliki kemampuan di atas kemampuan anak-anak perdikan ini, tetapi tidak akan dapat menyamai ilmu kenuragan yang dimiliki oleh Prastawa.”

Prastawa mengerutkan keningnya. Namun iapun tertawa pula ketika ia melihat anak muda yang salah ucap itu menjadi pucat. Namun kemudian Prastawa itupun berkata, “Sudahlah. Kita akan menunggu kedatangannya. Mungkin ia tidak akan terlalu lama lagi berada di sini. Tetapi anak yang malang itu akan kecewa atas kesombongannya. Dan Paman Argapatipun akan merasa kecewa pula bahwa ia telah membawa orang yang tidak akan berarti apa-apa di sini.”

Kawan-kawan Prastawa itupun mengangguk-angguk. Salah seorang dari mereka berkata, “Sebaiknya pada hari pertama ia berada di sini kau sudah menunjukkan kepadanya, bahwa ia tidak akan ada artinya di sini.”

“Ya,“ Prastawa mengangguk.

Dan yang lainpun berkata, “Kau harus memaksanya untuk mengakui kelemahannya. Kau tentu dapat melakukannya.”

“Sudah aku katakan, aku akan berbuat demikian,“ jawab Prastawa.

“Bagus,“ sahut yang lain pula, “Kita harus mempunyai kebanggaan atas Tanah Perdikan ini. Seolah-olah Tanah Perdikan ini tidak memiliki putra-putra terbaiknya yang akan dapat menjadi takaran tingkat kemampuan dari Tanah Perdikan ini.”

“Jangan khawatir,“ sahut Prastawa. “Kalian akan mendapat kesempatan untuk meyakinkannya, bagaimana anak itu dengan wajah yang pucat dan gemetar bersujud di bawah kakiku untuk menyatakan kekalahannya.”

Kawan-kawannya mengangguk-angguk. Mereka masih sempat memuji-muji Prastawa sebagaimana biasa mereka lakukan. Dengan berbuat demikian maka Prastawa akan menjadi senang dan seperti biasanya, ia akan mengajak kawan-kawannya untuk membeli makanan dan kadang-kadang yang termasuk mahal bagi mereka sehari-hari.

Dalam pada itu, selagi Prastawa di Tanah Perdikan Menoreh digelisahkan oleh berita kedatangan Agung Sedayu, dan sikap Pamannya tentang perbuatannya yang bahkan menyakiti seorang anak muda di padukuhan kecil di Tanah Perdikan itu, maka di Jati Anom Kiai Gringsingpun sedang sibuk dengan berbagai macam pembicaraan tentang Agung Sedayu. Orang tua itu telah merencanakan segala sesuatunya. Kapan ia akan pergi bersama Untara untuk dengan resmi datang menghadap Ki Demang Sangkal Putung untuk minta bahwa Sekar Mirah akan dijodohkannya dengan Agung Sedayu serta sekaligus memperhitungkan hari, meskipun tidak tergesa-gesa.

“Pada hari kesepuluh semua pembicaraan harus sudah selesai, karena sekitar hari-hari itu Ki Gede Menoreh akan datang kepadukuhan ini,” berkata Kiai Gringsing kepada Widura dan Ki Waskita yang masih berada di padepokan kecil itu.

“Masih ada waktu,“ berkata Widura, “Sebelumnya kita harus menghubungi Ki Demang, agar Sangkal Putung bersiap-siap menerima kedatangan kita. Tetapi lebih dahulu kita harus mendapat kepastian waktu dari Untara. Kapan ia dapat pergi ke Sangkal Putung.”

Kiai Gringsing mengangguk-angguk. Lalu katanya, “Mengenai angger Untara biarlah kita serahkan saja kepada Pamannya, Ki Widura. Dalam kesibukannya, ia kami mohon untuk melapangkan waktu bagi kepentingan adiknya.”

Ki Widura tersenyum. Katanya, “Baiklah. Aku akan datang kepadanya untuk membicarakan, kapan ia dapat pergi ke Sangkal Putung. Tentu sebelum hari kesepuluh bulan depan.”

“Untuk memberitahukan kepada Ki Demang di Sangkal Putung setelah kita mendapat kepastian hari untuk pergi ke Sangkal Putung, biarlah aku serahkan kepada Ki Waskita,“ berkata Kiai Gringsing pula.

Ki Waskitapun mengangguk-angguk Jawabnya, “Baiklah. Tetapi bukankah aku tinggal menunggu ?”

“Ya,“ sahut Ki Widura, “Setelah aku bertemu dengan Untara.”

“Mudah-mudahan Untara tidak disibukkan dengan persoalan dua orang tawanan yang tersimpan di Mataram,“ berkata Kiai Gringsing.

“Apakah Untara mendapat kewajiban karena tawanan-tawanan itu ?“ bertanya Ki Waskita.

“Sampai sekarang nampaknya tidak,“ jawab Kiai Gringsing, “Tetapi mungkin ada perkembangan berikutnya. Jika Pajang tetap berniat untuk mengambil kedua orang itu, kemudian dengan sengaja menghadapkan Untara kepada kekuatan Mataram, maka mungkin sekali Untaralah yang kemudian mendapat perintah untuk mengambil kedua orang tawanan itu dengan cara apapun juga.”

“Apakah mungkin Untara ?“ bertanya Ki Widura, “Menurut perhitunganku. Pajang akan memerintahkan orang lain yang tidak akan dapat menimbulkan persoalan-persoalan khusus. Jika Untara yang mendapat perintah, maka mungkin sekali Untara akan memanfaatkan keadaan, karena Untarapun tentu mengenal Pringgabaya. Ia akan dapat menelusur keterangan tentang Pringgabaya yang sudah diberitakan mati itu.”

Kiai Gringsing mengangguk-angguk. Ia menganggap bahwa Widura yang bekas seorang prajurit itu tentu mempunyai wawasan yang lebih tajam daripadanya.

Maka katanya, “Mudah-mudahan. Dengan demikian persoalan Agung Sedayu tidak akan terhambat oleh perkembangan hubungan Mataram dan Pajang yang nampaknya untuk beberapa saat akan tetap seperti saat ini. Bagaimanapun juga kedua belah pihak nampaknya masih tetap berusaha mengekang diri.”

“Mudah-mudahan,“ berkata Ki Widura, “Namun demikian, aku akan segera melakukan kewajiban ini agar tidak tertunda-tunda oleh keadaan yang mungkin saja dapat berubah setiap saat.”

Namun bagi Kiai Gringsing, sebenarnyalah semakin cepat persoalan itu diselenggarakan akan menjadi semakin baik. Mereka tinggal menunggu saat yang sudah disepakati bersama dengan Ki Gede Menoreh. Bahwa Agung Sedayu akan diambilnya dan dibawa ke Tanah Perdikan itu meskipun pelaksanaan perkawinan itu masih akan dilangsungkan kemudian.

Sementara itu. Agung Sedayu yang gelisah menunggu segala macam pembicaraan tentang dirinya, berusaha mengisi waktunya di dalam sanggar. Selain ia memberikan latihan-latihan kepada para cantrik, maka ia telah menempa Glagah Putih sejalan dengan gairah Glagah Putih yang sangat tinggi. Sehingga dengan demikian, maka Glagah Putihpun tumbuh dengan pesatnya pula dalam olah kanuragan. Bahkan ketika pada suatu saat ayahnya menyaksikan perkembangannya, maka orang tua itu hanya dapat menggeleng-gelengkan kepalanya saja.

Agak sulit bagi Widura untuk mengerti, bagaimana mungkin Agung Sedayu yang setiap hari menekuni ilmunya yang diterima dari gurunya dan usahanya untuk meluluhkan ilmu itu dengan ilmu yang diterimanya dari Ki Waskita, dapat memberikan dasar-dasar ilmu yang bersih dari cabang perguruan Ki Sadewa. Sementara itu. Iapun menjadi kagum akan perkembangan ilmu Glagah Putih yang masih sangat muda itu. Semua dasar dan landasan ilmu yang bersumber dari ilmu Ki Sadewa telah dikuasainya. Dengan teratur ia mendapat tuntunan dari Agung Sedayu, bagaimana ia harus mengembangkan landasan ilmu itu sebaik-baiknya. Bagaimana Glagah Putih memanfaatkan pengaruh ilmu dari perguruan lain yang mempunyai bukan saja ciri-ciri yang berbeda, tetapi wataknyapun berbeda pula.

Hati Glagah Putih yang memang tercurah sepenuhnya pada usaha penguasaan ilmu itupun berusaha dengan sungguh-sungguh untuk dapat melakukan segala petunjuk Agung Sedayu. Kejernihan akalnya telah membuatnya terlalu cepat mengerti dan bahkan menguasai setiap masalah yang dilontarkan oleh Agung Sedayu. Bahkan kadang-kadang Agung Sedayu telah menuntut Glagah Putih dengan cara yang agak keras. Kadang-kadang Glagah Putih harus membela dirinya dari serangan-serangan yang sulit yang dilontarkan oleh Agung Sedayu, sehingga tidak jarang Glagah Putih benar-benar menjadi kesakitan oleh serangan-serangan Agung Sedayu.

Namun sementara itu, dalam keadaan yang khusus, di dalam sanggar itu hanya terisi oleh empat orang saja. Kiai Gringsing, Ki Waskita, kadang-kadang Widura dan Agung Sedayu. Tidak ada tujuan lain bagi Ki Waskita selain mewariskan segala-galanya kepada Agung Sedayu atas ijin Kiai Gringsing. Bahkan Kiai Gringsing yang dalam saat-saat tertentu menyaksikan latihan-latihan yang berat dari Agung Sedayu dalam usahanya meluluhkan berbagai macam ilmu yang dikuasainya, serta kekhususan yang dimilikinya, tidak dapat tinggal diam.

Sehingga pada suatu saat di luar pengetahuan Agung Sedayu, maka orang-orang tua itu bergumam di antara mereka, “Tidak ada lagi yang dapat kita berikan kepadanya.”

Bahkan Widura berkata, “Akulah yang sekarang harus berguru kepadanya.”

“Kiai,“ berkata Ki Waskita kemudian kepada Kiai Gringsing, “Kepemimpinan Kiai ternyata sangat menentukan di dalam hidup Agung Sedayu. Setelah ia memiliki ilmu yang tidak lagi dapat diperbandingkan dengan mak-anak muda sebayanya, kecuali dengan orang-orang khusus seperti Raden Sutawijaya dan Pangeran Benawa yang lebih tua sedikit saja daripadanya, maka petunjuk-petunjuk Kiai justru akan menjadi semakin penting baginya di dalam menentukan jalan hidupnya. Menjelang hari-hari perkawinannya, maka ia akan dihadapkan pada beberapa pilihan yang akan menentukan hari depannya. Karena itu dukungan pengaruh kajiwan akan sangat penting baginya, sehingga ia tidak akan kehilangan sifat-sifatnya yang baik yang selama ini menjadi ciri-ciri hidupnya. Tentu saja tidak ada seorangpun di dunia ini yang tidak mempunyai cacat. Juga Agung Sedayu. Namun aku yakin bahwa Kiai sudah memberikan dasar yang kokoh bagi Agung Sedayu pada landasan sifat-sifat yang dimiliki sebelumnya.”

Kiai Gringsing tersenyum. Katanya, “Aku kurang jelas. Apakah Ki Waskita sedang memuji aku atau justru menuntut.”

Ki Waskitapun tersenyum pula. Bahkan Ki Widura tertawa karenanya.

“Kedua-duanya Kiai,“ jawab Ki Waskita, “Aku memuji sekaligus menuntut. Untuk kepentingan Agung Sedayu.”

“Baiklah,“ berkata Kiai Gringsing yang masih tersenyum, “Aku akan mencoba berbesar hati karena pujian itu, dan sekaligus prihatin agar aku dapat memenuhi tuntutan yang berat itu.”

Meskipun yang diucapkan oleh Ki Waskita dalam pembicaraan dengan Kiai Gringsing dan Ki Widura itu seolah-olah hanya gurau yang lepas begitu saja, namun sebenarnyalah hal itu merupakan kata hati yang memang tersirat di dada orang-orang tua itu.

Dalam pada itu, pembicaraan mengenai hari-hari perkawinan Agung Sedayupun berjalan terus. Ki Widura yang kemudian menemui Untara telah mendapat ketetapan waktu, sehingga dengan demikian, maka Ki Waskitalah yang harus pergi ke Sangkal Putung, untuk memberitahukan kepada Ki Demang, bahwa Kiai Gringsing, Untara dan beberapa orang pengiring akan datang ke Sangkal Putung untuk membicarakan dengan sungguh-sungguh saat saat yang ditunggu-tunggu oleh Agung Sedayu dan Sekar Mirah.

“Besok aku akan pergi ke Sangkal Putung,“ berkata Ki Waskita.

“Apakah Ki Waskita memerlukan kawan seperjalanan ?“ bertanya Kiai Gringsing.

“Aku kira belum perlu. Bukankah aku hanya sekedar memberitahukan bahwa secara resmi keluarga Agung Sedayu akan datang ? Karena itu aku akan pergi saja sendiri,“ jawab Ki Waskita.

Namun ternyata di keesokan harinya, Ki Waskita tidak pergi sendiri. Glagah Putih yang ingin mengikutinya, telah mendapat ijin dari ayahnya.

“Tetapi Ki Waskita tidak pergi tamasya,“ berkata Ki Widura, “Karena itu, jika persoalan yang dibawa oleh Ki Waskita selesai, maka kau jangan merengek untuk tinggal lebih lama lagi di Sangkal Putung, meskipun barangkali Swandaru ingin membawamu berkeliling melihat-lihat Kademangannya.”

Glagah Putih mengangguk, meskipun sebenarnya ia memang ingin melihat Sangkal Putung yang menjadi semakin mantap.

Ternyata pembicaraan mengenai hari perkawinan Agung Sedayu dan Sekar Mirah itu berjalan rancak. Ketika Ki Waskita sampai di Sangkal Putung, maka ia telah disambut dengan gembira karena Ki Demang memang sudah menduga masalah yang dibawa oleh Ki Waskita.

Dalam kesibukan sehari-hari, maka pembicaraan mengenai hari-hari perkawinan anaknya itu justru terasa sangat menarik bagi Ki Demang. Rasa-rasanya hadir suasana lain di dalam hatinya. Bukan saja persoalan air, pematang dan tukang pande serta pasar-pasar yang menjadi semakin penuh sesak, tetapi dengan demikian seolah-olah Ki Demang sempat membicarakan masalah-masalah dirinya dan keluarganya secara khusus.

“Jadi, dalam tiga hari mendatang. Kiai Gringsing, Ki Widura dan angger Untara akan datang ke gubugku ini ?“ bertanya Ki Demang meyakinkan.

“Ya Ki Demang. Mungkin ada dua tiga orang pengiring yang akan menyertai mereka seperti kebiasaan yang berlaku. Orang-orang tua dan sanak kadang,“ jawab Ki Waskita.

“Terima kasih. Aku akan menerima mereka dengan gembira sekali. Karena sebenarnyalah aku sudah menunggu saat-saat yang demikian,“ jawab Ki Demang.

Ki Demang benar-benar merasa gembira. Bagaimanapun juga, ada perasaan khawatir di hatinya, karena hubungan yang menjadi semakin dekat antara Agung Sedayu dan Sekar Mirah, justru karena Ki Demang adalah orang tua Sekar Mirah, seorang gadis. Memang agak berbeda dengan orang tua seorang anak muda dalam hubungan yang demikian.

Ternyata bahwa Ki Waskita tidak terlalu lama berada di Sangkal Putung. Ketika pembicaraan di antara mereka telah selesai, maka Ki Waskitapun segera minta diri.

Tetapi Ki Demang telah menahannya sampai saat mereka makan siang. Baru setelah makan siang, Ki Waskita dilepaskannya kembali ke Jati Anom bersama Glagah Putih.

“Kau tinggal di sini saja Glagah Putih,“ ajak Swandaru, “Bukankah tiga hari lagi, akan datang beberapa orang utusan dari Jati Anom ? Nah, jika mereka kembali, kau dapat ikut bersama mereka. Di sini kau dapat melihat-lihat perkembangan Kademangan ini. Besok menjelang matahari sepenggalah kita dapat pergi ke pasar. Membeli jenis makanan apa saja yang kau sukai.”

Rasa-rasanya ada juga keinginan Glagah Putih untuk tinggal. Tetapi Ki Waskita berkata, “Kau ingat pesan ayahmu ?”

Glagah Putih tersenyum. Sambil mengangguk ia menjawab, “Ya Paman.”

Swandaru tertawa. Katanya, “Apakah ayahmu akan marah jika kau tinggal ?”

Glagah Putih memandang Ki Waskita sejenak. Namun kemudian jawabnya, “Aku mendapat pesan, agar aku kembali bersama Ki Waskita.”

Swandaru tertawa semakin keras. Katanya, “Baiklah. Sebaiknya kau memang melakukan pesan ayahmu sebaik-baiknya.”

Demikianlah maka keduanyapun kemudian meninggalkan Sangkal Putung kembali ke Jati Anom. Di sepanjang jalan di dalam lingkungan Kademangan Sangkal Putung, Glagah Putih melihat, betapa hijaunya sawah dan ladang. Parit menjalar menyusup tanah persawahan, sehingga tidak sejengkal tanahpun yang tidak dicapai oleh jalur air yang naik dari bendungan.

Namun agaknya keberhasilan Swandaru, mempengaruhi pula beberapa Kademangan yang berbatasan dengan Sangkal Putung. Mereka mencoba untuk menyesuaikan diri dengan kemajuan yang telah dicapai oleh Swandaru. Beberapa bebahu Kademangan tetangga, tidak segan-segan untuk menghubungi Ki Demang di Sangkal Putung dan belajar dari padanya, untuk kemajuan Kademangan mereka masing-masing.

“Biarlah Swandaru memberikan keterangan,“ setiap kali Ki Demang Sangkal Putung dengan bangga menyebut nama anak laki-lakinya.

Ternyata bahwa Swandarupun tidak berkeberatan untuk menularkan kemajuan Kademangannya kepada Kademangan-kademangan tetangganya. Meskipun demikian, agaknya Kademangan-kademangan tetangganya tidak mampu mengejar ketinggalan mereka, terutama dalam hal peningkatan ketrampilan olah kanuragan bagi para pengawal Kademangan.

Sementara itu, Ki Waskita dan Glagah Putih berpacu menyelusuri bulak-bulak panjang. Tidak ada sesuatu yang menghambat perjalanan mereka, sehingga merekapun telah tiba di padepokan kecil di Jati Anom dengan selamat.

Demikianlah, maka hari-hari berikutnya terasa menjadi sangat gelisah bagi Agung Sedayu. Setiap ia menyadari dirinya, maka iapun menjadi berdebar-debar. Jika hari perkawinan itu ditentukan terlalu dekat, apakah yang dapat dilakukannya bagi kepentingan keluarganya. Bahkan kedudukannya di Tanah Perdikan Menorehpun masih tetap kabur baginya. Apakah yang dapat dipetik dari kedudukannya itu bagi sebuah keluarga ? Bukankah bagi kepentingan keluarga kecilnya nanti, bukannya sekedar dapat dicukupi dengan kedudukan dan kehormatan ? Apalagi jika diingatnya sifat Sekar Mirah yang mempunyai kemiripan dengan sifat kakaknya, Swandaru Geni.

Namun dalam pada itu, semakin ia gelisah, maka ia berusaha semakin menenggelamkan diri di dalam sanggarnya, untuk kepentingan para cantrik, kepentingan Glagah Putih dan kepentingan sendiri.

Dalam pada itu, Glagah Putih yang tidak tahu pasti perasaan yang bergejolak di hati Agung Sedayu, merasa mendapat keuntungan dengan kesempatan yang diberikan oleh kakak sepupunya. Glagah Putih menganggap bahwa kakaknya tentu memperhitungkan bahwa tidak lama lagi, ia akan ditinggalkannya. Karena itu, sebelum kakak sepupunya itu pergi, maka ia telah meninggalkan tuntunan sebanyak-banyaknya bagi Glagah Putih sebagai pembuka jalan untuk mengembangkan ilmunya setelah segala dasar dan landasannya telah diberikan oleh Agung Sedayu.

Sebenarnyalah dalam waktu yang singkat itu, Glagah Putih mencapai kemajuan yang pesat, meskipun tubuhnya kadang-kadang merasa sakit dan tulangnya bagaikan retak. Nampaknya Agung Sedayu sudah sampai pada suatu cara yang terakhir yang dipergunakannya untuk meningkatkan kemampuan dan membuka pikiran Glagah Putih untuk mengembangkan ilmu yang sudah diterimanya.

Sementara itu, prajurit muda sahabat Agung Sedayu masih juga selalu datang berkunjung pada saat senggang. Sabungsaripun telah mendengar segala-galanya. Juga tentang rencana kunjungan Untara dan beberapa orang tua ke Sangkal Putung.

“Seharusnya kau merasa gembira Agung Sedayu,“ berkata Sabungsari.

Agung Sedayu menarik nafas dalam-dalam. Katanya, “Aku sudah mencoba untuk bergembira. Tetapi aku justru menjadi sangat gelisah.”

Sabungsari tersenyum. Katanya, “Menurut pendengaranku setiap orang yang akan memasuki saat perkawinannya memang menjadi gelisah.”

“Akupun sudah mendengarnya pula,“ jawab Agung Sedayu, “Tetapi kegelisahanku agak berbeda. Bukan saja karena aku gelisah menjelang dipersandingkan. Tetapi yang paling menggelisahkan adalah, bagaimana sesudah semalam aku dihormati dengan segala macam upacara itu ? Jika malam kemudian lewat dan hari-hari berikutnya mendatang, aku akan terlempar pada suatu kenyataan tentang diriku.”

“Bukankah kau akan berada di Tanah Perdikan Menoreh ?“ bertanya Sabungsari.

“Ya. Tetapi apakah aku akan dapat bertanya kepada Ki Gede, bagaimana hidupku kemudian setelah aku berada di Tanah Perdikan Menoreh ? Apakah aku akan dapat membeli sepasang subang bagi Sekar Mirah, atau seuntai kalung atau perhiasan-perhiasan lainnya ?“ desis Agung Sedayu.

Sabungsari menarik nafas dalam-dalam. Ia dapat mengerti, betapa kegelisahan meronta di hati Agung Sedayu menghadapi masa depannya. Namun dalam pada itu, Agung Sedayu sendiri tidak dengan sungguh-sungguh berusaha membina hari depannya.

“Adalah satu kebanggaan bahwa Agung Sedayu dapat mewarisi ilmu gurunya seutuhnya,“ berkata Sabungsari di dalam hatinya, “Tetapi seharusnya ia mempunyai sikap yang lain pada segi kehidupan gurunya yang bertahan dalam pengembaraannya sampai hari-hari tuanya. Kiai Gringsing tidak mempunyai seorangpun yang dapat memberati perasaannya di dalam pengembaraan dan hidup sebagaimana dijalani. Tidak seorangpun yang harus dipertanggung jawabkannya. Hidupnya yang terselubung oleh bayangan tirai kediriannya itu, memungkinkannya untuk berbuat demikian sampai batas yang dikehendakinya sendiri. Tetapi tentu tidak bagi Agung Sedayu yang masih ingin menyusun kehidupan sewajarnya, seperti kebanyakan orang. Berkeluarga dan menimang seorang anak.”

Sebenarnyalah bahwa hal itulah yang telah menggelisahkan Agung Sedayu justru semakin dekat hari-hari perkawinannya. Pembicaraannya yang selalu kurang sesuai dengan Sekar Mirah adalah karena keduanya mempunyai arah berpikir yang berbeda. Agung Sedayu yang dibebani oleh seribu macam pertimbangan dan keragu-raguan sementara Sekar Mirah yang memandang masa depan dengan harapan dan bahkan keinginan-keinginan.

Namun dalam pada itu, Sabungsari selalu berusaha untuk menghindari pembicaraan lebih lanjut yang akan dapat membuat Agung Sedayu semakin gehsah. Dalam keadaan tertentu, Sabungsari kadang-kadang lebih senang mencari Glagah Putih dan menantangnya masuk ke dalam sanggar.

“Ayo, lawan aku hari ini,“ ajak Sabungsari.

Agung Sedayu tidak pernah berkeberatan jika Glagah Putih berlatih dengan Sabungsari. Agung Sedayu mengerti, bahwa Sabungsari tidak akan mempengaruhi landasan ilmu Glagah Putih. Yang mereka lakukan adalah saling mengasah diri, seakan-akan mereka benar-benar telah bertempur. Namun karena Sabungsari memiliki kelebihan dari anak-anak muda sebayanya, justru ia menempa diri dalam dorongan dendam yang menyala. Tetapi ia kagum melihat kemajuan yang dicapai oleh Glagah Putih.

Sementara itu hari yang dijanjikan telah tiba, bahwa Untara dan Widura sebagai keluarga terdekat dan Kiai Gringsing sebagai guru Agung Sedayu akan datang ke Sangkal Putung diiringi oleh beberapa orang tua.

Menjelang senja. Kiai Gringsing dan Widura telah berada di rumah Untara. Tiga orang-orang tua tetangga Untara telah hadir pula. Mereka akan bersama-sama pergi ke Sangkal Putung.

Seperti yang mereka rencanakan, demikian senja turun, maka sebuah iring-iringan meninggalkan rumah Untara. Selain mereka yang termasuk keluarga dan orang-orang tua dari Jati Anom, Untara juga membawa tiga orang pengawal. Bagaimanapun juga, ia merasa wajib untuk berhati-hati. Segala sesuatunya akan dapat terjadi dalam keadaan yang kurang mapan itu.

Sementara iring-iringan itu dalam perjalanan, Ki Waskita berada di Padepokan bersama Agung Sedayu dan Glagah Putih. Dalam pada itu, Sabungsaripun telah datang pula ke padepokan itu seperti kebiasaannya, apabila ia tidak sedang bertugas.

Seperti biasa pula mereka berbincang tentang berbagai macam persoalan yang kadang-kadang hilir mudik tidak menentu. Namun dalam pada itu, nampaknya mereka terikat oleh penghayatan mereka di dalam olah kanuragan, sehingga sebagian besar dari pembicaraan mereka berkisar pada persoalan kanuragan.

Glagah Putihlah yang paling banyak ingin mengetahui. Juga karena umur dan pengalamannya yang paling muda, maka ialah yang paling banyak mengajukan pertanyaan.

Tetapi sementara mereka berbincang, tiba-tiba saja terasa jantung Ki Waskita berdesir. Sejenak ia menekan dadanya dengan telapak tangannya. Namun kemudian dengan suara sendat ia berkata, “Aku menjadi berdebar-debar.”

“Kenapa ?“ bertanya Agung Sedayu.

Ki Waskita menarik nafas dalam-dalam. Desisnya, “Entahlah. Tetapi justru pada saat aku memikirkan perjalanan angger Untara.”

“Apakah mungkin akan ada hambatan ?“ bertanya Sabungsari.

“Entahlah,“ jawab Ki Waskita, “Nampaknya aku sekarang terlalu sering menjadi berdebar-debar tanpa sebab. Mungkin aku menjadi semakin tua sehingga dengan demikian, maka penglihatanku atas isyarat yang biasanya dapat aku lihat atas perkenan Yang Maha Murah, menjadi semakin kabur adanya. Tetapi aku tidak boleh menyesali hal itu, karena sejak semula aku harus sudah mengetahui keterbatasan kemampuan seseorang.”

“Kakang Untara berada dalam satu iring-iringan yang kuat,“ desis Glagah Putih. “Di antara mereka terdapat Kiai Gringsing, ayah dan tiga orang pengawal, selain orang-orang tua yang tentu tidak akan banyak dapat berbuat apa-apa. Tetapi iring-iringan ini tentu akan dapat mengatasi jika mereka bertemu dengan hambatan apapun juga.”

“Jika hambatan itu pasukan segelar sepapan,“ bertanya Agung Sedayu.

“Ah, tentu tidak mungkin,“ sahut Glagah Putih dengan serta merta.

Sabungsari menarik nafas dalam-dalam. Ia mengerti bahwa Agung Sedayu hanya ingin bergurau saja dengan Glagah Putih. Namun dalam pada itu, tersirat pula kecemasannya. Bahwa mungkin sekali mereka bertemu dengan sekelompok orang-orang jahat, dengan alasan apapun juga.

Namun dalam pada itu, tiba-tiba saja Sabungsari merenung. Nampaknya ada sesuatu yang diingatnya. Baru kemudian ia berkata kepada Ki Waskita, “Ki Waskita. Ada sesuatu yang aku lihat. Meskipun barangkali hanya karena kecurigaanku yang tidak beralasan. Demikian Ki Untara pergi, dua orang berkuda telah meninggalkan barak sebelah rumah Ki Untara. Adalah kebetulan bahwa aku melihatnya. Kedua orang itu bukan prajurit Pajang di Jati Anom. Tetapi agaknya keduanya adalah tamu dari salah seorang prajurit yang tinggal di barak sebelah.”

Ki Waskita mengangguk-angguk. Namun nampaknya ia sedang merenungi keterangan Sabungsari. Baru sejenak kemudian ia berkata, “Memang mungkin tidak ada hubungan sama sekali antara dua orang tamu yang meninggalkan barak itu dengan kepergian Untara. Namun mungkin pula dua orang itu sengaja menunggu sampai Ki Untara berangkat.”

“Menunggu untuk apa ?“ bertanya Glagah Putih.

“Dengan maksud tertentu,“ jawab Ki Waskita. Namun kemudian, “Tetapi mudah-mudahan tidak demikian.”

“Tetapi bagaimana jika demikian,“ desis Agung Sedayu tiba-tiba, “Orang itu tentu tahu pasti, siapa sajakah yang pergi ke Sangkal Putung. Setiap prajurit tahu, bahwa kakang Untara pergi bersama tiga orang pengawal. Bukankah begitu ?”

Sabungsari mengangguk-angguk. Katanya, “Ya. Para prajurit mengetahui bahwa Ki Untara pergi ke Sangkal Putung dalam kepentingan pribadi disertai oleh tiga orang pengawal dan Kiai Gringsing.”

Ki Waskitapun mengangguk-angguk pula. Lalu katanya, “Kita dapat memberikan banyak arti pada peristiwa itu. Bahwa dua orang telah meninggalkan barak prajurit di sebelah rumah Untara. Tetapi apakah kita akan tetap tinggal diam ? Bahwa aku tidak pergi bersama mereka yang secara resmi mengunjungi Ki Demang Sangkal Putung, karena aku harus menemani kalian di padepokan ini. Tetapi aku kira, aku juga sebaiknya mengambil satu sikap dalam keadaan seperti sekarang.”

“Ya,“ sahut sabungsari, “Ki Waskita wajib mengambil satu sikap. Meskipun sekedar karena kita ingin berhati-hati.”

“Baiklah. Bagaimana jika kita pergi juga ke Sangkal Putung ?“ bertanya Ki Waskita.

Sabungsari dan Agung Sedayu segera menangkap maksud Ki Waskita. Orang tua itu menjadi cemas bahwa perjalanan iring-iringan yang pergi ke Sangkal Putung itu akan terganggu dijalan. Karena itu, maka hampir berbareng keduanya menjawab, “Baik Ki Waskita. Kita akan pergi juga ke Sangkal Putung.”

Namun Glagah Putih masih bertanya, “Tetapi bukankah itu aneh ? Kiai Gringsing dan mereka yang pergi ke Sangkal Putung telah menimbang sebaik-baiknya, siapakah yang akan pergi dan siapakah yang tinggal. Apalagi jika kakang Agung Sedayu juga pergu ke Sangkal Putung, bukankah tidak seharusnya ?”

Agung Sedayu tersenyum. Jawabnya, “Aku tidak akan menyusul guru ke rumah Ki Demang di Sangkal Putung. Kita hanya akan pergi ke Sangkal Putung.”

Glagah Putih mengerutkan keningnya. Namun iapun kemudian mengangguk-angguk. Katanya, “Aku mengerti.”

“Nah, sebaiknya kau tinggal saja di padepokan,“ berkata Agung Sedayu kemudian.

“Tidak. Aku tidak mau,” jawab Glagah Putih dengan serta merta, “Aku ikut menyusul mereka yang pergi ke Sangkal Putung.”

Ki Waskita menimbang-nimbang sejenak. Namun kemudian katanya, “Baiklah Kita bersama akan pergi ke Sangkal Putung. Tetapi kita harus berhati-hati. Jika kegelisahan kita ternyata memang beralasan, maka kita harus siap menghadapi segala kemungkinan. Termasuk Glagah Putih.”

“Aku sudah siap,“ sahut Glagah Putih dengan serta merta.

Sabungsari tersenyum. Ia memang kagum melihat sikap anak itu. Menurut pendapatnya, meskipun Glagah Putih masih harus banyak berlatih dan mengembangkan ilmunya, namun ia sudah mempunyai bekal yang cukup untuk membela diri. Meskipun baru pada tataran mula, tetapi Glagah Putih sudah dapat memanfaatkan tenaga cadangan yang ada pada dirinya. Satu hal yang memerlukan pendalaman yang khusus. Bahkan para prajurit pada tataran pertama jarang yang sudah memiliki kemampuan yang demikian.

“Baiklah,“ berkata Ki Waskita kemudian, “Kita akan bersiap. Sebentar lagi kita akan berangkat.“

“Aku tidak membawa seekor kuda,” desis Sabungsari.

“Kau dapat mempergunakan kuda kami,“ jawab Agung Sedayu.

Demikianlah, maka ke empat orang itupun segera mempersiapkan diri. Meskipun semuanya masih dugaan, tetapi mereka benar-benar bersiap untuk menghadapi segala kemungkinan. Sabungsari dan Agung Sedayu telah membawa senjata masing-masing. Demikian pula Glagah Putih. Meskipun ia berlatih pada Agung Sedayu, namun karena ia mengambil ilmu pada jalur Ki Sadewa, maka ia tidak mempergunakan cambuk seperti Agung Sedayu. Tetapi Glagah Putih telah membawa sebilah pedang di lambungnya.

Sejenak kemudian, maka Agung Sedayupun memanggil cantrik yang tertua di padepokan itu. Katanya, “Aku akan pergi sebentar. Awasilah padepokan ini dan jagalah sebaik-baiknya. Jika ada sesuatu yang memang tidak akan dapat kalian atasi jangan memaksa diri. Tetapi jika kalian mengamati padepokan kecil ini dengan baik, aku kira tidak akan ada sesuatu.”

Cantrik itupun kemudian memanggil beberapa orang kawannya yang memang tidak banyak. Meskipun segera membagi tugas. Sementara yang akan pergi ke sawah, untuk menyalurkan air ke dalam sawah mereka, tidak mendapat tugas lain lagi.

Dalam pada itu, maka ke empat ekor kuda dengan para penunggangnyapun segera berderap meninggalkan padepokan kecil itu langsung menyelusuri jalan ke Sangkal Putung.

Jarak antara kedua iring-iringan memang agak panjang. Jika tidak ada gangguan apapun di perjalanan, maka iring-iringan yang pertama tentu sudah sampai pada pertengahan jarak antara Jati Anom dan Sangkal Putung. Mungkin mereka sedang menuruni tebing sungai di Macanan atau lebih sedikit. Atau mungkin pula mereka sudah mulai menyusuri jalan di pinggir hutan kecil itu.

Sementara kuda itu berderap dengan kencangnya, rasa-rasanya debar di jantung Ki Waskita menjadi semakin cepat. Rasa-rasanya memang ada isyarat bahwa sesuatu akan terjadi.

“Atau bahkan sudah terjadi,” berkata Ki Waskita di dalam hatinya.

Dengan demikian maka iring-iringan itu bagaikan didorong untuk berpacu semakin cepat. Glagah Putih berkuda di depan bersama Ki Waskita, sementara Agung Sedayu dan Sabungsari mengikuti mereka di belakang.

Ujung malam terasa terlalu cepat menjadi gulita. Meskipun di langit bintang bergayutan, namun malam rasa-rasanya memang sangat kelam.

Dalam pada itu, ternyata bahwa apa yang dicemaskan Ki Waskita memang terjadi. Seperti yang diperhitungkan, maka kedua orang berkuda yang meninggalkan barak di sebelah rumah Untara, adalah orang-orang yang dengan sengaja mengamati Senapati muda itu.

Untara memang tidak merahasiakan, dengan siapa ia akan pergi ke Sangkal Putung. Beberapa orang perwira bawahannya mengetahui bahwa Untara akan pergi ke Sangkal Putung membicarakan hubungan adiknya dengan gadis Sangkal Putung bersama Kiai Gringsing dan tiga orang pengawal serta Paman Agung Sedayu, Widura. Dengan demikian, maka kekuatan itu dapat diperhitungkan dengan tepat.