Api di Bukit Menoreh 115

DALAM pada itu, para petani yang meninggalkan Agung Sedayu itu pun telah memasuki halaman kademangan. Dengan wajah yang merah padam, mereka memaksa para pengawal yang menahan mereka, untuk dapat bertemu dengan Ki Demang.

“Ada persoalan apa?” bertanya para pengawal.

“Persoalan penting. Persoalan yang akan kami laporkan langsung kepada Ki Demang.”

“Tetapi masih banyak tamu di pendapa.”

‘Persoalan ini harus segera diketahui oleh Ki Demang.”

“Para pengawal itu menjadi termangu-mangu. Namun, kemudian pemimpin para pengawal itu berkata, “Duduk sajalah di sini. Aku akan mengundang Ki Demang untuk datang kemari.”

Para petani itu menjadi ragu-ragu sejenak. Namun kemudian salah seorang berkata, “Baiklah. Katakan kepada Ki Demang.”

Pemimpin pengawal itu pun kemudian pergi ke pendapa. Dengan hati-hati ia memberikan isyarat kepada Ki Demang, agar Ki Demang datang kepadanya.

Ketika seorang perwira, yang masih berada di pendapa sambil menghirup minuman hangat, melihat pula pemimpin pengawal itu, maka ia pun bertanya, “Ada apa?”

Pemimpin pengawal itu ragu-ragu sejenak. Namun kemudian jawabnya, “Tidak apa-apa, Tuan. Sekedar soal air di sawah sebelah padukuhan induk ini.”

Perwira itu tidak menghiraukannya lagi. Demikian pula orang-orang lain, yang semula tertarik pula kepada pemimpin pengawal itu.

Ki Demang yang segan itu pun turun ke halaman mendekati pengawal itu. Dengan segan pula ia bertanya, “Ada apa?”

“Beberapa orang ingin bertemu dengan Ki Demang,” bisik pemimpin pengawal itu.

“Ya, ada apa?” Ki Demang yang merasa terganggu mendesak.

“Silahkan menemui mereka, Ki Demang. Mereka ada di gardu.”

Ki Demang pun kemudian pergi ke gardu, untuk menjumpai para petani yang tidak dapat menahan diri lagi. Berebut mereka menceritakan apa yang mereka lihat di bulak itu.

Ki Demang yang melihat kemungkinan yang dapat menumbuhkan keributan dari peristiwa itu, mencoba untuk menahan agar para petani itu tidak berbicara terlalu keras. Tetapi usahanya tidak berhasil. Dan beberapa orang yang duduk di pendapa, ternyata telah tertarik pula melihat cara para petani itu bercerita, sehingga satu dua di antara mereka telah turun dan mendekat.

Hal itu tidak lagi dapat disembunyikan. Sejenak kemudian, berita tentang peristiwa di bulak panjang itu telah tersebar di seluruh pendapa, sehingga Raden Sutawijaya dan Untara telah mendengarnya.

Seperti yang diduga oleh Ki Demang, maka pendapa itu pun menjadi ribut. Beberapa orang tidak dapat menahan diri lagi dan dengan tergesa-gesa mendekat, sambil bertanya berebut dahulu, “Siapa yang terbunuh di bulak panjang?”

Tidak seorang pun yang dapat memberikan penjelasan. Tetapi mereka dapat mengatakan, bahwa di bulak panjang itu terdapat Agung Sedayu.

“Apakah Agung Sedayu sudah membunuh lagi?” di luar sadarnya Kiai Gringsing berdesis.

Seperti yang diperhitungkan oleh Agung Sedayu, maka kemudian para tamu yang masih ada di Sangkal Putung itu dengan tergesa-gesa telah pergi beriringan ke tengah bulak.

Mereka menjumpai Agung Sedayu dan Glagah Putih masih berada di tempatnya. Mereka sengaja menunggu orang-orang yang menurut mereka pasti akan datang, untuk mendapatkan keterangan tentang apa yang telah terjadi.

Ketika orang-orang itu kemudian berdiri melingkar sambil berdesakkan di sekitar kedua sosok mayat dan Agung Sedayu serta Glagah Putih, maka mulailah Agung Sedayu mencoba menjelaskan apa yang sebenarnya telah terjadi.

“Kau melihat bagaimana orang itu membunuh?” bertanya Kiai Gringsing.

“Ya, Guru. Dengan ikat pinggangnya. Ia dapat mempergunakan ikat pinggangnya dengan hampir sempurna, sehingga ikat pinggang itu mematuk seperti ujung tombak, tetapi dapat menebas seperti pedang.”

“Orang itu masih muda?” bertanya Untara, “Semuda Raden Sutawijaya?”

Agung Sedayu mengangguk.

“Dan ia tidak meninggalkan pesan apa-apa?” bertanya Raden Sutawijaya.

“Tidak, Raden. Ia pergi begitu saja dan aku tidak dapat menahannya betapapun aku ingin. Tetapi aku tidak mau terlibat dalam persoalan jika aku memaksanya untuk tinggal.”

Raden Sutawijaya pun kemudian berjongkok memeriksa bekas luka-luka pada tubuh mayat itu. Ketika ia mengangkat wajahnya, dilihatnya Ki Juru menarik nafas dalam-dalam.

“Tidak usah disembunyikan, Raden,” seorang perwira berkumis lebat mendesak maju, “kita semuanya tahu, siapakah yang telah melakukannya.”

Agung Sedayu memandang perwira berkumis lebat itu dengan dada yang berdebar-debar. Sejenak ia berdiri tegak tanpa bergerak, sedangkan Glagah Putih menjadi cemas, melihat wajah yang keras itu.

“Kakang Tumenggung Brajaketi,” berkata Raden Sutawijaya, “tidak ada maksud menyembunyikan sesuatu. Apalagi jika memang sudah diketahui bersama. Yang sedang kita lakukan adalah meyakinkan dugaan kita, apakah benar bahwa yang telah terjadi seperti yang kita sangka.”

“Apakah masih ada keragu-raguan? Bekas tangannya tidak ada duanya. Ia adalah orang yang paling pantas ditakuti. Bagiku, ia adalah orang satu-satunya yang memiliki wibawa sekarang ini.”

Wajah Raden Sutawijaya menjadi tegang. Dipandanginya perwira berkumis lebat yang kemudian berjongkok pula di seberang mayat yang terbaring di hadapannya, dan yang kemudian beringsut pada mayat yang seorang lagi.

“Jelas sekali. Ia adalah orang besar di masa kini. Harapan setiap orang Pajang, bahwa ia akan tampil untuk menegakkan kegoyahan tahta dan menghancurkan setiap orang yang menentang keputusannya,” geram Tumenggung Brajaketi.

“Jika benar, maka Pajang tentu akan menemukan dirinya kembali,” jawab Raden Sutawijaya.

Jawaban itu mengejutkan Tumenggung Brajaketi. Wajahnya menjadi merah sejenak. Namun, kemudian ia menundukkan wajahnya memandangi mayat yang terbaring di hadapannya.

“Ia memang putera satu-satunya,” sahut Ki Juru Martani, “ia memang harapan setiap orang. Jika saja ia tidak menolak untuk menjadi Putera Mahkota.”

“Ia tidak akan menolak,” bantah Tumenggung Brajaketi.

“Jangan kau katakan kepadaku. Katakan kepada Sultan Pajang,” sahut Ki Juru Martani.

Ki Tumenggung menegang. Namun Untara kemudian berkata, “Ia adalah orang yang berbuat sesuai dengan keinginan yang melonjak-lonjak di dalam hati. Ia akan membunuh jika ia ingin membunuh. Ia akan pergi jika ia ingin pergi. Kenapa kalian mempersoalkannya di sini?”

Raden Sutawijaya berdiri tegak memandang berkeliling. Kemudian sambil menarik nafas dalam-dalam ia berkata, “Yang melakukan adalah adimas Pangeran Benawa, Agung Sedayu. Mungkin kau memang belum mengenal secara pribadi. Tetapi kau tentu sudah mengenal namanya. Ia adalah anak muda yang kecewa. Yang tidak mau terlibat dalam kemelutnya pemerintahan ayahandanya.”

“Ada orang yang dengan sengaja mengkesampingkan,” potong Ki Tumenggung Brajaketi.

“Ada beberapa pihak,” geram Untara, “Kakang Tumenggung Brajaketi. Jangan menutup kenyataan, bahwa ada orang yang sedang mengipasi api yang sedang menyala.”

“Adimas Untara,” sahut Tumenggung Brajaketi, “kau adalah Senopati pinunjul. Tetapi pengetahuanmu tentang istana ternyata terlalu sempit. Kau lebih banyak berada di medan yang kurang kau pahami.”

“Aku tahu yang kau maksud,” potong Untara, “apakah kau termasuk orang-orang yang sedang meniup api sekarang ini? Atau semacam kebencian yang tidak berdasar atas tumbuhnya Mataram? Aku menyadari persoalan itu. Tetapi kita tidak akan membicarakannya di setiap kesempatan.”

Wajah Brajaketi menjadi merah padam. Tiba-tiba ia pun berdiri sambil berkata, “Aku adalah Tumenggung yang sadar akan tanggung jawabku terhadap keselamatan Pajang. Aku akan berbuat apa saja untuk menyelamatkan Pajang dari setiap pemberontakan, siapapun yang akan menentang Sultan Hadiwijaya, maupun Pangeran Benawa yang berhak menjadi Putera Mahkota, maka ia akan berhadapan dengan aku, Tumenggung Brajaketi.”

Namun tiba-tiba ketegangan itu bagaikan koyak oleh suara seseorang di antara mereka, yang berkerumun di seputar mereka, “Ki Tumenggung benar. Setiap orang tentu akan mendukung sikap itu. He, apakah Ki Tumenggung melihat gejala dari seseorang yang akan memberontak? Atau barangkali yang dimaksud oleh Ki Tumenggung adalah orang-orang yang menyebut dirinya pewaris kerajaan Majapahit?”

Wajah Ki Tumenggung Brajaketi menjadi panas seperti tersentuh api. Ketika terpandang olehnya orang yang berbicara itu, jantungnya bagaikan akan meledak.

“Kiai Gringsing,” ia bergumam, “kau memang tidak tahu apa-apa tentang sikap orang-orang besar di Pajang sekarang ini.”

“Ya. Aku memang tidak tahu apa-apa. Karena itu aku bertanya kepadamu.”

“Pertanyaan itu mengundang persoalan,” Untara-lah yang memotong, “kenapa kita ributkan persoalan itu sekarang? Pertanyaanku sekarang aku tujukan kepada setiap orang, apakah kalian memang ingin melihat api yang menyala dan membakar Pajang? Aku adalah Panglima yang berkuasa di daerah ini. Terlebih-lebih aku sedang membawa lambang pribadi Sultan Hadiwijaya. Jika kalian masih ingin mempersoalkannya, marilah, persoalkan dengan aku. Aku akan mengambil sikap untuk menyelesaikannya dengan caraku sebagai seorang Senopati, siapapun yang sedang aku hadapi.”

Dada Agung Sedayu menjadi berdebar-debar. Sekilas dipandanginya gurunya. Tetapi Kiai Gringsing justru tersenyum sambil berkata, “Aku hormati sikapmu, Anakmas. Aku menarik diri dari setiap pembicaraan. Marilah, Agung Sedayu, marilah, Glagah Putih, biarlah mayat itu dimakamkan sebagaimana seharusnya. Tetapi kita kini tahu, bahwa Pangeran Benawa adalah orang yang tidak ada duanya di daerah Pajang,” Kiai Gringsing melangkah selangkah. Namun ia pun berhenti sambil berpaling. Dengan ragu-ragu ia bertanya, “He, Agung Sedayu. Apakah kau tidak tahu, siapakah kedua orang yang terbunuh ini?”

Agung Sedayu ragu-ragu sejenak. Namun kemudian katanya, “Menurut anak muda yang berpakaian petani, yang ternyata adalah Pangeran Benawa, kedua orang ini adalah kakak beradik dari Pesisir Endut.”

“He?” beberapa orang saling berpandangan. Seorang perwira yang berwajah tenang berdesis, “Orang-orang yang luar biasa. Pangeran Benawa benar-benar telah membuktikan, bahwa ia adalah seorang laki-laki.”

Yang lain mengangguk-angguk kecil, sementara Raden Sutawijaya pun berkata, “Untara, bagaimanakah jika kau perintahkan saja mengubur mayat-mayat itu?”

“Aku memang akan memerintahkan,” jawab Untara, “itu sudah menjadi kewajibanku. Dan Ki Demang Sangkal Putung tentu akan memberikan bantuan kepadaku. Karena itu, aku akan mempersilahkan semuanya meninggalkan tempat ini.”

Raden Sutawijaya menarik nafas dalam-dalam. Dipandanginya Untara sejenak, namun kemudian ia pun berkata, “Aku akan kembali ke rumah Ki Demang di Sangkal Putung. Nampaknya keperluanku di sini pun sudah selesai, sehingga aku akan segera dapat minta diri.

Raden Sutawijaya tidak menunggu lebih lama lagi. Ia pun kemudian meninggalkan tempat itu, diikuti oleh pengawal-pengawalnya yang terpercaya.

Selain Raden Sutawijaya, maka beberapa orang yang lain pun meninggalkan tempat itu pula. Ki Tumenggung Brajaketi pun kemudian melangkah pergi. Ketika ia lewat di sisi Untara, maka ia pun berkata, “Tidak ada orang lain yang sanggup melakukannya. Apalagi kedua orang itu ternyata kakak beradik dari pesisir Endul.”

Untara memandang wajah Tumenggung itu sejenak. Hampir di luar sadarnya ia berkata, “Apakah, Ki Tumenggung juga tidak sanggup, seandainya Ki Tumenggung mendapat kesempatan yang sama?”

Wajah Tumenggung Brajaketi menjadi merah padam. Namun ia tidak menjawab pertanyaan Untara. Dengan langkah panjang ia meninggalkan tempat itu bersama beberapa orang perwira yang lain.

Yang kemudian tinggal adalah Ki Demang Sangkal Putung, Kiai Gringsing, dan Agung Sedayu. Sejenak kemudian, Ki Waskita pun mendekatinya pula. Sementara beberapa langkah dari mereka, berdiri Ki Argapati dan Swandaru Geni, yang kemudian mendekat pula. Sedangkan Ki Widura pun menghampiri Glagah Putih yang masih berdiri kebingungan.

“Mereka adalah orang-orang aneh,” desis Kiai Gringsing, “hampir saja aku kehilangan pengamatan diri.”

Ki Waskita tersenyum. Katanya, “Tetapi, apakah dengan demikian Kiai dapat menggolongkan beberapa orang yang hadir itu, ke dalam lingkungan masing-masing?”

“Masih belum, Ki Waskita, tetapi setidak-tidaknya aku melihat, bahwa orang-orang tertentu di Pajang kini seakan-akan mempunyai jalannya sendiri. Tetapi lebih parah lagi jika mereka masing-masing berusaha untuk memaksakan keinginan mereka dengan cara apa pun juga.”

Ki Argapati yang mengangguk-angguk kemudian berkata, “Mudah-mudahan bukan kesengajaan untuk mengipasi api yang memang sudah dapat menyala sekarang ini, seperti yang dikatakan Untara.”

“Siapa tahu,” desis Ki Widura, “tetapi kita masih mengharap masing-masing pihak dapat menahan diri, sehingga tidak akan timbul benturan kekuatan. Mudah-mudahan pada suatu saat, tumbuh orang kuat yang dapat diterima oleh banyak pihak, sehingga ikatan atas kesatuan Pajang tidak akan koyak berserakan.”

Agung Sedayu sama sekali tidak menyahut. Ia pun kemudian membantu orang-orang yang dipimpin oleh Ki Demang menyelenggarakan kedua sosok mayat yang tergolek itu sebagaimana seharusnya.

Ketika orang-orang Sangkal Putung akan membawa mayat itu ke pekuburan, maka beberapa orang di antara mereka pun dipersilahkan untuk kembali ke Kademangan, termasuk Glagah Putih.

“Pergilah bersama orang-orang yang dapat kau minta perlindungannya jika perlu,” berkata Agung Sedayu, “Aku akan ikut ke kubur.”

Kiai Gringsing memandanginya sejenak. Meskipun ia belum mendengar ceritera yang sebenarnya tentang Glagah Putih dan kedua orang yang terbunuh itu, namun rasa-rasanya ia dapat menghubungkannya hal itu dengan Agung Sedayu.

Agung Sedayu tidak mengatakannya. Bahkan katanya kemudian, “Biarlah aku mengawasi anak anak muda yang pergi ke kuburan, Guru.”

Kiai Gringsing mengangguk-angguk kecil. Namun, ia pun kemudian bersama yang lain dan Ki Demang Sangkal Putung, kembali ke kademangan. Apa lagi mengingat tamu-tamu mereka masih tinggal di kademangan, meskipun mereka sudah bersiap-siap untuk kembali.

Tetapi, di antara mereka Ki Waskita nampaknya menjadi ragu-ragu. Katanya kemudian kepada Kiai Gringsing, “Biarlah aku tinggal bersama Agung Sedayu, Kiai. Silahkan Kiai mendahului. Beberapa orang di kademangan itu tentu menunggu kehadiran Kiai. Sementara aku akan membantu Agung Sedayu dan anak-anak muda Sangkal Putung.”

Kiai Gringsing tersenyum. Ia sadar, bahwa jika ia tidak nampak di pendapa kademangan, tentu ada beberapa orang yang bertanya-tanya. Berbeda dengan Ki Waskita yang tidak banyak dikenal oleh para tamu di pendapa kademangan Sangkal Putung.

Karena itu, yang tinggal kemudian adalah Agung Sedayu dan Ki Waskita di antara anak-anak muda Sangkal Putung dan orang-orang yang akan mengubur kedua sosok mayat itu. Agung Sedayu tidak sampai hati melepaskan mereka, karena bagaimanapun juga, namanya tersangkut pada peristiwa pembunuhan yang baru saja dilakukan oleh anak muda yang ternyata adalah Pangeran Benawa itu.

Sepanjang jalan ke kuburan, Agung Sedayu sempat menceriterakan apa yang sebenarnya telah terjadi kepada Ki Waskita, yang mendengarkannya dengan saksama. Agung Sedayu sempat mengatakan, menurut pendengaran Glagah Putih, bahwa masih saja ada orang yang membayang-bayanginya.

“Kenapa justru aku-lah yang selalu dibayangi oleh dendam itu, Ki Waskita?” bertanya Agung Sedayu dengan nada yang dalam.

Ki Waskita menarik nafas dalam-dalam. Katanya, “Seseorang kadang-kadang memang harus terjerumus ke dalam suatu keadaan yang sama sekali tidak dikehendakinya sendiri, Agung Sedayu. Aku tahu, bahwa kau sama sekali tidak ingin melakukan pembunuhan demi pembunuhan. Namun ternyata itulah yang terjadi, sehingga kau kini selalu dibayangi oleh dendam yang tidak ada habis-habisnya. Bahkan rasa-rasanya semakin lama menjadi semakin dalam.”

“Apakah bayangan itu akan selalu mengikutiku sepanjang umurku, Ki Waskita?” bertanya Agung Sedayu pula.

“Aku kira tidak, Agung Sedayu. Pada suatu saat, kau tentu akan menemukan jalan melepaskan diri dari lingkungan dendam, yang bagimu tentu sangat menggelisahkan. Mungkin kau sendiri akan dapat melepaskan diri. Tetapi akibatnya, kau telah melakukan sesuatu yang membuat bayangan dendam itu semakin kelam.”

Agung Sedayu menarik nafas dalam-dalam. Di wajahnya membayang kegelisahan perasaannya menghadapi keadaan yang sama sekali tidak dikehendakinya itu, namun yang telah membelitnya seperti sulur-sulur beringin yang mencengkam batu-batu karang.

Berbeda dengan saat-saat pemakaman Ki Sumangkar, maka penguburan itu rasa-rasanya sama sekali tidak ada perhatian dari orang-orang yang berada di Sangkal Putung. Kecuali mereka yang bertugas menguburkannya, hanyalah Agung Sedayu dan Ki Waskita sajalah yang menungguinya. Ada satu dua orang memandang dari kejauhan, namun mereka sama sekali tidak tertarik untuk mendekat, karena berita tentang pembunuhan itu telah tersebar ke seluruh kademangan, sehingga selain orang-orang itu tidak berkepentingan, maka mereka pun tidak mau tersentuh oleh peristiwa yang mendebarkan itu.

Setelah penguburan itu selesai, maka anak-anak muda yang menguburkan mayat itu pun dengan tergesa-gesa meninggalkan kuburan itu. Mereka merasa tidak tenang, karena di antara mereka terdapat Agung Sedayu dan Ki Waskita, karena sebagian dari mereka mengetahui, bahwa kedua orang itu memiliki kemampuan yang akan dapat melindungi mereka jika ada pihak yang ingin melibatkan mereka ke dalam kesulitan.

Di jalan pulang, Agung Sedayu dan Ki Waskita masih asyik berbicara tentang peristiwa yang baru saja terjadi, sehingga mereka agak tertinggal oleh anak-anak muda dan orang-orang Sangkal Putung yang baru saja menguburkan kedua mayat yang terbunuh itu.

Namun dalam pada itu, tiba-tiba saja langkah mereka tertegun. Dengan dada yang berdebar-debar Agung Sedayu menggamit Ki Waskita, ketika ia melihat seseorang duduk di bawah sebatang pohon, tidak jauh dari jalur jalan yang mereka lewati.

“Itulah anak muda itu,” desis Agung Sedayu.

“Pangeran Benawa?” bertanya Ki Waskita.

“Menurut beberapa orang, ia adalah Pangeran Benawa. Agaknya pantas juga jika ia disebut Pangeran, meskipun ia berpakaian seorang petani.”

Ki Waskita termangu-mangu. Nampaknya anak muda itu sama sekali tidak menghiraukannya, meskipun Agung Sedayu memperhatikannya dengan saksama.

“Ya. Aku tidak salah lagi. Kita akan menghadap,” berkata Agung Sedayu.

Ki Waskita sama sekali tidak berkeberatan. Karena itulah, maka mereka pun seolah-olah telah mempercepat langkah mereka, mendekati anak muda yang duduk termenung tanpa menghiraukan keadaan di sekitarnya.

Tetapi, ia menengadahkan wajahnya pula ketika Agung Sedayu dan Ki Waskita dengan ragu-ragu mendekatinya. Bahkan dengan suara ragu Agung Sedayu berdesis, “Apakah benar aku berhadapan dengan Pangeran Benawa?”

Anak muda berpakaian petani itu memandanginya. Kemudian katanya, “Silahkan duduk, Agung Sedayu. Dan, apakah aku boleh mengenalmu, Ki Sanak?” katanya pula kepada Ki Waskita.

Agung Sedayu dan Ki Waskita pun duduk di sebelah anak muda itu. Dengan nada dalam Ki Waskita berkata, “Aku dipanggil Ki Waskita, Pangeran.”

“O, jadi kalian sudah yakin, bahwa aku-lah Benawa itu?” bertanya anak muda itu.

“Semua orang yang mengamati kedua mayat itu sependapat, bahwa kematiannya tentu karena bekas tangan Pangeran Benawa. Aku kurang tahu, apakah yang menandai kematian itu, selain luka-luka yang memang agak berbeda dari bekas senjata kebanyakan. Dan agaknya karena luka-luka itu bukan karena tusukan tombak, bukan pula karena goresan pedang, maka mereka tahu, bahwa senjata yang dipergunakan adalah senjata yang aneh, yang sebenarnya tidak biasa dipergunakan orang.”

Pangeran Benawa mengangguk. Namun kemudian katanya, “Mereka benar, bahwa yang telah membunuh kedua orang itu adalah Benawa. Tetapi jika seseorang kurang yakin, maka aku tentu menandai dahi setiap orang yang aku bunuh. He, apakah kau tidak memperhatikan tanda itu?”

Agung Sedayu menggeleng, sementara Ki Waskita pun mengerutkan keningnya.

“Mereka yang sudah mengenal aku melihat tanda di dahi itu. Tidak dengan senjata apa pun juga, tetapi dengan ibu jariku.”

“O,” Agung Sedayu mengangguk-angguk.

“Bekas ibu jari itu akan memberikan ciri dan pertanggungan-jawabku atas kematian yang terjadi karena aku.”

Agung Sedayu menarik nafas. Sekilas terbayang bekas yang kebiru-biruan di dahi orang itu. Namun sangat samar-samar dan tidak menarik perhatiannya. Tetapi agaknya orang-orang, yang telah mengenal Pangeran Benawa, telah memperhatikan noda yang berwarna biru di dahi orang itu.

“Nah, sekarang apakah kalian mempunyai persoalan dengan aku?” pertanyaan itu mengejutkan Agung Sedayu dan Ki Waskita. Namun hampir berbareng keduanya menggelengkan kepalanya, sementara Ki Waskita menjawab, “Tidak, Pangeran. Kami tidak mempunyai persoalan apa pun. Jika kami berhenti dan duduk pula di sini, sebenarnya kami hanya ingin meyakinkan, apakah benar, bahwa anak muda berpakaian petani ini adalah Pangeran Benawa.”

“Kakangmas Senopati Ing Ngalaga tidak akan salah menilai. Ia tahu benar bahwa aku ada di sini sekarang.”

“Apakah Pangeran tidak sebaiknya singgah di kademangan?”

Tiba-tiba saja Pangeran Benawa tertawa. Katanya, “Agung Sedayu dan Ki Waskita, apakah kalian tidak tahu, bahwa di sana sekarang sedang berkumpul serigala, harimau, anjing hutan, ular yang paling berbisa dan segala macam binatang buas yang lain?”

Jawaban Pangeran Benawa itu benar-benar mengejutkan, sehingga Agung Sedayu tergeser setapak. Dengan wajah yang tegang di pandanginya Ki Waskita, yang ternyata juga menjadi berdebar-debar mendengar jawaban itu.

Namun, ternyata suara tertawa Pangeran Benawa masih terdengar. Dengan nada tinggi di sela-sela tertawanya ia berkata, “Apakah kalian terkejut? Seharusnya kalian mengerti bahwa demikianlah adanya.”

“Pangeran,” berkata Ki Waskita kemudian, “mungkin aku dapat menangkap maksud, Pangeran. Mungkin Pangeran ingin mengatakan, bahwa di pendapa kademangan itu sekarang berkumpul orang-orang yang dibayangi oleh nafsu yang menyala bagi kepentingan diri pribadi. Tentu ada di antara mereka orang-orang yang menyebut dirinya pewaris kerajaan Majapahit. Tentu ada para pembesar dan perwira yang tetap ingin mempertahankan Pajang dengan segala akibatnya. Dan ada di antara mereka yang ingin membangun suatu pusat pemerintahan yang baru, di samping Pajang. Sudah barang tentu, bahwa ada di antara mereka yang dengan jujur serta keyakinan yang mendasar di hati berjuang untuk mencapai maksudnya, tetapi tentu ada di antara mereka orang-orang yang seperti Pangeran maksudkan seperti binatang-binatang buas yang akan saling menerkam. Siapa yang kuat, maka ia-lah yang akan tampil di atas bangkai-bangkai yang lain.”

Pangeran Benawa memandang Ki Waskita dengan wajah yang tegang. Namun kemudian katanya, “Ki Waskita adalah seseorang yang jauh lebih tua dari aku. Itulah sebabnya, Ki Waskita dapat melihat keadaan itu dengan pandangan yang lebih jernih. Ki Waskita masih dapat membedakan, bahwa di antara mereka ada yang berjuang karena keyakinan akan kebenaran cita-citanya,” Pangeran Benawa berhenti sejenak. Lalu, “Tetapi, agaknya pandangan mataku memang agak buram. Bagiku, semuanya adalah orang-orang yang telah dibakar oleh nafsu bagaimanapun bentuknya dan untuk tujuan apa pun.”

Ki Waskita menarik nafas dalam-dalam. Namun tiba-tiba Agung Sedayu-lah yang bertanya, seolah-olah begitu saja meloncat dari ketulusan hatinya, “Apakah, Pangeran menganggap bahwa Raden Sutawijaya, Ki Juru Martani, Kakang Untara, guruku, Kiai Gringsing dan beberapa orang lain juga termasuk ke dalamnya?”

Pertanyaan itu agaknya telah mengejutkan Pangeran Benawa. Namun sejenak kemudian ia telah tertawa. Katanya, “Kau masih muda seperti aku. Pertanyaanmu wajar sekali. Dan aku menjadi bingung untuk menjawabnya.”

Agung Sedayu termangu-mangu sejenak. Tetapi ia masih menunggu jawaban Pangeran Benawa.

“Agung Sedayu,” berkata Pangeran Benawa kemudian, “maaf. Sebenarnyalah aku berpendapat demikian. Tetapi aku masih berbaik hati untuk menilai kebuasan mereka pada tingkat-tingkat yang tidak sama. Itulah kegoyahan pendapat tentang mereka. Kau tahu, kenapa kakangmas Sutawijaya meninggalkan Pajang? Bukankah karena pamanda Pemanahan bernafsu untuk menuntut janji ayahanda Sultan atas Tanah Mentaok, yang kemudian dibukanya menjadi sebuah negeri? Dan kau tahu, kenapa beberapa orang Adipati bernafsu untuk menghancurkan Mataram dan sejalan dengan niat itu, beberapa orang perwira Prajurit Pajang telah membubuinya dengan segala macam dalih? Bagi para Adipati yang ingin berkuasa sendiri, keruntuhan Pajang merupakan pertanda baik. Tetapi lahirnya kekuasaan di Mataram akan menyuramkan harapan mereka untuk berebut kuasa, karena cahaya kebesaran Mataram tentu akan menyilaukan mereka. Tetapi, agaknya orang-orang yang merasa dirinya pewaris kerajaan Majapahit pun ingin memperebutkan harta karun yang akan memberikan kepuasan sekejap kepada mereka, tanpa menghiraukan kehancuran kesatuan yang sudah lama dipupuk itu. Sementara itu, bukankah Ki Gede Menoreh, Kiai Gringsing dan Ki Waskita, langsung atau tidak langsung, sudah tersangkut pada putaran perebutan kekuasaan itu? Namun seperti yang aku katakan, bahwa aku masih mempunyai kesempatan untuk menilai lain serta bertingkat. Ada yang pada tingkat, yang samar-samar, ada yang karena dorongan harga diri, ada yang menyangkut kepentingan perkembangan pribadi, tetapi ada yang benar-benar karena nafsu ketamakan untuk mendapatkan kepuasan sebesar-besarnya bagi diri pribadi. Untuk sekejap atau untuk waktu yang agak lama.”

“Dan Pangeran?” tiba-tiba saja Agung Sedayu bertanya.

“Aku adalah orang asing di rumahku sendiri. Aku asing dari ayah bunda. Aku asing dari para senopati. Aku asing dari para inang pengasuhku. Dan kadang-kadang, aku merasa asing pula dari diriku sendiri,” jawab Pangeran Benawa.

Ki Waskita menarik nafas dalam-dalam. Ia melihat kekecewaan yang dalam memancar di mata anak muda itu. Apalagi ketika Pangeran Benawa berkata seterusnya, “Ki Waskita. Sebagai seorang anak, aku harus berbakti kepada orang tua. Dan aku sudah mencobanya. Tetapi aku tidak dapat menghapus kekecewaan yang sudah melekat di hati, di saat-saat aku melihat berapa puluh perempuan muda yang tersimpan di istana ayahanda. Mereka telah membayangi cinta kasih ayahanda terhadap ibunda dan aku. Sementara ibunda tidak mau menyadari keadaannya dan memaksa aku untuk menelan kepahitan perasaan itu tanpa berbuat sesuatu.”

Ki Waskita mengangguk-angguk. Namun katanya kemudian, “Pangeran. Bukankah itu berarti, bahwa Pangeran telah dikecewakan sebagai seorang putera laki-laki karena tingkah laku seorang ayah? Tetapi, apakah Pangeran sudah mencoba mendudukkan diri sebagai seorang Putera Mahkota, yang bertanggung jawab terhadap ayahanda Sultan di Pajang yang sedang memerintah?”

“Pertanyaan itu adalah pertanyaan yang paling aku benci. Kau tentu akan mengatakan, bahwa aku pun orang yang sekedar mementingkan diri sendiri. Mendambakan harga diri dan kemanjaan seorang ayah terhadap anak laki-lakinya. Gila. Itu pertanyaan gila.”

Ki Waskita dan Agung Sedayu menjadi berdebar-debar melihat akibat pertanyaan yang agaknya tidak disenangi oleh Pangeran Benawa. Bahkan kemudian Pangeran yang muda itu tiba-tiba saja berdiri tegak dengan wajah yang tegang.

Namun seperti berjanji, Ki Waskita dan Agung Sedayu tetap duduk di tempatnya. Bahkan keduanya pun kemudian menundukkan kepalanya, seolah-olah mereka benar-benar berhadapan dengan seorang putera Mahkota dalam kedudukannya.

Tetapi sejenak kemudian, agaknya hati Pangeran Benawa menjadi tenang. Perlahan-lahan ia duduk kembali sambil berdesah, “Aku memang seorang yang mementingkan diriku sendiri. Kekecewaanku sebagai seorang anak telah mencengkam jantungku terlalu dalam. Aku terlalu dungu untuk dapat membedakan antara seorang anak yang kecewa melihat cinta kasih ibunya terhadap ayahnya dibayangi oleh wajah-wajah perempuan cantik yang tak terhitung jumlahnya, dengan seorang Putera Mahkota yang asing di negerinya sendiri. Tidak, Aku bukan Putera Mahkota. Aku Benawa, seorang yang bebas untuk melakukan apa saja sesuai dengan nuraninya. Dan aku sudah melakukannya.”

“Apa yang sudah Pangeran lakukan?” bertanya Ki Waskita.

“Membunuh. Aku membunuh setiap orang yang tidak aku sukai. Aku melindungi setiap orang yang aku anggap harus mendapat perlindungan, seperti Glagah Putih. Aku bertualang di seluruh negeri. Tetapi aku juga menjadi seorang anak muda yang pendiam dan tidak meninggalkan bilik tidurku untuk berhari-hari.”

Ki Waskita menarik nafas dalam-dalam, ia mulai mengenal Pangeran Benawa sebagai seorang anak laki-laki yang terluka hatinya. Agaknya tidak ada seorang pun yang dapat menyembuhkannya.

“Aku sudah cukup banyak berbicara,” berkata Pangeran Benawa kemudian, “aku tidak pernah merahasiakan sikapku terhadap siapapun. Ayahanda pun mengerti pula. Karena itu, ayahanda tidak pernah mempersoalkan kedudukanku sebagai seseorang yang berhak atas tahta Pajang jika aku menghendaki.”

“Dan Pangeran tidak pernah mencoba menilai sikap Pangeran itu lagi?”

“Tidak ada gunanya. Aku sudah mengatakan kepada ayahanda, bahwa yang paling pantas untuk kemudian memerintah Pajang adalah kakangmas Sutawijaya. Meskipun ia anak angkat ayahanda, tetapi ia sudah seperti anak sendiri. Dan aku mengakui haknya atas Pajang.”

Ki Waskita termangu-mangu. Dipandanginya wajah Pangeran Benawa sejenak. Dari sorot matanya memancar pertanyaan yang bergejolak di dalam dadanya.

Pangeran Benawa tersenyum melihat sorot mata Ki Waskita. Katanya, “Kakangmas Raden Sutawijaya yang bergelar Senopati Ing Ngalaga adalah binatang buas yang paling bertanggung jawab, ia menyimpan nafsu di dalam dadanya. Ia berjuang untuk mencapai cita-citanya. Ia menyingkirkan orang-orang yang menghalanginya. Namun ia adalah orang yang berjuang untuk masa depan, yang menurut keyakinannya, akan dapat menjadi tumpuan harapan bagi tanah ini. Ia berbuat sesuatu atas dasar keyakinannya, seperti seekor harimau yang berjuang di dalam buasnya hutan belantara, di antara binatang-binatang buas yang lain, yang siap untuk membinasakannya.”

Ki Waskita hanya dapat menarik nafas. Tidak ada lagi yang dapat dikatakannya, karena agaknya hati Pangeran Benawa telah membatu.

“Aku akan pergi,” berkata Pangeran Benawa kemudian, “jika kau terlalu lama di sini, maka orang-orang di pendapa itu akan menjadi cemas. Mereka menyangka sesuatu telah terjadi, sehingga mereka akan berlari-larian mencarimu, meskipun dengan gejolak hati yang berbeda-beda, bahkan saling bertentangan.”

Pangeran Benawa itu pun kemudian bangkit berdiri. Dengan nada yang dalam ia berkata, “Aku minta diri. Aku tahu, bahwa kalian berdua adalah orang-orang yang jarang dicari bandingnya. Tetapi dua saudara dari Pesisir Endut itu tidak berdiri sendiri. Mereka mempunyai hubungan dengan orang-orang yang mendendammu, Agung Sedayu. Bukan karena cita-cita dan kesamaan sikap, tetapi semata-mata karena orang-orang yang mendendammu menyebarkan janji dan harapan. Bahkan mereka telah mulai menyebarkan uang dan benda-benda berharga. Nyawamu termasuk salah satu yang akan mereka beli dengan apa pun yang mereka dapatkan. Selain nyawamu, masih ada nyawa-nyawa yang lain termasuk Senopati Ing Ngalaga yang menjadi pusat sasaran mereka, bersama Mataramnya.”

Agung Sedayu dan Ki Waskita pun kemudian berdiri. Ketika Pangeran Benawa kemudian melangkahkan kakinya, maka keduanya bagaikan terpesona melihat sikap dan langkahnya.

“Berhati-hatilah,” Pangeran Benawa masih berpesan.

“Sekarang Pangeran akan pergi kemana?” bertanya Agung Sedayu.

Pangeran Benawa mengerutkan keningnya. Langkahnya tertegun. Dan jawabnya kemudian, “Aku tidak pernah memikirkan kemana aku pergi, kecuali jika aku sudah rindu kepada ibunda. Barulah aku berpikir tentang arah. Pulang kembali. Tetapi aku pun akan segera menjadi kecewa. Karena itu, ada dua pilihan yang selalu aku lakukan. Bersembunyi di dalam bilik, atau pergi kemana saja.”

Ki Waskita menarik nafas panjang. Sementara Pangeran Benawa pun segera melanjutkan langkahnya, berjalan menyusuri jalan panjang yang rasa-rasanya tidak berujung.

Ketika Pangeran Benawa menjadi semakin jauh, maka Ki Waskita pun menggamit Agung Sedayu sambil berkata, “Seorang Pangeran yang kehilangan pegangan hidupnya, meskipun ia seorang yang tidak ada taranya.”

“Apakah kira-kira yang akan dilakukannya kemudian, Paman? Nampaknya ia masih mempunyai kepercayaan kepada seseorang. Raden Sutawijaya.”

Ki Waskita memandang Pangeran Benawa, yang nampaknya menjadi semakin kecil. Sejenak ia termangu-mangu. Namun kemudian katanya, “Ia akan bertualang. Sebenarnya bertualang di sepanjang jalan, tapi jika badannya terkurung di dalam bilik tidurnya, ia akan bertualang di dalam angan-angannya tanpa batas. Tetapi ia masih tetap memiliki nurani seorang ksatria yang melindungi kelemahan dan menghancurkan kejahatan, meskipun caranya adalah cara menurut seleranya.

Agung Sedayu mengangguk-angguk. Pangeran Benawa menjadi semakin jauh, sehingga Agung Sedayu pun berkata, “Marilah kita kembali ke kademangan, Paman. Jika kita terlalu lama pergi, mungkin akan dapat menumbuhkan kegelisahan.”

Ki Waskita menarik nafas dalam-dalam. Sambil mengangguk ia pun kemudian beringsut sambil bergumam, “Ya. Kita akan segera kembali ke kademangan.”

Keduanya pun kemudian berjalan perlahan-lahan menyusuri jalan bulak menuju ke padukuhan induk Kademangan Sangkal Putung.

Di kademangan, Kiai Grinsing memang menjadi agak gelisah karena Agung Sedayu yang tidak segera kembali. Namun rasa-rasanya ia menjadi agak tenang karena Agung Sedayu tidak seorang diri. Ia bersama Ki Waskita, yang juga seorang yang dapat dipercaya, sehingga jika mereka mendapat gangguan di sepanjang jalan, maka keduanya tentu akan dapat mempertahankan hidup mereka.

Kiai Gringsing itu pun kemudian menarik nafas dalam-dalam, ketika ia melihat Agung Sedayu dan Ki Waskita memasuki regol kademangan, justru pada saat Ki Demang menghidangkan jamuan makan bagi tamu-tamunya, karena sebagian dari mereka akan segera meninggalkan kademangan.

Seperti biasa, Agung Sedayu tidak langsung pergi ke pendapa. Setelah ia membersihkan diri di pakiwan bersama Ki Waskita, maka keduanya pun segera pergi ke sebelah longkangan, tempat anak-muda mempersiapkan minuman.

“Kau tidak makan?” bertanya seorang kawannya.

“Di sini sajalah, bersama kalian,” jawab Agung Sedayu.

“Kiai?” bertanya seorang anak muda kepada Ki Waskita.

Ki Waskita tersenyum. Jawabnya, “Aku juga di sini. Jika aku sekarang naik ke pendapa, mungkin aku tidak akan mendapat bagian lagi.”

Anak-anak muda itu tertawa. Meskipun Ki Waskita jarang-jarang berada di Sangkal Putung, tetapi ia merupakan sahabat yang baik bagi anak-anak muda.

Sementara itu, ketika para tamu sudah selesai makan dan beristirahat sebentar, maka mereka pun mulai bersiap-siap untuk kembali. Sebagian dari mereka akan pergi ke Pajang, yang lain ke Jipang dan bahkan ada yang akan menempuh perjalanan jauh ke tempat-tempat lain.

“Aku pun akan ke Pajang lebih dahulu,” berkata Untara, “aku harus menghadap Sultan untuk mengembalikan pertanda pribadinya, dan melaporkan tugas yang telah aku lakukan.”

Beberapa orang perwira menyambut dengan senang hati, karena mereka akan mendapat kawan seperjalanan. Semakin banyak kawan seiring, maka semakin menyenangkan perjalanan yang cukup jauh itu. Tetapi beberapa orang yang lain justru menjadi kurang senang.

Seorang perwira berkata kepada kawannya yang duduk di sampingnya, “Sultan memang lagi bingung. Kenapa ia menyerahkan pertanda pribadinya kepada Untara?”

“Bukan bingung, tetapi pikun. He, kau tahu, kenapa Pangeran Benawa ada di sini sekarang ini, meskipun ia tidak menampakkan diri di kademangan ini?”

“Agaknya ia menjadi heran, kenapa ayahandanya terlalu percaya kepada senopati muda di lereng Gunung Merapi itu.”

Mereka tidak meneruskan pembicaraan itu, karena seorang kawan yang lain mendekatinya. Meskipun perwira itu berbisik baik, tetapi mereka belum mengenal sikap batin orang yang mendekat itu.

Dengan demikian, maka hampir setiap orang dihinggapi oleh kecurigaan terhadap kawan-kawan sesama mereka. Hanya kepada mereka yang diketahui dengan pasti sajalah, mereka dapat berbicara dengan terbuka.

Ternyata bahwa yang lebih dahulu minta diri adalah Untara. Raden Sutawijaya masih akan tinggal beberapa saat di Kademangan itu. Rasa-rasanya badannya masih lelah, meskipun tidak banyak yang dilakukannya di Sangkal Putung.

Demikianlah, maka tamu-tamu di Sangkal Putung itu mulai mengalir sekelompok demi sekelompok, Ki Demang mengantar mereka sampai ke regol bersama Sekar Mirah dan Pandan Wangi. Meskipun Sekar Mirah berusaha untuk tersenyum sambil mengucapkan terima kasih, namun masih nampak di sorot matanya, kepedihan yang menghunjam jantung.

Di luar, Agung Sedayu dan Swandaru memberikan hormat dan ucapan terima kasih pula. Namun setiap kali Agung Sedayu merasa tatapan mata yang tajam menyentuh perasaannya. Seolah-olah merupakan suatu peringatan, bahwa ada di antara mereka yang pada suatu saat akan berada di tempat yang saling menyeberang. Bahkan rasa-rasanya Agung Sedayu mulai dibayangi oleh garis batas yang basah karena darah di peperangan.

Agung Sedayu mengerutkan keningnya, ketika Untara berdiri di hadapannya. Beberapa saat lamanya senopati muda itu memandangi adiknya. Kemudian terdengar ia berdesis, “Agung Sedayu, setiap kejap umurmu semakin bertambah. Apalagi kau sudah mulai berbicara tentang seorang gadis yang akan kau jadikan seorang isteri. Dan kau masih saja bersikap seperti kanak-kanak yang suka bermain kejar-kejaran.”

Agung Sedayu menarik nafas dalam-dalam. Tetapi ia tidak menjawab.

“Aku akan pergi ke Pajang lebih dahulu,” berkata Untara kemudian, “baru dari Pajang aku kembali ke Jati Anom.”

“Ya, Kakang,” sahut Agung Sedayu kemudian.

“Dan kau? Apa yang akan kau lakukan?”

“Kembali ke padepokan,” jawab Agung Sedayu.

Untara menarik nafas dalam-dalam. Sekilas dipandanginya Swandaru yang mengerutkan keningnya. Namun Untara pun kemudian meninggalkan Sangkal Putung dengan hati yang risau oleh adik laki-lakinya.

Sementara itu, perasaan Agung Sedayu pun rasa-rasanya menjadi gelisah. Pertanyaan kakaknya mengingatkannya kepada hari depannya yang kurang mapan. Apalagi ketika sekilas teringat olehnya sifat dan tingkah laku Sekar Mirah. Gadis yang memiliki sifat sejalan dengan kakaknya, Swandaru.

Dengan susah payah Agung Sedayu mencoba mengendapkan perasaannya, sehingga tidak nampak membekas di wajahnya.

Dalam pada itu, sebagian besar para tamu telah meninggalkan kademangan. Namun masih ada beberapa orang yang tinggal. Mereka masih bercakap-cakap di pendapa tentang berbagai hal yang sedang berkembang di saat-saat terakhir.

Di antara mereka terdapat Raden Sutawijaya yang bergelar Senopati Ing Ngalaga, Ki Juru, Ki Gede Menoreh, Ki Waskita dan Ki Widura.

“Kita pulang bersama-sama, Ki Gede,” berkata Raden Sutawijaya.

Ki Gede tersenyum, jawabnya, “Terima kasih. Kita akan tidak merasa lelah di perjalanan, agaknya Ki Waskita pun tidak akan memilih menempuh perjalanan seorang diri seperti saat ia datang.”

Ki Waskita tersenyum. Jawabnya, “Aku memang lebih senang menempuh perjalanan bersama dengan beberapa orang, sehingga perjalanan tidak terasa sepi. Tetapi entahlah.”

“Tetapi kalian tentu tidak akan tergesa-gesa,” berkata Kiai Gringsing kemudian.

Raden Sutawijaya termangu-mangu sejenak. Namun kemudian katanya, “Baiklah. Aku akan tinggal semalam lagi di Sangkal Putung. Biarlah seorang pengawal mendahului kembali ke Mataram dan mengabarkan bahwa baru besok aku kembali,” Raden Sutawijaya berhenti sejenak sambil memandang kepada Ki Juru Martani, seolah-olah minta pertimbangan. Kemudian katanya, “Aku kira, aku masih mempunyai waktu, jika Ki Demang tidak berkeberatan.”

“Tentu tidak,” sahut Ki Demang dengan serta merta, “kami akan menerima dengan senang hati. Dengan demikian, kademangan ini tidak segera menjadi terlalu sepi. Malam nanti masih ada kawan untuk membuat kademangan ini terasa hangat.”

Raden Sutawijaya tersenyum. Jawabnya, “Terima kasih. Di sini aku merasa beristirahat. Aku tidak pernah mendapat kesempatan beristirahat sebaik-baiknya di Mataram. Ada saja persoalan-persoalan yang harus aku selesaikan.”

Ki Gede Menoreh pun tersenyum pula. Katanya, “Bermacam-macam persoalan memerlukan pemecahan, Raden. Tetapi, di sini Raden dapat melupakannya sejenak.”

Raden Sutawijaya tertawa. Ki Juru Martani pun tertawa pula sambil berkata, “Sebenarnya anakmas Sutawijaya sudah terlalu sering meninggalkan Mataram.”

“Tetapi tidak untuk beristirahat seperti ini,” sahut Sutawijaya, “di sini aku dapat makan enak dan tidur nyenyak.”

Ki Juru tertawa. Yang lain pun tertawa pula. Mereka mengerti, bahwa pada kesempatan yang lain, jika Raden Sutawijaya meninggalkan Mataram, biasanya ia menempuh perjalanan untuk mesu diri, untuk menyempurnakan ilmunya. Ilmu kanuragan, ilmu kajiwan serta ilmu pengetahuan.

Dengan demikian, maka beberapa orang tamu Ki Demang masih tetap tinggal untuk semalam. Mereka masih sempat berbincang dan berbicara mengenai banyak masalah. Tetapi agaknya mereka tidak ingin melelahkan pikiran mereka dengan persoalan-persoalan yang berat. Mereka masih berada dalam suasana berkabung. Apalagi jika mereka melihat wajah Sekar Mirah yang buram.

Namun sebenarnyalah, bahwa Raden Sutawijaya mempunyai maksud tertentu dengan keputusannya untuk tetap tinggal di Sangkal Putung. Sejak ia melihat kedua mayat yang terbunuh dengan ciri-ciri bekas tangan Pangeran Benawa, ia memperhitungkan, bahwa Pangeran Benawa berada di Sangkal Putung untuk suatu maksud tertentu.

“Mungkin ia hanya sekedar memberikan penghormatan terakhir kepada Ki Sumangkar, yang pasti dikenalnya pula,” berkata Raden Sutawijaya di dalam batinnya, “Tetapi, mungkin ia masih mempunyai maksud lain selama berada di Kademangan ini.”

Karena itulah, maka ketika kemudian matahari terbenam, Raden Sutawijaya minta diri untuk berjalan-jalan di kademangan Sangkal Putung. Tetapi ia tidak mengajak para pengawalnya. Yang diajaknya untuk ikut bersamanya adalah Agung Sedayu dan Glagah putih.

Agung Sedayu menjadi ragu-ragu. Namun kemudian ia pun menjawab, “Baiklah, Raden. Kita akan berjalan-jalan sampai ke ujung padukuhan. Tetapi bagi Sangkal Putung, demikian matahari terbenam, jalan-jalan segera menjadi sepi. Setelah obor dipasang di regol dan jalan-jalan simpang, maka penghuni kademangan ini mulai menutup pintu rumahnya.

“Dan gardu-gardu?” bertanya Raden Sutawijaya.

“Ketika malam menjadi semakin gelap, maka mulailah gardu-gardu menjadi hidup,” jawab Agung Sedayu.

“Menyenangkan sekali. Marilah. Aku sengaja tidak mengajak Swandaru, karena ia masih disibukkan oleh banyak pekerjaan di rumahnya,” berkata Raden Sutawijaya kemudian.

Swandaru hanya tersenyum saja. Tetapi sebenarnyalah bahwa ia merasa beruntung, bahwa ia tidak harus menyertai Raden Sutawijaya karena ia merasa sangat lelah. Ia sudah banyak memeras tenaganya sejak Ki Sumangkar masih sakit. Ia harus memperhatikan Sekar Mirah dan menjaga perasaannya. Apalagi pada saat Ki Sumangkar tidak dapat ditolong lagi.

Setelah minta diri kepada Ki Demang dan para tamu yang lain. Raden Sutawijaya pun kemudian meninggalkan kademangan, bersama Agung Sedayu dan Glagah Putih.

Seperti yang dikatakan oleh Agung Sedayu, maka ketika langit mulai kelam, jalan-jalan di Kademangan Sangkal Pntungpun segera menjadi sepi. Anak-anak sudah mulai naik ke pembaringan, setelah makan malam. Dan orang-orang tua pun lebih senang duduk berbincang dengan keluarganya di rumah.

Namun ketika malam bertambah malam, justru satu dua orang telah keluar dari rumahnya untuk pergi ke kademangan. Mereka merasa wajib untuk ikut serta bersama-sama beberapa orang tetangga terdekat untuk berjaga-jaga di pendapa kademangan, setelah meninggalnya Ki Sumangkar.

Demikian, maka pendapa Kademangan Sangkal Putung menjadi semakin banyak orang yang datang berkunjung, untuk ikut menjaga agar di kademangan itu tidak terasa menjadi sangat sepi.

Selain di pendapa Sangkal Putung, maka anak-anak muda pun mulai keluar dari rumahnya dan pergi ke gardu terdekat. Selain para pengawal yang kebetulan bertugas, maka anak-anak muda yang lain pun rasa-rasanya mempunyai kewajiban juga untuk ikut membantu mengawasi keadaan. Apalagi mereka mengerti, bahwa ada dua orang yang terbunuh di daerah Sangkal Putung. Meskipun pembunuhnya menurut pendengaran mereka adalah Pangeran Benawa, namun kemungkinan-kemungkinan yang tidak mereka kehendaki akan dapat terjadi di Kademangan Sangkal Putung.

Karena itulah, maka setiap kali Agung Sedayu dan Glagah Putih yang menyertai Raden Sutawijaya berjalan-jalan di seputar Kademangan Sangkal Putung, menjadi semakin sering ditegur oleh anak-anak muda, yang bukan saja bertemu di sepanjang jalan, tetapi juga mereka yang sudah berada di gardu-gardu.

Namun, dalam pada itu Raden Sutawijaya berjalan terus. Ketika mereka sampai di ujung padukuhan induk, maka Raden Sutawijaya pun mengajak Agung Sedayu untuk berjalan di tengah-tengah bulak.

Agung Sedayu menjadi agak berdebar-debar. Tetapi karena Raden Sutawijaya mendesaknya, maka akhirnya mereka bertiga pun berjalan juga di antara tanaman padi yang subur.

“Mudah mudahan tidak ada sesuatu sebab yang memaksa kami untuk berbuat sesuatu,” berkata Agung Sedayu di dalam hatinya. Rasa-rasanya ia selalu dibayangi oleh kemungkinan untuk melakukan pembunuhan terhadap banyak pihak, yang selalu mendendamnya.

Meskipun demikian, Agung Sedayu masih dapat merasakan segarnya udara di bulak panjang. Dalam keremangan malam nampak di kejauhan padukuhan-padukuhan yang menjorok ke dalam kelam, seperti bukit-bukit kecil yang berserakan.

Ketika Agung Sedayu menengadahkan wajahnya, dilihatnya langit yang bersih. Bintang-bintang bertebaran di seluruh langit. Namun bulan masih belum nampak, karena hari bulan yang semakin tua.

Namun, ketika mereka sampai di tengah-tengah bulak, rasa-rasanya ada sesuatu yang menyentuh perasaan Agung Sedayu. Nalurinya seakan-akan memberikan pertanda, bahwa mereka tidak hanya bertiga saja di bulak yang panjang itu.

Meskipun demikian, Agung Sedayu tidak mengatakannya kepada siapapun juga. Tetapi hampir di luar sadarnya, ia merapat di sebelah Glagah Putih, seolah-olah ia berusaha untuk memagari anak itu dari bahaya, jika tiba-tiba saja terjadi sesuatu di tengah-tengah bulak panjang itu.

Dalam pada itu, Raden Sutawijaya nampaknya sama sekali tidak merasakan sesuatu yang dapat mencemaskannya. Ia berjalan sambil menghirup udara segar, sambil sekali-sekali memperhatikan langit yang cerah. Bahkan, rasa-rasanya Raden Sutawijaya tidak menghiraukan lagi, berapa jauhnya mereka berjalan memasuki bulak yang panjang.

“Di sebelah ada padukuhan yang cukup besar bukan?” bertanya Raden Sutawijaya.

“Ya,” sahut Agung Sedayu, “padukuhan sebelah masih termasuk juga Kademangan Sangkal Putung.”

“Dan bulak di seberang?”

“Masih juga termasuk. Bahkan padukuhan di seberang bulak, yang tidak terlalu luas itu, masih juga termasuk Kademangan Sangkal Putung.”

Raden Sutawijaya mengangguk-angguk. Katanya, “Kita akan melihat-lihat padukuhan kecil itu.”

“Tidak termasuk padukuhan kecil. Yang termasuk kecil adalah padukuhan di sebelah. Jika kita berbelok ke kanan di tengah bulak itu, kita akan sampai padukuhan yang lebih kecil. Ada beberapa padukuhan kecil yang bertebaran di sebelah, sebelum kita sampai ke bulak yang memisahkan Sangkal Putung dengan hutan kecil itu.”

“Tetapi di hutan kecil itu masih terdapat beberapa jenis binatang buas bukan?” bertanya Raden Sutawijaya.

“Harimau,” jawab Agung Sedayu.

Raden Sutawijaya termangu-mangu. Namun kemudian katanya, “Kita berbelok ke kanan. Bukankah jalan ini menuju ke makam itu juga?”

“Ya,” jawab Agung Sedayu singkat.

Glagah Putih memandang Agung Sedayu sejenak. Namun ia justru merasa gembira berjalan-jalan bersama dengan Agung Sedayu dan Raden Sutawijaya.

Namun demikian, Agung Sedayu masih saja diganggu oleh perasaannya, bahwa selain mereka, masih ada orang lain di bulak itu. Bahkan rasa-rasanya orang itu selalu mengikuti langkah mereka, kemana pun mereka pergi.

Tetapi, Agung Sedayu tidak berhasil melihat orang itu. Meskipun setiap kali dengan tiba-tiba saja ia berpaling, namun ia tidak melihat apa pun juga di dalam keremangan malam.

Meskipun demikian, Agung Sedayu berjalan terus. Ketika bulak panjang itu sudah dilampaui, mereka memasuki sebuah padukuhan yang tidak begitu besar.

“Bagaimana dengan para pengawal di padukuhan ini?” bertanya Raden Sutawijaya.

“Tidak banyak berbeda dengan padukuhan yang lain,” jawab Agung Sedayu, “mereka juga memenuhi gardu-gardu di padukuhan mereka, termasuk anak-anak muda. Tetapi kebanyakan dari anak-anak muda itu, selain yang bertugas, hanyalah sekedar berpindah tempat pembaringan.”

Sutawijaya tersenyum. Katanya, “Dimana pun sama saja. Tetapi itu pun lebih baik, karena setiap saat mereka dengan mudah berkumpul. Sementara laki-laki yang lebih tua menjaga rumah-rumah mereka.”

Agung Sedayu mengangguk-angguk. ia pun berpendapat demikian, meskipun kadang-kadang anak-anak muda itu justru sering mengganggu tetangga di sekitarnya. Jika sebatang pohon jambu berbuah, maka di malam hari anak-anak muda itu sering tidak dapat menahan diri melihat buahnya yang kemerah-merahan.

Dalam pada itu, Raden Sutawijaya, Agung Sedayu dan Glagah Putih pun berjalan terus. Di muka gardu, mereka kadang-kadang harus berhenti dan bercakap-cakap sebentar dengan anak-anak muda yang ada di dalamnya. Bahkan jika mereka mengetahui bahwa yang bersama Agung Sedayu itu adalah Raden Sutawijaya yang bergelar Senopati Ing Ngalaga, maka mereka pun segera berloncatan turun dari gardu dan mengitarinya, untuk melihat lebih dekat lagi anak muda yang telah berhasil membuka Alas Mentaok yang pekat itu menjadi sebuah negeri yang termasuk cepat berkembang.

Setelah melewati gardu di ujung lain dari lorong yang membelah padukuhan kecil itu, maka Raden Sutawijaya pun memasuki sebuah bulak yang meskipun tidak terlalu panjang, tetapi terasa sangat sepi.

Agung Sedayu pun kemudian berjalan semakin rapat di sisi Glagah Putih. Sementara Raden Sutawijaya berada di sebelah yang lain.

Tetapi Glagah Putih sendiri sama sekali tidak merasakan kekhawatiran apa pun juga. Ia terlalu percaya kepada Agung Sedayu dan Raden Sutawijaya. Bahkan ia merasa seandainya mereka bertemu dengan sekelompok penjahat sekalipun, kedua anak muda itu tentu akan dapat mengatasinya.

Namun bagi Agung Sedayu, sentuhan-sentuhan perasaannya masih saja terasa getaran naluriah yang seakan-akan memberitahukan kepadanya, bahwa seseorang sedang mengikutinya.

Agung Sedayu termangu-mangu, ketika tiba-tiba saja Raden Sutawijaya menggamitnya sambil berkata, “Kita berhenti di sini.”

“Kenapa?” bertanya Agung Sedayu.

Raden Sutawijaya menebarkan pandangan matanya ke dalam kesamaran warna malam. Sejenak ia berdiri tegak tanpa berkata apa pun juga.

“Ada sesuatu yang menarik perhatian, Raden?” bertanya Agung Sedayu kemudian.

“Apakah kau merasakan sesuatu?” Raden Sutawijaya pun bertanya pula.

Agung Sedayu menarik nafas. Ternyata bahwa Raden Sutawijaya merasakan pula seperti sentuhan-sentuhan pada perasaannya.

“Aku merasa, bahwa kita tidak hanya bertiga di bulak ini,” jawab Agung Sedayu.

Raden Sutawijaya mengangguk. Jawabnya, “Aku juga merasa demikian. Dan memang itulah yang aku harapkan.”

Agung Sedayu mengerutkan keningnya. Namun, tiba-tiba teringat olehnya seorang anak muda yang berpakaian petani yang telah membunuh dua orang bersaudara dari Pasisir Endut.

“Pangeran Benawa?” hampir di luar sadarnya Agung Sedayu bertanya.

Raden Sutawijaya menarik nafas dalam-dalam. Ditatapnya wajah Agung Sedayu sejenak. Kemudian katanya, “Benar, Agung Sedayu. Aku memang berharap dapat bertemu dengan adimas Pangeran Benawa. Aku yakin ia masih berada di Sangkal Putung. Jika ia melihat aku keluar dari padukuhan, maka ia tentu akan menemui aku.”

Agung Sedayu mengangguk-angguk kecil. Ia sependapat dengan Raden Sutawijaya. Nampaknya Pangeran Benawa masih mempunyai kepercayaan kepadanya.

“Raden,” berkata Agung Sedayu, “jika demikian, kita akan menunggu sejenak. Orang yang kita tunggu agaknya akan segera datang.”

Raden Sutawijaya mengangguk kecil. Namun katanya, “Kita akan berjalan perlahan-lahan menyusuri jalan ini.”

Agung Sedayu tidak menjawab. Mereka pun melangkah lagi meskipun lambat, seolah-olah mereka sengaja menunggu seseorang yang akan segera menyusul mereka.

Namun ternyata bahwa yang mereka perhitungkan terjadi. Sejenak kemudian nampak sesosok bayangan yang meloncat ke tengah jalan bulak, yang tidak begitu panjang itu, beberapa langkah di belakang mereka.

Raden Sutawijaya menarik nafas dalam-dalam. Perlahan-lahan ia berdesis, “Kau lihat seseorang di belakang kita?”

Agung Sedayu mengerutkan keningnya. Ketika ia berpaling, maka ia pun melihat sebuah bayangan yang mengikutinya.

Meskipun bayangan itu tidak nampak dalam ujud dan bentuk, namun Agung Sedayu segera menduga, bahwa orang itu adalah Pangeran Benawa yang ingin menjumpai Raden Sutawijaya.

Ketiga orang yang berada di tengah bulak itu pun segera berhenti menunggu. Semakin lama bayangan itu pun menjadi semakin dekat. Dan Agung Sedayu pun menjadi semakin yakin, bahwa ia adalah anak muda yang telah dijumpainya bersama Ki Waskita.

Sebelum bayangan itu dekat benar, maka terdengar Raden Sutawijaya sudah menyapanya, “Adimas. Aku yakin, bahwa Adimas Pangeran akan menemui aku. Jika tidak malam ini, tentu besok atau pada kesempatan lain.”

Bayangan itu melangkah semakin cepat. Kemudian dengan nada dalam terdengar ia menyahut, “Sudah lama aku berniat, Kakangmas. Tetapi aku belum mendapat kesempatan. Agaknya di Sangkal Putung ini aku mendapatkan kesempatan itu.”

Ketika kemudian Pangeran Benawa mendekat, Raden Sutawijaya pun menepuk bahunya sambil berkata, “Kau memang orang yang luar biasa. Setiap orang tahu, bahwa kakak beradik dari Pasisir Endut bukan orang kebanyakan. Tetapi keduanya tidak berdaya melawan ilmumu.”

“Ah. Aku tidak dapat membiarkan melihat kekejiannya.”

“Bukan itu yang penting bagiku. Beruntunglah Pajang mempunyai seorang pemimpin seperti Adimas.”

Pangeran Benawa memandang Raden Sutawijaya sejenak. Kemudian katanya, “Pajang terasa asing bagiku.”

Raden Sutawijaya, menarik nafas dalam-dalam. Ia pun kemudian menepi dan duduk di atas sebuah batu padas di tepi jalan.

Pangeran Benawa termangu-mangu sejenak. Namun ia pun kemudian duduk pula di samping Raden Sutawijaya, diikuti oleh Agung Sedayu dan Glagah Putih.

“Adimas Benawa,” berkata Raden Sutawijaya kemudian, “apakah Adimas tidak melihat keburaman di dalam istana Pajang, sehingga Adimas tidak segera meringankan tangan, membantu ayahanda Sultan untuk menegakkan kewibawaannya kembali?”

Pangeran Benawa memandang ke dalam kegelapan malam. Untuk beberapa saat ia berdiam diri. Kemudian jawabnya, “Aku adalah seorang pengecut yang lari dari medan perang. Tetapi sebenarnya aku tidak takut melawan apa pun yang terjadi di dalam istana itu. Yang ternyata mengusir aku dari medan adalah perasaan kecewaku terhadap ayahanda itu sendiri.”

Raden Sutawijaya memandang Pangeran Benawa sejenak. Ia melihat kekecewaan yang dalam membayang di wajah anak muda itu. Betapa gelapnya malam, namun Raden Sutawijaya seolah-olah melihat, bayangan tingkah laku Sultan Pajang yang telah membuat hati anak muda itu bagaikan membeku.

“Adimas,” berkata Raden Sutawijaya kemudian, “tetapi Adimas harus ingat, bahwa masalah Pajang adalah masalah yang jauh lebih besar dari masalah ayahanda Sultan Hadiwijaya sendiri.”

“Aku menyadari. Tetapi seperti yang aku katakan. Hatiku ringkih dan lemah. Aku telah terpukul oleh kekecewaan yang seharusnya dapat aku atasi, karena persoalan yang lebih besar dari sekedar kecengengan yang memuakkan,” Pangeran Benawa berhenti sejenak. Lalu, “Tetapi ternyata yang terjadi adalah lain. Aku telah terpukul oleh kelemahan hatiku, dan sama sekali tidak berdaya untuk bangkit kembali.”

Raden Sutawijaya menggeleng. Jawabnya, “Kesadaranmu tentang keadaanmu, sebenarnya akan sangat berguna bagi usahamu untuk bangkit menjunjung nama Pajang kembali.”

Tetapi Pangeran Benawa menjawab, “Tidak. Aku justru berusaha untuk menjumpai Kakangmas Sutawijaya karena ada sesuatu yang tumbuh di dalam hatiku. Benar-benar nuraniku.”

Raden Sutawijaya menarik nafas dalam-dalam, sementara Pangeran Benawa meneruskan, “Satu-satunya orang yang mungkin dapat berdiri di atas kekalutan pemerintahan dan kekalutan hati ini adalah Kakangmas Sutawijaya.”

Sutawijaya tertegun sejenak. Namun katanya kemudian, “Adimas. Sudah tentu aku tidak mencuci tangan. Aku sudah bersumpah untuk tidak menginjakkan kakiku di paseban istana Pajang sebelum Mataram menjadi sebuah negeri, karena hatiku terbakar oleh sikap beberapa orang perwira saat itu. Tetapi itu bukan berarti, bahwa aku tidak akan ikut memikul tanggung jawab atas kelestarian Pajang.”

Pangeran Benawa memandang Raden Sutawijaya sejenak. Kemudian katanya, “Tanpa menghadap ayahanda dan menyampaikan persoalan kita masing-masing, sebenarnyalah bahwa ayahanda telah mengambil keputusan. Bahwa ayahanda telah menyerahkan pusaka-pusaka terpenting dari Pajang kepada Kakangmas adalah keputusan ayahanda untuk kelangsungan hidup Pajang. Ayahanda mengenal aku dengan segala macam sifat dan watakku sebaik-baiknya pula. Itulah sebabnya, maka sebenarnya tidak ada lagi persoalan di Pajang.”

“Tetapi aku mempunyai tanggapan lain. Ayahanda membebankan tugas bagiku sebagai seorang Senopati Perang untuk melindungi Pajang. Dan aku yakin, tidak ada dua, bahwa Adimas Benawa-lah yang seharusnya menjadi Putera Mahkota. Justru saat yang gawat sekarang ini merupakan waktu yang tepat untuk berbuat sesuatu bagi Pajang.”

Pangeran Benawa menggeleng. Katanya, “Kakangmas Sutawijaya. Pajang bukan satu-satunya tempat bagi kelangsungan pemerintahan. Seandainya pusat pemerintahan itu terletak dimanapun juga, tidak ada bedanya, asal pemegang pemerintahan merupakan jalur lurus yang memang berhak dan direstui oleh ayahanda Sultan Hadiwijaya. Dan aku sudah menemukannya. Mataram.”

“Ah,” desah Raden Sutawijaya, “aku adalah putera angkat. Betapapun besar kasih sayang ayahanda terhadapku, tetapi kau adalah putera yang seharusnya menerima warisan itu.”

“Itulah yang agak berbeda dari kata nuraniku. Yang penting bagi Pajang bukanlah siapa yang berhak atas tahta. Tetapi siapakah yang paling baik bagi kelestariannya. Dan aku memang sudah menyadari, bahwa aku lebih mementingkan yang paling baik bagi Pajang daripada yang lebih berhak.”

Raden Sutawijaya termangu-mangu sejenak. Dipandanginya wajah malam yang kelam di seputarnya. Agung Sedayu dan Glagah Putih duduk bagaikan membeku. Mereka tidak dapat ikut dalam pembicaraan itu. Tetapi seolah-olah Raden Sutawijaya sengaja membawa mereka untuk menjadi saksi atas sikap dan kata nurani masing-masing tentang Pajang di masa depan.

Untuk beberapa saat mereka saling berdiam diri. Kedua anak muda yang paling berhak berbicara atas tangan-tangan yang akan menggenggam pemerintahan itu telah berbincang. Dan agaknya Raden Sutawijaya tidak dapat menghindari limpahan tanggung jawab yang telah di hindari oleh Pangeran Benawa.

Tetapi masih membayang keragu-raguan pada wajah Raden Sutawijaya. Pangeran Benawa menentukan sikapnya pada saat hatinya dibakar oleh kekecewaan terhadap ayahandanya. Tetapi apakah sikap itu akan langgeng? Jika kekecewaan itu menjadi semakin kabur dari dinding hatinya, maka apakah ia masih tetap pada pendiriannya?

Pertanyaan itu telah membayangi hati Raden Sutawijaya. Namun ia tidak tergesa-gesa menyalakannya kepada Pangeran Benawa. Agaknya ia masih memerlukan waktu untuk menyampaikannya. Jika Pangeran Benawa telah sempat mempertimbangkannya dua tiga kali saja.

Namun seolah-olah Pangeran Benawa merasakan keragu-raguan Raden Sutawijaya. Ia-lah yang kemudian mengatakannya, meskipun Raden Sutawijaya tidak bertanya, “Kakangmas. Mungkin Kakangmas ragu-ragu, apakah aku tidak akan berubah pendirian.”

Raden Sutawijaya mengerutkan keningnya, sementara Pangeran Benawa berkata seterusnya, “Aku mohon Kakangmas percaya kepadaku, bahwa aku akan tetap memegang kata-kataku sekarang. Aku tidak baru saja memikirkannya. Aku sudah lama mempertimbangkannya. Agaknya pertimbanganku sudah matang. Apa pun yang kelak terjadi atasku, tetapi aku tidak akan berubah dalam hal ini.”

Sejenak Raden Sutawijaya termenung. Namun kemudian sambil menepuk bahu Pangeran Benawa, ia berkata, “Adimas. Mungkin kita dapat mengambil suatu sikap bersama. Tetapi semuanya masih tetap tergantung ayahanda Sultan di Pajang.”

Pangeran Benawa tersenyum. Jawabnya, “Bagiku tidak. Juga jika ayahanda memerintahkan aku untuk bersedia diangkat menjadi Pangeran Pati. Aku akan menolak dengan segala akibatnya.”

“Jangan begitu, Adimas. Sikap itu akan sangat menyedihkan hati ayahanda.”

“Mudah-mudahan ayahanda mengerti, seperti yang aku duga selama ini. Bahkan menurut dugaanku, ayahanda tidak lagi akan bertanya kepadaku, apakah aku bersedia diangkatnya menjadi Pangeran Pati.”

Raden Sutawijaya tidak menyahut lagi. Pangeran Benawa agaknya benar-benar telah mengambil keputusan.

Sejenak mereka saling berdiam diri. Angin malam berhembus ke Utara. Sementara bintang gemintang bagaikan terbaur di langit yang luas.

“Kakangmas,” Pangeran Benawa memecah keheningan, “aku mohon diri. Tidak ada yang dapat aku katakan lagi. Rasa-rasanya beban yang menghimpit dada telah tertumpah keluar. Aku akan dapat tidur dengan nyenyak.”

“Tetapi aku-lah yang kemudian tidak dapat tidur,” jawab Raden Sutawijaya, “masalahnya sangat gawat bagiku.”

Pangeran Benawa berdiri sambil tersenyum. Katanya, “Kakangmas adalah Senopati Ing Ngalaga, yang telah menerima pelimpahan pusaka terpenting dari Pajang. Tidak ada persoalan lagi yang seharusnya Kakangmas risaukan. Jangan hiraukan suara orang-orang yang iri hati. Dan jika Kakangmas memerintahkan, aku akan dengan senang hati membantu memusnahkan mereka yang menyebut dirinya pewaris Kerajaan Agung Majapahit tanpa menghiraukan keadaan kecuali dibayangi oleh nafsu ketamakan.”

“Terima kasih, Adimas,” desis Raden Sutawijaya, “kita masih harus menunggu sikap terakhir ayahanda Sultan Pajang.”

Sekali lagi Pangeran Benawa tersenyum. Bahkan kemudian terdengar suara tertawanya lirih, “Ayahanda tidak lagi dapat mengambil sikap apa-apa.”

“Ah,” desah Raden Sutawijaya.

Tetapi Raden Sutawijaya tidak sempat berbicara lagi, karena Pangeran Benawa berkata, “Sudahlah, Kakangmas. Hari sudah jauh malam. Lebih baik aku segera meninggalkan Sangkal Putung dan kembali ke Pajang.”

“Baiklah, Adimas. Kita akan menghadapi masa-masa yang berat.”

“Ya. Aku sadar. Tetapi aku yakin, semuanya akan teratasi.”

Pangeran Benawa pun kemudian minta diri kepada Agung Sedayu dan Glagah Putih. Sambil menepuk bahu anak yang masih sangat muda itu, ia berkata, “Kau adalah seseorang yang menyimpan kemungkinan yang sangat besar seperti kakakmu, Agung Sedayu.”

Glagah Putih menundukkan kepalanya.

“Sudahlah. Kalian tentu lelah. Beristirahatlah. Aku pun akan beristirahat di perjalanan kembali ke Pajang.”

Glagah Putih mengerutkan keningnya, ia tidak begitu mengerti kata-kata Pangeran Benawa, “Apakah perjalanan yang panjang itu dianggapnya sebagai suatu istirahat saja?”

Sejenak kemudian, maka Pangeran Benawa pun telah meninggalkan Raden Sutawijaya, yang berdiri termangu-mangu. Namun kemudian katanya kepada Agung Sedayu, “Ia adalah ksatria yang benar-benar berusaha untuk menempatkan diri. Akhirnya aku percaya, bahwa sikapnya bukan sekedar karena kekecewaannya. Tetapi ia menganggap bahwa aku lebih baik daripadanya, meskipun aku tidak tahu, apakah memang sebenarnya demikian.”

Agung Sedayu menarik nafas. Dengan nada yang dalam ia berkata, “Ia nampak bersungguh-sungguh. Jarang menemukan seorang anak muda seperti Pangeran Benawa. Seseorang pada umumnya lebih senang menerima kedudukan tanpa menghiraukan apakah ia mampu melakukannya.”

“Pangeran Benawa berdiri di atas persoalan yang beraneka,” sahut Raden Sutawijaya.

Agung Sedayu mengangguk-angguk.

“Marilah,” berkata Raden Sutawijaya, “jika kita pergi terlalu lama, akan dapat menumbuhkah kegelisahan di kademangan. Pamanda Ki Juru Martani tentu menjadi gelisah pula, selain gurumu dan paman Widura.”

Agung Sedayu mengangguk. Digamitnya Glagah Putih yang masih saja memandang ke arah Pangeran Benawa pergi sambil berkata, “Marilah, Glagah Putih. Kita sudah menyaksikan suatu peristiwa yang penting. Tetapi peristiwa ini bukan peristiwa yang dapat kau ceriterakan kepada kawan-kawanmu bermain, atau kepada siapapun juga. Karena masalah ini menyangkut masalah yang besar.”

Glagah Putih memandang Agung Sedayu dan Raden Sutawijaya berganti-ganti.

“Kakakmu benar, Glagah Putih,” berkata Raden Sutawijaya sambil tersenyum, “aku percaya, bahwa kau dapat menyimpannya saja di dalam hatimu, sampai saatnya peristiwa yang sesungguhnya terjadi. Dan kita tidak tahu, apa yang kelak akan terjadi sesungguhnya, meskipun aku dan adimas Pangeran Benawa misalnya sudah sepakat.”

Glagah Putih mengangguk-angguk kecil. Meskipun ia masih muda, tetapi ia cukup mengerti, bahwa yang baru saja disaksikannya adalah persoalan yang menyangkut masalah yang besar.

Demikianlah, maka mereka bertiga telah melangkah kembali ke padukuhan induk. Mereka melalui padukuhan kecil yang sepi, tetapi gardu-gardunya menjadi semakin hidup. Anak-anak muda sudah mulai berkumpul. Nampaknya mereka sedang asyik bergurau. Terdengar suara tertawa menusuk sunyinya malam.

“Sebentar lagi gardu-gardu itu menjadi sepi,” berkata Agung Sedayu, “yang akan terdengar hanyalah dua tiga orang yang berbicara perlahan-lahan, karena anak-anak muda sudah tertidur nyenyak.”

Sutawijaya tersenyum. Di Mataram, gardu-gardu juga diisi oleh anak-anak muda yang selalu ingin berkumpul di antara mereka. Tetapi karena mereka tidak bertugas, maka mereka tidur saja dengan nyenyaknya apalagi mereka telah merasa mengantuk.

Di depan gardu-gardu yang dilalui, seperti saat mereka berangkat, maka setiap kali mereka bertiga pun harus berhenti sejenak untuk menjawab beberapa pertanyaan. Baru kemudian mereka dapat meninggalkan anak-anak muda untuk meneruskan perjalanan.

Ketika mereka sampai di kademangan, maka di pendapa masih banyak orang yang duduk melingkar di atas tikar pandan. Mereka berkumpul untuk ikut berjaga-jaga, agar kademangan, yang baru saja kematian seseorang itu, tidak terasa sangat sepi.

Seperti yang diduga, ternyata kepergian Sutawijaya yang agak lama itu telah menimbulkan kegelisahan. Ketika ia memasuki regol halaman dan mencuci kakinya di sudut halaman, Ki Juru menarik nafas dalam-dalam sambil berkata, “Itulah Raden Sutawijaya, Agung Sedayu dan Glagah Putih.”

Kiai Gringsing pun tersenyum. Katanya, “Aku juga sudah mulai gelisah.”

Ketika ketiganya naik ke pendapa, maka Ki Juru pun segera bertanya, “Begitu lama, Raden?”

Raden Sutawijaya tersenyum. Meskipun ia merasa wajib untuk melaporkannya kepada Ki Juru Martani, tetapi ia tidak dapat mengatakannya di hadapan banyak orang. Karena itu, maka katanya, “Berjalan jalan di bulak bulak panjang agaknya menyenangkan sekali, Ki Juru. Udaranya terasa segar di antara batang-batang padi muda.”

Ki Juru mengangguk-angguk. Lalu, “Kami sudah gelisah. Baru siang tadi terjadi peristiwa yang mendebarkan.”

“Tetapi di malam hari ini tidak akan terjadi apa-apa. Di gardu-gardu banyak anak-anak muda berkumpul sambil bergurau. Mereka akan menjaga ketenangan padukuhan-padukuhan di Kademangan Sangkal Putung.”

“Tetapi mereka akan segera tidur lelap,” potong Ki Demang.

“Tidak semuanya,” sahut Ki Jagabaya.

Yang lain tersenyum. Tetangga-tetangga Ki Demang pun tersenyum. Seorang yang masih cukup muda menyahut, “Seperti yang dikatakan Ki Jagabaya. Setiap saat tentu ada yang berjaga-jaga. Yang bertugas tentu mengatur diri untuk tidur bergantian.”

Ki Jagabaya tertawa. Katanya, “Ia adalah salah seorang dari para pengawal yang kadang-kadang bertugas di malam hari.”

Yang lain pun tertawa. Raden Sutawijaya mengangguk-angguk sambil tersenyum. Ia telah melihat kegiatan anak-anak muda di Sangkal Putung, yang tidak jauh berbeda dengan kegiatan para pengawal di Mataram dan para prajurit di Pajang.

“Agaknya Swandaru berhasil menguasai kawan-kawannya di Sangkal Putung,” berkata Raden Sutawijaya di dalam hatinya, “Pengaruh kedudukan ayahnya dan kemampuan yang diperolehnya dari gurunya, ternyata dapat dimanfaatkannya sebaik-baiknya.”

Tetapi saat itu Swandaru tidak berada di pendapa. Setiap kali bersama isterinya Pandan Wangi, ia masih saja mengamati keadaan adiknya.

Meskipun Sekar Mirah ternyata berhasil menguasai perasaannya, namun kadang-kadang masih saja ada ledakan-ledakan kepedihan hatinya yang muncul, sehingga air matanya setiap kali masih nampak mengambang di pelupuknya.

Sementara itu, di pendapa masih saja terdengar percakapan yang riuh. Kadang-kadang terdengar suara tertawa tertahan. Namun kadang-kadang suara tertawa itu lepas juga berkepanjangan. Namun jika mereka teringat, bahwa baru saja mereka memakamkan jenazah Ki Sumangkar, maka suara tertawa itu pun segera mereda.

Sekar Mirah memang merasa tersinggung oleh suara tertawa yang meledak. Namun kakaknya masih sempat memperingatkannya, bahwa kehadiran orang-orang itu memang sengaja untuk memberikan suasana yang lain daripada kesedihan melulu. Karena dengan kehadiran mereka, maka suasana akan menjadi lebih hidup dan tidak selalu diselubungi oleh kenangan atas meninggalnya Ki Sumangkar.

Sekar Mirah mencoba untuk mengerti. Karena itu, maka ia telah berusaha untuk tidak menghiraukan lagi suara tertawa yang kadang-kadang meledak. Namun tiba-tiba saja bagaikan tersentak berhenti.

Baru menjelang dini hari, pendapa itu mulai menjadi sepi. Para tetangga telah meninggalkan pendapa, dan para tamu telah kembali ke penginapan masing-masing.

Dalam pada itu, Agung Sedayu telah mengantarkan Glagah Putih ke gandok, kemudian meninggalkannya berbaring. Sedangkan Agung Sedayu sendiri melangkah menuju kelongkangan, tempat anak-anak muda membuat minuman.

Tetapi nampaknya tempat itu pun telah sepi. Hanya ada dua orang yang masih duduk terkantuk-kantuk, sementara yang lain telah tertidur di serambi.

“Kau belum tidur?” bertanya salah seorang dari mereka kepada Agung Sedayu.

Agung Sedayu menggeleng. Jawabnya, “Aku tidak mengantuk.”

“Swandaru menunggumu,” kata anak muda itu. Agung Sedayu mengerutkan keningnya. Namun ia pun kemudian masuk ke ruang dalam melalui butulan.

Di ruang tengah, Swandaru duduk sambil menyandarkan kepalanya pada tiang. Matanya sudah separo terpejam. Tetapi ia tidak tertidur.

Ketika ia melihat Agung Sedayu mendekatinya, maka ia pun bertanya dengan nada yang dalam, seolah-olah tersangkut di kerongkongan, “Kau pergi kemana saja, Agung Sedayu?”

“Sekedar berjalan-jalan di bulak dan melihat padukuhan-padukuhan kecil,” jawab Agung Sedayu.

“Rasa-rasanya kau pergi terlalu lama. Beberapa orang telah menjadi gelisah.”

Agung Sedayu tidak menyahut. ia pun kemudian duduk di samping Swandaru.

“Bagaimana dengan Sekar Mirah?” bertanya Agung Sedayu kemudian.

“Ia menjadi semakin tenang. Sekarang ia tidur dengan Pandan Wangi. Mudah-mudahan besok ia telah benar-benar dapat menguasai diri sepenuhnya.”

Agung Sedayu mengangguk-angguk. Ia pun berharap demikian, sehingga gadis itu seolah-olah tidak lagi menjadi beban bagi orang lain.

Sementara itu, Swandaru yang telah mcnguap pun berkata, “Sebaiknya kita pun pergi tidur.”

Agung Sedayu mengangguk. Jawabnya, “Aku juga mulai merasa mengantuk.”

Swandaru berdiri sambil menggeliat. Perlahan-lahan ia melangkah sambil berkata, “Besok kita masih mempunyai kerja.”

Ketika Swandaru kemudian hilang di pintu biliknya, maka Agung Sedayu pun bangkit pula dan melangkah keluar. Ia kemudian merebahkan diri di serambi, di atas sebuah amben bambu yang besar bersama beberapa orang anak muda yang telah tertidur nyenyak.

Sementara itu, di dalam bilik yang disediakan bagi Raden Sutawijaya dan Ki Juru Martani, keduanya ternyata masih duduk sambil berbincang. Raden Sutawijaya dengan bersungguh-sungguh menceriterakan pertemuannya dengan Pangeran Benawa, yang menyatakan pokok pikirannya tentang Pajang di masa yang akan datang.

Ki Juru setiap kali mengagguk-anggukkan kepalanya. Ia mendengarkan keterangan Raden Sutawijaya dengan saksama, seolah-olah ia tidak mau kehilangan satu kata pun yang diucapkan oleh anak muda itu.

“Anak muda yang mengagumkan,” berkata Ki Juru, “tetapi juga mengherankan. Terlalu sulit untuk mengerti caranya berpikir, meskipun kita dapat meraba-raba.”

“Ia tidak dapat mengatasi rasa kecewa yang menghunjam jantungnya,” berkata Raden Sutawijaya.

“Ya. Tidak jauh berbeda dengan sikapmu. Kau tidak mau tampil dalam pergolakan yang terjadi di istana Pajang, karena kau mempertahankan harga dirimu. Kau sudah mengucapkan sumpah untuk tidak menjamah paseban, sebelum Mataram menjadi ramai. Dan kau tidak merubah sikapmu meskipun kau tahu, bahwa Pajang kini benar-benar terancam bahaya. Sedangkan Pangeran Benawa tidak pula mau melepaskan perasaan kecewanya, meskipun sebenarnya ia pun memiliki kemampuan untuk berbuat sesuatu mengatasi keadaan. Apalagi jika kalian berdua menemukan kata sepakat. Maka tidak seorang pun yang akan dapat menggetarkan kedudukan kalian.”

Raden Sutawijaya menundukkan kepalanya. Dalam keadaan yang demikian, ia memang merasa ragu-ragu. Apakah sudah sewajarnya ia bersitegang mempertahankan kalimat-kalimat yang pernah diucapkan sebagai sumpahnya di hadapan para perwira di Pajang?

Namun di dasar hatinya yang paling dalam, timbul pula niatnya untuk membiarkan Pajang menjadi lapuk dari dalam.

“Tidak ada yang pantas dipertahankan lagi,” katanya di dalam hati, “biarlah Pajang runtuh sama sekali. Baru kemudian dapat dibangun pemerintahan yang bersih sama sekali dari segala nafsu. Meskipun barangkali sikap itu pun didorong oleh nafsu pula.”

Raden Sutawijaya sendiri kadang-kadang memang menjadi bingung menghadapi keadaan yang membentang di hadapannya. Namun satu hal yang tidak terlepas dari tekadnya, bahwa yang akan datang harus lebih baik dari yang dibiarkannya menjadi reruntuhan.

Dalam pada itu, agaknya Pangeran Benawa sama sekali tidak mau meninjau sikapnya, seolah-olah ia sudah jemu membuat pertimbangan-pertimbangan lagi. Ia sudah menemukan keputusan. Dan keputusan itu baginya mutlak berlaku, apa pun yang akan terjadi.

Baginya Pajang telah dipenuhi oleh binatang-binatang buas yang saling menerkam, saling membunuh dan saling membinasakan. Namun di antara mereka, ia masih melihat seseorang yang bertanggung jawab terhadap masa depan.

“Raden,” berkata Ki Juru kemudian, “kita masih harus berusaha menemuinya lagi. Kapan dan dimana pun,”

Raden Sutawijaya mengangguk. Jawabnya, “Aku sependapat, Paman. Aku harus menemukan sikapnya yang sejati. Aku tidak akan ingkar, bahwa aku harus memikul tanggung jawab bagi masa depan jika itu memang dikehendakinya. Tetapi aku tidak akan melanggar haknya jika ia memang menghendaki. Karena aku yakin, jika adimas Pangeran Benawa menerima limpahan kekuasaan ayahanda, berarti ia akan mempertanggung jawabkannya. Ia akan mengatasi perasaan kecewa dan tidak peduli. Karena Pangeran Benawa tidak akan dapat menerima kedudukan itu hanya karena terpaksa, atau karena kebiasaan dan hak semata-mata.”

“Aku mengerti. Itulah yang mengagumkan pada anak muda itu. Tetapi jika benar demikian, kau harus dapat mengimbangi dengan sikap dan tingkah laku, sebagai wujud dari pertanggungan jawabmu atas kesediaanmu.”

Raden Sutawijaya menarik nafas. Ternyata ia sudah mulai membicarakan masa depan bagi sebuah negeri dan sekaligus membicarakan kekuasaan yang akan memerintahnya.

Namun, pembicaraan itu pun terhenti. Agaknya keduanya masih ingin beristirahat barang sejenak. Jika kemudian matahari terbit, maka mereka memutuskan untuk kembali ke Mataram.

Akhirnya, Sangkal Putung benar-benar menjadi lelap. Bilik-bilik dan ruang, yang diperuntukkan bagi para tamu yang tinggal, telah menjadi sepi. Mereka tidur nyenyak menjelang dini hari tanpa perasaan cemas, karena para pengawal selalu siap pada tugasnya di gardu-gardu, juga di gardu di depan kademangan. Bahkan setiap kali dua orang pengawal yang sedang meronda, berjalan mengelilingi halaman dalam kademangan Sangkal Putung dan beberapa rumah tetangga yang dipergunakan untuk menginap beberapa orang tamu yang masih tertinggal.

Tetapi kelelapan itu tidak berlangsung lama. Ketika ayam jantan berkokok dini hari, maka beberapa orang perempuan yang tertidur di dapur, telah bangkit sambil menguap. Kemudian satu persatu mereka pergi ke pakiwan untuk mencuci muka.

Sejenak kemudian, maka perapian pun mulai mengepulkan asap. Air mulai dijerang untuk menyiapkan minuman bagi para tamu yang masih bermalam.

Pandan Wangi yang telah tertidur di samping Sekar Mirah. Ia membuka matanya ketika Sekar Mirah terbangun pula dari tidurnya yang gelisah.

Tetapi, agaknya Sekar Mirah telah menjadi lebih tenang. Ditatapnya mata Pandan Wangi yang masih buram. Bahkan ia-lah yang bertanya kepada Pandan Wangi, “Kau lelah sekali, Wangi.”

Pandan Wangi tersenyum. Jawabnya, “Tidak, Mirah. Aku tidak lelah. Mungkin aku tertidur nyenyak menjelang pagi. Dan kini badanku terasa segar.”

Ternyata Sekar Mirah telah mencoba untuk tersenyum pula. Katanya, “Tentu kau tidak merasa lelah. Kau telah terbiasa berada di medan yang betapapun kerasnya.”

“Ah,” desah Pandan Wangi, “kita memang termasuk orang-orang aneh. Tetapi, pergilah ke pakiwan. Kau akan merasa lebih segar.”

Sekar Mirah mengangguk. Ketika ia berdiri dan melangkah keluar bilik, ruang dalam rumah Ki Demang itu masih sepi. Yang terdengar adalah suara beberapa orang perempuan dan api yang menelan potongan kayu bakar di perapian.

Sejenak Sekar Mirah tertegun. Ia merasakan tusukan kesepian di dinding jantungnya. Namun, kemudian ia mulai menyadari, bahwa hari masih terlalu pagi.

Perlahan-lahan ia melangkah menyusuri ruang dalam yang sepi. Kemudian membuka pintu butulan. Ketika ia berpaling, dilihatnya lewat pintu dapur, beberapa orang perempuan telah menjadi sibuk.

Namun demikian, di longkangan masih nampak sepi seperti di ruang dalam. Mangkuk masih berserakan di atas pagar bambu. Sementara beberapa orang anak muda tertidur dengan nyenyaknya di serambi.

Sekar Mirah tidak mengganggu mereka. Ia berjalan terus ke pakiwan. Bahwa ia berusaha untuk tidak melontarkan suara yang dapat mengejutkan anak-anak muda yang kelelahan itu.

Tetapi ketika Sekar Mirah melangkah kembali dari pakiwan, justru seorang perempuan yang keluar dari dapur telah membangunkan anak-anak muda itu, Dengan lantang ia berkata, “He anak-anak malas. Air sudah mendidih. Dan mangkuk masih belum kalian cuci. Sebentar lagi para tamu akan bangun. Mereka harus segera dijamu dengan minuman hangat.”

Anak-anak muda yang tertidur di serambi terkejut. Beberapa orang segera bangkit. Tetapi yang lain hanya menggeliat dan kembali melingkar setelah menguap.

Tiga orang di antara mereka segera turun dari lincak bambu yang besar. Meskipun mereka masih sangat mengantuk, namun mereka melangkah tertatih-tatih sambil bergumam, “Mataku tidak mau terbuka.”

“Tetapi minuman harus kalian siapkan,” bentak perempuan itu.

Salah seorang dari anak muda itu menjawab, “Baik, Bibi. Baik. Kami akan mencuci mangkuk-mangkuk itu.”

Perempuan itu pun segera meninggalkan anak-anak muda yang masih mengantuk itu. Sambil melangkah, masih terdengar ia bergumam, “Anak-anak malas.”

Agung Sedayu yang sudah terbangun pula, duduk di bibir lincak yang besar itu sambil mengusap matanya. Sebenarnya ia pun masih ingin tidur nyenyak, seperti beberapa orang kawannya yang benar-benar malas bangun. Tetapi ia tidak sampai hati melihat kawan-kawannya yang sambil terkantuk-kantuk mengumpulkan mangkuk.

Agung Sedayu tersenyum, ketika kawan-kawannya mencegahnya agar tidak usah ikut membantu mereka. Salah seorang dari mereka berkata, “Beristirahatlah. Kau tentu masih lelah. Biar aku membangunkan kawan-kawan yang lain.”

Tetapi Agung Sedayu menjawab, “Aku hanya akan membantu mengumpulkan mangkuk-mangkuk ini. Kalian-lah yang harus mencuci, dan kemudian menyiapkan minuman di saat matahari terbit nanti.”

Kawan-kawannya tidak mencegahnya lagi. Tetapi salah seorang dari mereka pun membangunkan kawan-kawannya yang lain, meskipun masih saja di antara mereka yang hanya sekedar memutar tubuhnya dan kembali memejamkan matanya sambil bersilang tangan.

Kawan-kawannya yang telah terbangun membiarkan mereka. Agaknya mereka benar-benar kelelahan, sehingga rasa-rasanya mereka benar-benar tidak mampu lagi untuk bangkit.

Perlahan-lahan warna merah menebar di langit. Cahaya fajar semakin menjadi cerah. Burung-burung liar mulai bersiul dengan lagu riang. Sementara induk ayam membawa anak-anaknya turun dari kandangnya dan mulai merangkak-rangkak di halaman.

Sesaat kemudian Sangkal Putung telah terbangun. Pintu-pintu rumah telah terbuka, dan jalan-jalan pun mulai menjadi ramai.

Dalam pada itu, pendapa rumah Ki Demang Sangkal Putung pun telah menjadi ramai pula. Beberapa orang duduk sambil berbincang. Sementara beberapa anak muda telah menghidangkan minuman panas dan beberapa potong makanan.

Namun agaknya kesibukan di pendapa itu tidak berlangsung lama. Raden Sutawijaya yang bergelar Senopati Ing Ngalaga telah minta diri untuk meninggalkan Sangkal Putung, kembali ke Mataram.

Ki Demang tidak dapat lagi mencegahnya. Ia sadar, bahwa Raden Sutawijaya dan Ki Juru Martani telah ditunggu oleh kewajiban yang berat di Mataram.

Karena itulah, maka Ki Demang hanya dapat mengucapkan beribu terima kasih atas kesempatannya menerima kehadiran Raden Sutawijaya.

Sutawijaya pun minta diri pula kepada orang-orang yang ada di Sangkal Putung. Kepada Ki Widura, kepada Kiai Gringsing, kepada Ki Waskita dan orang-orang lain, sementara Ki Gede Menoreh ternyata berniat untuk kembali pula ke Menoreh bersama Raden Sutawijaya.

Ada kekecewaan Pandan Wangi melepas ayahnya pulang. Tetapi ia tidak akan dapat memaksa ayahnya untuk tetap tinggal di Sangkal Putung seperti dirinya, karena ayahnya mempunyai kewajiban pula atas tanah perdikan yang ditinggalkannya.

Yang nampak sangat kecewa justru adalah Prastawa. Sebenarnya ia masih ingin tetap tinggal di Sangkal Putung. Tetapi ia tidak berani menentang pamannya yang telah mengajaknya kembali ke Tanah Perdikan Menoreh.

Prastawa hanya sempat bertemu dengan Sekar Mirah saat ia minta diri. Namun agaknya Sekar Mirah yang masih belum pulih kembali perasaannya yang terluka itu, hampir tidak mempunyai perhatian tersendiri kepadanya. Ia mencoba tersenyum kepada setiap orang yang minta diri kepadanya, meskipun senyumnya masih terasa sangat hambar.

“Ia sedang bersedih hati,” berkata Prastawa kepada diri sendiri.

Tetapi sementara itu, di luar sadarnya, maka ia menjadi semakin tidak senang melihat Agung Sedayu, yang berada di kademangan itu pula.

Ketika matahari naik semakin tinggi, maka Raden Sutawijaya serta Ki Juru Martani pun telah siap untuk berangkat, bersama Ki Gede Menoreh yang diikuti oleh kemanakannya. Sedangkan para pengawal yang akan mengikuti pemimpin mereka masing-masing, telah siap pula dengan kuda-kuda mereka.

Sejenak kemudian, sebuah iring-iringan telah meninggalkan Kademangan Sangkal Putung. Ki Juru Martani, Raden Sutawijaya dan Ki Gede Menoreh berada di paling depan. Kemudian para pengawal dari Mataram mengikuti mereka.

Dipisahkan oleh Prastawa, maka di paling belakang para pengawal dari Tanah Perdikan Menoreh pun mengikut pula, meskipun jumlahnya tidak sebanyak pengawal dari Mataram.

Di sepanjang jalan, tidak henti-hentinya Ki Juru dan Ki Gede Menoreh berbincang tentang banyak hal yang telah mereka lihat dan mereka alami di Sangkal Putung. Tentang meninggalnya Ki Sumangkar, tentang Sekar Mirah yang menjadi sedih karena ditinggal oleh gurunya. Tentang Agung Sedayu. Tentang kematian dua orang yang tidak mereka kenal, yang ternyata adalah dua bersaudara dari Pesisir Endut, dan juga tentang Pangeran Benawa.

Ki Juru Martani tidak banyak menceriterakan pertemuan Raden Sutawijaya dengan Pangeran Benawa. Ia juga tidak mengatakan, bahwa kedua saudara angkat itu telah membicarakan masalah yang penting bagi masa depan Pajang. Yang mereka percakapkan tentang Pangeran Benawa adalah ilmunya yang luar biasa. Seorang diri ia telah berhasil membinasakan dua orang bersaudara yang disegani banyak orang dari Pesisir Endut itu. Juga tentang sikap Pangeran Benawa yang tidak begitu mengacuhkan semua peristiwa yang terjadi di istana Pajang dan kemelut yang menyala dimana-mana.

Sementara itu, Raden Sutawijaya sendiri banyak berdiam diri sambil merenungi masa depannya dan masa depan Mataram. Ia tidak tahu, jalan yang manakah yang paling baik baginya. Pembicaraannya dengan Pangeran Benawa ternyata telah menumbuhkan berbagai macam persoalan di dalam hatinya.

Iring-iringan itu pun semakin lama menjadi semakin jauh dari Kademangan Sangkal Putung. Mereka melewati bulak-bulak panjang dan beberapa padukuhan. Setiap kali iring-iringan itu memasuki gerbang padukuhan, maka beberapa orang telah berlari-larian keluar dari rumah dan regol halaman masing-masing. Kadang-kadang terdengar di antara mereka berbisik, “Itu adalah Raden Sutawijaya yang bergelar Senopati Ing Ngalaga. Aku kemarin telah melihatnya mengiringi jenazah Ki Sumangkar yang meninggal di rumah Ki Demang Sangkal Putung.”

Kawan-kawannya mengangguk-angguk. Tetapi ada juga yang menyahut, “Aku sudah tahu. Aku juga melihatnya di saat ia berada di Sangkal Putung.”

Sementara beberapa orang gadis saling berbisik, “Alangkah tampannya anak muda yang berkuda di paling depan itu.”

“Sst,” desis seorang laki-laki yang berdiri di sampingnya, “itu adalah Raden Sutawijaya.”

“O,” mereka pun saling menggamit. Bahkan ada di antara mereka yang mencubit lengan kawannya yang berdiri di sisinya, sehingga kawannya terlonjak.

Namun, belum lagi iring-iringan itu sampai pada kuda yang terakhir, sekali lagi gadis-gadis itu saling berdesis, “He, yang berada di antara para pengawal itu pun tampan pula. Sayang, wajahnya agak buram.”

Prastawa tidak mendengar kata-kata itu. Tetapi seolah-olah ada sesuatu yang telah menggamit hatinya, sehingga di luar sadarnya ia telah berpaling memandangi gadis-gadis itu, sehingga wajah gadis-gadis itu menjadi merah padam.

Namun Prastawa yang muda itu sempat tersenyum, sehingga gadis-gadis itu menjadi semakin tersipu-sipu.

Demikianlah, maka iring-iringan itu berjalan terus. Menyusuri jalan panjang di antara hijaunya tanaman di sawah dan hijaunya pepohonan di padukuhan. Sekali-sekali iring-iringan itu menyeberangi sungai yang melintang jalan, dan sekali-sekali melintasi hutan yang sudah tidak merupakan rintangan lagi bagi perjalanan iring-iringan itu, karena telah dibuat jalan yang baik menusuk sampai ke seberang.

Sementara itu, Sangkal Putung menjadi semakin sepi. Apalagi jika sampai saatnya beberapa orang akan meninggalkan kademangan itu pula.

Ki Waskita yang masih tinggal, tentu tidak lama lagi akan meninggalkan kademangan itu pula. Demikian pula Ki Widura. Dan bahkan kemudian Kiai Gringsing, Agung Sedayu dan Glagah Putih.

Tetapi Ki Demang masih dapat menahan mereka untuk beberapa hari. Mereka sempat menunggu keadaan di Sangkal Putung pulih kembali. Sekar Mirah berangsur-angsur menjadi tenang. Ia sudah menjadi semakin jarang menyebut nama gurunya yang telah meninggalkannya.

Tetapi dalam pada itu, yang dilupakan untuk beberapa saat, telah tumbuh lagi di hatinya, ia kembali merasa cemas melihat Agung Sedayu yang masih belum mempunyai pegangan tertentu buat masa depannya. Ia hanya mempunyai sebuah padepokan kecil. Beberapa kotak sawah dan pategalan yang dikerjakannya dengan beberapa orang anak muda yang tinggal bersama di padepokan kecil itu.

Dengan demikian, maka ketenangan yang hampir pulih karena meninggalnya gurunya, telah disusul oleh kecemasannya menghadapi masa depan yang tidak jelas.

Pandan Wangi yang mula-mula menjadi tenang pula melihat sikap dan tingkah laku Sekar Mirah, telah dicemaskan kembali oleh kemuraman yang membayang di wajah gadis itu.

“Seharusnya kau dapat mengendalikan perasaanmu, Mirah, berkata Pandan Wangi, “kau adalah seorang gadis yang cerdas dan menjadi tumpuan gadis-gadis sebayamu di Sangkal Putung. Karena itu, jangan kau biarkan angan-anganmu berlarut-larut tanpa kendali.”

Sekar Mirah menarik nafas dalam-dalam. Katanya, “Pandan Wangi. Aku sudah mencoba untuk melepaskan guru demikian ikhlas. Aku menyadari, bahwa yang terjadi atasnya memang harus terjadi. Tidak ada jalan dan cara untuk mencegahnya.”

“Sukurlah. Tetapi kadang-kadang aku masih melihat bayangan kepedihan hati di wajahmu,” sahut Pandan Wangi.

Sekar Mirah memandang Pandan Wangi dengan tatapan mata yang sayu. Agaknya ada sesuatu yang telah mendesak di dadanya. Namun gadis itu masih selalu mencoba menahannya.

Pandan Wangi merasakan kegelisahan di hati Sekar Mirah, meskipun ia tidak tahu pasti apa sebabnya. Karena itu maka desisnya, “Mirah. Apakah masih ada sesuatu yang menekan perasaanmu? Jika kau sudah menyadari bahwa yang terjadi atas Ki Sumangkar memang harus terjadi, maka apalagi yang telah menekan hatimu?”

“Pandan Wangi,” berkata Sekar Mirah dengan nada yang dalam, “kini guruku sudah tidak ada lagi. Meskipun orang tuaku masih ada, tetapi pada suatu saat aku akan meninggalkannya. Aku akan menjadi seorang dewasa penuh yang hidup dalam lingkungan keluargaku sendiri. Tetapi menurut penglihatanku, kakang Agung Sedayu sampai saat ini sama sekali tidak memikirkan hari depan bagi kehidupan sebuah keluarga.”

Pandan Wangi mengerutkan keningnya. Ia tidak menyangka, bahwa Sekar Mirah telah mulai memikirkan masa depannya. Namun agaknya kematian gurunya membuatnya semakin gelisah. Satu-satunya harapannya kini tergantung pada Agung Sedayu. Dan baginya, Agung Sedayu adalah orang yang lemah hati. Ia sama sekali tidak berjuang bagi masa depannya.

Sejak meninggalnya Ki Sumangkar, maka tidak ada lagi orang yang seolah-olah melindunginya. Swandaru telah mempunyai sisihan, sehingga ia akan lebih banyak terikat oleh keluarganya sendiri. Jika Agung Sedayu tidak segera mempersiapkan dirinya, maka Sekar Mirah akan merasa hari depannya benar-benar suram.

Tetapi, Pandan Wangi mencoba untuk mengurangi beban kegelisahan adik iparnya. Katanya, “Sekar Mirah. Bukankah Agung Sedayu telah mempersiapkan sebuah padepokan? Sudah tentu yang ada sekarang sama sekali tidak memadai. Tetapi padepokan itu akan berkembang. Semakin lama menjadi semakin ramai dan luas. Sawah dan pategalannya pun akan semakin luas pula, karena hutan di sekitarnya masih cukup untuk mengembangkan daerah kecil itu.”

Sekar Mirah menggelengkan kepalanya. Katanya, “Dunia itu tidak sesuai dengan duniaku. Hidup di padepokan adalah suatu kehidupan yang mandeg. Tidak ada gairah dan tidak ada tantangan yang dapat melahirkan suasana baru dalam hidup ini. Padepokan adalah suatu tempat bagi mereka yang telah berputus asa. Bagi mereka yang merasa dirinya tidak mampu lagi mengikuti perkembangan jamannya.”

“Ah, apakah begitu? Di padepokan seseorang mendapat kesempatan yang cukup untuk mempelajari sesuatu. Mungkin ilmu yang akan dapat dikembangkan dan diabadikan pada kehidupan luas. Mungkin dapat dicapai suatu tingkat pengetahuan yang dapat memberikan banyak manfaat bagi sesama. Dan mungkin dari padepokan kecil dapat dipancarkan sikap hidup yang agung dalam hubungan manusia dengan Penciptanya.”

Tanpa disangka-sangka. Sekar Mirah justru tertawa, meskipun masih terasa betapa pahit perasaannya. Apalagi ketika terdengar suaranya yang bergetar, “Betapa manisnya hidup yang demikian. Setiap orang akan menghormatinya dan setiap bibir akan menyebut namanya sebagai seorang pertapa yang telah menjauhkan diri dari unsur-unsur keduniawian dan mendekatkan diri dengan alam kehidupan langgeng. Tidak, Pandan Wangi. Aku bukan seorang yang kehilangan pegangan hidup seperti itu. Hidup bagiku adalah tantangan-tantangan yang harus di jawab dengan sikap dan perbuatan. Bukan dengan putus asa, lari dari kenyataan yang memang pahit.”

Jawaban itu mengejutkan Pandan Wangi. Sejenak ia justru terdiam bagaikan mematung, ia sama sekali tidak menduga, bahwa Sekar Mirah mempunyai pandangan yang justru berlawanan tentang kehidupan di Padepokan. Gadis itu tidak melihat ketenangan dan kedamaian yang mewarnai kehidupan di padepokan. Tetapi yang nampak padanya adalah keputus asaan dan pelarian.

Pandangan yang berlawanan itu seolah-oleh telah menutup pembicaraan kedua perempuan itu. Pandan Wangi tidak dapat mencoba untuk memberikan ulasan lagi tentang kehidupan di padepokan, karena mungkin akan dapat menumbuhkan salah paham.

Sementara itu, Sekar Mirah berkata selanjutnya, “Pandan Wangi. Menurut pendapatku, aku dan Kakang Agung Sedayu masih terlalu muda untuk hidup dalam keterasingan itu. Seharusnya aku dan kakang Agung Sedayu masih harus terlibat dalam gejolaknya dunia yang penuh dengan tantangan, tetapi memberikan kepuasan bagi kita setiap kita dapat mengatasinya.”

Pandan Wangi mengangguk-angguk. Tetapi ia tidak menjawab. Ia tidak mau terlibat dalam pembicaraan tentang sikap dan pandangan hidup yang lebih dalam, karena pada dasarnya sikap dan pandangan hidup adalah ciri pribadi, yang mungkin tidak dapat dipertemukan antara seseorang dengan orang lain.

Tetapi Pandan Wangi sadar, bahwa perbedaan itu bukannya berarti bahwa masing-masing harus saling membenturkan diri dengan sikap dan pandangan hidup. Bahkan masing-masing harus menyadari perbedaan-perbedaan itu, sehingga masing-masing akan berjalan menurut pilihannya sendiri. Dengan demikian, setiap perbedaan sikap dan pandangan hidup akan dapat saling dihormati dan tidak menumbuhkan persoalan-persoalan yang dapat memberikan ketegangan dalam hidup sehari-hari.

Karena itu, maka Pandan Wangi pun membiarkan Sekar Mirah dengan sikap dan pandangan hidupnya. Namun demikian, ia merasa cemas bahwa Sekar Mirah tidak akan dapat menghormati sikap dan pandangan hidup Agung Sedayu. Padahal mereka akan membangun suatu keluarga di masa depan. Perbedaan sikap dan pandangan hidup di antara mereka, mungkin akan dapat menumbuhkan persoalan-persoalan yang justru akan menjadi gawat, apabila masing-masing tidak dapat menerima kenyataan itu dengan hati yang lapang.

“Tetapi itu bukan persoalanku,” tiba-tiba saja Pandan Wangi berdesis di dalam hatinya.

Namun demikian, rasa-rasanya ia tidak dapat melepaskan diri dari keterlibatan batin dengan sikap Sekar Mirah. Betapapun ia berusaha, namun ia merasa dibayangi oleh kegelisahan.

Apalagi ketika Pandan Wangi sendiri terdampar pada keadaan dirinya. Di luar sadarnya ia mencela melihat kepada keluarga kecilnya.

“Apakah aku dan kakang Swandaru juga telah dapat menyatukan sikap dan pandangan hidup?” pertanyaan itu tiba-tiba saja timbul di dalam hatinya.

Pandan Wangi justru mencoba menilai keadaan dirinya sendiri, ia mulai menelusuri sikap dan pandangan hidup suaminya. Setiap kali, Pandan Wangi merasa tersinggung oleh sikap dan tingkah laku Swandaru yang tidak sesuai dengan sikap dan pandangan hidupnya. Namun Pandan Wangi merasa dirinya sebagai seorang isteri. Ia merasa wajib untuk mencari persesuaian dengan suaminya. Bukan mencari perbedaan-perbedaannya. Dengan demikian, ia berusaha untuk dapat menciptakan suasana yang baik dalam keluarga kecilnya.

Tetapi, agaknya Sekar Mirah bersikap lain. Ia tidak menempatkan diri sebagai seorang sisihan yang harus saling mengisi dan mengendalikan diri. Perjanjian bagi dirinya sendiri untuk menempatkan dirinya di sisi orang lain, adalah suatu kesediaan untuk melepaskan sebagian dari sikap dan pandangan hidupnya sendiri.

Namun, Pandan Wangi tidak mengatakannya, ia tidak mau terperosok ke dalam kesalah-pahaman dengan adik iparnya. Bahkan kemudian ia mencoba untuk berkata kepada dirinya, “Itu adalah persoalan Sekar Mirah dengan Agung Sedayu. Persoalan yang harus mereka cari pemecahannya. Persoalanku adalah bagaimana aku dan kakang Swandaru menempatkan diri kita masing-masing, agar keluargaku tidak selalu dibayangi oleh keburaman, meskipun banyak hal yang dilakukan tidak sesuai dengan kata nuraniku.”

Dengan demikian, maka keduanya untuk sesaat menjadi saling terdiam. Pandan Wangi bangkit, ketika Swandaru memanggilnya.

“Sekar Mirah. Kau masih harus tetap berusaha memberikan ketenangan pada dirimu sendiri. Beristirahatlah. Kakang Swandaru memanggil aku,” berkata Pandan Wangi kemudian.

Sekar Mirah mengangguk kecil. Namun, ketika Pandan Wangi telah melangkah keluar ia berkata, “Aku juga akan pergi ke dapur. Mungkin aku akan dapat melupakan persoalan-persoalan yang bergejolak di hatiku. Persoalan yang manapun juga.”

Pandan Wangi tertegun di pintu. Namun ia pun kemudian tersenyum sambil berkata, “Cobalah, Mirah. Banyak yang dapat kau lakukan. Dan kau akan segera menemukan kembali nafas kehidupan sehari-hari.”

Sepeninggal Pandan Wangi, Sekar Mirah pun membenahi dirinya. Kemudian ia pun melangkah meninggalkan biliknya pergi ke dapur.

“Mirah,” berkata seorang perempuan separo baya, “beristirahatlah saja, Ngger. Biarlah kami menyelesaikan pekerjaan dapur ini.”

Sekar Mirah memandang perempuan itu. Namun ia justru mencoba tersenyum sambil berkata, “Biarlah aku membantumu, Bibi. Aku akan melupakan segala kegelisahan di hatiku. Nah, apakah yang baik aku lakukan sekarang? Apakah Bibi sudah menanak nasi atau sudah menyiapkan sayur dan lauknya?”

“Ah. biarlah kami melakukannya,” desis perempuan yang lain.

“Biarlah aku menggoreng ikan, Bibi. Siapakah yang telah mendapatkan ikan sebanyak itu?”

“Bukan satu orang, Ngger. Tiga orang telah menjala semalam suntuk, mereka mendapatkan ikan wader sebanyak itu.”

Sekar Mirah mengangguk-angguk. Ikan wader yg telah dibersihkan itu pun kemudian direndamnya di dalam tepung yang telah dicairkan dengan air. Kemudian ia pun duduk dengan asyiknya di muka perapian, sambil memasukkan segumpal aduan tepung dan ikan weder ke dalam minyak kelapa yang mendidih.

Dalam pada itu, selagi Sekar Mirah sibuk di dapur, Kiai Gringsing duduk di serambi gandok bersama Ki Waskita dan Ki Widura. Ki Demang Sangkal Putung tidak duduk bersama mereka karena kewajibannya nganglang kademangan bersama Ki Jagabaya.

Dalam pada itu, ketiga orang tua itu dengan asyiknya berbicara tentang berbagai macam persoalan yang sedang berkembang di saat terakhir. Mereka mulai dari Mataram, kemudian berkisar ke Demak dan ternyata mereka sampai pada pembicaraan tentang orang-orang yang mengaku pewaris Kerajaan Majapahit.

Tetapi pembicaraan itu agaknya tidak menarik bagi Kiai Gringsing. Setiap kali ia selalu mencoba untuk menggeser pembicaraan kepada persoalan-persoalan lain. Ia lebih senang berbicara tentang Raden Sutawijaya dan Ki Juru Martani atau berbicara tentang padepokan kecil yang telah ditinggalkannya.

Namun, agaknya Ki Waskita tetap berusaha untuk berbicara tentang orang-orang yang masih saja selalu berusaha untuk mengeruhkan keadaan. Suatu usaha untuk membenturkan kekuatan yang ada, kemudian menghancurkan sisanya sama sekali.

“Kiai,” berkata Ki Waskita, “banyak orang yang sebenarnya dapat membantu mempercepat penyelesaian masalah ini. Tetapi mereka mempunyai keberatannya masing-masing untuk melakukannya. Jika Raden Sutawijaya tidak terikat oleh sumpahnya, maka ia akan dapat memasuki istana Pajang sebagai putera angkat yang dikasihi oleh Sultan Hadiwijaya, sehingga ia akan dapat membantu membersihkan Pajang dari nafsu yang menyala sekarang ini.”

Kiai Gringsing menarik nafas panjang, sementara Ki Waskita meneruskan, ”Sedangkan Pangeran Benawa mempunyai keberatannya sendiri. Kekecewaan yang mencengkam perasaannya sama sekali tidak dapat diingkarinya. Itulah agaknya yang memaksanya memilih jalan hidupnya sendiri, yang menyimpang dari ketentuan istana.”

Kiai Gringsing mengangguk-angguk. Katanya, “Tetapi semuanya sudah dikehendakinya. Mungkin Raden Sutawijaya memang lebih tepat berada di Mataram. Kota yang semakin lama menjadi semakin ramai. Sementara itu, agaknya masih saja sekelompok-sekelompok orang berdatangan dan membuat kota itu semakin luas dan ramai. Pada saatnya, Mataram akan benar-benar menjadi kota seperti yang diharapkan oleh Raden Sutawijaya, sementara hubungan dengan tetangga-tetangganya terjalin dengan baik. Dengan Menoreh, Mataram bagaikan berkeluarga. Perkembangan Mataram akan mempengaruhi Tanah Perdikan itu untuk berkembang pula.”

“Ya, Kiai,” sahut Ki Waskita. Tetapi sebelum ia melanjutkan, Kiai Gringsing sudah mendahului, “Sementara Tanah Perdikan Menoreh pun merupakan daerah harapan. Tanah itu nampaknya masih menampung banyak kemungkinan di hari mendatang.”

Ki Waskita menarik nafas dalam-dalam. Kemudian dengan hati-hati ia memotong, “Benar, Kiai. Tetapi selagi masih ada persoalan yang selalu mengganggu ketenangan Pajang, maka yang sekarang berkembang itu akan selalu terancam oleh kekisruhan. Siapa tahu, bahwa daerah yang sedang berkembang itu akan dilanda oleh kerusuhan karena tingkah laku orang-orang yang tidak bertanggung jawab, terutama orang-orang yang mengaku dirinya pewaris kerajaan Majapahit.”

“Ah, kita semuanya akan berhati-hati. Kita akan membantu menjaga daerah yang sedang berkembang itu, sejauh dapat kami lakukan. Tetapi menurut pengamatanku, Tanah Perdikan Menoreh mempunyai kemungkinan untuk menjadi daerah yang besar.”

Dan Ki Waskita pun memotong pula, “Perkembangannya akan semakin mekar tanpa gangguan dari pihak manapun. Karena itu, maka alangkah baiknya jika Raden Sutawijaya bersedia membantu ayahandanya. Apalagi bersama dengan anak muda yang sebenarnya berhak menerima gelar Putera Mahkota. Namun terlebih-lebih lagi, jika ada orang lain yang bersedia membantu mereka dengan menyatakan dirinya seperti yang sebenarnya.”

“Ah,” desis Kiai Gringsing, “biarlah semuanya itu diselesaikan oleh lingkungan mereka. Kita serahkan semua keputusan yang akan diambil kepada mereka, pembicaraan akan lebih baik mengarah kepada usaha untuk lebih baik bagi sawah kita.”

Ki Waskita menarik nafas panjang. Katanya, “Maaf, Kiai. Aku telah mencoba memaksakan pembicaraan ini berkisar kepada pewaris Kerajaan Majapahit. Aku sebenarnya telah mendengar semuanya, tentang seseorang yang sebenarnya dapat diharapkan untuk ikut menengahi percaturan dan kemelutnya pemerintahan sekarang ini.”

Kiai Gringsing menggelengkan kepalanya. Katanya, “Itu bukan persoalan yang harus kita bicarakan.”

Tetapi Ki Waskita seolah-olah tidak mendengar kata-kata itu. Dengan nada datar ia berkata, “Raden Sutawijaya dan Pangeran Benawa adalah anak-anak muda yang masih banyak sekali dipengaruhi oleh perasaannya, yang kadang-kadang sulit dikendalikan. Tetapi orang-orang setua kita tentu akan berbeda sikap.”

“Aku tidak mengerti apa yang sedang kita bicarakan,” sahut Kiai Gringsing.

“Kiai,” berkata Ki Waskita, “aku tidak tahu, apakah Ki Widura juga sudah mendengar, nama yang pernah dikenal pada angkatan sebelum orang-orang seumur kita sekarang. Nama yang mempunyai arti tersendiri.”

Widura yang tidak banyak ikut berbicara itu pun bertanya, “Siapakah yang kau maksud, Ki Waskita?”

Ki Waskita termangu-mangu sejenak. Kemudian jawabnya, “Nama itu adalah Empu Windujati, yang semula bergelar Pangeran Windukusuma. Seorang yang barangkali dapat pula menyebut dirinya keturunan langsung dari Majapahit.”

Ki Widura mengerutkan keningnya. Sejenak ia mengingat-ingat nama-nama yang pernah didengarnya. Namun kemudian ia berkata, “Aku masih lebih muda dari Ki Waskita dan Kiai Gringsing. Rasa-rasanya aku memang pernah mendengarnya. Tetapi sudah lama sekali. Dan nama itu seakan-akan kini telah hilang.”

Ki Waskita mengangguk-angguk. Katanya kemudian, “Memang, Ki Widura. Nama itu sudah lama tidak terdengar lagi.”

Kiai Gringsing tiba-tiba saja menyahut, “Aku pun pernah mendengarnya, seseorang menyebut nama itu, meskipun aku sendiri belum pernah mengenalnya. Tetapi orang yang sudah tidak pernah terdengar namanya itu, biarlah tidak usah kita bicarakan.”

Ki Waskita menarik nafas dalam-dalam. Katanya, “Kiai Gringsing. Justru pada saat semacam ini nama itu perlu kita sebut-sebut. Jika nama itu hadir, mungkin ia akan dapat mempengaruhi orang-orang yang menyebut dirinya pewaris kerajaan Majapahit itu. Karena sebenarnya ada keturunan langsung dari Perabu Majapahit.”

“Mustahil,” jawab Kiai Gringsing, “berapa umur Empu Windujati itu sekarang, jika sebenarnya ia memang ada. Keturunan langsung dari Perabu Majapahit terakhir kini tentu sudah sangat tua.”

“Tentu, Kiai. Orang yang bernama Empu Windujati itu sendiri mungkin sudah wafat. Tetapi menurut pendengaranku, ia mempunyai seorang murid yang juga keturunan langsung dari Majapahit.”

“Ah, marilah kita melupakan dongeng itu. Kita sekarang menghadapi kenyataan yang perlu kita ketemukan pemecahannya. Jika kita masih bertumpu pada dongeng yang belum pasti kebenarannya, kita akan kehilangan banyak waktu.”

Ki Waskita tersenyum. Katanya, “Kiai. Aku mohon maaf, bahwa aku memberanikan diri bertanya tentang ciri perguruan Windujati yang ada pada Kiai.”

“Ciri yang mana?” bertanya Kiai Gringsing.

“Pertama-tama, senjata yang Kiai pergunakan mirip benar dari senjata yang pernah ada pada masa perguruan Empu Windujati. Kemudian lukisan dipergelangan tangan Kiai, yang berbentuk cakra bergerigi sembilan. Sepuluh dengan tangkainya.”

“Ah,” Kiai Gringsing menjadi tegang. Katanya, “Apakah Ki Waskita pernah mendengar dongeng itu dari Ki Gede Menoreh?”

“Ceritera itu bukan saja aku dengar dari Ki Gede Menoreh. Tetapi orang-orang tua yang memiliki sedikit hubungan dengan ilmu kanuragan pada jaman itu pernah mendengar nama Empu Windujati dan muridnya yang tumbuh sedahsyat gurunya.”

Sejenak terlintas kegelisahan di wajah Kiai Gringsing. Namun sekejap kemudian orang tua itu sudah tersenyum sambil berkata, “Nama-nama itu memang terdapat dalam dongeng-dongeng, Ki Waskita. Tetapi aku sendiri tidak yakin, bahwa nama-nama itu memang ada, atau mempunyai latar belakang peristiwa seperti yang banyak didengar orang pada waktu itu.”

“Kiai,” berkata Ki Waskita, “menurut pendapatku, murid itu adalah seorang anak muda, yang pada waktu itu, merupakan seorang anak muda yang mengagumkan. Melampaui kemampuan anak-anak muda sebayanya. Jika anak muda itu kini masih ada, meskipun umurnya tentu sudah setua aku ini, ia akan merupakan seorang yang luar biasa. Selebihnya ia akan dapat berdiri berhadapan dengan orang-orang yang menyebut dirinya pewaris Kerajaan Agung Majapahit itu. Ia akan merupakan seseorang yang akan dapat membuat mereka menjadi ragu-ragu dan segan.”

“Mereka tidak akan mengenalnya,” desis Kiai Gringsing, “nama itu adalah nama yang asing.”

“Satu dua di antara mereka tentu pernah mendengarnya. Mereka akan berceritera kepada kawan-kawannya, tentang seseorang murid perguruan Windujati.”

Kiai Gringsing menarik nafas dalam-dalam. Kemudian dipandanginya Ki Widura yang lebih banyak mendengarkan pembicaraan itu. Dengan nada datar ia bertanya, “Bukankah Ki Widura belum pernah mendengar nama itu?”

Ki Widura termangu-mangu sejenak. Namun kemudian ia menggeleng. “Aku tidak ingat lagi.”

Ki Waskita tersenyum sambil berkata, “Jawaban Ki Widura tidak pasti. Tetapi cobalah renungkan. Sebenarnya kita mempunyai harapan tentang dirinya. Atau bahkan mungkin murid perguruan Windujati itu kini berada di antara mereka yang menyebut dirinya pewaris Kerajaan Majapahit itu?”

“Ah, tentu tidak,” di luar sadarnya Kiai Gringsing menjawab. Namun kemudian ia meneruskan, “nama itu hanyalah sekedar ceritera yang tumbuh saat itu. Ia tidak akan berada dimanapun.”

Ki Waskita bahkan tertawa. Katanya, “Mungkin, Kiai. Tetapi jika orang yang bernama Jaka Warih, murid utama perguruan Empu Windujati itu ada, maka ia tidak lebih dari Raden Sutawijaya dan Pangeran Benawa. Ia sudah terlibat ke dalam persoalan pribadinya, sehingga tidak mempunyai kesempatan lagi untuk berbuat sesuatu, meskipun ia sadar, bahwa keadaan menjadi semakin gawat.”

“Ah,” desis Kiai Gringsing, “Ki Waskita agaknya memang suka berangan-angan. Itulah agaknya yang telah menuntunnya kepada pengenalan atas masa depan dalam isyarat. Tetapi sebenarnya, Raden Sutawijaya dan Pangeran Benawa bukannya tidak berbuat apa-apa. Mereka telah melakukan sesuatu. Mungkin cara yang mereka tempuh bukannya cara yang kita kehendaki.”

“Jika demikian, tinggal murid itulah yang belum kita lihat berbuat sesuatu. Sebagai murid dari perguruan Windujati, dan sebagai keturunan langsung dari Majapahit, yang tentu saja dengan sebutan dan gelar yang lain, ia mempunyai tanggung jawab atas perkembangan keadaan dewasa ini.”

“Ki Waskita, nampaknya kita telah terlibat dalam pembicaraan tentang sesuatu yang tidak banyak kita ketahui. Ternyata bahwa Ki Widura tidak mempunyai kesempatan pula untuk menentukan pendapatnya.”

Ki Waskita menarik nafas dalam-dalam dipandanginya Kiai Gringsing dan Ki Widura berganti-ganti. Namun dalam pada itu Ki Widura tersenyum sambil berkata kepada Kiai Gringsing, “Kiai. Aku memang tidak banyak mengetahui tentang apa yang diceriterakan oleh Ki Waskita. Tetapi agaknya pembicaraan ini cukup menarik.”

Ki Waskita tertawa sambil menyahut, “Nah, bukankah Ki Widura tertarik pula pada pembicaraan ini?”

Kiai Gringsing pun tersenyum. Katanya, “Kita memang aneh. Kadang-kadang kita memang tertarik untuk membicarakan sesuatu yang tidak jelas, atau bahkan tidak kita ketahui.”

“Kiai,” berkata Ki Waskita, “sebenarnya sudah lama aku menahan diri untuk tidak bertanya tentang lukisan di pergelangan tangan Kiai. Tetapi rasa-rasanya dadaku semakin sesak dan kadang-kadang aku menjadi gelisah. Mungkin ini suatu gejala ketuaan umurku yang semakin merambat. Hal-hal yang barangkali kurang penting, membuat aku tidak dapat tidur sampai beberapa malam. Dan agaknya lukisan di pergelangan tangan Kiai itu benar-benar membuat aku gelisah.”

Kiai Gringsing tersenyum. Katanya, “Setiap orang yang menjadi semakin tua memang mudah menjadi gelisah, cemas dan kadang-kadang bingung tanpa sebab. Tetapi, agaknya Ki Waskita mengalami ketegangan karena sesuatu yang telah diotak-atiknya.”

“Tidak, Kiai. Bukan sekedar angan-angan yang tidak mendasar. Tetapi ada semacam petunjuk, bahwa memang ada hubungan antara Kiai Gringsing yang mempunyai ciri perguruan Windujati dengan perguruan itu sendiri. Kiai, sebenarnyalah aku ingin bertanya, apakah Kiai memang tidak mendengar atau mengenal seseorang yang hernama Jaka Warih, yang menurut ceritera yang sampai ke telingaku, orang itu kini umurnya tentu sudah setua kita?”

Kiai Gringsing merenung sejenak. Kemudian jawabnya, “Pertanyaan yang serupa pernah ditanyakan pula oleh Ki Gede Menoreh pada saat ia melihat gambar di tanganku. Tetapi sebenarnyalah, waktu itu aku melukis dengan duri ikan di pergelangan ini tanpa maksud, selain sekedar meniru beberapa orang yang sebaya dengan aku pada waktu itu. Sayang, aku tidak ingat lagi, siapakah yang memberikan contoh lukisan itu kepadaku pada waktu itu, yang kemudian beramai-ramai ditiru oleh tiga empat orang. Seandainya lukisan itu mula-mula bersumber pada seseorang yang bernama Windujati, aku sama sekali tidak mengetahuinya.”

Ki Waskita menarik nafas dalam-dalam. Katanya berdesah, “Baiklah, Kiai. Tetapi mudah-mudahan orang yang bernama Jaka Warih, murid utama dari perguruan Windujati itu mengetahui, apa yang telah terjadi sekarang ini. Tetapi waktu kadang-kadang membuat perubahan-perubahan yang tidak di duga sebelumnya. Meskipun Jaka Warih adalah murid perguruan Windujati, tetapi siapa tahu ia-lah yang justru telah menggerakkan orang-orang yang sekarang menyebut dirinya pewaris kerajaan Majapahit itu.”

“Ah,” Kiai Gringsing pun berdesah, “mudah-mudahan tidak. Tetapi aku memang tidak mengetahui apa yang dapat terjadi, jika mereka itu benar-benar ada.”

Ki Waskita mengangguk-angguk, tetapi rasa-rasanya ia menjadi kecewa atas keterangan yang didapatnya dari Kiai Gringsing, bahwa lukisan yang terdapat di pergelangan tangannya itu hanyalah sekedar karena saat itu anak-anak beramai-ramai saling meniru di antara mereka.

Ki Widura yang mendengarkan ceritera yang dibicarakan oleh kedua orang itu dengan seksama, tiba-tiba saja berkata, “Agaknya tidak akan ada asapnya tanpa api. Mungkin yang didengar oleh Ki Waskita tidak tepat seperti yang sebenarnya. Namun demikian, agaknya masih dapat diharapkan, bahwa pada suatu saat akan diketahui, dimanakah murid perguruan Windujati itu bersembunyi. Mungkin ia menjadi acuh tidak acuh terhadap keadaan, karena kecewa seperti yang terjadi atas Pangeran Benawa, meskipun pada suatu kesempatan, Pangeran Benawa masih berbuat sesuatu yang bermanfaat bagi kemanusiaan. Tetapi mungkin ia merasa dirinya tidak perlu lagi bersentuhan dengan persoalan-persoalan duniawi. Atau seperti yang dikatakan oleh Ki Waskita, bahwa penggerak utama dari mereka yang menyebut diri mereka pewaris Kerajaan Majapahit itu, justru adalah murid perguruan Windujati itu sendiri.”

Wajah Kiai Gringsing menjadi tegang. Tetapi ia pun kemudian tersenyum sambil berkata, “Memang segalanya dapat terjadi. Tetapi bagiku, sebaiknya kita berbicara tentang orang-orang yang kita ketahui sekarang. Apakah mereka berdiri di antara kita, di antara mereka yang berada di istana Pajang, atau di antara mereka yang menyebut diri mereka pewaris kerajaan Majapahit.”

Ki Waskita mengangguk-angguk. Katanya, “Seharusnya memang begitu, Kiai. Tetapi alangkah sulitnya aku mengatur perasaanku. Aku kadang-kadang hanyut pada angan-angan dan kenangan yang tidak menentu, kegelisahan yang tanpa sebab, atau perasaan yang tidak sesuai dengan pertimbangan-pertimbangan nalar. Namun, meskipun aku menyadarinya, kadang-kadang aku tidak dapat melepaskan diri dari tekanan perasaan yang menghimpit.”

“Cobalah untuk menguasai diri,” jawab Kiai Gringsing, “tetapi seandainya tidak berhasil, itu adalah gajala yang wajar dari ketuaan kita, seperti yang kau katakan, Ki Waskita.”

Ki Waskita mengangguk-angguk. Lalu, “Baiklah, Kiai. Ternyata sulit bagiku untuk mendapatkan obatnya. Bahkan kadang-kadang aku telah terdorong untuk berbuat sesuatu sekedar menuruti angan-anganku itu. Keinginan yang barangkali aneh buat orang lain. Aku ingin menemukan murid perguruan Windujati, dimanapun ia berdiri.”

“Ah, tinggalkan angan-angan itu, Ki Waskita. Kita masih mempunyai banyak pekerjaan yang lebih penting kita lakukan,” desis Kiai Gringsing.

“Aku adalah seorang perantau sejak muda. Keluargaku telah mengenal aku sebaik-baiknya. Jika aku pergi didorong oleh kegelisahan perasaan, isteriku akan dapat mengerti. Dan aku pun merasa, bahwa aku masih mampu melakukannya,” gumam Ki Waskita.

Kiai Gringsing menarik nafas dalam-dalam. Sekilas dipandanginya Ki Widura yang termangu-mangu. Namun kemudian katanya, “Mungkin Ki Waskita sudah digelitik oleh kerinduan atas jalan-jalan yang panjang dan seolah-olah tidak berujung. Tetapi agaknya amatlah sulit untuk mencari nama-nama yang hanya terdapat di dalam dongeng-dongeng orang tua menjelang tidur cucunya.”

“Aku yakin bahwa nama perguruan Windujati bukan dongeng. Demikian pula murid-muridnya,” jawab Ki Waskita, “namun sudah tentu, bahwa usaha semacam itu tidak akan dapat dilakukan dengan tergesa-gesa. Besok atau lusa aku akan kembali ke keluargaku. Nah, akan datang saatnya aku merantau mengelilingi negeri ini untuk mencari nama itu.”

Kiai Gringsing memandang Ki Waskita sejenak. Kemudian katanya, “Jika keras kemauan, Ki Waskita, aku hanya dapat berdoa, mudah-mudahan Ki Waskita akan dapat menemukannya.”

“Terima kasih, Kiai. Aku akan mencari orang yang mempunyai ciri perguruan Windujati. Selain lukisan yang khusus di pergelangan tangan, maka perguruan Windujati adalah sumber ilmu kanuragan yang mempergunakan senjata berjuntai seperti cambuk dan cemeti.”

Kiai Gringsing mengangguk-angguk. Sepercik ketegangan terkilas di wajahnya, namun kemudian ia pun tersenyum sambil mengangguk-angguk.

“Mudah-mudahan Ki Waskita dapat menemukan. Jika benar orang itu ada, maka ia akan berpengaruh terhadap mereka yang menyebut dirinya pewaris Kerajaan Majapahit.”

“Memang, Kiai. Tetapi seandainya aku berhasil menemukan, tetapi orang itu sama sekali tidak acuh lagi terhadap keadaan yang gawat ini, maka perjalananku akan sia-sia,” desis Ki Waskita.

Kiai Gringsing mengangguk-angguk. Tetapi ia tidak menyahut lagi.

Ki Widura yang mendengarkan pembicaraan itu dengan saksama, ternyata masih belum dapat mengikutinya dengan pasti. Ia dapat menangkap persoalan yang dilontarkan oleh Ki Waskita, karena ia pun kemudian mengetahui, bahwa di pergelangan tangan Kiai Gringsing terdapat ciri yang dimaksud. Tetapi bahwa Kiai Gringsing nampaknya benar-benar tidak mengetahuinya, maka Ki Widura pun sama sekali tidak berani mengambil kesimpulan.

Ketika kemudian Agung Sedayu mendekati mereka, maka pembicaraan mereka pun telah berkisar. Namun demikian, Kiai Gringsing rasa-rasanya selalu dipengaruhi oleh pembicaraan tentang perguruan Windujati, sehingga ia tidak banyak lagi berbicara di antara mereka.

Namun, kedatangan Glagah Putih membuat pembicaraan mereka menjadi semakin ramai. Anak muda itu terlalu banyak bertanya tentang berbagai macam persoalan yang dihadapinya. Bahkan Ki Waskita terpaksa tertawa, ketika tiba-tiba saja Glagah Putih bertanya kepadanya, “Kiai, apakah yang akan lerjadi atas aku kelak, jika aku sudah besar? Apakah aku akan dapat menyempurnakan ilmuku seperti kakang Agung Sedayu?”

Sambil tertawa Ki Waskita menjawab, “Mana aku tahu.”

Glagah Putih mengerutkan keningnya. Katanya, “Bukankah, Ki Waskita dapat mengetahui apa yang akan terjadi?”

“Ah, tidak tepat seperti itu. Tetapi yang pasti, semuanya tergantung pada usahamu. Jika kau berusaha dengan sungguh-sungguh dan disertai permohonan yang mantap kepada Yang Maha Kuasa, maka semuanya akan dapat kau hayati,” jawab Ki Waskita, “Namun demikian, itu bukan berarti bahwa persoalannya telah selesai. Setelah seseorang memiliki ilmu yang tinggi, maka persoalan selanjutnya, apakah ilmunya itu diamalkan atau justru sebaliknya.”

Glagah Putih termangu-mangu. Namun ia pun kemudian mengangguk-angguk.

Pembicaraan itu menjadi semakin ramai ketika kemudian Swandaru datang pula dan ikut berbicara, disusul oleh Ki Demang yang telah kembali dari kewajibannya bersama Ki Jagabaya.

Namun dalam pada itu, selagi di Sangkal Putung masih tinggal beberapa orang untuk beberapa waktu lamanya, maka di Pajang telah terjadi pembicaraan yang menggelisahkan. Beberapa orang perwira prajurit Pajang tengah berbicara dengan orang-orang yang tidak banyak dikenal di Pajang.

Namun, agaknya pembicaraan mereka adalah pembicaraan yang sangat rahasia. Mereka agaknya dengan sengaja membatasi pembicaraan mereka dengan orang-orang terdekat, dan berusaha untuk tidak diketahui oleh para perwira yang lain.

Salah seorang dari mereka dengan sungguh-sungguh berkata, “Ternyata bahwa Pangeran Benawa telah ikut serta dalam pergolakan ini.”

Yang lain termangu-mangu sejenak. Namun seorang perwira muda berkata, “Aku tidak yakin, kalau Pangeran Benawa memang dengan sengaja melibatkan diri. Aku masih ingin mengetahui pendapat Untara dalam hal ini.”

Seorang berkumis lebat dan berpakaian seperti seorang pedagang menyahut, “Nampaknya Untara belum menyatakan pendapatnya dengan tegas. Namun bagi kami, justru karena ia benar-benar berdiri pada tugas dan kewajiban seorang prajurit, maka ia harus disingkirkan.”

“Kau terlalu dipengaruhi oleh perasaan,” sahut yang lain, yang berpakaian seperti seorang petani, “kita jangan menambah lawan. Sementara Untara masih dapat kita anggap berdiri di luar pertikaian ini. Tetapi sebenarnyalah menurut pendapatku, tindakan Pangeran Benawa yang terakhir perlu mendapat perhatian.”

“Mungkin dua bersaudara dari Pesisir Endut memang sudah membuat kesalahan. Pangeran Benawa tidak mau melihat tindakan sewenang-wenang. Agaknya dua bersaudara itu tidak dapat menahan diri, sehingga Pangeran Benawa harus bertindak terhadap mereka. Bukan karena persoalan yang pokok, tetapi karena tindakan kedua orang itu tidak sesuai dengan nurani Pangeran yang aneh itu.”

“Apapun alasannya, maka Pangeran Benawa itu masih akan dapat berbuat sesuatu, yang dapat merugikan kita. Dengan demikian, maka ada beberapa orang yang perlu mendapat perhatian utama selain Senopati Ing Ngalaga itu sendiri.”

Orang-orang yang mendengarkan keterangan itu nampaknya menjadi semakin bersungguh-sungguh. Kening mereka menjadi berkerut dan menegang. Seorang yang berpakaian seperti seorang pedagang berkata, “Senopati Ing Ngalaga adalah lawan yang jelas. Yang nampak di hadapan hidung kita. Kita akan dapat datang menyerang Mataram, menghancurkan negeri baru itu dan kemudian membunuhnya bersama Ki Juru Martani. Apalagi jika usaha kita menggelitik Sultan berhasil. Maka menyerang Mataram tidak akan lebih sulit dari memijit buah ceplukan masak.”

Kawan-kawannya mengerutkan keningnya. Dan perwira Pajang yang ada di tempat itu melanjutkan, “Kau benar. Yang kini berbahaya adalah justru orang-orang yang berdiri di samping Senopati Ing Ngalaga. Orang-orang bercambuk itu merupakan orang yang paling berbahaya. Orang yang pertama-tama harus disingkirkan. Swandaru yang gemuk itu telah membangunkan pasukan pengawal yang kuat. Kekuatan Sangkal Putung merupakan kekuatan yang melintang di jalur antara Pajang dan Mataram. Kemudian kekuatan yang ada di Tanah Perdikan Menoreh. Mau tidak mau, Argapati tentu akan terlibat dalam pertikaian yang akan timbul melawan Mataram. Sejak lama Argapati telah membuat hubungan yang khusus dengan Sutawijaya. Yang terakhir pasukan Tanah Perdikan Menoreh telah terlihat dalam pertempuran di lembah antara Gunung Merapi dan Gunung Merbabu itu.”

Orang berpakaian pedagang yang ikut di dalam perjamuan itu berkata, “Sudah berkali-kali kita berusaha membunuh orang-orang terpenting di antara mereka. Kegagalan terbesar yang terjadi karena pengkhianatan Telengan telah menghancurkan persiapan terbesar yang pernah kita adakan. Dengan kehancuran itu, kita harus menyusun kembali kekuatan seperti saat kita mulai. Namun berdasarkan pengalaman, maka sambil menyusun kekuatan, kita harus berusaha dengan sungguh-sungguh membunuh orang-orang yang akan menjadi senopati bagi pasukan Mataram.”

“Aku tahu arah bicaramu,” berkata perwira prajurit yang ada di antara mereka, “sudah berapa kali kita mencoba membunuh orang-orang bercambuk itu. Namun kita tidak pernah berhasil. Bahkan kematian demi kemarin telah menyusul. Dan yang terakhir kakak beradik dari Pesisir Endut itu justru terbunuh oleh Pangeran Benawa.”

“Tetapi, apakah dengan demikian kita akan menghentikan usaha itu? Jika pada suatu saat terjadi benturan kekuatan, sementara orang-orang bercambuk itu masih ada, maka Mataram benar-benar memiliki kekuatan yang menggelisahkan. Orang-orang bercambuk itu memiliki kemampuan seperti para Adipati. Bahkan mungkin melampaui. Sedangkan mereka mempunyai sahabat-sahabat yang menggetarkan.”

“Kekuatan mereka telah berkurang dengan Ki Sumangkar,” desis orang yang berpakaian pedagang.

“Ya. Tetapi yang lain masih tetap berbahaya. Kita harus membunuh mereka bersamaan dengan persiapan pasukan dalam keseluruhan,” sahut yang lain. Katanya selanjutnya “Sangkal Putung telah menjadi sumber tenaga di samping Mataram dan Tanah Perdikan Menoreh. Setiap laki-laki adalah prajurit yang berbahaya. Tetapi tanpa Swandaru, kademangan yang besar itu akan lumpuh.”

“Kita akan berpegang kepada rencana yang lama, yang sampai saat ini tidak berhasil. Tetapi terserah kepada kalian. Aku akan melaporkannya kepada Ki Tumenggung, yang kelak akan menyampaikannya kepada Kakang Panji.”