Api di Bukit Menoreh 118

“AYAH tentu memperbolehkan jika Kakang tidak berkeberatan.”

“Aku tidak berkeberatan, jika paman Widura mengijinkan.”

“Itu namanya berputar-putar,” Glagah Putih bersungut-sungut, “tetapi aku akan ikut Kakang melihat sawah dan pategalan.”

“Hanya sawah di ujung lorong itu,” potong Agung Sedayu.

“Ya. Sawah di ujung lorong.”

Glagah Putih tetap pada pendiriannya. Agaknya Ki Widura memang tidak melarangnya, sehingga Glagah Putih pun kemudian ikut bersama dengan Agung Sedayu dan seorang anak muda penunggu padepokannya.

Sudah agak lama Agung Sedayu meninggalkan sawah dan ladangnya. Tetapi nampaknya anak-anak muda yang ditinggalkannya adalah anak-anak muda yang rajin. Ternyata bahwa sawah dan ladang mereka nampak terpelihara rapi, seperti halaman dan kebun padepokannya, yang nampak bersih dan terawat.

Udara yang segar rasa-rasanya seakan-akan menyusup lubang kulit sampai ke tulang sungsum. Daun padi yang subur disentuh angin malam, bagaikan ombak lembut yang mengalir dari ujung sampai ke ujung bulak yang tidak terlalu panjang.

“Kau tidak lelah, Agung Sedayu?” bertanya kawannya, yang mengikutinya ke sawah.

“Aku sudah cukup lama beristirahat. Sore tadi aku sempat berbaring sebentar, sebelum mandi,” jawab Agung Sedayu.

“Aku sama sekali tidak lelah,” berkata Glagah Putih, “bukankah aku tinggal duduk saja? Kudanyalah yang mungkin lelah.”

Agung Sedayu menepuk bahu adik sepupunya. Sambil tersenyum ia berkata, “Kudanya pun tidak lelah. Kuda terbiasa menempuh jarak yang jauh.”

Glagah Putih mengangguk-angguk. Katanya, “Apakah manusia tidak dapat berlatih berjalan seperti seekor kuda? Cepat dan jauh?”

Agung Sedayu tertawa. Jawabnya, “Perbedaan itu sudah ada pada kodratnya. Yang dapat dilakukan oleh manusia adalah berusaha untuk meningkatkan segala yang ada padanya, menurut batas yang memang sudah tidak akan dapat dilampauinya lagi. Karena itu, yang dapat kita capai dengan segala macam latihan dan penemuan diri, adalah memanfaatkan yang ada pada kita setinggi-tingginya. Bukan saja kemampuan jasmaniah, tetapi yang terutama justru akal budi. Dengan akal, kita mampu menimbuni segala macam kekurangan dan kelemahan. Tenaga manusia, wajarnya jauh di bawah tenaga seekor lembu jantan. Tetapi, justru manusia dapat memanfaatkan lembu bagi kepentingannya. Manusia dapat mempergunakan akalnya dalam banyak segi perbedaan. Tetapi manusia juga dikendalikan oleh budinya. Akal yang terlepas dari kendali budinya, justru akan sangat berbahaya bagi manusia itu sendiri.”

Glagah Putih termangu-mangu sejenak. Ia mencoba untuk mengerti kata-kata Agung Sedayu. Tetapi Agung Sedayu menepuk bahunya sambil berkata, “Jangan risaukan. Pada saatnya kau akan mengerti.”

“Aku sudah mengerti,” jawab Glagah Putih.

Agung Sedayu mengerutkan keningnya. Namun kemudian katanya, “Jika demikian, kau memang cerdas. Aku memerlukan waktu untuk memikirkan nasehat itu. Tetapi agaknya kau dapat langsung menangkap maksudnya.”

Glagah Putih mengangguk. Katanya, “Tidak sulit.”

Agung Sedayu tertawa. Katanya, “Baiklah. Kita sekarang sudah sampai di ujung lorong. Di depan kita adalah sawah kita, yang terakhir kita buka, namun nampaknya air di daerah ini pun cukup banyak.”

“Tidak ada bedanya dengan kotak-kotak sawah yang lain,” jawab anak muda yang memelihara sawah dan padepokan Agung Sedayu.

Agung Sedayu pun kemudian berjalan menyusuri pematang, di antara tanaman yang hijau subur di sawahnya. Rasa-rasanya ia telah menemukan ketenangan dan ketenteraman, setelah beberapa saat lamanya ia dibayangi oleh kegelisahan dendam orang-orang lain terhadapnya. Dendam karena peristiwa-peristiwa yang susul menyusul, di luar kehendaknya.

Ternyata Glagah Putih pun senang berada di sawah yang terbentang luas. Kunang-kunang, yang tidak terhitung jumlahnya, beterbangan dari daun ke daun. Sementara bunyi bilalang berderik-derik memecah sepinya malam.

Namun dalam pada itu, ketenangan Agung Sedayu pun segera terganggu, ketika ia melihat bayangan seseorang di lorong yang melintasi daerah persawahan itu. Bahkan bayangan itu pun kemudian berhenti tidak terlalu jauh di ujung pematang.

Glagah Putih pun melihat bayangan di keremangan malam itu. Karena itu maka ia pun berdesis, “Siapakah orang itu, Kakang?”

Agung Sedayu mengerutkan keningnya. Tiba-tiba saja hatinya menjadi berdebar-debar. Apakah di padukuhan terpencil itu ia masih saja selalu dibayangi oleh dendam dan kebencian?

Tetapi Agung Sedayu tidak dapat membiarkan orang itu berdiri saja mematung tanpa menyapanya. Bahkan kemudian katanya di dalam hati, “Mungkin justru aku-lah yang terlalu berprasangka.”

Agung Sedayu pun kemudian melangkah di pematang, mendekati orang yang berdiri tegak itu. Beberapa langkah lagi daripadanya, ia mendengar orang itu berdesis, “Apakah aku berhadapan dengan Agung Sedayu?”

Agung Sedayu menjadi semakin berdebar-debar. Jawabnya, “Ya, aku Agung Sedayu.”

Orang itu tertawa kecil. Katanya, “Sokurlah. Sebenarnya aku ingin menjumpai ke pintu gerbangmu, aku melihat kau keluar dan menyusuri jalan ini. Aku ikuti saja kau dari kejauhan. Dan sekarang, aku sudah bertemu denganmu.”

Agung Sedayu menjadi semakin ragu-ragu. Tetapi ia melangkah mendekatinya sambil bertanya, “Apakah kau mempunyai suatu kepentingan?”

Orang itu tetawa. Jawabnya, “Aebenarnya tidak. Aku hanya tahu, bahwa kau adalah adik kakang Untara.”

“Ya. Aku adalah adik kakang Untara. Siapa kau?”

“Namaku, Sabungsari. Aku adalah seorang prajurit. Aku belum lama mendapat tugas di Jati Anom.”

“O,” Agung Sedayu mengangguk-angguk.

“Ternyata aku tidak begitu sesuai menjadi jemu berada di dalam barak. Setiap hari aku bergaul dengan orang-orang yang sama dan melakukan pekerjaan yang serupa saja.”

Agung Sedayu masih mengangguk-angguk.

“Aku ingin mengenal dan bergaul dengan orang yang berbeda. Aku tahu, bahwa kau baru saja kembali dari Sangkal Putung. Karena itu, aku sengaja datang ke padepokanmu. Sebenarnyalah aku tidak mempunyai kepentingan apa pun selain mencari suasana baru. Aku benar-benar sudah jemu berada di dalam barak.”

Agung Sedayu termangu-mangu. Ia tidak segera menjawab. Dicobanya untuk mengerti maksud yang sebenarnya dari prajurit muda, yang menyebut dirinya, bernama Sabungsari itu.

Dalam pada itu, Glagah Pulih telah mendekatinya pula sambil bertanya, “Apakah kau termasuk anak buah kakang Untara?”

“Ya. Aku adalah anak buah Ki Untara,” jawab Sabungsari, “tetapi siapakah kau?”

“Glagah Putih. Aku adalah saudara sepupu kakang Agung Sedayu.”

“Kalau begitu, kau juga sepupu dengan Ki Untara.”

“Ya.”

Sabungsari mengangguk-angguk. Lalu katanya, “Aku ingin mendapat kesempatan untuk datang ke padepokanmu.”

“Datanglah,” jawab Agung Sedayu, “Sudah tentu aku tidak berkeberatan.”

“Terima kasih,” desis Sabungsari, “besok, jika aku mendapat hari istirahat setelah bertugas, aku datang ke padepokanmu. Aku ingin mendapat tempat untuk menemukan suasana yang lain daripada sebuah barak prajurit.”

Agung Sedayu mengangguk-angguk. Tanpa prasangka apa pun ia berkata, “Aku menunggu. Aku senang jika kau sudi datang ke padepokan kecil itu.”

Sabungsari tersenyum. Sambil mengangguk-angguk ia berkata, “Sekarang aku minta diri. Aku tidak banyak mempunyai kesempatan malam ini. Sebentar lagi aku akan bertugas, nganglang di Kademangan Jati Anom dan sekitarnya.”

Agung Sedayu melangkah semakin dekat, terasa dadanya berdebar-debar ketika ia melihat dalam kegelapan sekilas mata anak muda itu bagaikan bercahaya.

Tetapi Sabungsari tetap tersenyum. Tidak ada tanda-tanda niatnya yang kurang baik, sehingga Agung Sedayu pun kemudian berkata, “Baiklah. Datanglah kapan saja kau kehendaki.”

Sabungsari pun kemudian minta diri. Ia akan datang di siang hari ke padepokan Agung Sedayu.

“Mungkin aku datang bersama satu dua orang kawanku,” berkata Sabungsari ketika ia melangkah pergi.

“Datanglah,” sahut Agung Sedayu, “aku senang menerima mereka.”

Kepergian Sabungsari meninggalkan kegembiraan di hati Agung Sedayu. Ia merasa akan mendapat kawan-kawan baru dari lingkungan keprajuritan, yang umurnya tidak terpaut banyak daripadanya.

“Apakah ia benar-benar akan datang?” bertanya Glagah Putih.

“Aku kira ia benar-benar akan datang.”

Glagah Putih mengangguk-angguk. Tetapi ia sama sekali tidak memikirkannya lagi. Bahkan ia pun kemudian turun ke dalam parit sambil mengayunkan cangkulnya, membuka pintu pematang untuk mengalirkan air ke dalam sawah, seperti yang sering dilakukan sebelumnya.

Agung Sedayu memandanginya saja sambil mengangguk-angguk. Glagah Putih termasuk seorang anak muda yang rajin, tetapi juga berkemauan keras.

Dalam pada itu, selagi anak-anak muda bekerja di sawah, maka di padepokan kecil itu, Kiai Gringsing, Ki Waskita dan Ki Widura, sedang berbincang mengenai keadaan terakhir yang dialami oleh Agung Sedayu. Seolah-olah Agung Sedayu telah menjadi pusat kisaran peristiwa, yang menyangkut masalah Mataram dalam hubungannya dengan Pajang dan orang-orang yang menyebut dirinya pewaris Kerajaan Agung Majapahit.

“Aku kira tidak begitu, Kiai,” berkata Ki Widura kemudian, “kita mungkin menganggap demikian, karena kita dekat dengan Agung Sedayu. Kita tidak tahu pasti, peristiwa-peristiwa apa yang menyangkut Raden Sutawijaya, yang menyangkut Sultan Pajang sendiri dan mungkin orang-orang lain yang tidak kita kenal. Mungkin mereka mengalami persoalan-persoalan yang serupa dengan Agung Sedayu atau justru lebih parah lagi. Bahkan mungkin satu dua orang telah jatuh menjadi korban.”

Kiai Gringsing mengangguk-angguk. Katanya, “Mungkin demikian. Tetapi bagaimanapun juga, kita tidak akan dapat membiarkan kesulitan itu dialami oleh Agung Sedayu, meskipun seandainya orang-orang lain pun mengalaminya.”

Ki Waskita justru tersenyum. Sambil mengangguk-angguk ia berkata, “Sudah tentu, Kiai. Dan kita akan bersama-sama berusaha.”

Kiai Gringsing memandang Ki Waskita sejenak. Lalu katanya, “Aku justru khawatir bahwa pada suatu saat, Agung Sedayu tidak dapat mengelak lagi dari kesulitan yang menerkamnya. Mungkin dari depan dengan beradu dada. Tetapi mungkin dari belakang langsung menghantam punggung.”

Ki Waskita dan Ki Widura mengetahui yang dimaksud oleh orang tua itu. Sebagai seorang guru, maka kekhawatirannya itu dapat dimengerti.

Apalagi ketika Kiai Gringsing berkata, “Ketika terakhir kali ia mengalami serangan dari saudara tua orang-orang Pasisir Endut itu, sebenarnyalah ia telah mengalami kesulitan. Carang Waja telah mempergunakan ilmu yang langsung menyerang perasaan Agung Sedayu, sehingga seolah-olah keseimbangannya telah terganggu dengan goncangan-goncangan bumi.”

Ki Widura mengangguk-angguk. Jawabnya, “Ia telah berhasil membebaskan diri dari pengaruh sirep. Tetapi pengaruh yang lain dari kekuatan Carang Waja, hampir saja mencelakainya. Untunglah, bahwa ia langsung menusuk sumber pancaran ilmu itu dengan rabaan pandangan matanya, yang mempunyai nilai raba wadag itu.”

“Itulah sebabnya,” berkata Kiai Gringsing, “aku mulai memikirkan kelanjutan ilmu bagi Agung Sedayu. Ia sudah menemukan sendiri betapa besarnya kekuatan yang dapat dipancarkan dari pemusatan indera lewat tatapan matanya. Namun agaknya sudah sampai pula waktunya ia memiliki dasar-dasar ilmu, yang langsung dapat mempengaruhi perasaan orang lain lewat getaran indera yang tidak kasat mata, di samping ilmu-ilmu kanuragan yang telah dimilikinya. Ia sudah waktunya mengetahui, bagaimana seseorang dapat melepaskan ilmu sirep, ilmu gendam dan ilmu yang akan dapat menjadi perisai dari pengaruh ilmu semacam itu pula, meskipun sekedar bersifat melindungi diri sendiri. Bukan sebagai alat untuk menyerang.”

Ki Waskita dan Ki Widura mengangguk-angguk.

Mereka mengakui, bahwa meskipun Agung Sedayu memiliki kemampuan yang tinggi dalam olah kanuragan, tetapi jika ia masih dapat ditembus oleh kegelisahan, karena sentuhan langsung pada perasaannya dengan peristiwa-peristiwa semu, maka Agung Sedayu masih memiliki kelemahan yang dapat berakibat gawat bagi dirinya. Ilmu yang dimiliki oleh Ki Waskita, dengan wujud-wujud semu masih akan dapat memberikan pengaruh bagi ketahanan perasaan Agung Sedayu, meskipun ia menyadari keadaan sepenuhnya, karena ia masih belum dapat dengan pasti membedakan, yang manakah yang sebenarnya dihadapinya, dan yang manakah yang sebenarnya hanya sekedar wujud semu. Ia pun masih dibingungkan oleh peristiwa semu yang seolah-olah bumi telah berguncang dan langit akan runtuh oleh getaran suara tertawa dan teriakan. Mungkin rasa-rasanya telinganya akan pecah dan dadanya retak mendengar ilmu yang disebut Gelap Ngampar atau Gelap Sayuta, yang sebenarnya tidak ada yang akan berpengaruh bagi wadagnya.

Tetapi, setiap orang akan dapat melihat, bahwa pengaruh perasaan bagi seseorang, mempunyai akibat yang tidak kalah dahsyatnya dengan pengaruh pada wadagnya. Kelumpuhan wadag sebagian dapat terjadi karena kelumpuhan perasaan. Dan mereka yang kehilangan pegangan, justru akan menjadi korban yang pahit dari peristiwa-peristiwa yang sebenarnya tidak terlalu sulit untuk diatasi.

“Ki Waskita,” berkata Kiai Gringsing, “aku adalah guru Agung Sedayu dalam olah kanuragan. Aku dapat mengajarinya mempergunakan cambuk sebaik-baiknya. Aku juga dapat mengajarinya ilmu pedang dan senjata-senjata yang lain, di samping senjata yang khusus. Aku dapat menuntunnya mempergunakan tenaga cadangan dengan dasar penyaluran nafas dan pemusatan indera, serta membulatkan tekad dalam kedudukannya sebagai kesatuan alam kecil di dalam keutuhan alam semesta. Namun aku tidak dapat meletakkan dasar-dasar ilmu yang mengutamakan sentuhan-sentuhan pada perasaan seseorang secara khusus dan mendalam, meskipun sebagai pribadi aku dapat berlindung di balik kesadaranku menghadapi segalanya itu.”

Ki Waskita menarik nafas dalam-dalam. Sebenarnya ia merasakan pula segi kelemahan pada diri Agung Sedayu, seperti yang dikatakan oleh Kiai Gringsing. Saat-saat ia menghadapi Panembahan Agung, dan Agung Sedayu sendiri menghadapi Ki Gede Telengan dan terakhir adalah Carang Waja, maka nampak sekali keuletan yang dapat membahayakan dirinya. Untunglah, bahwa Agung Sedayu memiliki unsur sentuhan wadag pada tatapan matanya. Namun pada suatu saat, ia akan dapat dibingungkan oleh kelemahan pada perasaannya menghadapi bayangan-bayangan semu dan peristiwa-peristiwa semu.

Sebelum Kiai Gringsing mengatakan sesuatu kepadanya, maka sudah terasa pada Ki Waskita, bahwa Kiai Gringsing menginginkan, untuk memberikan warna pada kemampuan Agung Sedayu, pada segi yang agak berbeda dari ilmu yang sudah diberikan oleh Kiai Gringsing kepada anak muda itu.

Namun demikian, terkilas di hati Ki Waskita, bagaimanakah murid Kiai Gringsing yang seorang lagi. Jika ia hanya memberikan pengetahuan itu kepada salah satu dari murid Kiai Gringsing, apakah itu dapat disebut adil.

Meskipun demikian, Ki Waskita tidak bertanya sesuatu. Apalagi Kiai Gringsing masih belum mengatakan kepadanya. Sehingga karena itu, maka mereka pun terdiam untuk beberapa saat.

Namun ternyata, bahwa Kiai Gringsing memang tidak mengatakannya. Kiai Gringsing tidak menyerahkan muridnya untuk mendapatkan petunjuk dari Ki Waskita.

Ki Waskita menarik nafas dalam-dalam. Agaknya adalah suatu kebijaksanaan yang telah ditempuh oleh Kiai Gringsing. Jika ia menyerahkan Agung Sedayu kepadanya, maka ia pun harus berbuat sama terhadap Swandaru, karena kedua-duanya adalah muridnya yang dibinanya bersama.

Tetapi agaknya Kiai Gringsing telah diganggu oleh sikap dan tingkah laku Swandaru pada saat-saat terakhir, sehingga ia kurang berani untuk mempertanggung-jawabkan akibat dari kemampuan yang sangat tinggi pada muridnya yang seorang itu.

Ki Waskita sendiri ternyata telah melihat bayangan yang buram pada anak muda yang gemuk itu di hari kemudian. Meskipun ia juga melihat mendung di hari depan Agung Sedayu, namun arena yang sama-sama kelabu itu mempunyai jiwa yang berbeda.

Apalagi menilik perkembangan ilmu dari kedua murid Kiai Gringsing itu pun nampak berbeda pula. Swandaru lebih banyak memperkembangkan kemampuan jasmaniahnya, meskipun ia juga menelusuri tenaga cadangannya serta mempelajari ilmu pernafasan, sebagai alas menyalurkan segenap kekuatannya. Namun dalam pada itu, Agung Sedayu lebih banyak melihat unsur-unsur kekuatan yang termuat di dalam dirinya dalam hubungannya sebagai kesatuan dengan alam yang besar. Dengan matanya, Agung Sedayu sudah berhasil menembus kesatuan tempat, sehingga tatapan matanya itu pun mempunyai sentuhan wadag. Sementara itu, cara Agung Sedayu mesu diri, menukik ke dalam inti dari kekuatan yang tersimpan di dalam dirinya yang bahkan hampir saja menenggelamkan dirinya ke dalam kesulitan jasmaniah.

Karena itu, di dalam wawasan Ki Waskita, Agung Sedayu akan lebih mudah mempelajari ilmu seperti yang dimaksud gurunya, yang kebetulan sebagian ada padanya. Meskipun ilmu itu tidak banyak berarti bagi mereka yang memiliki kemantapan kepercayaan kepada diri sendiri dan ketahanan jasmaniah yang tinggi. Namun ilmu itu pada waktunya akan dapat berguna pula untuk menghadapi saat-saat yang khusus, seperti yang pernah dialami oleh Agung Sedayu. Carang Waja adalah salah seorang yang memiliki ilmu yang sangat tinggi, sehingga ia seakan-akan dapat mengguncang bumi dan menghancurkan isi dada.

Tetapi Kiai Gringsing tidak berkata kepadanya tentang muridnya. Itu adalah pertanda, bahwa Kiai Gringsing tidak bertindak sesuatu bagi ilmu murid-muridnya.

Namun, Ki Waskita dapat menangkap hubungan peristiwa yang diharapkan terjadi oleh Kiai Gringsing. Ki Waskita-lah yang sebaiknya, atas kehendak sendiri, memberikan petunjuk kepada Agung Sedayu. Dengan demikian, tidak ada kewajiban Ki Waskita untuk bertindak adil bagi kedua murid Kiai Gringsing, sedangkan Kiai Gringsing pun tidak pula harus memberikan kemungkinan yang sama bagi kedua muridnya, karena yang terjadi adalah di luar permintaannya.

Ki Widura yang duduk merenungi pembicaraan mereka, yang seolah-olah terputus itu pun mengerti pula. Karena itu, maka ia sama sekali tidak menyambung pembicaraan itu. Ia lebih baik berdiam diri sambil menunggu, apakah yang akan dibicarakan oleh Ki Waskita dan Kiai Gringsing selanjutnya.

Ketiganya saling berdiam diri sampai malam menjadi semakin larut. Nampaknya mereka masing-masing telah terlibat ke dalam persoalan di hati sendiri, sehingga mereka melupakan bahwa mereka duduk bersama.

Baru ketika mereka mendengar seorang penghuni padepokan itu berjalan melintas. Kiai Gringsing menarik nafas dalam-dalam.

“Malam telah larut,” katanya.

Ki Waskita mengangguk-angguk. Namun kemudian katanya, “Agung Sedayu belum kembali.”

Ki Widura mengerutkan keningnya. Agung Sedayu pergi bersama Glagah Putih. Bagaimanapun juga ia tidak dapat melepaskan dari kemungkinan-kemungkinan buruk yang dapat terjadi atas Agung Sedayu dan anaknya, seperti yang telah terjadi di Sangkal Putung.

Tetapi mereka tidak perlu menunggu terlalu lama, karena sebentar kemudian Agung Sedayu pun telah datang bersama Glagah Putih dan seorang kawannya, anak muda yang ikut menghuni padepokan itu.

Agung Sedayu pun untuk beberapa saat ikut pula duduk bersama orang-orang tua itu. Sementara Glagah Putih yang sudah mengantuk, segera pergi ke pembaringan setelah mencuci kakinya.

Namun pembicaraan berikutnya tidak berlangsung terlalu lama. Mereka pun segera meninggalkan ruangan itu, kembali ke dalam bilik masing-masing untuk beristirahat.

Ketika matahari kemudian bangkit di hari berikutnya, terasa pagi yang cerah itu memberikan kesegaran lahir dan batin. Rasa-rasanya padepokan kecil itu merupakan dunia tersendiri yang penuh ketenangan dan kedamaian. Tidak ada persoalan yang menegangkan. Nampaknya semua yang diam dan yang bergerak bersama-sama menikmati lahirnya hari baru.

Yang ada kemudian adalah kerja yang menyenangkan di padepokan kecil itu. Suara sapu lidi dan senggol timba, seolah-olah telah membangunkan irama hidup yang segar dan tenang.

Agung Sedayu terkejut, ketika di pagi hari itu, seorang anak muda muncul di regol padepokannya. Yang nampak pertama-tama di wajahnya adalah senyum yang cerah, secerah pagi itu.

“Apakah kau lupa kepadaku, Agung Sedayu?” bertanya anak muda itu.

Agung Sedayu pun tersenyum. Jawabnya, “Meskipun aku bertemu denganmu di malam hari, tetapi aku tidak lupa. Kau-lah yang semalam datang ke sawah.”

Anak muda itu tertawa. Katanya, “Aku memenuhi kata-katamu. Aku ingin mendapatkan suasana baru. Apakah kau keberatan?”

“Sudah aku katakan, Sabungsari,” jawab Agung Sedayu, “aku senang kau datang. Silahkan. Aku akan mencuci tangan lebih dahulu.”

“Jangan kau tinggalkan pekerjaanmu,” potong Sabungsari.

Agung Sedayu yang sudah melangkah ke pakiwan tertegun. Sementara Sabungsari berkata seterusnya, “Teruskan. Kau tinggal menyelesaikan sedikit lagi. Halaman padepokan ini akan nampak bersih dan gilar-gilar.”

Agung Sedayu termangu-mangu sejenak. Namun kemudian sambil tersenyum ia berkata, “Sebaiknya aku mempersilahkan tamuku duduk dahulu.”

“Tidak. Aku bukan tamu. Aku adalah kawan bermain. Anggap saja demikian. Kedatanganku memang tanpa keperluan apa pun. Aku datang untuk mencari kesegaran. Jika kau menerima aku seperti kau menerima seorang tamu, maka aku akan jatuh lagi ke dalam suasana yang kaku,” sahut Sabungsari.

Agung Sedayu mengangguk-angguk. Katanya kemudian, “Jika demikian, terserahlah kepadamu. Aku akan menyelesaikan kerjaku. Duduklah lebih dahulu di pendapa.”

“Tidak di pendapa. Aku akan duduk di sini,” jawab Sabungsari sambil duduk di babalur dinding halaman.

“Terserahlah,” jawab Agung Sedayu, “jika kau ingin demikian, maka silahkan melihat-lihat padepokan kecilku ini.”

Sabungsari pun mengangguk-angguk sambil menjawab “ Terima kasih. Selesaikan kerjamu lebih dahulu.”

Sementara Agung Sedayu melanjutkan menyapu sudut halaman yang tersisa, maka Glagah Putih yang melihat kedatangan Sabungsari pun mendekat pula sambil berkata, “Tentu Ki Sanak yang datang semalam.”

Sabungsari tersenyum. Jawabnya, “Tepat. Ternyata kau adalah anak muda yang cermat. Kau mengenal aku di dalam gelap malam.”

“Apa sulitnya?” bertanya Glagah Putih, “Kau semalam juga memakai pakaian yang kau pakai sekarang.”

Sabungsari tertawa, sementara Agung Sedayu berdesis, “Sst, kenapa kau sebut juga tentang pakaian?”

“Menarik sekali,” berkata Sabungsari sambil tertawa, “adik sepupumu memiliki pengamatan yang luar biasa, Agung Sedayu.”

Agung Sedayu pun tertawa juga, sementara Glagah Putih berkata, “Ah, jangan memuji. Aku menjadi malu sekali, seolah-olah aku benar-benar memiliki kelebihan.”

“Kau memang mempunyai banyak kelebihan,” sahut Sabungsari.

Glagah Putih menarik nafas dalam-dalam. Sambil mendekati Agung Sedayu ia berkata, “Kakang, berikan sapu itu kepadaku. Biarlah aku yang menyelesaikan sudut yang sedikit itu.”

Agung Sedayu termangu-mengu sejenak, namun kemudian diberikannya sapu itu kepada Glagah Putih sambil berkata, “Baiklah, Glagah Putih. Selesaikan sudut yang tersisa itu.”

“Tetapi aku tidak telaten menyapu halaman seperti Kakang Agung Sedayu. Tanpa tapak kaki. Aku menyapu dengan cara yang biasa. Tidak mundur seperti undur-undur.”

Sabungsari tertarik kepada kata-kata Glagah Putih itu. Tiba-tiba saja ia memperhatikan bekas sapu lidi Agung Sedayu. Katanya, “Luar biasa. Kau menyapu seluruh halaman ini tanpa telapak kaki. Aku tidak begitu memperhatikan. Jika Glagah Putih tidak mengatakan, aku tidak melihat perbedaan cara Agung Sedayu menyapu halaman ini.”

Agung Sedayu tertawa. Katanya, “Aku hanya sekedar bergurau dengan diriku sendiri.”

“Nampaknya demikian. Tetapi untuk melakukan seperti yang kau lakukan itu memerlukan ketahanan niat tersendiri. Kau melatih ketahanan dan ketekunan. Yang kau lakukan sungguh-sungguh mengagumkan.”

Agung Sedayu masih tertawa. Kemudian katanya, “Marilah. Biarlah Glagah Putih menyelesaikannya. Marilah bertemu dengan Kiai Gringsing, yang sudah aku anggap orang tuaku sendiri, bersama dua orang kawan dekatnya.”

“Jangan mengganggu mereka. Biarlah mereka melakukan kewajibannya. Aku akan berjalan-jalan mengelilingi padepokan ini jika kau tidak berkeberatan,”“ sahut Sabungsari.

“Tentu aku tidak berkeberatan,” jawab Agung Sedayu.

Keduanya pun kemudian berjalan menyusuri halaman samping padepokan kecil itu. Sabungsari tidak bersedia untuk dengan tergesa-gesa diperkenalkan dengan orang-orang tua yang berada di padepokan itu.

“Nanti saja, jika mereka sudah beristirahat,” katanya.

Dalam pada itu, Kiai Gringsing pun sedang membersihkan ruang dalam padepokannya, sementara Ki Waskita sedang mengisi jambangan di pakiwan. Ki Widura pun sedang sibuk dengan cangkulnya, mengatur air yang mengalir di sebatang parit kecil di kebun mengaliri beberapa buah kolam yang ada di padepokan itu.

“Padepokan kecil ini memang luar biasa,” desis Sabungsari yang sedang melihat-lihat padepokan itu. “Berapa lama umur padepokanmu?” tiba-tiba saja ia bertanya.

“Kenapa?” bertanya Agung Sedayu pula.

“Aku dengar padepokanmu ini belum terlalu lama kau bangun. Tetapi di sini terdapat beberapa batang pohon buah-buahan yang sudah berbuah.”

“O,” Agung Sedayu mengangguk-angguk. “tanah ini adalah bekas tanah pategalan. Di tanah pategalan itu memang sudah terdapat beberapa batang pohon buah-buahan. Karena itulah, maka pohon itu kini sudah berbuah. Tegasnya, pohon buah-buahan itu ada di situ sebelum tempat ini menjadi sebuah padepokan.”

“O,” Sabungsari mengangguk-angguk. Wajahnya nampak cerah. Nampaknya padepokan itu sangat menarik perhatiannya. “Sayang, aku seorang prajurit,” gumannya.

“Kenapa kalau kau seorang prajurit?” sekali lagi Agung Sedayu bertanya.

“Aku tidak dapat sebebas kau menikmati ketenangan dalam padepokan kecil ini. Aku terikat pada suatu tata kerja yang teratur dalam ketertiban kewajiban.”

“Jangan berkata begitu,” jawab Agung Sedayu, “setiap lapangan mempunyai bentuk dan coraknya sendiri.”

“Benar. Dan agaknya aku sudah terperosok ke dalam lingkungan yang salah. Yang tidak sesuai dengan sifat dan pembawaanku.”

Agung Sedayu memandang anak muda itu sekilas. Tetapi ia tidak menemukan kesan yang khusus di wajahnya yang tunduk.

Untuk sesaat keduanya saling berdiam diri. Mereka berjalan menyusuri halaman belakang padepokan, bekas tanah pategalan itu.

Langkah mereka tertegun, ketika mereka melihat seseorang sibuk membelokkan arus air sebuah parit kecil, di kebun padepokan yang nampak hijau segar itu.

“Itulah Ki Widura, ayah Glagah Putih,” desis Agung Seayu.

Ternyata Ki Widura mendengar kata-kata Agung Sedayu, sehingga ia pun berpaling. Keningnya berkerut ketika ia melihat seorang anak muda, dalam pakaian seorang prajurit, berjalan bersama Agung Sedayu.

“Paman,” berkata Agung Sedayu, “anak muda ini adalah seorang prajurit di bawah kakang Untara.”

“Jauh di bawah,” Sabungsari menyahut, “aku adalah prajurit di tataran paling bawah.”

Ki Widura memandang Sabungsari itu sejenak. Kemudian diletakkannya cangkulnya. Sambil tersenyum ia berkata, “Aku mengenalmu dari pakaian yang kau kenakan, anak muda.”

“Namanya, Sabungsari,” Agung Sedayu memperkenalkan namanya.

Ki Widura mengangguk-angguk. Katanya, “Sepagi ini kau sudah berada di sini, Anakmas. Apakah kau hari ini tidak mempunyai tugas?”

“Aku mendapat istirahat hari ini, Ki Widura. Aku baru turun dari tugas, semalam suntuk meronda Jati Anom dan sekitarnya.”

“Kau tidak mempergunakan saat-saat ini untuk beristirahat?” bertanya Ki Widura.

“Sebentar lagi. Pagi ini aku ingin singgah di padepokan Agung Sedayu yang tenang ini.”

“Tetapi sejak kapan kalian berkenalan?” tiba-tiba saja Ki Widura bertanya.

Sabungsari termangu-mangu. Tetapi Agung Sedayu-lah yang menjawab seperti adanya, “Semalam, Paman. Semalam Sabungsari menemui aku di sawah untuk memperkenalkan diri.”

Ki Widura mengangguk-angguk. Dan ia pun tersenyum, ketika Sabungsari menjelaskan niatnya seperti yang sudah dikatakannya kepada Agung Sedayu.

“Ya,” Ki Widura mengangguk-angguk, “mungkin kau menemukan udara baru di padepokan ini. Silahkan. Bukankah kau baru melihat-lihat? Barangkali Agung Sedayu dapat menjamu mu dengan buah-buahan, meskipun agaknya masih terlalu pagi.”

Sabungsari tertawa sambil mengangguk-angguk. Katanya, “Terima kasih. Terima kasih, Ki Widura.”

Keduanya pun meneruskan langkah mereka. Mula-mula mereka menyusuri kolam yang jernih. Mereka melihat beberapa kelompok ikan gurami berenang melingkar-lingkar.

“Senang sekali,” gumam Sabungsari, “kau tinggal memetik padi di sawah, kemudian menangkap beberapa ekor gurami di kolam. Sehabis makan, kau dapat memetik buah-buahan di dahan yang segar.”

Agung Sedayu tersenyum. Jawabnya, “Menyenangkan bagi yang tidak mengalaminya sehari-hari. Tetapi bagi kami, hal itu sudah terlalu biasa, sehingga memang itulah warna hidup kami sehari-hari.”

Sabungsari mengangguk-angguk. Katanya, “Hari ini aku mendapat istirahat sehari penuh.”

“Apakah kau akan berada di padepokan ini sehari penuh pula?” bertanya Agung Sedayu.

“Apakah kau tidak berkeberatan?”

“Kenapa aku berkeberatan?”

Sabungsari merenung sejenak. Lalu katanya, “Terima kasih. Aku akan berada di sini sehari penuh.”

Demikianlah, seperti yang dikatakannya, Sabungsari berada di padepokan itu sehari penuh. Seperti anak-anak muda yang bebas dari segala kewajiban, Sabungsari menikmati hari istirahatnya bersama Agung Sedayu dan Glagah Putih. Demikian mereka selesai makan siang, maka mereka pun segera pergi ke kebun belakang memetik buah-buahan. Rasa-rasanya Sabungsari ingin memetik semua buah jambu air yang berwarna kemerah-merahan beruntai bergayutan di setiap ranting.

Sambil berbaring di sehelai ketepe yang dianyam dari daun nyiur, mereka berteduh di bawah rimbunnya sebatang pohon jambu air, yang berbuah lebat sekali.

Dengan asyiknya, mereka berceritera tentang bermacam-macam persoalan yang mereka jumpai sehari-hari dalam hidup mereka. Sabungsari berceritera tentang kejemuannya hidup di bawah bersama prajurit-prajurit yang lain. sementara Glagah Putih berceritera tentang padepokannya yang semakin subur.

“Sebentar lagi kuweni itu akan berbuah,” berkata Glagah Putih, “sekarang daun-daunnya sudah mulai bersemi kemerah-merahan. Dari ujung daun-daun muda itu akan tumbuh bunga-bunganya yang putih. Kemudian akan bergayutan buah kuweni selebat daunnya. He, kau pernah makan kuweni?”

Sabungsari tertawa. Jawabnya, “Tetanggaku mempunyai pohon kuweni pula di padukuhanku. Jika kuweni itu berbuah lebat, maka banyak yang berjatuhan di halaman rumahku. Bukankah kuweni biasanya dibiarkan tua di dahan?”

“Ya. Kami juga membiarkan kuweni itu berjatuhan. Barulah kuweni itu terasa enak sekali dimakan.”

Sabungsari mengangguk-angguk. Dipandanginya daun kuweni yang mulai bersemi. Daun-daun mudanya yang berwarna kemerah-merahan memberikan kesegaran tersendiri di antara hijau daunnya yang rimbun.

Namun dalam pada itu, sekilas membayang rencananya yang akan dilakukannya untuk melepaskan dendam yang bersarang di hatinya. Ia tidak melupakan kematian ayahnya. Kini ia sudah berhadapan dengan orang yang telah membunuh ayahnya itu.

“Tetapi aku ingin menjajagi sampai dimanakah kemampuan ilmu Agung Sedayu, sebelum aku menantangnya untuk berperang tanding,” berkata Sabungsari di dalam hatinya.

Tetapi Sabungsari tidak tergesa-gesa. Ia mempunyai banyak waktu untuk melakukannya, ia sudah berhasil berkenalan dengan Agung Sedayu yang dicarinya dengan tekun untuk melepaskan dendamnya. Supaya ia tidak tergelincir seperti orang-orang yang mendahuluinya, maka ia ingin mengenal Agung Sedayu lebih banyak.”

Karena itulah, maka Sabungsari tidak berbuat sesuatu, ia benar-benar berlaku sebagai seorang kawan yang baik bagi Agung Sedayu, seperti yang dikatakan, bahwa di padepokan itu ia telah menemukan suasana yang baru.

Dengan demikian, maka Agung Sedayu merasa, bahwa ia telah mendapatkan seorang kawan baru yang sesuai dengan umurnya. Prajurit itu nampaknya seorang yang ramah dan berterus terang.

Menjelang senja, maka Sabungsari itu minta diri. Dengan hormat ia membungkuk di hadapan Kiai Gringsing, Ki Waskita dan Ki Widura.

“Aku akan sering datang kemari,” berkata Sabungsari.

“Kami akan menerima dengan senang hati, Ngger,” sahut Kiai Gringsing, “datanglah di hari-hari istirahatmu ke padepokan ini.”

Sabungsari mengangguk-angguk. Katanya, “Padepokan ini merupakan tempat yang paling menyenangkan yang pernah aku kenal.”

Kiai Gringsing hanya tersenyum saja. Kemudian dilepaskannya Sabungsari meninggalkan padepokan itu sampai ke regol halaman padepokan, bersama Ki Waskita dan Ki Widura.

“Anak yang baik,” berkata Kiai Gringsing, “nampaknya ia seorang prajurit yang tangguh. Tetapi juga seorang anak muda yang merindukan sesuatu. Nampaknya ia pernah kehilangan dan kini ia sedang mencari isi dari kekosongan itu.”

Ki Waskita mengangguk-angguk. Namun wajahnya membayangkan sesuatu yang agak buram.

“Apakah yang Ki Waskita lihat?” bertanya Kiai Gringsing.

Ki Waskita termenung sejenak. Dipandanginya anak muda yang semakin lama menjadi semakin jauh itu.

“Apakah kau baru mengenalnya semalam, Agung Sedayu?” bertanya Ki Waskita.

“Ya, Ki Waskita,” jawab Agung Sedayu, “semalam ia menyusul kami di sawah, ketika kami menengok air yang mengalir tidak begitu lancar di parit yang menyilang jalan kecil itu.”

Ki Waskita masih mengangguk-angguk. Gumamnya seolah-olah kepada diri sendiri, “Anak itu memang baik. Tetapi aku melihat sesuatu, yang mungkin keliru di penglihatanku.”

“Apakah yang kau lihat?” bertanya Ki Widura.

“Aku melihat noda yang melekat di senyumnya yang cerah itu.”

Agung Sedayu mengerutkan keningnya. Katanya, “Rasa-rasanya ia seorang yang baik. Hatinya terbuka dan agaknya ia memang seseorang yang memerlukan orang lain di dalam hidupnya.”

“Ya. Nampaknya di dalam sikap dan kata-katanya. Tetapi aku melihat jauh lebih dalam lagi,” Ki Waskita berhenti sejenak. Lalu, “Tetapi isyarat itu pun kurang dapat aku pahami.”

Agung Sedayu pun mengangguk-angguk. Seandainya Ki Waskita tidak melihat isyarat apa pun, maka kecurigaannya memang wajar. Adalah terlalu berlebih-lebihan, bahwa anak muda itu menyusulnya ke sawah. Kemudian pagi-pagi benar ia sudah berada di padepokan. Sehari penuh ia berada di padepokan itu untuk melihat-lihat dan mengenal setiap sudut-sudutnya, seolah-olah tidak ada sejengkal tanah pun yang dilampauinya.

“Tetapi bagiku,” berkata Agung Sedayu di dalam hatinya, “sikap itu adalah justru sikap yang tulus, tanpa dibuat-buat dan jujur.”

Namun Agung Sedayu tidak mengatakannya. Ia menahannya di dalam hati. Namun ia mengharap, bahwa akhirnya Ki Waskita akan mengakui kebenaran dugaannya itu.

Sejak saat itu, maka Sabungsari terlalu sering datang ke padepokan kecil itu. Bahkan hampir setiap waktu tertuangnya, meskipun hanya beberapa saat, ia memerlukan datang. Kadang-kadang ia datang berkuda, masih dalam pakaian keprajuritannya yang lengkap. Ia hanya berteriak saja di depan regol. Jika Agung Sedayu atau Glagah Putih telah menjenguknya, maka sambil melambaikan tangannya ia berpacu meninggalkan regol itu.

Bagi Agung Sedayu, Sabungsari merupakan kawan yang baik. Sekali-sekali keduanya pergi bersama mengelilingi Jati Anom. Kadang-kadang Glagah Putih ikut bersama mereka. Tetapi kadang-kadang, tidak seorang pun serta.

Jika keduanya berkuda di bulak panjang yang sepi, terbersit keinginan Sabungsari untuk menyelesaikan tugas, yang terasa selalu bergejolak di dalam dadanya. Ia ingin segera dapat melepaskan dendam yang sudah lama tersimpan. Tetapi Sabungsari tidak mau mengorbankan harga dirinya, sebagai seorang anak muda yang memiliki ilmu yang tinggi, dengan membunuh lawannya dari belakang. Ia harus menyatakan maksudnya kepada Agung Sedayu, kemudian menyelesaikan persoalannya dengan cara seorang laki-laki, perang tanding.

Namun setiap kali Sabungsari masih dibayangi oleh keragu-raguan. Ia belum berhasil menjajagi kemampuan Agung Sedayu, sehingga setiap kali ia masih saja menahan hati.

“Aku harus dapat mengetahui dengan melihat sendiri, apa yang dapat dilakukan oleh anak ini,” berkata Sabungsari di dalam hatinya. Karena selama itu, ia baru mendengar kata orang, bahwa Agung Sedayu adalah seorang anak muda yang memiliki kemampuan tidak terlawan.

“Omong kosong,” kadang-kadang Sabungsari menggeram. Namun pendengarannya itu selalu membayanginya dengan keragu-raguan.

“Aku akan mengajaknya bermain-main dengan ilmu,” katanya di dalam hati, “dengan demikian, aku akan dapat melihat, apakah yang telah dilakukannya.”

Dengan demikian, maka Sabungsari selalu mencari kesempatan untuk dapat melihat, apa yang dapat dilakukan oleh Agung Sedayu. Dengan berbagai cara ia mencoba untuk menyudutkan Agung Sedayu ke dalam keadaan yang memungkinkannya menunjukkan kemampuannya.

“Agung Sedayu,” katanya pada saat ia berkunjung di padepokan kecil itu, “setiap orang mengatakan, bahwa kau adalah orang yang tidak terlawan saat ini. Di lembah antara Gunung Merapi dan Gunung Merbabu, kau berhasil membunuh beberapa orang terpenting dari mereka, yang menyebut dirinya pewaris kerajaan Majapahit. Sebenarnyalah, aku sebagai seorang prajurit, kadang-kadang merasa iri. Umurmu dan umurku tidak terpaut banyak. Mungkin aku lebih tua sedikit, sebaya dengan Ki Untara. Namun aku tidak pernah dapat membayangkan, apa yang pernah kau lakukan itu.”

Pertanyaan itu mengejutkan Agung Sedayu. Sejenak ia termangu-mangu. Namun kemudian katanya, “Dari siapa kau mendengar peristiwa yang terjadi di lembah antara Gunung Merapi dan Gunung Merbabu itu?”

Sabungsari memandang Agung Sedayu dengan heran. Katanya, “Setiap mulut mengatakannya demikian. Setiap prajurit di Jati Anom mengetahui, bahwa adik Untara telah melakukan sesuatu yang tidak masuk akal. Tetapi hal itu lelah terjadi.”

Agung Sedayu menarik nafas dalam-dalam. Katanya, “Sama sekali tidak benar. Aku tidak berbuat apa-apa. Aku bertempur di antara para pengawal dari Mataram, dari Tanah Perdikan Menoreh dan dari Sangkal Putung. Aku tidak mempunyai kelebihan apa pun dari mereka. Apalagi dengan para pemimpin pengawal itu.”

Sabungsari memandang Agung Sedayu dengan kecewa. Katanya, “Aku tahu, bahwa kau bukan seorang anak muda yang sombong, yang senang dipuji, apalagi sesongaran menunjukkan kelebihannya. Tetapi aku sekedar menuruti gejolak hati yang tidak dapat aku tahan lagi. Sebagai seorang prajurit yang ingin aku ketahui adalah olah kanuragan.”

Tetapi Agung Sedayu menggeleng. Katanya, “Tidak ada yang dapat aku tunjukkan kepadamu dan kepada siapapun. Yang terjadi seperti yang kebanyakan terjadi di peperangan. Dan aku hanyalah satu dari sekian banyak orang.”

Sabungsari tersenyum, betapapun kecutnya. Katanya, “Aku sudah mengira. Tetapi bagaimana kau dapat membunuh Ki Gede Telengan, Ki Tumenggung yang memegang kendali pertempuran dari mereka yang berada dilembah itu, Samparsada dan Kelasa Sawit, jika kau hanya satu di antara yang sekian banyaknya.”

“Aku tidak membunuh mereka. Bagaimana mungkin kau dapat menuduhku membunuh mereka itu?”

“Agung Sedayu,” desis Sabungsari, “mungkin kau benar. Tetapi kau adalah sebab terakhir kematian mereka.”

“Kelasa Sawit?” bertanya Agung Sedayu. Namun kemudian katanya, “Sudahlah. Aku ingin melupakan semuanya. Yang terjadi merupakan bayangan yang kelam di dalam hidupku. Aku mohon jangan kau sebut lagi.”

Sejenak Sabungsari termangu-mangu. Namun katanya kemudian, “Maaf, Agung Sedayu. Jika aku menyebutnya, bukan karena aku ingin mengingatkan kau apa yang telah terjadi. Tetapi sebenarnyalah, bahwa aku sebagai seorang prajurit ingin melihat, bagaimana kau mengetrapkan ilmu yang tiada taranya itu. Menurut pendengaranku, kau mempunyai kemampuan yang seolah-olah tidak terbatas.”

“Ah,” desah Agung Sedayu.

“Jangan menyelubungi kemampuan yang sudah diketahui oleh setiap orang itu, Agung Sedayu.”

“Itu omong kosong,” desis Agung Sedayu, “sudahlah. Marilah kita berbicara tentang pohon buah-buahan, tentang burung yang berkicau dan tentang air parit yang bening.”

“Tetapi aku seorang prajurit, Agung Sedayu. Aku tentu akan lebih banyak berbicara tentang olah kanuragan dan olah senjata jenis apa pun juga,” jawab Sabungsari.

“Dan aku? Aku seorang petani di padepokan kecil. Aku lebih tertarik kepada pohon buah-buahan dan tanaman yang hijau di sawah. Dan memang sebenarnyalah aku hanya pandai menyiangi padi yang tumbuh subur, serta menghalau burung pipit menjelang padi dituai.”

Sabungsari sudah menduga, bahwa ia tidak akan mudah memaksa Agung Sedayu memamerkan kemampuannya, apa pun alasannya. Sifat-sifat Agung Sedayu, yang mulai dikenalnya sejak ia bergaul dengan anak muda itu, memberikan beberapa petunjuk, bahwa ia akan mengalami kesulitan untuk menjajagi ilmu anak muda yang seolah-olah tertutup rapat di ruang perbendaharaan berlapis tujuh.

“Gila!” Sabungsari bergumam di dalam hatinya, “Aku harus berhasil mengetahui tingkat ilmunya, sebelum aku terjerumus ke dalam kesalahan seperti yang pernah terjadi. Jika aku tidak yakin dapat membunuhnya maka aku akan menunda sampai saatnya aku menyempurnakan ilmuku barang enam atau sepuluh bulan dengan tekun, berdasarkan ilmu yang sudah aku kuasai. Meskipun aku merasa, bahwa yang aku miliki sekarang ini sudah lebih selapis, atau setidak-tidaknya setingkat dengan ilmu ayahku, namun ada kemungkinan, bahwa Agung Sedayu pun telah meningkat pula.”

Karena itu, Sabungsari masih harus bersabar. Ia bukan seorang yang bodoh dan tergesa-gesa. Tetapi ia ingin menyelesaikan persoalannya dengan sikap seorang laki-laki dalam perang tanding. Bukan seorang pembunuh yang licik, yang menikam lawannya dari punggung.

Karena itu, maka yang dilakukan kemudian dan di hari berikutnya, sama sekali tidak mengesankan rencananya yang sudah tersusun rapi. Ia masih merupakan kawan yang baik bagi Agung Sedayu, bahkan bagi Glagah Putih. Baginya, Glagah Putih bukannya persoalan yang perlu mendapat perhatian tersendiri. Ia tahu bahwa Glagah Putih dengan tekun melatih diri di bawah tuntunan Agung Sedayu dan ayahnya, Ki Widura dalam cabang ilmu Ki Sadewa, yang agak berbeda dari ilmu yang diwarisi oleh Agung Sedayu dari Kiai Gringsing. Namun ternyata, bahwa Agung Sedayu pun nampaknya menguasai benar-benar setiap unsur gerak dari ilmu ayahnya yang telah meninggal itu.

Tetapi tingkat ilmu Glagah Putih barulah pada tataran dasar, meskipun meningkat dengan pesatnya.

Meskipun demikian, isi padepokan kecil itu selalu berlaku hati-hati dan sesuai dengan kebiasaan di dalam setiap perguruan yang sebenarnya. Latihan-latihan khusus selalu dilakukan dalam ruang tertutup bagi orang lain. Bahkan bagi anak-anak muda yang tinggal di padepokan itu.

“Aku harus mendapat akal,” berkata Sabungsari kepada dirinya setiap kali ia digelisahkan oleh rencananya yang masih belum maju setapak pun baginya, sehingga ia sama sekali tidak mendapat kesempatan untuk mengintip ke dalamnya.

Sementara itu, Ki Waskita masih tetap berada di padepokan kecil itu. Sudah ada niatnya untuk pulang. Tetapi ketika ia melihat isyarat yang buram pada anak muda yang bernama Sabungsari, ia menjadi ragu-ragu.

Namun akhirnya Ki Waskita ragu-ragu terhadap dirinya sendiri. Ternyata sudah beberapa lamanya Sabungsari berkenalan dengan Agung Sedayu, sama sekali tidak ada tanda-tanda bahwa ia bertindak tidak jujur. Keduanya seperti sahabat yang saling mempercayai dalam banyak hal.

“Aku mulai tua,” berkata Ki Waskita kepada diri sendiri, “banyak yang nampak kabur di mata hatiku. Tetapi itu tidak perlu aku sesali.”

Dengan demikian, maka niat Ki Waskita itu pun kemudian disampaikannya kepada Kiai Gringsing, bahwa ia sudah lewat waktunya untuk pulang ke rumahnya.

“Aku mengatakan kepada keluargaku, bahwa aku tidak lama berada di Sangkal Putung. Mereka tentu menunggu. Meskipun aku sudah terbiasa pergi, namun semakin tua istriku menjadi semakin cemas melepaskan aku.”

Kiai Gringsing tertawa. Tetapi ia tidak dapat menahan Ki Waskita lebih lama. Adalah wajar sekali, sebagai seorang yang berkeluarga, maka ikatan keluarga itu jauh lebih penting dari ikatan persahabatan yang manapun juga.

Meskipun demikian, Kiai Gringsing masih juga bertanya, “Ki Waskita, bagaimanakah pendapat Ki Waskita tentang Agung Sedayu?”

Ki Waskita mengangguk-angguk. Katanya, “Aku mengerti, Kiai. Ternyata kini ia banyak mendapat cobaan. Ia kini harus menghadapi berbagai macam ilmu. Di Sangkal Putung, ia harus berhadapan dengan ilmu sirep yang tajam. Juga ilmu yang langsung menyentuh angan-angan dan pertimbangannya. Melawan saudara tua kedua kakak beradik dari Pesisir Endut, maka selain bertempur melawan orang itu dalam olah kanuragan, ia pun harus memerangi kegelisahannya, karena baginya seolah-olah bumi telah terguncang.”

“Ya, Ki Waskita. Aku tidak mempunyai dasar pengetahuan mendalam tentang hal itu. Aku hanya dapat menangkis berdasar pada keyakinanku atas diri sendiri. Tetapi tidak karena aku memahami ilmunya secara mendasar.”

Ki Waskita mengangguk-angguk. Ia mengerti yang dimaksudkan oleh Kiai Gringsing. Ia pun menyadari, bahwa sebagai dua orang yang berbeda perguruan dan warisan ilmu yang pernah mereka pelajari, maka Kiai Gringsing dan Ki Waskita mempunyai kelebihan dan kekurangannya masing-masing, pada segi yang berbeda-beda.

Ki Waskita pun sadar, bahwa Kiai Gringsing memerlukannya bukan bagi dirinya sendiri. Sebenarnya juga bukan bagi Agung Sedayu itu sendiri. Tetapi dalam tugas yang diemban oleh Agung Sedayu, kadang-kadang ia menemukan kesulitan karena jenis-jenis ilmu yang tidak terhitung jumlahnya, yang tersebar di muka bumi. Yang satu mempunyai kelebihan dari yang lain. Tetapi tidak ada ilmu yang tidak terkalahkan, betapapun dahsyatnya.

Kiai Gringsing pun tidak akan menyerahkan Agung Sedayu dalam bimbingan orang lain, sebagaimana seorang guru menyerahkan muridnya untuk mendapatkan bimbingan khusus, karena murid Kiai Gringsing tidak hanya seorang saja.

Karena itu, maka seolah-olah di luar sadarnya, maka Ki Waskita pun berkata, “Kiai, apakah Kiai mengijinkan Agung Sedayu pergi bersamaku barang satu dua pekan?”

Kiai Gringsing menarik nafas dalam-dalam. Ia pun mengerti sikap Ki Waskita. Karena itu, maka ia pun menjawab, “Jika Ki Waskita menghendaki anak itu untuk mengikuti perjalanan Ki Waskita kembali, aku tidak berkeberatan.”

“Baiklah, Kiai. Aku akan bertanya langsung kepadanya,” berkata Ki Waskita kemudian.

Kiai Gringsing mengangguk-angguk. Ia menyadari sepenuhnya, bahwa ia sudah berbuat sesuatu yang tidak seimbang bagi murid-muridnya. Meskipun ia tidak dengan resmi berkata kepada Ki Waskita, menyerahkan Agung Sedayu untuk mendapatkan tambahan ilmu yang mempunyai sifat dan watak yang berbeda dengan ilmu yang telah dikuasai oleh anak itu, namun ia telah membuka jalan bagi Agung Sedayu. Tetapi tidak bagi Swandaru. Kepada orang lain ia dapat berkata, bahwa niat itu tumbuh dari hati Ki Waskita sendiri, yang sudah lama bergaul dengan Agung Sedayu. Juga kepada Swandaru ia dapat berkata seperti itu. Tetapi ia tidak dapat mengatakannya kepada dirinya sendiri.

“Apaboleh buat,” katanya kepada diri sendiri, “aku tidak mempunyai niat buruk. Swandaru menunjukkan gejala sifat yang kurang dapat aku pahami, sedang Agung Sedayu bagiku mempunyai sikap dan pandangan hidup yang lebih sesuai dengan ketinggian ilmu yang bakal dimiliki dan dikembangkannya.”

Namun Kiai Gringsing pun menyadari, bahwa Agung Sedayu pun mempunyai cacat jiwani. Keragu-raguan dan ketidak-pastiannya akan dapat mengganggunya, tetapi yang ada padanya, masih jauh lebih cerah dari yang nampak pada Swandaru.

Ketika Agung Sedayu menunggu senja, duduk di serambi gandok padepokan kecilnya, maka Ki Waskita pun mendekatinya. Sejenak mereka berbincang mengenai sawah dan ladang. Namun percakapan itu pun kemudian semakin menjurus pada maksud Ki Waskita.

“Aku akan mengajakmu barang satu dua pekan,” berkata Ki Waskita.

Agung Sedayu mengerutkan keningnya. Katanya, “Apakah guru akan mengijinkan?”

“Aku sudah berbicara dengan gurumu,” jawab Ki Waskita, “aku bermaksud menunjukkan kepadamu sesuatu yang barangkali penting bagimu. Bagi bekal hidupmu.”

Agung Sedayu menarik nafas dalam-dalam. Sementara Ki Waskita berkata selanjutnya, “Ternyata bahwa duniamu untuk sementara memang menjadi buram karena dendam dan kebencian. Yang terjadi adalah di luar kehendakmu dan di luar kuasamu untuk menolak.”

“Ya, Ki Waskita,” Agung Sedayu menundukkan kepalanya.

“Dendam itu selalu membayangimu, sebagaimana membayangi Raden Sutawijaya dan Pangeran Benawa,” Ki Waskita berhenti sejenak. Lalu, “Namun mereka adalah orang-orang yang memiliki ilmu yang pilih tanding.”

Agung Sedayu mengangguk-angguk. Ia menyadari, bahwa Ki Waskita bukannya tidak mempunyai maksud tertentu dengan kata-katanya itu. Sebagai seorang perasa, Agung Sedayu pun segera menangkap, bahwa Ki Waskita bermaksud mengatakan kepadanya, agar ia mempersiapkan diri untuk menghadapi segala kemungkinan dengan memperdalam ilmunya, sehingga setidak-tidaknya tidak terpaut terlalu banyak dari kedua orang anak muda itu.

Sebenarnya, bahwa Agung Sedayu tidak dapat menjajagi, betapa tingginya ilmu Raden Sutawijaya. Ia adalah seorang anak muda yang terlalu sering mesu diri, menempa ilmunya sehingga melampaui kebanyakan orang.

Sedangkan Pangeran Benawa adalah seorang anak muda yang ajaib. Yang terlempar dari dunianya oleh kekecewaan yang mendalam. Namun ia adalah seorang anak muda yang memiliki ilmu tiada taranya. Agung Sedayu sendiri telah menyaksikan, bagaimana Pangeran Benawa pernah membunuh dua bersaudara dari Pesisir Endut.

Di luar sadarnya, Agung Sedayu telah melihat ke dirinya sendiri. Yang terakhir ia telah bertempur melawan saudara dari kedua kakak beradik dari Pesisir Endut yang telah dibunuh oleh Pangeran Benawa.

“Apakah dengan demikian, aku sudah pantas menyejajarkan diri di samping kedua anak muda itu?” pertanyaan itu tiba-tiba saja telah tumbuh di hatinya.

Sebuah kebanggaan memang membersit di hatinya. Bagaimanapun juga, Agung Sedayu adalah seorang yang dikehendaki atau tidak, telah sering terlibat dalam pertempuran melawan orang-orang berilmu tinggi. Karena itulah, maka kemampuan dan tingkat ilmu kanuragan masih juga merupakan kebanggaan baginya.

Namun dalam pada itu, tiba-tiba saja terkilas wajah Rudita. Wajah yang jernih dan cerah. Secerah wajah-wajah anak-anak yang sama sekali tidak tersentuh noda-noda hitamnya kehidupan.

“Ah,” tiba-tiba saja Agung Sedayu berdesah. Namun ia telah terperosok jauh ke dalam lingkaran dendam kebencian, yang seakan-akan tidak berujung dan berpangkal seperti sebuah lingkaran.

Agung Sedayu menarik nafas dalam-dalam, ketika Ki Waskita bertanya, “Apakah kau siap untuk berangkat dalam waktu dekat?”

Sejenak Agung Sedayu berpikir. Jawabnya kemudian, “Aku siap, Ki Waskita. Tetapi bagaimana dengan Glagah Putih. Aku kira ia ingin sekali untuk ikut serta dalam perjalanan ini. Setiap kali ia selalu minta, agar ia diijinkan untuk ikut dalam setiap perjalanan.”

Ki Waskita mengangguk-angguk, “Bagaimana dengan kau? Jika kau tidak berkeberatan, aku pun tidak berkeberatan. Selebihnya, bagaimana dengan Ki Widura?”

Agung Sedayu termenung sejenak. Memang ada keinginannya untuk mengajak adik sepupunya itu. Perjalanan yang agak panjang akan membuatnya mengenal lingkungan yang lebih luas. Namun dengan demikian, ia mempunyai pertanggungan jawab yang lebih berat. Glagah Putih sendiri adalah seorang anak muda yang baru dalam olah kanuragan. Meskipun ia memiliki dasar yang baik, tetapi yang sudah diserapnya masih belum terlalu banyak.

“Aku akan minta pertimbangan guru dan paman Widura,” berkata Agung Sedayu kemudian, “jika keduanya tidak mengijinkan, maka aku tidak akan membawanya, meskipun ia minta.”

“Baiklah, mintalah petunjuk-petunjuk mereka. Kita akan berangkat besok pagi.”

“Besok pagi?” Agung Sedayu mengulangi, “begitu cepat?”

“Aku sudah terlalu lama di sini.”

“Baiklah, Ki Waskita. Aku juga akan minta diri kepada Sabungsari, agar ia tidak kecewa, bahwa ia tidak dapat menjumpai aku jika ia datang kemari. Apalagi jika aku pergi bersama Glagah Putih.”

Tiba-tiba saja wajah Ki Waskita menjadi buram. Sekilas terbayang kembali isyarat yang pernah dilihatnya tentang anak muda yang bernama Sabungsari itu. Namun yang akhirnya diragukannya sendiri.

Meskipun demikian, Ki Waskita itu pun berkata, “Aku kira tidak perlu, Agung Sedayu. Biarlah Kiai Gringsing atau Ki Widura mengatakan kepadanya, bahwa kau sedang menempuh suatu perjalanan. Aku pun tidak sependapat jika mereka yang tinggal akan memberitahukan, kemana kau pergi untuk satu dua pekan mendatang.”

“Kenapa?” Agung Sedayu menjadi heran, “ia sering datang ke padepokan ini. Sikapnya selama ini baik kepadaku dan kepada Glagah Putih.”

“Agung Sedayu,” berkata Ki Waskita bersungguh-sungguh, “jika aku ingin mengajakmu pergi untuk satu dua pekan itu, tentu aku mempunyai maksud tertentu. Aku kira kau sudah mengerti. Karena itu, maka kepergianmu sebaiknya tidak perlu diketahui oleh orang-orang yang tidak berkepentingan, meskipun ia sahabat baik bagimu.”

Agung Sedayu termangu-mangu sejenak. Ia tidak mengerti maksud Ki Waskita.

Karena itu, maka Ki Waskita yang melihat keragu-raguan di wajah Agung Sedayu mencoba menjelaskan, “Agung Sedayu. Biarlah kepergianmu kali ini merupakan persoalan perguruanmu, bahkan lebih sempit lagi, karena aku dan juga Kiai Gringsing tidak menyertakan saudara seperguruanmu sendiri. Bahkan aku berniat untuk tidak memberitahukan hal ini kepada siapapun juga selain kau sendiri, dan jika dikehendaki dan diijinkan, Glagah Putih.”

Agung Sedayu mengangguk-angguk. Sebenarnya ia merasa kecewa, bahwa ia tidak diperbolehkan untuk minta diri kepada sahabatnya, yang dianggapnya seorang anak muda yang baik, yang memerlukan seseorang untuk mengisi kekosongan hidupnya, karena ia telah menjadi jemu kepada lingkungannya.

Namun, Agung Sedayu pun tidak dapat melanggar pesan Ki Waskita. Ia sadar, bahwa niat Ki Waskita membawanya tentu ada hubungannya dengan perkembangan terakhir yang terjadi atas dirinya.

“Nah, mulailah mempersiapkan diri. Katakan kepada gurumu, kepada pamanmu dan kepada Glagah Putih. Jangan kau ajak anak itu jika ia tidak menyatakan atas kehendaknya sendiri. Baru kemudian ia harus minta diri kepada ayahnya dan persetujuan Kiai Gringsing.”

Agung Sedayu pun kemudian bangkit dan melangkah mencari gurunya untuk minta pertimbangannya.

Tidak banyak persoalan yang dihadapi Agung Sedayu dari gurunya, karena ternyata Kiai Gringsing telah mengetahui segala-galanya. Kiai Gringsing hanya memberikan beberapa pesan, bahwa perjalanannya itu bukan perjalanan tamasya.

Ketika Agung Sedayu menyinggung Glagah Putih, maka Kiai Gringsing berkata, “Kau harus minta ijin pamanmu. Ki Widura. Tetapi jika anak itu tidak berkeras untuk ikut, biarlah ia tinggal bersama kami di padepokan ini.”

Agung Sedayu mengangguk. Ia menjadi ragu-ragu, menghadapi Glagah Putih. Sebenarnya, ia ingin juga seorang kawan di perjalanan pulang untuk kawan berbincang. Namun jika Glagah Putih ikut bersamanya, maka ia akan berada di bawah tanggung jawabnya.

“Aku kira tidak akan banyak rintangan di sepanjang jalan,” berkata Agung Sedayu kepada diri sendiri. Namun ketika teringat olehnya dendam yang sudah dinyatakannya dimana-mana, maka ia menjadi bimbang.

Hampir di luar sadarnya, ketika Agung Sedayu justru menyampaikan niatnya untuk pergi bersama Ki Waskita lebih dahulu kepada Glagah Putih sebelum ia bertemu dengan pamannya. Ki Widura. Seperti yang diduganya, dengan serta merta Glagah Putih berkata, “Aku ikut dengan, Kakang. Kali ini harus.”

“Siapa yang mengharuskan, Glagah Putih?” bertanya Agung Sedayu.

Glagah Putih termangu-mangu sejenak. Namun kemudian jawabnya, “Aku. Aku yang mengharuskan aku sendiri untuk ikut.”

“Jika aku berkeberatan.”

“Terserah kepada Kakang Agung Sedayu. Tetapi aku akan mengikuti kemana saja Kakang pergi. Aku ingin sekali melihat-lihat daerah yang agak jauh.”

Agung Sedayu memandangi wajah adiknya yang nampak bersungguh-sungguh. Anak itu tentu akan sangat kecewa jika kali ini ia tidak diijinkan untuk ikut pergi bersamanya.

Karena itu, maka Agung Sedayu berkata, “Glagah Putih, Semuanya tergantung kepada paman Widura. Jika paman mengijinkan, aku pun tidak berkeberatan. Tetapi kau harus menyadari, bahwa mungkin perjalanan, yang nampaknya akan menyenangkan, itu akan menjadi perjalanan yang berat. Di perjalanan pulang, kita hanya akan berdua saja. Kau harus menyadari, apa yang pernah terjadi atas kita. Terutama atas aku sendiri.”

Glagah Putih mengangguk-angguk. Katanya, “Dimana pun akan sama saja bahayanya. Jika orang-orang berniat buruk, maka ia dapat menyergap kita bukan saja di perjalanan, tetapi dapat dilakukan di sawah, di ladang atau di pategalan. Saat-saat kita menunggui sawah, atau saat-saat kita memetik buah-buahan.”

Agung Sedayu mengangguk-angguk pula. Apalagi ketika Glagah Putih berkata, “Justru di padepokan ini mereka akan dapat segera menemukan kita. Agak berbeda dengan di perjalanan, karena kita dalam keadaan bergerak.”

“Baiklah,” berkata Agung Sedayu, “aku akan menemui paman Widura. Semuanya terserah kepada paman.”

“Aku ikut menemui ayah, agar aku dapat menjelaskan kepada ayah, bahwa aku bukan kanak-kanak lagi.”

Agung Sedayu tidak dapat menolak. Berdua mereka mencari Ki Widura untuk menyampaikan maksudnya.

Ketika Ki Widura mendengar rencana kepergian Agung Sedayu yang akan diikuti oleh Glagah Putih, maka Ki Widura hanya dapat menarik nafas dalam-dalam. Ia mengerti kepentingan kepergian Agung Sedayu. Namun nampaknya Glagah Putih benar-benar ingin ikut bersamanya.

“Perjalanan itu bukannya perjalanan untuk sekedar menengok sanak kadang,” berkata Ki Widura, “seandainya demikian pun, maka kau harus mengetahui Glagah Putih, bahwa banyak hal yang dapat terjadi di perjalanan.”

“Aku mengerti, Ayah. Banyak orang yang tidak senang terhadap Kakang Agung Sedayu, karena Kakang Agung Sedayu mereka anggap selalu merintangi maksud-maksud buruk mereka. Tetapi aku pun tahu, bahwa dimana pun juga, bahaya itu akan dapat menerkam kita.”

Ki Widura ternyata tidak dapat mencegah Glagah Putih. Setiap usahanya untuk menahan agar Glagah Putih tetap tinggal di padepokan, ada saja dalih yang dapat diberikan oleh anak itu.

“Glagah Putih,” berkata Ki Widura kemudian, “jika kau memang sudah menyadari, bahwa perjalanan itu merupakan perjalanan yang berat, maka terserahlah kepadamu untuk menentukan.”

“Aku akan pergi, Ayah,” berkata Glagah Putih dengan pasti.

Ki Widura hanya dapat mengangguk-angguk sambil berkata, “Tetapi berhati-hatilah di perjalanan. Perjalanan kalian adalah perjalanan yang banyak mengandung kemungkinan. Saat kalian berangkat, maka kalian akan bersama dengan Ki Waskita. Tetapi di perjalanan kembali ke padepokan ini, kalian hanya akan berdua saja.”

“Tidak apa-apa, Ayah,” jawab Glagah Putih dengan serta merta.

Agung Sedayu menarik nafas dalam-dalam. Ia mengerti maksud Ki Widura yang memperingatkannya, bahwa banyak persoalan yang sedang dihadapi oleh Agung Sedayu. Sekilas terbayang orang dari Pesisir Endut yang menuntut kematian kedua saudaranya, bukan kepada Pangeran Benawa, tetapi justru kepadanya. Teringat pula oleh Agung Sedayu, beberapa orang yang mencarinya dan menyusulnya sampai ke Mataram.

Karena itu, maka agaknya benar pesan Ki Waskita, untuk tidak mengatakan kepada siapa pun, kemana ia akan pergi. Juga kepada Sabungsari, karena mungkin sekali Sabungsari akan menceriterakan kepada orang-orang lain yang akhirnya sampai ke telinga orang-orang yang mendendamnya.

Agaknya setelah Ki Widura tidak dapat menahan Glagah Putih, tidak ada lagi yang akan dibicarakannya. Yang dilakukan oleh Agung Sedayu dan Glagah Putih kemudian, adalah mempersiapkan diri untuk satu perjalanan yang cukup panjang bagi Glagah Putih, namun cukup mengandung banyak kemungkinan bagi Agung Sedayu.

Di malam hari menjelang keberangkatan Ki Waskita bersama Agung Sedayu dan Glagah Putih, orang-orang tua di padepokan kecil itu masih sempat untuk berbicara tentang beberapa hal. Tentang masa depan dan tentang perkembangan keadaan.

Ketika malam itu Sabungsari datang berkunjung ke padepokan kecil itu, Agung Sedayu sama sekali tidak mengatakan, bahwa besok pagi-pagi ia akan pergi bersama Ki Waskita. Glagah Putih pun telah dipesannya pula untuk tidak mengatakan apa pun juga tentang rencana kepergian mereka.

Karena itu, maka Sabungsari sama sekali tidak mengira, bahwa Agung Sedayu akan meninggalkan padepokan itu untuk beberapa hari lamanya.

Demikianlah, ketika matahari terbit di pagi hari berikutnya, maka tiga ekor kuda telah siap menempuh perjalanan. Mereka membawa sedikit bekal di perjalanan. Meskipun perjalanan itu bukannya perjalanan yang sangat panjang, tetapi bagi Glagah Putih akan merupakan pengalaman baru di saat-saat umurnya menjelang dewasa.

Kiai Gringsing dan Ki Widura mengantar mereka sampai ke regol halaman. Kemudian melepas mereka pergi dengan berat hati. Terutama karena Glagah Putih ikut bersama mereka.

Tetapi mereka tidak dapat menganggap Glagah Putih sebagai kanak-kanak untuk seterusnya, dan membiarkannya selalu berada di dalam pengawasan orang tua. Pada suatu saat, ia harus merintis jalan bagi kedewasaannya. Bukan saja umurnya, tetapi juga sikap dan pandangan hidupnya.

Karena itu, maka betapapun beratnya. Glagah Putih dilepaskannya pula pergi bersama Agung Sedayu dan Ki Waskita, meskipun Ki Widura sadar, bahwa saat mereka kembali, maka Glagah Putih hanya akan dikawani oleh Agung Sedayu saja.

Demikianlah, maka sejenak kemudian ketiga ekor kuda itu pun telah berderap menyusuri jalan-jalan bulak yang panjang. Dalam cahaya matahari pagi, udara terasa segar menyusup sampai ke tulang.

Di perjalanan itu, Glagah Putih nampak gembira sekali. Kudanya kadang-kadang berlari mendahului Agung Sedayu dan Ki Waskita. Namun kemudian di tengah-tengah bulak ia berhenti untuk menunggu.

Tidak ada hambatan apa pun pada saat mereka berangkat. Agar perjalanan mereka merupakan perjalanan yang terasa panjang, maka sengaja mereka tidak singgah di Mataram.

Ki Waskita dan Agung Sedayu ternyata dengan sengaja memberikan kesan perjalanan yang sebenarnya. Karena itu, maka mereka telah merencanakan untuk bermalam di perjalanan. Bermalam di perjalanan akan merupakan suatu pengalaman tersendiri, meskipun jalan menuju ke Menoreh merupakan jalan yang ramai.

Tetapi Ki Waskita dan Agung Sedayu sengaja memilih tempat bermalam yang agak asing. Bukan di banjar-banjar Kademangan atau di tempat sanak-kadang yang dilalui sepanjang perjalanan, tetapi Ki Waskita telah membawa Glagah Putih lewat jalan setapak yang melewati tepi hutan di lereng Gunung Merapi.

Jalan memang bertambah panjang. Tetapi hal itu dilakukan dengan sengaja oleh Ki Waskita dan Agung Sedayu. Mereka menempuh jalan yang semakin sulit, dan bahkan kadang-kadang kuda mereka seakan-akan hanya merangkak lambat seperti seekor siput.

“Kita terpaksa bermalam di perjalanan,” berkata Ki Waskita.

Dengan serta merta Glagah Putih menyahut, “Menyenangkan sekali.”

Agung Sedayu menarik nafas dalam-dalam. Ia melihat Glagah Putih jauh berbeda dari dirinya sendiri pada umur yang sama. Pada saat ia masih sangat muda, maka Agung Sedayu tidak lebih dari seorang penakut yang menggigil melihat daun bergerak ditempuh angin digelapnya malam. Bahkan suara cengkerik didengarnya seolah-olah suara hantu, yang sedang meringkik mentertawakannya.

Tetapi Glagah Putih adalah seorang anak muda yang lain. Sejak masih kanak-kanak, seolah-olah tidak ada yang ditakutinya. Ia memiliki kemauan yang keras dan ketekunan atas sesuatu minat.

Bagi Glagah Putih, bermalam dimana pun bukan merupakan persoalan yang perlu dicemaskan. Ia tidak takut kepada hantu. Tidak takut kepada binatang buas dan tidak takut orang-orang yang ingin merampok sekalipun.

Dalam pada itu, ketika gelap malam mulai turun, sementara mereka yang sedang dalam perjalanan itu mempersiapkan tempat untuk bermalam, maka di padepokan yang ditingalkan, telah terjadi sedikit keributan.

Sabungsari yang datang mencari Agung Sedayu dan Glagah Putih telah mendapat jawaban yang sangat tidak masuk akal. Beberapa anak muda yang ada di padepokan itu mengatakan, bahwa mereka tidak tahu, kemana Agung Sedayu dan Glagah Putih pergi.

“Apakah perjalanan mereka merupakan perjalanan rahasia?” bertanya Sabungsari.

“Kami tidak tahu, Sabungsari. Benar-benar tidak tahu. Kami hanya melihat mereka berangkat. Hanya itu. Ketika hal itu kami tanyakan kepada Kiai Gringsing dan Ki Widura, mereka pun menggelengkan kepala sambil menjawab. Kami tidak tahu tujuan mereka. Perjalanan yang akan mereka tempuh adalah sekedar perjalanan untuk mengetahui keadaan di luar padepokan tanpa tujuan tertentu.”

“Mustahil. Aku akan menjumpai Kiai Gringsing,” geram Sabungsari.

Tetapi jawaban Kiai Gringsing pun tidak memuaskan mereka. Kiai Gringsing tidak mau menunjukkan, kemana ketiga orang itu pergi.

Seperti yang dikatakan oleh anak-anak muda yang tinggal di padepokan itu, maka jawab Kiai Gringsing, “Sebuah perjalanan tamasya. Glagah Putih dan Agung Sedayu merasa terlalu letih saat mereka berada di Sangkal Putung. Karena itu, mereka akan mencari udara baru, barang satu dua hari.”

Sabungsari sama sekali tidak percaya. Tetapi ia tidak dapat berbuat apa-apa terhadap Kiai Gringsing. Guru Agung Sedayu yang tentu tidak akan mudah dipaksanya untuk mengatakan sesuatu yang tidak ingin dikatakannya.

Karena itu, maka ketika kembali dari padepokan kecil itu, Sabungsari tidak langsung pergi ke baraknya. Ia pergi ke tempat beberapa orang pengikutnya, yang tinggal pada seorang kenalan dari salah seorang pengikutnya itu.

“Aku tidak mau kehilangan Agung Sedayu!” Sabungsari membentak-bentak. Lalu, “Cari anak itu sampai ketemu.”

Para pengikutnya termangu-mangu. Sejenak mereka hanya dapat saling berpandangan.

“He, apakah salah seorang dari kalian tidak ada yang melihat anak itu pergi?” Sabungsari bertanya sambil berjalan mengelilingi ruangan, sementara para pengikutnya duduk sambil menundukkan kepalanya.

“Kita semuanya adalah orang-orang yang dungu. Sekian lamanya aku menunggu kesempatan itu. Dan kini aku telah melepaskan kesempatan yang sudah ada di tangan.”

“Sabungsari,” salah seorang pengikutnya mencoba memberanikan diri untuk memberikan keterangan, “kau sama sekali tidak memberikan gambaran ataupun petunjuk, bahwa ada kemungkinan Agung Sedayu meninggalkan padepokannya, sehingga kami telah melepaskan pengawasan atasnya. Kami mengira, bahwa akan ada persoalan lagi yang harus kami lakukan, setelah kau berhasil berkenalan dan kemudian menempatan diri sebagai sahabatnya.”

“Itulah kedunguan kita. Aku kira Agung Sedayu-lah yang dungu, karena ia tidak mencurigai aku. Tetapi ternyata, dengan diam-diam ia berhasil lepas dari pengawasanku. Jika aku mengira, ia telah lengah karena ia menerima aku, maka sebenarnyalah aku yang lengah, karena menganggap anak muda itu lengah,” geram Sabungsari.

“Jika kehendakmu, kami harus mencarinya, maka kami akan mencari,” berkata pengikutnya itu.

“Tentu. Aku harus menemukannya.”

“Hidup atau mati?” bertanya pengikutnya.

“Kau gila. Kau kira bahwa kau dapat menangkapnya hidup atau mati?” geram Sabungsari, “Jika Agung Sedayu menyadari kalian mengikutinya seandainya kalian telah menemukannya, maka kalianlah yang harus menerima nasib kalian. Jika Agung Sedayu mempunyai belas kasihan, maka kalian akan hidup. Jika kebetulan hatinya sedang panas, maka kalian semuanya akan mati, hancur tersayat ujung cambuknya.”

Para pengikut Sabungsari itu pun terdiam. Mereka mengerti, betapa dahsyatnya anak muda dari Jati Anom itu. Dan mereka pun menyadari, bahwa kemampuan mereka sangat meragukan untuk menangkap Agung Sedayu.

Namun salah seorang dari mereka berkata di dalam hati, “Kami akan dibunuhnya jika kami hanya seorang diri atau dua orang saja. Tetapi berlima, kami mempunyai kekuatan yang cukup.”

Meskipun demikian, pengikut Sabungsari itu tidak mengatakannya.

“Nah, berangkatlah malam ini. Kalian harus menemukannya. Tugas kalian adalah sekedar mengikuti dan mengawasi kemana anak itu pergi. Besok seorang dari kalian harus menemui aku untuk memberikan laporan. Seorang di hari berikutnya sementara orang pertama harus menyusul kawan-kawannya. Orang ketiga di hari berikutnya lagi, sehingga dengan demikian aku akan dapat selalu mengatahui, dimana kalian berada.”

Tidak seorang pun yang menyahut. Jika Sabungsari sudah menjatuhkan perintah, mereka hanya dapat melakukan, meskipun mereka harus menggerutu di dalam hati.

Tugas yang harus mereka lakukan itu pun merupakan tugas yang berat. Mencari Agung Sedayu yang pergi tanpa diketahui arahnya. Mereka harus mencari keterangan dari orang-orang tanpa menimbulkan kecurigaan mereka.

“Berangkatlah malam ini,” berkata Sabungsari kemudian, “jangan kehilangan waktu terlalu banyak.”

Pengikut-pengikutnya menjadi berdebar-debar. Salah seorang dari mereka mencoba memberanikan diri untuk berkata, “Jika kita berangkat malam ini, maka arah perjalanan kita benar-benar tanpa perhitungan. Tetapi jika kita menunggu siang hari, mungkin kita dapat bertanya kepada satu dua orang anak-anak muda Jati Anom, dengan tidak menimbulkan kecuriagaan, barangkali ada di antara mereka melihat arah perjalanan Agung Sedayu dan Glagah Putih.”

“Gila. Mereka tentu menuju ke Tanah Perdikan Meroreh, karena mereka pergi bersama Ki Waskita. Mungkin mereka menempuh jalan terdekat. Mungkin mereka melewati Mataram. Tetapi mungkin mereka mencari jalan lain yang jejaknya sulit untuk diikuti.”

“Dan kami harus menempuh jalan yang mana.”

“Gila. Cari sampai ketemu. Kalian dapat langsung menuju ke Tanah Perdikan Menoreh. Kalian dapat menunggu di daerah itu. Kalian harus mencari jalur jalan menuju ke padukuhan Ki Waskita, yang terpisah dari Tanah Perdikan Menoreh itu sendiri.”

“Apakah pasti Agung Sedayu akan pergi ke sana?”

“Pertanyaan yang bodoh sekali. Mereka pergi bersama Ki Waskita. Jika sampai dua hari kalian tidak menemukan Agung Sedayu di perjalanan menuju rumah Ki Waskita, kalian cari saja rumahnya. Jika kalian tidak menemukan mereka di rumah itu, maka kalian harus menyusuri jalan ke rumah Ki Gede Menoreh dan ke Mataram. Mungkin mereka singgah di sana. Baru jika pada hari kelima kalian tidak menemukan, maka aku sendiri akan mencari. Aku akan minta ijin beberapa hari dari Untara. Jika Untara tidak mengijinkan, maka ia-lah yang akan aku bunuh sebagai pengganti Agung Sedayu. Membunuh Untara agaknya lebih mudah dari membunuh Agung Sedayu, yang masih ditunggui gurunya itu.”

Tidak seorang pun yang bertanya lagi. Mereka hanya tinggal melaksanakan perintah itu. Dapat atau tidak dapat.

Karena itu, maka ketika mereka masih belum beringsut, Sabungsari membentak, “He! Kalian menunggu apa lagi? Kalian belum makan, atau kalian ketakutan?”

Pengikut-pengikutnya itu pun segera berdiri. Mereka meninggalkan ruangan itu, menuju ke gedogan kuda, setelah mereka membenahi diri dan mengemasi barang-barang yang akan mereka bawa serta, termasuk senjata-senjata mereka.

Kepada penghuni rumah itu, para pengikut Sabungsari itu membisikkan tugas yang harus mereka lakukan, dengan pesan, “Pegang rahasia ini baik-baik, agar kau tidak terlibat dalam kesulitan.”

Sejenak kemudian, maka beberapa ekor kuda telah meninggalkan halaman rumah itu. Mereka harus berhati-hati dan tidak menimbulkan kecurigaan. Mereka tidak serentak melewati gerbang padukuhan. Dua orang lewat gerbang yang satu. seorang yang lain dan dua orang lewat lorong yang lain lagi.

Dalam pada itu, Sabungsari menjadi sangat gelisah. Ia benar-benar merasa kehilangan. Sudah sepantasnya ia melepaskan dendamnya atas Agung Sedayu. Ia tidak rela Agung Sedayu dibunuh oleh pihak yang manapun juga, yang juga mendendamnya. Ia sendiri ingin membunuh dengan tangannya, untuk menunjukkan bahwa perguruan Telengan tidak kalah dari perguruan Dukun Tua itu.

Tetapi tiba-tiba saja Agung Sedayu pergi meninggalkan padepokannya tanpa diketahuinya.

“Mungkin ia mengerti, bahwa aku bermaksud membunuhnya, sehingga ia melarikan diri,” geram Sabungsari.

Teringat olehnya prajurit Pajang yang pernah diancamnya, agar ia mendapat kesempatan pertama untuk membunuh Agung Sedayu.

“Apakah orang itu yang memberitahukan rahasia ini?” gumam Sabungsari, “Tetapi tentu tidak. Barangkali mereka justru berterima kasih kepadaku, jika aku berhasil membunuh Agung Sedayu.”

Dengan gejolak perasaan yang bagaikan meretakkan dadanya. Sabungsari kembali ke baraknya. Tidak seperti biasanya, bahwa ia termasuk seorang prajurit muda yang ramah dan mudah bergaul, maka ia pun langsung menuju ke pembaringannya.

“He, Sabungsari,” bertanya seorang kawannya, “nampaknya kau sangat lesu?”

Sabungsari mengangkat wajahnya. Kemudian ia mencoba tersenyum sambil menjawab, “Tidak apa-apa. Aku hanya lelah.”

Kawannya duduk di bibir pembaringannya. Hampir berbisik ia bertanya, “He, apakah gadis itu tidak ada di rumah, atau sedang pergi dengan laki-laki lain?”

“Gila!” Sabungsari membalikkan tubuhnya dan menyembunyikan wajahnya di tangannya yang bersilang. “Aku tidak mau datang lagi ke rumahnya. Aku lihat, ada beberapa anak muda yang datang bergilir.”

Kawannya tertawa. Sabungsari pun tertawa pula. Namun ketika kawannya itu telah berdiri dan melangkah pergi, ia mengumpat dengan kasarnya, meskipun hanya dapat didengarnya sendiri.

Sementara itu, para pengikutnya telah berada dalam perjalanan. Mereka telah berkumpul kembali di luar Kademangan Jati Anom.

“Pekerjaan gila,” geram salah seorang dari mereka.

“Jika kita berangkat di siang hari, kita akan dapat bertanya kepada seseorang di padukuhan-padukuhan sebelah, ke arah mana anak itu pergi. Dengan demikian, kita mendapat petunjuk, setidak-tidaknya arah perjalanan mereka.”

“Kita dapat bertanya kepada anak-anak muda yang berada di gardu-gardu,” desis yang seorang.

“Mereka akan mencurigai kita, dan beramai-ramai menangkap kita.”

“He, kau takut melawan anak-anak kademangan?”

“Jangan berpura-pura tidak tahu. Mereka adalah pengawal-pengawal yang terlatih. Meskipun mungkin aku seorang diri dapat melawan dua atau tiga orang pengawal, tetapi dengan isyarat titir, maka jumlah mereka akan menjadi ratusan dalam sekejap. Nah, apakah kau mampu melawan mereka seluruhnya?”

Kawannya tidak menjawab. Tetapi ia dapat membayangkan, apakah yang akan terjadi seandainya terdengar suara titir. Apalagi jika kemudian prajurit Pajang yang sedang meronda di tlatah Jati Anom dan sekitarnya mendengar dan datang pula.

“Jika di antara mereka terdapat Sabungsari, maka ia-lah yang akan membunuh kita, pada saat itu juga,” geram salah seorang dari kelima orang pengikut Sabungsari itu.

Mereka pun kemudian terdiam. Mereka memang tidak mungkin bertanya kapada anak-anak muda itu di gardu-gardu.

“Kita akan pegi ke Tanah Perdikan Menoreh. Hampir setiap orang mengenal Agung Sedayu di Tanah Perdikan Menoreh. Kita akan bertanya kepada anak-anak muda di sana, apakah mereka melihat kedatangan Agung Sedayu,” berkata salah seorang dari mereka.

“Apakah anak-anak muda Tanah Perdikan Menoreh tidak mencurigai kita, yang belum pernah mereka kenal?” bertanya kawannya yang lain.

“Tentu kita akan berhati-hati. Kita tak akan berlima berbondong-bondong mendatangi anak-anak muda Tanah Perdikan Menoreh. Tetapi satu atau dua orang saja mendatangi anak-anak muda Tanah Perdikan Menoreh. Yang lain menunggu di tempat yang sudah ditentukan.”

Kawan-kawannya mengangguk-angguk. Itu adalah jalan yang paling baik, yang dapat mereka lakukan dengan kemungkinan pahit yang paling kecil.

Karena itu, maka mereka tidak menunggu lagi. Mereka pun segera memacu kuda mereka menuju ke Tanah Perdikan Menoreh.

“Kita tidak akan melalui Mataram,” berkata seorang yang paling tua di antara mereka, “kita akan menempuh jalan memintas, meskipun melalui jalan-jalan sempit dan pinggir-pinggir hutan.”

Demikianlah, meskipun malam menjadi semakin gelap, namun mereka meneruskan perjalanan lewat bulak-bulak panjang dan padukuhan-padukuhan. Namun mereka tetap berhati-hati. Mereka tidak berkuda bersama-sama. Mereka membagi dirinya menjadi dua kelompok yang berjarak beberapa puluh langkah.

Meskipun hal itu agaknya masih akan menarik perhatian juga, tetapi kemungkinannya telah banyak dikurangi.

Sementara itu, Agung Sedayu, Ki Waskita dan Glagah Putih ternyata mendapat tempat beristirahat yang baik, meskipun merupakan suatu pengalaman baru bagi Glagah Putih. Mereka bergantian tidur barang sekejap. Sementara mereka menyalakan perapian yang tidak begitu besar untuk mengusir nyamuk, dan menghangatkan tubuh.

Ternyata Glagah Putih benar-benar seorang anak muda yang memiliki sifat dan watak yang berbeda dengan Agung Sedayu di masa lampaunya. Glagah Putih sama sekali tidak dapat digetarkan oleh gelapnya malam di hutan, yang belum pernah dikenalnya. Di saat ia harus berjaga-jaga, maka ia duduk dengan tenang di sebelah perapian. Sekali-kali ia berdiri dan berjalan mondar-mandir tanpa perasaan gentar.

Namun demikian, ternyata pada saat Glagah Putih yang mendapat giliran, Agung Sedayu dan Ki Waskita tidak sampai hati melepaskannya. Meskipun mereka nampaknya memejamkan matanya, namun sebenarnya mereka tidak tertidur. Hanya pada saat Agung Sedayu bertugas, Ki Waskita sempat tidur, dan sebaliknya.

Akhirnya, malam yang gelap dan dingin itu pun berlalu. Ketika matahari mulai membayang dengan warna-warna merah di Timur, ketiga orang yang bermalam di pinggir hutan itu pun mulai mengemasi diri. Mereka mencari sumber air untuk mencuci muka, sebelum mereka siap untuk berangkat.

“Paman,” bertanya Glagah Putih kepada Ki Waskita, “apakah jarak ke Tanah Perdikan Menoreh masih jauh? Jalan ini terasa asing sekali. Bahkan mungkin tidak banyak orang yang mengenalnya.”

Ki Waskita tertawa. Katanya, “Bertanyalah kepada kakakmu.”

Glagah Putih memandang Agung Sedayu sejenak. Namun sebelum ia bertanya, Agung Sedayu menyahut, “Aku juga belum pernah melalui jalan ini, Glagah Putih. Aku sudah beberapa kali pergi ke Tanah Perdikan Menoreh. Tetapi jalan ini baru sekali ini aku kenal.”

Glagah Putih mengerutkan keningnya. Kembali ia memandang Ki Waskita sambil bertanya, “Apakah Paman juga belum pernah melihat dan melalui jalan ini?”

Ki Waskita tersenyum. Katanya, “Aku tentu sudah.”

“Jadi?”

“Kita sudah mendekati Kali Praga. Sebentar lagi kita menyeberang. Dan kita sudah berada di Tanah Perdikan Menoreh.”

“Sudah dekat sekali?”

“Ya.”

“Jadi kenapa kita harus bermalam? Dan rasa-rasanya perjalanan kita di hari pertama sangat lamban. Jika kemarin kita berjalan agak cepat, maka aku kira kita tidak perlu bermalam di perjalanan yang tidak terlalu jauh ini.”

“Tetapi, bukankah bermalam di perjalanan, apalagi di pinggir hutan, sangat menyenangkan? Kita memang dapat singgah di sebuah padukuhan dan minta ijin kepada Ki Demang, agar kita diperbolehkan bermalam di banjar padukuhan. Namun kau tidak akan pernah mengalami dikerumuni nyamuk semalam suntuk di pinggir hutan.”

Glagah Putih mengangguk-angguk. Ia sadar, bahwa Ki Waskita dan Agung Sedayu sengaja mengajaknya bermalam di pinggir hutan yang sepi dan lembab itu.

“Matikan sisa-sisa perapianmu,” berkata Ki Waskita.

“Biarkan saja, Paman. Nanti akan mati juga.”

Tetapi Ki Waskita menggeleng. Katanya, “Jangan, Glagah Putih. Jika satu dua helai daun kering terbang ke dalam api, kemudian ditimbuni oleh daun-daun kering yang lain, maka apimu yang nampaknya sudah mati itu akan dapat menumbuhkan bencana. Jika hutan mulai terbakar, maka akan sangat sulit untuk menguasainya, sehingga mungkin sekali akan makan waktu berpekan-pekan dan menelan hutan yang cukup luas.”

Glagah Putih mengangguk-angguk sambil melangkah ke perapian yang nampaknya memang sudah padam. Tetapi untuk meyakinkannya, maka perapian itu pun segera ditimbuninya dengan tanah yang basah oleh embun.

Sejenak kemudian, ketiganya telah siap. Ki Waskita menuntun kudanya di samping Glagah Putih sambil berkata, “Kita akan menyusuri Kali Progo.”

Glagah Putih mengerutkan keningnya, sementara Ki Waskita menjelaskan, “Kita akan mencari tempat penyeberangan. Mungkin tepian yang akan kami capai di sebelah tidak mempunyai getek yang dapat membawa kita ke seberang.”

“Bagaimana jika kita berenang saja?” bertanya Glagah Putih.

Ki Waskita dan Agung Sedayu yang mendengar pertanyaan itu pula tertawa. Sambil menepuk kudanya Ki Waskita berkata, “Bagaimana dengan kuda kita? Seandainya kita tanpa membawa seekor kuda pun, kita belum tentu dapat menyeberangi Kali Praga dengan berenang, karena arusnya yang deras. Jika Kali Praga itu sebuah belumbang yang luas, kita akan dengan senang hati menyeberang sambil berenang, meskipun kita harus menghindarkan diri dari kemungkinan adanya binatang buas di dalam air.”

Glagah Putih mengangguk-angguk. Tetapi ia tidak menjawab. Ia mulai membayangkan seekor buaya yang ganas di tepian yang basah dan berumput ilalang setinggi tubuh. Atau seekor ular sanca sebesar pohon kelapa dengan lidah terjulur.

Sejenak kemudian, mereka bertiga telah berada di punggung kuda yang berjalan tidak terlalu cepat. Mereka menyusuri jalan kecil yang semakin basah, karena mereka telah berada dekat sekali dengan Kali Praga.

Dalam pada itu, maka tiba-tiba saja Ki Waskita bertanya kepada Agung Sedayu, “Apakah kita akan singgah barang setengah hari di Tanah Perdikan Menoreh?”

Agung Sedayu mengerutkan keningnya. Jawabnya, “Terserah kepada Ki Waskita. Jika Ki Waskita menghendaki, aku tidak berkeberatan.”

“Aku kira lebih baik kita singgah, meskipun hanya sebentar. Kau sudah terbiasa pergi ke rumah Ki Gede, jika kau berada di Tanah Perdikan. Jika kali ini kau lewati Tanah Perdikan Menoreh tanpa singgah meskipun hanya sejenak, akan dapat menimbulkan berbagai pertanyaan di hati Ki Gede, yang sudah semakin tua dan kesepian. Orang tua kadang-kadang suka mengurai persoalan tanpa landasan. Meskipun kau tidak pernah memikirkan apa pun juga tentang Ki Gede, tetapi jika kau tidak singgah, maka akan timbul berbagai macam prasangka yang barangkali tidak beralasan sama sekali.”

Agung Sedayu sama sekali memang tidak berkeberatan, meskipun sekilas nampak wajah Prastawa yang gelap. Namun karena ia tidak merasa ada sesuatu persoalan, maka ia sama sekali tidak merasa segan untuk bertemu.

Dengan demikian, maka perjalanan mereka pun bukan saja melalui Tanah Perdikan Menoreh, tetapi mereka akan singgah barang sebentar di rumah Ki Gede.

Perjalanan mereka memang sudah tidak terlalu lama lagi. Ketika mereka sudah menyeberangi Kali Praga, maka mereka sudah berada di bulak-bulak persawahan Tanah Perdikan Menoreh yang subur, sesubur Kademangan Sangkal Putung, meskipun di saat terakhir Sangkal Putung nampak menjadi lebih hidup karena Swandaru yang bekerja keras untuk memperbaiki tataran kehidupan kademangannya.

Sementara itu, Ki Gede Menoreh nampaknya justru menjadi semakin lesu. Ia merasa sepi di rumahnya. Prastawa memang dapat memberikan suasana rumahnya lebih segar, jika kebetulan ia berada di rumah Ki Gede. Namun agaknya ada yang tidak sesuai bagi Ki Gede Menoreh pada sikap Prastawa. Prastawa memang nampak penuh gairah menghadapi masa-masa mudanya. Namun ia mempunyai sifat sifat yang kurang disenangi oleh Ki Gede Menoreh. Prastawa kadang-kadang nampak deksura dan kasar. Kekerasan hatinya sering menumbuhkan akibat yang kurang menyenangkan bagi anak-anak muda Tanah Perdikan Menoreh, meskipun kadang-kadang mereka tidak mengucapkan. Namun apabila satu dua orang di antara mereka berkumpul di gardu-gardu atau duduk-duduk di ujung padukuhan, di luar sadar telah terucapkan penyesalan mereka terhadap sikap Prastawa.

Bahkan tanpa sengaja, satu dua orang di antara mereka masih sering menyebut nama Agung Sedayu dan Swandaru. Mereka yang ikut bersama Ki Gede ke Sangkal Putung di saat Ki Sumangkar meninggal, sempat berceritera tentang apa yang telah terjadi di Sangkal Putung kepada kawan-kawan mereka.

“Swandaru berhasil membuat kademangannya bertambah subur,” desis salah seorang dari mereka.

Agaknya anak-anak muda Tanah Perdikan Menoreh menyadari, bahwa perkembangan Kademangan Sangkal Putung agaknya telah meloncat lebih maju dari Tanah Perdikan Menoreh.

Sementara itu, Agung Sedayu, Glagah Putih dan Ki Waskita telah menjadi semakin dekat. Beberapa orang anak muda telah melihat mereka, sehingga berlari-lari mereka menyongsong dan memberikan ucapan selamat.

“Kakang Agung Sedayu banyak di kenal orang di sini,” desis Glagah Putih.

“Ya, seperti terhadap anak muda tanah ini sendiri,” sahut Ki Waskita.

Glagah Putih mengangguk-angguk. Bahkan ia pun rasa-rasanya ikut berbangga, bahwa sambutan terhadap Agung Sedayu nampaknya sangat menyenangkan.

Ki Gede Menoreh terkejut, ketika seseorang memberitahukan kepadanya bahwa Agung Sedayu, Ki Waskita bersama seorang anak muda yang lain telah mendekati pintu gerbang.

“Swandaru?” bertanya Ki Gede.

“Bukan,” jawab orang itu.

Ki Gede tidak bertanya lagi, karena Agung Sedayu, Ki Waskita dan Glagah Putih telah memasuki halaman.

Ki Gede nampak gembira sekali karena kedatangan mereka. Seperti kanak-kanak yang merindukan sanak kadangnya, maka dengan tergopoh-gopoh Ki Gede menyongsong mereka turun ke halaman.

Tetapi alangkah kecewa Ki Gede Menoreh, ketika ia mengetahui, bahwa mereka bertiga hanya akan singgah untuk waktu yang sangat pendek.

“Kedatangan kalian hanya menumbuhkan kekecewaan saja,” berkata Ki Gede Menoreh.

“Tetapi bukankah itu lebih baik, daripada Ki Gede hanya mendengar berita, bahwa Agung Sedayu telah menempuh perjalanan melewati Tanah Perdikan Menoreh tanpa singgah?” sahut Ki Waskita.

Tetapi Ki Gede berkata pula, “Bagaimanapun juga, aku akan menahan kalian sedikit-dikitnya satu malam.”

Agung Sedayu dan Ki Waskita saling berpandangan. Namun akhirnya Ki Waskita berkata, “Jika Ki Gede berkeras, baiklah, besok kita meneruskan perjalanan yang tidak begitu jauh lagi.”

Ki Gede tersenyum. Katanya, “Terima kasih. Aku gembira sekali. Hari ini aku merasa, bahwa umurku akan menjadi bertambah panjang.”

Berbeda dengan Ki Gede, maka wajah Prastawa yang kebetulan berada di rumah pamannya, nampak menjadi buram. Meskipun ia mencoba juga untuk tersenyum, namun senyumnya terasa betapa pahitnya.

Sementara itu, berita tentang kedatangan Agung Sedayu itu telah tersebar di seluruh Tanah Perdikan. Hampir setiap orang telah mengetahui, bahwa Ki Gede telah menerima tiga orang tamu. Agung Sedayu, saudara sepupunya yang bernama Glagah Putih, dan Ki Waskita.

Dengan demikian, maka tugas orang-orang yang dikirim oleh Sabungsari menjadi tidak terlampau sulit. Setelah semalam suntuk mereka menyusuri jalan ke Tanah Perdikan Menoreh dan hanya beristirahat sejenak, setelah mereka menyeberangi sungai, maka lewat tengah hari, salah seorang dari mereka telah berusaha mencari berita tentang Agung Sedayu, sementara kawan-kawannya menunggu di pinggir hutan.

Di sebuah warung kecil, orang itu telah mendapat keterangan, bahwa benar ada tiga orang tamu di rumah Ki Gede.

“Belum lama. Pagi ini baru mereka datang,” berkata salah seorang anak muda yang kebetulan ada di warung itu juga.

Pengikut Sabungsari yang mendengar berita itu, rasa-rasanya hatinya telah tersentuh oleh dinginnya air embun. Ternyata tidak terlalu sulit untuk mencari Agung Sedayu. Mereka mengira, bahwa mereka akan menempuh perjalanan berhari-hari. Ternyata di hari pertama setelah semalam suntuk mereka berjalan, mereka telah mendengar kabar tentang orang yang dicarinya.

Karena itu, setelah selesai makan, dan setelah ia minta dibungkuskan beberapa macam makanan, maka ia pun dengan tergesa-gesa telah menemui kawan-kawannya yang menunggu.

“Makanlah,” berkata orang itu.

“Bukan itu yang penting. Apakah kau mendengar berita tentang Agung Sedayu?”

“Makanlah. Baru kau dengar ceriteraku.”

“Katakan lebih dahulu,” kawannya membentak.

Orang itu tersenyum. Katanya, “Jangan cepat marah. Kau akan lekas menjadi tua.”

“Tetapi kau membuat jantungku berdebar-debar.”

Kawan-kawannya yang lainpun tiba-tiba saja telah memandanginya dengan sorot mata kegelisahan. Bahkan seorang yang matanya redup berkata bersungguh-sungguh, “Bukan waktunya untuk bergurau.”

Akhirnya yang tertua di antara mereka berkata, “Katakanlah. Jangan membuat kami, yang dalam ketegangan ini, kehilangan pengamatan diri.”

Orang yang telah mendengar keterangan tentang Agung Sedayu itu tidak berani bermain-main lagi. Karena itu maka katanya kemudian, “Agung Sedayu sekarang ada di rumah Ki Gede. Setiap orang di Tanah Perdikan ini telah mengetahuinya, meskipun ia belum lama berada di sini.”

Kawan-kawannya memandanginya dengan curiga. Bahkan orang yang tertua di antara mereka bertanya, “Apakah kau berkata sebenarnya, atau kau benar-benar ingin bergurau dalam suasana seperti ini?”

“Tidak. Aku tidak bergurau,” jawab orang itu, “aku berkata sebenarnya. Agung Sedayu telah datang ke Tanah Perdikan Menoreh pagi tadi.”

“Pagi tadi?” seorang kawannya mengulang.

“Ya. Menurut keterangan beberapa orang di sebuah warung, ia datang pagi tadi.”

“Kalau begitu, mereka pasti bermalam di jalan, meskipun jaraknya sudah dekat dengan rumah Ki Gede Menoreh,” berkata yang lain.

“Kenapa mereka harus bermalam?” tiba-tiba seseorang di antara mereka bertanya.

Pertanyaan itu ternyata telah menimbulkan berbagai macam dugaan. Namun akhirnya orang tertua di antara mereka berkata, “Apa pun alasan mereka, namun kita telah menemukannya. Salah seorang dari kita akan kembali ke Kademangan Jati Anom dan mengabarkan tentang Agung Sedayu. Kami menunggu perintah, apakah yang harus kami lakukan atas anak itu. Apakah kami harus menangkapnya atau sekedar mengamati kemana ia pergi.”

“Jangan sombong,” berkata salah seorang kawannya. “Jika perintah itu berbunyi, “tangkap Agung Sedayu” berarti kita harus bunuh diri. Agung Sedayu kini berada di rumah Ki Gede Menoreh. Di rumah itu ada pula Ki Waskita dan para pengawal Tanah Perdikan Menoreh.”

“Jangan terlalu bodoh,” jawab orang tertua itu, “kita tidak akan memasukkan jari tangan kita ke lubang seekor ular bandotan. Kita harus memancingnya keluar dan kemudian menjeratnya.”

Kawannya tidak menjawab lagi. Tetapi ia pun mengerti, bahwa jika benar mereka harus menangkap Agung Sedayu, maka mereka harus mempergunakan akal.

Yang mereka bicarakan kemudian adalah siapakah di antara mereka yang harus kembali ke Jati Anom. Kemudian siapa yang harus mengamati Agung Sedayu, yang menurut perhitungan mereka, masih akan pergi ke rumah Ki Waskita.

“Mungkin Ki Waskita akan kembali ke rumahnya seorang diri,” berkata salah seorang dari mereka.

“Jika kita melihat Ki Waskita dalam perjalanan seorang diri, maka kita mengambil kesimpulan, bahwa Agung Sedayu masih berada di rumah Ki Gede dan tidak meneruskan perjalanan singgah di rumah orang itu. Dengan demikian, kita harus mencari akal, memancingnya keluar jika ada perintah untuk menangkapnya.”

Orang-orang itu pun segera mengatur diri. Salah seorang dari mereka segera berkemas-kemas, berpacu ke Jati Anom, sementara yang lain akan mengawasi jalan di bulak panjang bergantian.

Keputusan Agung Sedayu dan Ki Waskita untuk bermalam semalam di Tanah Perdikan Menoreh atas permintaan Ki Gede, ternyata telah memberi kesempatan kepada orang-orang yang mencarinya untuk menentukan sikap.

Dalam pada itu, seekor kuda telah berpacu menuju ke Kademangan Jati Anom. Karena perjalanan itu ditempuh dengan kecepatan penuh dan tidak banyak berhenti untuk beristirahat, maka rasa-rasanya perjalanan itu menjadi jauh lebih cepat.

Tengah malam, orang itu sudah berada di Sangkal Putung. Dengan hati-hati, ia berusaha menemui Sabungsari di baraknya. Kepada petugas di barak itu, ia mengaku saudara Sabungsari yang datang dari jauh.

“Apakah kau yakin bahwa berita itu benar?” bertanya Sabungsari.

“Aku yakin. Setiap orang di Tanah Perdikan Menoreh ternyata mengenal Agung Sedayu.”

Sabungsari merenung sejenak, ia mencoba melihat beberapa kemungkinan yang dapat terjadi. Mula-mula ia ingin langsung bertemu dengan Agung Sedayu dalam perang tanding, sebelum ia benar-benar kehilangan anak muda itu. Namun ia masih tetap ragu-ragu, bahwa ia sama sekali belum berhasil menjajagi kemampuannya.

Karena itu, maka ia mengurungkan niatnya. Ia sedang memikirkan jalan yang paling baik untuk dapat mengukur kemampuan anak muda itu.

Namun tiba-tiba saja Sabungsari tersenyum. Ia telah menemukan jalan yang akan dapat dipergunakannya untuk menjajagi ilmu anak muda itu.

Katanya kemudian kepada pengikutnya, “Kembalilah. Kau harus dapat membawa Agung Sedayu kepadaku. Tetapi ingat, kau harus membawanya hidup-hidup. Kau berlima bukannya anak-anak kecil. Kau tentu akan dapat mencari jalan untuk menangkapnya hidup-hidup.”

“Apakah kami harus mencegatnya dan menyerangnya?” bertanya pengikutnya.

Sabungsari tersenyum. Jawabnya, “Jangan bodoh. Hindarilah pertempuran, jika anak muda itu masih bersama Ki Waskita. Kau berlima tidak akan dapat melawan Agung Sedayu bersama-sama Ki Waskita sekaligus.”

“Jadi?”

“Aku kira Agung Sedayu tidak akan terlalu lama berada di rumah Ki Waskita, seandainya ia pergi ke sana. Jika ternyata, bahwa Agung Sedayu tidak pernah singgah ke rumah orang tua itu, dan tinggal di rumah Ki Gede Menoreh, maka ia pun tidak akan lama pula. Tunggulah, Agung Sedayu di perjalanan kembali ke Jati Anom atau ke Sangkal Putung. Karena itu, maka kau harus mengamat-amatinya setiap hari,” Sabungsari berhenti sejenak. Lalu, “Tetapi jika kau anggap terlalu lama, maka kau dapat mencari akal untuk melakukan tugas ini. Tetapi ingat. Jangan sebut namaku dan perguruanku. Ingat, agar aku tidak perlu membunuh kalian semuanya. Jika kalian sudah berhasil, bawa Agung Sedayu ke hutan kecil di lereng Gunung Merapi, dan beritahukan kepadaku, agar aku dapat menentukan sikap lebih lanjut.”

“Bagaimana dengan Glagah Putih?” orang itu bertanya.

“Aku tidak memerlukannya. Terserah. Kau bunuh pun tidak ada persoalan apa pun juga bagiku,” jawab Sabungsari.

Orang itu mengangguk-angguk.

“Pergilah. Kau dapat beristirahat sampai esok pagi. Kemudian susul kawan-kawanmu ke Tanah Perdikan Menoreh atau ke rumah Ki Waskita.”

Pengikut Sabungsari itu pun kemudian meninggalkan barak prajurit Pajang di Jati Anom, kembali ke tempat seorang kenalannya. Ia masih sempat beristirahat sejenak, sebelum fajar menyingsing. Namun ternyata, bahwa ia tidak dapat memejamkan matanya sama sekali. Masih selalu terngiang, perintah Sabungsari untuk menangkap Agung Sedayu hidup-hidup.

“Aneh,” berkata pengikut Sabungsari itu di dalam hatinya, “kenapa Sabungsari tidak langsung saja menyusulnya ke Tanah Perdikan Menoreh dan mencari kesempatan berperang tanding?”

Tetapi orang itu mencoba mencari jawabnya, “Mungkin ia masih segan untuk minta ijin kepada Untara, untuk meninggalkan tugasnya sebagai seorang prajurit barang tiga empat hari.”

Ketika fajar menyingsing, maka orang itu pun segera mempersiapkan diri. Setelah berbenah dan makan beberapa kerat ketela pohon, maka ia pun segera berpacu meninggalkan Jati Anom, kembali ke Tanah Perdikan Menoreh.

Sabungsari sempat menjumpai pengikutnya di ujung Kademangan. Ia masih memberikan beberapa pesan. Sekali lagi ia menegaskan, “Jangan sebut perguruanmu.”

Orang itu mengangguk. Kemudian ia minta diri untuk melanjutkan perjalanan.

Sejenak Sabungsari termangu-mangu. Dipandanginya debu tipis yang mengepul di belakang kaki kuda. Namun yang segera lenyap dihembus angin pagi yang lembut.

“Jika Agung Sedayu berhasil ditangkap hidup-hidup, maka kemampuannya masih belum mendebarkan jantung. Jika ia berhasil mengalahkan ke lima orang pengikutku, maka ia benar-benar seorang yang luar biasa. Tetapi aku harus melihat, apa yang terjadi, sehingga aku akan dapat menjajagi kemampuan ilmunya.”

Karena itulah, maka Sabungsari pun kemudian menghadap Untara untuk minta ijin barang dua tiga hari, karena alasan yang mapan.

“Semalam pamanku telah datang, Ki Untara. Ia memberitahukan kepadaku, bahwa ibuku sakit keras. Aku sudah tidak mempunyai ayah. Sehingga karena itu, maka ibuku mengharap aku dapat menungguinya barang dua tiga hari.”

Untara mengerutkan keningnya. Meskipun ia seorang prajurit yang nampaknya terlalu teguh memegang kendali kepemimpinan dalam tugas-tugasnya, namun ia tersentuh juga perasaannya.

“Apakah sakit ibumu parah?” bertanya Untara.

“Menurut paman, kadang-kadang ibu telah kehilangan kesadarannya. Jika kesadaran itu datang, maka ia selalu menyebut namaku.”

Untara mengangguk-angguk. Seorang perwira muda dapat memberikan kesaksian, bahwa semalam Sabungsari memang menerima seorang tamu yang nampak tergesa-gesa.

“Baiklah,” berkata Untara, “aku beri kau waktu lima hari dengan perjalananmu. Jika pada waktunya kau belum sempat kembali karena keadaan ibumu, maka kau harus berusaha untuk memberikan laporan kepadaku. Mungkin pamanmu, mungkin orang lain dapat kau suruh datang kepadaku.”

“Tentu, Ki Untara. Aku tidak akan melalaikan segala kewajiban yang memang harus dibebankan kepadaku,” jawab Sabungari.

Namun ketika Sabungsari telah meninggalkan Senapati muda itu, ia menggeram, “Persetan. Jika kau banyak tingkah, aku bunuh kau lebih dahulu dari Agung Sedayu.”

Sabungsari pun kemudian berkemas dibaraknya. Kepada kawan-kawannya ia minta diri untuk menengok ibunya yang sedang sakit, sementara tidak ada orang lain yang disebutnya, kecuali Sabungsari.

Lewat tengah hari Sabungsari baru berangkat. Ia memang tidak ingin menemui pengikut-pengikutnya. Ia akan mencari jalan sendiri untuk mengetahui dimana Agung Sedayu sedang berada. Kemudian mengamatinya, sehingga pada suatu saat, anak muda itu akan disergap oleh pengikut-pengikutnya.

“Jika aku berhasil menyaksikan perkelahian itu, maka aku akan dapat mengetahui tingkat kemampuan Agung Sedayu. Melawan lima orang, ia tentu akan mengerahkan segenap kemampuannya.”

Karena itu, maka Sabungsari itu pun tidak tergesa-gesa. Ia tidak perlu berpacu seperti pengikutnya. Tetapi ia pun tidak ingin menyesal, bahwa ia datang terlambat atau kehilangan jejak, karena Agung Sedayu ternyata menempuh sebuah perjalanan yang tidak diduganya.

Pada saat Sabungsari berkuda melintasi jalan persawahan, maka Agung Sedayu, Ki Waskita dan Glagah Putih pun baru meninggalkan rumah Ki Gede Menoreh. Mereka tidak dapat berangkat di pagi hari, karena Ki Gede masih menahannya. Baru setelah makan siang, maka dilepaskannya Ki Waskita bersama Agung Sedayu dan Glagah Putih meninggalkan Tanah Perdikan Menoreh.

Glagah Putih telah pernah bertemu dengan Prastawa sebelumnya. Tetapi ia tidak sempat berbicara dan berbincang cukup lama. Baru ketika ia berada di Tanah Perdikan Menoreh, ia mulai mengenal Prastawa lebih dalam.

Di perjalanan menuju ke rumah Ki Waskita, Glagah Putih sempat bertanya kepada Agung Sedayu, “Kakang, aku tidak begitu mengerti sikap Prastawa terhadap kunjungan kita. Apakah ia senang menerima kita, atau justru sebaliknya.”

Agung Sedayu tersenyum. Katanya, “Kenapa kau bertanya begitu? Bukankah ia cukup ramah? Nampaknya kau banyak berbicara dan berbincang dengan kemanakan Ki Gede itu.”

“Justru karena aku banyak berbicara dengan Prastawa, aku menjadi bertanya-tanya di dalam hati. Kadang-kadang ia bersikap manis. Namun kadang-kadang senyumnya menjadi kecut dan yang aku tidak mengerti, apakah ia mengucapkan kata-kata sindiran, atau sekedar bergurau.”

Agung Sedayu tertawa. Ki Waskita yang mendengar pertanyaan itu pun tertawa pula.

“Kau salah paham, Glagah Putih. Prastawa memang senang bergurau. Yang belum terbiasa, kadang-kadang memang merasa seolah-olah ia menyindir, atau bahkan mengumpati. Tetapi ia tidak bermaksud demikian,” jawab Agung Sedayu.

Glagah Putih mengerutkan keningnya. Ia tidak begitu sesuai dengan pendapat Agung Sedayu. Tetapi ia tidak membantah.

Di luar sadar, maka perjalanan ketiga orang itu ternyata diketahui oleh para pengikut Sabungsari. Dugaan terkuat dari mereka ternyata benar. Bahwa Agung Sedayu dan Glagah Putih tentu akan singgah di rumah Ki Waskita, sehingga satu di antara mereka telah dengan sungguh-sungguh mengawasi jalan itu.

Dengan tergesa-gesa pengikut itu mencari kawannya, yang mempunyai tugas mereka masing-masing untuk mengawasi jalan di beberapa arah.

Tetapi kawan-kawannya tidak berani mengambi sikap. Ia masih menunggu kawannya yang kembali ke Jati Anom, untuk menunggu perintah Sabungsari.

“Tetapi arah perjalanannya sudah jelas. Kita akan mengamati padukuhan tempat tinggal Ki Waskita,” berkata salah seorang dari mereka.

“Ternyata tugas kita tidak terlalu berat,” sahut yang lain.

“Tetapi, jika Sabungsari memerintahkan kita membunuh Agung Sedayu?”

“Kita harus mencari akal memisahkan Agung Sedayu dari Ki Waskita.”

Mereka memang bersepakat, bahwa mereka tidak akan berbuat sesuatu, jika kedua orang itu sedang berkumpul. Sementara Glagah Putih seolah-olah sama sekali tidak termasuk perhitungan mereka.

Pengikut Sabungsari yang berpacu dari Jati Anom, menjelang sore hari telah datang ke tempat yang sudah ditentukan. Dari kawan-kawannya ia mendengar, bahwa Agung Sedayu telah berangkat ke rumah Ki Waskita.

“Tidak banyak bedanya,” berkata kawannya yang baru datang, “kami harus menangkapnya hidup-hidup dan membawanya kepada Sabungsari.”

“Menangkap hidup-hidup?” hampir berbareng kawan-kawannya bertanya.

“Ya. Sabungsari ingin membunuhnya sendiri dengan sikap seorang laki-laki.”

Kawan-kawannya mengangguk-angguk. Namun tergores di wajahnya kecemasan dan ketegangan. Perintah itu memang merupakan tugas yang sangat berat.

Namun tiba-tiba salah seorang dari mereka berkata, “Aku mempunyai akal.”

“Apa?” bertanya yang lain.

“Kita tidak usah bertempur. Kita akan menemui Agung Sedayu dan menyampaikan tantangan Sabungsari kepadanya. Ia tentu akan merasa tersinggung dan akan datang dengan sendirinya menemui Sabungsari tanpa dipaksa. Harga dirinya tentu bergejolak jika ia mendengar tantangan itu.”

Kawan-kawannya mengangguk-angguk. Seorang yang baru datang itu berkata, “Mungkin kau benar. Hal itu akan dapat kita lakukan jika Agung Sedayu benar-benar seorang laki-laki jantan. Tetapi jika Agung Sedayu merasa segan dan apalagi ketakutan untuk menerima tantangan itu, apa yang akan kita lakukan? Selebihnya kita memang tidak boleh berterus terang. Siapakah kita sebenarnya.”

Kawan-kawannya merenungi pertanyaan itu. Seorang di antara mereka bergumam, “Itu adalah pertanda bahwa Agung Sedayu bukan seorang yang memiliki ilmu yang tinggi. Jika benar Ki Gede Telengan terbunuh di peperangan, tentu bukan karena Agung Sedayu seorang diri. Mungkin ada orang lain yang membantunya. Sehingga karena itu, maka kita berlima tentu akan dapat mengalahkannya. Mengikatnya dan kemudian membawanya ke Jati Anom dengan diam-diam. Jika perlu, kita akan menempuh perjalanan di malam hari.”

“Kita serahkan Agung Sedayu kepada Sabungsari, sementara kita akan melihat perang tanding yang akan terjadi dengan dahsyatnya antara kedua anak muda itu,” sahut yang lain.

“Kau keliru. Agung Sedayu bukan lawan Sabungsari. Dua atau tiga Agung Sedayu, baru ia akan dapat sejajar dengan Sabungsari.”

“Apakah itu berarti bahwa yang terjadi adalah sekedar sebuah pembantaian? Bukan perang tanding, karena kekuatan ilmu mereka tidak seimbang?”

“Kira-kira yang akan terjadi adalah demikian.”

Kelima orang itu kemudian merenungi peristiwa yang bakal terjadi. Mereka sibuk dengan angan-angan yang masih sangat meragukan.

Namun yang mereka sepakat, mereka akan membiarkan Agung Sedayu sampai ke rumah Ki Waskita sambil mempersiapkan rencana mereka semasak-masaknya. Jika Agung Sedayu tidak segera kembali ke Jati Anom, maka mereka harus memancingnya keluar dari pengamatan Ki Waskita.

“Yang perlu kita lakukan adalah mengawasi anak itu, agar kita tidak kehilangan jejak. Kemungkinan terbesar Agung Sedayu tentu tidak akan lama dan tidak akan menempuh perjalanan lebih jauh lagi, karena ia membawa Glagah Putih,” berkata orang tertua di antara para pengikut Sabungsari.

Karena itulah, maka mereka pun segera mengatur jaring-jaring pengawasan yang sebaik-baiknya.

Perjalanan dari Tanah Perdikan Menoreh ke rumah Ki Waskita memang tidak terlalu jauh. Mereka menempuh perjalanan untuk waktu yang tidak terlalu panjang. Menjelang gelap malam, mereka sudah memasuki padukuhan tempat tinggal Ki Waskita.

Kedatangan mereka telah disambut dengan gembira oleh seisi rumah. Rudita ternyata memenuhi pesan ayahnya. Ia sama sekali tidak meninggalkan ibunya untuk waktu yang lama. Memang kadang-kadang sehari atau dua hari ia pergi. Tetapi ia segera kembali.

Kedatangan Agung Sedayu itu telah membuat Rudita sangat bergembira, apalagi karena Agung Sedayu membawa saudara sepupunya, Glagah Putih.

“Tinggallah di sini seperti di rumah sendiri, Glagah Putih,” berkata Rudita, “di sini pun banyak anak-anak muda sebaya dengan kau. Apakah kau mempunyai kegemaran tertentu?”

Glagah Putih justru merasa kaku. Namun ia selalu mencoba tersenyum sambil mengangguk-angguk. Katanya perlahan-lahan, “Senang sekali tinggal di sini.”

Dihari pertama, ternyata Rudita benar-benar nampak gembira sekali. Ia banyak berceritera tentang padukuhannya, tentang sawah dan tentang air. Tentang musim yang berubah dari kebiasaannya dan tentang anak-anak muda yang bermain-main dengan gembira di sawah yang baru saja dipetik hasilnya.

Glagah Putih hanya mengangguk-angguk saja. Seolah-olah ia mengiakan. Namun sekali-sekali ia mengerutkan keningnya mendengar ceritera Rudita itu.

Tetapi di malam hari, ketika Glagah Putih berada di dalam bilik yang disediakan untuknya bersama Agung Sedayu, dengan ragu-ragu ia bertanya kepada saudara sepupunya itu, “Kakang, aku mendapat kesan yang aneh pada Rudita.”

“Apa?” bertanya Agung Sedayu.

“Mungkin karena aku sama sekali tidak berpengalaman menghadapi banyak orang dengan sikapnya masing-masing. Di Tanah Perdikan Menoreh aku merasa heran melihat sikap Prastawa. Di sini aku juga diherankan oleh sikap Rudita.”

“Apakah sikap Rudita menurut penilaianmu sama dengan sikap Prastawa?”

“Tidak, Kakang. Sama sekali tidak. Sikap Prastawa menumbuhkan perasaan yang buram, meskipun mungkin ia seorang yang senang bergurau menuruti caranya. Sementara Rudita mempunyai sikap yang memberikan kesan tersendiri. Rudita demikian akrabnya dengan alam, dengan hijaunya dedaunan, dengan kicau burung dan bahkan dengan tangis anak-anak di saat-saat matahari sepenggalah. Rudita menyatu dengan suasana padukuhannya. Lengking paron pandai besi dan suara lesung penumbuk padi.”

“Kesan apakah yang kau dapat dari sikap Rudita?” bertanya Agung Sedayu.

“Rudita memandang alam sekitarnya sebagai sahabatnya yang sejati. Sikapnya menumbuhkan perasaan damai dengan tenteram.”

Agung Sedayu menarik nafas dalam-dalam. Sambil mengangguk-angguk ia berkata, “Itulah Rudita. Ia adalah seorang anak muda yang memiliki kekuatan jiwani yang tiada taranya menurut penilaianku atas semua orang yang pernah aku kenal.”

“Kakang,” Glagah Putih hampir berbisik, “tetapi ada satu yang tidak aku mengerti. Ayah Rudita adalah seorang yang memiliki ilmu yang tinggi. Tetapi Rudita sama sekali tidak pernah menyinggung tentang ilmu yang barangkali pernah diwarisi.”

“Rudita juga mempunyai ilmu yang tinggi.”

“Tetapi nampaknya ia asing sekali.”

“Ia asing dengan ilmu kanuragan. Tetapi ia memiliki ilmu Kajiwan yang tidak kalah taranya dengan ilmu ayahnya dalam olah kanuragan.”

Glagah Putih menarik nafas dalam-dalam. Jika setiap kali ia melihat kebanggaan dan bahkan kesombongan seseorang karena memiliki ilmu kanuragan, maka di hadapan suasana yang berbeda sama sekali.

“Tetapi jangan kau paksakan dirimu untuk dalam waktu satu dua hari mengungkapkan segala tanggapanmu atas anak muda itu, Glagah Putih. Kau akan menjadi bingung.”

Glagah Putih mengangguk-angguk. Biasanya ia cepat mengerti dan menjawab, “Tidak ada kesulitan,” Namun saat itu ia sama sekali tidak memberikan tanggapan apa pun juga, karena ia memang melihat sesuatu yang tidak dapat segera dimengertinya.

Pembicaraan itu terputus, ketika mereka mendengar langkah mendekat.

“Apakah kau belum tidur?” terdengar seseorang bertanya.

Agung Sedayu bangkit dan melangkah ke pintu. Ia tahu bahwa di luar pintu berdiri Ki Waskita.

Perlahan-lahan Agung Sedayu menarik pintu lereg agar tidak menumbuhkan derit yang terlalu keras. Apalagi di malam yang telah menjadi semakin sepi.

Ki Waskita mengerutkan keningnya, ketika ia melihat Glagah Putih berdiri termangu-mangu di belakang Agung Sedayu. Ternyata bahwa pada sorot matanya, memancar kekecewaan karena seolah-olah Glagah Putih mengetahui, bahwa Ki Waskita hanya memerlukan kakak sepupunya saja.

Ki Waskita menarik nafas dalam-dalam. Sambil tersenyum ia berkata, “Maaf, Ngger. Mungkin aku sudah mengganggumu. Aku memang memerlukan angger Agung Sedayu untuk sebuah pembicaraan yang penting.”

Glagah Putih memandang Agung Sedayu sejenak. Namun ia pun menyadari, bahwa ia tidak akan dapat merengek-rengek seperti anak-anak.

Karena itu, maka jawabnya, “Silahkan, Paman. Aku akan menunggunya di sini.”

Ki Waskita mengangguk-angguk. Katanya, “Terima kasih. Tetapi aku mohon agar kau tidak meninggalkan bilik ini.”

“Ya, Paman,” Glagah Putih mengangguk pula.

Dengan demikian, maka Agung Sedayu pun meninggalkan Glagah Putih di dalam biliknya. Bersama Ki Waskita, ia pun kemudian turun ke halaman dan berjalan ke regol.

“Kita berjalan-jalan ke ujung padukuhan, Ngger,” berkata Ki Waskita.

Agung Sedayu mengangguk. Jawabnya, “Marilah. Aku akan mengikuti saja kemana Ki Waskita akan pergi.”

Ki Waskita tersenyum. Agung Sedayu pasti sudah dapat menebak, bahwa ia akan berbicara tentang sesuatu yang penting dan tidak perlu di ketahui oleh orang lain.

Beberapa langkah mereka menyusuri jalan padukuhan. Kemudian mereka melalui jalan induk, pergi ke ujung padukuhan. Ketika mereka melalui sebuah gardu perondan, maka anak-anak muda yang ada di gardu itu pun tidak bertanya sesuatu selain mempersilahkan mereka lewat, karena anak-anak muda di padukuhan itu mengenal, bahwa Ki Waskita adalah seorang yang agak lain dari orang-orang kebanyakan.

Ketika mereka sudah di bulak, barulah Ki Waskita mulai dengan persoalannya. Dengan suara yang lirih orang tua itu berkata, “Angger, ternyata ada sesuatu yang terlupakan saat aku mengajak Angger kemari.”

Agung Sedayu termangu-mangu sejenak. Ia tidak segera menangkap maksud Ki Waskita. Ia tidak mengerti apakah yang disebutnya sesuatu yang terlupakan itu.

Karena itu, maka diberanikannya dirinya untuk bertanya, “Apakah yang Ki Waskita maksudkan? Apakah ada sesuatu barang yang tertinggal di Jati Anom, atau suatu sikap dan pesan yang terlupakan belum Ki Waskita nyatakan kepada Kiai Gringsing atau paman Widura?”

Ki Waskita menarik nafas dalam-dalam. Dipandangnya wajah langit yang bersih digantungi oleh bintang gemintang yang berkerdipan.

Dalam pada itu Agung Sedayu menjadi termangu-mangu. Ia tidak berani mendesak lagi. Yang dapat dilakukannya hanyalah menunggu, apa yang akan dikatakan oleh Ki Waskita.

Baru sejenak kemudian Ki Waskita menarik nafas dalam-dalam sambil berkata, “Angger Agung Sedayu. Sebenarnya aku mengajak kau datang ke rumahku, karena aku ingin menitipkan sekedar pengetahuan kanuragan yang tidak berarti. Juga sejenis ilmu yang hanya dapat dipergunakan untuk bermain-main dengan anak-anak yang sedang merengek dengan mempertunjukkan bayangan-bayangan yang mungkin dapat memberikan sedikit kesenangan. Mungkin juga suatu cara untuk melapisi diri terhadap ilmu-ilmu sejenis, sehingga kau tidak mudah dibayangi oleh penglihatan dan pengamatan dengan jenis indera yang manapun juga oleh wujud-wujud dan peristiwa-peristiwa semu. Selebihnya mungkin kau perlu juga memiliki sebuah perisai, sehingga kau tidak mudah dipengaruhi oleh sejenis ilmu sirep, gendam dan ampak-ampak, sehingga kau menjadi lemah dan kehilangan kesadaran dalam tidur yang sangat nyenyak, atau kau tiba-tiba saja telah terpesona oleh sesuatu di luar kehendakmu atau tiba-tiba saja dunia menjadi gelap, seolah-olah kau menjadi buta,” Ki Waskita berhenti sejenak. Tetapi Agung Sedayu tidak memotongnya. Ia masih tetap menunggu Ki Waskita melanjutkan kata-katanya, “Angger Agung Sedayu. Di Sangkal Putung Angger telah berhasil melawan ilmu sirep yang tajam karena keteguhan hati dan kepercayaan Angger atas kesadaran diri. Tetapi untuk itu kau harus mengerahkan banyak tenaga dan pemusatan inderamu. Hal itu tidak perlu kau lakukan jika kau memiliki perisai yang dapat membentengi perasaanmu, sehingga kau tidak akan kehilangan banyak kekuatan di dalam dirimu.”

Agung Sedayu mengangguk-angguk. Ia sudah menduga, bahwa maksud Ki Waskita membawanya adalah karena keinginan Ki Waskita untuk membantunya melindungi diri dari bahaya yang datang bertubi-tubi, seolah-olah setiap orang di dunia ini telah mendendamnya, salah atau tidak salah.

Tetapi Agung Sedayu pun menjadi berdebar-debar bahwa Ki Waskita telah menyatakan, bahwa sebenarnya hal itu yang akan dilakukannya.

“Lalu apakah yang telah terjadi, dan apakah yang akan dilakukannya?” bertanya Agung Sedayu kepada diri sendiri.

Sementara itu Ki Waskita berkata seterusnya, “Angger Agung Sedayu. Itulah yang aku maksudkan. Tetapi seperti yang aku katakan, ada sesuatu yang telah aku lupakan.”

Terasa dada Agung Sedayu bergejolak. Ia tidak dapat menahan diri lagi untuk bertanya, “Apakah yang Ki Waskita lupakan?”

“Rudita, Ngger.”

Agung Sedayu menarik nafas dalam-dalam. Segera ia menangkap maksud Ki Waskita. Bagi Ki Waskita, Rudita adalah anak yang sangat dikasihinya, sehingga sudah barang tentu ia tidak akan dapat menyakiti hati anaknya dengan menurunkan ilmu kanuragan kepada Agung Sedayu, di depan matanya. Bahkan seandainya Ki Waskita mengajaknya menyingkir ke tempat yang jauh di setiap malam. Namun Rudita tentu akan mengetahui, bahwa kepergian mereka adalah dalam rangka mewariskan ilmu.

Sementara itu, Rudita sendiri sebagai anak laki-laki Ki Waskita telah menentukan sikapnya. Ia menjauhi segala sikap dan tindak kekerasan. Rudita menjadi sangat bersedih jika ia melihat akibat dari peristiwa kekerasan. Sehingga karena itulah, maka Rudita seakan-akan telah terlempar pada suatu jarak yang tidak dapat dipertemukan dengan ayahnya sendiri.

Meskipun dalam hidup sehari-hari Rudita tetap merupakan seorang anak yang dekat dengan ayah dan ibunya, namun batas yang lebar dan dalam telah menganga di antara mereka di dalam sikap jiwani.

Ki Waskita membiarkan Agung Sedayu merenung. Ki Waskita pun mengetahui, bahwa agaknya Agung Sedayu telah menangkap maksudnya. Karena itu, maka Ki Waskita tidak merasa perlu untuk menjelaskan.

Sejenak keduanya saling berdiam diri. Namun sementara itu dada Agung Sedayu terasa menjadi pepat. Secercah kekecewaan telah memercik di hatinya. Ia merasa, bahwa ia telah kehilangan suatu kesempatan yang sangat berharga baginya. Mungkin yang akan disadap dari Ki Waskita akan lebih berarti dari yang telah diketemukannya di dalam goa, saat ia seakan-akan mengasingkan diri.

Namun sesaat kemudian, Agung Sedayu merasa gembira. Dengan demikian ia sudah dibatasi oleh kemampuan yang sudah ada padanya. Dengan kemampuan yang ada, ia sudah banyak melakukan kesalahan. Ia sudah terlalu sering berbuat dosa. Membunuh dan melukai orang-orang yang barang kali tidak bermaksud jahat kepadanya, atau barangkali karena sekedar menjalankan perintah orang lain.

Dosa itu rasa-rasanya selalu mengikutinya dalam wujud yang berbeda-beda. Kadang-kadang ia menjadi gelisah di dalam tidur. Kadang-kadang ia menjadi bingung menghadapi peristiwa-peristiwa yang tiba-tiba saja harus diatasi. Dan kadang-kadang ia merasa selalu dibayangi oleh dendam dan kebencian.

“Jika ilmuku bertambah-tambah lagi, maka dosa yang akan aku lakukan tentu akan semakin besar. Aku akan semakin banyak membunuh dan dendam pun akan semakin tinggi menyala membakar langit.”

Dengan demikian, maka keragu-raguannya pun bagaikan menghentak-hentak di dadanya. Ia merasa berdiri di jalan simpang yang sulit untuk menentukan, apakah ia harus mengikuti jalan ke kanan atau ke kiri.

Namun tiba-tiba ia berdesah di dalam hati, “Aku memang sangat bodoh. Ki Waskita tidak menyuruh aku untuk memilih. Tetapi yang dikatakannya itu adalah suatu kepastian sikapnya, bahwa ia tidak akan dapat mewariskan ilmunya, meskipun hanya sebagian kecil kepadaku karena alasan yang sudah dikatakan. Ia tidak ingin menyakiti hati anaknya. Sudah tentu anaknya akan lebih berharga dari aku. Jauh lebih berharga, meskipun ada perbedaan sikap dan pandangan terhadap hidup dan putarannya.”

Agung Sedayu masih berdiam diri ketika langkah mereka menjadi semakin jauh. Namun tiba-tiba Ki Waskita berhenti dan berkata, “Marilah kita pulang, Ngger.”

“O,” Agung Sedayu tergagap. Namun kemudian ia sempat menjawab, “Marilah, Ki Waskita.”

Ki Waskita menangkap kekecewaan yang tersirat pada nada kata-kata Agung Sedayu, namun ia pun menangkap keragu-raguan yang membara di dalam hati anak muda itu.

Tetapi Ki Waskita tetap berdiam diri. Seakan-akan ia sengaja membiarkan Agung Sedayu berbantah dengan dirinya sendiri.

Langkah-langkah mereka di malam yang gelap itu, terdengar gemerisik. Angin malam bertiup menghembuskan udara yang lembab dingin.

Dalam pada itu, tiba-tiba saja Ki Waskita menarik nafas dalam-dalam. Di luar sadarnya ia memandang wajah Agung Sedayu. Betapapun gelapnya malam, namun karena ketajaman tatapan mata Ki Waskita, nampak olehnya ketegangan yang tersirat di wajah itu.

“Kau merasakan sesuatu?” bertanya Ki Waskita. Agung Sedayu mengangguk. Jawabnya, “Aku mendengar sesuatu di balik perdu itu.”

Ki Waskita memalingkan wajahnya. Dipandanginya segerumbul perdu di pinggir jalan. Bahkan ia masih melihat sesosok tubuh yang bergeser dan hilang di balik bayang-bayang dedaunan yang rimbun.

Agung Sedayu tertegun sejenak. Katanya, “Ada seseorang yang mengintai kita.”

“Aku kira bukan hanya seorang,” sahut Ki Waskita. Tetapi kemudian katanya, “Biarkan saja, Ngger. Mereka tentu tidak berbahaya bagi kita.”

Agung Sedayu mengangguk-angguk.

“Gerak dan sikap mereka telah menunjukkan, bahwa mereka bukan orang yang memiliki ilmu yang sempurna. Meskipun demikian, hal ini merupakan peringatan, bahwa kita harus berhati-hati,” berkata Ki Waskita pula.

Agung Sedayu tidak menjawab. Mereka pun kemudian melanjutkan langkah mereka kembali ke padukuhan.

Ternyata orang-orang yang berada di balik gerumbul itu tidak menyusul mereka. Agaknya orang-orang itu hanya sekedar mengawasi saja. Mereka bukan orang-orang yang seharusnya bertindak langsung terhadap Agung Sedayu atau Ki Waskita atau kedua-duanya.

“Satu kesalahan telah mereka lakukan,” berkata Agung Sedayu di dalam hatinya, “mereka berada terlalu dekat dengan jalan yang kami lalui.”

Namun demikian, kegelisahan Agung Sedayu telah bertambah lagi. Ia sadar, bahwa kemungkinan yang paling besar, bahwa orang-orang itu telah mengikutinya sejak ia meninggalkan Jati Anom. Bagi Agung Sedayu orang-orang itu merupakan salah satu bayangan dendam yang menyala dimana-mana.