api di bukit menoreh 102

ORANG-orang yang membuat lingkaran disekitar arena itu termangu-mangu sejenak. Mereka bagaikan dicengkam oleh peristiwa yang hampir diluar nalar. Ledakan cambuk Swandaru telah mengenai punggung harimau yang menerkamnya dan karah-karah besi baja dan kepingan-kepingan baja yang melingkar diantaranya ternyata telah berhasil menyobek kulit harimau itu, sehingga luka yang panjang telah menganga dipunggungnya.

Ketika darah mulai mengalir dari luka itu, maka harimau itupun menjadi bagaikan gila. Perasaan sakit yang tiada taranya telah mencengkamnya. Namun agaknya ia tidak mau menyerah. Dengan garang ia menggeram, dan sekali lagi menyerang Swandaru dengan kedua kakinya yang terjulur kedepan, dengan kuku-kuku yang tajam runcing.

Tetapi sekali lagi harimau itu terdorong surut. Sekali lagi cambuk Swandaru meledak, langsung mengenai kepala harimau itu.

Harimau itu terjatuh dan berguling beberapa kali. Aumnya menghentak penuh kemarahan. Namun ledakan cambuk Swandaru bergema lebih keras. Dan harimau iru-pun menggeliat kesakitan. Disusul oleh ledakan sekali lagi, sekali lagi.

Orang-orang Sangkal Putung berdiri mematung diseputar arena itu seperti orang yang sedang bermimpi. Mereka melihat luka yang silang melintang menyobek kulit harimau itu. Jalur-jalur yang panjang menganga sampai panjang.

Mengerikan sekali desis Pandan Wangi memalingkan wajahnya ketika beberapa kali lagi Swandaru masih ingin meyakinkan kedahsyatan cambuknya.

Ketika harimau itu menggeliat sekali lagi, maka Swandaru pun maju selangkah mendekatinya. Perlahan-lahan ia mengangkat cambuknya. Ia ingin meledakkan cambuknya untuk yang terakhir kali dan membunuh harimau itu sekaligus.

Terdengarlah ledakan yang sangat keras bagaikan ledakan petir di langit. Dengan sepenuh tenaga cambuk Swandaru terayun dan mengakhiri perjuangannya melawan harimau itu dalam rangka menguji kemampuan tenaganya.

Pada saat yang hampir bersamaan, didalam sebuah goa yarg sepi dan terpencil, telah terdengar pula ledakan yang sangat dahsyat mengguncang bagaikan gempa yang keras. Seonggok batu karang telah hancur pecah menjadi debu.

Sesaat ruang didalam goa itu menjadi gelap, sehingga Agung Sedayu sendiri justru harus menutup hidungnya dengan telapak tangannya. Napasnya rasa-rasanya menjadi sesak oleh debu yang menghambur memenuhi ruangan yang diguncang oleh kedahsyatan kekuatan cambuk Agung Sedayu.

Ketika ruangan itu kemudian menjadi terang kembali, maka Agung Sedayu melihat kepingan-kepingan batu-batu padas yang berserakan berhamburan diseluruh ruangan.

Agung Sedayu menarik nafas dalam-dalam ia telah berhasil menyalurkan tenaga cadangannya sepenuhnya pada ujung senjatanya, sehingga ujung cambuknya yang lemas itu, telah mampu meremukkan seonggok batu karang yang keras.

Sejenak Agung Sedayu berdiri termangu mangu kemudian satu-satu ia melangkah dan duduk diatas sebuah batu yang lain merenungi kepingan batu karang yang telah dipecahkannya.

Ketika Swandaru dan pengiringnya berpacu kembali ke Sangkal Putung sambil membawa tubuh harimau yang terluka parah silang melintang itu. Agung Sedayu … … didalam biliknya. Sejenak ia masih duduk termangu-mangu. Tetapi ia sadar ... ... sudah sampai pada batas yang diberikannya … ... sebulan.

Aku tinggal mempunyai waktu ... … , berkata Agung Sedayu kepada … tetapi aku kira semua yang penting sudah aku lakukan dan masih berharap bahwa aku akan mendapatkan kesempatan mematangkannya lain kali. Tetapi sekarang aku sudah berhasil membuka pintu dan memasukinya setiap saat yang aku kehendaki.

Agung Sedayu mengusap keringat yang membasahi keningnya. Sejenak ia masih duduk … … sejenak kemudian iapun teringat bahwa sudah … … tidak turun dan menanak nasi.

Karena itu, maka iapun perlahan-lahan … menuruni lubang sempit yang berbelok belok … … merangkak turun, ia selalu merasa seolah-olah ia sedang beristirahat barang beberapa saat dan melihat-lihat dam diU'a: lingkungan dinding goa.

Ketika kemudian Agung Sedayu berada dimulut goa untuk mencari air, maka hampir diluar sadarnya ia memperhatikan cahaya matahari yang jatuh diatas dedaunan yang hijau rimbun ditebing sungai yang curam itu. Selembut angin yang berhembus menyusuri tebing sungai itu telah mengguncang dedaunan yang bergeser satu-satu diperapian cahaya matahari.

Agung Sedayu menarik nafas dalam-dalam ia sendiri kurang mengerti, kenapa ia senang sekali, memandang cahaya matahari yang jatuh didedaunan yang hijau segar.

Sejenak Agung Sedayu mengambil nafas panjang sekali. Lalu melangkah kesungai membawa mangkuk yang dibuatnya dari pelepah upih.

Seperti yang selalu dilakukannya, maka Agung Sedayupun kemudian menanak nasi dan menjerang air utuk minum. Agaknya kali yang terakhir karena dihari berikutnya ia harus kembali kepada gurunya di padepokan kecil yang telah dibangunnya.

Agung Sedayu tiba-tiba telah dicengkam kerinduan kepada kemenakannya, Glagah Putih.

Ketika Agung Sedayu kembali kedaiam biliknya, ia masih ingin mempergunakan sisa waktu sebaik-baiknya. Setelah duduk merenung sejenak, maka mulailah ia dengan latihan-latihan terakhirnya bagi kekuatan-kekuatan yang diketemukannya didalam goa itu.

Sejenak kemudian iapun telah duduk bersila diatas sebuah batu padas didalam ruangan. Kedua tangannyapun telah bersilang didadanya. Setelah mapan, maka mulailah ia memusatkan segenap pikiran, perasaan dan inderanya dalam pemusatan kekuatannya pada sorot matanya yang memiliki kemampuan sentuhan yang bersifat wadag.

Beberapa saat kemudian Agung Sedayu teluh mulai dengan sentuhan-sentuhan sorot matanya meraba dinding ruangan itu. Ia sengaja tidak mempergunakan benda-benda lain, tetapi ia ingin mengetahui kekuatan rabaan sorot matanya pada dinding ruangan didalam goa itu.

Sesaat kemudian nampak ketegangan telah mencengkam Agung Sedayu. Keringatnya mulai mengalir dikulitnya. Semakin lama nampak betapa ia telah tenggelam dalam pengerahan tenaga pada sorot matanya yang mempunyai sifat wadag itu.

Dalam puncak kekuatannya, perlahan-lahan nampak goresan-goresan kecil pada dinding ruangan itu. Semakin lama menjadi semakin jelas. Sehingga akhirnya, goresan-goresan itu nampak sebagai retak-retak yang menjalar pada dinding goa itu.

Sesaat kemudian, dalam hentakkan kekuatannya. Agung Sedayu sadar, bahwa dinding goa itupun pula pecah dan sedikit demi sedikit batu-batu padas mulai berguguran.

Kesadaran itulah, yang kemudian mulai menahan arus kekuatannya yang lebih dahsyat lagi. Itulah yang sebenarnya ingin diketahuinya, betapa jauhnya kekuatan matanya yang tidak bersifat wadag, tetapi mempunyai kekuatan yang bersifat wadag itu.

Agung Sedayu menghentikan rabaan dan sentuhan kekuatan matanya dahsyat itu. Ia sengaja tidak menggunakan segenap kekuatannya, agar dinding, goa itu tidak menjadi rusak karenanya.

Ketika ia sudah selesai dengan pemusatan kekuatannya, dan kemudian melapaskannya, terasa betapa kelelahan telah mencengkamnya. Namun perlahan-lahan ia bangkit dan berjalan mendekati guguran padas yang runtuh dari dinding goa itu. Retak-retak yang masih melekat pada dinding nampak tusukan-tusukan yang seolah-olah telah menghentak pada batu-batu padas itu.

Perlahan-lahan Agung Sedayu pun meraba dengan tangannya. Debu yang tebalpun kemundian runtuh pula. Debu yang melekat pada dinding yang setiap saat bertambah-tambah tebal beberapa lapis.

Namun, ketika tangannya meraba ditempat yang agak tinggi, pada bagian-bagian yang runtuh oleh sentuhan matanya, ketajaman alat perabanya telah menyentuh sesuatu. Itulah sebabnya, maka dengan berdebar-debar iapun mulai menghapus debu yang tebal pada dinding goa itu.

Agung Sedayu terkejut. Ia melihat beberapa buah lukisan yang lamat-lamat pada dinding goa itu, yang seakan-akan telah hilang tertutup oleh debu yang tebal.

“Ilmu kanuragan,“ ia bergumam dengan wajah yang tegang.

Agung Sedayu tidak sabar lagi. Ia melepas kain panjangnya yang dengan serta merta dikibas-kibaskan pada dinding goa itu untuk menghapus debu permukaan dinding goa yang luas.

Dengan berdebar-debar Agung Sedayu kemudian mulai memperhatikan lukisan-lukisan itu. Dengan segera ia mengenal, ilmu itu adalah ilmu yang sedang ditekuninya di padepokannya bersama gurunya, Ki Waskita dan pamannya Widura.

“Ilmu yang pernah diturunkan oleh ayah kepada kakang Untara dan yang pernah diterima oleh paman Widura,“ desisnya dengan hati yang berdebar-debar.

Dengan tergesa-gesa, seolah-olah sedang dikejar oleh waktu yang semakin sempit, ia mulai menelusur ilmu itu dari permulaan. Sebagai seorang yang memiliki ilmu yang tinggi dalam tatarannya, serta orang yang serba sedikit telah pernah mengenal ilmu itu pula, maka Agung Sedayupun segera mengetahui pangkal dari pada ilmu itu.

Dengan penuh gairah ia memperhatikan setiap tingkatan ilmu yang semakin lama menjadi semakin sempurna itu.

“O, betapa dahsyatnya. Ilmu itu akan sampai pada unsur gerak yang paling tinggi. Dengan mengenal lukisan-lukisan ini, maka seseorang akan mendapat tuntunan unsur-unsur gerak dari ilmu itu sampai ketingkat terakhir.” berkata Agung Sedaya didalam hatinya, sementara ia melangkah terus mengelilingi dinding gua yang penuh dengan lukisan itu. Tingkat demi tingkat, dan semakin tinggi letak lukisan itu, semakin tinggi pula tingkat ilmu yang terlukis didinding goa itu. Beberapa tulisan yang terselip diantara lukisan-lukisan itu memberikan beberapa petunjuk yang semakin jelas, bahwa orang yang melukis itu dengan sengaja telah memberikan dasar-dasar ilmunya yang semakin meningkat dalam urutan yang paling wajar, sampai akhirnya tentu akan mencapai puncaknya.

Akhirnya Agung Sedayu yang sudah memiliki ilmu puncak itu tidak sabar lagi. Iapun mempercepat langkahnya. Dengan bekal yang ada padanya, ia langsung dapat mengenali tingkatan ilmu yang terlukis pada dinding goa itu.

Namun tiba-tiba langkahnya tertegun. Ia sudah sampai pada lukisan-lukisan yang semakin rumit. Untunglah bahwa ia pernah berusaha untuk mengenali dirinya sendiri lewat lukisan-lukisan yang pernah dibuatnya di Sangkal Putung. Dengan heran ia melihat, seolah-olah lukisan-lukisan itu telah terpancang pada dinding goa itu pula.

“Secara naluriah aku mengikuti perkembangan ilmuku waktu itu dengan benar,” gumam Agung Sedayu.

Dibantu dengan tangannya, ia mulai menelusur lukisan tata gerak dan sikap pemusatan tenaga dan tenaga cadangan yang ada pada diri seseorang. Sikap puncak seperti yang baru saja dicapainya didalam goa itu. Bahkan ada satu lukisan itu menuntun seseorang kepada tingkatan yang lebih tinggi, yang seolah-olah tidak lagi dapat dicapai dengan tanpa melepaskan diri dari kewadagan.

Agung Sedayu benar-benar menjadi tegang. Ia melihat arah ilmu itu pada suatu tingkatan yang paling … dan penuh rahasia. Ia melihat seseorang mulai dengan tata gerak halusnya tanpa menyertakan ujud wadagnya -i;k melakukan sesuatu yang bersifat wadag. Seperti rabaan sorot matanya. Namun lebih luas dan tinggi. Bukan saja sorot matanya, tetapi seluruh dirinya yang harus melepaskan diri dari dirinya yang bersifat wadag, meskipun untuk tujuan yang bersifat wadag pula.
Agung Sedayu benar benar menjadi berdebar-debar, ia memperhatikan lukisan itu satu-satu. Namun semakin lama menjadi semakin berdebar-debar. Diujung lukisan itu, ia melihat retak-retak dinding goa yang bahkan sebagian permukaan telah dirontokkan dengan tatapan matanya.

“Puncak ilmu ini ada diujung itu,“ desis Agung Sedayu yang menjadi ragu ragu. Bahkan kemudian kakinya bagaikan tidak mau melangkah lagi oleh kecemasannya sendiri. Dinding itu telah runtuh disebagian kecil oleh kekuatan sorot matanya, justru pada bagian-bagian yang terpenting dari lukisan itu.

Agung Sedayu belum sempat mempelajari dengan teliti lukisan-lukisan yang ada didinding itu. Tetapi pengamatannya yang tajam telah dapat manangkap, bahwa sikap yang nampak pada lukisan didinding akan sampai pada suatu puncak ilmu yang sulit untuk dicapai, meskipun dengan dasar yang ada padanya, akan dapat dipelajarinya.

Selangkah Agung Sedayu maju. Tangannya masih meraba lukisan-lukisan pada dinding goa itu. Ia mulai melihat sikap yang mapan untuk sampai pada tingkat ilmu tertinggi dari cabang perguruan ayahnya sendiri.

Tetapi ketika ia maju selangkah lagi, hatinya bagaikan rontok oleh kekecewaan yang memuncak. Dinding goa itu sudah retak, dan lukisan-lukisan yang terpahat pada dinding itu telah ikut rontok pula. Justru tepat pada sikap puncak dari ilmu cabang perguruan yang sedang diamatinya, cabang perguruan ayahnya sendiri.

Kekecewaan yang tajam telah menusuk jantungnya, jika saja lukisan itu masih ada, ia akan mendapat tuntunan untuk mempelajarinya lebih jauh. Meskipun ia telah sampai pada puncak ilmunya sendiri, tetapi agaknya masih ada selapis yang lebih tinggi yang dapat dipelajarinya dari lukisan-lukisan yang terdapat didinding gua itu.

Tetapi kaki Agung Sedayu bagaikan menjadi tidak berdaya sama sekali. Ketika terpandang olehnya bagian-bagian dari lukisan itu yang patah dan pecah karena reruntuhan dinding goa itu.

“O,” Agung Sedayu tiba-tiba saja telah terduduk dengan lemahnya, “aku telah merusak peninggalan yang tidak ternilai harganya ini.”

Kekecewaan penyesalan dan berbagai macam perasaan telah bercampur-baur didalam dirinya. Ia merasa telah kehilangan barang yang paling berharga. Yang dicarinya dan belum pernah diketemukaanya. Tetapi kemudian dengan penuh kesadaran ia melihat yang belum diketemukan itu telah hilang.

Penyesalan yang menghentak dadanya itu bagaikan telah menghisap semua kekuatan tubuhnya. Ilmunya yang dahsat tidak berarti sama sekali untuk melawan kekecewaan didalam diri. Bahkan dengan geram ia menyesali diri. Betapa sombongnya aku. Kenapa aku telah mencoba memecahkan dinding padas itu? Kenapa aku tidak mempergunakan batu-batu atau sasaran lain, selain dinding goa? Kini aku telah membuat kesalahan yang tidak bisa terampuni.

Agung Sedayu menutup kedua belah matanya. Yang hilang itu tidak akan dapat diketemukannya lagi.

Untuk beberapa saat Agung Sedayu terduduk dengan lemahnya menyesali dirinya. Terasa matanya menjadi panas, dan seakan-akan ia telah menutup pintunya sendiri bagi ilmu yang lebih sempurna.

Sekilas ia memandang dinding goa itu sekali lagi. Matanya yang tajam dapat melihat goresan-goresan halus yang tidak begitu dalam pada dinding gua itu. Memang tidak begitu jelas. Apalagi setelah tertutup debu bertahun-tahun lamanya. Lukisan itu benar-benar telah ….

Agung Sedayu menemukan kembali lukisan … tertutup debu itu … setelah ia menemukan pula harapan terakhir. Bagian yang terpenting.

Yang ada itu tidak berarti apa-apa lagi b il n tiba-tiba Agung Sedayu menggeram, "Aku sudah mencapai tingkat ilmu sejajar dengan ilmu tertinggi ilmu yang masih tersisa pada dinding goa itu. Meskipun dari cabang perguruan yang lain, namun aku yakin bahwa tingkat itu sudah aku capai. Tanpa peningkatan lagi, maka lukisan-lukisan itu sudah tidak akan ada artinya apa-apa lagi. Daripada ilmu itu diketemukan oleh orang lain, yang mungkin akan dapat disalah gunakan, maka sebaiknya, lukisan itu aku hancurkan saja sama sekali.”

Agung Sedayu tiba-tiba saja bagaikan menemukan kembali kekuatannya. Dengan hati yang geram ia meloncat berdiri. Dengan kaki renggang dan tangan bersilang didada, ia mulai mempersiapkan diri. Ia ingin menghapus semua lukisan yang ada dengan tatapan matanya.

Namun tiba-tiba saja seolah-olah ia melihat Glagah Putih melintas dihadapan matanya. Seolah-olah ia melihat anak muda itu mencoba mencegahnya dan bertanya, “Apakah aku tidak berhak ikut mewarisinya ?”

Sejenak Agung Sedayu termangu-mangu. Namun kemudian ia menarik nafas dalam-dalam. Bayangan Glagah Putih mulai bermain diangan-angannya.

“Kasihan anak itu,“ desis Agung Sedayu, “iapun berhak mewarisi ilmu itu seperti aku dan kakang Untara. Adalah tidak adil jika aku merusak seluruhnya. Bahwa aku telah mematahkan puncak ilmu itu, adalah benar-benar suatu kecelakaan.”

Agung Sedayu menarik nafas dalam-dalam. Sekali lagi dipandanginya dinding goa yang runtuh itu. Justru pada tingkat ilmu yang tertinggi.

Namun tiba-tiba sorot matahari yang tersisa menerobos masuk pada lubang dilangit-langit goa itu, seolah-olah ia melihat sorot yang ajaib bagi dirinya. Ia sadar, bahwa sorot itu adalah sorot matahari. Sorot yang memancar dari benda langit yang masih tetap menjadi rahasia. Mungkin seseorang masih akan dapat mencari beberapa unsur kejelasan mengenai matahari itu sendiri. Tetapi dalam hubungan yang utuh dari seluruh isi langit, maka manusia bagaikan berhadapan dengan rahasia yang maha besar dan tidak terungkapkan.

Dan kini, kesadaran itulah yang telah menikam jantung Agung Sedayu. Dalam alam yang kecil inipun ia masih harus menjumpai rahasia yang tidak terungkapkan. Batas yang diperkenankan dicapainya adalah batas yang masih ada. Seolah olah sorot matahari itu sudah memperingatkannya. bahwa memang belum waktunya baginya untuk mengetahui rahasia tertinggi dari ilmu itu Rahasia yang untuk sementara masih diselubungi oleh batasan dari Sumber segala yang ada.

“Ternyata bahwa kesempatan bagiku masih selalu dibatasi oleh kekuasaanNya,” berkata Agung Sedayu.

Dengan demikian ia justru merasa telah bersalah bahwa ia hampir saja kehilangan akal karena puncak ilmu yang tidak dapat dicapainya itu. Hampir saja ia melupakan keterbatasannya sebagai manusia yang tidak lebih dari debu dalam imbangan seluruh alam.

“Betapa sombongnya aku,“ desisnya, “yang sudah aku capai rasa-rasanya masih selalu kurang tanpa pernyataan terima kasih sama sekali dari Sumber Kurnia ini. Seharusnya aku berlutut dan mengucapkan terima kasih bahwa aku telah mencapai sesuatu yang sangat berharga. Bukan sebaliknya mengumpati diri sendiri dengan tamaknya.”

Agung Sedayupun kemudian mencoba mengendapkan hatinya, betapapun kekecewaannya kadang-kadang masih terasa menyentuh perasaannya. Namun kemudian ia justru duduk sambil menyilangkan tangannya. Ia merasa wajib untuk mengucapkan sukur kepada Yang Maha Kasih, yang lelah memperkenankannya membuka pintu bagi pencapaian ilmunya yang semakin meningkat.

“Bahwa aku masih belum diperkenankan mencapai tingkatan ilmu yang tertinggi, itu memang masih belum waktunya,” berkata Agung Sedayu kepada diri sendiri.

Dengan demikian, Agung Sedayu dapat sekedar mengobati kekecewaannya dengan pengakuannya atas kekecilan dirinya sendiri dalam hubungannya dengan alam yang besar dan apalagi dengan penciptanya.

Dengan pengakuannya itu, maka Agung Sedayu merasa bahwa yang perlu dilakukannya didalam goa itu memang sudah cukup. Tepat dalam jarak waktu yang diberikan oleh gurunya, ia dapat menyelesaikan pencapaian yang panjang dari bagian terakhir yang paling sulit. Bahkan ia telah sampai pada pencapaian yang penting, dengan kemampuannya mempergunakan tenaga yang tidak bersifat wadag dalam sentuhan yang bersifat wadag.

Dalam pada itu, Swandaru Geni yang berlatih dengan gigihnya, telah mencapai tingkatan yang lebih tinggi pula dalam oleh kanuragan meskipun dalam segi yang berbeda dengan Agung Sedayu sesuai dengan perhatiannya terhadap keadaan disekitarnya. Ia menjadi seorang yang tangkas seperti kijang, tetapi kuat seperti seekor gajah. Senjatanya yang mendapat sedikit tambahan pada juntainya, merupakan senjata yang sangat berbahaya, karena setiap sentuhan akan dapat merobek kulit daging. Jangankan kulit daging seseorang, bahkan seekor harimaupun tidak dapat menahan goresan juntai cambuk yang menyobek kulitnya.

Menjelang malam purnama naik, Kiai Gringsing duduk dipendapa padepokan kecilnya bersama Ki Waskita. Glagah Putih masih sibuk dibelakang menyalakan lampu yang akan dipasang diregol dan pendapa padepokan itu.

“Hari ini adalah hari terakhir yang aku berikan kepada Agung Sedayu,“ berkata Kiai Gringsing.

Ki Waskita mengangguk-angguk. Katanya, “Mudah-mudahan Agung Sedayu tidak salah hitung atau tenggelam dalam kesibukan sehingga ia tidak ingat lagi akan waktu. Jika ia menyadari saat ini, maka ia tentu akan datang tepat pada waktunya.”

Kiai Gringsing mengangguk angguk. Katanya, “Agung Sedayu adalah anak yang patuh. Aku percaya, jika tidak ada halangan apapun juga, ia akan datang hari ini, selambat-lambatnya akhir malam nanti.”

Ki Waskitapun mengangguk-angguk. Agung Sedayu bukannya orang yang biasa mengabaikan perintah.

Dalam pada itu, Agung Sedayu memang sudah berkemas meninggalkan bilik didalam goanya. Ketika ia menengadahkan wajahnya, maka lubang dilangit-langit bilik itu sudah menjadi buram.

Perlahan-lahan Agung Sedayupun kemudian meninggalkan bilik itu dengan hati yang berat. Seolah-olah ia masih ingin tinggal lebih lama lagi. Tetapi tidak dapat mengabaikan perintah gurunya, bahwa waktu yang sebulan itu sudah lalu.

Sekali lagi ia merangkak keluar dari lubang yang panjang dan berkelok-kelok turun kejalur goa. Kemudian membenahi barang barang yang masih akan dibawanya kembali. Beberapa lembar pakaian.

Ketika Agung Sedayu melangkah keluar dari mulut goa, terasa kakinya bagaikan menjadi lemah, seperti juga otot-ototnya yang terasa letih sekali.

Ternyata selama didalam goa, Agung Sedayu telah memeras semua tenaga yang ada, sedangkan ia hampir tidak menghiraukan makan dan minumnya. Bekal yang dibawanya, yang memang kurang mencukupi itu, ternyata justru masih tersisa.

Agung Sedayu menarik nafas dalam-dalam. Ia sadar, bahwa ketekunannya berlatih telah membuatnya kadang-kadang lupa kepada wadagnya, kepada tubuhnya, sehingga baru disaat terakhir terasa betapa sebenarnya lemahnya badannya.

Tetapi ternyata bahwa kekurangan bagi tubuhnya itu tidak mempengaruhi latihan-latihan yang dilakukannya. Seolah-olah ia mendapatkan kekuatan yang lain kecuali kekuatan tubuhnya semata-mata. Dan ternyata bahwa ia telah dapat mempergunakan sebaik-baiknya.

Setelah semuanya selesai, maka Agung Sedayupun kemudian bersiap-siap untuk meninggalkan goa itu. Dengan ragu-ragu ia melangkah. Namun rasa-rasanya langkahnya menjadi semakin berat. Ketika sekali lagi ia berhenti dan berpaling, maka dilihatnya wajah goa itu telah disaput oleh gelapnya malam.

Namun dalam pada itu cahaya yang kekuning-kuningan mulai me … … ; Bulan yang bulat telah timbul dari balik cakrawala.

Agung Sedayu menarik nafas dalam-dalam. Dengan taadpinyn yang lemah ia berjalan membawa sebungkus kecil pakaiannya menyusur tebing sungai yang curam.

Dalam perjalanan kembali kepadepokan, mulailah Agung Sedayu membayangkan masa lampaunya. Ia memang heran bahwa dimasa kanak-kanak ia sudah pernah datang ketempat itu bersama kakaknya, Untara. Itu adalah sesuatu yang menimbulkan berbagai pertanyaan.

“Agaknya dengan sengaja ayah menunjukkan tempat ini. Ayah dengan sengaja mendorong kakang Untara dan yang kebetulan aku waktu itu mengikutinya, pergi kemulut goa ini, karena didalamnya justru terdapat tuntunan ilmu yang mencapai tingkat tertinggi itu,“ berkata Agng Sedayu kepada diri sendiri, “tetapi kenapa ayah tidak berterus terang, sehingga sampai pada akhir hayatnya, ayah tidak sempat memberitahukan sesuatu mengenai isi goa itu?”

Tetapi pertanyaan itu akan tetap menjadi pertanyaan. Bahkan Agung Sedayupun menjadi ragu-ragu, apakah ayahnya juga mengetahui bahwa didalam goa itu ada lukisan-lukisan pokok-pokok tata gerak dan sikap dari ilmu yang dimiliki oleh ayahnya itu.

Agung Sedayu termangu-mangu. Rasa-rasanya lukisan-lukisan itu memang belum pernah disentuh oleh seseorang untuk waktu yang lama sekali. Menilik tataran ilmu kakaknya, maka tentu Untarapun belum pernah melihat lukisan-lukisan ilmu didalam goa itu.

“Rahasia yang sulit untuk dipecahkan,“ gumam Agung Sedayu kepada diri sendiri.

Karena itulah, maka untuk sementara Agung Sedayu ingin menyimpan rahasia itu di dalam hatinya, “Mungkin pada suatu saat ia dapat menemukan jalan pemecahan yang dapat mengungkap ruang didalam goa itu.”

Dalam pada itu, ketika ia mulai mendaki tebing, terasa tubuhnya manjadi letih sekali. Dengan demikian ia semakin menyadari, betapa keterbatasannya sebagai makhluk yang sangat kecil itu. Betapapun tingginya pencapaian ilmu seseorang, namun ia tetap merupakan mahkluk yang dibatasi oleh kodratnya.

“Agaknya aku terlalu tekun berlatih, sehingga aku melupakan wadagku,“ desis Agung Sedayu.

Demikianlah, maka iapun mulai berangkak-rangkak naik keatas tebing yang curam. Keletihannya terasa sangat mengganggunya. Meskipun karena tekadnya dan latihan-latihan yang pernah dilakukan, maka akhirnya ia dapat mengatasi kesulitan itu. Dengan bantuan cahaya bulan bulat dilangit ia melihat dengan jelas, tebing yang curam dengan batu-batu padas yang menjorok. Di bawah kakinya, nampak mengalir air yang bening memantulkan cahaya bulan yang jauh pada aliran riak yang keputih-putihan disela-sela batu-batu yang besar.

Agung Sedayu menarik nafas dalam-dalam. Dengan tatapan mata yang redup, seakan-akan ia mengucapkan selamat tinggal kepada sungai, tepian dan tebing yang curam itu.

Perlahan-lahan Agung Sedayupun kemudian melanjutkan perjalanannya kesebuah padepokan kecil diluar Kademangan Jati Anom. Padepokan yang belum lama dibangunnya bersama Kiai Gringsing, Glagah Putih dan dibantu oleh Ki Waskita, dengan tenaga dan bahan-bahan yang dikirim oleh kakaknya, Ki Untara dan pamannya Ki Widura.

Tetapi Agung Sedayu masih harus melintasi hutan yang meskipun tidak begitu lebat, tetapi cukup memperlambat langkahnya yang kelelahan dan lemah. Untunglah bahwa didalam hutan itu ia tidak menemukan gangguan apapun juga. Seandainya ia bertemu dengan binatang buas diperjalanannya, maka ia harus mengerahkan tenaga dan kemampuannya pada saat wadagnya tidak memungkinkan.

“Mungkin aku dapat melawannya,” berkata Agung Sedayu didalam hati, “tetapi aku tentu akan kehabisan tenaga sama sekali, sehingga perjalananku menjadi semakin lambat.”

Namun Agung Sedayu ternyata dapat meninggalkan hutan itu tanpa rintangan apapun juga. Ia mendengar juga aum harimau dikejauhan. Tetapi agaknya harimau itu tidak mencium baunya dan tidak mengganggu perjalanannya.

Agung Sedayu masih mempunyai waktu semalam untuk mencapai padepokannya, meskipun dengan demikian ia sudah melampui batas waktu meskipun hanya sedikit. Tetapi agaknya gurunyapun membatasi waktunya sampai menjelang pagi.

Perjalanan Agung Sedayu bukannya perjalanan yang terlalu panjang. Karena itu, betapa letih dan lemahnya, ia masih mampu untuk menempuh perjalanan kembali kepadepokan meskipun memerlukan waktu yang cukup lama.

Semakin dekat Agung Sedayu dengan padepokannya, ia menjadi semakin berdebar-debar. Banyak yang akan dapat disampaikan, kepada gurunya, hasil dari saat-saat ia mengasingkan diri. Pencapaian tingkat ilmu yang lebih tinggi akan menggembirakan hati gurunya. Juga bentuk-bentuk yang lain dari berbagai macam sikap dan tata gerak akan menumbuhkan kemungkinan-kemungkinan yang lebih luas padanya dimasa depan.

Namun hatinya masih juga berdebar-debar jika ia mengenang lukisan-lukisan pada dinding ruang didalam goa itu, yang justru telah hilang bagian yang terpenting dan tertinggi.

Demikianlah, akhirnya Agung Sedayupun telah menelusuri jalan yang langsung menuju kepadepokannya. Jalan yang tidak begitu lebar dan masih terlalu sepi. Apalagi dimalam hari.

“Tetapi aku tidak kembali dengan tangan hampa,“ berkata Agung Sedayu kepada diri sendiri.

Langkahnya terhenti sejenak, ketika dari kejauhan ia melihat lampu obor diregol padepokannya yang kecil. Padepokannya yang baru ditinggalkan tidak lebih dari satu bulan, tetapi rasa-rasanya sudah terlalu lama. Apalagi padepokan itu memang padepokan yang masih baru baginya.

Langkahnya jadi semakin berat, semakin ia mendekati pintu regol. Karena itu, ketika ia telah berdiri diluar pintu, maka sekali lagi ia terhenti sejenak mengatur pernafasannya. Badannya memang terasa sangat letih dan lemah.

Dengan ragu-ragu iapun kemudian mendorong pintu regol padepokannya. Ternyata pintu itu tidak diselarak, hingga iapun dengan mudah dapat membukanya.

Namun ketika ia melangkah masuk, terasa dadanya menjadi berdebar-debar. Ternyata ia masih melihat dua orang duduk dipendapa, menghadapi lampu minyak yang masih menyala, mangkuk minuman dan beberapa potong makanan.

“Guru masih bangun. Agaknya dengan sengaja ia menunggu kedatanganku bersama Ki Waskita, ternyata dari persediaan yang ada.” katanya didalam hati.

Dalam pada itu, Kiai Gringsing yang sengaja menunggu kedatangannya bersama Ki Waskita, seperti yang diduganya, sengaja duduk dipendapa berdua sambil berbincang-bincang panjang lebar. Mula-mula Glagah Putih ikut bersama mereka. Ialah yang menyediakan minuman dan makanan, karena ia sendiri ingin ikut serta. Tetapi iapun ternyata letih dan kantuk, sehingga iapun telah tertidur disudut pendapa itu juga.

Ternyata gerit pintu regol itu telah didengar oleh kedua orang tua yang ada dipendapa. Ketika mereka memperhatikan keremangan bayangan regol halaman, maka mereka sudah melihat sesosok tubuh yang perlahan-lahan memasuki halaman.

Kiai Gringsing bergeser setapak, sementara Ki Waskita menarik nafas dalam-dalam. Kedua orang tua itu memperhatikan sesosok yang berjalan tertatih-tatih melintasi cahaya bulan yang jatuh dihalaman.

“Ki Waskita,” desis Kiai Gringsing. “Aku melihat kekurangan pada anak itu.”

“Nampaknya ia lemah sekali,” sahut Ki Waskita.

Keduanya yang semula ingin menunggu saja dipendapa, kemudian merubah niatnya. Dengan tergesa-gesa keduanyapun kemudian bangkit berdiri dan menyongsong turun kehalaman.

“Agung Sedayu,” desis Kiai Gringsing.

Agung Sedayu mencoba tersenyum. Tetapi rasa-rasanya kepalanya menjadi pening, sehingga langkahnyapun menjadi semakin lamban.

“Kenapa kau? “ bertanya Kiai Gringsing sambil menangkap lengannya, sementara Ki Waskita memegang lengannya yang lain.

Agung Sedayu tidak segera menjawab. Ia mencoba menenangkan hatinya dan mengatur perasaannya.

Tetapi Kiai Gringsing adalah orang yang cukup berpengalaman. Rabaan tangannya segera memberikan kesan kepadanya, kekurangan yang ada pada muridnya. Dan agaknya demikian juga pada Ki Waskita. Tangannya yang memegang lengan Agung Sedayu segera memberi tahukan kepadanya, bahwa tubuh Agung Sedayu menjadi sangat kurus dan lemah.

Keduanyapun kemudian memapah Agung Sedayu naik kependapa dan didudukkannya diatas tikar yang putih. Kiai Gringsingpun kemudian menuangkan minuman yang sudah agak dingin pada mangkuk Glagah Putih dan kemudian memberikan kepada Agung Sedayu, “Minumlah. Kau letih sekali.”

Agung Sedayu menarik nafas dalam-dalam. Iapun kemudian menerima mangkuk itu. Namun rasa-rasanya tangannya menjadi gemetar.

Dengan dibantu oleh Kiai Gringsing, maka Agung Sedayupun kemudian minum beberapa teguk. Meskipun minuman itu sudah tidak lagi cukup panas, tetapi masih memberikan kesegaran pada tubuhnya.

“Makanlah,“ desis Ki Waskita sambil memberikan beberapa potong makanan kepada Agung Sedayu yang letih.

Hampir diluar sadarnya, Agung Sedayupun kemudian mengambil sepotong makanan dan dengan tangan yang gemetar, iapun segera menyuapi mulutnya yang terasa menjadi tegang.

Kiai Gringsing dan Ki Waskita masih belum bertanya sesuatu. Tetapi seolah-olah mereka sudah dihadapkan pada peristiwa yang dapat diketahuinya dari ujung dan pangkalnya. Agung Sedayu tentu terlalu tekun melatih diri, sehingga ia melupakan kebutuhan jasmaniahnya. Kekurangan makan dan minum akan membuat tubuhnya menjadi lemah dan letih betapapun tinggi ilmu seseorang. Yang dapat dilakukan adalah membiasakan diri mengurangi makan dan minum. Tetapi pada batas-batas tertentu bagi kemampuan daya tahan wadagnya, karena makan dan minum adalah kebutuhan mutlak menurut kodratnya.

Setelah minum beberapa teguk dan makan sepotong makanan, maka Kiai Gringsing mulai bertanya kepada muridnya tentang keselamatannya selama dalam perjalanan yang dilakukannya tepat sampai batas terakhir yang diberikan kepadanya.

Agung Sedayu menarik nafas dalam-dalam. Minum yang seteguk dan makanan yang sepotong, rasa-rasanya telah memberikan pengaruh kepada tubuhnya.

Perlahan-lahan Agung Sedayu bergeser sambil mencoba menjawab pertanyaan gurunya tentang keselamatannya.

“Kau kurus sekali,“ berkata Kiai Gringsing, “waktu yang sebulan telah melarutkan kulit dagingmu.”

Agung Sedayu menundukkan kepalanya.

“Aku dapat menebak apa yang kau lakukan. Kau tidak sempat, atau kurang memperhatikan wadagmu. Sebelum aku bertanya tentang peningkatan ilmumu selama kau dalam perjalanan, maka kesan yang aku lihat pertama-tama adalah ketidak seimbangan antara kemauanmu untuk mencapai sesuatu dengan pemeliharaan jasmanimu yang merupakan ujud dari dirimu, karena kau bukanlah Agung Sedayu tanpa wadagmu.”

Agung Sedayu hanya menundukkan wajahnya saja. Ia menyadari bahwa keseimbangan itu memang kurangi dipeliharanya.

“Itu bukan berarti bahwa kau harus memanjakan wadagmu semata mata. Tetapi wadagmu terdiri dari tulang dan daging yang memerlukan pemeliharaan yang cukup. Kau memang dapat menguranginya dengan latihan-latihan tersendiri, tetapi dalam lintas-lintas yang tidak akun dapat kau lampaui.”

“Ya guru,” jawab Agung Sedayu, “kemudian aku menyadari. Dan aku telah mengalami akibatnya. Selanjutnya aku akan dapat selalu mengingatnya.”

“Baiklah,“ berkata Kiai Gringsing, “tentu banyak yang dapat kau ceriterakan selama perjalananmu yang pendek itu. Mungkin kau hanya sekedar berjalan saja sebulan penuh. Mungkin kau berhenti ditempat-tempat tertentu. Atau mungkin kau mengalami benturan kekerasan dengan binatang buas atau menolong orang-orang yang mengalami kesusahan. Tetapi nampaknya kau masih terlampau lemah sekarang ini. Aku tahu, bahwa kelemahanmu itu justru menunjukkan kesungguhanmu. Tetapi ketidak seimbangan itu tidak menguntungkanmu,“ Kiai Gringsing berhenti sejenak, lalu. “sekarang, beristirahatlah. Minumlah beberapa teguk lagi, dan makanlah satu atau dua potong makanan. Kemudian kau mencuci kaki dipakiwan dan beristirahatlah. Aku tidak tergesa-gesa untuk mendengarkan ceriteramu yang panjang.”

Agung Sedayu menarik nafas dalam-dalam. Iapun kemudian minum lagi beberapa teguk dan makan sepotong makanan. Ia sadar, dalam keadaan yang demikian, ia tidak boleh makan terlalu banyak, agar perutnya tidak terganggu karenanya.

Seperti yang dipesankan gurunya, maka ia tidak akan menceriterakan pengalamannya saat itu. Ia memang ingin beristirahat menjelang matahari terbit.

Namun dalam pada itu, Glagah Putih yang tertidur disudut pendapa ternyata telah terbangun oleh pembicaraan mereka. Karena itu, ketika ia melihat Agung Sedayu, iapun segera melompat dan dengan tergesa-gesa mendekatinya.

“Jangan kau ganggu dahulu kakakmu,“ berkata Ki Waskita, “ia masih terlalu lemah.”

Glagah Putih yang mula-mula tidak memperhatikan keadaan Agung Sedayu, mencoba mengamatinya. Dan iapun kemudian dapat melihat dalam cahaya lampu minyak, bahwa Agung Sedayu memang nampak kurus dan pucat.

“Apakah kau sakit kakang? “ bertanya Glagah Putih.

Agung Sedayu menggeleng. Katanya dalam nada datar, “Aku sehat-sehat saja.”

“Tetapi kau kurus dan pucat.”

Agung Sedayu mencoba tersenyum betapapun kecutnya.

“Biarlah kakakmu kepakiwan,“ potong Kiai Gringsing ketika ia melihat Glagah Putih masih akan bertanya berkepanjangan.

Glagah Putih menarik nafas panjang. Tetapi iapun kemudian membiarkan Agung Sedayu melangkah perlahan-lahan menuju kepakiwan. Minuman yang diteguknya telah memberikan sedikit kesegaran pada tubuhnya, sehingga meskipun kadang-kadang ia masih harus berpegangan batang-batang perdu dikebun belakang, namun iapun sempat membersihkan diri dan kemudian memasuki ruang dalam langsung kebiliknya.

Meskipun bilik itu sudah ditinggalkannya sebulan, agaknya Glagah Putih telah memeliharanya dengan rapi, sehingga ketika ia memasukinya, seolah-olah ia berada pada suasana sebelum ia meninggalkan padepokan kecilnya.

Setelah berganti pakaian, maka Agung Sedayupun mencoba membaringkan dirinya dipembaringan. Terasa alangkah nikmatnya. Punggungnya yang bagaikan retak, rasa-rasanya dapat menjadi lurus dan pulih kembali. Dengan berbaring ia dapat mengatur pernafasannya dan keadaan tubuhnya yang letih sekali.

Setelah beberapa lama ia berada didalam goa, duduk dan bersandar batu-batu padas yang keras, maka pembaringannya segera memberikan suasana yang lain dan nyaman. Itulah sebabnya, maka kesadarannyapun segera menjadi kabur.

Sesaat kemudian Agung Sedayu itupun telah tertidur nyenyak.

“Anak itu agaknya letih sekali,“ gumam Kiai Gringsing yang ternyata telah duduk dipendapa semalam suntuk bersama Ki Waskita, karena ternyata sejenak kemudian langit diujung Timurpun telah menjadi kemerah-merahan.

“Aku akan mengambil air,” desis Glagah Putih.

“Masih terlalu pagi.“ sahut Kiai Gringsing.

“Tetapi disaat-saat begini aku tidak akan dapat tidur lagi.”

Glagah Putih tidak menunggu jawaban Kiai Gringsing. Iapun segera pergi kesumur, mengambil air untuk mengisi jambangan dipakiwan dan didapur.

Sementara itu. Kiai Gringsing dan Ki Waskita justru memasuki biliknya masing-masing. Meskipun mereka tidak akan tidur menjelang fajar, namun merekapun masih sempat membaringkan dirinya dipembaringan.

Ketika derit senggot terdengar semakin keras, maka Kiai Gringsingpun telah bangkit pula dari pembaringannya. Seperti biasa iapun mengambil sapu lidi, dan seperti biasanya pula ia membersihkan halaman depan, sementara Ki Waskita mulai membersihkan longkangan.

Padepokan kecil itu rasa-rasanya telah mulai bangun. Namun diantara penghuninya masih ada yang tidur dengan nyenyaknya, seolah-olah tidak menghiraukan orang-orang lain yang sudah mulai sibuk dengan kerjanya sehari-hari.

Tetapi Kiai Gringsing memang membiarkan Agung Sedayu tidur sepuas-puasnya. Dengan demikian maka keadaan tubuhnya akan menjadi bertambah baik setelah dengan sungguh-sungguh ia melatih diri selama sebulan.

Glagah Putih yang sedang menimba air, tidak henti-hentinya bertanya kepada diri sendiri, apakah Agung Sedayu sedang menderita sakit.

“Tetapi nampaknya ia memang sakit. Pucat, kurus dan lemah sekali.” Glagah Putih mencoba menjawabnya.

Demikian nyenyaknya Agung Sedayu tidur, maka ia baru terbangun ketika cahaya matahari yang menyusup dinding jatuh dliwajahnya. Sambil mengedip-ngedipkan matanya, ia mencoba mengetahui waktu dengan bayangan cahaya matahari yang menyusup masuk kedalam biliknya.

“O, sudah terlalu siang,“ desisnya.

Perlahan lahan ia bangkit. Tubuhnya masih terasa lemah, meskipun sudah agak menjadi segar sedikit setelah beristirahat beberapa lamanya.

Ketika ia keluar dari biliknya, ia mendengar kesibukan dilongkangan. Dengan ragu-ragu ia menengok lewat pintu butulan. Ternyata Ki Waskita sedang membelah kayu dengan sebuah kapak kecil.

Sambil tersenyum Ki Waskita menyapa Agung Sedayu yang menggosok matanya, “Kau sudah bangun Agung Sedayu.”

Agung Sedayu menarik nafas. Jawabnya, “Aku tidur terlalu nyenyak. Agaknya aku telah bangun kesiangan.”

“Sekali-sekali kau boleh bangun kesiangan.”

“Dimanakah Glagah Putih?” ia bertanya.

“Tengoklah didapur. Baru saja ia ribut kehabisan kayu bakar. Dan aku sedang membuat kayu bakar baginya.”

Agung Sedayu kemudian pergi kedapur. Dilihatnya Glagah Putih sedang sibuk menghembus api diperapian yang agaknya masih terlalu basah, sehingga nyalanya agak kurang baik.

“Nafasmu akan habis,” desis Agung Sedayu.

“O, marilah kakang.“ Glagah Putih tiba-tiba saja telah bangkit, “semalam Kiai Gringsing mencegah aku mengganggu kakang. Apakah kakang sedang sakit ?”

“Sudah aku katakan, aku tidak apa-apa.”

Glagah Putih mengerutkan keningnya. Tetapi Agung Sedayulah yang kemudian berbicara lagi, “Apimu. Air itu tidak akan mendidih. Dan bahkan akan berbau asap jika apimu tidak kau nyalakan.”

“O,“ Glagah Putihpun berjongkok lagi dimuka perapian. Sekali lagi ia menghembus api itu, sehingga matanya menjadi merah karena asap. Namun akhirnya apinya itupun menyala.

Agung Sedayupun kemudian duduk didekat Glagah Putih. Rasa-rasanya menyenangkan sekali duduk dimuka api dibawah periuk untuk menanak nasi. Seakan-akan Agung Sedayu sedang melepaskan semua persoalannya dengan ilmunya yang membuatnya menjadi sangat letih.

Namun sejenak kemudian, ketika api sudah menyala, mulailah Glagah Putih dengan pertanyaannya yang beruntun, seolah-olah pertanyaan itu sudah disusunnya sejak beberapa hari yang lalu.

Agung Sedayu tersenyum. Jawabnya, “Aku akan berceritera tentang perjalananku. Tetapi tidak sekarang. Aku masih sangat letih.”

“O,” Glagah Putih menjadi kecewa. Tetapi menilik keadaan tubuhnya. Agung Sedayu memang nampak sangat letih.

“Perjalananku adalah perjalanan yang menyenangkan,” berkata Agung Sedayu, “banyak manfaat yang dapat diambil.”

Glagah Putih mengangguk-angguk. Tetapi ternyata bahwa Agung Sedayu benar-benar belum akan menceriterakan kepadanya, meskipun hanya sebagian kecil saja.

Tetapi Glagah Putih tidak memaksanya. Ia tahu bahwa Agung Sedayu benar-benar sangat letih. Sehingga karena itu, maka iapun tidak bertanya lagi tentang perjalanan Agung Sedayu dan menyimpan keinginannya sampai saatnya Agung Sedayu bersedia menceriterakan.

Sebenarnyalah Agung Sedayu masih ingin minta banyak pertimbangan dari gurunya dan Ki Waskita tentang pengalamannya selama ia meninggalkan padepokan. Apakah yang dapat dilakukannya kemudian bagi dirinya dan mungkin bagi Glagah Putih.

Dalam pada itu Kiai Gringsing juga sudah menunggu kesempatan untuk mendengarkan ceritera muridnya. Tetapi ia masih dapat mengerti sampai keadaan Agung Sedayu menjadi semakin baik. Setelah sehari berada dipadepokan, nampaknya ia tentu akan memerlukan beberapa hari untuk memulihkan keadaan tubuhnya yang kekurus-kurusan itu.

Disore hari, setelah semua pekerjaan selesai, maka Agung Sedayupun duduk dipendapa padepokan kecilnya bersama mereka, maka Agung Sedayu berkata, “Glagah Putih. Tentu menyenangkan sekali jika kita duduk dipendapa sambil minum-minuman panas.”

Glagah Putih mengerutkan keningnya. Tetapi ternyata ia cukup cerdas menangkap maksud kakaknya, sehingga iapun kemudian meninggalkan pendapa dan pergi kedapur.

“Aku tidak boleh ikut mendengarkannya,“ gumamnya.

Dalam pada itu, di pendapa, Agung Sedayu yang telah nampak lebih segar itupun mulai dengan ceriteranya. Sejak ia berangkat, semuanya yang telah terjadi, dan jarak jangkauannya atas peningkatan ilmunya.

Kiai Gringsing dan Ki Waskita mendengarkannya dengan bersungguh-sungguh. Mereka membayangkan, apakah yang telah terjadi atas muridnya itu, seolah-olah mereka dapat melihat sendiri, apa yang sudah dilakukan oleh Agung Sedayu.

“Jadi kau tidak pergi terlalu jauh Agung Sedayu,” bertanya Kiai Gringsing.

“Tidak guru. Aku tidak pergi terlalu jauh.”

Kiai Gringsing mengangguk-angguk. Dalam pada itu, iapun mulai membayangkan muridnya yang seorang lagi. Swandaru Geni. Meskipun Kiai Gringsing belum melihat hasil, peningkatan kedua muridnya itu atas ilmu yang diberikan kepada mereka, namun Kiai Gringsing sudah dapat membayangkan perbedaan ciri dan pribadi dari ilmu yang ada dikedua muridnya yang memang memiliki dasar kepribadian yang berbeda itu.

Sambil menarik nafas dalam-dalam. Kiai Gringsing bertanya, “Agung Sedayu. Bagaimanakah mungkin kau dapat menemukan goa ditebing sungai yang curam itu.”

“Sejak kecil aku pernah melihat mulut goa itu,“ jawab Agung Sedayu.

“Sejak kecil? “ Kiai Gringsing menjadi heran.

Agung Sedayupun kemudian menceriterakan teka-teki didalam hatinya. Apakah pada saat itu ayahnya dengan sengaja memberikan petunjuk kepada Untara agar ia datang dan memasuki goa itu.

Kiai Griungsing menarik nafas dalam-dalam tetapi iapun tidak dapat menemukan jawabannya dengan pasti.

“Aku kira dugaanmu mendekati kebenaran,” berkata gurunya, “tetapi selanjutnya Ki Sadewa tidak sempat memberikan petunjuk lebih jauh lagi sampai saat ajalnya.”

“Jika ayah benar mengetahuinya, kenapa ayah tidak pernah berterus terang, atau setidak-tidaknya ceritera tentang goa itu? Jika ceriteranya memberikan arah meskipun serba sedikit, tentu kakang Untara akan berusaha untuk mencarinya.”

Kiai Gringsing mengangguk-angguk. Katanya, “Memang kita tahu apa yang sudah terjadi sebenarnya. Tetapi agaknya memang ada hubungannya bahwa pada masa kanak-kanak Untara telah menemukan mulut goa itu. tetapi yang dewasanya tidak menghiraukannya lagi.”

“Dan aku sudah merusakkan pahatan lukisan pada dinding goa itu guru.”

Kiai Gringsing termangu-mangu. Ia mencoba menilai apa saja yang sudah dilakukan oleh Agung Sedayu. Pencapaiannya yang cukup banyak, tetapi juga kekecewaan, yang mencengkamnya karena ia telah merusakkan serangkaian lukisan pada dinding goa itu.

Namun dalam pada itu, secara keseluruhan. Pencapaian ilmu, ternyata Agung Sedayu pesat sekali, jauh diatas dugaan gurunya. Gurunya sama sekali masih belum memperhitungkan bahwa Agung Sedayu akan dapat mengembangkan ilmunya dengan sentuhan yang tidak bersifat wadag, tetapi mempunyai akibat yang bersifat wadag dengan tatapan matanya. Tetapi ternyata bahwa Agung Sedayu telah sampai pada tataran itu. Bahkan ia agaknya sudah mulai dipengaruhi oleh lukisan yang dilihatnya, tetapi yang bagian terpentingnya telah terhapus oleh tatapan matanya itu, karena Agung Sedayu sudah mulai mempercakapkan tentang lontaran ilmu tanpa sentuhan wadag. Pelepasan diri dari ujud wadag untuk melakukan perbuatan yang bersifat wadag.

Kiai Gringsing menarik nafas dalam-dalam. Perkembangan ilmu Agung Sedayu memang jauh bersifat kedalam. Namun dalam pada itu, perkembangan ilmu Swandaru agaknya nampak pada perkembangan keluar, pada ujud jasmaniahnya yang memang memiliki kekuatan melampaui kekuatan sewajarnya.

Ki Waskita yang mendengar pula ceritera Agung Sedayu tentang dirinya selama ia berada di dalam goa itu-pun mengangguk-angguk, iapun dapat membayangkan, betapa pesatnya kemajuan yang telah dicapainya. Bahkan Agung Sedayu sudah dapat menyentuh dengan tatapan matanya atas benda-benda dengan sifat sentuhan wadag.

“Ia masih terlalu muda,” berkata Ki Waskita didalam hatinya, “tetapi ia sudah menguasai ilrnu yang sangat tinggi. Untunglah bahwa sifat-sifatnya sangat menguntungkan, sehingga ilmu yang dikuasainya agaknya tidak akan disalah gunakan.”

Agak berbeda dengan Kiai Gringsing, maka tanggapan Ki Waskita terhadap Agung Sedayu terasa lebih baik dari tanggapannya atas Swandaru. Kiai Gringsing yang menganggap keduanya adalah muridnya yang berhak mendapat bekal yang sama dari padanya, agaknya mempunyai tanggapan yang agak bersifat khusus. Kiai Gringsing selalu mencoba menganggap keduanya sama dalam pandangannya, tanpa membeda-bedakan.

Tetapi Ki Waskita yang berdiri diluar lingkungan keluarga perguruan kecil itu, dapat melihat dengan jarak. Ia dapat membedakan sifat dan watak kedua murid Kiai Gringsing tanpa terikat oleh perasaan seorang guru terhadap kedua muridnya yang harus diperlakukan sama.

Bagi Ki Waskita, Swandaru agaknya berkembang kearah yang kurang menguntungkan. Keberhasilannya selama ini dan penghormatan yang meriah disaat perkawinannya, telah mendorongnya untuk merasa dirinya terlalu besar. Dengan demikian, maka sikapnyapun agaknya telah terpengaruh pula.

Meskipun demikian, ia bukannya tidak melihat kekurangan pada Agung Sedayu. Jika secara jiwani ia kurang lapang untuk memuat ilmu yang dicapainya dalam usia yang masih terlalu muda, maka iapun akan terpengaruh olehnya. Ia akan tenggelam kedalam dunia khayalan dan angan-angan. Ia akan hanyut dalam pencapaian ilmu yang lebih tinggi, setingkat demi setingkat, tanpa menghiraukan keseimbangan perkembangan diri, jasmaniah maupun rohaniah. Sehingga apabila ia tergelincir selapis, maka syarafnya akan dapat terganggu.
“Mudah-mudahan ia tidak kehilangan keseimbangan dan pengamatan dirinya,” desis Ki Waskita didalam hatinya.

Dalam pada itu, agaknya Kiai Gringsing masih belum ingin memberikan tanggapan langsung kepada muridnya. Ia masih mencoba untuk mempertimbangkan lebih masak lagi apakah yang sebaiknya dilakukan.

Namun sementara itu, Kiai Gringsing bukannya sama sekali tidak memberikan pesan. Katanya, “Baiklah Agung Sedayu. Masih banyak yang harus aku urai dari keteranganmu. Tetapi sementara ini, biarlah Glagah Putih mendapat tuntunan yang lebih baik. Kau adalah orang yang memiliki kemampuan itu. Kau dapat mengosongkan dirimu dari pengetahuan yang kau miliki dengan sadar, sehingga dengan bersih dari segala macam pengaruh, kau dapat menuntun Glagah Putih sesuai dengan ilmu dasar yang dipelajarinya.”

“Tetapi sampai dimanakah tingkat pengetahuan dan pengenalanku atas ilmu itu guru? “ bertanya Agung Sedayu.

“Memang tidak lebih dari pamanmu Widura. Tetapi jika kau berbekal penglihatanmu atas lukisan pada dinding bilik didalam goa seperti yang kau katakan, maka kau tentu dapat mencapai tingkat ilmu yang lebih tinggi dari pamanmu Widura dan kakakmu Untara.“ jawab Kiai Gringsing, “sehingga pada suatu saat, jika waktunya tiba, maka Glagah Putih akan dapat memanfaatkan lukisan-lukisan didalam goa itu sendiri dengan bekal yang sudah dimilikinya, sehingga ia akan dapat menyadap ilmu itu dengan benar dan tidak tersesat.”

“Tetapi ia tidak akan pernah dapat mencapai tingkat tertinggi dari ilmunya, guru. Karena aku sudah menghapusnya dari dinding goa itu.”

Tetapi Kiai Gringsing menggeleng. Katanya, “Belum pasti demikian. Mungkin tingkat kecerdasan Glagah Putih memungkinkannya untuk mencapai tingkat itu dengan bahan yang sudah dimilikinya. Atau mungkin ia menemukan sumber lain yang dapat menyempurnakan ilmunya sampai tingkat tertinggi.”

Agung Sedayu menarik nafas dalam-dalam.

Semuanya masih akan berlangsung Agung Sedayu. Juga mengenai dirimu sendiri. Pada suatu saat. jika ada waktu yang baik, aku tentu ingin melihat kenyataan dari tingkat ilmumu. Sehingga dengan demikian penilaianku atasmu menjadi pasti.”

Agung Sedayu mengangguk kecil. Katanya, “Kapan saja guru perintahkan, aku akan melakukannya.”

“Kau masih harus memulihkan keadaan jasmanimu yang susut dan lemah. Pada suatu saat tubuhmu akan pulih dan kau akan dapat menunjukkan tingkat ilmumu dengan pasti dan meyakinkan.”

Agung Sedayu mengangguk-angguk. Ia menyadari, bahwa dengan demikian bukan berarti bahwa kerjanya sudah selesai. Ia masih harus berada didalam sanggar bersama gurunya dan Ki Waskita untuk menilai tingkat ilmunya yang terakhir. Bukan hanya satu dua hari. Apalagi dengan kuwajibannya terhadap Glagah Putih.

Sejenak kemudian, agaknya Kiai Gringsing sudah tidak ingin lagi membicarakan peningkatan ilmu Agung Sedayu. sehingga Agung Sedayupun kemudian pergi kedapur memanggil Glagah Putih.

“Apakah air itu belum mendidih?”

Meskipun sebenarnya air sudah lama mendidih, namun Glagah Putih yang mengerti banwa pembicaraan baru saja selesai menjawab, “Baru saja kakang.”

“Nah, guru dan Ki Waskita sudah menunggu.“

Glagah Putihpun kemudian menyiapkan minuman dan kemudian membawanya ke pendapa.

… … berikutnya, maka Agung Sedayupun … … seperti sediakala. Namun iapun … … dengan tuntunannya … Glagah Putih … … seperti pesan gurunya. Agung Sedayu masih belum menceriterakan tentang lukisan yang terdapat pada dinding ruang didalam goa itu, agar Glagah Putih tidak tergesa-gesa menguasai ilmu tertinggi, sehingga dapat menumbuhkan kejutan didalam dirinya dan ketidak seimbangan dalam urutan ilmunya itu.

Dalam pada itu, yang dilakukan oleh Agung Sedayu adalah suatu kewajiban yang sulit. Tidak seperti kebanyakan orang-orang yang memiliki ilmu dan ingin menurunkan ilmunya kepada muridnya, maka Agung Sedayu justru sedang mengajarkan ilmu yang tidak dikuasainya benar kepada orang lain.

Tetapi Agung Sedayupun sadar, bahwa yang dilakukan itu hanyalah sekedar tataran terendah dari peningkatan ilmu Glagah Putih, karena pada suatu saat Glagah Putih akan dapat menemukan jalurnya tersendiri.

Namun dalam hal itu, Agung Sedayu tidak berdiri sendiri. Pamannya, Widura selalu berusaha membantunya meskipun ia merasa bahwa ternyata Agung Sedayu lebih banyak menguasai daripada dirinya, meskipun Agung Sedayu telah memiliki jalur tersendiri dalam cabang perguruan yang berbeda.

Selain usahanya meningkatkan ilmu Glagah Putih, maka Agung Sedayupun dengan tekun melakukan pekerjaan sehari-hari. Ia tidak terlambat pergi kesawah, bergantian dengan Glagah Putih menelusur air, jika parit menjadi kering. Memelihara kebun dan pohon buah-buahan. Membersihkan rumah dan bangunan-bangunan yang ada dipadepokan itu serta memperbaiki kekurangan dan kerusakan-kerusakan kecil yang timbul kemudian.

Sementara itu, disebelah menyebelah tanah persawahan Agung Sedayu, telah terbentang pula beberapa bahu sawah. Mereka adalah orang-orang yang telah mendapat ijin dari Ki Demang di Jati Anom untuk membuka tanah persawahan dibawah petunjuk Agung Sedayu disesuaikan dengan kemungkinan penggunaan air dan pemeliharaan selanjutnya.

Bahkan ternyata kemudian, bahwa beberapa orang anak muda seakan-akan telah memaksa untuk ikut tinggal di padepokan kecil, karena mereka sebenarnya ingin pula mendapatkan sedikit kemampuan dalam olah kanuragan.

“Kalian akan menjadi cantrik dipadepokanku? “ bertanya Agung Sedayu kepada anak-anak muda yang sebenarnya adalah kawan-kawannya bermain dimasa kanak-kanak.

“Apapun yang harus kami lakukan, kami tidak akan berkeberatan,“ jawab salah seorang dari mereka.

Setelah mendapat persetujuan dari gurunya, maka Agung Sedayupun dapat memilih tiga orang diantara mereka untuk tinggal bersamanya dipadepokan kecil itu.

Dengan demikian, maka padepokan itu menjadi semakin ramai. Tiga orang anak muda itu ternyata dengan sungguh-sungguh ingin luluh dalam kehidupan yang berat dipadepokan kecil itu. Mereka harus memenuhi segala kebutuhan mereka sendiri. Dari menanam bahan makan mereka, sehingga menjadikan makanan itu siap untuk dimakan. Bahkan merekapun harus dapat mencukupi kebutuhan sandang dan keperluan-keperluan lain. Kebutuhan bagi rumah dan bangunan-bangunan yang adar bagi kuda mereka dan bagi semua yang diperlukan.

“Kita akan segera dilepaskan oleh kakang Untara dan paman Widura,” berkata Agung Sedayu kepada anak-anak muda itu, “sehingga kita harus dapat berdiri sendiri. Makan, minum, pakaian dan semua kebutuhan harus kita usahakan dengan kemampuan yang ada pada kita sendiri.”

Tetapi anak-anak muda itu sudah menyatakan tekadnya. Satu-satunya keinginan mereka adalah mendapatkan tuntunan dalam olah kanuragan. Meskipun tidak harus mencapai tingkat tertinggi, namun sekedarnyalah cukup untuk membela diri.

Dari hari kehari, maka keadaan tubuh Agung Sedayupun menjadi berangsur pulih kembali. Ia tidak lagi nampak pucat dan kurus. Justru pekerjaannya sehari-hari yang berat, selain disawah juga disanggar, telah membuatnya nampak segar dan gembira.

Baru setelah Agung Sedayu menjadi pulih sama sekali, gurunya mulai ingin menilai kemampuan yang dapat dikuasainya setelah ia berusaha meningkatkan ilmunya. Meskipun dengan lesan Agung Sedayu pernah melaporkan kepada gurunya, namun Kiai Gringsing ingin melihat, apakah yang dikatakan itu sesuai benar dengan kenyataannya.

Karena itulah maka ia telah menentukan waktu yang paling baik untuk mengadakan penilaian itu. Bersama Ki Waskita, maka iapun membawa Agung Sedayu kedalam sanggarnya, setelah lewat tengah malam. Setelah Glagah Putih dan para cantrik dipadepokan itu tidur nyenyak.

“Agung Sedayu,“ berkata gurunya, “tiba-tiba saja timbul niatku untuk menengok Swandaru ke Sangkal Putung. Aku ingin juga mengadakan penilaian atas peningkatan ilmu yang dicapainya. Namun sebelum itu, aku ingin meyakinkan diriku, bahwa kemampuan benar-benar telah mencapai tingkat seperti yang pernah kau katakan kepadaku.”

Agung Sedayu menundukkan kepalanya. Jika ia harus menunjukkan kemampuannya kepada orang lain, maka ia tentu akan menjadi segan. Tetapi karena hal itu diminta oleh gurunya, serta agar gurunya dapat memberikan penilaian yang tepat, maka iapun berniat untuk menunjukkan tingkat yang sebenarnya memang sudah dicapainya.

“Marilah Agung Sedayu,“ berkata Kiai Gringsing, “tunjukkan kepadaku. Terserah kepadamu, yang manakah yang menurut penilaianmu cukup mewakili kemampuanmu.”

Agung Sedayu termangu-mangu sejenak. Namun iapun kemudian menjawab, “Guru, apakah aku diperkenankan menunjukkan sentuhan pandangan mataku atas sesuatu benda dalam sifat wadag.”

“Cobalah Agung Sedayu. Pilihkah sasaran yang dapat kau pergunakan.”

Agung Sedayupun kemudian mengambil sebongkah Batu hitam dari kebun dipadepokannya, Diletakkannya batu itu diujung sanggar. Kemudian ia duduk beberapa langkah dari batu itu. Bersila sambil menyilangkan kedua tangannya didadanya.

Kiai Gringsing dan Ki Waskita yang ingin menyaksikan kemampuan anak muda itupun duduk sebelah menyebelah. Merekapun menjadi tegang pula ketika mereka melihat Agung Sedayu mulai mengatur pernafasannya.

Dengan hati yang berdebar-debar kedua orang tua itu menunggu. Mereka dapat mengikuti, tingkat pengetrapan ilmu Agung Sedayu. Sejak ia memusatkan inderanya dan menyalurkan kekuatan pada sorot matanya dengan sifat wadag untuk meraba batu yang menjadi sasarannya.

Sejenak suasana menjadi tegang. Agung Sedayu yang memusatkan segenap, kekuatannya pada pancaran matanya yang ditrapkan dalam sifat wadag itu menjadi semakin lama semakin tegang pula, sehingga pada suatu saat, ketika kekuatannya mulai tersalur disorot matanya dalam sifat wadag, keringatnya rasa-rasanya telah membasahi seluruh tubuhnya.

Namun dalam pada itu, batu yang dipandanginya itupun mulai bergetar. Ketika Agung Sedayu seakan-akan menghentakkan kekuatannya, maka tiba-tiba batu itupun menjadi retak dan pecah berkeping keping.

Kiai Gringsing dan Ki Waskita menarik nafas dalam-dalam. Mereka telah menyaksikan kemampuan ilmu Agung Sedayu. Ternyata bahwa yang sebulan itu telah membuat Agung Sedayu seorang yang benar-benar mumpuni. Seorang yang memiliki kemampuan yang luar biasa, yang jarang dimiliki oleh setiap orang.

Ketika Agung Sedayu telah berhasil memecahkan batu itu, maka perlahan-lahan iapun mulai mengendapkan ilmunya kembali, sehingga sejenak kemudian maka iapun telah melepaskan pemusatan inderanya dan menarik nafas dalam-dalam.

“Luar biasa Agung Sedayu,“ berkata Kiai Gringsing, “kau telah mencapai suatu tingkat diluar dugaanku. Kau telah memiliki ilmu yang sulit dicapai. Justru kau telah dapat menemukannya sendiri dalam pencapaian selama kau berada didalam goa itu.”

Agung Sedayu menundukkan kepalanya. Katanya dengan nada datar, “Tetapi pencapaianku inilah yang telah menghapuskan petunjuk pada puncak ilmu yang terlukis pada dinding goa itu guru.”

“Itu bukan salahmu. Tentu setiap orang akan melakukan kesalahan yang serupa karena ketidak tahuannya. Siapapun tidak akan mengira bahwa pada dinding goa itu terdapat lukisan tentang ilmu yang tersusun dalam urutan yang lengkap seperti yang kau katakan itu meskipun hanya pokok-pokoknya saja.“ Kiai Gringsing berhenti sejenak, lalu. “sehingga dengan demikian, maka kau telah menemukan dua hasil yang sangat penting. Peningkatan ilmumu sendiri, dan susunan ilmu Ki Sadewa yang lengkap. Bukankah dengan demikian usaha kita untuk mewujudkan kembali jalur ilmu itu menjadi jauh lebih mudah. Kita tidak usah bersusah payah mempelajarinya dari bahan-bahan yang memang sangat sedikit. Dari tata gerak dasar ilmu Glagah Putih. Dari tata gerak dan sikap Ki Widura. Kau kini dapat langsung menemukan seluruhnya meskipun tidak dengan tingkat puncaknya. Namun untuk mencapai kemampuan sampai selapis dibawah tingkat puncak itupun aku kira jarang yang akan dapat melakukannya. Mudah-mudahan Glagah Putih akan dapat menjadi pewaris yang baik dari ilmu itu, yang pada saatnya akan dapat mempelajarinya dari unsur-unsur gerak yang terpahat didinding goa itu. Tentu saja setelah bekalnya cukup lengkap.”

Agung Sedayu mengangguk-angguk. Sementara Ki Waskita hanya menyaksikan saja pembicaraan antara guru dan murid itu. Ia sudah merasa ikut berbahagia atas pencapaian diluar dugaan itu, sehingga dengan demikian Agung Sedayu kini sudah menjadi seorang anak muda yang jarang ada bandingnya.

Namun dalam pada itu, agaknya Kiai Gringsing masih ingin melengkapi pengenalannya atas muridnya setelah mencapai tingkat yang lebih tinggi itu dalam tata gerak dan olah kanuragan. Karena itu maka, katanya, “Agung Sedayu, setelah aku melihat kemampuanmu dalam unsur yang khusus dari ilmumu, maka kini aku ingin melihat, kemampuan wadagmu. Aku ingin melihat bagaimana kau mempergunakan wadagmu dalam ungkapan ilmumu dan penggunaannya. Mungkin kau telah meningkatkan kemampuanmu pula dalam ujud jasmaniah, sehingga dalam sentuhan wadagmu yang langsung, kaupun mampu menunjukkan kekuatan yang meningkat.”

Agung Sedayu menarik nafas dalam-dalam. Sejenak ia memandang isi sanggar itu. Namun ia tidak menemukan sasaran yang dapat dipergunakan untuk menunjukkan peningkatan kekuatan ilmunya yang dapat disalurkan lewat wadagnya.

“Aku dapat mendengar dan melihat pada gerak dan getar ujung cambukmu.”

Agung Sedayu mengangguk-angguk kecil. Lalu Katanya, “Baiklah guru. Aku akan mencoba menunjukkannya.”

Agung Sedayupun kemudian segera bersiap. Sejenak kemudian ia mulai menunjukkan kemampuan jasmaninya dengan lambaran ilmu yang sudah semakin meningkat. Ternyata bahwa ia mampu bergerak dengan kecepatan yang luar biasa. Kakinya menjadi sangat lincah dan kuat.

Untuk beberapa saat Agung Sedayu meloncat-loncat seolah-olah kakinya tidak berjejak diatas tanah.

Gurunya memandang sambil mengerutkan keningnya. Demikian juga Ki Waskita yang mengagumi kecepatan bergerak Agung Sedayu. Apalagi ketika kemudian Agung Sedayu meloncat keatas sebuah amben bambu. Ia masih bergerak dengan cepatnya. Namun amben bambu yang biasanya berderak-derak itu sama sekali tidak berguncang, bahkan sama sekali tidak berderit.

Kedua orang tua yang menyaksikannya benar-benar menjadi kagum. Tubuh Agung Sedayu yang bergerak dengan cepatnya itu menjadi seakan-akan seringan kapuk kapas. Tanpa bobot.

Sejenak kemudian Agung Sedayu telah meloncat turun dari amben bambu dan seperti pesan gurunya, ia telah mengurai senjatanya. Sejenak senjata itu berputar ditangannya. Namun kemudian dengan sepenuh kekuatannya ia mengayunkan cambuknya dan karena tidak ada sasaran lain, maka iapun telah menghantam lantai sanggar itu.

Terdengarlah ledakan yang dahsyat. Disusul dengan hamburan debu yang tiba-tiba saja telah membuat ruang itu menjadi gelap. Sinar lampu minyak tidak mampu menembus lapisan debu yang berhamburan memenuhi sanggarnya.

Kiai Gringsing dan Ki Waskita yang berada didalam sanggar itu benar-benar telah dicengkam oleh kekaguman yang luar biasa. Kekuatan itu adalah kekuatan yang tidak terkirakan, dan terlebih-lebih lagi, ternyata bahwa Agung Sedayu telah mampu menyalurkan kekuatannya pada benda-benda yang digenggamnya, sehingga seolah-olah benda-benda itu, khususnya senjatanya telah menjadi bagian dari tubuhnya.

Sejenak sanggar itu menjadi sepi. Agung Sedayu yang telah melepaskan segenap kekuatannya yang tersalur pada cambuknya, berdiri tegak dalam tebaran debu yang semakin lama menjadi semakin tipis.

Demikian juga Kiai Gringsing dan Ki Waskita. Sambil menahan nafas mereka menunggu. Perlahan-lahan debu yang memenuhi ruangan itu seakan-akan telah mengendap. Dan perlahan-lahan pula muncullah bayangan Agung sedayu yang berdiri tegak diatas kedua kakinya yang renggang sambil menggenggam cambuknya. Tangan kanannya menggenggam tangkainya, sedang tangan kirinya memegang ujung juntainya. Didepan kakinya menganga sebuah jalur yang lebar dan dalam menyilang hampir dari dinding sampai kedinding.

Kiai Gringsing dan Ki Waskita termangu-mangu sejenak. Sambil menggeleng-gelengkan kepalanya Ki Waskita melangkah maju mendekati lubang yang menjadi pertanda betapa dahsyatnya kekuatan Agung Sedayu.

“Luar biasa,“ desisnya didalam hati.

Agung Sedayu masih berdiri termangu-mangu. Ia menunggu tanggapan gurunya atas pencapaiannya.

“Duduklah Agung Sedayu,“ berkata gurunya kemudian.

Ketiganyapun kemudian duduk diatas sebuah amben dipinggir sanggar itu. Perlahan-lahan udara didalam ruang itu telah menjadi bersih kembali. Namun rasa-rasanya ditubuh mereka yang berada didalam ruang itu telah melekat debu yang tebal. Terlebih-lebih karena keringat yang mengembun.

“Sebenarnya aku tidak ingin memuji dihadapanmu Agung Sedayu,” berkata gurunya, “tetapi aku tidak dapat mengatakan lain kecuali kekagumanku atas tingkat yang kau capai hanya dalam waktu satu bulan. Itulah agaknya yang menyebabkan kau menjadi kurus dan pucat, bahkan hampir tidak bertenaga, karena kau telah kehilangan keseimbangan antara tekad dan batas kemampuan jasmaniahmu. Untunglah bahwa kau tidak terbenam dalam keadaan yang sulit. Kau dapat mencapai tingkat yang hampir sempurna, sementara jasmanipun masih belum terlambat untuk disegarkan kembali.”

Agung Sedayu tidak menjawab.

“Tetapi yang telah kau lakukan hendaknya menjadi pengalaman. Kau telah mencapai ilmu yang sangat tinggi. Kau telah mampu mempergunakan yang tidak bersifat wadag untuk perbuatan yang bersifat wadag. Kekuatan jasmaniahpun telah menjadi berlipat ganda karena kau telah mampu menguasai kekuatan cadangan didalam dirimu, dan menguasai benda-benda yang ada ditanganmu seperti tubuhmu sendiri, juga dalam penyaluran kekuatan itu,“ Kiai Gringsing berhenti sejenak, “namun demikian, kau tidak dapat meninggalkan kodratmu. Itu adalah suatu syarat, bahwa betapapun juga, kau adalah mahluk yang tidak berarti dihadapan Yang Maha Pencipta, sehingga kau tidak akan dapat melepaskan diri dari hukum-hukumnya yang berlaku mutlak bagi setiap manusia.”

Agung Sedayu masih tetap menundukkan kepalanya. Namun kata-kata itu benar-benar telah meresap didalam hatinya. Dan iapun sadar sepenuhnya, betapa kebanggan mencengkam hati karena pencapaian itu, namun ia tetap hanya sebutir debu didalam alam semesta, dan sama sekali tidak mempunyai arti khusus bagi putaran yang harus berlangsung seperti kodratnya.

Karena itulah maka Agung Sedayu merasa bahwa ia harus lebih menundukkan kepalanya kepada Yang Maha Kuasa, yang telah memberikan kemampuan kepadanya, lebih banyak dari kebanyakan orang.

Dengan demikian maka seolah-olah Agung Sedayupun telah berjanji kepada dirinya sendiri, bahwa ia akan mempergunakan kurnia itu untuk kebesaran nama-Nya dijalan yang sesuai dengan kehendak-Nya.

Setelah beristirahat sejenak, dan Kiai Gringsing telah memberikan penilaian dan pesan pesan, maka merekapun kemudian meninggalkan sanggar itu dan setelah membersihkan diri dipakiwan. maka masing-masing telah kembali kedalam biliknya.

Langkah Agung Sedayu tertegun ketika ia melihat dari sela-sela pintu biliknya, Glagah Putih masih duduk dipembaringannya. Bahkan seakan-akan ia sedang merenungi sesuatu yang penting baginya.

Sambil mendorong piuntu kesamping Agung Sedayu menjengukkan kepalanya. Dengan nada datar ia bertanya, “Kau belum tidur?”

Glagah Putih menggeleng.

“Jadi kau masih duduk disitu sejak sore?”

“Aku sudah tidur,“ jawabnya kemudian, “tetapi aku terbangun oleh suara cambuk kakang Agung Sedayu.”

Agung Sedayu mengerutkan keningnya. Kemudian ia-pun bertanya, “Kenapa kau tahu bahwa bunyi cambuk itu adalah cambukku? Bukan cambuk Kiai Gringsing.”

“Kenapa Kiai Gringsing bermain-main dengan cambuk lewat tengah malam seperti ini jika tidak ada kepentingan apapun juga ?”

“Kenapa dengan aku?”

“Kakang tentu sedang berlatih. Ketika aku menjenguk, aku melihat lampu di sanggar masih menyala terang benderang.”

Agung Sedayu tersenyum. Katanya, “Kau memang cerdik. Tidurlah. Besok kau mendapat kesempatan untuk berlatih bersamaku.”

Glagah Putih tidak menyahut. Namun iapun kemudian membaringkan dirinya ketika Agung Sedayu meninggalkannya sambil menutup pintu biliknya.

Meskipun demikian ia masih sempat bertanya, “Kau tidur dimana kakang?”

Dari balik pintu Agung Sedayu menjawab, “Aku tidur dibelakang.”

“Apakah anak-anak dibelakang juga terbangun ?”

“Aku tidak tahu,“ jawab Agung Sedayu.

Glagah Putih tidak bertanya lagi. Sejenak ia mencoba mendengarkan desir langkah Agung Sedayu. Ketika ia tidak dapat mendengar apapun juga, maka iapun mencoba untuk memejamkan matanya.

Di pagi harinya, Agung Sedayu, Glagah Putih dan tiga orang yang menyatakan dirinya menjadi cantrik dipadepokan itupun sibuk menimbun lubang yang membujur dilantai sanggar padepokan kecil itu. Dengan herannya mereka bertanya, kenapa didalam sanggar itu tiba-tiba saja telah terjadi lubang yang panjang itu.

Tetapi Agung Sedayu tidak mengatakan bahwa lubang itu adalah bekas lecutan cambuknya yang didasari dengan kekuatan yang luar biasa.

Dalam pada itu, Kiai Gringsing yang didesak oleh keinginannya melihat kemajuan muridnya yang seorang lagi, telah bersiap-siap. Ketika Agung Sedayu dan Glagah Putih kemudian selesai dengan pekerjaannya menimbuni lubang didalam sanggar itu, maka Kiai Gringsing-pun minta diri kepada mereka.

“Berapa lama guru berada di Sangkal Putung? “ bertanya Agung Sedayu.

“Aku pernah pergi ke Sangkal Putung dan tidak bermalam disana. Tetapi karena kini kau ada, maka aku tidak segan-segan meninggalkan Ki Waskita dan bermalam di Sangkal Putung barang satu dua malam.“

Agung Sedayu mengangguk-angguk, sementara Kiai Gringsing melanjutkan, “Aku titipkan seisi padepokan ini kepada Ki Waskita.”

Ki Waskita tersenyum. Jawabnya, “Jadi aku masih belum berkesempatan untuk pulang meskipun aku sudah lama sekali meninggalkan rumah dan pekerjaanku.“

Kiai Gringsingpun tersenyum pula. Katanya, “Hanya untuk satu atau dua malam.”

Akhirnya seisi padepokan itupun mengantar Kiai Gringsing sampai kepintu gerbang dan mengikuti derap kudanya sampai hilang ditikungan dengan tatapan mata.

“Marilah,” ajak Ki Waskita, “aku kira Kiai Gringsing benar-benar tidak akan lama. Sementara kita masih mempunyai kewajiban melakukan tugas kita sehari-hari disini. Membersihkan kebun dan halaman Memelihara tanaman dan pohon buah buahan, melihat air disawah, dan kerja-kerja yang lain. Kecuali itu, kita masing-masing juga berkewajiban nuntuk melatih diri dalam olah kanuragan. Terutama Glagah Putih yang akhir-akhir ini nampak semakin meningkat.”

“Ah, Ki Waskita selalu memuji.”

“Bukan sekedar memuji. Tetapi sebenarnyalah demikian. Perlahan-lahan kita akan menemukan urutan ilmu yang disebut ayahmu hampir punah itu.”

Glagah Putih tidak menyahut.

Demikianlah, sepeninggal Kiai Gringsing, penghuni padepokan kecil itupun segera tenggelam dalam kerja masing-masing seperti yang mereka lakukan setiap hari. Kehadiran tiga orang anak muda di padepokan itu rasa-rasanya agak meringankan kerja mereka masing-masing. Tetapi dengan demikian berarti bahwa mereka harus bekerja lebih keras pula untuk mendapatkan hasil yang lebih banyak, karena tiga orang anak muda itu harus mendapat makan dan minumnya pula.

Dalam pada itu. Kiai Gringsing yang dalam perjalanan ke Sangkal Putung seorang diri, sama sekali tidak mendapat hambatan apapun juga. Dengan selamat ia memasuki regol padukuhan induk Kademangan Sangkal Putung, langsung menuju kerumah Ki Demang yang sudah dikenalnya baik-baik.

Namun tiba-tiba saja ia tertegun. Ditariknya kendali kudanya, sehingga kudanyapun berhenti dengan serta-merta, dan bahkan Kiai Gringsingpun langsung meloncat turun.

Dipinggir jalan padukuhan berdiri dua orang yang terhenti pula langkahnya melihat Kiai Gringsing. Dua orang yang agaknya sedang menempuh perjalanan jauh. Yang seorang masih muda sedang yang lain sudah tua.

“Raden,“ bertanya Kiai Gringsing kemudian, “Apakah Raden baru saja dari Kademangan Sangkal Putung?”

Anak muda itu menggeleng sambil menjawab, “Belum Kiai. Aku memang akan pergi ke Kademangan Sangkal Putung. Tetapi aku dengar Kiai dan Agung Sedayu sedang tidak ada di Kademangan. Karena itu, akupun akan langsung pergi kepadepokan kecil didekat Jati Anom itu.”

Kiai Gringsing tersenyum. Jawabnya, “Bukan sebuah padepokan. Sekedar sebuah pondokan kecil dipategalan yang sepi.”

“Dan sekarang, apakah Kiai akan pergi ke Kademangan?”

“Ya Raden, Aku ingin menengok muridku yang seorang. Swandaru.”

Anak muda itu termangu-mangu.

“Apakah Raden akan singgah sebentar di Kademangan. Akupun tidak akan lama berada di Sangkal Putung. Aku akan segera kembali ke Karang.”

“Sepekan?”

“O, tidak Raden. Sehari atau paling lama dua hari. Apakah Raden akan Singgah juga sehari dua hari di Sangkal Putung, kemudian bersama-sama pergi ke Karang?”

Anak muda itu termangu-mangu. Dipandanginya orang yang sudah lanjut usia itu dengan pertanyaan disorot matanya.

“Agaknya tidak ada jeleknya,“ berkata orang tua itu, “jika Raden ingin singgah barang satu dua hari di Sangkal Putung, kemudian satu dua hari di padepokan kecil itu.”

Anak muda itupun kemudian mengangguk-angguk. Katanya, “Baiklah Kiai, aku akan singgah. Aku kini sudah tidak dalam perjalanan, tirakat seperti yang aku lakukan saat Sangkal Putung sedang dalam keramaian. Aku sudah kembali ke Mataram dan aku sudah selesai dengan saat-saat tirakatku. Aku sudah boleh singgah dan tinggal dibawah atap.”

“O,“ Kiai Gringsing mengangguk-angguk, “jadi Raden sudah selesai dan bahkan sudah kembali ke Mataram?”

“Ya. Aku sudah berada beberapa pekan di Mataram. Aku sudah mulai dengan berbagai macam kerja yang terbengkelai selama aku tinggalkan, meskipun pada umumnya berjalan baik.“ ia berhenti sejenak, lalu. “namun tiba-tiba saja aku telah didesak oleh keinginanku untuk bertemu dengan Kiai dan kedua murid Kiai.”

“Terima kasih bahwa anak mas masih selalu ingat kepada kami.” sahut Kiai Gringsing.

“Apakah alasannya bahwa aku akan melupakan Kiai dan kedua murid Kiai itu. Kiai sudah banyak berjasa kepada kami. Dan kini, Kiaipun masih sedang dalam keadaan yang memberikan harapan kepada kami atas hilangnya kedua pusaka kami dari perbendaharaan pusaka di Mataram.”

Kiai Gringsing menarik nafas dalam-dalam. Rasa-rasanya sudah lama sekali ia terpisah dari persoalan pusaka yang hilang dari Mataram, sehingga, tiba-tiba saja ia bagaikan terbangun dari tidurnya dan teringat kembali akan kedua pusaka itu.

Kiai Gringsing menarik nafas dalam-dalam. Dalam saat-saat terakhir kedua muridnya sedang disibukkan oleh persoalan sendiri. Persoalan Agung Sedayu yang sedang membentuk dirinya karena sikap kakaknya yang keras terhadapnya. Swandaru yang merasa dirinya akan bertanggung jawab atas dua daerah yang terpisah, yang sedang berusaha membentuk daerahnya menjadi daerah yang kuat dan mampu menjaga diri sendiri.

Dan kini Raden Sutawijaya datang dengan persoalan yang sudah cukup lama mereka perbincangkan, “Pusaka yang hilang.”

Dalam pada itu, maka Kiai Gringsingpun kemudian mempersilahkan kedua orang pemimpin dari Mataram itu bersamanya menuju ke regol Kademangan.

Beberapa orang yang melihat, justru memberikan hormat kepada Kiai Gringsing yang menuntun kudanya. Mereka merasa sama sekali tidak mengenal kedua orang yang berjalan bersama Kiai Gringsing. Mereka menyangka bahwa keduanya adalah orang-orang yang sedang berjalan bersama saja atau kawan-kawan Kiai Gringsing yang juga ingin pergi ke Kademangan dalam persoalan yang tidak ada hubungannya dengan orang tua itu.

Ketika ketiganya memasuki regol Kademangan, maka kehadiran Kiai Gringsing itu telah menyibukkan orang-orang di Kademangan itu. Ki Demang dan Swandaru dengan tergesa-gesa telah menyongsongnya disusul oleh Ki Sumangkar.

Namun merekapun terkejut pula, bahwa bersama dengan Kiai Gringsing telah datang pula dua orang dalam pakaian orang kebanyakan. Namun yang sudah mereka kenal dengan sebaik-baiknya.

“Raden Sutawijaya,“ desis Ki Demang di Sangkal Putung.

Raden Sutawijaya tersenyum.

“Marilah Raden. Marilah Ki Juru,“ Ki Demang mempersilahkan mereka dengan tergopoh-gopoh, lalu. “Marilah Kiai. Silahkan.”

Orang-orang di Kademangan Sangkal Putung itu menyambut tamunya dengan sibuknya. Mereka menyangka bahwa Raden Sutawijaya dan Ki Juru Martani yang datang bersama Kiai Gringsing itu telah berkunjung kepadepokan kecil di Karang, dan kemudian bersama-sama pergi ke Sangkal Putung.

Namun setelah mereka duduk sejenak dan saling menanyakan keselamatan masing-masing, maka tahulah orang-orang Sangkal Putung, bahwa Kiai Gringsing bertemu dengan kedua orang itu di Sangkal Putung.

“Jadi Raden dan Ki Juru sebenarnya tidak akan singgah dirumah ini ? “ bertanya Ki Demang.

“Kami memang akan pergi ke Kademangan ini Ki Demang,“ jawab Ki Juru, “adalah kebetulan saja bahwa Kiai Gringsing yang berkuda itu mendahului perjalanan kami.“

Kiai Gringsing mengerutkan keningnya. Tetapi iapun, tersenyum dan tidak membantah keterangan Raden Sutawijaya, meskipun ia harus menahan tertawa.

Sejenak kemudian maka mereka mulai berbicara tentang keadaan Kademangan itu. Tentang usaha Swandaru untuk meningkatkan kemampuan para pengawal dan sudah tentu dirinya sendiri.

“Bagus sekali,“ puji Raden Sutawijaya, “kau akan menjadi seorang pemimpin yang besar. Adalah menjadi kewajibanmu untuk membentuk daerahmu menjadi daerah yang kuat.”

Swandaru mengangguk-angguk. Katanya, “Kami sedang mencoba Raden. Mudah-mudahan kami berhasil.”

Dengan penuh gairah, Swandaru menyanggupi untuk memperlihatkan kemajuan Kademangannya dari beberapa segi. Gairah anak-anak muda dalam oleh kanuragan dan usaha mereka meningkatkan penghasilan sawah maupun pategalan. Juga usaha Swandaru untuk memberikan kesempatan para pande besi dan orang-orang yang membuat barang-barang keperluan sehari-hari untuk berkembang.

“Menarik sekali,“ berkata Ki Juru Martani, “kami tentu akan senang sekali melihatnya.”

“Setelah Ki Juru beristirahat, maka kita akan berjalan-jalan sepanjang padukuhan induk ini. Jika ada kesempatan, kita akan melihat-lihat padukuhan-padukuhan yang lain.”

“Senang sekali,“ jawab Raden Sutawijaya, “tetapi aku minta bahwa kami harus tetap dalam keadaan kami seperti ini. Jangan kau perkenalkan kami sebagai orang-orang Mataram.”

Swandaru mengangguk-angguk. Jawabnya, “Baiklah Raden. Aku mengerti.”

Dalam pada itu, Pandan Wangi dan Sekar Mirahpun sempat menemui tamu mereka meskipun hanya sebentar. Kemudian para pelayanpun menghidangkan jamuan bagi tamu-tamu mereka.

Setelah beristirahat dan berbicara tentang berbagai hal, maka sampailah saatnya Swandaru ingin memperlihatkan keadaan Kademangannya kepada tamu-tamunya, dan terutama kepada gurunya. Kiai Gringsing.

“Silahkan Raden,“ berkata Ki Demang, “mungkin dengan berjalan-jalan disekeliling padukuhan induk, angger tidak segera menjadi jemu berada di Sangkal Putung.”

Swandaru kemudian membawa tamu-tamunya untuk berjalan-jalan. Diregol ia berpesan kepada pengawal yang sedang duduk digardu. “Panggilah beberapa orang kawanmu. Aku memerlukan mereka setelah aku berjalan-jalan mengantarkan tamu-tamuku.”

“Untuk apa? “ bertanya pengawal itu, “apakah ada sesuatu yang penting akan terjadi ?”

“Tidak. Aku ingin mempertunjukkan kepada guru, bahwa kalian bukan lagi tikus-tikus sawah yang hanya dapat bersembunyi dilubang-lubang pematang.”

Pengawal itu tersenyum. Kiai Gringsing, Raden Sutawijaya dan Ki Juru Martanipun tersenyum pula.

Demikianlah mereka berjalan menyusuri jalan padukuhan induk. Mereka memang melihat kemajuan yang pesat dipadukuhan itu. Dimulut jalan mereka melihat pande besi yang sedang sibuk bekerja dengan tiga tungku perapian dalam sebuah rumah yang khusus.

“Semula mereka tidak berada ditempat itu ? “ berkata Swandaru.

Kiai Gringsing yang sudah mengenal Sangkal Putung dengan baik memang belum pernah melihat pande besi ujung jalan meskipun masih didalam lingkungan regol padukuhan.

“Mereka semula berada dirumah masing-masing,“ berkata Swandaru meneruskan, “tetapi kerja mereka terbatas. Kecuali peralatan yang kurang mencukupi, suara tempaan dan hiruk pikuk yang lain, kadang-kadang dapat mengganggu tetangga. Menjelang senja, meskipun ada pekerjaan yang tergesa-gesa mereka tidak dapat melanjutkannya, karena anak-anak tetangga mulai naik kepembaringan.”

“Bagus sekali,“ desis Sutawijaya, “disini mereka akan mendapat bimbingan dan saling bertukar pengalaman dan pengetahuan. Juga tidak akan mengganggu tetangga-tetangga karena tetangga yang paling dekat itu-pun letaknya agak berjauhan. Selebihnya, dalam keadaan yang memaksa, mereka dapat bekerja siang dan malam.”

“Ya Raden. Dipadukuhan induk ini ada tiga orang pande besi. Tetapi hampir disetiap padukuhan yang lain-pun terdapat pande besi seperti mereka, meskipun tingkat ketrampilan mereka tidak sama.”

“Bagaimana dengan ketiga orang itu? “ bertanya Ki Juru Martani.

“Hampir seimbang. Mereka adalah orang-orang terpercaya di Kademangan Sangkal Putung. Mereka telah dapat membuat senjata yang baik. Pedang diseluruh Sangkal Putung hampir semuanya dihasilkan oleh ketiganya. Bahkan mereka membuat pula trisula, parang dan canggah.”

“Bagaimana dengan keris dan tombak?”

“Tentu bukan seorang pande besi,“ jawab Swandaru, “diseluruh Sangkal Putung hanya ada seorang empu keris. Itupun bukan empu yang terbaik meskipun hasilnya tidak terlalu jelek.”

Sutawijaya mengangguk-angguk. Kiai Gringsingpun merasakan beberapa perubahan yang menggembirakan, meskipun ada yang mencemaskan. Swandaru menekankan pembinaan Kademangannya terutama kepada kekuatan jasmaniah. Meskipun ada juga segi-segi yang menguntungkan dalam keseluruhan. Karena Swandaru juga memperhatikan jalan-jalan dan parit-parit.

Beberapa lama lagi mereka masih berjalan menyusuri jalan-jalan di padukuhan induk. Mereka melihat hampir, disetiap lorong terdapat gardu-gardu peronda. Kentongan terdapat hampir disetiap regol halaman.

Setelah hampir seluruh lorong di Kademangan dilalui, maka merekapun memasuki jalan kembali ke Kademangan.

Beberapa orang yang melihat iring-iringan kecil itu mula-mula tertarik juga untuk mengetahui. Tetapi ketika mereka melihat diantara mereka terdapat Swandaru dan Kiai Gringsing, maka merekapun tidak lagi menaruh banyak perhatian.

Ketika Swandaru dan tamu-tamunya telah kembali dan duduk dipendapa Kademangan, maka mulai berdatanganlah beberapa orang pengawal yang telah dipanggil Swandaru. Mereka adalah pengawal-pengawal terbaik di Kademangan Sangkal Putung. Swandaru ingin memperlihatkan kekuatan Kademangannya kepada Kiai Gringsing dan terutama kepada Sutawijaya.

“Nah, sekarang Raden, Ki Juru dan guru dapat beristirahat. Setelah lewat tengah hari, biarlah para pengawal mempertunjukkan kemampuan mereka mempertahankan Kademangannya.”

Ternyata bahwa kunjungan beberapa orang di Sangkal Putung itu menjadi sangat menarik. Sutawijaya dan Ki Juru Martani tidak mengira sama sekali, bahwa mereka akan dapat melihat kemampuan dari para pengawal di Sangkal Putung.

Ketika Sutawijaya, Ki Juru dan Kiai Gringsing sempat berbicara bertiga saja dipendapa, Raden Sutawijaya bertanya, “Kiai, apakah Agung Sedayu juga mengalami kemajuan seperti Swandaru?”

“Mudah-mudahan Raden,“ jawab Kiai Gringsing, “tetapi aku melihat keduanya mempunyai landasan kepribadian yang berbeda. Agung Sedayu lebih banyak melihat kedirinya sendiri, sementara Swandaru, sesuai dengan keadaannya dan kedudukannya, lebih nampak keluar. Ia sempat membentuk sepasukan pengawal terpilih, menggerakkan anak-anak muda di Sangkal Putung untuk melakukan kegiatan yang bermacam-macam. Tetapi Agung Sedayu tidak mempunyai kewenangan seperti Swandaru. Ia hanya dapat berbuat bagi dirinya sendiri.”

Raden Sutawijaya mengangguk-angguk. Katanya, “Tetapi dengan demikian maka Sangkal Putung benar-benar telah menjadi Kademangan yang kuat. Setidak-tidaknya untuk melindungi dirinya sendiri.“ ia berhenti sejenak, lalu. “tetapi bagaimana dengan Tanah Perdikan Menoreh? Ki Argapati adalah seorang yang kuat. Tetapi umurnya yang jauh lebih tua dari Swandaru tentu menumbuhkan perbedaan gairah perjuangan diantara mereka. Jika pada saatnya Swandaru mulai menjamah Tanah Perdikan Menoreh, maka Tanah Perdikan itu tentu akan menjadi lebih besar dari sekarang.”

“Mudah-mudahan Raden. Mudah mudahan Swandaru berhasil. Bukan saja menjadikan kedua daerah itu kuat, tetapi juga mapan.”

Sutawijaya mengerutkan keningnya. Tetapi ia tidak bertanya lebih jauh.

Dalam pada itu, Swandaru dengan diam-diam telah mempersiapkan pengawalnya yang terbaik. Ia ingin menunjukkan kepada Sutawijaya bahwa Kademangannya adalah Kademangan yang kuat.

“Ki Sumangkar,“ berkata Swandaru, “jika benar Mataram ingin membuat imbangan atas Pajang yang dikatakannya sudah tidak akan dapat berkembang lagi itu, maka Mataram harus memperhitungkan Sangkal Putung. Aku masih meragukan, apakah Mataram yang baru saja tumbuh itu akan dapat menyusun kekuatan sebesar Sangkal Putung.”

“Ah,“ desah Ki Sumangkar, “kita semua sudah melihat, betapa Mataram sudah berhasil menyusun kekuatan yang besar. Beberapa kelompok prajurit tiba-tiba saja telah diketemukan berada di Mataram setelah meninggalkan Pajang meskipun mereka tidak menumbuhkan keributan. Ki Juru Martani, Ki Lurah Branjangan, dan beberapa orang, yang lain merupakan kekuatan yang besar bagi Mataram. Nama mereka mempunyai pengaruh tersendiri. Apalagi Sultan Pajang telah dengan ikhlas menyerahkan beberapa pusaka terbesar kepada Raden Sutawijaya, putera angkat yang dikasihinya seperti anak sendiri. Bahkan tombak Kangjeng Kiai Pleretpun secara resmi telah berada di Mataram.”

Swandaru mengangguk-angguk. Dengan demikian iapun sadar, bahwa meskipun terselubung, tetapi sebenarnya Sultan Pajang sudah mengakui kehadiran Mataram disamping Pajang.

Meskipun demikian ia menjawab, “Memang di Mataram terdapat beberapa orang prajurit yang menyatakan diri menjadi pengawal di Mataram. Namun susunan pengawal di Mataram terdiri dari orang-orang yang dapat dianggap baru dan kurang berpengalaman disamping sekelompok kecil prajurit.”

“Ah, kau aneh Swandaru. Kita pernah bersama-sama melakukan pertempuran. Kita melihat kekuatan yang besar dari Mataram.”

“Yang kita lihat adalah kekuatan Mataram beberapa saat yang lampau, saat Sangkal Putung dan Tanah Perdikan Menoreh masih terlalu lemah, sehingga kita menyangka bahwa Mataram adalah suatu kekuatan yang tidak terkira besarnya. Tetapi sekarang, aku menganggapnya lain. Juga pimpinan tertinggi Mataram, Raden Sutawijaya, bukannya seorang anak muda yang mumpuni. Setelah aku meningkatkan ilmuku, maka aku kira, aku tidak akan kalah lagi dengan tingkat ilmunya.”

“Jangan berpikir begitu Swandaru,“ berkata sumangkar, “Raden Sutawijaya adalah murid Sultan Pajang sekaligus anaknya yang dikasihi. Setiap orang tahu, siapa Sultan Pajang, dimasa mudanya ia bernama Mas Karebet dan bergelar Jaka Tingkir, karena ia tinggal di Tingkir. Ia memiliki kemampuan yang tidak dapat dinilai. Sehingga orang mengatakan rabaan tangannya dapat menggugurkan gunung, sedang tatapan matanya dapat mengeringkan lautan. Meskipun bukan sebenarnya demikian, namun julukan itu telah dapat memberikan gambaran akan kemampuannya yang tidak terhingga.”

“Tetapi itu adalah Sultan Pajang. Sultan Hadiwijaya, bukan Raden Sutawijaya.“

“Aku yakin, bahwa ilmu itu telah dimiliki oleh Raden Sutawijaya pula.”

Swandaru mengangguk-angguk. Tetapi tiba-tiba saja ia berkata, “Ki Sumangkar. Sebenarnyalah bahwa aku memang harus menentukan sikap. Sangkal Putung terletak digaris lurus antara Pajang dan Mataram. Jika aku terombang-ambing diantara keduanya, maka aku tentu akan tergilas oleh keadaan. Tetapi untuk menentukan sikap, diperlukan pengamatan yang teliti.”

“Kenapa kau harus menentukan sikap? Memang ada semacam persaingan antara Pajang dan Mataram. Tetapi itu bukan berarti bahwa keduanya akan berhadapan dalam benturan kekuatan.”

“Tetapi kemungkinan itu dapat dilihat sekarang. Prajurit Pajang pada umumnya tidak senang melihat perkembangan Mataram. Sedang ada diantara mereka yang lari dan berpihak kepada Mataram. Bukankah itu suatu pertanda buruk? Apalah dengan hadirnya kekuatan yang menyebut dirinya pewaris yang sah dari Kerajaan Besar Majapahit. Maka keadaan tentu akan menjadi semakin gelap.”

“Aku ingin menasehatkan kepadamu Swandaru,“ berkata Ki Sumangkar, “jangan terlalu bangga atas pencapaianmu. Aku tahu, pada umumnya seseorang yang baru saja menyelesaikan satu tingkat kemampuannya, cenderung untuk mencobanya.”

Swandaru mengerutkan keningnya. Katanya, “Bukan maksudku sekedar mencoba kemampuanku, tetapi justru aku ingin menjajagi kemampuan Raden Sutawijaya.”

Ki Sumangkar menarik nafas. Tetapi agaknya sulit baginya untuk mencegah niat Swandaru. Karena itu, maka iapun berdiam diri. Namun ada keinginannya untuk menyampaikannya kepada Kiai Gringsing jika ia nanti naik kependapa, setelah ikut menyiapkan tempat yang akan dipergunakan oleh para pengawal untuk memperlihatkan kemampuan mereka.

Sebenarnyalah bahwa Ki Sumangkar menjadi agak kecewa melihat sikap Swandaru. Namun seperti yang diperhitungkannya sejak semula, agaknya Swandaru memang dipengaruhi oleh keadaan dan kedudukannya.

“Mungkin ia bermaksud baik,“ Sumangkar mencoba menenangkan hatinya sendiri. Tetapi kemudian, “Namun aku tidak sependapat cara-cara yang dipergunakannya.”

Dalam pada itu, para tamu yang ada dipendapapun telah mendapat hidangan makan siang. Mereka masih sempat berbicara panjang lebar tentang perkembangan Sangkal Putung dan Mataram. Dan merekapun telah mulai berbicara tentang orang-orang yang menyebut diri mereka pewaris kerajaan Majapahit.

“Pertemuan itu telah ditunda Kiai,“ berkata Raden Sutawijaya, “mungkin kematian beberapa orang pemimpin mereka di Tambak Wedi, mungkin pula kegagalan mereka merampok Swandaru saat perkawinannya, atau sebab-sebab yang lain, telah menyebabkan mereka sampai saat ini masih belum menentukan sikap mereka menghadapi Pajang dan Mataram. Tetapi aku mendapat keyakinan, bahwa pusaka-pusaka itu memang berada di tangan mereka.”

Kiai Gringsing mengangguk-angguk. Jawabnya, “Maaf anakmas. Beberapa saat terakhir kami tenggelam dalam kesibukan kami sendiri. Persoalan yang menyangkut hubungan keluarga antara Agung Sedayu dan angger Untara. Antara Agung Sedayu dan Swandaru, serta kemudian keinginan Agung Sedayu untuk meningkatkan ilmunya, yang aku batasi waktu dari saat purnama sampai purnama berikutnya.”

Raden Sutawijaya mengangguk-angguk. Katanya, “Aku mengerti. Jika saat itu keadaan mendesak, aku kira aku sudah mencari Kiai, karena aku tahu, bahwa bersama Kiai Gringsing adalah Ki Waskita, Ki Sumangkar, kedua murid Kiai dan barangkali kekuatan di Sangkal Putung dan Tanah Perdikan Menoreh dapat membantu Mataram.”

Kiai Gringsing mengangguk-angguk. Tetapi ketika kemudian Swandaru, Ki Demang dan orang-orang Sangkal Putung yang lain ikut pula dalam pembicaraan, maka pembicaraan mereka itupun telah mereka batasi.

Namun dalam satu kesempatan, Ki Sumangkar telah sempat membisikkan perasaan Swandaru tentang Raden Sutawijaya yang bergelar Senopati ing Ngalaga yang berkedudukan di Mataram itu.

“Aneh,“ desis Kiai Gringsing, “aku akan menemuinya.”

“Ia sibuk dengan persiapannya,“ desis Ki Sumangkar.

Kiai Gringsing termangu-mangu. Sebenarnya ia dapat mengerti, bahwa pada suatu saat, Swandaru akan melakukan sesuatu yang dianggapnya agak berlebihan. Namun, Kiai Gringsing sama sekali tidak menduga, bahwa anak muda itu akan meragukan kemampuan Raden Sutawijaya yang bergelar Senopati ing Ngalaga di Mataram.

“Mungkin ia tidak meragukan kemampuan Raden Sutawijaya,“ berkata Ki Sumangkar, “tetapi ia telah didorong oleh keinginannya untuk mengetahui tingkat kemajuannya.”

“Tentu ada perasaan sombong didalam dirinya,“ desis Kiai Gringsing.

Ki Sumangkar menarik nafas dalam-dalam. Tetapi kemudian ia menjawab, “Perasaan yang sama telah aku temui pula pada adiknya Sekar Mirah.”

Kiat Gringsing termenung sejenak. Keraguannya tentang sikap batin Swandaru memang sudah tumbuh sejak beberapa lama. Tetapi kali ini ia benar-benar kecewa.

Karena itulah, maka iapun kemudian memerlukan menjumpai Swandaru. Dengan hati-hati telah memancing persoalan seperti yang dikatakan oleh Ki Sumangkar.

“Guru,“ bertanya Swandaru, “apakah Raden Sutawijaya telah benar-benar menerima semua ilmu dari Sultan Pajang ?”

“Tentu Swandaru. Bahkan menurut penilaian orang banyak, Raden Sutawijaya memiliki kelebihan dari putra Sultan sendiri. Pangeran Benawa tidak memiliki kemampuan ilmu setinggi Raden Sutawijaya.”

“Tetapi apakah tidak ada orang lain yang sebaya dengan Raden Sutawijaya yang dapat menyamai ilmunya?”

“Mungkin ada. Tetapi aku kira sulit untuk mengetahui. Seandainya seseorang mengetahui bahwa ilmunya setingkat dengan ilmu Raden Sutawijaya, apakah yang akan didapatkannya?”

“Guru. Dalam jenjang keprajuritan, maka ketinggian ilmu tentu harus dipertimbangkan selain pengalaman dan kecerdasan. Mungkin memang ada seorang prajurit yang memiliki kemampuan mengatur pasukan dan pandangan yang tepat mengenai keadaan medan, meskipun ia sendiri secara pribadi kurang memiliki ilmu kanuragan. Dan orang yang demikian memang diperlukan. Tetapi bagi mereka yang memang memiliki ilmu yang cukup, maka apakah ia akan dapat diabaikan begitu saja?”

“Aku tidak tahu maksudmu Swandaru,“ bertanya Kiai Gringsing meskipun hatinya sudah semakin berdebar-debar, “mungkin, kau sedang memperbandingkan seseorang ?”

“Tegasnya Mataram dan Sangkal Putung. Bagaimanakah pendapat guru seandainya aku dapat memiliki ilmu setingkat dengan Raden Siiitawijaya? “

Kiai Gringsing menarik nafas. Katanya, “Mungkin saja seseorang memiliki tingkat kemampuan yang menyamainya. Tetapi kedudukan Raiden Sutawijaya yang bergelar Senapati ing Ngalaga telah dikuatkan oleh pengakuan Sultan. Selebihnya, namanya sudah dikenal oleh para Adipati dari ujung Barat sampai keujung Timur wilayah Pajang dalam keseluruhan. Bukan sekedar kota Pajang.”

Swandaru mengangguk-angguk. Tetapi ia kemudian berkata, “Guru. Seseorang dapat menaruh hormat kepada orang lain, jika orang lain itu mempunyai kelebihan daripadanya. Bukan sekedar kelebihan derajad yang diwarisinya. Tetapi kelebihan pada diri seseorang itu sendiri.”

Kiai Gringsing menegang sejenak. Lalu, “Kau terlalu ingin melihat kemajuan yang kau capai dalam waktu terakhir Swandaru, sehingga kau ingin membuktikannya. Sayang, yang datang pertama kali di Kademangan ini adalah justru Senopati ing Ngalaga, sehingga bagiku sangat daksura seandainya kau ingin menjajagi kemampuan yang kau capai pada sasaran yang seharusnya kita hormati.”

“Guru,“ jawab Swandaru, “mungkin tanggapan orang lain berbeda dengan niat dan maksudku sebenarnya. Jika aku ingin menjajagi kemampuan seseorang, adalah sekedar ingin memantapkan sikapku kepadanya. Jika aku harus menghormatinya, aku akan hormat dengan ikhlas jika orang itu memang mempunyai kelebihan daripadaku.”

Kiai Gringsing menarik nafas dalam-dalam. Katanya, “Tetapi kau harus dapat menimbang, siapakah yang sedang kita hadapi.”

“Justru Raden Sutawijaya adalah orang yang paling tepat untuk aku jadikan sasaran sekarang ini. Jika ia memiliki kelebihan daripadaku, maka aku akan menghormatinya seperti aku menghormati Sultan Pajang, karena meskipun aku belum pernah menjajagi kemampuan Sultan Pajang, namun aku yakin, bahwa ia adalah orang yang pantas dihormati.”

Tidak ada cara lagi untuk mencegah Swandaru. Tetapi sikap itu benar-benar sangat mendebarkan jantung. Jika Raden Sutawijaya yang bergelar Senopati ing Ngalaga yang juga masih muda itu salah paham, dan menganggap tindakan Swandaru itu benar-benar sebagai tantangan, maka hatinya tentu akan terluka untuk waktu yang sangat panjang. Banyak peristiwa yang dapat terjadi dimasa-masa berikutnya. Dan seribu kemungkinan akan dapat terjadi.

Kiai Gringsing benar-benar menjadi cemas melihat sikap Swandaru yang didalam perkembangan pribadinya menjadi jauh berbeda dengan Agung Sedayu.

Sementara itu, selagi Kiai Gringsing termangu-mangu, maka Swandarupun berkata, “Para pengawal sudah siap. Aku akan mengharap Raden Sutawijaya melihat kemajuan anak-anak muda Sangkal Putung didalam Sanggar.”

Kiai Gringsing masih akan mencoba mencegah tingkah laku Swandaru, tetapi Swandaru telah mendahului, “Guru, biarlah aku mendapat pegangan atas sikapku. Jika tidak, maka aku akan selalu ragu-ragu dan tidak dapat melakukan tugas-tugasku dengan mantap.”

Kiai Gringsing tidak menyahut. Tetapi iapun kemudian meninggalkan Swandaru dan kembali kependapa.

Dipendapa ternyata Ki Demang telah duduk pula bersama tamu-tamunya dari Mataram dan nampaknya sedang asyik berbincang tentang kemajuan yang sudah dicapai oleh Sangkal Putung. sejak Swandaru merasa wajib untuk ikut membinanya.

Ketika Kiai Gringsing naik kependapa, Ki Sumangkar memandangnya dengan gelisah. Apalagi ketika Kiai Gringsing kemudian menggelengkan kepalanya. Agaknya Ki Sumangkar langsung dapat mengetahui bahwa Kiai Gringsingpun tidak dapat mencegahnya lagi.

Tetapi bagaimanapun juga, orang-orang tua itu sealu dibayangi oleh kegelisahan. Keduanya adalah anak-anak muda yang masih mudah disentuh olah api perasaannya.

Sejenak kemudian ternyata Swandary telah mempersilahkan … … untuk melihat sanggar. Beberapa orang … telah menunggu. Mereka adalah pengawal yang terbaik yang akan ditunjukkan kepada Raden Sutawijaya.

Ketika para tamu telah memasuki sanggar, maka para pengawal itupun langsung dipersiapkan.

“Mereka adalah sebagian kecil dari seluruh kekuatan Sangkal Putung yang besar,“ berkata Swandaru, “pengawai Kademangan ini kini telah berlipat. Jauh lebih banyak dari saat Tohpati masih berkeliaran disekitar kademangan ini. Bukan saja jumlahnya, tetapi kemampuan merekapun jauh lebih baik dari pengawal dimasa itu,“ Swandaru memberikan penjelasan bahkan … para pengawal, maka setiap anak muda di Sangkal Putung adalah pengawal. Dan mereka mempunyai kewajiban yang harus dipertanggung jawabkan meskipun tidak … at para pengawal yang sesungguhnya. Dan latihan-latihan bagi merekapun tidak seberat para pengawal yang diangkat dengan resmi.”

Raden Sutawijaya mengangguk angguk. Katanya, “Baik sekali Swandaru. Jika Sangkal Putung telah selesai, kau akan meloncat ke Tanah Perdikan Menoreh.“

“Ya. Tentu,“ jawab Swandaru sambil memandang Pandan Wangi yang ada didalam sanggar itu pula, “tetapi semuanya masih tergantung kepada Pandan Wangi.”

Pandan Wangi tidak menyahut. Bahkan kepalanyapun ditundukkannya dalam-dalam.

Sementara itu, maka semua persiapan telah selesai. Swandarupun sudah siap memberikan aba-aba kepada para pengawal yang akan memberikan pameran kekuatan dihadapan pemimpin tertinggi Mataram.

Dengan isyarat Swandarupun kemudian memberikan aba-aba agar para pengawal itu mulai. Mula-mula beberapa orang yang menunjukkan unsur-unsur gerak dasar. Tetapi yang sudah mantap. Kemudian meningkat semakin sulit dan tinggi.

Pada tingkat selanjutnya Swandaru telah memasang beberapa pasang pengawal yang akan menunjukkan ketangkasannya berkelahi. Seorang lawan seorang, atau sekelompok melawan sekelompok.

Sejenak kemudian Sutawijaya telah terpukau. Sekali kepalanya terangguk-angguk. Bahkan kemudian desisnya, “Luar biasa.”

Ia tersenyum melihat dua orang anak muda yang sedang bertempur tanpa senjata. Mereka benar-benar telah berkelahi dengan sentuhan-sentuhan lepas seperti mereka melepaskan serangan. Tetapi nampaknya keduanya memiliki kemampuan yang setingkat, sehingga serangan demi serangan dilontarkan tanpa mencelakai pihak masing-masing.

Sekali-sekali Swandaru memandang wajah Raden Sutawijaya. Ia melihat kekaguman pada wajah itu. Sesaat Swandaru menjadi bangga. Namun kemudian ia telah didorong oleh keinginannya untuk mengetahui betapa tingkat ilmu anak muda itu.

“Ia bangga dan kagum melihat anak-anak yang sedang bermain-main itu,“ berkata Swandaru didalam hatinya, “apakah dengan demikian berarti bahwa tingkat ilmu Raden Sutawijaya sendiri belum jauh terpaut dari anak-anak itu? Jika demikian, maka ilmu Raden Sutawijaya masih belum melampui ilmuku.”

Dengan demikian maka keinginannya bagaikan tidak tertahan lagi. Namun ia masih menahan diri. Ia ingin melihat kekaguman Raden Sutawijaya menyaksikan permainan para pengawal itu untuk latihan-latihan berikutnya.

Kedua anak muda yang seakan-akan telah bertempur dengan sungguh-sungguh itu sekali-sekali mulai saling mengenai. Benar-benar mengenai lawannya sehingga lawannya menyeringai. Tetapi karena kemampuan mereka seimbang, maka seakan-akan mereka telah membagi berapa kali masing-masing harus mengenai lawannya.

Ketika keduanya seakan-akan telah mandi keringat, maka Swandarupun menghentikannya. Ia kemudian memerintahkan dua orang pengawal untuk mulai dengan latihan yang lain. Keduanya akan memperlihatkan kemampuan mereka mempergunakan senjata.

Sutawijaya memandang latihan-latihan itu bagaikan tanpa berkedip. Sekali-kali ia tersenyum sambil mengangguk-angguk. Bahkan seakan-akan diluar sadarnya ia telah bertepuk.

Swandaru memperhatikan Raden Sutawijaya dengan saksama. Namun diluar sadarnya, gurunya dan Ki Sumangkar justru memperhatikan Swandaru dengan hati yang berdebar-debar.

Ternyata bahwa Swandaru benar-benar ingin melakukan rencananya. Ketika orang-orang terakhir dari para pengawalnya telah melakukan latihan-latihan yang menegangkan, maka Swandaru telah mendekati Sutawijaya. Sambil memperhatikan orang terakhir, Swandaru berkata, “Mereka adalah para pengawal Kademangan ini Raden.”

Raden Sutawijaya seakan-akan terkejut mendengar. Dengan serta-merta ia berpaling dan berkata, “Ya, ya. Bagus sekali. Mereka mempunyai kemampuan yang dapat dibanggakan. Sangkal Putung akan menjadi sebuah Kademangan yang kuat.”

“Ya. Mereka mempunyai ikatan dan tanggung jawab diantara mereka dan kepada pemimpinnya. Aku telah mengajari mereka agar mereka tunduk dan taat kepada pimpinan mereka. Juga kepadaku.”

Raden Sutawijaya mengangguk. Jawabnya, “Tepat. Memang mereka harus diikat oleh satu wibawa. Semakin tinggi kemampuan mereka, maka ikatan dan tanggung jawab itu harus menjadi semakin kuat. agar mereka tidak terlepas untuk melakukan tindakan-tindakan yang kurang menguntungkan bagi mereka sendiri dan bagi kesatuan mereka. Ada satu dua saja diantara merela yang melakukan kesalahan dan apalagi tindakan tercela maka seluruh pasukan pengawal Kademangan Sangkal Putung akan ternoda.”

Swandaru mengangguk angguk. Sekilas dilihatnya orang-orang yang sedang memperhatikan latihan-latihan itu. Ia bangga karena latihan-latihan itu mendapat perhatian dari tamu-tamunya dan gurunya.

Sementara itu. maka iapun berkata, “ Raden. Aku menanamkan sifat kepada para pengawal dan anak-anak muda di Sangkal Putung, bahwa mereka harus patuh kepada pemimpinnya. Tetapi itupun merupakan tanggung-jawab yang besar bagi para pemimpin, karena ia harus menunjukkan, bahwa sebenarnya ia adalah pemimpin.”

Sutawijaya mengangguk-angguk. Tetapi ia tidak begitu memperhatikan maksud kalimat Swandaru, sehingga sambil mengangguk tanpa melepaskan perhatiannya kepada para pengawal yang sedang berlatih ia menjawab, “Itupun tepat. Seorang pemimpin harus menundukkan sikap dan perbuatan seorang pemimpin, sehingga wibawanya akan terpelihara.”

Swandaru mengerutkan keningnya. Agaknya Raden Sutawijaya menganggap bahwa Swandaru hanya sekedar menyatakan pendapatnya tentang sikap seorang pemimpin.

“Raden,” berkata Swandaru kemudian, “sebenarnya yang harus ditunjukkan oleh seorang pemimpin, bukannya sekedar sikap dan perbuatan.”

Raden Sutawijaya masih memperhatikan latihan-latihan dengan saksama. Yang justru menjadi sangat gelisah adalah Kiai Gringsing dan Ki Sumangkar.

“Lalu?” bertanya Raden Sutawijaya.

“Seorang pemimpin harus mampu memberikan contoh yang baik.”

“Ya. Ya. Itupun tepat.”

“Jika ia seorang Senapati, maka ia harus menunjukkan bahwa ia memiliki kelebihan dari perwira dan apalagi prajurit-prajurit yang lain.”

“Ya. Itu sebaiknya,” jawab Sutawijaya. Ia mulai merasa terganggu, karena perhatiannya kepada latihan-latihan itu harus dibagi dengan mendengarkan kata-kata Swandaru.

Tetapi Swandaru berbicara terus. “Jika seorang pemimpin tidak dapat menunjukkan kelebihannya dari orang-orang yang berada ditingkat bawahnya, maka wibawanyapun kurang diakui, apalagi jika ia sekedar bersandar kepada nama pemimpin yang lain.”

“Tepat,” sahut Sutawijaya. Tetapi justru perhatiannya kepada kata-kata Swandaru semakin berkurang. Ia tidak lagi menangkap makna dari kata-kata itu, karena latihan-latihan yang dilihatnya meningkat semakin cepat.

Ketika Swandaru akan berbicara lagi, Sutawijaya telah mendahului, “Berbahaya sekali. Tetapi agaknya mereka memang sudah terlatih hampir sempurna. Senjata itu sama sekali tidak menyentuh tubuh mereka.”

Swandaru menarik nafas dalam-dalam. Tetapi ia kemudian duduk semakin dekat disamping Sutawijaya. Katanya, “Mereka sudah akan sampai ke bagian terakhir dari latihannya. Tetapi Raden, aku ingin meneruskan kata-kataku. Tentang seorang pemimpin.”

“O, ya?,“ desis Sutawijaya, tetapi ia tidak mau kehilangan bagian-bagian terakhir yang merupakan puncak dari latihan itu.

“Bukankah sudah sewajarnya, bahwa para pengawal itu memandang aku sebagai pemimpinnya, sehingga mereka menganggap aku mempunyai kelebihan dari mereka? Tetapi aku sudah membuktikannya Raden. Aku memang mempunyai kelebihan dari mereka. Apalagi …r. 'u akulah yang menuntun mereka sampai ketingkatnya yang sekarang.“

“Bagus sekali.”

“Tanpa menunjukkan dan membuktikan bahwa aku mempunyai kelebihan dari mereka, maka para pengawal itu akan mengabaikan aku, meskipun aku memang orang yang berhak memimpin mereka.”

“Ya, ya.“ Kening Raden Sutawijaya mulai berkerut. Senjata ditangan para pengawal yang sedang berlatih itu semakin cepat bergerak.

“Berbahaya sekali,“ desis Sutawijaya.

Swandaru menjadi kecewa. Sutawijaya tidak memperhatikan kata-katanya. Tetapi Swandaru masih berusaha untuk memancing Sutawijaya agar ia dapat mengerti maksudnya.

“Raden, bukankah sikap itu sikap yang wajar?”

“Wajar sekali,“ Raden Sutawijaya asal menjawab.

“Dan itu berlaku bagi segala tingkat?”

“Tentu,“ jawab Raden Sutawijaya.

Swandaru menarik nafas dalam-dalam. Iapun mulai jengkel. Sutawijaya lebih memperhatikan latihan-latihan itu daripada persoalan yang dikemukakan. Sehingga karena itu, maka ia lebih mendesak lagi dengan kata-kata yang lebih jelas.

“Raden, apakah Raden juga bersikap demikian?”

“Ya, akupun bersikap demikian. Pemimpin-pemimpinku harus membuktikan bahwa ia mempunyai kelebihan daripadaku. Tetapi aku sudah yakin akan hal itu.”

“Apakah Raden menganggap bahwa Sultan Pajang mempunyai kelebihan dari Raden?”

Pertanyaan itu mulai menarik perhatian Sutawijaya. Tetapi sebagai seorang pemimpin yang berpandangan luas, maka dalam keadaan yang masih kabur, ia tidak akan merubah tata hubungan antara Pajang dan Mataram. Maka jawabnya sambil memperhatikan bagian terakhir dari latihan itu. “Ya. Aku menganggap bahwa ayahanda Sultan mempunyai kelebihan yang jauh daripadaku.”

Swandaru mengatupkan giginya. Hampir saja ia berteriak karena kejengkelan yang menyesak dadanya.

Tetapi ia berusaha menahan diri.

Seperti Swandaru, maka dada Kiai Gringsing dan Ki Sumangkarpun rasa-rasanya menjadi sesak meskipun dalam sudut perasaan yang berbeda. Mereka menjadi cemas, bahwa Swandaru benar-benar tidak dapat mengekang diri. Justru karena Raden Sutawijaya yang tidak menduga maksud Swandaru tidak segera dapat menangkap makna kata-katanya. Bahkan perhatiannya benar-benar tertuju kepada latihan-latihan yang semakin dahsyat dan mencapai puncaknya yang mendebarkan.

Swandaru menarik nafas dalam-dalam. Seolah-olah ia ingin membuat dadanya bertambah lapang. Tetapi ia sama sekali tidak mundur.

Sejenak Swandarupun memperhatikan latihan yang berlangsung dengan serunya. Senjata kedua orang yang sedang berlatih itu menyambar-nyambar dengan dahsyatnya. Namun keduanya adalah pengawal yang terampil dan menguasai senjata masing-masing.

“Raden,“ Swandaru seolah-olah sudah tidak sabar lagi, “ternyata bahwa akupun mempunyai sikap demikian. Aku hanya akan mengakui seorang pemimpin yang mempunyai kelebihan daripadaku.”

Sutawijaya mengerutkan keningnya. Perhatinnya kepada latihan itu mulai terbagi. Namun ia masih bertanya, “Apakah kau merasa bahwa pimpinanmu tidak dapat mengimbangi kemampuanmu?”

“Bukan begitu. Tetapi sekedar membuktikan.”

“Siapa yang kau maksud? Ayahmu atau mertuamu?”

Pertanyaan itu benar-benar menghentak dada Swandaru. Hampir-hampir saja ia kehilangan nalar. Untunglah, sambil menarik nafas dalam-dalam ia masih sempat menahan diri. Jawabnya dengan suara gemetar, ”Raden. Bukankah kini aku berdiri disimpang jalan? Aku tahu bahhwa Pajang dan Mataram mulai berselisih jalan. Dan akupun tahu, meskipun Sultan Hadiwijaya di Pajang mempunyai kelebihan dalam olah kanuragan, tetapi ia sekarang seakan-akan sudah sampai pada puncak kemampuannya didalam pemerintahan. Ia sudah berhenti. Ia lebih senang memperhatikan kesenangan diri sendiri, sehingga Pajang sama sekali sudah tidak bergerak maju. Kemukten yang dihayatinya sekarang telah menghentikan segala gerak dan perjuangan bagi tanah ini.”

Sutawijaya mengerutkan keningnya. Tetapi matanya masih tetap tertuju pada latihan yang sengit.

“Raden,” Swandaru meneruskan niatnya itu, “aku mulai berkiblat kepada Mataram, aku melihat Mataram berkembang pesat. Dan aku melihat sikap kepemimpinan Raden Sutawijaya yang bergelar Senopati ing Ngalaga yang berkedudukan di Mataram.”

Kata-kata Swandaru yang terakhir telah mengguncang dada Raden Sutawijaya. Ia mulai sadar, apakah yang dimaksud oleh Swandaru. Sekilas ia mencoba mengingat apa saja yang sudah dikatakan oleh Swandaru sejak anak muda itu mendekatinya.

Raden Sutawijaya yang bergelar Senapati ing Ngalaga itupun usianya masih muda. Darahnya masih mudah mendidih seperti pada umumnya anak-anak muda. Itulah sebabnya, ketika ia menyadari maksud Swandaru ia telah beringsut setapak.

Tetapi disebelahnya yang lain duduk Ki Juru Martani. Meskipun tidak begitu jelas, tetapi ia mendengar kata-kata Swandaru dan justru Ki Jurulah yang lebih menangkap maksud Swandaru.

Ketika Ki Juru merasakan gejolak hati Raden Sutawijaya, maka iapun telah menggamitnya. Dengan isyarat ia mengharap agar Raden Sutawijaya agak bersabar menanggapi sikap Swandaru itu.

Raden Sutawijaya menarik nafas dalam-dalam. Sekilas ia melihat latihan yang benar-benar sudah mencapai pada akhirnya. Kedua orang yang sedang berlatih dengan senjata itu telah mulai mengekang diri dan kemudian merekapun berhenti sama sekali. Dengan bangga mereka memperhatikan orang-orang yang berada didalam sanggar, seolah-olah ingin mengatakan sambil menepuk dada. “Inilah aku, pengawal Kademangan Sangkal Putung.”

Tetapi anak-anak muda yang sedang berlatih itu tidak bersalah. Swandaru memang mengajari mereka untuk berbangga terhadap kemampuan diri, meskipun maksudnya untuk membangkitkan kepercayaan kepada diri sendiri.

Dalam pada itu, nafas Raden Sutawijaya terasa menyesak dadanya, justru karena ia menahan perasaannya. Namun agaknya pengalamannya yang luas dan kedudukannya yang meyakinkan justru membuatnya lebih tenang.

Raden Sutawijaya masih sempat mengangguk ketika anak-anak muda yang akan mundur dari arena itu mengangguk kepadanya. Sementara itu Swandaru berkata, “Latihan-latihan telah selesai. Kami ingin mendapatkan penilaian dari para tamu dan Kiai Gringsing, guruku. Sementara itu, kami akan menunggu apakah Raden Sutawijaya juga akan memberikan penilaian. Bukan saja terhadap para pengawal, tetapi juga bagi pelatihnya.”

Terasa debar jantung orang-orang yang mendengar kata-kata Swandaru itu terasa semakin cepat. Terutama gurunya dan Ki Sumangkar. Apalagi ketika mereka melihat wajah Raden Sutawijaya yang menjadi merah. Seolah-olah Swandaru telah menyatakan tantangan dengan terbuka.

“Swandaru,“ Kiai Gringsing masih mencoba menengahi, “bagi seorang yang memiliki ketajaman penglihatan tentang olah kanuragan, maka ia akan langsung dapat melihat nilai dari seseorang lewat penanganannya terhadap orang lain. Maksudku, dengan melihat latihan-latihan ini, seseorang sudah dapat menilai juga tingkat ilmu pelatihnya, meskipun belum dapat disebut, guru.”

Swandaru termangu-mangu sejenak. Namun kemudian jawabnya, “Mungkin guru. Tetapi seperti yang sudah aku katakan, biarlah aku memantapkan sikapku menanggapi saat-saat terakhir dalam hubungan antara Pajang dan Mataram.”

“Swandaru,“ Kiai Gringsing memotongi, ”kau belum cukup masak untuk berbicara tentang Pajang dan Mataram saat ini.”

Tetapi Swandaru justru tersenyum. Katanya, “Ayah juga menganggap begitu. Aku mengerti, bahwa orang-orang tua cenderung menganggap anak-anak muda itu terlampau bodoh. Jika seumurku masih dianggap belum masak untuk mengikuti perkembangan hubungan Pajang dan Mataram, maka apakah seumur Raden Sutawijaya yang hampir tidak terpaut dari umurku itu sudah pantas diangkat menjadi Senapati ing Ngalaga dan berkedudukan di Mataram. Apalagi menerima pusaka-pusaka terpenting dari Pajang.”

“Latar belakang kehidupanmu dan kehidupan Raden Sutawijaya berbeda. Aku kira Raden Sutawijaya pun masih kurang masak untuk mengetahui musim, kapan para petani mulai menanam padi, dan kapan harus menanam palawija. Raden Sutawijaya tidak akan segera mengetahui pertanda langit bahwa musim basah akan berganti dengan musim kering, sehingga para petani harus mulai mempersiapkan diri dengan tanaman yang tidak memerlukan banyak air.“ jawab Kiai Gringsing.

“Dan guru menganggap bahwa anak petani tidak pantas unuk berbicara tentang pemerintahan? Guru aku pernah mendengar ceritera tentang masa muda Mas Karebet yang kemudian bergelar Sultan Hadiwijaya.”

Dalam pada itu, Sutawijaya yang juga masih muda itupun menarik nafas dalam-dalam. Ia tahu benar apa yang dimaksud oleh Swandaru. Namun sebagai seorang yang memiliki sikap dewasa, apalagi isyarat yang diberikan oleh Ki Juru Martani, maka raden Sutawijaya masih tetap menahan diri.

Betapapun dadanya bergejolak oleh kemudaannya, tetapi ia sama sekali tidak menunjukkan pada sikap dan perbuatan. Bahkan ia masih sempat tersenyum dan berkata, “Sebenarnya bukan akulah yang harus menilai perkembangan Swandaru, tetapi tentu gurumu.”

“Bukan sekedar menilai perkembangan ilmuku saja Raden, tetapi seperti yang aku katakan, apakah aku telah menunjukkan sikap yang benar terhadap orang-orang yang pantas aku hormati.”

Raden Sutawijaya menarik nafas, sementara Kiai Gringsing berkata, “Swandaru. Sebenarnya kau harus menjaga keseimbangan perkembangan ilmu dan kedewasaan nalarmu. Ilmumu kau rasa maju sangat jauh, tetapi kau menanggapi perkembangan ilmumu dengan sikap kekanak-kanakan. Jika kau sebut Mas Karebet yang juga disebut Jaka Tingkir, maka kau harus mengerti, meskipun ia anak petani, tetapi ia sudah berada dilingkungan istana sejak ia diketemukan oleh Sultan Demak karena ia melakukan sesuatu yang menarik. Ia telah meloncati sebuah belumbang sambil berjongkok justru membelakangi belumbang itu. Sejak itu ia mulai mempelajari tata pemerintahan, meskipun kemudian ia harus keluar lagi dari istana dan mengembara ketempat yang jauh.“ ia berhenti sejenak, lalu. “apalagi masalah yang kau hadapi akan sangat berbeda dengan perkembangan yang kau katakan dalam hal penjajagan yang kau maksud.”

Swandaru mengerutkan keningnya. Ia sadar, bahwa orang-orang tua tentu tidak menyetujui sikapnya. Tetapi ia sudah yakin akan sikapnya. Jika Raden Sutawijaya tidak mempunyai kelebihan daripadanya, maka apakah gunanya ia setiap kali menundukkan kepala sambil memberikan hormat setinggi-tingginya meskipun ia bergelar Senopati ing Ngalaga? Jika Senopati tertinggi yang berkedudukan di Mataram itu tidak mampu melampui ilmunya, maka Mataram baginya akan tidak berarti apa-apa.

Karena itu maka Katanya, “Guru. Hubungan antara aku dan Raden Sutawijaya kini adalah hubungan antara seorang yang mendapat limpahan kekuasaan tertinggi dari Pajang dengan pimpinan pasukan pengawal di Sangkal Putung. Aku sama sekali tidak ingin menentang Senapati yang mendapat tanda kekuasaan dari Sultan Pajang. Yang aku lakukan adalah sekedar meyakinkan, apakah aku memang harus menganggapnya sebagai seorang pemimpin yang baik.”

Kiai Gringsing masih akan mencegahnya. Tetapi justru Raden Sutawijaya sudah berdiri.

Ia tertegun ketika Ki Juru menggamitnya. Namun Raden Sutawijaya itu tersenyum sambil mengangguk kecil.

Sikap itu agak memberikan ketenangan sedikit Kepada Kiai Gringsing. Dengan demikian ia mengerti, bahwa Raden Sutawijaya menanggapinya dengan dada yang lapang, meskipun Kiai Gringsing tidak tahu pasti perasaan apakah yang sebenarnya bergolak didada anak muda itu.

Sementara itu, Pandan Wangi hanya dapat menundukkan kepalanya. Ia samasekali tidak sependapat dengan cara yang ditempuh suaminya untuk meyakinkan diri tentang ilmunya dan tentang hubungan antara Sangkal Putung dan Mataram dengan menjajagi kemampuan Senopati ing Ngalaga. Baginya, siapapun yang memegang pimpinan atas limpahan kekuasaan dari Sultan adalah sah, sehingga seseorang tidak perlu mempergunakan cara-cara seperti yang dilakukan oleh Swandaru. Pandan Wangi sadar, bahwa yang terpenting bagi Swandaru sebenarnya adalah ingin menjajagi kemampuan dirinya sendiri. Apakah ilmunya benar-benar telah maju.

Tetapi Pandan Wangi tidak dapat mencegahnya. Betapapun ia cemas menghadapi perkembangan keadaan tetapi ia hanya dapat membeku ditempatnya.

Sementara itu Sekar Mirah mengangkat wajahnya. Ia bangga dengan sikap kakaknya. Orang-orang yang mengatakan dirinya Senopati memang harus meyakinkan, apakah ia memang seseorang yang pantas memiliki gelar itu dan memang seorang yang pantas memimpin prajurit dimedan perang.

Dalam pada itu Sutawijaya yang sudah berdiri itupun berjalan ketengah arena yang baru saja dipergunakan untuk berlatih. Dengan sikap dan pakaiannya yang sederhana, maka ia saat itu memang tidak pantas disebut Senopati ing Ngalaga. Tetapi jika diperhatikan betapa tajamnya sorot matanya, maka orang akan mengetahuinya, bahwa ia adalah anak muda yang mesyimpan kemantapan didalam dirinya.
“Swandaru,“ berkata Raden Sutawijaya, “sebenar nya aku tidak bersedia untuk melakukan apapun juga sekarang ini. Aku kini sedang dalam perjalanan untuk melihat-lihat keadaan dan perkembangan daerah disekitar Mataram setelah aku mengembara untuk waktu yang agak lama. Tetapi jika kau memaksa, maka akupun wajib memberikan tanggapan. Bukan karena aku cemas bahwa akan kehilangan sikap hormat dari siapapun. Tetapi jika aku menghindar, maka kau tentu akan sangat kecewa.”

“Raden benar,“ Swandarupun berdiri dan melangkah mendekat dengan sikap yang mantap, “dan aku harap Raden tidak marah dengan caraku ini.”

“Sama sekali tidak,“ jawab Raden Sutawijaya, “aku senang bahwa kau berterus terang. Tetapi jika ada kelebihanku dari padamu, jangan dinilai sebagai sikap yang sombong. Bukankah itu yang kau kehendaki agar kau tidak ragu-ragu menganggapku sebagai Putera Sultan Hadiwijaya yang mendapat limpahan kekuasaan dengan gelar Senopati ing Ngalaga dan berkedudukan di Mataram? Dengan demikian maka kedudukankupun akan menjadi mantap. Dan karena soalnya menyangkut nama ayahanda Sultan Hadiwijaya, maka akupun akan membuktikan bahwa putra Sultan Hadiwijaya di Pajang yang dipercaya untuk membina Mataram bukan seorang yang mengecewakan, sehingga Sultan Hadiwijaya tidak dapat dipersalahkan karena mempercayai puteranya yang tidak memiliki hampir seluruh ilmunya.”

Yang mendengarkan kata-kata Raden Sutawijaya itu menjadi berdebar-debar. Bahkan wajah Swandarupun menjadi merah pula karenanya.

Dalam pada itu, Ki Juru Martanipun nampaknya heran mendengar kata-kata Raden Sutawijaya. Agaknya Raden Sutawijaya tidak biasa berkata demikian tentang dirinya sendiri.

Tetapi agaknya Raden Sutawijaya menangkap gerak perasaan Ki Juru Martani, sehingga karena itu maka katanya, “Paman, mungkin paman terkejut mendengar kata-kataku. Tetapi aku mencoba untuk mempergunakan cara yang dipergunakan oleh Swandaru. Swandaru mengharap agar aku tidak marah oleh sikapnya yang berterus terang. Akupun mengharap pula bahwa ia tidak akan marah jika aku berterus terang. Karena itu, mungkin aku akan berkata dengan cara yang lain jika aku berhadapan dengan Untara misalnya, atau dengan Agung Sedayu.”

Hampir saja Swandaru mengumpat. Untunglah bahwa ia masih dapat menahan diri. Namun dalam pada itu, terdengar giginya gemeretak oleh getar didalam dadanya.

Dalam pada itu Pandan Wangi menundukkan kepalanya dalam-dalam. Sebagai seorang perempuan yang mudah tersentuh, ia merasa betapa tajamnya sindiran Raden Sutawijaya terhadap suaminya. Karena itu, terasa wajahnya yang tunduk itu menjadi panas. Sejak semula ia sama sekali tidak sependapat dengan cara yang akan ditempuh oleh suaminya untuk mengukur kemampuannya. Justru dengan Raden Sutawijaya yang bergelar Senapati ing Ngalaga di Mataram.

Tetapi ia, seperti juga orang-orang lain sama sekali sudah tidak dapat berbuat apa-apa lagi. Kedua anak muda itu sudah berdiri ditengah-tengah sanggar. Bahkan mereka telah bersiap untuk melakukan penjajagan yang satu terhadap yang lain.

Namun tiba-tiba saja Raden Sutawijaya melangkah ketepi. Ia mengambil kerisnya yang tergantung dilambungnya, dibawah ujung bajunya, dan menyerahkannya kepada Ki Juru Martani, “Aku titip paman. Dalam kelakuan orang sering melupakan pengekangan diri. Jika ada hantu yang kebetulan lewat dan hinggap ditanganku, maka keris itu dapat berbahaya.”

Swandarupun mengerutkan keningnya. Ia melihat Raden Sutawijaya menyerahkan senjata yang ada padanya. Karena itu pula maka iapun mengurai cambuknya dan menyerahkannya kepada isterinya. Katanya, “Bawalah. Aku tidak memerlukannya.”

Namun dalam sekilas itu, Kiai Gringsing telah melihat, bahwa ujung cambuk itu telah berubah. Ada beberapa sisipan kepingan baja pada juntai cambuk itu. Tetapi Kiai Gringsing tidak menanyakannya.

Pandan Wangi menerima cambuk itu dan menggulungnya. Namun demikian hatinya masih tetap berdebar-debar menanggapi keadaan yang bakal terjadi.

Sejenak kemudian kedua anak muda itu telah berdiri berhadapan. Swandaru telah bersiap untuk mulai dengan perkelahian yang diharapkannya akan dapat memantapkan sikapnya terhadap Raden Sutawijaya. Namun sebenarnyalah bahwa yang terutama baginya adalah untuk menyatakan bahwa ilmunya telah jauh meningkat, dan bahkan mungkin telah melampui ilmu Raden Sutawijaya.

Tetapi sikap Raden Sutawijaya bagi Swandaru sangat terasa menjengkelkan. Ia sama sekali tidak menjadi cemas atau ragu-ragu meskipun Raden Sutawijaya belum dapat mengetahui kemajuan ilmunya. Bahkan ia telah menjadi kagum melihat para pengawal berlatih.

“Ia mencoba menenangkan dirinya sendiri,“ berkata Swandaru di dalam hatinya.

Tetapi yang dikatakan oleh Sutawijaya benar-benar membuat jantungnya bagaikan terbakar, “Swandaru. Sebenarnya aku sependapat dengan Kiai Gringsing bahwa dengan melihat latihan hasil tuntunan yang kau berikan, meskipun bukan sebagai sikap guru terhadap muridnya, aku sudah dapat membayangkan, sampai tingkat yang manakah ilmumu kini. Tetapi kau masih ingin membuktikannya dan barangkali, seperti yang kau katakan, kau ingin menjajagi ilmuku untuk memantapkan sikapmu. Namun dengan demikian kau seakan-akan terikat oleh janji, bahwa jika ilmuku ternyata lebih tinggi dari ilmumu, apalagi terpaut jauh, maka tidak akan ada persoalan lagi antara Mataram dan Sangkal Putung. Karena kau telah meyakinkan, bahwa aku memang pantas untuk menjadi seorang pemimpin.”

Ki Juru Martani menggigit bibirnya. Raden Sutawijaya benar-benar telah bersikap lain. Namun Ki Juru vang tua itupun dapat mengerti, bahwa yang terloncat dri mulut Raden Sutawijaya itu adalah ledakan dari kemarahan yang sebenarnya tertahan-tahan didadanya.


“Raden,“ berkata Swandaru yang dadanya sudah menjadi pepat, “marilah. Kita segera mulai dengan latihan yang khusus ini.”

“Kaulah yang bermaksud menjajagi kemampuanku. Kaulah yang harus mulai lebih dahulu.”

Swandaru mengerutkan keningnya. Namun katanya, “Baiklah Raden. Aku akan mulai lebih dahulu.”

Sutawijaya berdiri tegang memandang anak muda yang gemuk itu. Tetapi ia telah benar-benar siap menghadapi serangan Swandaru.