Api di Bukit Menoreh 133

Pangeran Benawa menarik nafas dalam-dalam. Kemudian katanya ”Ki Sanak. Aku memang tidak menyangka, bahwa kuburan ini dijaga. Karena itu, ketika kalian tiba-tiba saja muncul, aku menjadi bingung dan menjawab asal saja tanpa memikirkan akibatnya.”

”Sebut, siapa kalian” penjaga yang bertubuh paling tinggi membentak semakin keras.

”Begini Ki Sanak,” jawab Pangeran Benawa ”Sebenarnya kami hanya ingin menyepi di kuburan ini. Kami mendengar bahwa seorang prajurit linuwih telah gugur dan dimakamkan di kuburan ini oleh kawan-kawannya dibantu oleh para penghuni padukuhan sebelah menyebelah. Dengan demikian, maka kami akan mohon berkahnya, agar kami dapat diterima menjadi seorang prajurit di Pajang.”

”Siapa yang akan menjadi seorang prajurit ?” bertanya penjaga itu.

”Sudah tentu bukan aku” jawab Kiai Gringsing ”Aku sudah tua.”

”Aku” sahut Pangeran Benawa ”Ayah hanya mengantar aku mohon berkah kepada prajurit linuwih yang gugur dan dimakamkan di sini. Kami berharap bahwa dengan demikian, usaha kami akan dapat tercapai.”

Para penjaga kuburan itu tidak pernah memikirkan kemungkinan itu. Mereka mendapat tugas untuk menjaga kuburan itu sampai empat puluh malam, karena kemungkinan akan dapat terjadi, bahwa mayat itu akan dicuri orang. Mungkin musuh-musuhnya yang mendendam. Tetapi mungkin juga seseorang yang menganggap bahwa prajurit itu mempunyai tuah yang dapat memberikan kelebihan.

Namun yang kemudian datang, bukan seseorang atau sekelompok orang yang akan mencuri mayat itu, tetapi dua orang yang akan menyepi untuk mendapatkan berkah.

Selagi orang-orang itu masih termangu-mangu, maka Pangeran Benawa telah mendesaknya ”Maaf Ki Sanak. Apakah aku boleh masuk ?” Namun tiba-tiba Pangeran Benawa bertanya ”Apakah benar kalian penjaga regol kuburan seperti yang kami duga.”

”Ya,” sahut salah seorang dari mereka. Lalu katanya kepada kawan-kawannya ”Apapun yang akan mereka lakukan, bukankah sebaiknya kita tidak mengijinkannya ?”

”Ya” jawab yang lain ”selama empat puluh hari empat puluh malam, tidak seorangpun yang boleh mendekat. Jika kalian akan minta berkahnya, dapat kaulakukan setelah empat puluh hari.”

”Ah” desis Pangeran Benawa ”Itu terlalu lama. Sebelum empat puluh hari, aku harus sudah memasuki pendadaran. Aku harus dapat menunjukkan bahwa aku pantas menjadi seorang prajurit seperti Senapati yang telah gugur disini.”

Sejenak para penjaga kubur itu berpandangan. Namun kemudian yang seorang telah menggeleng sambil berdesis ”Jangan memaksa Ki Sanak. Kami tidak mengijinkan kalian memasuki kuburan ini.” Lalu, tiba-tiba katanya ”He, bukankah kalian berdua adalah orang yang kami temui di kedai itu ?”

”Ya” sahut Pangeran Benawa dengan serta merta ”Akupun sedang mengingat ingat, di mana kami pernah bertemu dengan kalian. Apakah dengan demikian, kami diperkenankan memasuki kuburan ini.”

”Tidak. Kami tidak mengijinkan” jawab penjaga itu.

Pangeran Benawa menarik nafas dalam dalam. Sambil berpaling kepada Kiai Gringsing ia berkata ”Jika demikian ayah, apakah kita akan nenepi diluar dinding saja ? Bukankah tidak akan banyak bedanya ? Kita dapat duduk bersama para penjaga ini.”

Kiai Gringsing menarik nafas dalam-dalam. Lalu sambil mengangguk ia berdesis ” Apa boleh buat. Jika kita tidak diijinkan masuk, baiklah kita mohon agar diijinkan tinggal di regol ini.”

Pangeran Benawa mengangguk-angguk. Lalu katanya "Jika demikian Ki Sanak. Aku mohon ijin untuk dapat ikut duduk bersama di regol ini. Mudah-mudahan dengan demikian, kami sudah dapat dianggap nenepi di kuburan ini. karena memang demikianlah maksud kami sejak kami berangkat dari rumah, sehingga hendaknya maksud kamilah yang berlaku, bukan apa yang telah kami lakukan karena kami tidak dapat mengatasi keadaan.”

Para penjaga kubur itu saling berpandangan sejenak. Kemudian orang yang terbesar diantara mereka menjawab ” Jika itu yang kau maksud, aku tidak berkeberatan. Kau dapat berada di regol ini bersama kami. Tetapi jika kalian melakukan sesuatu yang tidak kami sukai, maka kami akan memperlakukan kalian sebagaimana kami memperlakukan orang-orang yang memusuhi kami.”

”Terima kasih” jawab Pangeran Benawa ”Kami akan duduk saja disini tanpa berbuat apa-apa.”

Ternyata para penjaga kubur itu telah memberikan sehelai tikar kepada Kiai Gringsing dan Pangeran Benawa, sementara mereka mulai membagi diri. Dua orang diantara mereka segera berbaring diatas sehelai tikar pula, sementara yang dua orang lainnya duduk di regol itu untuk berjaga-jaga. Setiap kali salah seorang dari mereka bangkit dan berjalan memasuki kuburan, melihat, apakah kuburan prajurit linuwih itu tidak diganggu orang.

Sementara Pangeran Benawa dan Kiai Gringsing duduk bersama para penjaga yang tidak tertidur, mereka sempat berbicara panjang lebar tentang prajurit yang dikubur itu.

”Kami, hampir semua orang dipadukuhan kami, ikut membantu mengubur mayat itu” jawab salah seorang penjaga regol kubur itu.

”Aku membayangkan, bahwa orang yang dikuburkan itu tentu tinggi kekar dan berkumis meskipun tidak terlalu lebat” berkata Pangeran Benawa

”Tidak. Orangnya kecil, pendek ia mengenakan pakaian seorang perwira.” sahut salah seorang penjaga itu.

”Apakah ia sempat dimandikan ?” bertanya Pangeran Benawa.

”Tidak. Tubuhnya luka arang keranjang. Pakaiannya compang camping, sehingga tidak mungkin lagi menyelenggarakan sebagaimana seharusnya. Karena itu, kami hanya membungkusnya dengan kain putih dan kemudian menguburkannya.” jawab salah seorang dari penjaga itu.

”Bersama dengan pusakanya ? Bukankah ia mengenakan pusaka kerisnya meskipun mungkin ia juga berpedang ?” bertanya Pangeran Benawa.

Orang itu berpikir sejenak. Dengan nada datar ia menjawab ”Tidak banyak orang memperhatikannya. Tetapi aku kira tidak. Aku kira tidak ada pusaka yang ikut dikuburkannya.”

Pangeran Benawa mengangguk-angguk. Orang yang menjaga kuburan itu termasuk orang yang ditakuti dipadukuhannya. Agaknya ia mendapat kesempatan terbanyak untuk menyaksikan peristiwa yang bagi orang kebanyakan termasuk mendebarkan. Bahkan kemudian oleh Ki Demang orang-orang itu telah dimanfaatkan untuk menjaga kuburan itu atas permintaan prajurit-prajurit Pajang yang lain.

Tetapi Pangeran Benawa dan Kiai Gringsing yang telah berada di kuburan itu ternyata tidak ingin membongkarnya. Jika demikian maka hal itu tentu akan sampai ketelinga para prajurit Pajang yang telah minta kepada Ki Demang untuk mengawasi kuburan itu. Bahkan kemudian mareka tentu akan mengambil kesimpulan, bahwa ada beberapa pihak yang menaruh kecurigaan terhadap kebenaran berita bahwa Ki Pringgajaya telah terbunuh.

Karena itu, maka yang dilakukan oleh Pangeran Benawa dan Kiai Gringsing adalah sekedar duduk di regol kuburan itu sebagaimana mereka katakan, seolah-olah mereka sedang nenepi, mohon berkah agar mereka dapat diterima menjadi prajurit di Pajang.

Namun dengan demikian, kecurigaan kedua orang itu atas kebenaran ceritera tentang meninggalnya Ki Pringgajaya menjadi semakin besar. Beberapa ciri orang yang dikuburkan itu memang agak berbeda dengan ciri orang yang bernama Ki Pringgajaya.

Persoalannya kemudian adalah, apakah dengan sengaja Tumenggung Prabadaru membuat berita kematian Ki Pringgajaya dengan maksud tertentu dalam hubungannya dengan gerakan yang besar dan luas di dalam lingkungan pimpinan pemerintahan dan keprajuritan Pajang, atau atas pengaduan Ki Pringgajaya dalam lingkungan yang sempit setelah kegagalannya membunuh orang-orang di padepokan kecil di Jati Anom yang mungkin menurut pengertian Ki Tumenggung Prabadaru sebagai persoalan dendam pribadi, sehingga Tumenggung Prabadaru telah dapat di bujuk untuk membantu melepaskannya dari tuntutan dendam itu.

Tetapi jika demikian, siapakah yang telah dikorbankan dan bahkan benar-benar telah mati dibunuh untuk menyembunyikan nama Ki Pringgajaya itu.

”Peristiwa itu terjadi hampir bersamaan waktunya dengan kegagalan Gembong Sangiran di Jati Anom” berkata Kiai Gringsing didalam hatinya.

Ketika pada suatu kesempatan hal itu disampaikan kepada Pangeran Benawa, maka Pangeran itupun telah merenunginya pula.

”Kita memang harus membuat uraian tentang peristiwa ini secara menyeluruh” desis Pangeran Benawa ketika orang-orang yang menjaga kuburan itu tidak sedang memperhatikan mereka.

Kiai Gringsing mengangguk-angguk. Katanya ”Apakah kita masih akan berada dikuburan ini besok malam ? Rasa-rasanya memang ada sesuatu yang dicemaskan, bahwa kuburan ini akan digali orang.”

Pangeran Benawa mengangguk angguk Jawabnya” Aku kira, besok kita akan kembali”

Menjelang pagi, maka Kiai Gringsing dan Pangeran Benawa sempat bertanya kepada para penjaga itu, apakah mereka pernah melihat tanda landa bahwa ada pihak yang memang ingin membongkar kuburan itu.

”Aku tidak dapat mengatakannya jawab penjaga yang sedang mendapat giliran berjaga-jaga tetapi kami disini pernah melihat bayangan yang mendekati kuburan ini. Dua malam yang lalu, kami mengejar seseorang yang berada di sebelah dinding dari arah belakang. Tetapi kami tidak dapat menangkapnya.”

“Kenapa justru disiang hari kuburan ini tidak dijaga ?” bertanya Pangeran Benawa ”Apakah tidak mungkin mereka akan melakukannya justru disiang hari ?”

”Meskipun disiang hari kuburan ini tidak kami jaga, tetapi kami sepakat untuk setiapkali datang menengoknya” jawab penjaga itu.

Pangeran Benawa dan Kiai Gringsing menjadi semakin tertarik kepada kuburan itu. Sehingga akhirnya, ketika bayangan fajar mulai nampak, keduanya minta diri.

”Mungkin untuk satu dua malam lagi kami masih akan nenepi di sini” berkata Pangeran Benawa.

”Asal kalian tidak mengganggu kami, kami tidak akan berkeberatan” jawab penjaga itu.

Meskipun demikian, ketika Pangeran Benawa dan Kiai Gringsing meninggalkan tempat itu, penjaga itupun berdesis kepada kawannya ”Bagaimanapun juga, kita wajib mencurigainya. Tetapi sepanjang mereka tidak berbuat onar, kita tidak akan berbuat sesuatu agar kita tidak membuang tenaga tanpa arti. Nampaknya mereka adalah orang-orang yang lemah dan dungu, sehingga kuburanpun telah menarik perhatian mereka untuk mendapatkan berkah. Meskipun mereka nenepi dikuburan ini setahun, tetapi dalam pendadaran anak muda itu tidak akan dapat bertahan sehingga iapun tidak akan dapat diterima sebagai prajurit. Jika anak muda itu ternyata dapat diterima, adalah pertanda bahwa saatnya Pajang akan runtuh, karena prajurit-prajuritnya adalah orang-orang yang masih dibayangi oleh berkah dari kuburan ini meskipun kuburan seorang prajurit linuwih.”

Dalam pada itu, setelah mengambil kuda mereka yang tersembunyi maka Kiai Gringsing dan Pangeran Be nawa itupun segera pergi menjauh.

”Kita akan pergi kemana ?” bertanya Kiai Gringsing.

Pangeran Benawa tertawa. Katanya ”Kita akan berputar-putar tanpa tujuan. Berhenti di kedai-kedai untuk makan dan minum. Malam hari kita akan pergi kekuburan itu.”

Kiai Gringsingpun tertawa. Sambil menepuk leher kudanya ia berkata ”Mudah-mudahan kuda-kuda ini tidak kelupaan.”

”Kita harus menemukan tempat untuk menitipkan kuda-kuda ini.” gumam Pangeran Benawa ”nampaknya akan menarik, bahwa kitapun dapat bertemu dengan orang yang dikatakan oleh penjaga kuburan itu. Mungkin kita akan dapat mulai dari orang yang akan mengganggu kuburan itu, apapun maksudnya.”

Kiai Gringsing mengangguk-angguk. Ternyata kerja yang mereka lakukan adalah kerja yang menarik juga, meskipun dengan demikian, ia tidak dapat kembali kepadepokannya dalam waktu dua tiga hari saja.

Dalam pada itu, seperti yang dikatakan oleh Pangeran Benawa. maka keduanya telah berusaha mendapatkan tempat untuk menitipkan kuda mereka. Mereka sengaja mencari orang yang agaknya memerlukan tambahan penghasilan, sehingga dengan memberikan sedikit upah. maka Kiai Gringsing dan Pangeran Benawa tidak mencemaskan lagi bahwa kuda mereka akan kelaparan.

”Kami sedang nenepi di kuburan itu untuk beberapa malam” berkata Pangeran Benawa yang berpakaian seperti orang kebanyakan ”Karena itu, kami titipkan kuda kami kepada Ki Sanak. Bahkan mungkin disiang hari, kamipun ingin menumpang beristirahat dirumah ini."

"Tetapi rumah kami kecil buruk dan kotor” berkata orang itu

”Rumahkupun kecil, buruk dan kotor” jawab Pangeran Benawa.

"Terserahlah kepadamu," berkata pemilik rumah itu ”Jika kalian bersedia tidur di amben dengan selembar tikar yang telah sobek.”

”Sudah menjadi kebiasaan kami. Apalagi kami justru dimalam hari akan berada dikuburan itu” jawab Pangeran Benawa.

Dengan demikian, maka Kiai Gringsing dan Pangeran Benawa tidak lagi merasa terganggu oleh kuda-kuda mereka. Disiang hari mereka tidak mempunyai pekerjaan apapun kecuali berjalan-jalan, tidur diamben dengan tikar yang kumal dan makan dikedai-kedai.

Demikianlah, maka pada malam berikutnya, Kiai Gringsing dan Pangeran Benawa berada dikuburan itu. Seperti malam sebelumnya, mereka duduk saja sambil berbicara panjang lebar, sehingga ketika para penjaga itu menjadi jemu dan lelah mereka telah berkisar menjauh.

Namun lewat tengah malam, telah terjadi satu keributan kecil di kuburan itu. Ketika salah seorang dari penjaga kubur itu memutari dinding kuburan, sekali lagi ia melihat sesosok tubuh yang mengendap-endap. Dengan serta merta, maka orang itupun segera memberikan isyarat kepada kawan-kawannya.

Sejenak kemudian, maka dua orang dari para penjaga telah berloncatan berlari meninggalkan regol, sementara yang seorang lagi tetap berada di regol untuk mengawasi keadaan.

Namun yang seorang itupun kemudian berkata kepada Kiai Gringsing dan Pangeran Benawa ”Kau disini. Jangan berbuat sesuatu yang dapat mencelakai dirimu sendiri. Aku akan berada di kubur itu.”

Pangeran Benawa dan Kiai Gringsing tidak menjawab. Mereka memandangi saja orang itu hilang kedalam gelapnya malam di kuburan.

Baru sejenak kemudian Pangeran Benawa menarik nafas sambil berdesah ”Menarik juga.”

”Siapakah kira-kira orang itu Pangeran ?” bertanya Kiai Gringsing.

”Sst, jangan panggil aku demikian, mungkin suaramu dapat didengar”desis Pangeran Benawa.

Kiai Gringsing tersenyum. Katanya ”Baiklah. Tetapi bagaimana dengan orang itu.”

”Kita akan menunggu. Mungkin para penjaga itu mempunyai dugaan terhadap orang yang datang itu, setelah dua kali mereka mengejarnya.”

Kiai Gringsing mengangguk-angguk. Dan ternyata para penjaga itu tidak terlalu lama melakukan pengejaran. Sejenak kemudian mereka tetah berkumpul kembali di regol dengan nafas terengah-engah. Demikian pula salah seorang dari mereka yang tidak ikut berlari-larian, tetapi sekedar menunggu kuburan itu.

”Aneh,” berkata Pangeran Benawa ”Ternyata benar-benar ada orang yang ingin membongkar kuburan itu. Apakah mereka tidak takut kena kutukannya ? Maksudku, kutukan dari yang dikubur itu ?”

”Mereka sama sekali tidak menghiraukannya” desis salah seorang penjaga kubur itu.

”Tetapi apakah benar-benar kalian tidak dapat menduga, siapakah orang yang akan membongkar kuburan itu, atau setidak-tidaknya menduga maksudnya.” bertanya Kiai Gringsing kemudian.

Orang yang bertubuh paling besar diantara mereka berkata ”Orang-orang itu tentu mengira bahwa ikut serta dikubur bersama mayat yang luka arang keranjang itu, segala macam pakaian dan perhiasannya. Mungkin mereka mengira, bahwa pada mayat itu masih terdapat kamus dengan timang bermata intan atau berlian, karena saat mayat itu dikuburkan, semua pakaiannya sama sekali tidak dilepaskannya. Kecuali kerisnya. Aku memang tidak melihat kerisnya.”

”Dan apakah benar, timang mayat itu bermata berlian atau intan ?” bertanya Pangeran Benawa ”Atau mungkin barang-barang berharga itu sudah diambil lebih dahulu untuk diserahkan kepada keluarganya.”

”Omong kosong,” desis orang yang bertubuh paling kekar ”Tidak ada barang-barang berharga pada mayat itu.”

”Darimana kau tahu ?” tiba-tiba saja Kiai Gringsing bertanya.

Orang itu tergagap. Namun kemudian katanya “Aku tidak melihatnya sama sekali saat orang itu dikuburkan. Tidak ada timang berlapis emas apalagi bermata berlian."

Kiai Gringsing tidak bertanya lagi. Tetapi ketika ia memandang Pangeran Benawa, sama-sama ia melihat Pangeran itupun memandangnya. Ternyata prajurit yang terbunuh itu telah dikubur dengan pakaiannya, dan seolah-olah mereka mendapat kesan bersama, bahwa barang-barang berharga itu tentu sudah diambil oleh para penjaga itu sendiri apabila memang ada.

Seperti sebelumnya, maka Pangeran Benawa dan Kiai Gringsing berada di gerbang kuburan itu sampai menjelang pagi.

Namun pada hari-hari berikutnya, keduanya tidak lagi datang kepintu gerbang. Tetapi keduanya mengawasi kuburan itu dari arah yang lain. Mungkin merekapun pada satu saat dapat melihat orang yang sudah untuk kedua kalinya datang kekuburan itu.

”Malam ini kuburan itu justru menjadi semakin sepi” desis Pangeran Benawa yang duduk sambil memeluk lututnya disebelah gerumbul perdu.

”Para penjaga itu merasa tidak terganggu lagi” sahut Kiai gringsing ”Agaknya mereka telah membagi tugas mereka. Dua orang tidur nyenyak, dua orang lainnya terkantuk-kantuk.”

Namun kedua orang itupun kemudian melihat, salah seorang dari para penjaga itu berjalan perlahan-lahan memutari dinding kuburan. Tetapi malam itu mereka tidak melihat sesuatu, sampai saatnya langit diwarnai oleh cahaya fajar.

Tetapi Kiai Gringsing dan Pangeran Benawa masih belum menjadi jemu. Malam berikutnya mereka masih tetap mengamati kuburan itu. Seperti yang selalu terjadi, setelah senja para penjaga itupun mulai menunggui kuburan itu, sambil membawa sebungkus makanan yang dibelinya dari kedai yang sama.

Kiai Gringsing dan Pangeran Benawa yang duduk di gerumbul perdu sambil memeluk lutut, masih tetap berharap, bahwa pada suatu saat mereka akan melihat sesuatu terjadi di kuburan itu.

Sebenarnyalah, lewat tengah malam, kedua orang itu terkejut oleh derap beberapa ekor kuda mendekati gerbang kuburan itu. Hampir bersamaan mereka mengangkat wajah mereka memandangi gerbang yang samar-samar dalam keremangan malam.

”Siapakah mereka ?” bertanya Pangeran Benawa.

”Menarik sekali Pangeran” sahut Kiai Gringsing.

Kedua orang itupun kemudian dengan hati-hati bergeser mendekati gerbang kuburan itu. Namun merekapun segera berlindung di balik pohon perdu liar yang berserakan disekitar kuburan itu, ketika mereka melihat beberapa ekor kuda berhenti di depan pintu gerbang, sementara empat orang penjagapun telah siap menyongsong mereka.

Tetapi Kiai Gringsing menggamit Pangeran Benawa ketika mereka mendengar salah seorang penjaga kuburan itu bertanya ”Siapakah kalian Ki Sanak ? ”

Orang-orang berkuda itu berloncatan turun Sambil mengikat kudanya pada pepohonan liar, salah seorang dari orang-orang berkuda itu menjawab ”Kami adalah kawan-kawan orang yang membunuh prajurit gila itu”

”O” penjaga itu mengangguk-angguk, lalu iapun bertanya pula ”Apa maksud kalian datang kemari ?”

”Kami ingin mengambil mayat prajurit itu” jawab salah seorang pendatang itu.

”Untuk apa ?” bertanya penjaga itu.

”Kami memerlukan mayat itu. Orang itu telah membunuh beberapa orang kawan kami. Karena itu, maka ia harus bertanggung jawab.”

”Prajurit itu telah mati. Apa yang dapat dilakukannya untuk mempertanggungjawabkan perbuatannya ?” bertanya penjaga itu.

”Bukan urusanku. Aku mendapat tugas untuk mengambilnya. Dan aku bersama kawan-kawanku ini harus melakukannya,” orang itu berhenti sejenak, lalu ”He, siapakah kalian sebenarnya ?”

”Kami penjaga kuburan ini.” jawab salah seorang dari keempat penjaga itu.

”Siapakah yang memerintahkan kepada kalian untuk menjaga kuburan ini ?” bertanya pendatang itu.

”Ki Demang dan atas perintah Senapati Pajang yang memimpin sekelompok prajurit yang lewat daerah ini dan telah dirampok oleh orang-orang yang ternyata adalah kawan-kawanmu itu. He, bukankah kau kawan orang-orang yang terbunuh menurut katamu sendiri, dan yang telah membunuh prajurit-prajurit itu ?”

”Ya. Dan karena itu, jangan halangi kami. Kami memerlukannya. Memerlukan mayat itu. Seandainya mayat itu hilang dari kuburnya, dan kau tidak mengatakan kepada siapapun, maka tidak akan ada orang yang mengetahuinya.”

Orang yang bertubuh paling besar diantara keempat penjaga itupun melangkah maju. Dengan suara bergetar ia berkata "Ki Sanak. Kami sudah menyanggupkan diri menjaga kuburan itu. Karena itu, kami akan melakukannya dengan sepenuh hati.”

"Kenapa kau mempertaruhkan segalanya untuk menjaga kuburan itu ?” bertanya salah seorang dari orang-orang berkuda itu.

”Terus terang. Kami diupah untuk itu. Upah itu cukup menarik. Selama empat puluh malam kami berjaga-jaga disini, maka untuk selanjutnya dalam waktu tiga bulan kami tidak perlu bekerja apapun juga, selain mengurusi sawah kami.” jawab orang bertubuh paling besar itu.

Tetapi ia menjadi tegang ketika orang-orang berkuda itu tertawa. Seorang diantara mereka berkata ”Aku kira kau bukan seorang yang terlalu bodoh untuk menghitung uang, tenaga dan apalagi nyawa kalian. Bagaimana jika aku mengusulkan agar kau mendapat uang yang lebih banyak tetapi tanpa mempertaruhkan tenaga dan nyawa kalian.”

”Gila,” geram penjaga itu ”Apa maksudmu ?”

”Aku dapat memberi kalian uang. Biarkan kami mengambil mayat itu dan mengembalikan kuburan itu seperti semula. Nah, bukankah tidak akan ada orang yang mengetahuinya bahwa kuburan itu telah dibuka asal kalian sendiri tidak mengigau tentang hal itu ? Hanya kalian berempat sajalah yang melihat dan mengetahui hal itu.” berkata orang yang agaknya menjadi pemimpin dari sekelompok orang-orang berkuda itu. Lalu katanya ”Kami tahu, bahwa kalian adalah gegedug dari orang-orang sepadukuhan kalian. Bahkan kalian adalah orang-orang yang ditakuti karena pekerjaan kalian. Kalian mempunyai pengalaman yang luas diarena perkelahian yang kasar dan liar. Tetapi kamipun sudah terlalu sering melakukannya. Bahkan daerah jelajah kami mungkin lebih luas dari daerah jelajahmu. Dan jumlah kamipun lebih banyak dari kalian yang hanya berempat. Coba Dikirkan, apakah tidak lebih baik kita berbicara sebagaimana kita berbicara diantara kita yang hidup disela-sela kelamnya malam. Kami mendapatkan apa yang kami cari, dan kalianpun tidak merasa kami rugikan, karena justru kalian akan mendapat tambahan upah. Sementara orang lain tidak ada yang mengetahuinya bahwa mayat itu telah hilang. Setelah empat puluh malam, maka kalian telah bebas untuk melepaskan tanggung jawab kalian.”

Empat orang penjaga kuburan itu termangu-mangu sejenak. Namun tiba-tiba salah seorang bertanya ”Kenapa kalian harus melakukannya sekarang. Kenapa tidak setelah empatpuluh malam, sehingga kalian tidak perlu kehilangan uang untuk menyogok kami.”

"Kami memerlukan segera. Kami tidak dapat menunggu sampai empat puluh malam.”Jawab orang berkuda itu.

Sejenak keempat orang itu termangu-mangu. Namun orang bertubuh terbesar itupun kemudian berkata ”Apakah kalian benar-benar berniat demikian ? Atau kalian sekedar ingin menipu kami ?"

”Kami akan menyerahkan uang itu lebih dahulu. Kami tidak perlu cemas, bahwa kalian akan menipu kami, karena jika terjadi demikian, maka kami akan membunuh kalian berempat.”

”Gila, jangan menghina kami” geram penjaga itu

Pemimpin dari orang-orang berkuda yang datang kekuburan itupun tersenyum. Kemudian jawabnya ”Bukan maksud kami menghina kalian. Tetapi cobalah pikirkan dengan tenang tanpa prasangka. Kami kali ini ingin berbuat sesuatu yang saling menguntungkan.”

Keempat orang itu agaknya mulai tertarik pada tawaran itu. Sejenak mereka saling berpandangan Namun kemudian yang terbesar diantara mereka berkata ”Baiklah. Jika kalian memberi kami uang, maka kami tidak akan berkeberatan. Tetapi kerjakan pekerjaan yang tidak menarik itu. Kami tidak dapat membantu. Kemudian kalian wajib mengembalikan seperti semula.”

”Baiklah. Dengan demikian kita masing-masing telah mendapatkan sesuatu bagi diri kita.” sahut pemimpin sekelompok orang berkuda itu ”Dalam pada itu, kami tidak akan membawa mayat itu keluar dari kuburan ini.”

Para penjaga itu menjadi heran. Yang bertubuh terbesar diantara mereka bertanya ”Lalu apa maksudmu sebenarnya ?”

”Kami hanya akan memindahkannya.” jawab pemimpin orang-orang berkuda itu.

Para penjaga itu termangu-mangu sejenak. Namun salah seorang dari mereka berkata ”Persetan dengan mayat itu. Berikan uang itu kepada kami.”

Pemimpin orang-orang berkuda itu tertawa. Katanya ”Baiklah. Tetapi berhati-hatilah. Jangan sampai ada orang lain yang mendengarnya. Karena dengan demikian, nasib kalian sendirilah taruhannya. Jika prajurit Pajang itu mengetahui bahwa mayat itu telah hilang dari kuburnya, maka kalian tidak akan dapat mengelakkan hukuman dari mereka. Betapapun tinggi kemampuan kalian, namun kalian akan digilasnya seperti menggilas buah ranti.”

Para penjaga kubur itu berpikir sejenak. Namun seorang diantara mereka telah berkata pula ”Berikan uang itu.”

Pemimpin dari orang-orang berkuda itupun kemudian mengambil sekampil kecil uang dari kantong ikat pinggangnya dan menyerahkannya kepada orang yang bertubuh paling besar diantara para penjaga kuburan itu sambil berkata ”Inilah. Dan kemudian duduklah ditempatmu. Kami akan melakukan pekerjaan kami. Semakin cepat semakin baik.”

Orang itu menerima kampil uang sambil berkata ”Lakukanlah. Kami akan menunggu disini.”

Orang-orang berkuda itupun kemudian memasuki kuburan itu dengan tergesa-gesa, sementara keempat orang penjaganya kemudian duduk kembali di regol, seolah-olah tidak terjadi apa-apa. Namun demikian, kuda-kuda yang terikat itu agaknya menjadi pertanda bahwa ada beberapa orang yang telah memasuki kuburan itu.

Sementara itu, Kiai Gringsing dan Pangeran Benawa yang menyaksikan peristiwa itu ternyata menjadi sangat tertarik kepada sekelompok orang-orang yang akan memindahkan mayat itu dari tempatnya. Yang mereka lakukan itu tentu bukannya tanpa maksud. Karena itulah merekapun kemudian beringsut menjauhi regol dan dengan hati-hati merayap di luar dinding kuburan itu. Mereka ingin melihat dan mengetahui apakah sebenarnya maksud beberapa orang berkuda itu.

Ternyata bahwa Kiai Gringsing dan Pangeran Benawa berhasil mendekati mereka tanpa mereka ketahui. Mereka meloncat dinding itu justru agak jauh dari kuburan yang sedang dibongkar itu. Dengan sangat hati-hati mereka merayap mendekat, sehingga mereka melihat dan mendengar semua yang telah terjadi dan yang mereka percakapkan.

”Pekerjaan yang memuakkan” salah seorang dari mereka bergeremeng.

”Apa boleh buat” sahut yang lain ”Kita tidak dapat berbuat lain dari memindahkan kubur ini.”

”Kenapa harus dipindahkan” yang seorang bertanya.

”Kau memang dungu. Ternyata Untara telah mencurigai, apakah mayat ini benar mayat Ki Pringgajaya. Ia tentu akan mengirimkan orang atau petugas sandinya untuk melihat. Karena itu, maka kuburan ini telah dijaga. Tetapi jika yang datang itu tidak tertahankan dan tidak dapat dicegah, maka itu akan sangat berbahaya. Mungkin Untara datang langsung dengan sepasukan prajurit dan memaksa para penjaga untuk mengijinkan mereka membongkar kubur ini.” jawab kawannya yang agaknya lebih mengetahui persoalannya.

”Tetapi Untara tidak berbuat apa-apa” jawab kawannya.

”Sampai sekarang tidak. Tetapi siapa tahu, bahwa besok atau lusa ia akan melakukannya. Bukankah dengan demikian, rahasia ini akan dapat dibongkar. Meskipun mayat ini tidak lagi dapat dikenal, tetapi ciri-ciri utamanya, tinggi badannya, pakaiannya dan beberapa hal yang lain akan dapat memberikan keterangan yang agak terperinci tentang orang yang disebut Ki Pringgajaya ini.” jawab yang agak mengetahui persoalannya itu sambil bekerja.

Kawannya tidak bertanya lagi. Mereka mulai menutup hidung mereka dengan ikat kepala mereka yang mereka urai. Agaknya yang mereka lakukan itu memang sudah agak terlambat.

Kiai Gringsing dan Pangeran Benawa memperhatikan kerja orang-orang berkuda itu dengan saksama. Namun Pangeran Benawapun kemudian menggamit Kiai Gringsing dan memberikan isyarat untuk meninggalkan tempat itu.

Sejenak kemudian mereka sudah berada diluar kuburan. Sambil menarik nafas dalam-dalam. Pangeran Benawa berkata ”Bagi kita semuanya sudah cukup jelas."

”Ya,” sahut Kiai Gringsing ”Kita sudah mendapat kepastian.”

Ternyata Pringgajaya memang licik. Dengan cerdik ia berusaha melepaskan jejaknya. Mungkin dengan demikian ia tidak lagi akan berurusan dengan Untara dan pimpinan keprajuritan Pajang, tetapi mungkin juga ia telah menghindari orang-orang yang diupahnya untuk melakukan tindakan kekerasan terhadap Sabungsari dan Agung Sedayu. Tetapi agaknya yang pertamalah yang terpenting. Sementara yang kedua itu dapat juga dilakukan untuk mengingkari pembayaran upah. Namun agaknya karena tugas orang Gunung Kendeng itu gagal, maka ia tidak lagi bertanggung jawab untuk membayarnya.” desis Pangeran Benawa.

”Apakah kita akan berusaha menemukan tempatnya bersembunyi ?” bertanya Kiai Gringsing.

”Tentu sangat sulit. Tetapi kita akan dapat mencobanya.” jawab Pangeran Benawa.

Kiai Gringsing mengangguk-angguk. Diluar sadarnya ia berpaling kearah orang-orang yang sedang memindahkan kuburan itu. Dan seolah-olah demikian saja terlontar dari mulutnya ia berkata ”Orang-orang itu adalah orang-orang yang berada dibawah jalur yang sama dengan Ki Pringgajaya.”

Pangeran Benawa mengangguk. Jawabnya ”Ya. Mereka adalah orang-orang yang mempunyai sangkut paut. Tetapi apakah mereka banyak tahu, masih belum dapat kita yakini. Jika kita mengambil salah seorang dari mereka, maka mereka tentu mengetahui bahwa kerja mereka telah kita ketahui sementara kita belum pasti akan mendapat petunjuk dimana Ki Pringgajaya berada."

Kiai Gringsing mengangguk-angguk. Namun sementara itu Pangeran Benawa berkata ”Kita dapat menelusuri perjalanan Tumenggung Prabadaru ke daerah Timur. Tetapi itu akan memakan waktu yang panjang sekali.”

”Ya Pangeran. Sementara itu, aku tidak akan dapat meninggalkan Sabungsari dan Agung Sedayu terlalu lama. Meskipun aku meninggalkan obat cukup untuk beberapa hari, namun rasa-rasanya gelisah juga untuk meninggalkan mereka terlalu lama.” berkata Kiai Gringsing.

Pangeran Benawa mengangguk-angguk. Katanya ”Baiklah. Perjalanan kita kali ini sudah akan berakhir. Tetapi pada suatu saat kita akan menempuh perjalanan berikutnya. Mungkin perjalanan yang lebih panjang dari perjalanan kita kali ini.”

Kiai Gringsing akan menjawab, tetapi suaranya tertahan. Keduanya mendengar gemeremang orang-orang dalam kuburan itu Agaknya mereka telah selesai, dan akan segera meninggalkan kuburan itu.

"Kita melihat, apakah masih ada yang mereka lakukan atas para penjaga di regol itu” berkata Pangeran Benawa.

Kiai Gringsing mengangguk-angguk. Sementara keduanyapun kemudian merayap mendekati regol kuburan.

Sejenak kemudian, maka beberapa orang yang telah selesai dengan kerja mereka itupun melangkah keluar. Para penjaga di regol kuburan itu sama sekali tidak beranjak dari tempat mereka duduk, ketika orang-orang itu melangkah keluar.

”Kami sudah selesai Ki Sanak” berkata pemimpin dari orang-orang berkuda yang datang itu.

”Baiklah” jawab orang yang bertubuh paling kekar diantara para penjaga itu ”Kami tidak akan berbicara tentang apa yang telah kalian kerjakan itu.”

”Terima kasih” sahut pemimpin kelompok orang-orang berkuda itu ”Mudah-mudahan kalian tetap memegang janji itu, karena jika rahasia ini diketahui orang lain, maka kalianlah yang pertama-tama akan mengalami kesulitan.”

”Ya. Kami menyadari. Sementara kami tidak akan dapat menyebut siapakah kalian sebenarnya.” jawab penjaga regol itu ”Selain sejumlah uang yang kalian tinggalkan ini.”

Pemimpin dari orang-orang yang telah memindahkan kuburan itu tertawa. Katanya ”Pergunakan sebaik-baiknya. Agaknya kita dapat saling memanfaatkan keadaan."

Para penjaga kuburan itu tidak menyahut lagi. Mereka memandang saja beberapa orang yang kemudian mendekati kudanya dan sejenak kemudian melepas ikatan kuda-kuda mereka pada gerumbul-gerumbul liar didekat kuburan itu.

Namun tiba-tiba salah seorang dari mereka berdesis ”Apakah mereka benar-benar dapat dipercaya ? ”

”Dapat atau tidak dapat, tetapi kerja kita telah selesai. Jika rahasia ini terbuka, maka merekalah yang benar-benar akan mengalami kesulitan. Bukan kita.” sahut yang lain.

”Tetapi dengan demikian, maka ada pihak tertentu yang mengetahui bahwa kuburan itu telah dipindahkan. Bukankah hal ini akan menimbulkan kecurigaan yang besar pada Untara di Jati Anom atau orang-orang yang berhubungan dengan Senapati muda itu ? Sejak berita kematian ini sampai ke telinga Untara, sudah nampak bahwa ia menjadi curiga karenanya.”

”Lalu apa yang sebaiknya kita lakukan ?” desis salah seorang dari mereka.

Kiai Gringsing dan Pangeran Benawa yang mendekati merekapun menjadi tegang pula. Agaknya telah timbul keragu-raguan diantara mereka yang datang berkuda itu.

”Jika kita menghilangkan jejak sama sekali dengan membungkam mereka, dan menguburkan pula dikuburan itu, apakah hal itu akan menguntungkan ?” tiba-tiba yang lain berdesis.

”Bahwa mereka tiba-tiba hilang itupun tentu akan timbul kecurigaan. Sementara itu, apabila petugas-petugas sandi yang mengemban perintah Untara sempat menggali kubur yang kosong itu, kecurigaan merekapun akan meningkat, sama seperti jika mereka mendengar rahasia kubur yang kita pindahkan itu.” sahut yang lain.

”Baiklah. Kita biarkan saja mereka menikmati uang itu. Tetapi setelah empat puluh hari berlalu,apakah sebaik nya kita membungkam mereka. Sudah pasti, tidak seorangpun yang akan berusaha membongkar kuburan itu sesudah empat puluh hari, karena mereka tidak akan mendapatkan pertanda apa-apa lagi, selain kerangka. Sementara sebelum saatnya tiba, mereka masih akan menjaga kubur itu seperti biasanya.”

Namun dalam pada itu. selagi mereka sedang berbincang, orang yang agaknya pemimpin dari sekelompok orang berkuda itu berdesis ”Aku mendengar sesuatu.”

Kiai Gringsing dan Pangeran Benawa terkejut. Sejenak mereka menegang. Jika pemimpin kelompok itu telah mendengar langkah mereka, maka orang itu tentu bukan orang kebanyakan.

Namun ternyata arah perhatian pemimpin kelompok itu tidak kepada Kiai Gringsing dan Pangeran Benawa. Namun mereka memperhatikan gerumbul diseberang lain. sehingga karena itu maka Pangeran Benawa telah bergeser setapak. Kiai Gringsingpun kemudian menjadi berdebar-debar. Mungkin ada orang lain yang telah mendengarkan pembicaraan itu pula. Tetapi karena justru diseberang lain. sehingga Kiai Gringsing dan Pangeran Benawa tidak mengetahui kehadiran mereka.

Ternyata bahwa dugaan mereka benar. Orang-orang berkuda itu kembali menambatkan kuda-kuda mereka. Kemudian terdengar pemimpin mereka berdesis ”Kepung gerumbul itu. Aku melihat gerak yang mencurigakan.”

Sekejap kemudian, maka tiba-tiba orang-orang itu telah berpencar dan mengepung gerumbul diseberang lain. Sementara itu Pangeran Benawa berbisik ”Perhatian kita sepenuhnya tertuju kepada orang-orang berkuda itu,sehingga kita tidak menghiraukan apapun juga."

Kiai Gringsing mengangguk-angguk. Demikian asyiknya mereka memperhatikan orang-orang berkuda itu, sehingga mereka sama sekali tidak melihat atau mendengar orang lain telah berada disekitar kuburan itu pula. Namun karena jarak mereka memang masih agak jauh, maka desir gerumbul di seberang memang masih belum dapat mereka dengar dari tempat mereka.

Adalah kebetulan bahwa pemimpin sekelompok orang-orang berkuda itu melihat dedaunan pada sebuah gerumbul berguncang. Dalam keremangan malam ia melihat guncangan itu tentu tidak disebabkan oleh angin, karena guncangan itu hanya terdapat di sekelompok gerumbul saja.

Setelah orang-orangnya mengepung gerumbul itu maka pemimpin sekelompok orang-orang berkuda itu berkata lantang ”Jangan bersembunyi lagi. Kami sudah mengetahui kedatanganmu. Jika kau tidak mau keluar dari gerumbul itu, maka kami akan melemparkan senjata-senjata kami kedalam gerumbul tempat kau bersembunyi, sehingga kau akan terbunuh dengan luka arang keranjang sebelum kami mengetahui namamu.”

Sejenak tidak terdengar jawaban. Sehingga orang itu mengulangi ”Peringatan untuk yang terakhir kalinya. Aku tidak akan mengulanginya lagi. Jika aku menghitung sampai sepuluh, maka kami akan melontarkan beberapa jenis senjata ke dalam gerumbul itu.”

Masih belum terdengar jawaban. Namun ketika orang itu benar-benar menghitung, maka sampai pada bilangan kelima, terdengar gerumbul itu berdesir. Sebuah guncangan kecil telah menyeruak dedaunan yang rimbun pada gerumbul itu. Sejenak kemudian dua orang meloncat keluar sambil menggeram ”Kalian memang licik. Tetapi baiklah, aku tidak dapat bersembunyi lagi. Karena itu, kami akan menghadapi kalian dengan terbuka.”

Pemimpin sekelompok orang-orang berkuda itu tertawa. Katanya ”Nasibmu memang buruk Ki Sanak. Sebut, siapakah kalian.”

”Tidak perlu. Kalian tidak perlu mengetahui nama kami. Kami datang tanpa ada hubungannya antara kami dengan nama siapapun juga yang dapat kami sebutkan” jawab orang itu.

”Ternyata kalian adalah orang-orang yang keras hati dan keras kepala. Baiklah. Apakah kehendak kalian bersembunyi dan mengintip kami dari dalam gerumbul itu ?” bertanya pemimpin kelompok orang-orang berkuda itu.

"Kelakuan kalian memang sangat menarik. Sebenarnya kami tidak ingin mengintip kalian, tetapi ketika kami lewat dan melihat beberapa orang serta kudanya didekat kuburan ini, kami telah tertarik kerananya, sehingga kamipun ingin bertanya, apa yang kalian lakukan disini ?” jawab salah seorang dari kedua orang itu.

Kiai Gringsing dan Pangeran Benawa yang tertarik kepada peristiwa itupun telah beringsut mendekat pula. Sekilas mereka saling berpandangan, seolah-olah mereka ingin mengatakan perasaan mereka, bahwa agaknya kedua orang yang berada didalam gerumbul itu belum mengetahui apa yang dilakukan oleh orang-orang berkuda itu.

Pemimpin dari orang-orang berkuda itupun nampak berpikir sejenak. Lalu iapun bertanya ”Ki Sanak. Menurut dugaan kalian, bahwa kami berada di kuburan ini bersama dengan beberapa orang kawan kami”

"Kamilah yang bertanya” desis salah seorang dari kedua orang itu.

Pemimpin sekelompok orang berkuda itu menarik nafas dalam-dalam. Kemudian iapun menjawab ”Sebenarnya kamipun tidak ingin pergi kekuburan ini. Tetapi ketika kami sampai didepan regol. ternyata kami tidak dapat mencegah keinginan kami untuk melihat, sekedar melihat kubur seorang prajurit linuwih.”

Kedua orang yang telah meloncat dari balik gerumbul itu mengangguk-angguk. Tetapi salah seorang dari merekapun berkata ”Yang kalian lakukan memang aneh. Sekedar singgah dimalam hari. Itu tidak masuk di akal kami. Sebaiknya kalian menjelaskan, apakah maksud kalian sebenarnya.”

”Kau sangka apa yang kalian lakukan itupun tidak mencurigakan ? Apakah kami harus percaya bahwa kalian sekedar lewat dan melihat kami berada di dekat kuburan ini ?” sahut pemimpin kelompok itu ”Yang kita lakukan memang tidak sewajarnya. Nah, jika demikian, maka kita memang dapat saling mencurigai dan saling berprasangka. Aku kira, sebaiknya memang demikian. Kalian sudah melihat kehadiran kami disini, dan kamipun telah melihat kehadiran kalian. Memang ada sekilas pikiran di kepala kami, bahwa kita akan saling menghilangkan jejak. Kami tidak mau kalian menjadi saksi kehadiran kami, dan barangkali kalianpun tidak ingin mendengar kesaksian kami atas kehadiran kalian. Karena itu, kalian berdua kami minta untuk ikut saja bersama kami sebagai tangkapan kami. Kami tidak tahu, apa yang akan kalian alami setelah kalian menghadap pemimpin kami."

Kedua orang itu saling berpandangan sejenak. Namun tiba-tiba salah seorang dari mereka tertawa sambil berkata ”Nampaknya persoalan diantara kita akan dapat diselesaikan dengan mudah sekali. Tetapi kalian keliru. Kamilah yang akan menangkap kalian. Kami ingin mendengar tentang kalian. Siapa sebenarnya kalian dan untuk apa kalian berada ditempat ini. Kalian tidak akan mengatakannya selama kalian masih merasa bebas seperti sekarang ini. Tetapi jika tangan dan kaki kalian telah terikat, maka kalian akan mengatakannya apa yang sebenarnya telah atau akan kalian lakukan.”

”Gila” geram pemimpin kelompok orang-orang berkuda itu ”Kau berdua akan menangkap kami ? Betapapun tinggi ilmumu, maka kalian berdualah yang akan kami ikat dan kami seret dibelakang kuda kami sampai ke tempat tinggal kami.”

”Kalian terlalu sombong dan kurang berhati-hati menghadapi keadaan. Tetapi kami masih ingin memperingatkan, sebaiknya kalian menyerah dan mengikut kami. Bukan kami yang harus mengikut kalian.” berkata salah seorang dari kedua orang itu.

”Persetan" geram pemimpin kelompok orang-orang berkuda itu. ”Kita tidak ingin dipermainkan orang-orang gila ini. Tangkap mereka, jika mungkin hidup-hidup agar kita dapat bertanya tentang mereka, meskipun kita harus memerasnya sampai darahnya kering. Tetapi jika terpaksa bunuh saja, mereka tidak akan berbicara tentang kita."

Demikianlah sekelompok orang-orang berkuda yang mengepung kedua orang itupun segera bersiap, sementara yang dua orang itupun segera bersiap, sementara yang dua orang itupun telah bersiap pula menghadapi segala kemungkinan.

Orang-orang berkuda yang mengepung kedua orang itu mulai bergerak. Kepungan itu semakin lama menjadi semakin rapat, sehingga kedua orang itu seakan-akan tidak mempunyai lagi ruang untuk bergerak.

Namun nampaknya kedua orang itu sama sekali tidak gentar menghadapi lawan yang jumlahnya jauh lebih banyak. Hampir empat kali lipat, karena yang mengepung kedua orang itu berjumlah tujuh orang.

Dalam pada itu pemimpin dari orang-orang yang mengepung itu masih berkata ”Kalian masih mempunyai kesempatan beberapa saat. Jika kalian menyerah, maka kami akan memperlakukan kalian dengan baik, sehingga kalian akan dapat berhadapan dengan pemimpin kami.”

”Terima kasih atas kebaikan hati kalian” salah seorang dari kedua orang yang terkepung itu menjawab ”Tetapi aku kira itu tidak perlu, karena kamipun tidak mempertimbangkan untuk berlaku baik terhadap kalian."

”Gila,” geram pemimpin kelompok itu ”Ternyata kalian adalah orang-orang yang paling sombong yang pernah aku jumpai.”

”Mungkin, tetapi sebaiknya kita tidak terlalu banyak bicara. Jika kalian ingin menangkap kami, lakukanlah. Juga sebaliknya,” geram salah seorang dari kedua orang yang terkepung itu.

Beberapa orang yang sedang mengepung kedua orang itu tidak sabar lagi. Mereka tidak menunggu perintah pemimpinnya. Dua orang diantara mereka telah menggerakkan senjata mereka yang telanjang.

Tetapi kedua orang yang terkepung itu ternyata cukup tangkas. Mereka bergeser selangkah. Meskipun mereka tidak mempunyai banyak kesempatan untuk berloncatan, namun mereka berhasil menangkis serangan kedua orang yang mengepung.

Namun dalam pada itu, tiba-tiba saiah seorang dari kedua orang yang terkepung itu telah bersuit nyaring. Setiap orang yang mendengarnya segera mengetahui, bahwa suara itu adalah suatu isyarat bagi kawan-kawannya yang tentu menunggu mereka agak jauh dari tempat itu.

Pangeran Benawa menggamit Kiai Gringsing yang menarik nafas dalam-dalam. Bahkan dengan berbisik Pangeran Benawa berkata ”Aku sudah memperhitungkan, bahwa tentu ada orang lain kecuali dua orang yang nampaknya acuh tidak acuh itu.”

”Ya Pangeran. Memang agak aneh jika hanya dua orang itu sajalah yang akan menghadapinya, kecuali jika yang dua orang itu adalah Pangeran Benawa dan Senapati Ing Ngalaga. Bahkan bukan hanya melawan tujuh atau delapan orang. Meskipun dua puluh orang sekaligus, mereka tidak akan berdaya,” jawab Kiai Gringsing.

”Kiai memang senang bergurau.” desis Pangeran Benawa. Namun kemudian ”Itulah, mereka datang.”

Sebenarnyalah, ternyata telah datang kearena perkelahian itu tiga orang yang sudah menggenggam senjata ditangannya. Dengan garangnya mereka langsung menyerang orang-orang yang mengepung kedua orang kawannya dari luar lingkaran, sehingga dengan demikian maka kepungan itupun telah pecah.

Sejenak kemudian, maka pertempuranpun telah terjadi dengan sengitnya. Ternyata bahwa orang-orang yang datang kemudian itu jumlahnya tidak sebanyak orang-orang berkuda yang datang lebih dahulu. Meskipun demikian nampaknya mereka sama sekali tidak menjadi gentar. Bahkan sejenak kemudian ternyata bahwa mereka yang datang kemudian itu dalam jumlah yang lebih sedikit mampu mengimbangi lawannya yang jumlahnya lebih banyak.

Dalam pada itu, Kiai Gringsing dan Pangeran Benawa yang menyaksikan perkelahian itu menjadi tegang. Keduanya sama sekali tidak dapat menebak, dari pihak mana sajakah kelompok-kelompok yang sedang bertempur itu.

Meskipun demikian, keduanya dapat memperhitungkan, bahwa kelompok yang pertama tentu mempunyai hubungan langsung dengan Ki Pringgajaya, sehingga mereka telah berusaha untuk menghilangkan jejaknya.

Dalam pada itu, pertempuran itu telah mengundang orang-orang yang bertugas menjaga kuburan itu. Semula mereka berusaha untuk tidak memperhatikan mereka dan tidak melibatkan diri sama sekali. Tetapi ketika pertempuran itu berlangsung semakin sengit, maka mereka mulai ragu-ragu.

”Apakah yang akan terjadi kemudian” bertanya salah seorang dari mereka.

”Entahlah, kita akan menunggu,” desis yang lain. Untuk beberapa saat keempat orang itu berusaha untuk dapat menyaksikan pertempuran itu, meskipun sambil berlindung dibalik gerumbul. Namun Kiai Gringsing dan Pangeran Benawa yang telah lebih dahulu mendekati arena dapat melihat keempat orang itu dengan jelas. Tetapi orang-orang itu tidak akan dapat melihat kedua orang yang telah bersembunyi lebih dahulu itu.

Sementara itu pertempuran itupun semakin lama menjadi semakin sengit. Ternyata orang-orang yang datang kemudian, yang jumlahnya lebih sedikit, telah memilih cara yang menguntungkan mereka. Mereka tidak bertempur terpisah. Mereka bertempur dalam satu kelompok, sehingga seakan-akan mereka tetap berada dalam satu kesatuan.

”Gila” geram lawannya yang jumlahnya lebih banyak.

Tetapi ternyata bahwa kelompok yang pertama tidak pernah berhasil untuk mengurangi lawannya agar mereka bertempur terpisah.

Dentang senjata beradu telah menghamburkan bunga api diudara. Dalam keremangan malam, maka pertempuran itu menjadi semakin seru. Ternyata bahwa mereka yang bertempur itu memiliki kemampuan yang cukup tinggi dan tenaga yang cukup besar, ternyata dari benturan-benturan yang terjadi. Sekali-sekali nampak seseorang terdesak dari luar arena. Tetapi lawannya tidak segera dapat memburunya, karena yang lainpun segera terlibat.

Kiai Gringsing dan Pangeran Benawa memperhatikan pertempuran itu dengan saksama. Sekali-sekali terdengar keduanya berdesis, bahkan terasa ketegangan yang semakin mencengkam. Ketika orang-orang yang bertempur itu menjadi semakin garang, maka debar jantung kedua orang itupun rasa-rasanya menjadi semakin cepat.

Namun dalam pada itu, ternyata bahwa kelompok yang datang kemudian, yang jumlahnya lebih sedikit, memiliki kemampuan yang lebih baik dari lawannya. Sekali-sekali nampak mereka berhasil mendesak lawannya yang meskipun jumlahnya lebih banyak.

Namun jumlah yang lebih banyak itu memang ikut juga menentukan. Mereka dapat berpencar lebih luas sehingga mereka dapat menyerang dari arah yang berbeda. Tetapi lawan mereka setiap kali selalu dapat menyesuaikan diri sehingga dari arah manapun juga mereka menyerang, serangan mereka dapat dilawannya.

Dengan demikian maka pertempuran itu semakin lama menjadi semakin dahsyat. Ternyata mereka telah mengerahkan segenap kemampuan yang ada pada mereka.

Semakin lama menjadi semakin nyata, bahwa justru orang yang jumlahnya lebih sedikit itu berhasil mendesak lawannya. Meskipun perlahan-lahan tetapi nampaknya mereka yakin akan dapat memenangkan pertempuran itu.

Ketika salah seorang dari orang-orang yang datang lebih dahulu itu mulai tergores senjata, maka pemimpin dari orang-orang yang datang kemudian itu berkata "Menyerahlah. Kalian harus mengatakan, apa yang telah kalian lakukan disini.”

”Persetan” desis pemimpin kelompok yang datang lebih dahulu ”Yang kau lakukan bukan apa-apa bagi kami. Kalianlah yang harus menyerah."

Tidak ada jawaban lagi. Tetapi pertempuran itu menjadi semakin seru. Orang yang terluka itu justru mengamuk dengan penuh kemarahan.

Sejenak kemudian, ternyata darah telah menitik dari salah seorang kelompok yang datang kemudian. Tetapi luka itupun telah membuat mereka justru semakin garang dan bertempur semakin keras.

Orang yang kedua telah terluka pula dari kedua belah pihak, meskipun tidak mengurangi kegarangan mereka, justru sebaliknya. Namun dengan demikian pertempuran itu benar-benar telah menuntut taruhan yang lebih besar lagi.

Namun dalam pada itu, ketika kelompok yang datang lebih dahulu itu terdesak semakin gawat, maka pemimpin kelompoknya telah berteriak ”He, para penjaga kuburan. Apakah kalian tidak melihat apa yang terjadi ?”

Tidak ada jawaban. Sementara pemimpin kelompok yang datang kemudian itu bertanya lantang ”Siapa yang kau panggil ?”

”Orang-orang ini berusaha untuk mengetahui apa yang telah kita lakukan. Karena itu. untuk kepentingan kita semuanya, orang-orang ini harus dimusnakan.” sambung pemimpin kelompok yang datang lebih dahulu.

Untuk beberapa saat tidak ada jawaban. Tidak seorangpun nampak mendekati arena. Namun dalam pada itu agaknya keempat orang itu sedang berbicara diantara mereka.

”Apa artinya kata-kata orang itu ?” bertanya salah seorang dari mereka.

”Orang-orang itu akan berbahaya juga bagi kita” sahut pemimpinnya ”Jika mereka menang, mungkin mereka benar-benar akan membongkar kuburan itu pula untuk melihat apakah mayat prajurit itu masih ada di dalam kuburnya. Bukankah dengan demikian, kita akan dapat dianggap bersalah.”

”Apakah mereka berhak ?” bertanya yang lain.

”Berhak atau tidak berhak, pedang merekalah yang menentukan. Jika kita harus mempertahankannya, maka kita tentu tidak akan mampu.”

”Lalu apakah sebaiknya yang dapat kita lakukan ?” bertanya yang lain pula.

”Kita akan memanfaatkan mereka yang ada dan yang memiliki kepentingan yang sama” berkata pemimpin penjaga kuburan itu.

”Bagaimana ?” bertanya seseorang.

”Kita melibatkan diri seperti yang mereka maksud” berkata pemimpin sekelompok penjaga kubur itu ”Seperti yang dikatakan oleh orang-orang yang telah mengupah kita itu dengan hanya sekedar berdiam diri.”

”Kita ikut bertempur ?” bertanya seorang penjaga yang bertubuh agak pendek.

”Ya. Orang-orang yang datang terdahulu itu sudah jelas bagi kita. Mereka tidak ingin berbuat buruk. Ternyata bahwa mereka menepati janji. Mereka benar-benar memberikan uang dan hanya memindahkan kubur itu. Sementara kita tidak tahu, apa yang akan dilakukan oleh mereka yang datang kemudian.” sahut pemimpinnya.

”Baiklah,” berkata seorang yang lain ”Aku sependapat. Itu tentu akan lebih baik daripada kita berempat melawan para pendatang yang kemudian, yang nampaknya memiliki banyak kelebihan.”

Kawan-kawannyapun mengangguk-angguk. Agaknya merekapun sependapat. Lebih baik mereka berpihak daripada mereka berempat saja harus menghadapi salah satu kelompok yang mereka anggap terlalu kuat itu.

Dalam pada itu, kelompok yang datang kemudian telah mendesak lawannya semakin berat. Dalam kelompok yang ketat dan tidak terpisahkan, mereka bertempur bagaikan segulung angin pusaran yang berputaran menghalau awan yang bertebaran.

Namun dalam pada itu, maka sejenak kemudian keempat orang yang bersembunyi itupun segera berloncatan dari tempat persembunyian mereka. Dengan garangnya mereka mengacu-acukan senjata mereka dan langsung melibatkan diri kedalam pertempuran

”Bagus” teriak pemimpin sekelompok orang yang datang terdahulu ”Kalian telah mengambil sikap yang tepat. Marilah, kita akan membantai orang-orang gila ini."

”Mereka akan mengganggu ketenangan kita dikemudian hari” desis pemimpin penjaga kuburan itu.

”Benar. Tetapi berhati-hatilah. Mereka memiliki ilmu yang aneh. Mereka dalam kelompok yang tidak terpisahkan. Karena itu, kita akan mengepung mereka dan menghancurkan mereka dalam putaran mereka.”

Keempat orang itu tidak menjawab. Mereka langsung mengambil arah dan menyerang sekelompok orang yang bagaikan telah menyatu itu.

Ternyata keempat orang yang disebut gegedug itupun memiliki kemampuan bertempur yang tinggi. Meskipun mereka bergerak dengan kasar dan keras, namun kehadiran mereka segera terasa pengaruhnya. Mereka berempat menyerang lawannya dari arah yang berbeda dari arah yang diambil oleh orang-orang yang datang terdahulu dan yang telah memindahkan kubur orang yang disebut Pringgajaya itu.

Dengan demikian pertempuran itupun semakin lama menjadi semakin sengit, semakin kasar dan semakin keras. Senjata mereka berputaran dan berdentangan. Bunga api memercik diudara, sementara desah nafas menjadi semakin memburu.

Kiai Gringsing dan Pangeran Benawa yang menyaksikan pertempuran itu menjadi berdebar-debar pula. Namun ketajaman penglihatan mereka, segera menangkap kemungkinan yang bakal terjadi pada pertempuran itu. Karena orang-orang berkuda yang datang terdahulu itu kemudian dibantu oleh para penjaga kubur, maka merekapun mulai merubah keseimbangan. Orang-orang yang jumlahnya jauh lebih banyak itu perlahan-lahan mulai mendesak lawannya.

Dalam pada itu, orang-orang yang datang kemudian itu benar-benar merasa heran bahwa masih ada empat orang lagi yang datang menyerang mereka. Betapa kemarahan membakar dada mereka, namun tidak dapat mengingkari kenyataan, bahwa mereka menjadi semakin terdesak.

”Siapakah kalian he ? Kalian tentu bukan sekelompok dengan orang-orang ini” teriak pemimpin dari mereka yang datang kemudian.

”Apa pedulimu ?” jawab orang yang tubuhnya paling kekar diantara keempat orang itu ”Siapapun kami, tetapi kami berkepentingan untuk menyingkirkan kalian.”

Orang-orang yang datang kemudian itupun bertempur semakin sengit. Mereka mengerahkan tenaga dan kemampuan mereka. Tetapi jumlah lawan mereka yang berlipat itu benar-benar tidak terlawan lagi.

Pemimpin dari orang-orang yang terdesak itu ternyata masih mampu berpikir. Ia tidak ingin membunuh diri bersama dengan orang-orangnya. Karena itu, maka selagi mereka masih memiliki kemampuan dan tenaga, meskipun sebagian dari mereka telah tergores oleh luka, maka adalah lebih baik jika mereka menghindari akibat yang lebih buruk lagi.

Karena itu, maka dalam kekalutan pertempuran didalam gelapnya malam, terdengar isyarat nyaring.

Semua orang yang terlibat dalam pertempuran iiu, bahkan Kiai Gringsing dan Pangeran Benawa mengetahui, bahwa orang-orang yang datang kemudian itu merasa tidak lagi mampu mengatasi tekanan lawannya, sehingga, mereka akan menyingkir dari arena pertempuran.

Namun yang terjadi kemudian ternyata demikian cepatnya. Orang-orang itupun segera berlarian kearah yang tidak menentu, sehingga untuk sesaat telah terjadi kekaburan arah. Baru sejenak kemudian maka orang-orang itupun seolah-olah telah terhisap kedalam gerumbul-gerumbul dan kegelapan.

Lawan mereka berusaha memburu. Untuk beberapa saat lamanya, kekalutan telah terjadi. Namun kemudian orang-orang yang datang kemudian itu bagaikan lenyap terhisap kelamnya malam.

”Gila” geram pemimpin dari orang-orang yang datang terdahulu ”Cari mereka.”

Tetapi dalam pada itu, Kiai Gringsing dan Pangeran Benawa menyaksikan cara orang-orang itu melarikan diri dengan heran. Terdengar Pangeran benawa berbisik "Luar biasa. Demikian terlatihnya orang-orang itu, sehingga mereka mempunyai cara melarikan diri yang cermat. Tentu bukan sekedar karena terdorong oleh perasaan cemas dan ketakutan. Mereka tentu mendapat latihan dan petunjuk, bagaimana mereka meninggalkan arena pertempuran yang gawat.”

”Ya Pangeran. Demikian cermat dan cepat, meskipun mereka harus menghambur lebih dahulu dalam kekalutan.” sahut Kiai Gringsing.

Pangeran Benawa mengangguk-angguk. Katanya "Meskipun demikian masih sulit bagiku untuk mengerti, pihak mana sajakah yang telah terlibat didalam pertempuran itu. Apakah mereka yang memindahkan kuburan itu prajurit prajurit Pajang yang berada dibawah pengaruh seseorang pada pihak Ki Pringgajaya atau sekelompok orang-orang upahan atau sepasukan lasykar yang dibentuk khusus diluar kesatuan keprajuritan, atau siapa. Apalagi mereka yang datang kemudian, yang memiliki kemampuan tempur dalam kelompok yang sangat rapi dan cermat. Lawan mereka sama sekali tidak berhasil memecah mereka untuk bertempur terpisah. Bahkan pada saat mereka mengundurkan diri, nampak betapa rapi dan cermat, sehingga lawan mereka yang seolah-olah telah mengepung mereka itu tidak mampu menahan mereka sama sekali dan apalagi mengejar mereka.”

Kiai Gringsing mengangguk-angguk. Keduanya masih melihat usaha yang sia-sia dari beberapa orang yang mencari lawan mereka di gerumbul-gerumbul liar. Namun karena daerah disekitar kuburan itu memang liar, mereka sama sekali tidak berhasil menemukan seorang-pun dari sekelompok orang orang yang mereka cari.

”Gila” pemimpin dari sekelompok orang-orang berkuda itu mengumpat-umpat ”Kita tidak dapat menangkap seorangpun dari mereka.”

”Mereka lari seperti menyusup kedalam bumi. Demikian cepatnya hilang” sahut seseorang.

”Apakah mereka manusia sebenarnya seperti kita” tiba-tiba saja yang lain bergumam.

"Pertanyaan gila” geram pemimpinnya ”Kita sudah melukai beberapa orang dari mereka, seperti diantara kita ada juga yang telah terluka. Tentu mereka manusia yang terdiri dari tubuh wadag seperti kita.”

”Tetapi mereka tiba-tiba saja seolah-olah menghilang.” sahut orang yang meragukan lawannya itu.

”Itu adalah karena kebodohan kita” pemimpinnya yang marah berteriak.

Orangnya tidak ada yang menjawab lagi. Mereka menyadari, betapa kemarahan dan kegelisahan telah mencengkam jantung pemimpin mereka. Agaknya apa yang mereka lakukan telah dapat dilihat oleh pihak lain yang tidak diketahuinya.

”Tetapi agaknya mereka belum tahu, apa yang sudah kami lakukan” berkata pemimpin orang-orang berkuda itu kepada para penjaga kuburan.

”Ya, merekapun masih bertanya-tanya, apa yang kalian lakukan disini" jawab penjaga kubur itu.

”Karena itu, mungkin sekali mereka akan kembali. Kalian akan menghadapi mereka dalam keadaan yang tidak seimbang” berkata pemimpin kelompok orang-orang berkuda itu.

”Ya. Mungkin mereka akan menangkap kami dan memaksa kami untuk berbicara. Seandainya tidak, apakah yang dapat kami lakukan seandainya merekapun mempunyai keinginan membongkar kuburan itu seperti yang sudah kalian lakukan.”

”Gila” pemimpin orang-orang berkuda itu mengumpat. Tetapi untuk sesaat iapun tetap merenungi apa yang telah terjadi.

Dalam pada itu, kegelisahan telah mencengkam orang-orang yang kehilangan lawan mereka itu. Baik orang-orang berkuda yang datang membongkar dan memindah kuburan itu, maupun para penjaga kubur. Orang-orang yang tidak mereka kenal itu setiap saat dapat datang kembali dengan maksud yang belum mereka ketahui.

Namun akhirnya pemimpin dari orang-orang berkuda itu berkata ”Siapa yang memerintahkan kalian menjaga kubur itu ?”

”Ki Demang”jawab penjaga kubur itu.

”Atas permintaan kawan-kawan prajurit yang gugur itu ?” bertanya pemimpin orang-orang berkuda itu pula.

”Ya.” jawab para penjaga kubur.

”Nah, jika demikian” berkata pemimpin orang-orang berkuda itu ”Kalian harus menghadap Ki Demang. Katakan bahwa ada orang-orang yang berniat membongkar kubur itu. Tetapi kalian dapat menghalau mereka. Kalian kemudian dapat memberikan beberapa kemungkinan setelah kalian berhasil mengusir orang-orang itu. Bagaimana jika mereka pada suatu saat kembali dengan kekuatan yang tidak dapat kalian lawan.

Pemimpin dari para penjaga kubur itu termenung sejenak. Namun kemudian iapun berkata ”Bagus. Aku akan berkata seperti itu. Aku akan minta agar para peronda dapat membantu aku jika aku berada dalam kesulitan. Aku akan mohon agar Ki Demang memerintahkan kepada para pengawal untuk bersiap dan mengerti isyarat kami.”

”Lakukanlah. Dengan demikian kalian tidak akan menjadi korban dari ketamakan orang-orang itu. Mereka tentu datang dengan maksud tertentu. Bukan seperti yang kami lakukan. Kami justru telah berani membayar untuk maksud itu. Sedangkan orang-orang yang datang itu tentu mendapat upah untuk pekerjaan yang mereka lakukan.” berkata pemimpin kelompok orang-orang berkuda itu. Kemudian ”Sekarang, kami minta diri. Berhati-hatilah. Kalian bukan saja menjaga keselamatan mayat yang kami pindahkan itu. Tetapi kalian juga menjaga keselamatan kalian sendiri. Jika rahasia itu diketahui oleh orang lain, maka kalianpun akan mengalami kesulitan."

Para penjaga kubur itu mengangguk-angguk. Merekapun menyadari kesulitan yang baru mereka alami jika rahasia itu diketahui oleh orang lain.

Sejenak kemudian, maka orang-orang berkuda itupun meninggalkan kuburan itu. Sejenak terdengar derap kaki kuda yang berlari kencang. Namun sejenak kemudian kuburan itu menjadi sepi. Seperti sepinya kebanyakan kuburan dimalamhari.

Namun kemudian terdengar salah seorang penjaga kubur itu berdesah ”Prajurit itu agaknya memang orang aneh. Sampai mayatnyapun telah menimbulkan persoalan. Hampir saja mayatnya telah menelan korban.”

”Mungkin ini bukan satu-satunya peristiwa aneh yang terjadi. Kami telah mendapat tambahan uang malam ini. Tetapi besok mungkin kami harus bertempur. Bahkan mungkin akan jatuh korban diantara kita.” berkata yang lain.

”Kita akan melaporkannya kepada Ki Demang meskipun tidak seluruh peristiwa. Tetapi kita akan mohon dengan sesungguhnya agar Ki Demang memberitahukan para peronda siap disetiap malam sampai genap empat puluh hari empat puluh malam sejak kematian prajurit itu."

”Itu adalah jalan yang paling baik” sahut yang lain.

”Malam ini kita harus berhati-hati. Mungkin orang-orang yang terusir itu akan kembali. Dan kita tentu tidak akan dapat berbuat apa-apa. Karena itu, kita tidak akan menjaga kubur itu di regol kuburan. Tetapi kita akan mengawasinya dari kejauhan. Dengan demikian kita tidak akan terjebak, meskipun ada satu kemungkinan, bahwa mereka benar-benar akan membongkar kubur. Namun kita dapat berusaha untuk menghubungi para peronda meskipun mereka belum mendapat perintah dari Ki Demang," berkata pemimpin mereka.

Para penjaga itu sependapat. Karena itu, mereka tidak lagi kembali ke gerbang kuburan. Tetapi mereka mencari tempat lain untuk mengawasi gerbang, meskipun mereka harus berada di sela-sela gerumbul perdu. Berapa sisa malam itu menjadi semakin dingin dan nyamuk yang rasa-rasanya selalu berdesing ditelinga, namun mereka bertahan ditempat mereka.

Kiai Gringsing dan Pangeran Benawa menyaksikan semua peristiwa yang terjadi itu. Merekapun menyaksikan bagaimana orang-orang itu mengawasi gerbang kuburan dari sela-sela gerumbul perdu.

”Mereka benar-benar terpengaruh oleh peristiwa yang baru saja terjadi” berkata Pangeran Benawa.

”Mereka memang sangat berhati-hati” desis Kiai Gringsing.

Sejenak mereka berdua mengawasi orang-orang itu dari kejauhan. Namun kemudian Pangeran Benawa berkata ”Kita sudah melihat apa yang terjadi. Tetapi sekelompok orang-orang yang melarikan diri itu benar-benar sangat menarik perhatian. Mereka nampaknya benar-benar sekelompok orang yang terlatih dalam perang berkelompok.”

”Ya Pangeran. Tetapi justru karena itu. pertanyaan tentang diri mereka menjadi semakin sulit untuk dijawab.” sahut Kiai Gringsing.

Pangeran Benawapun mengangguk-angguk, kemudian sambil bergeser surut ia berkata ”Apakah kita akan bermalam disini ?”

Kiai Gringsing tersenyum. Katanya ”Kita akan kembali. Tetapi apa yang kita lakukan tidaklah sia-sia. Yang dikubur itu pasti bukan orang yang bernama Ki Pringgajaya. Itu sudah merupakan hasil yang baik bagi perjalanan kita, meskipun barangkali untuk menemukan orang yang bernama Pringgajaya itu sangat sulit.”

”Bagaimana dengan Gunung Kendeng ?” tiba-tiba saja Pangeran Benawa berdesis.

”Maksud Pangeran, apakah Ki Pringgajaya bersembunyi di Gunung Kendeng ?”

”Hanya salahsatu kemungkinan. Tetapi hubungan mereka, antara Ki Pringgajaya dan orang-orang Gunung Kendeng adalah hubungan jual beli, sehingga kemungkinan itupun agaknya sangat kecil, meskipun mungkin pula terjadi.”

”Pangeran benar. Tetapi kita belum melihat kemungkinan lain” sahut Kiai Gringsing.

Pangeran Benawa mengangguk-angguk. Gunung Kendeng hanyalah satu dari banyak tempat yang dapat dipergunakan oleh Ki Pringgajaya. Namun agaknya Gunung Kendeng adalah tempat yang cukup tersembunyi, karena Ki Pringgajayapun tentu menyadari, bahwa petugas sandi Pajang dapat berkeliaran dimanapun juga.

Tetapi tiba-tiba saja Kiai Gringsing berdesis ”Tetapi Pangeran, mungkin justru salah seorang dari mereka ya ng telah membongkar dan memindahkan kuburan itulah Ki Pringgajaya.”

Pangeran Benawa mengerutkan keningnya. Sambil mengangguk-angguk kecil ia berkata ”Ya. Itu memang mungkin sekali. Tetapi kita terlambat menyadari kemungkinan itu, sehingga kita tidak berbuat sesuatu. Dalam keremangan malam dan pada jarak yang tidak terlalu dekat, memang sulit untuk dapat mengenal seseorang dengan pasti.” Pangeran Benawa berhenti sejenak, lalu ”Tetapi sebenarnya kita mempunyai tempat untuk bertanya tentang Ki Pringgajaya.”

”Di mana ?” bertanya Kiai Gringsing.

”Pada Ki Tumenggung Prabadaru.” desis Pangeran Benawa.

Kiai Gringsingpun kemudian mengangguk-angguk pula. Katanya ”Tetapi tentu sulit untuk bertanya secara langsung kepada Ki Tumenggung. Ia tentu sudah menyusun seribu macam alasan dan jawaban yang sulit untuk ditembus.”

”Tentu ada cara lain” berkata Kiai Gringsing.

”Ya. Dengan cara lain. Setelah Ki Tumenggung kembali dari perjalanannya, maka satu kali Ki Pringgajaya tentu akan datang kepadanya, apapun yang akan dibicarakannya.” berkata Pangeran Benawa.

Kiai Gringsing mengerutkan keningnya. Namun iapun kemudian berdesis ”Satu pengamatan yang memerlukan waktu yang panjang”

”Ya. Dan sudah barang tentu, biarlah orang lain yang melakukannya. Tetapi kita memerlukan laporan setiap saat karena kita berkepentingan,” berkata Pangeran Benawa.

Keduanya nampaknya mempunyai persamaan pendapat. Dengan demikian maka diperjalanan kembali ketempat mereka menitipkan kuda, mereka dapat banyak berbicara tentang rencana mereka mengawasi rumah Ki Prabadaru.

”Aku tidak berkeberatan jika Kiai Gringsing memberitahukan hal ini kepada Untara, tetapi sudah barang tentu, Kiai Gringsing tidak perlu menyebut namaku. Ia agaknya akan bersedia menempatkan pengamatan pada rumah Ki Tumenggung Prabadaru dengan petugas-petugas sandi khusus yang telah dibentuknya, yang hanya diketahui oleh sebagian kecil dari bawahannya.” berkata Pangeran Benawa kemudian.

Dengan demikian, maka rencana perjalanan mereka terasa sudah cukup berhasil. Meskipun mereka tidak dapat menemukan Ki Pringgajaya, tetapi mereka sudah pasti, bahwa Ki Pringgajaya tidak gugur seperti yang dilaporkan oleh Ki Tumenggung Prabadaru. Sehingga dengan demikian maka merekapun dapat mengambil kesimpulan bahwa Ki Tumenggung Prabadarupun tentu terlibat dalam usaha menghilangkan jejak Ki Pringgajaya.

Kesimpulan lain yang dapat diambil dari peristiwa itu adalah, bahwa jaringan yang luas dan teratur sebaik-baiknya telah menjalar di dalam lingkungan keprajuritan Pajang. Bahkan mungkin disegenap lapisan pemerintahan.

Meskipun tidak dikatakan, namun Kiai Gringsing seolah-olah dapat merasa apa yang dirasakan oleh Pangeran Benawa, yang sebenarnya adalah pewaris yang paling berhak atas Pajang. Betapapun juga, nampak pada sorot mata Pangeran yang masih muda itu, keburaman masa depan Pajang yang pada saatnya bangkit sebagai satu pusat pemerintahan yang dapat mempersatukan sebagian besar daerah Demak yang seolah-olah telah disayat oleh perpecahan di antara keluarga, meskipun dengan sangat disesalkan telah jatuh beberapa orang korban.

Namun Mas Karebet yang juga disebut Jaka Tingkir itu, telah berhasil menyusun pusat pemerintahan yang berwibawa.

Tetapi hanya pada satu tataran keturunan, Pajang telah susut kembali secepat saat ia bangkit.

Kadang-kadang Pangeran Benawa itu melihat kesalahan pada dirinya. Tetapi ia tidak berhasil mengusir kekecewaan yang mencengkam jantungnya. Jarak yang membatasi dirinya dengan ayahandanya terasa sangat sulit untuk dipersempit.

Dengan demikian, maka apa yang dilakukan oleh Pangeran Benawa, seolah-olah sama sekali tidak terencana. Ia melakukan apa yang ingin dilakukan. Ia bekerja bersama orang-orang yang disukainya tanpa arah dan tujuan yang tertentu. Sehingga dengan demikian, ia muncul pada kesempatan yang dikehendakinya dalam peristiwa-peristiwa yang menarik perhatiannya saja.

Salah satu peristiwa yang menarik baginya adalah kematian Ki Pringgajaya setelah ia mendengar peristiwa yang terjadi di Jati Anom atas Agung Sedayu dan seorang prajurit bernama Sabungsari.

Dalam pada itu, maka Kiai Gringsing dan Pangeran Benawapun kemudian telah berada di rumah tempat ia menitipkan kudanya. Seperti yang dikatakan oleh pemilik rumah itu, maka tempat yang tersedia bagi mereka adalah sebuah amben yang besar dengan tikar yang sudah kumal. Namun ternyata keduanya adalah orang yang terbiasa hidup di segala tempat dan keadaan. Sudah terbiasa tidur diantara batang-batang ilalang atau diatas hangatnya jerami kering di atas kandang.

Namun demikian, di hari berikutnya Kiai Gringsing dan Pangeran Benawa ternyata masih belum meninggalkan rumah itu. Mereka ingin menempuh perjalanan setelah senja. Di perjalanan mereka tidak akan banyak menjumpai kemungkinan, bahwa seseorang akan mengenal mereka.

Hampir sehari penuh kedua orang itu tidak beranjak dari rumah tempat mereka menumpang. Baru menjelang senja mereka berkemas dan menyiapkan kuda mereka.

”Aku tidak dapat memberi uang lebih banyak dari beberapa keping ini” berkata Pangeran Benawa.

Tetapi yang beberapa keping itu telah membuat pemilik rumah itu sangat gembira.

”Terima kasih Ki Sanak. Terima kasih” berkata orang itu.

Sementara itu, maka Kiai Gringsing dan Pangeran Benawapun meninggalkan rumah itu tanpa menyadari, bahwa dua orang telah datang kepada pemilik rumah itu dan bertanya dengan garang ”Siapakah mereka ?”

Pemilik rumah itu terkejut. Demikian tiba-tiba orang itu datang sepeninggal dua orang yang menitipkan kudanya dan mengupahnya untuk menyediakan makan bagi kuda-kuda itu.

Tetapi pemilik rumah itupun segera mengenal kedua orang berwajah garang itu. Bahwa mereka adalah orang-orang yang ditakuti di Kademangannya.

”Siapa” desak salah seorang dari kedua orang itu.

"Aku tidak mengenal mereka” jawab pemilik rumah itu ”Mereka datang untuk menitipkan kuda mereka dan mengupah aku untuk menyabit rumput. Tetapi keperluan mereka adalah nenepi di kubur prajurit linuwih yang telah gugur itu.”

”Ya, justru karena itu, aku bertanya siapa mereka. Aku memang melihat keduanya datang ke kubur” berkata salah seorang dari keduanya "Tetapi kami ingin mengenal mereka lebih banyak.”

”Aku tidak tahu. Dan akupun tidak bertanya kepada mereka. Aku sudah merasa senang bahwa aku mendapat upah dari mereka” jawab pemilik rumah itu.

Kedua orang itu berpandangan sejenak. Namun yang seorang berkata "Agaknya ia benar-benar tidak mengetahuinya. Yang paling baik untuk mendapat keterangan tentang mereka adalah menyusul mereka dan memaksa mereka untuk berbicara tentang diri mereka."

”Selagi mereka masih belum terlalu jauh” sahut yang lain.

Keduanyapun kemudian meninggalkan rumah itu. Ternyata di ujung padukuhan ada beberapa orang lagi yang menunggu. Sehingga jumlah mereka menjadi enam orang.

”Kita susul mereka” desis orang yang bertubuh kekar.”Mereka menuju ke Barat.”

Sejenak kemudian enam ekor kuda telah berderap berlari menyusur bulak panjang. Mereka berharap bahwa mereka masih akan dapat menyusul kedua orang yang meninggalkan padukuhan itu.

”Kitalah yang bodoh” berkata orang bertubuh kekar itu kepada kawannya yang berkuda disampingnya ”Kenapa kita tidak mencurigai mereka ketika mereka berdua berjaga-jaga di regol. Ternyata mereka merupakan cucuk sekelompok orang yang datang kemudian. Untunglah bahwa pada saat itu ada sekelompok lain yang baru saja memindahkan kubur itu. Jika tidak, maka kitalah yang akan mengalami kesulitan.”

”Apakah kedua orang itu mempunyai hubungan dengan kelompok yang datang kemudian ?” bertanya kawannya.

”Aku tidak tahu pasti. Tetapi menurut perhitunganku, agaknya kedua orang itu tentu orang-orang yang dikirim untuk mengawasi keadaan, memperhitungkan kekuatan kita yang menjaga kubur itu dan kemudian memberi tahukan kepada kawan-kawannya yang datang kemudian. Tetapi agaknya mereka salah memilih waktu, sehingga mereka bertemu dengan sekelompok yang justru memberi kita upah tambahan itu.”

Kawannya mengangguk-angguk. Agaknya memang masuk akal. Jika kedua orang itu dapat mereka tangkap, maka mereka akan dapat menyelusuri siapakah yang telah memerintahkan mereka datang.

”Dengan demikian, kita akan dapat mempersiapkan diri sebaik-baiknya untuk sisa-sisa hari menjelang malam ke empat puluh. Setelah itu bebas dari segala tanggung jawab apapun yang terjadi. Kita tidak akan dituntut lagi karena upah yang telah kita terima.” berkata orang bertubuh kekar itu.

Kawannya mengangguk-angguk. Sementara itu kuda mereka berpacu semakin cepat. Mereka tidak perlu terlalu banyak memperhitungkan jalan yang mereka lalui, karena jalan tidak banyak bercabang, dan cabang-cabang kecil yang ada adalah jalur-jalur menuju kepadukuhan sebelah menyebelah.

”Kita akan segera menyusulnya” berkata orang bertubuh kekar itu.

Dalam pada itu, Kiai Gringsing dan Pangeran Benawa memang tidak mengira bahwa sekelompok orang-orang berkuda telah menyusul mereka. Karena itu, maka mereka berkuda tidak terlampau cepat. Mereka masih saja berbincang tentang berbagai hal yang terjadi.

Dengan demikian, maka jarak antara Kiai Gringsing dan Pangeran Benawa serta sekelompok orang-orang berkuda itupun menjadi semakin pendek.

Dalam pada itu, langitpun telah menjadi gelap. Bintang telah berhamburan dilangit yang biru gelap. Seleret awan kelabu nampak disudut langit.

"Mudah-mudahan awan kelabu itu tidak tumbuh semakin banyak” berkata Pangeran Benawa ”Aku tidak ingin menjadi basah kuyup oleh hujan yang mungkin turun.”

”Angin bertiup dari Utara Pangeran. Agaknya awan itu justru akan tersapu keatas lautan. Jika hujan turun, biarlah hujan di atas genangan air laut.” sahut Kiai Gringsing.

Pangeran Benawa menengadahkan wajahnya kelangit. Angin memang bertiup dari Utara. Terasa sentuhan pada wajahnya yang mulai basah oleh keringat.

”Udara terasa sejuk oleh angin Utara” berkata Pangeran Benawa ”Tetapi aku mulai berkeringat.”

”Apakah kita berkuda terlalu cepat ?” bertanya Kiai Gringsing.

”Tidak Kiai” jawab Pangeran Benawa ”Ada sesuatu yang mendesak dari dalam.”

Kiai Gringsing mengerutkan keningnya. Tiba-tiba ia bertanya ”Apakah Pangeran mengetrapkan aji Sapta Pengrungu atau Sapta Pangrasa ?”

Pangeran itu tersenyum. Katanya ”Aku tidak banyak mengetahui tentang ilmu itu, Kiai, meskipun aku mempelajarinya juga.”

”Tetapi Pangeran agaknya mengetahui sesuatu akan terjadi.”

”Bukan karena aji Sapta Pangrungu. Dengarlah Kiai, bukankah ada derap kaki kuda dibelakang kita ? ”

”Ya, aku mendengar Pangeran” jawab Kiai Gringsing ”Tetapi aku tidak mengetahui, apakah yang Pangeran ketahui tentang derap kaki kuda itu.”

”Aku juga tidak mengetahui apapun juga. Tetapi ada semacam dugaan, mungkin firasat atau seperti itu, yang membuat aku menjadi berdebar-debar” jawab Pangeran Benawa.

Tetapi Kiai Gringsing tertawa kecil. Katanya ”Pangeran mumpuni dalam berbagai macam ilmu."

”Itu bukan berarti bahwa tidak ada batas pengenalan kita terhadap keadaan disekitar kita Kiai" jawab Pangeran Benawa.

Kiai Gringsing mengangguk-angguk. Ia mengerti. bahwa Pangeran Benawa yang muda itu memiliki ilmu yang sukar dicari bandingnya. Tetapi Pangeran muda itupun menyadari, betapa keterbatasan seseorang meskipun ia memiliki seribu macam ilmu.

Namun seperti yang didengar oleh Pangeran Benawa, Kiai Gringsingpun mendengar derap kaki kuda itu dengan hati yang berdebar-debar. Sebenarnyalah bahwa ia pun merasa bahwa sesuatu agaknya akan terjadi.

”Kiai” berkata Pangeran Benawa kemudian ”Aku kira lebih baik kita menunggu. Jika mereka memerlukan kita, biarlah kita segera mengetahuinya. Jika mereka tidak memerlukan kita, biarlah mereka berjalan lebih dahulu.”

Kiai Gringsing mengangguk sambil menjawab ”Aku sependapat Pangeran. Kita akan menepi.”

Kedua orang itupun kemudian justru menunggu di tepi jalan. Mungkin orang-orang berkuda itu akan berpacu lewat di depan mereka, tetapi mungkin mereka akan berhenti dan bertanya tentang diri mereka berdua

Semakin lama derap kaki-kaki kuda itu menjadi semakin jelas, sementara kuda-kuda itupun menjadi semakin dekat.

Dalam keremangan malam, Kiai Gringsing dan Pangeran Benawa melihat sekelompok orang-orang berkuda berpacu beriringan. Namun agaknya merekapun segera melihat kedua orang yang justru menunggu iring-iringan itu.

Orang yang berkuda di paling depan telah memberikan isyarat, agar iring-iringan itu memperlambat kuda mereka, sehingga akhirnya merekapun berhenti beberapa langkah di hadapan Kiai Gringsing dan Pangeran Benawa.

”Itulah keduanya” desis salah seorang dari mereka yang berada didalam iring-iringan itu.

Pemimpin kelompok itupun kemudian maju mendekat sambil bertanya ”Ki Sanak, bukankah Ki Sanak berdua telah nenepi dikubur prajurit Pajang yang gugur itu ?”

Kiai Gringsing dan Pangeran Benawa saling berpandangan sejenak. Namun kemudian Pangeran Benawa itupun mengangguk sambil menjawab ”Benar Ki Sanak. Kami adalah orang-orang yang telah nenepi di kuburan yang agaknya telah kalian awasi untuk selama empat puluh malam itu. Bukankah Ki Sanak ada di regol kuburan itu ketika kami sedang nenepi ?”

”Ya, kamilah penjaga kubur itu” jawab pemimpin kelompok itu.

”Apakah kalian mempunyai kepentingan dengan kami atau kalian sekedar akan lewat mendahului kami ?” bertanya Pangeran Benawa.

”Kami sengaja menyusul kalian, Ki Sanak” jawab pemimpin kelompok itu.

Pangeran Benawa mengangguk-angguk. Kemudian iapun bertanya ”Apakah kepentingan Ki Sanak dengan kami ?”

”Ki Sanak” berkata pemimpin kelompok itu ”Sebaiknya kalian menjawab dengan jujur. Siapakah sebenarnya kalian ? Dan apakah hubungan kalian dengan orang-orang yang telah datang ke kubur itu, dan mencoba untuk mengganggu kami selama kami menjalankan tugas kami.”

”Bukankah kami tidak berbuat sesuatu ?” bertanya Pangeran Benawa.

"Jangan memperbodoh kami” jawab pemimpin kelompok itu ”Kehadiran kalian telah menumbuhkan keadaan yang gawat. Kalian datang untuk mengamati keadaan, sementara sekelompok orang lain telah datang pula setelah mereka mendengar keterangan dari kalian."

Kiai Gringsing menarik nafas dalam-dalam. Seperti Pangeran Benawa iapun mengerti, bahwa orang-orang itu telah menuduh mereka mengamati keadaan menjelang kedatangan orang-orang yang telah bertempur melawan sekelompok orang berkuda yang datang lebih dahulu, yang kemudian dibantu oleh para penjaga kuburan itu.

”Jawablah” berkata pemimpin kelompok itu ”Jika kalian mengaku, maka kalian tidak akan banyak mengalami kesulitan. Tetapi jika kalian mencoba untuk ingkar, maka terpaksa kami akan memaksa kalian untuk berbicara.”

”Ki Sanak” Pangeran Benawa yang menjawab ”Sebenarnyalah bahwa kami tidak mengetahui tentang orang-orang itu. Sudah kami katakan bahwa kami datang untuk nenepi. Aku ingin memasuki pendadaran untuk menjadi seorang prajurit.”

”Jangan berbelit-belit. Kami memang orang-orang bodoh dan dungu. Tetapi bukan berarti bahwa kami sama sekali tidak dapat memperhitungkan keadaan. Pengalaman telah mengajar kami untuk menarik kesimpulan atas satu perbuatan. Dan yang kalian lakukan agaknya tidak terlalu rumit untuk dicari maknanya.”

”Benar Ki Sanak” berkata Pangeran Benawa ”Kami, benar-benar tidak mengetahui persoalan itu.”

”Kenapa kalian tidak nenepi lagi setelah orang-orang itu gagal melakukan maksudnya pada malam itu ?” tiba-tiba pemimpin kelompok itu bertanya.

”Aku harus segera berada di Pajang” jawab Pangeran Benawa cepat ”Aku besok harus ikut dalam pendadaran di alun-alun. Jika kau tidak percaya, datanglah ke alun-alun Pajang. Diantara mereka yang ikut dalam pendadaran itu adalah aku.”

”Sekali lagi aku peringatkan, jangan memperbodoh kami. Betapapun kami masih mempunyai nalar yang utuh. jawab pemimpin sekelompok orang berkuda itu” meskipun kami hanyalah penjaga kubur tetapi kami mempunyai pengalaman petualangan yang cukup. Karena itu, jangan mempersulit diri. Kami sebenarnya tidak ingin terlibat kedalam persoalan yang dapat mengganggu tugas kami selama empat puluh hari empat puluh malam, karena kami telah berjanji dan menerima upah untuk itu. Tetapi yang kami lakukan sekarang, adalah usaha kami untuk mencegah timbulnya persoalan yang dapat mempersulit keadaan kami. Kali ini kami ingin mendapat uang dengan cara yang baik, wajar dan tidak menimbulkan kerugian pada orang lain. Biasanya kami tidak berbuat demikian. Biasanya kami melakukan sesuatu yang dapat dianggap merugikan dan mengganggu orang lain. Aku harap kalian menyadari, dengan siapa kalian berhadapan. Jika kalian masih ingkar, kami akan bertindak sesuai dengan tabiat kami yang kasar. Apalagi kau belum diterima sebagai seorang prajurit.”

Pangeran Benawa memandang Kiai Gringsing sekilas. Namun orang tua itu sama sekali tidak menunjukkan satu sikap tertentu.

Karena itu, maka Pangeran Benawa terpaksa menjawab menurut sikapnya sendiri. Katanya ”Ki Sanak. Apapun yang timbul pada keinginan kami untuk mengatakan sesuatu, tetapi sebenarnyalah kami memang tidak tahu menahu tentang orang lain kecuali diri kami berdua. Kami tidak mempunyai sangkut paut dengan siapapun juga. Kami datang atas dorongan niat kami untuk mendapat restu agar aku dapat diterima menjadi seorang prajurit.”

”Kau membuat kami kehilangan kesabaran” berkata pemimpin kelompok orang-orang berkuda yang menyusul Pangeran Benawa itu, lalu ”Sudah aku peringatkan, bahwa jika kami tidak mampu mengekang diri lagi, maka sifat dan watak kami yang sebenarnya akan segera kalian lihat. Kami akan berbuat kasar, dan bahkan mungkin kami akan bertindak lebih jauh. Bukankah kalian membawa bekal bagi perjalanan kalian ? Setidak-tidaknya kami akan mendapat dua ekor kuda yang tegar.”

”Jika kalian ingin berbuat demikian, kami akan melaporkannya kepada Ki Demang yang telah memerintahkan kalian menunggui kuburan itu.” jawab Pangeran Benawa. Kemudian ”Atau kepada prajurit di Pajang. Kalian tentu akan ditangkap dan dihukum.”

Orang itu mengerutkan keningnya. Namun kemudian ia tertawa ”Kau juga dungu. Jika aku sudah bertindak demikian terhadap orang yang telah mengenal kami sekelompok ini, maka kami tidak akan tanggung-tanggung melakukannya. Kami akan membuat kalian tidak akan dapat melaporkan kepada siapapun juga.”

”Apakah kalian akan membunuh kami ?” bertanya Pangeran Benawa.

Orang itu tertawa. Beberapa orang da)am kelompok itu tertawa pula. Bahkan seseorang berkata ”Kenapa kita tidak berbuat demikian saja ?”

”Aku masih menunggu” jawab pemimpinnya ”Jika ia berbaik hati dan mengatakan siapakah yang telah menyuruh mereka mengintai dan mengamati kami, maka mereka tidak akan kami ganggu. Selama empat puluh hari empat puluh malam, kami adalah orang baik-baik yang bekerja dengan baik. Tetapi jika mereka tidak mau mengatakan siapakah yang telah menyuruh mereka melakukannya, maka nasib mereka akan segera kita tentukan, dan kitapun justru akan mendapat tambahan penghasilan lagi.”

”Jangan begitu Ki Sanak” minta Pangeran Benawa ”Kami benar-benar tidak tahu apa-apa.”

”Ya, kami tidak tahu apa-apa” ulang Kiai Gringsing ”Kami benar-benar bermaksud baik. Seandainya kami bermaksud buruk, kami tentu sudah melarikan diri.

”Itulah kebodohan kalian. Kenapa kalian tidak melarikan diri bersama kawan-kawanmu ? Waktu yang aku berikan sudah cukup. Katakanlah, siapa yang menyuruh kalian. Prajurit Pajang, orang-orang yang membenci prajurit yang gugur itu, atau justru orang-orang yang telah membunuhnya,” Pemimpin kelompok orang-orang berkuda itu mulai membentak.

”Bagaimana kami harus menjawab” Kiai Gring-singlah yang menjawab ”Apa yang kami ketahui tentang pertanyaan kalian ? Cobalah mengerti, bahwa kami benar-benar datang untuk nenepi.”

”Tutup mulutmu. Ingat, jika kami kehabisan kesabaran, kami akan segera kambuh lagi dengan watak kami yang sebenarnya” geram orang itu.

Kiai Gringsing menarik nafas dalam-dalam. Kemudian dengan nada dalam ia bertanya kepada Pangeran Benawa ”Apa yang dapat kita lakukan ? Kita harus mengatakan apa yang tidak kita ketahui.”

Tentu kita tidak akan dapat melakukan apa yang benar-benar tidak uapat kita lakukan” jawab Pangeran Benawa, lalu katanya kepada pemimpin kelompok yang menyusulnya itu ”Ki Sanak. Bagaimanapun juga, aku minta maaf. Aku benar-benar tidak dapat mengatakan sesuatu tentang orang-orang yang kau maksud.”

”Kita sudah lerlalu sabar” geram salah seorang dari orang-orang berkuda itu ”Jangan terlalu berbaik hati kepada orang-orang yang keras kepala. Mereka mengira bahwa kita hanya dapat berbicara dan menggertaknya.”

”Aku sudah cukup memberi waktu kepada mereka” berkata pemimpinnya ”Sekarang, aku sudah kehabisan kesabaran. Tangkap mereka, dan paksa mereka berbicara.”

”Apakah maksudmu" dengan serta merta Pangeran Benawa memotong.

”Cukup jelas” bentak pemimpin kelompok itu ”Kami akan menangkap kalian, mengikat kalian pada batang pohon dipinggir jalan itu, dan kemudian memukul kalian sehingga kalian berbicara. Atau bahkan kami dapat menggoreskan senjata kami pada kulit kalian untuk memaksa kalian berbicara.”

”Itu tidak berperikemanusiaan. Dan bagaimana kami harus berbicara karena kami memang tidak mengetahuinya. Kalian hanya akan menyiksa kami tanpa mendapatkan sesuatu, karena kami memang tidak mengetahui.”

”Cukup” bentak pemimpin kelompok itu ”Kita akan melakukan apa yang kita ingini. Jalan ini adalah jalan yang sepi setelah gelap. Tidak akan ada orang yang akan menolong kalian meskipun kalian akan berteriak sekuat-kuatnya. Seandainya orang-orang dipadukuhan yang jauh itu sempat mendengar, mereka tidak akan berani berbuat sesuatu.”

Pangeran Benawa menarik nafas dalam-dalam. Agaknya orang-orang itu telah tidak lagi dapat diajak berbicara. Karena itu, maka mereka memilih jalan kekerasan. Mereka agaknya benar-benar ingin memaksa Pangeran Benawa dan Kiai Gringsing untuk berbicara.

Karena itu, maka Pangeran Benawa dan Kiai Gringsingpun segera meloncat dari kuda mereka dan menambatkan kuda mereka pada sebatang pohon dipinggir jalan.

”Kalian akan melawan” pemimpin orang-orang berkuda itu hampir berteriak ”Jangan membuat diri kalian semakin sengsara.”

”Aku tidak melawan Ki Sanak” jawab Pangeran Benawa ”Tetapi bukankah sudah wajar, jika kami berdua ingin melindungi diri kami dari segala tindakan kekerasan. Apapun yang terjadi atas diri kami, maka kami wajib untuk berbuat sesuatu. Apalagi aku telah bertekad untuk ikut dalam pendadaran sebagai seorang prajurit.”

”Persetan” geram pemimpin orang-orang berkuda itu ”Kau membuat dirimu semakin sulit.” lalu katanya kepada orang-orangnya ”Tangkap kedua orang itu.”

Pangeran Benawa dan Kiai Gringsingpun kemudian bersiap menghadapi setiap kemungkinan yang bakal terjadi. Bagaimanapun juga, mereka harus memperhitungkan kemungkinan-kemungkinan yang sulit menghadapi keenam orang itu. Mereka adalah orang-orang yang sudah terbiasa melakukan petualangan. Menyamun orang disepanjang jalan sepi dan merampok rumah-rumah yang nampak menyimpan harta kekayaan.

”Ki Sanak” berkata Pangeran Benawa kemudian ”Aku terpaksa membela diri.,Tetapi sebenarnyalah bahwa kami berdua tidak tahu menahu tentang orang-orang yang datang seperti yang kau maksudkan. Yang aku tahu adalah, bahwa aku ingin menjadi seorang prajurit.”

”Tutup mulutmu” geram orang berjambang ”Menyerah, atau kau berdua akan mengalami nasib yang paling buruk dari orang-orang yang pernah berhubungan dengan kami."

Pangeran Benawa menarik nafas dalam-dalam. Katanya ”Apa boleh buat. Aku memang harus berbuat sesuatu buat keselamatan diriku.”

Enam orang yang kemudian menambatkan kuda masing-masing itupun segera mengepung Pangeran Benawa dan Kiai Gringsing. Setapak demi setapak kepungan itu menjadi semakin rapat.

Pangeran Benawa dan Kiai Gringsing berdiri beradu punggung. Sejenak mereka mengawasi orang-orang yang mengepung mereka. Namun kemudian Pangeran Benawa berdesis ”Agaknya lebih senang berdiri diluar kepungan Kiai.”

”Maksud Pangeran ?” bertanya Kiai Gringsing.

”Kita melihat, apa yang mereka lakukan. Kemudian kita berusaha untuk memecahkan kepungan ini. Di luar kepungan kita akan bebas berlari-larian.” sahut Pangeran Benawa.

Kiai Gringsing menarik nafas dalam-dalam. Tetapi ia tidak menjawab lagi.

Sejenak kemudian kepungan itupun menjadi semakin rapat. Kemudian orang berjambang itu menggeram ”Jangan menyesal jika kalian akan mengalami nasib buruk.”

Kiai Gringsing dan Pangeran Benawa tidak menjawab. Namun mereka benar-benar telah bersiap menghadapi setiap kemungkinan yang bakal terjadi atas mereka.

Sejenak kemudian, maka orang berjambang itu bergeser cepat. Terdengar ia berkata lantang ”Sekarang.”

Terdengar pemimpin kelompok itu memberikan isyarat bunyi. Serentak keenam orang itu melangkah maju, menerkam kedua orang yang berada di dalam kepungan itu.

Tetapi yang terjadi, benar-benar telah mengejutkan keenam orang itu. Mereka sama sekali tidak menyangka, bahwa kedua orang dalam kepungan itu, serentak telah berbuat sesuatu di luar pengamatan mereka. Yang mereka ketahui, tangan tangan mereka merasa betapa kedua orang itu telah menangkis dan kemudian demikian cepatnya menyusup diantara mereka.

Mereka kemudian menyadari, bahwa kedua orang yang berada di dalam kepungan itu, ternyata telah berdiri diluar, di arah yang berbeda.

”Gila” geram pemimpin sekelompok orang-orang berkuda itu ”Kalian jangan mencoba menambah kemarahan kami. Sudah aku peringatkan, jika sifat dan watak kami kambuh, nasib kalian akan menjadi semakin buruk.”

”Ki Sanak, kambuh atau tidak kambuh, tetapi kami tidak ingin kalian tangkap.” jawab Pangeran Benawa.

”Persetan” geram orang berjambang ”Kenapa kita masih terlalu sabar menghadapi orang ini.”

”Agaknya terserah kepada kalian. Tetapi tangkap mereka hidup-hidup.” perintah pemimpin mereka.

Keenam orang itupun kemudian berpencar Tiga orang mengepung Pangeran Benawa. yang lain dipimpin oleh orang berjambang itu. mengepung Kiai Gringsing.

Kiai Gringsing menarik nafas dalam-dalam Ternyata bahwa iapun terpaksa membela dirinya menghadapi orang-orang yang telah diperintahkan oleh Demangnya untuk menjaga kubur atas permintaan sekelompok prajurit Pajang yang dipimpin oleh Ki Tumenggung Prabadaru. Tetapi orang-orang upahan ini bukannya pengawal-pengawal Kademangan. Mereka adalah orang-orang yang disegani di Kademangan mereka karena petualangan mereka. Ternyata menghadapi keadaan terakhir, mereka tidak lagi hanya berempat, tetapi mereka menjadi berenam.

Sejenak kemudian, orang-orang itupun telah mulai menyerang. Tiga orang berusaha menangkap Pangeran Benawa, tiga lainnya berusaha menangkap Kiai Gringsing.

Namun ternyata bahwa kedua orang itu benar-benar di luar dugaan. Mereka mengira bahwa mereka akan segera dapat menangkap keduanya dan memaksa keduanya berbicara. Tetapi ternyata perhitungan mereka keliru. Keduanya mampu bergerak cepat, menghindari tangan-tangan mereka yang terjulur.

”Sekarang menjadi semakin jelas” geram pemimpin sekelompok orang-orang berkuda itu ”Kalian bukan orang kebanyakan. Kalian mampu menghindari tangkapan kami meskipun kami memang belum bersungguh-sungguh. Tetapi apa yang kalian lakukan menunjukkan kepada kami, bahwa kalian memiliki kemampuan untuk membela diri. Kalian memiliki ilmu yang dapat kalian banggakan, sehingga kalian berani menentang kehendak kami. Tetapi gambaran di benak kalian itu keliru. Jika kalian mampu meloncat-loncat pada langkah-langkah pertama ini, bukan berarti bahwa kalian akan dapat melepaskan diri dari tangan-tangan kami. Semakin sulit kami menangkap kalian, maka nasib kalian akan menjadi semakin buruk. Namun kalian tidak akan mungkin lepas dari tangan kami.”

Pangeran Benawa dan Kiai Gringsing tidak menjawab. Tetapi merekapun segera mempersiapkan diri. Kemarahan orang-orang itu agaknya menjadi semakin memuncak, sehingga yang akan mereka lakukanpun akan menjadi semakin garang.

Ternyata bahwa dugaan mereka benar. Orang-orang itu nampaknya benar-benar ingin melumpuhkan kedua orang yang menurut perasaan mereka, telah menghina dan membuat mereka marah.

”Asal aku tidak membunuhnya, maka mereka masih akan dapat diperas keterangannya. Tetapi mereka harus menyadari, bahwa mereka telah membuat kami marah” geram seorang yang bertubuh pendek didalam hatinya.

Orang-orang yang marah itupun kemudian bergerak semakin cepat. Mereka mulai mengarahkan segenap kemampuan yang ada pada mereka, agar mereka segera dapat menyelesaikan pekerjaan mereka.

Ternyata bahwa orang-orang yang sudah biasa melakukan petualangan itu memiliki kemampuan yang cukup. Bertiga, mereka memang harus diperhitungkan.

Namun yang tidak segera dapat dimengerti oleh orang-orang itu adalah bahwa lawan mereka ternyata memiliki kemampuan untuk mengimbangi masing-masing tiga orang diantara mereka. Semula mereka mengira, bahwa setiap orang dari kedua orang itu, tidak akan mampu melawan jika mereka harus bertempur seorang melawan seorang. Jika mereka berpapasan tiga orang, maksud mereka agar mereka segera dapat menangkap kedua orang itu hidup-hidup.

Ternyata bahwa kedua orang itu adalah orang yang luar biasa. Dengan cepatnya keduanya selalu berhasil menghindari serangan-serangan ketiga orang lawannya.

Semakin lama, kemarahan orang-orang itu menjadi semakin memuncak. Mereka didalam petualangan, memang tidak terbiasa mengekang diri. Mereka terbiasa membiarkan kemarahan mereka membakar setiap tata gerak mereka, sehingga orang-orang yang menjadi sasaran akan segera mereka lumatkan.

Untuk beberapa saat, mereka masih berusaha untuk mengalahkan lawan mereka tanpa membunuhnya. Tetapi karena yang mereka lakukan nampaknya sia-sia saja, maka merekapun mulai kehilangan pengekangan diri. Seperti yang dikatakan oleh pemimpin mereka, bahwa sikap dan tata gerak merekapun menjadi semakin kasar, dan bahkan semakin liar. Mereka tidak lagi mengekang diri. Lambat laun mereka mulai terlupa, bahwa mereka memerlukan kedua orang itu sebagai bahan yang akan dapat banyak memberikan keterangan kepada mereka.

Dengan demikian, maka pertempuran itupun menjadi semakin lama semakin cepat. Ketiga orang disetiap arena itupun telah mengerahkan segenap kemampuan mereka. Tetapi sama sekali tidak terbayang, bahwa mereka akan segera dapat mengalahkan lawannya.

Pemimpin kelompok itu semakin lama menjadi semakin kehilangan kesabaran. Dua orang yang disangkanya tidak akan dapat bertahan sepenginang itu, ternyata licin seperti belut.

”Pantas ia mempunyai niat untuk memasuki pendadaran untuk menjadi prajurit” berkata pemimpin kelompok itu di dalam hatinya ”Agaknya ia memang mempunyai bekal. Bahkan mungkin sekali ia akan berhasil seandainya malam ini nasibnya tidak terlalu buruk.”

Namun betapapun juga, maka keenam orang itu sama sekali tidak berhasil menangkap lawannya. Karena itu, maka satu dua orang diantara mereka menjadi tidak sabar lagi, sehingga orang bertubuh pendek itulah yang pertama-tama menarik pedangnya sambil berteriak ”Aku ingin mematahkan lenganmu. Kau akan kami paksa berbicara meskipun kau tidak lagi berlengan.”

”Tetapi jangan kau bunuh mereka” geram pemimpinnya.

”Kita memang bermaksud demikian. Tetapi jika mereka tetap berkeras kepala, maka lebih baik membunuh mereka daripada membiarkan mereka lari, karena akibatnya akan sama saja bagi kita. Kita tidak akan mendapat keterangan apa-apa.” sahut orang bertubuh pendek itu.

Ternyata kemudian, bukan saja orang bertubuh pendek itu sajalah yang menarik senjata mereka. Agaknya kemarahan telah memuncak dan mereka tidak lagi dapat bersabar menghadapi Pangeran Benawa dan Kiai Gringsing yang selalu berhasil menghindari serangan-serangan lawannya.

”Kami sudah bersenjata" berkata orang berjambang ”Karena itu jangan keras kepala. Kami masih mempunyai sisa kesabaran jika kalian segera menyerah. Tetapi jika tidak, maka mungkin sekali senjata kami akan menggores tubuh kalian, sehingga kalian akan terluka. Bahkan mungkin lebih dari itu. Ujung senjata kami ternyata terlalu dalam menghunjam kedalam dada kalian sehingga kalian akan terbunuh di bulak ini. Dengan demikian maka anak muda itu tidak akan pernah mendapat kesempatan mengikuti pendadaran untuk menjadi seorang prajurit.”

Pangeran Benawa melangkah surut. Dengan nada dalam ia menyahut “Kalian memang orang-orang aneh. Sudah aku katakan, bahwa kami berdua tidak tahu menahu tentang orang-orang yang datang kekuburan itu. Tetapi kalian memaksa kami untuk menyerah dan berbicara. Seandainya kami mengerti, apa yang harus kami katakan, maka aku kira kalian tidak perlu memaksa kami. Kami akan mengatakan apa yang kami ketahui. Sama sekali tidak perlu dengan segala macam cara seperti yang kalian lakukan, karena sebenarnyalah kami bukan anak-anak yang dapat kalian takut-takuti. Aku sudah cukup dewasa sehingga aku sudah siap untuk turun ke arena pendadaran. Karena itu, maka sebaiknya kalian urungkan saja niat kalian. Sarungkan senjata kalian, dan biarkan kami berdua meninggalkan tempat ini.”

”Persetan“ geram orang berjambang ”Kau licik. Kau berusaha mempengaruhi kami. Tetapi usaha yang licik itu sama sekali tidak berarti. Kami tetap pada sikap kami. Menangkap kalian dan memaksa kalian untuk berbicara. Kecuali jika kalian akan melakukannya dengan suka rela, maka kami akan berlaku baik terhadap kalian."

”Kami tidak mengetahui apa-apa. Seandainya kami akan mati sekalipun, kami tidak akan pernah dapat mengucapkan sepatah katapun seperti yang kalian maksud.” jawab Pangeran Benawa.

Orang-orang itu menjadi semakin marah. Keenam orang itu sudah bersenjata. Mereka sudah siap untuk menyerang. Melukai tubuh kedua orang yang keras kepala itu. Jika perlu, dengan hukum picis, keduanya harus mengatakan siapakah mereka sebenarnya.

Kiai Gringsing menjadi ragu-ragu. Jika ketiga orang itu memiliki ilmu pedang yang baik, maka ia akan mengalami kesulitan. Tetapi sudah barang tentu ia tidak akan dapat mengurai cambuknya dan melawan dengan senjatanya, karena dengan demikian, maka orang-orang itu akan dapat mengenalnya, sebagai orang bercambuk. Orang bercambuk pada umur setua dirinya saat itu, tidak ada dua atau tiga yang berkeliaran didaerah Pajang, kecuali seseorang yang menyebut dirinya Kiai Gringsing.

Karena itu, maka Kiai Gringsing itupun tidak segera dapat mengimbangi senjata-senjata mereka dengan senjata. Yang dilakukannya kemudian adalah berusaha untuk menghindarkan diri dari patukan senjata-senjata lawan.

Meskipun tidak berjanji, tetapi baik Pangeran Benawa, maupun Kiai Gringsing berusaha, agar lawan-lawan mereka tidak menjadi curiga, bahwa keduanya adalah orang-orang yang memiliki ilmu yang jarang ada bandingnya. Jika Kiai Gringsing dan Pangeran Benawa dengan serta merta mengalahkan lawan mereka dengan ilmu mereka yang untuk menilaipun agaknya terlalu sulit bagi lawannya, maka keenam orang itu tentu akan makin bertanya-tanya, siapakah sebenarnya keduanya

Karena itu, bagaimanapun juga, maka mereka berusaha untuk menghindarkan diri dari senjata lawannya dengan cara yang wantah dan bahkan seolah-olah keduanya benar-benar terdesak.

Meskipun demikian, bahwa keenam orang itu tidak segera dapat menguasai awannya, benar-benar membuat mereka menjadi sangat marah.

Kiai Gringsing yang mula-mula merasa ragu akan kemungkinan bahwa lawannya memiliki ilmu pedang yanng baik, ternyata tidak perlu mencemaskannya lagi. Ternyara bahwa kemampuan lawan lawannya memang sangat terbatas, meskipun mereka adalah petualang-petualang yang memiliki pengalaman yang luas.

Dalam pada itu, ternyata Pangeran Benawa dan Kiai Gringsing berhasil memaksa lawannya memeras tenaga mereka, sehingga keenam orang itupun kemudian semakin lama menjadi semakin kehilangan kemampuan untuk bergerak dengan cepat.

Akhirnya, keenam orang itu benar-benar tidak berdaya lagi menghadapi kedua lawannya. Jika mereka masih melangkah satu-satu, ternyata bahwa mereka tidak lagi dapat berbuat apapun juga.

Karena itulah, maka mereka tidak mampu lagi mencegah ketika Pangeran Benawa dan Kiai Gringsingpun kemudian meninggalkan mereka menuju kekuda mereka yang tertambat.

”Jangan lari” teriak pemimpin kelompok orang berkuda itu.

Tetapi ia tidak mampu melangkah secepat Kiai Gringsing dan Pangeran Benawa. Ketika dengan tertatih-tatih orang itu maju satu dua tapak, maka Pangeran Benawa dan Kiai Gringsing sudah berada dipunggung kuda mereka.

”Sudahlah Ki Sanak” berkata Pangeran Benawa ”Lebih baik aku menyingkir. Besok aku harus mengikuti pendadaran. Karena itu, sebaiknya kami berdua tidak terlalu lama melayani kalian. Lebih baik kalian segera kembali ke tugas kalian, menjaga kubur itu. Bukankah kalian sudah menerima upah untuk itu.”

”Licik, pengecut. Marilah, kita akan menentukan siapa yang menang diantara kita” Geram orang berjambang yang berdiri bertelekan senjatanya.

”Jangan berpura-pura tidak melihat kenyataan” jawab Pangeran Benawa ”Sudahlah. Pada suatu saat aku akan kembali setelah aku diterima menjadi prajurit Pajang. Pertempuran kecil ini agaknya justru menjadi latihan terakhir menjelang hari pendadaranku. Terima kasih atas kesediaan kalian menemani aku berlatih.”

”Gila” geram orang bertubuh pendek ”Pada suatu saat kami akan mencincangmu.”

”Terlambat Besok lusa aku sudah prajurit. Jika kau mencincang seorang prajurit, maka kau akan menjadi buruan.” jawab Pangeran Benawa.

”Gila. Cegah mereka” teriak orang bertubuh pendek itu.

Tetapi tidak seorangpun yang dapat lari kekuda mereka dan mengejar kedua orang itu, ketika keduanya meninggalkan mereka. Keduanya sama sekali tidak tergesa-gesa. Tidak mencambuk kudanya agar berlari sekencang angin. Tetapi kuda-kuda itu berlari dengan kecepatan sedang, memasuki gelapnya malam.

Orang-orang yang kelelahan itu saling berpandangan. Betapapun mereka berteriak-teriak, tetapi ada keseganan untuk benar-benar mengejar keduanya, karena mereka memang tidak dapat mengingkari kenyataan.

Meskipun keenam orang itu didalam hati mengagumi lawan mereka yang bukan saja tidak dapat mereka kalahkan, tetapi keduanya sama sekali juga tidak berusaha menyakiti mereka berenam, namun mereka tidak mempunyai tanggapan yang berlebih-lebihan terhadap keduanya.

Bagi mereka, kedua orang itu adalah orang-orang yang memiliki ilmu yang tinggi. Tetapi karena keduanya tidak dengan sengaja memamerkan puncak ilmu mereka, maka. mereka menganggap bahwa anak muda itu benar benar dalam perjalanan untuk memasuki pendadaran. Mereka sama sekali tidak sampai ketingkat dugaan yang lebih tinggi lagi, betapapun mereka menyimpan keheranan di dalam hati. Karena itulah, maka mereka tidak akan pernah sampai kepada dugaan, bahwa salah seorang dari keduanya adalah Pangeran Benawa yang memiliki kemampuan tanpa tanding sehingga sulit untuk membayangkannya.

”Orang-orang aneh” desis pemimpin kelompok itu.

”Mereka ternyata amat sombong” desis orang bertubuh pendek.

"Yang muda itu sedang mempersiapkan diri untuk menjadi seorang prajurit. Karena itulah agaknya mereka menghindari perbuatan yang dapat mengganggu usahanya itu.”

Tiba tiba saja salah seorang dari keenam orang itu berdesis ”Mudah mudahan anak muda itu dapat diterima.”

Kawan-kawannya berpaling kepadanya Yang berjambang bertanya ”Kenapa ?”

”Mereka orang baik. Pada saat kami sudah kehabisan tenaga, mereka meninggalkan kami tanpa menyakiti tubuh kami” jawab orang itu.

”Tetapi sikapnya itu sangat menyakiti hati kami” jawab orang bertubuh pendek.

”Aku sama sekali tidak bersakit hati” jawab orang itu ”Aku sudah lama kehilangan harga diri. Sejak kami berenam melawan keduanya, bukanlah kami tidak menghiraukan lagi harga diri kami.”

Kawan-kawannya tidak menjawab. Mereka tidak dapat mengingkari kenyataan itu. Apalagi merekapun sadar, jika kedua orang itu mau. maka mereka akan dapat dijadikan batang-batang tubuh yang tidak bernyawa lagi.

Akhirnya pemimpin kelompok itu berkata ”Kita kembali ke kuburan. Kita tidak lagi berempat. Kita tetap berenam. Bagaimanapun juga kita tetap mencurigai kedua orang itu.”

”Aku tidak” jawab orang yang menganggap kedua orang itu orang orang yang baik ”Jika benar-benar mereka berniat buruk, aku kira mereka tidak perlu sekedar mengamati, menilai dan kemudian memanggil kawan-kawannya. Keduanya sudah cukup mampu untuk melakukan tanpa orang lain."

Pemimpin kelompok itu tidak menyahut. Ia mengakui kebenaran jawaban itu. Bahwa berdua mereka akan dapat berbuat sesuatu jika dikehendaki.

”Sudahlah" berkata pemimpin kelompok itu ”Kita kembali kepada tugas kita. Jika kita terlalu lama disini, mungkin seseorang telah mempergunakan kesempatan ini.”

Sekelompok penjaga kubur yang gagal menangkap kedua orang yang mereka curigai itupun segera berpacu kembali. Mereka langsung menuju kekuburan dan meneliti keadaannya.

”Tidak ada apa-apa.” desis pemimpin kelompoknya.

Keenam orang itupun kemudian duduk di regol kuburan. Mereka bergantian beristirahat. Tubuh mereka yang letih terasa sangat lemah. Sehingga karena itu. maka tiga orang diantara merekapun segera tertidur nyenyak, sementara tiga orang yang lain berjaga-jaga dengan penuh kewaspadaan. Yang terjadi pada saat-saat terakhir membuat mereka merasa perlu untuk lebih berhati-hati, sehingga mereka telah memanggil dua orang kawan lagi, sehingga mereka menjadi berenam.

Dalam pada itu. Kiai Gringsing dan Pangeran Benawapun telah menjadi semakin jauh. Sekali-sekali mereka masih menoleh Tetapi mereka yakin bahwa tidak akan ada seorangpun yang akan mengejar mereka.

”Mudah-mudahan mereka tidak melihat sesuatu yang dapat menumbuhkan keheranan yang berlebih-lebihan” berkata Pangeran Benawa.

”Tetapi pertanyaan yang timbul pada mereka, timbul pula dihatiku Pangeran,” desis Kiai Gringsing.

”Ya. Akupun bertanya-tanya pula” desis Pangeran Benawa ”Terutama kelompok yang kedua, yang oleh para penjaga itu disangka bahwa kita termasuk diantara mereka.”

”Apakah mungkin mereka prajurit yang mempunyai kecurigaan yang sama seperti kita dan angger Untara” desis Kiai Gringsing.

”Memang mungkin. Tetapi agaknya mereka tidak mendapat keterangan yang meyakinkan. Agaknya mereka tidak tahu, bahwa kelompok yang terdahulu telah memindahkan kubur orang yang disebut Ki Pringgajaya itu.”

Kiai Gringsing mengangguk angguk. Dengan nada rendah ia berkata ”Tetapi mereka tidak akan kembali. Tentu merekapun tidak ingin diketahui bahwa mereka telah mencurigai kematian Ki Pringgajaya. Jika ada petugas lain yang melakukan, tentu dengan cara yang lain pula.”

Pangeran Benawa mengangguk-angguk. Mereka ber-duapun berkuda terus didalam kelamnya malam. Untuk sesaat mereka saling berdiam diri. Namun kemudian Pangeran Benawa itu berkata ”Kiai, bagaimana sebaiknya dengan Untara menilik perkembangan pertimbangan kita yang terakhir. Apakah Untara sebaiknya mengetahui atau tidak ?”

”Pangeran, aku condong untuk melaporkan perjalanan ini kepada angger Untara, tetapi dengan satu permintaan” sahut Kiai Gringsing

”Permintaan apa ?” bertanya Pangeran Benawa.

”Aku akan mohon agar angger Untara berpura-pura mempercayai bahwa Ki Pringgajaya benar sudah terbunuh” jawab Kiai Gringsing.

Pangeran Benawa tersenyum. Sambil mengangguk-angguk ia berkata ”Bagus Kiai. Aku sependapat. Untara harus menunjukkan suatu sikap, bahwa ia percaya. Dengan demikian Ki Pringgajaya yang sebenarnya masih hidup itu akan merasa tidak mendapat perhatian lagi dari Untara, sehingga ia tidak akan terlalu rapat bersembunyi.” Pangeran Benawa berhenti sejenak, lalu ”Tetapi Agung Sedayu dan Sabungsaripun harus mengetahui bahwa Ki Pringggajaya masih hidup. Gembong Sangiranpun masih hidup. Bukankah begitu ?”

Kiai Gringsing menarik nafas dalam-dalam. Sebenarnyalah bahwa orang-orang itu tentu mendendam semakin dalam terhadap Agung Sedayu dan Sabungsari.

Demikianlah keduanya menempuh perjalanan di dalam gelapnya malam. Tetapi mereka memang bertekad untuk langsung memasuki Kota Raja.

Seperti saat-saat berangkat, maka disaat kembali kepadepokan kecil di Jati Anom, Kiai Gringsing-pung hanya seorang diri. Setelah Kiai Gringsing mengenakan kebiasaannya kembali tanpa kumis yang keputih-putihan, maka iapun memasuki padepokannya setelah beberapa hari menempuh perjalanan bersama Pangeran Benawa dalam ujud yang lain, sehingga pada saat memasuki istananya, Pangeran Benawapun harus berganti baju pula dengan bajunya yang ditaruhnya didalam kampil yang tergantung pada kudanya.

Tetapi para pengawal istana Pangeran Benawa tidak terkejut lagi melihat Pangeran itu datang dilewat tengah malam, atau di dini hari, atau lewat senja, atau pada saat yang bagaimanapun juga.

Yang menjadi gembira adalah seisi padepokan kecil di Jati Anom ketika mereka melihat Kiai Gringsing memasuki regol padepokan. Beberapa orang telah menyongsongnya. Bahkan para prajurit yang ditempatkan di padepokan itu oleh Untarapun telah menyambutnya pula. Demikian juga Ki Patrajaya dan Ki Wirayuda, dua orang lurah dari petugas sandi yang khusus ditempatkan dipadepokan itu oleh Untara.

Setelah mencuci kaki dan tangannya, dan setelah menjawab beberapa pertanyaan dan ucapan selamat datang, maka Kiai Gringsingpun langsung pergi mendapatkan Agung Sedayu dan kemudian Sabungsari. Ternyata keduanya sudah berangsur baik. Keduanya sudah tidak lagi berbaring dengan wajah yang putih seperti kapas. Agung Sedayu dan Sabungsari telah dapat duduk dibibir pembaringan. Bahkan mereka telah mencoba untuk berjalan-jalan keluar dari dalam bilik mereka dan duduk bersama para cantrik dan para prajurit. Tetapi mereka masih belum dapat berbuat sesuatu yang mempergunakan kekuatan meskipun kecil, karena dengan demikian, maka luka-luka mereka akan tertanggu.

Beberapa orang, terutama para prajurit telah menghujani Kiai Gringsing dengan berbagai pertanyaan. Tetapi sambil tersenyum Kiai Gringsing menjawab ”Aku akan beristirahat. Nanti setelah aku merasa segar kembali, aku akan berceritera tentang perjalanan yang sangat menarik.”

Beberapa orang nampak kecewa. Tetapi mereka tidak dapat memaksa agar Kiai Gringsing menceriterakan perjalanannya. Karena itu, betapapun keinginan mereka mendengar, terutama yang bersangkutan dengan perkembangan terakhir di Kota Raja dan peristiwa-peristiwa lain yang menyangkut padepokan kecil itu.

Sebenarnyalah bahwa Kiai Gringsing masih ingin berbicara dengan Widura dan kemudian Untara. Baru kemudian beberapa persoalan akan dapat dikemukakan kepada orang-orang yang ingin mengetahui hasil perjalanannya.

Karena itu, maka orang-orang di padepokan kecil itu merasa kecewa karena mereka masih harus menunggu lagi. Setelah beristirahat sejenak, maka Kiai Gringsing dan Ki Widura telah pergi menghadap Ki Untara.

Demikian terbatasnya persoalan yang mereka bicarakan, maka tidak ada orang lain yang mendengar, kecuali Untara sendiri, apa yang telah diketahui dan dialami oleh Kiai Gringsing dan Pangeran Benawa diperjalanan.

”Jadi Kiai melakukan perjalanan ini bersama Pangeran Benawa ?” bertanya Untara.

”Ya ngger. Mungkin satu kebetulan telah terjadi, tetapi mungkin pula karena kami berdua sama-sama ingin mengerti, bagaimanakah persoalan yang sebenarnya tentang Ki Pringgajaya itu.” jawab Kiai Gringsing.

”Dan Kiai yakin bahwa yang dikubur dan disebut Ki Pringgajaya itu sama sekali bukan Ki Pringgajaya ” Untara meyakinkan.

”Aku yakin dan pasti” jawab Kiai Gringsing ”Tetapi seperti yang sudah aku katakan, aku mohon hal ini dapat dibatasi, sehingga Pringgajaya tidak terlalu rapat bersembunyi, karena ia mengira bahwa tidak ada orang lain yang mengetahui bahwa rahasianya telah didengar oleh angger Untara.”

”Apakah sekelompok orang yang membongkar kuburan itu tidak membuat Ki Pringgajaya menyadari bahwa rahasianya telah terbuka ?” bertanya Untara.

”Kami mempunyai dugaan yang kuat, bahwa orang-orang itu adalah orang-orang Ki Pringgajaya sendiri.” jawab Kiai Gringsing.

Untara mengangguk-angguk, sementara Widurapun bertanya ”Apakah Kiai tidak dapat menduga sama sekali, kelompok yang manakah yang datang kemudian, tetapi yang ternyata telah terusir.”

Kiai Gringsing menggeleng. Jawabnya ”Aku sama sekali tidak dapat menduga. Bahkan Pangeran Benawapun tidak. Namun demikian Pangeran Benawa menyinggung satu kemungkinan, menilik cara mereka bertempur yang tertib dan dalam ikatan yang hampir sempurna, bahwa mereka adalah petugas-petugas sandi khusus dari Pajang. Meskipun demikian, Pangeran Benawa tidak berani menyebutnya demikian.”

Ki Widura dan Untara mengangguk-angguk. Namun merekapun dapat membayangkan, apa yang sudah terjadi dan dapat menarik beberapa kesimpulan yang tidak bertentangan dengan pendapat Kiai Gringsing dan Pangeran Benawa.

”Agaknya pendapat Kiai Gringsing dan Pangeran Benawa itu benar. Kita harus berpura-pura bahwa rahasia kematian Ki Pringgajaya masih belum kita ketahui” berkata Untara ”Karena itu, aku akan menyebarkan hal itu sebagai satu keyakinan, bahwa Ki Pringgajaya benar-benar sudah mati dan tidak perlu dipersoalkan lagi."

”Ya anakmas. Tetapi seperti pesan Pangeran Benawa, Agung Sedayu dan Sabungsari sendiri harus mengetahuinya, sehingga mereka akan tetap berhati-hati” berkata Kiai Gringsing.

Untara mengangguk-angguk. Hampir semua yang dikatakan oleh Kiai Gringsing tidak ada yang bertentangan dengan pendapat Untara sendiri. Karena itu, maka Untarapun kemudian berkata ”Kiai, aku dapat mengikuti semua jalan pikiran Kiai dan Pangeran Benawa dalam persoalan ini. Karena itu, masalah Agung Sedayu dan Sabungsari aku serahkan kepada Kiai.”

”Ya ngger. Dengan demikian, maka kepada orang-orang lain, bahkan kepada para prajurit, aku akan mengatakan bahwa aku telah yakin, Ki Pringgajaya telah mati.” Kiai Gringsing berhenti sejenak, lalu ”Tetapi bagaimana dengan kedua petugas sandi yang angger letakkan di Padepokan kami.”

”Tolong Kiai, perintahkan mereka menjumpai aku. Keduanya bagiku adalah orang-orang yang dapat dipercaya. Namun agaknya mereka tidak melakukan penyelidikan secermat Kiai dan Pangeran Benawa. Aku sendiri akan memberitahukan kepada mereka tentang hal ini.”

”Baik ngger. Biarlah mereka menghadap angger, sementara aku akan berceritera tentang perjalananku kepada orang-orang yang ada dipadepokan, termasuk para prajurit.”

Kiai Gringsingpun memberikan pokok-pokok persoalan yang akan diceriterakannya kepada orang-orang dipadepokannya, agar jika pada suatu saat seorang prajurit menghadap Untara dan berbicara tentang perjalanan Kiai Gringsing, maka Untara tidak akan terkejut lagi.

Demikianlah setelah segalanya sesuai, maka Kiai Gringsing dan Widurapun minta diri, kembali ke padepokan kecil yang masih selalu mendapat pengawasan dari beberapa orang prajurit Pajang di Jati Anom.

Dalam pada itu, ketika Kiai Gringsing kembali ke Jati Anom, maka ia tidak dapat mengelak lagi. Seribu pertanyaan beruntun datang seperti datangnya banjir, susul menyusul. Yang satu belum dijawab, maka yang lain telah mengajukan pertanyaan lain. Bahkan Glagah Putih telah mendesak orang-orang lain yang duduk melingkari Kiai Gringsing di pendapa, sehingga orang-orang lain itu terpaksa bergeser setapak.

Pada kesempatan itu Agung Sedayu dan Sabungsari juga hadir di pendapa meskipun mereka hanya duduk-duduk saja sambil tersenyum-senyum. Ada sepercik kekecewaan dihati mereka, bahwa ternyata Ki Pringgajaya benar-benar telah mati, justru dalam peristiwa yang tidak ada hubunganya sama sekali dengan kecurangan-kecurangan yang pernah dilakukannya di Jati Anom. Dengan demikian, maka jalur pengusutan terhadap orang-orang lain yang mungkin terlibatpun telah terputus pula karenanya.

Namun ternyata pada suatu saat yang lain, keduanya telah dipanggil menghadap oleh Kiai Gringsing dan Widura. Sekali lagi Glagah Putih merasa kecewa, bahwa ia masih saja dianggap anak anak yang tidak berhak mendengarkan persoalan-persoalan yang dianggap penting oleh orang-orang dewasa.

”Kapan aku dianggap dewasa oleh ayah dan kakang Agung Sedayu” Glagah Putih menggeram. Tetapi ia tidak dapat memaksa untuk memasuki bilik Agung Sedayu, meskipun ia selalu tidur di dalam bilik itu pula.

Oleh perasaan kesal, maka iapun kemudian memasuki bilik Sabungsari yang kosong dan mencoba untuk tidur dipembaringan anak muda itu.

Tetapi Glagah Putih te kejut, bahwa sebelum ia sempat menyingkirkan perasaan kesalnya, Sabungsari telah memasuki biliknya. Ketika ia melihat Glagah Putih berbaring dipembaringannya,katanya "Silahkan Glagah Putih. Jika kau sempat tidur disitu, tidurlah. Aku masih ingin duduk sejenak di pendapa bersama kawan-kawan.”

Glagah Putih yang kemudian bangkit dan duduk di bibir pembaringan bertanya ”Bukankah kau dipanggil Kiai Gringsing dan ayah dibilik Agung Sedayu ? ”

”Ya. Kiai Gringsing hanya melihat luka-lukaku sebentan. Kemudian aku diperbolehkannya pergi.” jawab Sabungsari.

”Di mana kakang Agung Sedayu sekarang ?” bertanya Glagah Putih.

”Di dalam biliknya. Tetapi mungkin pula ia berada di pendapa” jawab Sabungsari.

Giagah Putih termangu-mangu sejenak. Tetapi sebenarnyalah bahwa Sabungsari hanya berada beberapa saat yang pendek saja di dalam bilik Agung Sedayu.

Glagah Futih itupun kemudian justru dengan tergesa-gesa meninggalkan bilik Sabungsari untuk melihat bilik Agung Sedayu. Ia melihat bilik itupun terbuka, sementara Agung Sedayu tidak ada di dalamnya.

Ketika Glagah Putih pergi ke pendapa ia melihat Agung Sedayu duduk bersandar tiang sambil bercakap-cakap dengan Ki Widura. Tetapi Kiai Gringsing tidak dilihatnya bersama mereka.

Glagah Putih yang kemudian duduk bersama mereka tidak bertanya apapun juga kepada Agung Sedayu. Tetapi di sorot matanya Agung Sedayu melihat pertanyaan itu bergelut dihatinya.

Namun demikian Agung Sedayu tidak dapat mengatakan sesuatu tentang pertemuannya yang pendek dengan Kiai Gringsing dan Sabungsari. Agaknya Kiai Gringsing telah berusaha menghindari kecurigaan seseorang, bahwa mereka telah melakukan pembicaraan rahasia, setelah Kiai Gringsing mengatakan bahwa Ki Pringgajaya benar-benar telah mati.

Karena itulah maka Kiai Gringsing hanya memerlukan waktu yang sangat singkat untuk menjelaskan kepada Agung Sedayu dan Sabungsari, bahwa sebenarnya Ki Pringgajaya masih hidup. Kiai Gringsing dan Pangeran Benawa yakin akan hal itu. Karena itulah maka kedua anak-anak muda itu harus berhati-hati menghadapi kemungkinan-kemungkinan yang masih akan datang. Selain Ki Pringgajaya, maka Gembong Sangiranpun masih hidup juga. Iapun tentu menyimpan dendam dihatinya. Kematian muridnya yang terpercaya dan bahwa ada pula yang telah tertangkap di padepokan itu tentu tidak akan mudah dapat dilupakannya.

Dalam saat yang pendek itu Kiai Gringsing berpesan ” Selama kalian masih sangat lemah, biarlah aku mohon Ki Untara membiarkan beberapa orang prajuritnya ada disini. Ki Untarapun telah mendengar tentang Ki Pringgajaya seperti yang aku katakan kepada kalian. Tetapi Ki Untarapun akan mengatakan kepada setiap orang, kepada prajurit-prajuritnya, bahwa Ki Pringgajaya telah benar-benar dinyatakan mati, sesuai dengan pernyataan resmi dari lingkungan keprajuritan Pajang.

Namun berita yang kemudian tersebar di Jati Anom adalah berita seperti yang dikehendaki oleh Kiai Gringsing dan Pangeran Benawa. Meskipun dalam setiap keterangannya, kecuali kepada Untara, Kiai Gringsing tidak menyebut-nyebut nama Pangeran Benawa.

Seperti yang diperhitungkan, maka berita kepastian kematian itu sampai pula ketelinga para pengikut Ki Pringgajaya. Sebagian besar dari merekapun menganggap bahwa Ki Pringgajaya memang sudah mati. Namun satu dua orang terpenting yang mendapat kepercayaan, mengetahui dengan pasti apa yang telah terjadi.

Ketika dua orang diantara mereka yang terpercaya dari lingkungan Ki Pringgajaya itu mendengar ceritera tentang perjalanan Kiai Gringsing tanpa menyebut nama Pangeran Benawa, maka kedua orang itu tertawa. Yang seorang berkata ”Ternyata orang tua bercambuk yang disebut mumpuni itupun tidak mampu mengungkap peristiwa yang terjadi itu.”

”Iapun manusia terbatas seperti kita. Apakah kau kira orang tua itu memiliki penglihatan yang dapat menembus tirai baja ?“ desis kawannya.

Yang lain mengangguk-angguk. Katanya ”Ki Pringgajaya harus mendapat laporan tentang kepastian pihak prajurit Pajang di Jati Anom, bahwa merekapun mengakui berita itu.”

”Nampaknya mula-mula mereka memang curiga. Ternyata Untara telah mengirim orang yang paling mumpuni di lingkungan padepokan kecil itu.” desis kawannya.

”Tetapi mungkin atas kehendak Kiai Gringsing itu sendiri. Ialah yang mempunyai kecurigaan yang kuat, sehingga ia memerlukan pergi menelusuri jalan yang disebut oleh Ki Tumenggung Prabadaru, di mana Ki Pringgajaya itu terbunuh.”

Keduanyapun tertawa pula berkepanjangan. Yang seorang berkata pula ”Yang kemudian akan tetap terselubung adalah Ki Pringgajaya. Dengan nama lain ia dapat berbuat apa saja tanpa pengawasan, karena tidak ada orang yang menganggapnya masih hidup ”

”Tetapi bagaimana jika seseorang tiba-tiba saja menjumpainya“ bertanya yang seorang.

”Ki Pringgajaya tentu akan mengenakan penyamaran yang rapat. Tetapi bahwa setiap orang telah menganggapnya mati. maka orang tidak akan mudah mengenalinya sebagai Ki Pringgajaya. Mungkin satu dua orang merasa bertemu dengan seseorang yang mirip dengan Ki Pringgajaya. Tetapi itu bukan berarti bahwa Ki Pringgajaya harus melepaskan kewaspadaan.” jawab yang lain.

Dalam pada itu, setiap orang pengikut Ki Pringgajayapun berpendapat demikian. Tetapi mereka sepakat, bahwa Ki Pringgajaya untuk sementara masih harus bersembunyi, sampai saatnya orang lupa kepadanya, dan sama sekali tidak akan dapat mengenalnya lagi. Jika ia memakai samaran sekedarnya saja

Tetapi Ki Tumenggung Prabadaru sendiri bertindak cukup hati-hati.Ia merupakan kecurigaan yang kuat dari Untara. Dan laporanpun telah sampai ketelinganya. beberapa peristiwa yang terjadi di kuburan orang yang disebutnya Ki Pringgajaya itu.

Tetapi keterangan terakhir mengatakan kepadanya, bahwa baik Untara maupun pihak-pihak lain yang menerima berita kematian Ki Pringgajaya dengan curiga, telah menjadi yakin, bahwa kematian Ki Pringgajaya itu adalah satu kenyataan.

Karena itulah, maka ditempat yang terpencil, Ki Tumenggung Prabadaru yang datang dengan diam-diam telah menemui Ki Pringgajaya sendiri.

”Kita berhasil” berkata Ki Tumenggung Prabadaru.

Ki Pringgajaya tersenyum. Kemudian katanya Tugas ke daerah Wetan itu ternyata telah memberikan jalan keluar yang sangat baik bagiku. Tanpa perjalanan itu, aku tentu tidak akan dapat menghindarkan diri dari tangan Untara. Ia adalah seorang Senapati yang tidak dapat diajak berbicara dan mengambil langkah-langkah kebijaksanaan.”

”Justru itu ia adalah seorang Senapati yang bijaksana” sahut Ki Tumenggung Prabadaru ”Tetapi semuanya sudah lewat. Waktu akan menelan kecurigaan itu, sehingga akhirnya akan tidak pernah disinggung lagi."

Ki Pringgajaya mengangguk-angguk. Lalu katanya ”Tetapi masih ada persoalan yang belum selesai.”

Ki Tumenggung mengerutkan keningnya. Katanya ”Kau aneh. Kita baru dalam tingkat permulaan. Di permulaan kerja besar ini kita sudah mengalami seribu kali kegagalan. Tetapi itu bukan apa-apa dibanding dengan nilai yang ingin kita capai. Mungkin kita masih akan mengalami kegagalan-kegagalan lagi. Tetapi disamping kegagalan-kegagalan itu kita melihat kemajuan usaha kita pada lingkungan istana itu sendiri. Keterangan dan desakan yang tidak henti-hentinya, dan barangkali juga karena Sultan yang sakit-sakitan itu sudah tidak dapat berpikir bening lagi, maka nampaknya benturan antara Pajang dan Mataram tidak akan dihindarkan lagi.”

”Tetapi kapan hal itu akan terjadi ?” bertanya Ki Pringgajaya Mataram nampaknya sudah menjadi semakin kuat. Bukankah benturan yang dimaksudkan adalah satu usaha untuk menghancurkan kedua-duanya. Jika Mataram semakin lama menjadi semakin kuat sementara Pajang menjadi semakin ringkih, maka benturan itu tidak akan banyak berarti. Mataram akan dengan mudah mengalahkan Pajang, tanpa banyak memberikan korban dari prajurit-prajuritnya yang terbaik, sehingga setelah perang itu selesai. Mataram masih tetap kokoh dan tidak mudah untuk dikalahkan.”

”Kakang Panji akan mengatur semuanya.” jawab Ki Tumenggung Prabadaru ”Tetapi kita memang wajib membuat perhitungan-perhitungan. Kita wajib menyampaikan pertimbangan-pertimbangan.”

”Tidak mudah untuk bertemu dengan kakang Panji. Lewat kepercayaannya, kadang-kadang pendapat kita kurang mendapat perhatian” desis Ki Pringgajaya.

”Kau terlalu mempersulit diri. Lakukanlah tugasmu. Pada saatnya kau akan bangkit dengan nama dan kedudukan yang lain. Kau harus merambah jalan menuju ke Mataram. Kau harus membersihkan rintangan-rintangan yang mungkin akan terdapat di jalur jalan ke Mataram itu. Pertempuran antara prajurit Pajang dan Mataram harus merupakan pertempuran yang paling garang dan ganas dari segala pertempuran yang pernah kita saksikan, sepanjang kita menjadi prajurit. Korban harus jatuh sebanyak-banyaknya.” berkata Ki Tumenggung Prabadaru.

Ki Pringgajaya mengangguk-angguk. Sementara Ki Tumenggung Prabadaru itu berkata ”Prajurit Pajang harus berbenturan dengan prajurit Mataram langsung. Itulah sebabnya maka kekuatan kekuatan yang ada di Kademangan-kademangan dan padepokan-padepokan harus disingkirkan lebih dahulu.”

Ki Pringgajaya tersenyum kecut. Katanya ”Itulah yang tidak mudah. Melakukannya jauh lebih sulit dari merencanakannya. Gembong Sangiran telah gagal. Ia telah kehilangan banyak pengikutnya. Meskipun dengan demikian kita akan dapat memanfaatkan dendamnya. Namun untuk waktu yang dekat, aku tidak akan dapat menemuinya. Kepada Gembong Sangiran, aku masih belum dapat mempercayainya sepenuhnya ia menjajakan kemampuannya. Dalam jual beli, maka akan berlaku pula kebiasaan menuntut harga setinggi-tingginya. Siapapun yang akan membelinya.”