api di bukit menoreh 54

“APAKAH kau melihat hantu-hantu itu melempari barak ini dengan batu?”

“He” orang yang kekurus-kurusan itu justru terperanjat, bahkan ia bertanya, “apakah rumah ini dilempari dengan batu?”

“Ya. Tepat pada saat suara hantu-hantu itu mengitari barak ini.”

“Bodoh kau,” orang yang tinggi kekar itu berteriak, “hantu-hantu tidak perlu melemparkan batu-batu itu dengan tangannya seperti kita manusia yang kerdil ini. Hantu-hantu hanya cukup ber¬niat untuk melakukan dan batu-batu itu akan terbang sendiri mengenai sasarannya.”

“O,” orang-orang yang mendengar mengangguk-anggukkan kepalanya.

“Kalau begitu, hantu-hantu itu tidak marah karena orang tua yang bersandar dinding ini, tetapi karena kau yang berani berada di luar rumah ketika mereka lewat.”

“Kalau mereka marah kepadaku, mereka dapat berbuat apa saja seketika itu. Mereka dapat membakar aku dengan sinar matanya yang menyala seperti api. Atau mematuk tubuhku dengan belaian rambutnya yang terdiri dari ular-ular yang hidup. Atau dengan cara apa pun yang sangat mudah mereka lakukan.”

Orang yang tinggi kekar itu mengangguk-anggukkan kepalanya. Ia tampak merenung sejenak. Lalu tiba-tiba dipandanginya Kiai Gringsing dengan tatapan mata yang tajam. Selangkah demi alangkah ia mendekat. Sambil menunjuk wajah orang tua ia berkata, “Kau, kau sumber dari bencana ini.”

Perlahan-lahan Kiai Gringsing bergeser. Tetapi ia masih tetap duduk di tempatnya.

“Kau adalah sumber dari semua bencana yang akan me¬nimpa kita kelak. Kali ini lemparan-lemparan batu. Lain kali apa lagi. Mungkin hantu-hantu itu akan menyebar racun dan membunuh kita semuanya.”

Kiai Gringsing masih tetap duduk di tempatnya. Tetapi ia masih belum menjawab.

“He, orang yang sombong. Hantu itu marah bukan karena kau telah menghinanya pada saat mereka lewat. Tetapi mereka pasti marah dan mendendammu karena kau tetap pada pendiri¬anmu, menebas hutan terlarang itu. Sekarang kau melihat sendiri akibat apakah yang sudah terjadi atas kita di sini.”

Kiai Gringsing masih tetap duduk di tempatnya. Meski pun ia mengangguk-anggukkan kepalanya, tetapi wajahnya sama sekali tidak menunjukkan perubahan apa pun juga.

“Dengar hai orang yang keras kepala. Sekarang, di hadapan orang-orang yang ada di dalam barak ini kau harus berjanji, bahwa kau akan menghentikan pekerjaanmu yang bodoh itu.”

Kiai Gringsing masih belum menjawab.

“Kenapa kau diam saja, he? Apakah aku harus memaksamu untuk berbicara dan menyanggupi kehendak kami untuk ke¬pentingan kita semua di sini? Kami berjanji bahwa kau akan mendapat bagian pada salah satu kelompok yang ada di sini, sehingga kau tidak perlu cemas memandang ke hari depanmu, hari depan anak-anakmu yang masih panjang. Kau mengerti? Kau mengerti, he?”

Kiai Gringsing tidak segera menyahut, ia sendiri menjadi bimbang karenanya. Bukan keragu-raguan apakah ia akan melan¬jutkan kerjanya atau tidak. Tetapi ia ragu-ragu, bagaimanakah sebaiknya menghadapi orang yang tinggi kekar ini.

“He, kenapa kau tidak menjawab?”

“Tenanglah,” berkata Kiai Gringsing, “aku ingin men¬dapat kesempatan untuk menjelaskan.”

“Kau hanya dapat menjawab dengan satu kata, ‘ya’. Tidak ada jawaban lain yang dapat kau sebutkan.”

“Tunggu dulu.”

“Tutup mulutmu. Aku tidak mau mendengar kata-kata lain.”

Kiai Gringsing menarik nafas. Tetapi ia diam saja.

“Ayo jawab.”

Kiai Gringsing tidak menyahut.

“Apa kau bisu, he?”

“Apakah kau mau mendengarkan jawabku?” bertanya Kiai Gringsing kemudian.

“Kau tinggal mengucapkan ‘ya’.”

“Kau atau aku yang harus menjawab. Kalau kau sendiri yang akan menjawabnya, jawablah. Tetapi kalau aku yang harus menjawab pertanyaanmu, maka kau harus mau mendengarkannya.”

Wajah orang itu menjadi merah. Hampir saja ia kehilangan kesabaran. Namun seperti biasanya orang-orang lain selalu berusaha menahannya.

“Jangan. Jangan terlampau cepat marah. Sebaiknya dengar apa yang akan dikatakannya,” berkata seseorang yang sudah berambut putih.

“Ia sombong sekali,” geram orang yang tinggi itu.

Kini beberapa orang telah berdiri dan mengerumuni orang yang berdiri di hadapan Kiai Gringsing yang sudah berdiri pula. Agung Sedayu dan Swamdaru pun telah tegak pula di belakang gurunya. Wajah-wajah mereka pun menjadi tegang. Namun mereka masih berusaha untuk menahan diri. Mereka masih belum tahu benar, apakah yang akan dilakukan oleh gurunya.

“Cobalah dengar,” berkata Kiai Gringsing, “aku masih ingin mendapat kesempatan sekali lagi atas tanggung jawabku sendiri. Aku yakin bahwa pada suatu saat aku akan dapat ber¬kata kepada mereka dalam suasana yang sebaik-baiknya. Aku yakin bahwa Kiai Damar bukan seorang pembohong.”

Orang yang bertubuh tinggi kekar itu mengerutkan kening¬nya, “Kenapa kau singgung-singgung nama Kiai Damar.”

“Ya, Kiai Damar adalah seorang dukun sakti yang mampu berhubungan langsung dengan hantu-hantu. Bukankah semua orang sudah mengenalnya, meski pun belum mengenal namanya.”

Orang yang tinggi kekar itu tidak menyahut. Tetapi ketika Kiai Gringsing mengedarkan tatapan matanya, maka setiap orang yang dipandanginya menganggukkan kepalanya.

“Nah, aku yakin akan hal itu. Yakin bahwa Kiai Damar adalah seorang yang dapat dipercaya.”

Orang yang tinggi besar itu tampak termangu-mangu.

“Bukankah begitu?”

“Apa katanya?” bertanya orang itu.

“Ketika aku datang kepadanya untuk minta obat bagi anakku, ia sudah tahu apa yang sebenarnya terjadi. Itulah sebab¬nya aku percaya sepenuhnya kepadanya.”

“Apa yang diketahuinya.”

“Ia berkata kepadaku saat itu ‘Pulanglah, anakmu akan sembuh dengan sendirinya.’ Ternyata anakku benar-benar telah sembuh. Sudah tentu setelah Kiai Damar berbicara dengan hantu-hantu.” Kiai Gringsing berhenti sejenak, lalu, “Di dalam per¬soalan tanah garapan itu pun Kiai Damar sudah berbicara dengan mereka menurut keterangan Kiai Damar.”

“Bohong!”

“Sebenarnya aku tidak boleh mengatakannya kepada siapa pun sebelum aku berhasil.”

“Apa?”

“Pada saatnya akan aku katakan. Tetapi di antaranya dapat kalian ketahui, bahwa Kiai Damar menganjurkan aku bekerja terus. Bekerja menurut petunjuknya.”

“Apa petunjuk itu?”

“Sudah aku katakan, pada saatnya kalian akan mengeta¬hui. Aku takut mengatakannya sekarang.”

Orang yang kekar itu menjadi ragu-ragu sejenak.

“Ada sesuatu yang harus aku lakukan di tanah garapan itu.”

“Kau membual.”

“Aku akan menghadap Kiai Damar sekali lagi. Kalau aku memang tidak diijinkan untuk meneruskan kerja ini, maka biarlah persoalannya akan aku serahkan kembali kepada Kiai Damar.”

Orang yang tinggi kekar itu menjadi semakin ragu-ragu.

“Atau apakah ada di antara kalian yang akan bertanya kepadanya? Aku akan berterima kasih kalau seseorang memerlu¬kan membuktikan kebenaran kata-kataku.”

Sejenak orang-orang yang mengerumuninya itu terdiam. Orang yang tinggi itu pun terdiam pula. Tanpa sesadarnya ia berpaling memandang orang yang kekurus-kurusan. Tetapi wajah orang yang kekurus-kurusan itu pun membayangkan keragu-raguan pula.

“Baiklah,” tiba-tiba orang yang kekar itu berkata, “kalau kau memang sudah mendapat suatu pesan dari Kiai Damar. Tetapi kalau kau berbohong maka lehermu menjadi taruhan.” Orang itu berhenti sejenak, lalu, “Tetapi kenapa hantu-hantu itu marah?”

“Mungkin ada persoalan lain yang tidak kita mengerti. Hantu-hantu itu pasti tidak akan mempersoalkan kerjaku lagi. Kerja yang sudah mendapat ijin mereka atau setidak-tidaknya sepengeta¬huan mereka.”

Orang yang tinggi kekar itu masih berdiri di tempatnya. Na¬mun kemudian ia menggeram, “Kita akan membuktikan, apakah kau sekedar berbohong, atau sebenarnya memang demikian. Kita akan melihat akibat selanjutnya.”

Kiai Gringsing mengangguk-anggukkan kepalanya. Dengan bersungguh-sungguh ia memandang orang yang tinggi kekar itu. Kemudian kepada wajah-wajah yang tegang di sekitarnya.

“Aku tidak berbohong,” ia berdesis.

Orang yang tinggi kekar tidak menyahut lagi. Dengan mengumpat-umpat ia pergi meninggalkan Kiai Gringsing dan kedua anak-anaknya.

Sepeninggal orang yang tinggi kekar itu, maka beberapa orang masih tetap mengerumuninya. Namun kemudian seorang demi seorang mereka pun meninggalkannya.

Ketika tidak banyak lagi orang yang berdiri di dekat Kiai Gringsing maka seseorang telah bertanya, “Apakah kau berkata sebenarnya?”

Kiai Gringsing yang tidak mengenal orang itu sampai ke dalam jantungnya mengangguk dan menjawab, “Ya, tentu aku berkata sebenarnya.”

“Dan kau masih akan mencoba seperti yang kau katakan?”

“Ya.”

“Berbahaya sekali.”

“Aku yakin Kiai Damar akan melindungi aku.”

Orang itu menarik nafas dalam-dalam. Kemudian perlahan-lahan melangkah meninggalkan Kiai Gringsing.

Kiai Gringsing kemudian bersama-sama kedua murid-muridnya duduk kembali di tempatnya. Sejenak mereka saling berdiam diri. Na¬mun demikian Kiai Gringsing menyadari betapa kedua murid-muridnya telah menahan hati mereka.

“Pada suatu saat, dada ini akan meledak,” desah Swandaru.

Kiai Gringsing tersenyum. Dilihatnya beberapa orang telah berbaring kembali di tempatnya.

“Suatu latihan kesabaran yang paling baik, Swandaru.”

“Tetapi sampai kapan?”

“Sampai pada suatu saat yang tidak akan lama lagi.”

“Saat yang tidak akan lama lagi itu adalah suatu waktu yang tidak dapat dibayangkan.”

Kiai Gringsing tersenyum. Tetapi ia tidak menjawab.

Agung Sedayu yang tidak bertanya apa pun itu kemudian berbaring pula. Betapa darahnya serasa mengalir semakin cepat, namun ia masih tetap mencoba menguasai perasaannya.

Swandaru pun kemudian menyusulnya pula. Berbaring di sampingnya agak berdesak-desakkan. Sedang Kiai Gringsing duduk bersandar dinding sambil memandang orang-orang yang sudah mulai mencoba untuk dapat tidur kembali.

“Kasihan. Jiwa mereka bagaikan daun kering yang di¬ombang-ambingkan gelombang di permukaan wajah lautan. Tidak menentu dan sama sekali tanpa pegangan.”

Tetapi Kiai Gringsing masih belum dapat berbuat apa-apa. Yang dapat dilakukannya adalah mengusap dadanya dengan pe¬nuh iba.

“Mudah-mudahan kalian tidak akan lebih lama lagi mengalami tekanan perasaan serupa itu,” ia berkata di dalam hatinya.

Ternyata sisa malam sudah tidak terlampau panjang lagi. Sejenak kemudian langit di ujung Timur pun telah mulai menjadi kemerah-merahan.

Barak itu pun tidak lama kemudian menjadi terbangun pula karenanya. Beberapa orang dengan sikap ragu-ragu telah keluar dan turun ke halaman. Seorang demi seorang mereka pergi ke sumur dan ke parit yang tidak begitu jauh dari barak itu. Namun bagaimana pun juga mereka masih terap dibayangi oleh ketakutan apabila mereka teringat kepada suara-suara hantu semalam.

“Tetapi hantu-hantu tidak akan mau menampakkan dirinya setelah ayam jantan berkokok untuk terakhir kalinya,” berkata mereka di dalam hati untuk menenteramkan perasaan masing-masing.

Demikianlah maka pada saatnya mereka pun telah mening¬galkan barak dan gardu pengawas pergi ke tempat kerja masing-masing sambil membawa rangsum masing-masing. Demikian juga Kiai Gring¬sing dan kedua muridnya. Mereka pun telah pergi ke tempat kerja mereka, yang sampai saat terakhir masih menjadi persoalan.

“Kalau mereka berhasil mengusir kita dan setiap orang yang akan melanjutkan kerja ini, maka lambat laun mereka akan berhasil mengusir orang-orang yang berada di dalam barak itu pula dengan cara mereka. Semakin lama maka semakin tipislah usaha untuk memperluas tanah garapan ini, sehingga pada suatu saat, maka hantu-hantu itu akan masuk ke tempat-tempat yang lebih ramai dan mengusir orang-orang dari daerah Mataram yang sedang dibangun ini,” berkata Kiai Gringsing kepada murid-muridnya. Lalu, “Ka¬rena itu, apa pun yang akan terjadi, kita harus tetap bertahan. Mungkin kita memang harus berkelahi dengan hantu-hantu itu. Te¬tapi apa boleh buat.”

Kedua murid-muridnya mengangguk-anggukkan kepalanya. Memang sangat menarik sekali apabila pada suatu saat mereka dapat berkelahi dengan hantu-hantu yang telah mencoba mengganggu ketenteraman orang-orang yang sedang membuka hutan itu.

“Guru,” tiba-tiba saja Agung Sedayu berkata, “supaya kita dapat berbuat lebih leluasa, bagaimanakah kalau kita minta ke¬pada para pengawas untuk dapat tinggal di gubug-gubug kecil yang telah ditinggalkan oleh penghuninya itu? Kita dapat berbuat se¬suai dengan rencana kita sendiri tanpa ada orang yang meng¬halanginya, dan sudah tentu, kita tidak akan mengganggu dan menggelisahkan orang di dalam barak itu apabila kita dikatakan telah membuat hantu-hantu itu marah yang kemarahannya akan me¬nimpa semua orang di dalam barak itu.”

Kiai Gringsing merenung sejenak. Katanya, “Itu suatu pendapat yang baik. Aku setuju. Aku akan mencoba mengata¬kannya agar kita diberi kesempatan untuk tinggal di gubug-gubug kecil yang kosong itu.”

Demikianlah, ketika mereka telah selesai bekerja sehari penuh, mereka pun segera kembali. Sebenarnya tidak ada yang mereka kerjakan selain membersihkan beberapa bagian dari rerumputan liar dan mengawasi tempat itu dengan lebih saksama lagi.

Mereka tidak segera kembali ke barak, tetapi Kiai Gringsing bersama kedua muridnya telah menemui para pengawas untuk menyampaikan maksudnya itu.

Para pengawas yang mendengar permintaan Kiai Gringsing itu menjadi heran. Ada di antara mereka yang tidak langsung mempercayai pendengarannya sehingga bertanya, “Apakah kau sekedar bergurau?”

“Tidak, Tuan,” jawab Kiai Gringsing, “kami bersungguh-sungguh.”

Beberapa orang pengawas menarik nafas dalam-dalam. Seseorang yang gemuk pendek berambut jarang menggeleng-gelengkan kepala¬nya sambil bergumam, “Aku tidak mengerti.”

Ki Wanakerti, salah seorang dari para pengawas itu berkata, “Kalian menunjukkan sikap yang lain dari orang-orang yang ada di sini sejak kalian datang. Kalian pernah mengalami banyak hal yang dapat mendesak kalian untuk meninggalkan tempat ini, namun justru kalian menjadi semakin berani.”

“Bukan begitu, Tuan. Kami hanya bermaksud sekedar menghindari sikap yang dapat berakibat kurang baik dari beberapa orang yang tidak senang terhadap kami. Karena itu, me¬mang sebaiknya kami memisahkan diri dari mereka.”

“Aku mengerti, tetapi apakah kalian pada suatu saat tidak akan mati ketakutan?”

“Bukankah beberapa keluarga tinggal juga di gubug-gubug itu?”

“Tetapi gubug-gubug yang sangat berdekatan. Dan gubug-gubug itu sudah berjejal-jejal diisi oleh beberapa keluarga.”

“Tetapi bukankah masih ada yang kosong?”

Wanakerti mengerutkan keningnya. Sejenak ditatapnya wajah Kiai Gringsing, kemudian dipandanginya wajah kawan¬nya yang keheran-heranan.

“Apa boleh buat,” berkata pemimpin pengawas itu, “kalau kau memang berniat demikian. Ternyata niat itu telah menimbulkan sesuatu yang lain di dalam hatiku.” Orang itu ber¬henti sejenak, lalu, “Tetapi bukan maksudku untuk menentukan sesuatu atas niatmu itu,” sekali lagi ia berhenti. Wajahnya menjadi ragu-ragu sejenak, namun kemudian ia berkata, “Memang aneh. Tetapi aku memang ingin melihat, apakah yang akan ter¬jadi atas kalian. Atas tempat tinggal yang akan kalian pilih dan tentang tanah garapan kalian itu. Tetapi sekali lagi, sama sekali bukan maksudku untuk mempergunakan kalian sebagai bahan percobaan.”

“Kami mengerti,” jawab Kiai Gringsing. “Memang sama sekali bukan percobaan. Hal ini tumbuh dari keinginan kami sendiri. Dan kami tidak akan meletakkan tanggung jawab kepada orang lain di dalam hal ini.”

“Baiklah,” pemimpin petugas itu menganggukkan kepala¬nya, “pilihlah sendiri tempat tinggal yang akan kau perguna¬kan.”

“Terima kasih, Tuan. Terima kasih. Sejak malam ini kami akan menempatinya.”

“Sejak malam ini?”

“Ya.”

Sekali lagi para pengawas itu menjadi heran. Salah seorang dari mereka berkata, “Tingkah laku kalian memang sangat me¬narik perhatian.”

“Sama sekali tidak, Tuan. Kami hanya ingin menjauhkan diri dari pertengkaran yang tidak perlu. Sebenarnyalah bahwa kami agak merasa takut menghadapi orang yang tinggi kekar dan orang yang kekurus-kurusan, yang selalu saja mengancam kami.”

“Apakah kau menjadi sedemikian ketakutan sehingga mengatasi ketakutanmu terhadap hantu-hantu yang hampir membunuh anakmu?”

Kiai Gringsing mengerutkan keningnya. Kemudian jawab¬nya, “Terhadap hantu-hantu itu aku sudah mempunyai jaminan. Kiai Damar dan hantu-hantu pendatang. Di antaranya dari Gunung Merapi. Tetapi terhadap orang yang tinggi kekar itu aku sama sekali tidak mempunyai pelindung.”

Petugas itu menggeleng-gelengkan kepalanya pula. Katanya, “Terserah kepada kalian. Kalian akan bertanggung jawab atas kalian sendiri.”

Demikianlah, maka pada malam itu Kiai Gringsing minta diri kepada kawan-kawannya yang ada di dalam barak. Dijinjingnya sebungkus pakaian kumal yang hampir tidak berharga lagi.

“Kalian memang orang-orang aneh. Berani tetapi bodoh,” de¬sis seseorang.

Kiai Gringstng tersenyum. Tetapi ia tidak menanggapinya.

Namun ia terpaksa berhenti ketika di depan pintu dijumpai¬nya orang yang tinggi kekar itu berdiri di samping orang yang kekurus-kurusan.

“Kalian memang orang-orang gila,” geram orang yang tinggi.

“Maksud kami, agar kami terpisah dari kalian. Agar kesalahan-kesalahan yang kami perbuat tidak akan menimpa kalian pula apabila hantu itu menjadi marah. Misalnya, apabila mereka me¬lempari kami dengan batu atau cara apa pun juga.”

“Persetan. Tetapi kalian harus mengurungkan niat ini, atau kalian benar-benar akan ditelan oleh bahaya yang tidak terkira¬kan.”

“Relakanlah kami. Kami sangat berterima kasih atas nasehat dan usaha kalian menyelamatkan kami. Tetapi kami adalah orang-orang yang keras kepala, yang hanya akan menumbuhkan kesulitan saja pada kalian.”

Orang yang tinggi itu menggeram. Namun tiba-tiba saja orang yang kekurus-kurusan berkata, “Lepaskan mereka. Mereka tidak lagi menjadi tanggung jawab kami.”

Orang yang tinggi besar itu mengerutkan keningnya. Na¬mun kemudian ia pun menepi sambil berkata, “Baiklah. Silahkan. Tetapi jalan yang kau tempuh adalah jalan yang paling me¬ngerikan, yang pernah dikenal orang selama ini.”

Kiai Gringsing tertegun sejenak. Namun kemudian ia mengangguk-angguk sambil menjawab, “Mudah-mudahan kami dapat keluar de¬ngan selamat. Kami terlampau percaya kepada Kiai Damar dan Kiai Dandang Wesi. Mudah-mudahan kami mendapat perlindungan.”

Orang yang tinggi besar itu memandang Kiai Gringsing dengan sorot mata yang aneh. Terbayang di balik tatapan ma¬tanya itu, sesuatu yang ditahankannya. Kemarahan dan kedeng¬kian yang tiada taranya.

Orang-orang yang ada di dalam barak itu pun kemudian melepaskan tiga orang ayah beranak itu dengan tatapan mata yang dibayangi oleh berbagai macam pertanyaan. Mereka sama sekali tidak dapat mengerti jalan pikiran orang tua itu. Menurut me¬reka, ketiganya seakan-akan sengaja membunuh dirinya di dalam gubug yang telah dipilihnya.

Meskipun demikian masih juga terngiang di telinga orang-orang itu nama-nama Kiai Damar dan Kiai Dandang Wesi.

“Apakah benar orang tua dan kedua anak-anaknya itu akan mendapat perlindungan dari mereka?”

Sepeninggal Kiai Gringsing orang yang tinggi kekar itu bergumam seolah-olah kepada diri sendiri, “Kenapa mereka di¬biarkan pergi?”

Tanpa berpaling orang yang kekurus-kurusan menyahut, “Me¬reka akan menyesal apabila mereka sempat menyadari tindakan mereka.”

Orang yang tinggi itu hanya dapat menarik nafas. Kemu¬dian sambil bersungut-sungut melangkah pergi ke serambi. Beberapa orang telah duduk-duduk di tempat masing-masing karena tidak ada yang akan mereka kerjakan, selain merenungi jalan hidup yang sam¬pai saat itu mereka tempuh.

Seseorang mengerutkan keningnya, ketika orang yang tinggi besar itu duduk di sampingnya sambil berdesah, “Ada juga orang gila di tempat ini.”

Orang yang duduk di sampingnya tidak menyahut.

“Memang kita semua adalah orang gila,” desis orang yang tinggi kekar itu kemudian.

Tidak seorang pun yang menyahut. Orang yang duduk di sebelah-menyebelah pun hanya berpaling memandanginya dengan dahi yang berkerut-merut. Tetapi tidak ada yang mengucapkan sepatah kata pun.

Dan orang yang tinggi itu berkata selanjutnya, “Apakah sebenarnya yang telah menarik kita ke neraka ini?”

Masih tidak ada seorang pun yang menjawab.

“Ini adalah kegilaan yang sebenarnya melampaui kegilaan ketiga ayah-beranak itu,” orang itu berhenti sejenak. Tetapi agaknya ia memang tidak ingin mendapat jawaban dari siapa pun juga, karena itu ia berbicara terus, “Kita sama sekali tidak berpengharapan apa pun di sini. Sebentar lagi hantu-hantu di Alas Mentaok pasti akan mengerahkan semua pasukannya untuk me¬ngusir kita. Dan kita akan kehilangan segala-galanya. Waktu, ke¬sempatan, dan tanah garapan. Daerah-daerah yang sudah dibuka itu akan segara menjadi hutan kembali, jauh lebih lebat dari yang sekarang.”

Orang yang tinggi itu menarik nafas dalam-dalam. Kemudian tanpa menghiraukan orang-orang lain, ia pun segera berbaring menelentang.

Orang-orang yang lain pun kemudian tidak menghiraukannya lagi. Namun kata-kata yang dilontarkan oleh orang yang tinggi itu masih saja terngiang di hampir setiap telinga yang mendengar¬nya. “Kita sama sekali tidak berpengharapan apa pun di sini.”

“Kita tidak berpengharapan apa pun,” hati mereka pun bahkan menyahut pula.

Dan sebuah pertanyaan telah timbul di dalam dada mereka, “Kenapa kita sampai saat ini masih di sini?”

Pertanyaan itu tidak dapat ditemukan jawaban. Sekilas terbayang pula harapan-harapan yang membubung setinggi langit se¬lagi mereka mulai membuka hutan ini. Kelak Mataram akan menjadi sebuah negeri yang besar dan mereka akan mendapat¬kan kesempatan hidup tenteram di dalamnya.

“Tetapi gambaran sebuah negeri yang besar itu justru semakin lama menjadi semakin pudar,” hati mereka pun menjadi semakin kuncup. “Selama ini kita tidak pernah berpikir, bahwa di Mentaok kita akan berhadapan dengan hantu-hantu.”

Sementara itu, Kiai Gringsing dan kedua muridnya telah sampai ke sebuah gubug yang kosong, yang telah mereka pilih menjadi tempat tinggal mereka. Dari para petugas mereka men¬dapatkan sebuah dlupak yang telah terisi minyak kelapa, untuk menerangi gubug itu.

“Kita tidak sempat membersihkan tempat ini,” desis Swandaru.

“Biarlah,” sahut gurunya, “besok, pagi-pagi sebelum kita berangkat, kita mengambil waktu sejenak untuk membersihkan¬nya. Sayang sekali. Gubug ini adalah gubug yang kuat.”

Swandaru pun kemudian menyalakan dlupak minyak kelapa dan meletakkannya di atas planggrangan bambu yang memang sudah ada di dalam gubug itu.

Sinar yang kekuning-kuningan memancar ke seluruh ruangan. Sarang laba-laba yang kehitam-hitaman tersangkut di setiap sudut. Swan¬daru terkejut ketika tiba-tiba saja seekor tikus tanah yang besar berlari melintasi lantai di ruang dalam.

“He, tikus yang cukup besar.”

Kiai Gringsing mengangguk-anggukkan kepalanya.

“Di mana kita tidur nanti, Guru?” bertanya Swandaru pula.
Kiai Gringsing tidak segera menyahut. Ketika ia berpaling ke arah Agung Sedayu, dilihatnya Agung Sedayu sedang mem¬perhatikan lantai tanah yang kotor dan lembab.

“Kita tidak dapat tidur di lantai,” desis Agung Sedayu.

“Kenapa?” bertanya gurunya.

“Serangga berkeliaran di sana-sini. Mungkin juga binatang-binatang melata yang lain.”

Kiai Gringsing menggangguk-anggukkan kepalanya. Katanya, “Kita tidak akan tidur malam ini.”

“He?” Swandaru membelalakkan matanya.

“Seorang perantau harus dapat mencegah kantuk tidak hanya semalam suntuk,” berkata gurunya pula.

Swandaru tidak menyahut. Tetapi ia menarik nafas dalam-dalam sambil menggaruk tengkuknya.

“Aku mendapat firasat, bahwa sesuatu akan terjadi. Be¬sar atau kecil,” berkata gurunya pula.

“Hantu-hantu?” desis Swandaru.

Kiai Gringsing mengerutkan keningnya. Namun kemudian ia pun tersenyum. Katanya, “Kita akan duduk untuk semalam suntuk. Nanti lampu minyak itu akan kita sisihkan di balik din¬ding itu.”

Agung Sedayu dan Swamdaru saling berpandangan sejenak. Namun kemudian mereka pun mengangguk-anggukkan kepala mereka. Dipandanginya sebuah amben bambu kecil yang sudah hampir roboh, yang tidak mungkin sama sekali dipakai untuk berbaring. Apa lagi tiga orang, untuk Swandaru sendiri pun sudah terlampau kecil. Tetapi amben bambu itu masih cukup untuk tempat duduk mereka bertiga.

Di atas amben itulah mereka kemudian duduk sambil me¬renungi suasana, sementara malam di luar menjadi semakin ke¬lam.

Sejenak kemudian Kiai Gringsing pun berkata, “Pindah¬kan lampu itu, supaya tidak seorang pun yang dapat melihat kita duduk di sini dari luar.”

“Siapakah kira-kira yang akan mengintip kita, Guru?” ber¬tanya Agung Sedayu. “Hantu-hantu itu?”

Kiai Gringsing menggeleng. Tetapi ia hanya menjawab, “Itu hanya suatu dugaan. Mudah-mudahan tidak ada.”

Swandaru pun kemudian memindahkan lampu minyak tanah itu ke balik dinding penyekat ruangan yang sempit itu, sehingga mereka pun kemudian berada di dalam bayangan yang kegelap-gelapan.

Seperti yang dikatakan oleh Kiai Gringsing, ketiganya sa¬ma sekali tidak dapat membaringkan dirinya. Mereka harus te¬tap duduk, betapa pun kantuk telah menjalari mata mereka. Sekali-sekali Swandaru terlena sehingga kepalanya terangguk-angguk. Namun kemudian digosok-gosoknya matanya sambil menggeleng-gelengkan kepalanya.

Sampai tengah malam, mereka tidak menjumpai sesuatu yang aneh di dalam gubug itu. Tidak ada tanda-tanda bahwa akan terjadi sesuatu seperti yang dikatakan oleh Kiai Gringsing, se¬hingga dengan demikian Agung Sedayu dan Swandaru pun ke¬mudian bersandar dinding sambil memejamkan mata mereka meski pun mereka tidak juga berani tidur.

Hanya Kiai Gringsing sajalah yang masih tetap duduk ber¬sila di atas amben itu. Tangannya bersilang di dada, sedang ke¬palanya tertunduk meski pun matanya tetap terbuka.

Tiba-tiba orang tua itu mengerutkan keningnya. Perlahan-lahan diangkatnya kepalanya, seakan-akan ia mendengar sesuatu.

Ketika Agung Sedayu dan Swandaru melihatnya, mereka pun mencoba untuk mendengar. Namun ketika Swandaru akan membuka mulutnya untuk menanyakan sesuatu, Kiai Gringsing memberi isyarat kepadanya, agar ia tetap berdiam diri di tempatnya dan tidak mengucapkan sepatah kata pun.

Akhirnya kedua anak-anak muda itu pun mendengarnya. Desir yang lembut di sudut rumah itu.

Dada mereka menjadi berdebar-debar karenanya. Apakah mere¬ka pada malam ini harus berhadapan dengan hantu-hantu?

Sejenak mereka bertiga menahan nafas. Bahkan Kiai Gring¬sing sendiri tidak tahu, apakah yang akan dihadapinya malam ini. Tetapi ia yakin, bahwa ia akan berhadapan dengan bahaya yang sebenarnya. Lambat atau cepat.

Dalam pada itu suara gemerisik di sudut rumah itu menjadi semakin jelas. Bahkan kemudian mereka mendengar seakan-akan dinding bambu yang sudah sangat lemah itu berpatahan.

Ketiga orang yang berada di dalam gubug itu menjadi te¬gang. Apalagi Agung Sedayu dan Swandaru. Tanpa mereka sa¬dari tangan-tangan mereka telah meraba lambung. Ketika tersentuh tangkai cambuk mereka yang melingkar di bawah baju, hati me¬reka menjadi agak tenang. Di dalam keadaan yang memaksa, maka senjata-senjata itulah yang akan dapat membantu mereka me¬ngatasi kesulitan.

Namun sejenak kemudian, suara itu pun seolah-olah lenyap begitu saja. Mereka tidak mendengar lagi bambu berpatahan. Tetapi telinga mereka yang tajam itu masih dapat mendengar desah nafas yang tertahan-tahan. Karena itu, mereka yang ada di dalam gubug itu masih tetap duduk di tempatnya tanpa bergerak sama sekali bahkan nafas mereka pun seolah-olah tidak lagi dapat didengar oleh orang lain.

“Mereka telah berhasil membuka sudut gubug ini,” ber¬kata Swandaru di dalam hatinya. “Kini mereka sedang meya¬kinkan diri mereka, apakah mereka akan dapat masuk dengan aman atau tidak.”

Sedang Agung Sedayu berpikir di dalam hatinya, “Pasti bukan hantu. Hantu tidak memerlukan lubang apa pun karena tubuhnya yang lembut. Menurut kata orang, hantu tidak menge¬nal lagi batas, sehingga batas itu tidak berlaku bagi mereka. Kalau ada yang memasuki gubug ini dengan memecah sudut itu, pasti bukan apa yang selalu diributkan orang dengan nama hantu.”

Namun dalam pada itu, mereka masih tetap dicengkam oleh ketegangan. Semakin lama semakin tegang, sehingga dada kedua anak-anak muda itu seolah-olah akan meledak karenanya. Me¬reka masih harus tetap berada di tempat mereka sambil menung¬gu apa yang akan terjadi kemudian.

Tetapi sejenak mereka saling berpandangan ketika mereka mendengar desir langkah kaki. Tidak semakin dekat memasuki gubug itu, tetapi justru menjadi semakin jauh.

“Apakah artinya ini?” pertanyaan itu melonjak tidak saja di dalam dada Agung Sedayu dan Swandaru, tetapi juga di hati Kiai Gringsing. Mereka tidak segera dapat mengerti, ke¬napa mereka yang bersusah payah merusak sudut gubug itu, tidak berbuat sesuatu?

“Apakah mereka menyadari, bahwa kami masih belum tidur?” bertanya Kiai Gringsing pula di dalam hatinya.

Meski pun demikian, ketiganya masih tetap berdiam diri dengan tegangnya di tempat masing-masing. Mereka masih menunggu apa yang kira-kira akan terjadi selanjutnya. Apakah mereka yang merusak sudut gubug itu benar-benar telah pergi seluruhnya? Menilik suara nafas mereka yang kini sudah tidak terdengar sama sekali maka mereka pasti telah meninggalkan gubug ini.

Namun dalam pada itu, mereka telah dikejutkan oleh suara yang lain. Suara desis berkepanjangam di sudut gubug itu. Se¬makin lama semakin keras.

Sejenak ketiganya hanya dapat saling perpandangan. Sua¬ra itu adalah suara yang belum mereka kenal. Desir dan desis yang semakin jelas.

Agaknya Swandaru tidak sabar lagi menunggu. Dengan ser¬ta-merta ia meloncat dari tempat duduknya. Tetapi ia tertegun karena gurunya menggamitnya dan memberinya isyarat untuk tetap duduk di tempatnya.

Kening Swandaru menjadi berkerut-merut. Tetapi ia tidak dapat melawan perintah gurunya.

Sejenak kemudian mereka masih tetap menunggu. Suara itu menjadi semakin jelas mendekati mereka.

Kiai Gringsing masih tetap membeku di tempatnya. Namun kemudian tiba-tiba saja ia mengangkat kakinya sambil berdesis, “Hati-hati. Bahaya itu telah datang menyerang kita. Angkat kaki¬mu. Kita harus melawannya.”

Agung Sedayu dan Swandaru pun mengangkat kakinya. Begitu kakinya naik ke atas amben, mereka pun segera melihat, beberapa ekor ular yang cukup besar menggeliat di atas lantai.

“Apakah kalian sudah melihat?” bertanya Kiai Gringsing.

Agung Sedayu dan Swandaru yang dengan tanpa sesadar¬nya telah berdiri di atas amben, memandangi ular-ular itu dengan tegangnya. Ular yang menyelusur lantai adalah ular hitam yang berbelang-belang putih.

“Weling,” desis Swandaru.

“Tidak. Welang. Ular weling tidak dapat menjadi se¬besar itu,” sahut Agung Sedayu.

“Ya. Welang,” desis Kiai Gringsing. “Agaknya ular ini sudah terlatih. Mereka mengerti di mana kita berada. Dan me¬reka sudah siap untuk menyerang kita.”

“Tetapi, welang tidak mempunyai bintik-bintik yang bercahaya seperti itu, Guru,” berkata Agung Sedayu kemudian.

“Memang, ular welang pada umumnya tidak mempunyai bintik-binitk yang bercahaya. Tetapi kita tidak tahu, apakah bintik-bintik bercahaya itu benar-benar bintik-bintik ular welang itu.”

“Maksud Guru?”

“Bintik-bintik dan noda-noda yang dapat memancarkan cahaya itu dapat dibuat.”

Agung Sedayu dan Swandaru tidak sempat bertanya lagi. Ular-ular itu sudah menjadi semakin dekat di bawah amben mereka.

“Hati-hati, mereka dapat memanjat. Kita harus berkelahi melawan ular-ular ini.”

Tiba-tiba Swandaru tidak menunggu lagi. Ia pun segera mengu¬rai cambuk yang membelit dilambungnya. Namun sebelum ia mempergunakannya gurunya berpesan, “Jangan menimbulkan bunyi terlampau keras. Kita harus tetap berusaha menyelubungi diri sejauh mungkin, sebelum kita pasti, apakah yang sebenarnya kita hadapi.”

Swandaru menjadi ragu-ragu sejenak. Namun kemudian ia me¬lihat bagaimana gurunya menggenggam senjatanya. Ternyata Kiai Gringsing memegang cambuknya tidak pada tangkainya, tetapi pada ujungnya.

“Kalian tetap di situ,” berkata gurunya. Ia tidak me¬nunggu jawaban lagi. Dengan tangkasnya ia melontarkan diri¬nya, dan ketika kakinya menjejak di atas tanah, ia sudah berdiri justru di belakang ular-ular yang merayap maju.

Ternyata seekor ular yang merayap dipaling belakang men¬jadi terkejut karenanya. Tetapi ketika ular itu berpaling, dan mencoba memutar diri untuk berbalik menyerang Kiai Gring¬sing, tangkai cambuk orang tua itu telah menyambar kepalanya, sehingga ular itu terpelanting membentur dinding bambu. Te¬tapi ular itu masih mencoba menggeliat. Agaknya sentuhan tang¬kai cambuk Kiai Gringsing itu tidak segera membunuhnya.

Namun sekejap kemudan Kiai Gringsing telah berdiri di sisinya. Sejenak tangkai cambuknya berputar, dan sejenak ke¬mudian maka kepala ular welang itu pun sekali lagi terpukul. Kali ini agaknya Kiai Gringsing tidak perlu mengulanginya lagi.

Tetapi selain ular yang telah mati itu, masih ada beberapa ekor lagi yang sedang merayap mendekati amben tempat Agung Sedayu dan Swandaru berdiri. Karena itu, maka Kiai Gringsing pun segera mendekatinya dengan hati-hati.

Agung Sedayu dan Swandaru yang berdiri di atas amben pun telah memutar tangkai cambuk masing-masing. Ketika perlahan-lahan sebuah kepala tersembul dari bawah amben, maka dengan serta-merta tangkai cambuk Agung Sedayu dan Swandaru menyambar hampir bersamaan. Ular welang itu mencoba bertahan sejenak. Namun kemudian ia pun terjatuh dan mati.

Demikianlah Agung Sedayu dan Swamdaru telah berhasil membunuh beberapa ekor ular yang mencoba merambat naik ke atas amben. Sedang yang tersisa sudah dibunuh pula oleh Kiai Gringsing dengan tangkai cambuknya.

“Apakah sudah habis Guru?” bertanya Swandaru yang merasa ngeri juga melihat ular-ular itu berkeliaran.

Kiai Gringsing menarik nafas dalam-dalam, “Sudah. Agaknya memang sudah habis.”

“Kita akan menghitung jumlahnya,” desis Swandaru.

“Tetapi jangan kau pegang dengan tanganmu. Kita ma¬sih belum tahu, apakah yang membuat ular-ular itu berbintik-bintik dan bercahaya.”

Swandaru mengangguk-anggukkan kepalanya. Dengan sebatang tongkat bambu yang dilolosnya dari dinding rumah itu, dikum¬pulkannya bangkai ular yang berserakan itu.

“Lima,” desis Swandaru.

“Enam,” sahut Agung Sedayu.

“Ya, enam. Besar dan kecil,” berkata gurunya. “Suatu permainan yang mengerikan.” Kiai Grrngsing berhenti sejenak, lalu, “kita benar-benar berhadapan dengan orang-orang yang sedang bermain-main dengan racun. Hampir setiap hambatan yang kita jumpai pasti mengandung racun. Kuat atau lemah. Kini kita telah ter¬jerumus ke dalam sarang ular welang yang berbahaya. Tidak mustahil bahwa bintik-bintik yang bercahaya itu pun mengandung racun pula.” Kepada Swandaru ia berkata, “Ambillah lampu itu. Kita lihat apakah sebenarnya bintik-bintik yang bersinar kehijau-hijauan ini.”

Swandaru pun kemudian melangkah ke balik dinding yang menyekat ruangan di dalam gubug itu. Diambilnya lampu minyak yang masih menyala kekuning-kuningan.

Kiai Gringsing yang kemudian menerima lampu itu menga¬mati bintik yang bercahaya pada tubuh ular-ular itu. Namun kemudian ia menarik nafas dalam-dalam, “Tidak beracun,” katanya.

“Apa Guru?” bertanya Agung Sedayu dan Swandaru hampir bersamaan.

“Rena dan kunang-kunang yang dilekatkan dengan sebangsa getah pada tubuh ular ini, sehingga binatang-binatang kecil itu masih tetap hidup untuk beberapa lama.”

“Hem,” Swandaru menarik nafas dalam-dalam, “benar suatu permainan yang mengasyikkan.”

“Demikian pulalah agaknya setiap cahaya yang terdapat pada hantu-hantu itu. Pada tengkorak-tengkorak jerangkong dan pada kuda-kuda yang sering disebut-sebut orang.”

“Apakah Guru memastikan?”

“Belum. Tetapi pendapat ini dapat menjadi bahan penye¬lidikan seterusnya. Kita harus meyakini, dan kita harus ber¬usaha memecahkan teka-teki itu. Kalau kita berhasil, kita pun harus tahu, alasan apakah yang telah mendorong orang-orang itu berbuat demikian.”

Agung Sedayu dan Swandaru mengangguk-anggukkan kepalanya. Mereka sadar, gurunya telah mengambil kesimpulan, bahwa kepercayaannya terhadap hantu-hantu itu menjadi semakin tipis.

“Tetapi bagaimana dengan hantu-hantu yang datang dari luar Alas Mentaok?”

“Pada suatu ketika kita akan mendapatkan jawabnya pula.”

“Dan Kiai Damar?”

“Memang masih banyak sekali pertanyaan-pertanyaan yang belum terjawab kini. Itulah sebabnya kita masih harus tetap dalam keadaan kita sekarang.” Kiai Gringsiug terdiam sejenak, “Namun setelah ular-ular ini, mungkin kita masih akan mendapat mainan yang lain, yang kita masih belum dapat mengetahuinya.”

Kedua muridnya mengangguk-anggukkan kepalanya. Tetapi mereka pun kemudian merenungi bangkai-bangkai ular yang berserakan di lantai. Terbayang di dalam angan-angan mereka, kemungkinan yang lain yang tidak kalah berbahayanya dari ular-ular itu.

“Guru,” tiba-tiba Swandaru bertanya, “bagaimanakah de¬ngan cambuk-cambuk kita?”

“Kenapa?”

“Kami telah memukul ular-ular itu dengan tangkai cambuk ini.”

“Tidak apa-apa. Tidak akan dikotori oleh racun-racun.”

Swandaru mengangguk-angguk sekali lagi. Tetapi ia masih juga ragu-ragu ketika ia melingkarkan cambuknya di lambungnya.

Agung Sedayu pun kemudian menyimpan senjatanya pu¬la. Sementara Kiai Gringsing masih saja mengamati ular-ular yang sudah tidak bernyawa lagi itu.

“Sudahlah,” katanya, “besok pagi kita tanam di belakang rumah ini. Sekarang beristirahatlah, meski pun kalian ma¬sih harus berjaga-jaga semalam suntuk. Mungkin masih ada per¬soalan-persoalan lain yang akan menyusul kemudian.”

Agung Sedayu dan Swandaru berpandangan sejenak. Na¬mun tanpa mengucapkan kata-kata, mereka segera duduk kembali di atas amben bambu bersandar dinding. Dan sejenak kemudian gurunya pun ikut duduk pula terkantuk-kantuk, meski pun ia sama se¬kali tidak kehilangan kewaspadaan.

Ternyata sesudah itu, tidak ada apa-apa lagi yang menyusul. Dari celah-celah dinding, mereka kemudian melihat bayangan fajar yang kemerah-merahan.

“Kita masih sempat melihat fajar,” desis Swandaru.

“Hus,” desis Agung Sedayu.

“Ular-ular itu hampir saja mengakhiri petualangan kita,” sahut Swandaru.

“Marilah kita tanam di kebun belakang.”

Mereka pun kemudian membawa ular-ular itu dengan galah-galah bambu ke belakang gubug. Selagi fajar masih remang-remang, mereka dengan tergesa-gesa telah menanam bangkai-bangkai ular itu.

“Kita tidak perlu mengatakannya kepada siapa pun bahwa kita telah disambut oleh sekelompok ular-ular yang sisiknya bercahaya,” berkata Kiai Gringsing.

Kedua anak-anak muda itu mengangguk-anggukkan kepalanya.

Ketika hari menjadi semakin terang, maka mereka pun telah selesai dengan kerja mereka. Karena itu, maka mereka pun se¬gera berkemas. Karena di sekitar gubug itu tidak ada air, maka mereka terpaksa pergi ke gardu pengawas untuk mencuci muka dan sekaligus mengambil rangsum mereka sebelum mereka berangkat ke tanah garapan.

“He, apakah kalian dapat tidur?” bertanya salah se¬orang petugas.

“Nyenyak sekali. Ternyata tempat itu jauh lebih baik dari pada ikut berjejal-jejal di dalam barak,” jawab Swamdaru.

Kiai Gringsing hanya mengangguk-anggukkan kepalanya saja, meski pun ia cemas juga, bahwa kadang-kadang Swandaru berbicara asal saja melontarkan kata-kata.

Tetapi berkata Swandaru pula, “Kami masih harus membersihkan tempat yang masih terlampau kotor itu. Agaknya sejak gubug itu dikosongkan, sama sekali tidak pernah disentuh tangan.”

“’Memang tidak ada orang yang merasa berkepentingan untuk membersihkannya.”

“Sayang sekali. Dan agaknya kami kerasan tinggal di dalam gubug itu.”

Petugas itu mengerutkan keningnya. Tetapi di dalam hati ia berkata, “Kalau pada suatu ketika, kau didatangi oleh hantu-hantu, maka kau akan berkata lain.”

Setelah mencuci muka, serta mengambil rangsumnya sama sekali, maka ketiganya pun kemudian kembali ke gubug yang ter¬pencil itu.

“Kita tidak sempat membersihkannya pagi ini. Nanti sa¬ja setelah kita kembali dari tanah garapan,” berkata Kiai Gringsing.

Agung Sedayu dan Swandaru mengangguk-anggukkan kepala mereka. Agaknya matahari memang sudah melonjak naik ke punggung bukit. Meski pun tidak ada seorang pun yang mengharus¬kan mereka berangkat pada saat-saat yang lazim, tetapi rasa-rasanya kurang baiklah kiranya apabila mereka berangkat terlampau siang.

“Tempatkan barang-barangmu di tempat yang kau kenali baik-baik. Lihatlah segala benda-benda yang ada. Nanti kalau kita kembali, kita akan melihat, apakah ada perubahan betapa pun kecilnya di dalam gubug ini.”

“Baik, Guru,” jawab keduanya hampir bersamaan.

Agung Sedayu dan Swandaru pun kemudian mencoba me¬ngenali setiap benda yang ada di dalam gubug itu. Bahkan sudut-sudut dinding pun mereka amat-amati. Mereka masih melihat sehelai kain yang kasar di sudut ruang yang terbuka, karena beberapa potong bambu dindingya telah dirusak semalam.

“Dengan kain yang kasar dan tebal inilah mereka mem¬bawa enam ekor ular itu,” desis Swandaru.

“Ya. Ular yang telah dilatih untuk menyerang manusia,” sahut Agung Sedayu.

“Benar begitu?”

“Menurut Guru.”

Swandaru mengerutkan keningnya, tetapi ia tidak menja¬wab lagi.

Sejenak kemudian setelah mereka selesai mengamati setiap benda yang ada di dalam gubug itu, maka mereka pun segera me¬ninggalkannya setelah mereka menutup pintu lereg.

Sambil menjinjing rangsum mereka, mereka pun kemudian berjalan ke gardu pengawas. Beberapa orang sudah berkerumun sambil membawa alat-alat mereka masing-masing. Mereka akan segera berangkat ke tanah garapan masing-masing setelah mereka mengambil rangsum mereka.

“He, kau sudah membawa rangsum?” bertanya seseo¬rang.

“Aku datang jauh sebelum kalian,” jawab Kiai Gringsing.

“Bagaimana dengan gubug itu?” bertanya yang lain.

“Menarik sekali,” jawab Kiai Gringsing. Tetapi sebe¬lum ia melanjutkan kata-katanya, terasa lengannya digamit sese¬orang. Ketika Kiai Gringsing berpaling dilihatnya orang yang kekurus-kurusan itu memandanginya dengan mata terbelalak, “Kau sudah ada di sini sepagi ini?” ia bertanya.

“Kalian juga sudah ada di sini,” sahut Kiai Gringsing.

Sejenak orang yang kekurus-kurusan itu memandangi Kiai Gringsing seperti orang yang keheran-heranan.

“He, kenapa kau memandang aku seperti itu?” bertanya Kiai Gringsing. “Apakah kau belum pernah melihat aku?”

“O,” orang itu tergagap. Jawabnya, “Kau memang orang-orang yang berani. Apakah kau tidak diganggu oleh hantu-hantu dalam ujud apa pun?”

Kiai Gringsing menggelengkan kepalanya, “Tidak. Tidak ada yang mengganggu sama sekali.”

“Belum. Di malam-malam berikutnya kau tidak akan dapat ti¬dur sama sekali.”

“Mudah-mudahan tidak ada gangguan apa pun seperti di malam pertama.”

Orang yang kekurus-kurusan itu masih saja memandanginya dengan herannya. Namun sejenak kemudian ia pun pergi meniggalkan Kiai Gringsing.

“Kenapa ia tampak menjadi heran melihat Guru?” ber¬tanya Agung Sedayu.

“Itulah yang menarik perhatian,” jawab gurunya, “te¬tapi kita masih belum dapat mengambil kesimpulan yang pasti.”

Agung Sedayu tidak menyahut lagi. Tetapi ia terkejut ke¬tika tiba-tiba saja seseorang telah mengguncang-guncang tubuh gurunya. “Kau masih juga hidup?” terdengar seseorang menggeram.

Kiai Gringsing dan kedua muridnya serentak berpaling. Dilihatnya orang yang tinggi kekar itu berdiri di belakang Kiai Gringsing.

“O, pundakku sakit,” desah Kiai Gringsing.

“Kau masih hidup, he?” ulang orang itu.

“Seperti yang kau lihat.”

“Kami seisi barak menjadi cemas.”

“Kenapa?”

“Aku yang kebetulan saja melihat. Kau tahu, bahwa aku tidur di serambi.”

“Ya.”

“Hampir tengah malam kami mendengar suara berdesing berputaran di atas barak. Tetapi semua orang sudah tertidur.”

“Kau saja yang mendengar?”

“Ya,” orang itu menjadi bersungguh-sungguh, “ternyata sua¬ra itu adalah suara ular Gundala.”

“He, ular apakah itu?” bertanya Kiai Gringsing.

“Sejenis ular yang dapat terbang. Ada dua jenis ular Gundala. Ular Gundala Seta yang berwarna putih dan ada ular Gundala Wereng yang berwarna hitam.”

“Tetapi…..,” Swandaru hampir saja menyahut kalau gurunya tidak menggamitnya.

“Lalu, ular apakah yang kau lihat malam tadi? Yang putih atau yang hitam?”

“Bagaimana aku tahu.”

“Tetapi, kenapa kau tahu bahwa yang berdesing di udara itu ular Gundala.”

“Baik yang putih mau pun yang hitam mempunyai ciri yang sama. Keduanya mempunyai bintik-bintik yang bercahaya.”

Kiai Gringsing mengangguk-anggukkan kepalanya. Dan orang yang tinggi itu berkata, “Ular-ular itu adalah salah satu dari jenis-jenis senjata pasukan kajiman di Alas Mentaok. Aku sudah mencemaskan nasibmu, kalau-kalau ular itu menyerangmu.”

“Beruntunglah, bahwa ular-ular itu tidak menyerang kami.”

“Tidak seorang pun yang mampu mengelakkan serangan¬nya.”

“Untunglah. Dan bersukurlah kami bahwa kami tidak menjadi korbannya. Aku berterima kasih atas perhatianmu dan bukankah kau katakan seisi barak ini menjadi cemas?”

Orang yang tinggi kekar itu mengerutkan keningnya. Se¬jenak ia memandangi wajah Kiai Gringsing. Namun kemudian ia menyahut, “Kenapa dengan seisi barak ini?”

“Bukankah kau yang mengatakan, bahwa seisi barak ini menjadi cemas?”

“Dan kau akan mempertentangkan kata-kata itu dengan kata-kataku, bahwa hanya akulah yang melihat ular itu terbang?”

Kiai Gringsing tidak menyahut. Tetapi kesan di wajahnya membenarkannya.

“Tentu bukan semua orang di barak ini. Aku memang mengatakan kepada beberapa orang.”

Kiai Gringsing mengangguk-anggukkan kepalanya.

“Kau memang harus berhati-hati,” berkata orang yang tinggi itu. “Kau sedang dimusuhi oleh hantu-hantu. Apalagi kalau kau membuat musuh di antara kita.”

“O, tentu tidak,” jawab Kiai Gringsing.

“Kau suka mempersoalkan masalah-masalah yang kecil. Mem¬buat orang lain menjadi bingung. Mempersoalkan kata-kata yang sedikit terselip. Dan banyak lagi. Tetapi ingat, sebenarnya aku memang ingin mendapat kesempatan untuk membuat kalian bertiga jera. Aku merasa bahwa aku akan sanggup melaksanakannya tanpa hantu-hantu itu.”

“Maksudmu?”

Orang itu tampak ragu-ragu sejenak. Tetapi karena agaknya tidak ada orang lain yang memperhatikannya, ia berkata, “Aku ingin memukuli kalian pada suatu saat.”

“He, apakah salah kami?”

“Kalian telah mengabaikan segala nasehatku. Segala niat baikku. Itu suatu penghinaan. Dan kalian merasa diri kalian pahlawan-pahlawan yang berani. Sombong dan banyak bicara. Ingat, aku adalah orang yang paling ditakuti di sini. Para pengawas pun tidak berani berbuat apa-apa atasku. Kalau aku memukuli kalian, tidak akan ada orang yang berani mencegah apabila itu sudah terjadi. Memang kadang-kadang mereka mencoba mengurungkan niatku. Mereka adalah orang-orang baik yang tidak suka berselisih. Tetapi kalau kesabaranku habis, kalian akan menyesal.”

“Jangan begitu,” desis Kiai Gringsing, “sebaiknya kau berpikir dari arah lain. Lepaskanlah kami. Biarlah kami dimakan hantu, harimau, atau apa saja. Ular Gundala Seta dan Wereng sekali pun.”

“Sudah seribu kali aku katakan. Kau tidak dapat berdiri sendiri di mata hantu-hantu itu. Kau adalah satu dengan kami.”

Kiai Gringsing tidak menyahut lagi. Ketika Swandaru ber¬geser setapak, maka gurunya telah menginjak kakinya, sehingga Swandaru hanya dapat menarik nafas dalam-dalam.

“Terserahlah kepadamu. Aku akan berangkat. Semua sudah selesai,” berkata orang yang tinggi itu.

Ketika Kiai Gringsing berpaling, dilihatnya gardu itu me¬mang sudah agak sepi. Hanya beberapa orang yang datang dengan tergesa-gesa karena agak lambatlah, yang masih berada di muka pintu untuk menerima rangsum mereka. Setelah itu, mereka pun dengan tergesa-gesa segera berangkat menyusul kawan-kawan mereka yang telah pergi lebih dahulu.

“Mereka bekerja dalam kelompok-kelompok,” berkata orang yang tinggi itu, “sehingga mereka harus mulai bersama-sama. Tetapi itu lebih baik daripada sifat sombong yang kau pertahankan.”

Kiai Gringsing tidak sempat menjawab, karena orang itu pun kemudian pergi meninggalkannya.

“Orang aneh,” desis Agung Sedayu.

“Aku tidak sabar lagi,” sahut Swandaru.

“Jangan berbuat bodoh,” potong gurunya. “Marilah, kita pun harus segera berangkat, supaya kita tidak dianggap sebagai orang-orang malas yang hanya akan menghabiskan rangsum makan saja.”

Ketiganya pun kemudian pergi lewat di depan gardu penga¬was. Sambil membungkukkan kepalanya Kiai Gringsing berkata, “Kami sudah mendapat rangsum, Tuan.”

Seorang pengawas tertawa sambil menyahut, “Kalian termasuk orang aneh di sini.”

Kiai Gringsing hanya tertawa saja. Tetapi ia tidak menja¬wab. Bersama kedua muridnya ia pun pergi ke tanah garapan mereka yang dianggap oleh orang-orang yang sedang membuka hutan itu sebagai daerah yang paling wingit.

Dengan penuh kewaspadaan mereka bekerja. Setiap kali mereka memperhatikan sesuatu yang agak asing, karena mereka tahu, bahwa ada pihak-pihak yang sedang bermain-main dengan racun di daerah ini. Untunglah bahwa Kiai Gringsing adalah seorang dukun tua yang sudah terlampau kaya dengan pengalaman, dengan segala macam penyakit dan juga dengan segala macam racun.

Lamat-lamat mereka masih juga mendengar suara burung kedasih yang umumnya hanya berbunyi di malam hari. Tetapi karena mereka sudah biasa mendengarnya, maka mereka sudah tidak menghiraukannya lagi.

Tetapi ternyata sehari itu mereka, tidak menjumpai peristiwa apa pun. Pada saatnya mereka pulang, mereka pun segera mening¬galkan pekerjaan mereka.

Ketika mereka sampai di gubug yang telah mereka pergunakan sebagai tempat tinggal, maka mulailah mereka membersihkannya. Setiap benda mereka amati sebelum mereka pindahkan.

“Tidak ada sebuah benda pun yang bergeser, Guru,” ber¬kata Agung Sedayu.

“Ya, agaknya memang tidak ada seorang pun yang mema¬suki gubug ini. Tetapi itu bukan berarti bahwa kita dapat tidur dengan nyenyak nanti malam.”

Agung Sedayu dan Swandaru saling berpandangan sejenak.

“Jangan takut,” berkata Kiai Gringsing yang seolah-olah mengerti perasaan kedua anak-anak muda itu, “kita akan dapat tidur. Tetapi kita harus mengatur diri, sehingga setiap kali pasti ada yang terjaga di antara kita.”

Demikianlah, setelah gubug itu menjadi bersih dari sarang-sarang laba-laba dan kotoran-kotoran lain, debu dan serangga-serangga kecil, mereka pun menjadi semakin kerasan tinggal di dalam gubug itu.

Swandaru tidak lagi segan berbaring di pembaringan, meski¬ pun selalu diganggu oleh bunyinya yang berderit-derit. Tetapi amben bambu itu sudah tidak dilekati lagi oleh debu yang tebal dan sarang laba-laba yang kehitam-hitaman.

“Di sebelah masih ada beberapa jenis alat-alat dapur,” desis Swandaru kemudian.

“Kita tidak memerlukannya. Bukankah kita sudah menda¬pat makan?”

“Kalau kita haus?”

“Ambil saja di gardu pengawas,” sahut Agung Sedayu, “bukankah di sana disediakan berapa saja kita akan minum.”

“Di malam hari kadang-kadang kita haus. Atau barangkali di pagi hari, begitu kira bangun tidur, ingin juga rasa-rasanya minum air panas, seperti ketika kita berada di Tanah Perdikan Menoreh.”

“Hus,” desis Agung Sedayu, “kau mulai mengigau.

“Swandaru tersenyum. Memang terkilas sebuah kenangan atas Tanah Perdikan itu dengan segala isinya.

“Barangkali kau memang tidak kerasan, tinggal di sini,” berkata Agung Sedayu, “karena di sini kita hanya berkawan hantu-hantu saja. Kalau di sini ada orang yang menyediakan minummu di pagi hari, mungkin kau kerasan juga.”

Swandaru tidak menjawab. Tetapi ia masih saja tersenyum sambil mengusap-usap pipinya yang gembung, meski pun beberapa hari terakhir tampak ia agak susut sedikit.

“Nanti kalian tidurlah dahulu,” berkata Kiai Gringsing kemudian, “aku akan berjaga-jaga. Kemudian aku akan tidur, dan kalian berdualah yang harus berjaga-jaga.”

Agung Sedayu mengangguk-anggukkan kepalanya. Tetapi ia mengerutkan keningnya ketika ia memandangi amben yang seolah-olah sudah penuh dipergunakan oleh Swandaru sendiri

“Minggirlah sedikit,” desis Agung Sedayu kemudian.

Swandaru tersenyum pula. “Kau akan tidur sekarang?” ia bertanya.

“Tidak. Aku hanya akan berbaring sejenak.”

Agung Sedayu pun kemudian berbaring pula di sisi Swandaru, sementara Kiai Gringsing duduk di sebuah dingklik kayu yang usang. Sejenak mereka saling berdiam diri. Agaknya mereka sedang menjelajahi angan-angan masing-masing yang menyelusur ke dunia yang asing.

Ketika gelap menjadi semakin pekat, maka mereka pun segera menyalakan lampu minyak kelapa. Dari para pengawas mereka mendapatkan minyak untuk mengisi pelita.

Demikianlah, maka Agung Sedayu dan Swandaru-lah yang lebih dahulu akan tidur. Gurunya akan tetap berjaga-jaga sampai tengah malam, sementara Agung Sedayu dan Swandaru bangun, gurunyalah yang akan beristirahat.

Sampai menjelang tengah malam, Kiai Gringsing yang duduk terkantuk-kantuk di dalam lindungan bayangan dinding yang menyekat ruangan gubug itu tidak melihat tanda-tanda yang mencurigakan. Meski pun demikian ia tidak kehilangan kewaspadaan. Setiap desir, betapa pun lembutnya, tidak lepas dari pengamatan telinga¬nya yang tajam.

Tetapi Kiai Gringsing tidak mendengar sesuatu yang dapat menumbuhkan kegelisahan.

Sampai tengah malam Kiai Gringsing duduk tanpa bergerak di tempatnya. Sedang Agung Sedayu dan Swandaru telah tertidur dengan nyenyaknya. Meski pun kadang-kadang amben yang mereka per¬gunakan berderit-derit keras, kedua anak-anak muda itu tidak meng¬hiraukannya. Bahkan Swandaru setiap kali berdesah apabila derit pembaringannya itu telah membangunkannya.

Sedikit lewat tengah malam, Kiai Gringsing mulai menguap. Ingin juga ia berbaring meski pun hanya sejenak. Agaknya Agung Sedayu dan Swandaru sudah cukup lama beristirahat.

“Biarlah mereka ganti berjaga-jaga,” katanya di dalam hati.

Tetapi sebelum ia bangkit dari tempat duduknya yang ter¬lindung bayangan dinding penyekat terasa sesuatu berdesir di dadanya, sehingga Kiai Gringsing itu mengurungkan niatnya.

Kini jelas ditelinganya ia mendengar sesuatu. Tetapi pasti bukan bunyi desis ular seperti semalam.

“Apalagi yang akan terjadi?” ia bertanya kepada diri sendiri.

Tetapi Kiai Gringsing tidak segera berbuat sesuatu. Ia menunggu saja, apakah kira-kira yang akan terjadi.

Sejenak suara-suara yang mencurigakannya itu terdiam. Yang didengar oleh Kiai Gringsing hanya desah nafas Agung Sedaya dan Swandaru yang masih tertidur nyenyak.

“Tetapi tidak,” Kiai Gringsing berkata di dalam hati, “aku mendengar suara nafas yang lain. Tidak teratur seperti nafas anak-anak muda yang sedang tidur itu.”

Dengan demikian Kiai Gringsing mengetahui, bahwa di luar rumah itu ada seseorang yang sedang mengintip, sehingga orang tua itu sama sekali tidak bergerak dan bahkan nafasnya pun diaturnya baik-baik.

Dalam keheningan malam, di antara desah nafas anak-anak muda yang sedang tidur, dan nafas seseorang yang ada diluar gubug. Kiai Gringsing mendengar suara berbisik, “Mereka sudah tidur.”

Dada Kiai Gringsing menjadi semakin berdebar-debar. Kalau begitu pasti tidak hanya seorang saja yang berada di luar rumah ini. Sedikit-dikitnya pasti dua orang,

“Apakah kita lakukan sekarang?” bisik yang lain.

Sejenak tidak terdengar jawaban, sehingga dada Kiai Gringsing pun menjadi tegang pula. Sebuah pertanyaan melonjak di hatinya, “Apakah yang akan mereka lakukan sekarang?”

Tetapi Kiai Gringsing harus tetap bersabar. Ia harus tetap berada di tempatnya, di bayangan dinding penyekat, supaya ia tidak mengejutkan orang-orang yang berada di luar gubug, sehingga mereka mengurungkan niat mereka.

Yang dilakukan Kiai Gringsing adalah mempersiapkan diri¬nya untuk menghadapi segala kemungkinan, ia dapat meloncat selangkah untuk mencapai ujung amben Agung Sedayu dan Swandaru apabila diperlukan.

Sejenak Kiai Gringsing tidak mendengar sesuatu selain tarikan nafas yang memburu. Agaknya orang-orang yang berada di luar rumah itu pun menjadi gelisah.

“Sekarang,” desis salah seorang dari mereka.

“Ya, sekarang,” jawab yang lain.

Kiai Gringsing menjadi semakin tegang. Apalagi sejenak kemudian ia mendengar gemerisik di depan pintu rumahnya.

“Bunyi apa lagi sekarang?” ia bertanya di dalam hati¬nya.

Tetapi bunyi itu sama sekali berbeda dari bunyi ular yang menyelusur lantai dan berdesis-desis.

Sejenak Kiai Gringsing menunggu. Dibiarkannya saja apa yang akan dilakukan oleh orang-orang di luar rumah itu.

Namun ia menjadi berdebar-debar ketika ia mendengar orang-orang itu bergeser. Kini mereka berada di sudut gubug. Sekali lagi ia mendengar bunyi yang aneh itu. Gemerisik.

Ternyata bunyi itu berpindah-pindah dari satu sudut ke sudut yang lain. Bahkan kemudian di beberapa tempat di seputar rumah itu. Dari sudut ke sudut.

“Cukup?” bertanya salah seorang dari mereka.

“Cukup,” jawab yang lain.

“Jadi, kita mulai saja sekarang.”

Tidak ada jawaban.

Sejenak Kiai Gringsing tidak mendengar sesuatu. Orang-orang itu pun agaknya bergeser menjauh, sehingga desah nafas mereka tidak terdengar lagi.

Kiai Gringsing duduk sambil menahan nafasnya. Ia yakin bahwa sebentar lagi akan terjadi sesuatu. Karena itu, ia tidak berbuat apa pun agar yang akan terjadi itu terjadilah. Ia pun tidak berusaha untuk menangkap keduanya, agar setiap orang masih tetap menganggap mereka sebagai petani-petani miskin yang tidak berarti, sehingga perhatian orang-orang di barak dan para penga¬was tidak berubah. Dengan demikian Kiai Gringsing bermaksud untuk mendapat kesempatan yang agak luas tanpa, prasangka apa-apa.

Tiba-tiba Kiai Gringsing terkejut ketika ia mendengar suara gemericik, tetapi bukan suara air. Dengan serta-merta ia meman¬dang keluar, lewat celah-celah dinding. Sesaat ia tidak melihat bayangan apa pun di luar karena gelap malam. Tetapi sejenak kemudian dadanya berdesir tajam. Bayangan kemerah-merahan telah mewarnai lubang-lubang dinding yang jarang.

“Api,” desisnya. Hampir saja Kiai Gringsing meloncat mengejar orang-orang yang ada di luar gubugnya. Tetapi ia pun segera menahan diri. Apalagi ketika dilihatnya Agung Sedayu dan Swandaru masih tertidur nyenyak.

“Mereka harus segera bangun,” desisnya.

Kiai Gringsing pun kemudian meloncat ke pembaringan. Diguncangnya tubuh kedua muridnya itu sambil berdesis, “Bangun. Rumah ini akan terbakar.”

Agung Sedayu segera meloncat bangkit. Tetapi Swandaru masih menggeliat sambil berdesis, “Apa lagi, Guru?

“Api. Rumah ini sedang terbakar.”

Swandaru pun kemudian bangkit. Tetapi matanya segera terbelalak ketika ia melihat api mulai merayapi pintu.

“Pintu sudah terbakar,” desis Swandaru.

Kiai Gringsing kini mengerti, bahwa agaknya suara gemerisik itu adalah suara batang-batang ilalang, daun-daun rerumputan kering, yang sengaja diletakkan oleh orang-orang yang membakar gubug ini.

“Kita harus segera keluar dari rumah ini,” berkata Kiai Gringsing.

Tetapi ternyata api sudah menjalar hampir di seputar gubug kecil itu.

“Kita sudah dilingkari api,” berkata Swandaru kemudian.

“Belum. Kita masih mempunyai jalan. Mari, cepat. Ikuti aku.”

Kiai Gringsing pun kemudian mengambil ancang-ancang sejenak. Dengan sepenuh kekuatan ia mendorong dinding yang masih baru mulai dijalari api. Tetapi ternyata dinding itu tidak sekuat yang diduganya sehingga, kekuatan Kiai Gringsing jauh melam¬paui kemampuan dinding bambu itu. Dengan demikian Kiai Gringsing justru terdorong oleh kekuatannya sendiri sehingga ia terpelanting beberapa langkah. Karena itu, ia pun segera ber¬guling sekali, lalu dengan sigapnya melenting berdiri.

Meski pun api sudah menjilat hampir segenap bagian dinding gubug itu, Swandaru masih sempat menyambar bungkusan pakai¬an mereka. Sedang Agung Sedayu sempat pula tersenyum meli¬hat gurunya yang hampir kehilangan keseimbangan.

Kedua anak-anak muda itu pun kemudian berloncatan pula di atas api yang mulai membakar dinding yang sudah roboh itu.

“Guru sempat berlatih, bergumul dengan padas,” desis Swandaru yang melihat juga betapa gurunya berguling di tanah.

Kiai Gringsing berdiri bertolak pinggang sambil memandang api yang menjadi semakin besar.

“Aku kira dinding itu masih cukup kuat,” sahutnya, “apalagi aku agak tergesa-gesa juga.”

“Untunglah bahwa rumah ini tidak ikut serta roboh. Jika demikian maka kami yang ada di dalam, justru tidak akan men¬dapat kesempatan lolos lagi, karena timbunan reruntuhan itu akan segera dimakan api,” gumam Swandaru.

“Ah kau,” berkata gurunya, “bukankah kalian bukan cacing-cacing yang mudah sekali menyerah kepada keadaan?”

Swandaru tidak menyahut. Tetapi ia masih juga tersenyum membayangkan bagaimana gurunya jatuh berguling-guling karena kekuatannya sendiri.

Sejenak kemudian mereka bertiga berdiri tegak memancang api yang menjadi semakin besar menelan gubug yang dibuat dari kayu dan bambu itu. Begitu cepatnya, seolah-olah gubug itu meru¬pakan makanan yang sangat lezat bagi api yang melonjak-lonjak menggapai-gapai langit

“Kenapa gubug itu tiba-tiba saja terbakar?” bertanya Agung Sedayu kemudian.

Kiai Gringsing menjadi ragu-ragu sejenak. Dipandanginya saja api yang semakin lama menjadi semakin besar. Sejenak kemudian mereka mendengar gubug itu berderak-derak roboh.

“Ada kesengajaan,” jawab Kiai Gringsing kemudian.

“Darimana Guru mengetahui?”

“Aku mendengar suara orang di luar dan suara rerumputan kering yang ditimbun di muka pintu dan di seputar gubug itu.”

“Dan Guru membiarkan hal itu terjadi?”

Kiai Gringsing menganggukkan kepalanya, “Aku ingin tahu apa saja yang mereka lakukan. Sampai di mana usaha mereka untuk menekankan maksudnya, agar kita meninggalkan tempat ini.”

Kedua muridnya mengangguk-anggukkan kepalanya sambil meman¬dangi api yang menjilat ke udara.

Sejenak ketiganya saling berdiam diri. Wajah-wajah mereka men¬jadi kemerah-merahan tersentuh oleh cahaya api. Titik-titik keringat tampak mengembun di kening dan dahi.

“Tidak ada seorang pun yang datang menjenguk,” desis Swandaru tiba-tiba.

“Tentu tidak,” sahut gurunya, “tidak ada orang yang berani keluar dari barak.”

“Para petugas?”

“Mereka pun tidak berani keluar dari gardu pengawas.”

“Bagaimana kalau terjadi kebakaran hutan di dalam keada¬an begini?”

“Semuanya akan habis menjadi abu. Tetapi itu lebih baik. Kita tidak usah menebang pepohonan lagi.”

“Apakah dapat kita coba?”

Kiai Gringsing menggelengkan kepalanya. Jawabnya, “Tidak. Tidak akan dapat. Hutan ini adalah hutan yang hijau dan lebat. Sulit sekali terjadi kebakaran. Apalagi tanahnya yang lembab mengandung air.”

Agung Sedayu dan Swandaru mengangguk-anggukkan kepalanya. Mereka masih saja memandangi api yang melonjak-lonjak meski pun semakin lama menjadi semakin susut.

“Kita kehilangan gubug yang baru saja kita pergunakan. Kalau tahu, gubug itu akan terbakar, kita tidak usah membersih¬kannya,” gumam Swandaru.

“Kalau saja kita tahu,” sahut Agung Sedayu, “tetapi untunglah bahwa kita tidak tahu apa yang akan terjadi, sehingga dengan demikian kita berbuat sesuatu. Kalau kita tahu apa yang akan terjadi, maka kita tidak akan berbuat apa-apa.”

“Yang kita tahu pasti,” berkata gurunya, “besok matahari akan terbit lagi. Kemudian berjalan mengarungi langit dan tenggelam di sebelah Barat. Tetapi apa yang terjadi selama itu, adalah di luar kemampuan kita untuk mengetahuinya. Bahkan apa yang akan terjadi atas diri kita sendiri.”

Swandaru mengangguk-anggukkan kepalanya. Tetapi ia masih saja memandangi api yang masih menyala. Sekali-sekali masih ter¬dengar derak kayu-kayu yang patah dan bambu yang meledak.

Namun semakin lama api itu pun menjadi semakin susut. Gubug yang terpencil itu, sejenak kemudian telah menjadi se¬onggok bara yang merah, yang perlahan-lahan menjadi semakin suram.

“Apa yang akan kita lakukan sekarang, Guru?” bertanya Swandaru kemudian. “Mencari orang-orang yang membakar gubug kita itu?”

Kiai Gringsing menggelengkan kepalanya, “Tidak. Kita tidak akan dapat mencarinya. Tetapi aku yakin bahwa pada suatu saat kita akan menemukannya.”

Swandaru mengerutkan keningnya yang kemerah-merahan oleh cahaya bara yang sudah hampir padam.

“Tidak seorang pun yang berani keluar dari barak dan dari gardu pengawas,” desis Swandaru kemudian.

“Ya. Mereka telah benar-benar ketakutan. Itulah yang menyulitkan,” sahut gurunya.

“Kita masih dapat mengerti, kalau orang-orang yang di dalam barak itu tidak berani keluar. Mereka takut kepada hantu-hantu, tetapi mereka juga selalu ditakut-takuti oleh orang-orang tertentu seperti kita,” potong Agung Sedayu. “Tetapi seharusnya tidak demi¬kian bagi para pengawas digardu itu.”

“Agaknya mereka sudah terlalu lama berada di tempat ini. Sebaiknya setiap kali para pengawas itu diganti dengan orang-orang baru, sehingga menumbuhkan kesegaran dan kegairahan kerja di sepanjang daerah pembukaan hutan ini.”

Kedua muridnya hanya dapat mengangguk-anggukkan kepalanya.

“Sudahlah. Relakan gubug itu. Gubug itu memang bukan milik kita,” berkata gurunya kemudian. Lalu, “tetapi kita harus bersiap-siap menghadapi orang dari barak itu. Mereka pasti akan menyalahkan kita dengan segala macam dalih dan kemudian ber¬usaha mengusir kita.”

“Darimana Guru tahu?”

“Itulah maksud mereka sebenarnya.”

“Lalu, apakah kita akan pergi?”

“Tentu tidak. Kita akan tetap di sini. Kita akan menge¬tahui lebih lanjut, apakah yang akan terjadi di sini, yang pasti merupakan salah satu gambaran dari daerah-daerah lain di sepanjang jalur perluasan Tanah Mataram ini.”

Kedua murid-muridnya mengangguk-anggukkan kepalanya pula.

“Pada suatu saat kita akan bertemu dengan usaha Raden Sutawijaya yang bergelar Mas Ngabehi Loring Pasar beserta Ki Gede Pemanahan, yang pasti tidak akan tetap tinggal diam menghadapi keadaan serupa ini.”

Kedua muridnya masih saja mengangguk-anggukkan kepalanya.

“Nah, sekarang justru kalian akan dapat tidur. Tidurlah, aku akan menunggui kalian.”

“Tidak Guru,” jawab Agung Sedayu, “kami sudah tidur lebih dari separo malam. Apakah Guru tidak lelah, dan ingin beristirahat?”

Gurunya tersenyum. Katanya, “Lihat, langit sudah men¬jadi kemerah-merahan.

Kedua murid Kiai Gringsing itu mengangkat kepalanya bersama-sama. Mereka pun melihat warna merah yang membayang di langit. Sementara bintang-bintang telah bergeser jauh ke Barat.

Agung Sedayu mengangguk-anggukkan kepalanya sambil berkata, “Tetapi masih ada waktu sedikit, Guru. Kita dapat duduk di bawah pepohonan itu dan melepaskan lelah sejenak.”

Kiai Gringsing tersenyum, “Aku tidak lelah.”

“Dua malam Guru tidak tidur sekejap pun.”

“Baru dua malam. Kita harus dapat menguasai tubuh kita sebaik-baiknya. Tidak hanya dua malam. Dalam keadaan tertentu, kita harus dapat berbuat lebih banyak lagi. Tetapi sudah tentu bahwa kita menyadari, kekuatan tubuh kita pun sangat terbatas. Namun demikian dengan latihan-latihan yang baik, sedikit demi sedikit kita dapat memperlengkapi kemampuan yang sebenarnya memang sudah ada di dalam diri kita.”

Agung Sedayu tidak menyahut. Ditatapnya wajah gurunya yang sudah dipenuhi oleh kerut-merut ketuaannya. Tetapi wajah itu masih tampak segar, sesegar dedaunan yang basah oleh embun. Sementara Swandaru menundukkan kepalanya sambil mengusap dagunya.

“Tetapi, baiklah,” berkata gurunya kemudian, “kita tidak perlu berdiri di sini sampai pagi. Kita dapat duduk di bawah pohon itu sambil menunggu, siapakah orang yang pertama-tama akan datang kemari.”

Ketiganya pun kemudian duduk di bawah sebatang pohon di halaman gubug yang sudah terbakar itu. Sejenak mereka saling berdiam diri. Namun tatapan mereka masih saja melekat pada seonggok abu yang masih mengepulkan asap yang kehitam-hitaman.

Sementara itu, langit menjadi semakin cerah. Dan bayangan cahaya matahari pun menjadi semakin terang, menyentuh mega putih yang bergumpal-gumpal di punggung cakrawala.

Tanpa sesadarnya Agung Sedayu menyelusuri bayangan fajar yang merah. Tanah Mataram memang sudah terbuka, seolah-olah menghadap ke Timur. Sedang di bagian Barat, hutan ma¬sih terbujur seperti dinding raksasa yang membatasi tanah yang sedang tumbuh ini.

Namun angan-angannya justru menerawang semakin jauh. Terbayang di rongga matanya hutan yang meski pun tidak sebesar Mentaok, namun cukup lebat adalah hutan Tambak Baya, yang menurut pendengarannya sudah mulai disentuh pula oleh tangan para pendatang di tanah Mataram ini. Kalau hutan itu kelak terbuka, maka jalur jalan ke Timur menjadi semakin luas. Batas Tanah Mataram akan langsung bersentuhan dengan padukuhan dan kademangan-kademangan yang kini ada di sebelah Timur Hutan Tam¬bak Baya. Desa-desa kecil yang terpisah dari jalur-jalur jalan ramai itu akan mengalami banyak sekali perubahan. Kunjungi kami selanjutnya di adbmcadangan doteordpress dotcom. Cupu Watu, Temu Agal, Bogeman yang mulai ramai dan terletak di sisi Barat Kademangan Prambanan. Jalur ini akan terus merambat ke Timur, lewat hutan-hutan yang tidak begitu garang, dan yang memang su¬dah tertembus oleh jalan-jalan niaga, akan segera sampai ke tlatah padukuhan Benda dan kemudian Kademangan Sangkal Putung.

Agung Sedayu menarik nafas. Tanpa sesadarnya ia berpa¬ling memandang wajah Swandaru yang bulat itu. Terkilas se¬jenak wajah seorang gadis, adik anak muda yang gemuk itu.

Agung Sedayu menarik nafas dalam-dalam. Ia tidak dapat ing¬kar, bahwa ia sebenarnya ingin juga segera meninggalkan hutan ini pergi ke Sangkal Putung.

Namun dalam pada itu, tiba-tiba matanya seakan-akan telah menembus hutan yang hijau kehitam-hitaman, menyeberangi Kali Praga menginjak ke tlatah Menoreh. Tanah Perdikan yang baru saja ditinggalkannya. Tanah Perdikan yang kini sedang ber¬usaha menyembuhkan luka-luka yang telah mencengkamnya selama ini, seperti juga Ki Gede Menoreh berusaha menyembuhkan luka-luka pada dirinya.

Sekali lagi Agung Sedayu berpaling memandangi Swanda¬ru. Dan bahkan terbersit suatu pertanyaan di kepalanya. “Agak¬nya Tanah Perdikan Menoreh masih harus mengalami banyak masalah. Apakah kelak Swandaru akan menjadi Demang di Sangkal Putung sekaligus Kepala Tanah Perdikan Menoreh atas nama Pandan Wangi, apabila mereka benar-benar akan menjadi suami isteri?”

Agung Sedayu yang sedang menerawang di dunia angan-angannya itu, tiba-tiba tersadar ketika Swandaru menggamitnya sambil ber¬kata, “Hem, aku mengantuk lagi.”

“Tidurlah,” hampir tidak sadar Agung Sedayu men¬jawab.

“Tidur? Sekarang ini?”

“O, maksudku, bukan kau sudah tidur separo malam.”

Swandaru tiba-tiba memandang wajah Agung Sedayu dengan tatapan mata yang aneh. Sambil mengangguk-anggukkan kepalanya ia berkata dalam nada yang tinggi, meski pun perlahan-lahan, “He, agaknya kau sedang melamun, Kakang. Nah, apa saja yang kau pikirkan? Tentu bukan hutan yang lebat ini, dan tentu bukan hantu-hantu dan eh, kau tahu bahwa hantu-hantu perempuan, maksudku hantu betina. Mana yang benar, perempuan atau betina, nama¬nya peri. Apakah kau melihat sesosok peri? Peri berbentuk se-orang perempuan yang sangat, sangat cantik. Seperti bidadari dalam pengertian yang bertolak belakang. Bentuknya saja se¬perti bidadari.”

“Kau pernah melihat bidadari?”

Swandaru mengerutkan keningnya. Jawabnya, “Kata orang. Sedang peri itu pun sekedar kata orang.”

“Kau percaya?”

“Tentu, hantu-hantu tidak semuanya laki-laki. Mereka berumah tangga seperti manusia. Bukankah kesimpulan daripada itu, ada juga hantu-hantu perempuan? Hanya hantu yang bertingkat tinggi sajalah yang beristerikan peri. Bukan jerangkong. Kalau jerangkong, isterinya wewe. Tetapi kalau prayangan, itulah yang beristerikan peri.”

Agung Sedayu tidak menjawab. Tetapi masih saja seperti orang yang tidak menyadari dirinya, ia mengangguk-anggukkan ke¬palanya.

Namun ia terkejut ketika tiba-tiba saja Swandaru meraba da¬hinya sambil berdesis, “Eh, tidak panas.”

“Hus,” desis Agung Sedayu sambil menggeliat, “jangan main-main. Lihat, langit sudah terang. Sebentar lagi mereka akan datang.”

Swandaru mengerutkan keningnya. Tetapi ia pun mengang¬kat wajah menatap langit. Meskipun demikian ia masih bertanya kepada Agung Sedayu, “Siapakah yang akan datang? Peri-peri yang cantik itu?”

“Ah,” desah Agung Sedayu sambil berdiri, “orang-orang itu pasti sudah bangun. Mereka akan segera mendengar bahwa ru¬mah kita telah terbakar. Mereka akan beramai-ramai datang kemari. Orang yang kurus dan orang yang tinggi kekar itu pasti akan marah lagi kepada kita.”

Swandaru mengangguk-anggukkan kepalanya. Jawabnya, “Orang itu meskipun bertubuh kekar, hatinya sekecil menir. Demikian ketakutan mencengkam jantungnya, sehingga ia begitu bernafsu untuk mengusir kita.”

“Mungkin tidak begitu,” berkata Kiai Gringsing, “bukan karena ketakutan yang mencengkamnya. Tetapi barang¬kali ia mempunyai maksud-maksud lain.”

“Apakah kira-kira maksud itu, Guru?” bertanya Swandaru sambil berpaling.

“Itulah yang masih harus kita selidiki. Kita ingin menge¬tahui apakah sebenarnya yang dikehendakinya.”

Kedua muridnya mengangguk-anggukkan kepalanya. Dan guru¬nya berkata seterusnya, “Karena itu, kita harus menahan diri. Kecuali apabila kita sudah terpaksa, kita akan menentukan si¬kap sejauh harus kita lakukan. Tetapi pada dasarnya kita akan tetap berada di daerah ini.”

Agung Sedayu mengangguk-anggukkan kepalanya. Ketika ia ke¬mudian menengadahkan wajahnya, dilihatnya langit menjadi semakin cerah.

“Sebentar lagi mereka akan datang,” desisnya.

Sebelum gurunya menyahut, Swandaru berkata, “Para pengawas pun pasti akan datang juga. Agaknya merekalah yang melihat api itu lebih dahulu dari gardunya daripada orang-orang yang ada di dalam barak.”

Agung Sedayu mengerutkan keningnya ketika di dalam keremangan pagi ia melihat seseorang berjalan dengan tergesa-gesa.

“Siapakah itu?” ia bertanya.

Swandaru dan gurunya pun kemudian berdiri. Dipandangi¬nya orang yang semakin lama menjadi semakin dekat.

“Seorang petugas.”

“Ki Wanakerti.”

Sebenarnyalah bahwa orang yang mendekati mereka itu adalah Wanakerti. Dengan suara yang terbata-bata ia berkata, “Syukurlah kalau kalian selamat. Aku cemas, bahwa kami para pengawas hanya akan menemukan abu dari kerangka kalian. Sejak api itu berkobar, hatiku sama sekali tidak tenteram. Ka¬rena itu, aku telah mendahului kawan-kawanku untuk menengok kalian. Ketika aku melihat beberapa sosok tubuh di sini, hatiku menjadi agak tenteram. Ternyata kalian benar-benar masih selamat.”

“Tuhan masih melindungi kami,” berkata Kiai Gringsing.

“Syukurlah. Sebentar lagi beberapa orang petugas yang lain pasti akan datang juga. Mereka pun menjadi cemas, bahwa mereka tidak akan dapat melihat kalian lagi.”

“Ternyata kami masih akan menyambut mereka.”

“Sudah tentu orang-orang di barak itu pun akan datang pula kemari.”

“Ya. Mereka ingin tahu, apa yang sudah terjadi di sini.”

Wanakerti mengangguk-anggukkan kepalanya. Katanya, “Kami berpendapat, bahwa hantu-hantu itu memang benar-benar telah marah ke¬pada kalian, sehingga kalian telah dibakarnya hidup-hidup.”

“Tetapi mereka tidak berhasil.”

Petugas itu mengangguk-anggukkan kepalanya. Tetapi keheran¬an yang sangat telah terbersit di wajahnya. Di dalam hati ia ber¬kata, “Orang-orang ini memang orang-orang aneh.”

Namun dalam pada itu pembicaraan mereka pun terhenti. Di kejauhan tampak bayangan beberapa orang yang berdatangan. Semakin lama menjadi semakin dekat.

Ternyata yang datang adalah beberapa orang dari barak dan beberapa orang petugas.

“Hem, kalian memang orang-orang yang bernasib baik,” ber¬kata salah seorang petugas. “Kami sudah menyangka, bahwa ka¬lian telah menjadi abu.”

“Seperti yang Tuan lihat,” jawab Kiai Gringsing.

“Jangan sombong,” orang yang tinggi kekar itu menyahut, “kali ini kalian bernasib baik. Tetapi besok, lusa, kalian akan mengalami perlakuan yang sangat mengerikan.”

“Seperti yang sudah aku katakan kepada Ki Wanakerti. Tuhan selalu melindungi kami,” berkata Kiai Gringsing.

“Tetapi lain kali kau tidak akan dapat lolos. Dan kami pun tidak dapat memberi kesempatan hal itu terjadi. Sebab kemungkinan yang paling besar, lain kali barak kami itulah yang akan menjadi sasaran kemarahan hantu-hantu itu.”

“Ki Sanak,” berkata Kiai Gringsing, “kami sudah melepaskan diri dari kalian. Tidak ada sangkut pautnya lagi. Biar¬lah kemarahan itu menimpa diri kami.”

“Gila. Sudah aku katakan. Tidak mungkin. Tidak mung¬kin.”

“Kami sudah siap seandainya kami harus mengalami per¬lakuan yang sangat mengerikan seperti apapun. Kami yakin bahwa Tuhan masih melindungi kami. Itu adalah pendapat kami yang sebenarnya. Kiai Damar, hantu dari Gunung Merapi yang bernama Kiai Dandang Wesi dan siapa pun lagi, adalah lantaran-lantaran yang dapat saja dipergunakan oleh Tuhan untuk menye¬lamatkan kami. Tetapi adalah menjadi pegangan kami yang se¬benarnya, bahwa kehendak Tuhan-lah yang akan berlaku. Bukan kehendak hantu-hantu yang manapun juga. Betapa hantu-hantu itu men¬jadi marah kepada kami, tetapi selama Tuhan tidak membiarkan kami menjadi korbannya, tidak ada suatu pun yang dapat dila¬kukannya atas kami di sini.”

“Persetan,” teriak orang yang tinggi kekar itu, “kalian telah menghasut kami dan membiarkan kami menjadi korban. Kalian memang benar-benar pengkhianat yang harus dimusnah¬kan. Dengar, bahwa kami pun dapat memusnahkan kalian sekarang juga. Sekarang.”

Kiai Gringsing tidak segera menjawab. Ditatapnya saja wajah orang yang tinggi kekar itu. Wajah yang menjadi kemerah-merahan oleh perasaannya yang meledak-ledak.

Sekali lagi Kiai Gringsing harus menggamit Swandaru yang menjadi gelisah.

“Tidak ada maaf lagi bagi kalian sekarang,” berkata orang yang tinggi kekar itu. “Kami sudah terlampau banyak memberi kesempatan. Tetapi setiap kali kalian seolah-olah telah menghinakan kami.”

“Sama sekali tidak,” jawab Kiai Gringsing.

“Semuanya telah terbukti. Mula-mula hanya anakmu sajalah yang telah dikutuk oleh hantu-hantu itu sehingga menjadi sakit dan bahkan hampir mati. Kemudian barak kami telah dilempari de¬ngan batu. Sekarang salah satu gubug kami telah terbakar. Ma¬ka besok atau lusa, barak kamilah yang akan terbakar habis. Nah, jika demikian, maka kami semuanya akan menderita. Usaha ka¬mi selama ini akan sia-sia.”

“Itu tidak mungkin. Barak kalian tidak akan terbakar. Biarlah hantu-hantu itu datang kepada kami. Kami akan memberi me¬reka penjelasan.”

“Omang kosong. Semuanya omong kosong,” berkata orang yang tinggi kekar itu. “Kami sudah mengambil keputusan, bahwa kalian memang harus pergi dari sini. Sekarang tidak akan dapat kau tunda lagi. Tidak akan ada alasan apa pun yang dapat kalian kemukakan.”

“Tunggu,” sahut Kai Gringsing, “aku masih mem¬punyai masalah yang dapat aku katakan kepada kalian.”

“Tidak. Kau tidak mendapat kesempatan apa pun. Pagi ini kalian harus pergi dari tempat ini. Selama ini kalian tidak bermanfaat apa pun bagi kami, justru kalian telah membuat kami semakin tidak tenteram. Karena itu, kalian hanya dapat per¬gi. Pergi. Bawalah semua yang kalian punyai di sini. Kalian tidak akan dapat kembali lagi.”

“Ki Sanak,” berkata Kiai Gringsing kemudian, “siapa¬kah yang sebenarnya berkuasa dan berhak mengatur tata tertib di sini. Kau atau para petugas yang resmi di tempatkan di sini?”

“Akulah yang berkuasa,” berkata orang yang tinggi ke¬kar itu.

“O, tentu tidak. Kau pendatang seperti kami.”

“Jangan kau bantah lagi. Akulah yang di dalam kenyata¬annya berkuasa di sini. Ayo, bertanyalah kepada para petugas. Di sini ada beberapa orang petugas. Mereka tidak akan berani berbuat apa-apa terhadap aku.”

Kiai Gringsing tidak segera menjawab. Dipandanginya saja orang yang tinggi kekar itu. Namun sebagai seorang yang memiliki pengalaman dan pengetahuan yang cukup, ia memang me¬lihat sesuatu pada orang yang tinggi kekar itu.

“Kesempatan terakhir buat kalian adalah minta diri. Ayo, berpamitanlah kepada kawan-kawan dan sahabat-sahabatmu di sini, serta ke¬pada para petugas.”

Kiai Gringsing tidak segera menyahut, ia masih tetap ber¬diri termangu-mangu di tempatnya.

“Cepat, sebelum kami kehabisan kesabaran,” berkata orang yang tinggi kekar itu.

Selagi Kiai Gringsing masih termangu-mangu, maka seseorang telah maju mendekatinya. Katanya, “Sebenarnya kami merasa sayang juga kehilangan kalian. Tetapi apa boleh buat. Memang sebaiknya kalian pergi meninggalkan tempat ini.”

“Kenapa?” bertanya Kiai Gringsing.

“Setidak-tidaknya kau tidak akan menimbulkan keributan. Kau tidak akan mengalami nasib yang buruk seperti yang pernah terjadi. Seseorang yang tidak menjadi sakit karena hantu-hantu, te¬tapi justru karena ia keras kepala, sehingga terpaksa diusir dengan kekerasan. Apalagi orang itu mencoba melawan. Maka akhirnya ia menjadi kecewa dan menyesal. Ia mengalami luka-luka dan harus meninggalkan tempat ini pula.”

“Siapakah yang melukainya?”

“Orang ini juga. Ia selalu mencoba menyelamatkan barak kami seisinya dengan menyingkirkan orang-orang yang mungkin akan mendatangkan bencana bagi kami.”

Kiai Gringsing mengangguk-anggukkan kepalanya. Tetapi ja¬wabnya sangat mengejutkan, “Maaf, Ki Sanak. Kami sudah bertekad untuk tetap tinggal di sini. Selama para petugas tidak mengusir kami, kami tidak akan pergi. Bahkan seandainya hak kami dicabut sekalipun oleh para petugas, kami akan menghadap langsung kepada Ki Gede Pemanahan atau puteranya Mas Ngabehi Loring Pasar, karena kami merasa berhak ikut serta membuka hutan ini.”

“Kami tidak berbicara tentang hak,” potong orang yang tinggi kekar itu, “tetapi kami ingin menyelamatkan diri kami.”

“Sudahlah,” berkata orang yang kekurus-kurusan, “ting¬galkan tempat ini selagi kalian masih sehat.”

“Ya,” berkata orang yang lain. “Lebih baik kalian pergi. Pergilah ke pedukuhan yang telah menjadi ramai di pusat Tanah Mataram. Kalian akan menemukan lapangan yang cukup untuk mencari sesuap nasi.”

“Ya, pergilah, pergilah,” yang lain lagi berkata, “untuk kebaikanmu sendiri.”

Tetapi Kiai Gringsing masih tetap membungkam. Kening¬nya menjadi semakin berkerut-merut.

“He, apakah kalian menunggu kesabaranku habis?” teriak orang yang tinggi kekar itu.

Kiai Gringsing memandang wajah para petugas yang di¬liputi oleh keragu-raguan. Mereka berdiri saja mematung tanpa da¬pat berbuat apa pun juga, sehingga Kiai Gringsing bertanya kepada mereka, “Bagaimana Tuan? Apakah aku memang sudah boleh tinggal di sini?”

Sebelum para petugas itu dapat menjawab, orang yang ting¬gi itu mendahului, “Tidak ada kesempatan lagi. Pergi, seka¬rang ini juga. Kalau kalian masih juga berbicara, maka mulut kalian akan aku sobek.”

Mata orang itu terbelalak ketika ia melihat Swandaru mem¬buka mulutnya. Bahkan terlalu lebar. Hampir saja ia meloncat menampar pipinya yang gembung itu. Tetapi niat itu diurungkannya, karena ternyata Swandaru hanya menguap.

Namun wajah orang yang tinggi kekar itu menjadi merah padam, ketika ia mendengar Swandaru berdesis, “Aku jadi mengantuk sekali.”

Orang yang tinggi kekar itu benar-benar merasa terhina. Ka¬rena itu ia menjadi gemetar. Tetapi ketika ia melangkah maju, beberapa orang mencoba mencegahnya, “Sudahlah. Biarlah me¬reka pergi.”

Salah seorang telah mendekati Kiai Gringsing sambil ber¬bisik, “Sudahlah. Tinggalkan tempat yang sama sekali tidak memberikan harapan apa pun ini. Mungkin besok atau lusa, da¬tang giliranku untuk meninggalkan tempat ini.”

“Maaf,” Kiai Gringsing menggeleng, “aku tetap ting¬gal di sini.”

Wajah orang itu menjadi tegang. Namun kemudian ia ber¬kata, “Terserahlah kepadamu. Kami sudah mencoba mencegah keributan dan mencoba memberimu peringatan. Tetapi kalau kau tetap keras kepala, kami tidak dapat berbuat apa-apa apabila sesuatu terjadi atas kalian. Para petugas itu pun tidak.”

Kiai Gringsing tidak beranjak dari tempatnya. Bahkan kemudian ia berpaling kepada kedua muridnya. Ketika ia me¬ngangguk kecil, seperti berebutan Agung Sedayu dan Swandaru berloncatan maju.

“Biarlah Swandaru menguap lagi,” berkata Kiai Gringsing.

Sikap ketiganya sama sekali tidak dimengerti oleh orang-orang yang berdiri di seputar mereka. Sejenak mereka berdiri mematung, sementara cahaya matahari telah mulai menyentuh ujung de¬daunan.

“Matahari telah naik,” Kiai Gringsing justru berkata, “kenapa kalian tidak mempersiapkan diri untuk pergi bekerja?”

“Gila, gila!” orang yang tinggi kekar itu berteriak. “Memang kalian ingin mengalaminya. Minggir! Minggir!”

Wajah-wajah di sekitar orang yang tinggi kekar itu menjadi te¬gang. Mereka kini tidak akan dapat mencegahnya lagi. Sebagi¬an dari mereka telah menjadi gelisah. Tetapi sebagian yang lain berkata di dalam hatinya, “Terserahlah. Kami sudah mencoba memperingatkannya. Tetapi mereka benar-benar orang-orang yang keras kepala.”

Dan orang yang berdiri termangu-mangu itu pun kemudian me¬nyibak, seolah-olah membuat suatu lingkaran di sekeliling orang yang tinggi kekar yang kini berdiri berhadapan dengan Kiai Gringsing itu.

Sementara itu, orang yang kekurus-kurusan itu pun maju selang¬kah sambil berkata, “Kalian telah menyia-nyiakan maksud baik kami. Sekarang, kalian akan mengalaminya. Kalian akan menye¬sal karenanya. Tetapi penyesalan itu tidak akan banyak berarti. Nanti, setelah kalian pingsan, kalian akan dilempar ke pinggir hutan. Terserahlah akan nasib kalian. Apakah kalian akan mati ditelan harimau, atau sama sekali disendal mayang oleh hantu-hantu, itu bukan urusan kami lagi.”

“Apakah hal itu dapat dibenarkan oleh tata tertib kehidupan beradab di Mataram?” bertanya Kiai Gringsing.

Ternyata pertanyaan itu telah membuat orang yang kekurus-kurusan itu menjadi ragu-ragu sejenak, sedang Kiai Gringsing berkata terus, “Kalian telah melakukan pelanggaran tata tertib kehidupan yang beradab bagi Mataram. Kalau hal itu kalian lakukan, maka saksi-saksi akan berbicara. Atau Mataram memang tidak mempunyai hukum sama sekali, sehingga setiap orang ber¬hak berbuat sekehendak hatinya? Apakah di sini kekuatan akan berarti kekuasaan?”

Orang yang kurus itu masih termangu-mangu, sementara para petugas mengerutkan keningnya.

Tetapi orang yang tinggi kekar itu agaknya sama sekali sudah tidak dapat menguasai kemarahannya. Selangkah demi se¬langkah ia maju. Bahkan ia pun kemudian berteriak, “Ayo. Kalau kalian akan melawan, lawanlah bertiga. Kalau tidak, siapa yang lebih dahulu aku pukuli sampai pingsan?”

Benar-benar di luar dugaan bahwa Swandaru tertawa karenanya. Pertanyaan itu adalah pertanyaan yang sangat menggelikan ba¬ginya.

Agung Sedayu yang berdiri di sampingnya menggamitnya. Tetapi ia pun telah tersenyum pula.

“Aku tidak dapat menahan hati lagi,” berkata Swandaru sambil maju selangkah. Agaknya gurunya memang telah memberi kesempatan kepadanya. “Pertanyaanmu lucu sekali. Siapa yang dengan suka rela bersedia dipukuli sampai pingsan? Kau barangkali.”

Wajah orang yang tinggi kekar itu menegang sejenak. Seperti orang-orang lain, ia tidak menyangka sama sekali, bahwa anak yang baru saja sembuh itu, dengan beraninya maju men¬dekatinya selagi ia marah bukan kepalang.

Namun dengan demikian, orang itu justru membeku se¬jenak di tempatnya, seolah-olah ia tidak percaya atas penglihatan¬nya.

“He, kenapa kau justru mematung?” bertanya Swandaru yang tidak lagi berusaha mengekang kata-katanya. “Sebenarnya aku harus mengucapkan terima kasih, karena kau telah memberi air selagi aku kehausan. Kau ingat? Air apakah yang kau berikan kepadaku itu?” Swandaru berhenti sejenak. Ditatapnya orang yang tinggi kekar dan orang yang kekurus-kurusan itu berganti-ganti. “He, kau ingat kepada air itu? Sayang, air itu tidak berhasil membunuhku. Kemudian, apakah kau dapat meyakinkan kami tentang ceritera ular Gundala Seta dan Gundala Wereng justru ceritera itu bersamaan dengan serangan beberapa ekor ular di dalam gubug kami? Dan yang terakhir ceritera tentang gubug kami yang terbakar yang kau katakan, dibakar oleh hantu-hantu?”

Orang yang tinggi kekar itu tidak dapat menahan hati lagi. Dengan serta-merta ia meloncat maju sambil mengayunkan te¬lapak tangannya ke pipi Swandaru yang gembung itu, meskipun sudah agak susut.

Swandaru sama sekali tidak bergeser. Ia hanya menarik kepalanya sambil berpaling.

Orang-orang yang menyaksikan peristiwa itu, seakan-akan membeku karenanya. Darah mereka serasa berhenti dan wajah-wajah mereka menjadi pucat. Orang yang tinggi kekar itu adalah orang yang mempunyai kekuatan yang luar biasa. Mereka pernah melihat bagaimana ia kehilangan kesabaran, karena seseorang yang tidak mau menuruti nasehatnya.

Kini hal itu terulang lagi. Meskipun orang tua itu mem¬punyai dua orang anak yang masih muda, dan yang mungkin memiliki keberanian pula untuk berkelahi, tetapi melawan orang yang tinggi kekar itu sama sekali pasti tidak akan berarti.

Tetapi kini mereka melihat anak yang gemuk itu tanpa membayangkan kecemasan dan ketakutan sama sekali telah ber¬diri menghadapinya.

Apalagi, ketika mereka melihat tangan orang yang tinggi kekar itu terayun di depan wajah Swandaru, hampir menyentuh pipinya. Tetapi tangan itu sama sekali tidak menyinggungnya, meskipun Swandaru masih tetap berdiri di tempatnya.

Orang-orang yang menyaksikan hal itu menjadi heran. Mereka hampir tidak melihat bagaimana Swandaru menghindar. Dan mereka menganggap bahwa orang yang tinggi kekar itu telah bergerak begitu cepatnya.

Orang yang tinggi kekar, yang merasa tangannya sama se¬kali tidak menyinggung sasarannya, menjadi semakin marah. Hal itu tidak pernah terjadi atasnya. Ia pernah memukul seorang anak muda di dalam lingkungan para pendatang yang mencoba melawan kehendaknya. Bahkan ia pernah berkelahi melawan sekelompok pendatang yang merasa dirugikan oleh tindakan-tindakannya. Dan ia pun pernah menghajar seseorang yang tidak mau diusir dari daerah pembukaan hutan ini, sehingga orang itu men¬jadi pingsan.

Dan kini anak muda yang gemuk itu, yang pernah hampir mati karena sakit dan bisa itu, dengan begitu saja telah berhasil menghindari tangannya.

Karena itu sejenak ia berdiri mematung. Ditatapnya wajah Swandaru sejenak. Tetapi kemarahan di dadanya serasa menja¬di semakin menyala, karena Swandaru justru tersenyum kepada¬nya sambil berkata, “Kau memang terlampau kasar. Apakah, kau benar-benar tidak mau berbicara lagi?”

Orang itu tidak menjawab. Kini ia telah bersiap untuk dengan bersungguh-sungguh berkelahi melawan Swandaru. Karena menurut dugaannya, Swandaru sedikit atau banyak, pasti mam¬pu pula berkelahi, ternyata dengan caranya menghindari tangannya.

Swandaru melihat sikap orang yang tinggi kekar itu dengan dada yang berdebar-debar. Kemudian perlahan-lahan ia mengangguk-anggukkan kepalanya, Swandaru pun menduga, orang ini memang se¬orang yang pantas ditakuti di daerah pembukaan hutan ini, bah¬kan para petugas yang bersenjata pun tidak dapat berbuat apa-apa atasnya.

Sejenak kemudian, keduanya telah bersiap untuk mengha¬dapi setiap kemungkinan. Orang-orang yang berdiri mengitari mereka pun semakin menyibak pula. Mereka menduga bahwa akan terjadi suatu perkelahian. Tetapi dalam pada itu mereka me¬naruh belas yang semakin mendalam kepada Swandaru yang sombong itu. Kalau orang yang tinggi kekar itu tidak lagi dapat menahan diri, maka kemungkinan yang paling buruk dapat ter¬jadi atas Swandaru. Bukan saja ia akan menjadi pingsan, tetapi barangkali lebih daripada itu. Apalagi kalau saudara laki-lakinya dan ayahnya itu ikut membantu pula. Maka akibatnya akan menyedihkan sekali.

Swandaru yang sudah bersiap pula menghadapi orang yang tinggi kekar itu tidak mau bermain-main lagi. Ia tidak tahu, sampai berapa jauh kemampuan lawannya. Kalau orang itu tidak ber¬hasil memukul pipinya, itu bukannya suatu ukuran, karena hal itu dilakukannya sambil lalu saja, dan tanpa memperhitungkan kemungkinan bahwa lawannya akan menghindar.

Sejenak kemudian, ketegangan pun memuncak ketika orang yang tinggi itu mulai menyerang. Dengan kecepatan yang luar biasa ia meloncat langsung menyerang Swandaru, dengan kakinya yang mendatar, sedang tubuhnya yang miring agak me¬rendah pada lutut kakinya yang lain.

Namun Swandaru pun telah bersiap menghadapinya. De¬ngan tangkasnya pula ia menarik sebelah kakinya. Ketika kaki lawannya meluncur di sisinya, dengan cepat ia mendorong kaki itu ke depan. Namun lawannya pun lincah pula. Begitu kakinya yang terlempar itu menjejak tanah, maka ia pun segera berputar dengan sebuah serangan kaki mendatar.

Swandaru terpaksa meloncat surut. Tetapi segera ia ber¬siap untuk menyerang lawannya yang masih terputar setengah lingkar. Begitu lawannya itu berhenti berputar, Swandaru me¬loncat maju. Tangannya yang kuat langsung menjulur ke arah pundak kanan. Tetapi orang itu masih sempat menggeliat. Sambil memiringkan tubuhnya ia menangkis pukulan Swandaru itu. Ia terlampau percaya akan kekuatannya, sehingga ia yakin, bahwa anak yang gemuk itu pasti akan terpental oleh kekuatan¬nya sendiri.

Tetapi Swandaru ternyata telah mempergunakan sebagian besar dari kekuatannya, karena ia belum tahu betapa besar ke¬kuatan lawannya. Karena itu sentuhan pukulan Swandaru de¬ngan lengan orang yang tinggi kekar, yang menangkis serangan¬nya itu, merupakan suatu benturan dua kekuatan yang besar. Swandaru tergetar selangkah surut. Namun ia segera tegak di atas kedua kakinya yang renggang, sedikit merendah di atas lututnya. Satu tangannya bersilang di muka dadanya, sedang tangannya yang lain terjulur lurus ke depan. Telapak tangannya terbuka, dan keempat jari-jarinya merapat, sedang ibu jarinya se¬dikit merenggang di hadapan telapak tangannya. Suatu sikap dalam unsur gerak Naga Rangsang.

Dalam pada itu, setiap dada serasa berhenti berdetak ke¬tika mereka melihat akibat yang terjadi atas seorang yang tinggi kekar itu.

Tanpa diduga sama sekali oleh setiap orang, maka orang yang tinggi kekar itu ternyata telah terlempar tiga langkah. Hampir saja ia kehilangan keseimbangannya. Hanya dengan susah payah ia masih dapat tetap bertahan berdiri di atas kedua kakinya.

Karena itu, orang yang tinggi kekar itu tidak akan sempat untuk berbuat sesuatu, apabila Swandaru langsung menyerang¬nya. Sikap Naga Rangsang itu sangat berbahaya baginya. Setiap saat Swandaru dapat meloncat dan kedua tangannya mematuk seperti seekor naga dari arah yang berbeda. Jari-jari tangannya yang merapat, adalah senjata dari unsur gerak itu yang sangat berbahaya. Jari-jari tangan Swandaru yang terlatih baik itu, akan mampu mencengkam daging lawannya. Apalagi apabila daya tahan lawannya tidak memadai.

Tetapi ketika Swandaru melihat akibat benturan itu, ia tidak segera menyerang. Bahkan ia sempat berpaling memandang gurunya yang berdiri di luar arena.

Swandaru masih melihat gurunya menggelengkan kepala¬nya. Karena itu, maka sikapnya pun mengendor pula. Tangannya kini tidak lagi terjulur lurus ke depan. Kakinya tidak lagi me¬renggang dan merendah pada lututnya, meskipun satu tangannya masih bersilang di depan dadanya.

Benturan itu dapat memberinya petunjuk, bahwa lawan¬nya bukanlah seseorang yang memiliki kemampuan luar biasa. Ia adalah seseorang yang kuat dan berilmu. Tetapi bukan orang yang tidak terkalahkan.

Meskipun benturan itu belum berarti penentuan akhir dari perkelahian itu, tetapi setidak-tidaknya Swandaru telah mempunyai sedikit gambaran tentang lawannya.

Karena itulah, maka ketika lawannya sedang memperbaiki keadaannya, maka Swandaru melangkah seenaknya mendekati¬nya, meskipun sebenarnya ia tidak kehilangan kewaspadaan. Tangan kirinya masih tetap bersilang di muka dadanya, tetapi tangan kanannya melenggang di sisi tubuhnya.

“Luar biasa,” ia berdesis.

Wajah orang yang tinggi kekar itu menjadi merah padam. Ia pun mengerti pula, bahwa Swandaru kini dapat menilai ke¬mampuannya. Namun demikian orang yang tinggi kekar itu tidak segera menyerah kepada keadaan. Benturan itu memang bukan penentuan. Karena itu, ia pun segera mempersiapkan diri. Namun sikap Swandaru kemudian justru sangat menyakitkan hatinya. Anak yang gemuk itu berjalan seperti ayam aduan menghadapi lawannya yang sudah terikat kedua belah kakinya.

“Setan alas!” orang yang tinggi itu mengumpat.

“Jangan menyebut nama itu. Kalau ada hantu yang men¬dengar, ia akan marah. Bukankah di sini banyak hantu?” ber¬kata Swandaru. “Sebutlah yang lain, jangan setan alas. Apalagi Alas Mentaok. Sebutlah setan gunung atau setan jurang atau setan apa pun.”

Kemarahan orang itu benar-benar serasa meledakkan dadanya. Karena itu ia tidak menyahut lagi. Dengan serta-merta ia me¬loncat menyerang Swandaru. Kali ini ia telah mengerahkan se¬genap kemampuan yang ada padanya.

Swandaru yang sebenarnya sama sekali tidak kehilangan kewaspadaan, segera menghindar. Tangan orang yang tinggi kekar itu terjulur di samping dadanya. Dengan serta-merta Swandaru memutar tubuhnya sambil menangkap tangan itu. Dengan sekuat tenaga Swandaru menarik tangan orang itu le¬wat di atas pundak, sedang tubuhnya merendah di atas lututnya, membelakangi lawannya.

Orang itu tidak sempat berbuat apa-apa lagi. Terdorong oleh kekuatannya sendiri, ditarik pula oleh kekuatan Swandaru, ma¬ka orang yang tinggi bertubuh kekar itu terpelanting lewat di atas kepala Swandaru. Setelah sekali ia terputar di udara, maka ia pun kemudian terlempar dan jatuh terbanting di tanah.

Setiap mulut hampir saja berteriak melihat hal itu. Tetapi setiap mulut itu pun tertahan oleh bibir yang terkatup rapat. Bahkan ada di antara mereka yang menutup mulutnya dengan telapak tangannya.

Bukan saja orang-orang yang tinggal di dalam barak, tetapi para pengawas pun menjadi sangat kagum melihat cara Swandaru menguasai lawannya yang lebih tinggi dan besar daripadanya. Apalagi melihat tubuh Swandaru yang gemuk itu, mereka menjadi terheran-heran melihat kelincahannya.

Sejenak orang yang tinggi kekar yang masih terbaring di tanah itu menggeliat. Mulutnya menyeringai menahan sakit. Tangannya ditekankan pada lambungnya yang agaknya men¬jadi sangat sakit.

Sejenak orang itu tidak segera mampu berdiri. Perlahan-lahan ia berusaha duduk. Meskipun, matanya menjadi merah oleh ke¬marahan yang memuncak, tetapi ia benar-benar tidak segera dapat bangun.

“Anak iblis!” ia mengumpat.

Swandaru masih berdiri di tempatnya. Ditatapnya saja wa¬jah orang itu. Wajah yang menjadi semakin tegang.

Namun dalam pada itu, perhatian setiap orang kini berpin¬dah. Tiba-tiba saja orang yang kekurus-kurusan melangkahi mendekati orang yang tinggi kekar, yang masih saja duduk di tanah.

“Berdirilah,” katanya.

Orang itu tidak menjawab. Tetapi ia tidak segera berdiri.

“Marilah, aku tolong,” berkata orang yang kurus itu.

Maka orang yang tinggi kekar itu pun dibantunya berdiri. Meskipun dengan susah payah, akhirnya ia dapat tegak di atas kedua kakinya.

“Apakah kau masih mampu berkelahi?” orang yang kekurus-kurusan itu bertanya.

Sekali orang yang tinggi itu menggeliat. Namun ia tidak segera menjawab.

“Apakah kau masih mampu berkelahi?” orang yang kekurus-kurusan itu bertanya lagi. Lalu, “Inilah kebodohan kita. Orang-orang ini adalah orang-orang yang dengan sengaja ingin membuat kisruh di tempat ini. Mereka memang bukan orang kebanyakan. Anak yang gemuk ini telah mampu membantingmu. Agaknya kau menganggapnya terlampau rendah. Sekarang, hati-hatilah. Bersungguh-sungguhlah. Kalau perlu, kau dapat mempergunakan senjatamu. Aku akan mengawasi ayah dan kakaknya. Mereka pun bukan orang-orang kebanyakan.”

Orang yang tinggi kekar itu menjadi ragu-ragu. Tanpa sesa¬darnya ia meraba ikat pinggangnya yang besar.

Swandaru berdiri membeku di tempatnya. Demikian juga Agung Sedayu dan Kiai Gringsing. Mereka memang melihat hu¬bungan dari keduanya. Tetapi kini semakin ternyata bahwa keduanya memang bukan orang lain. Keduanya pasti mempunyai ikatan lebih dari kawan di dalam pembukaan hutan ini.

Namun yang mengherankan, agaknya orang yang kekurus-kurusan itulah yang mempunyai pengaruh yang lebih besar dari¬pada orang yang tinggi kekar, sehingga seandainya benar-benar me¬reka mempunyai ikatan tertentu, maka orang yang kekurus-kurusan itu pasti mempunyai kedudukan selapis lebih tinggi.

Dalam pada itu, wajah Swandaru, Agung Sedayu, dan Kiai Gringsing menegang, ketika mereka melihat orang yang tinggi kekar itu tiba-tiba mencabut sepasang pisau di kedua tangannya.

“Nah, tidak ada salahnya kalau kau mempergunakannya,” berkata orang yang kekurus-kurusan itu. “Bahkan kalau terpaksa orang-orang itu mati, sama sekali bukan salah kita. Mereka telah melawan ketentuan yang ada di sini.”

“Tunggu,” sela Kiai Gringsing, “siapakah yang berhak mengawasi daerah ini? Kalau ada pelanggaran atau perlawanan terhadap peraturan yang berlaku, siapakah yang berhak ber¬tindak?”

“Persetan,” desis orang yang kekurus-kurusan, “kami akan berjasa kalau kami dapat membantu melakukan tugas para pe¬ngawas.”

“Demikian juga kami,” tiba-tiba saja Swandaru menyahut.

Orang yang kekurus-kurusan, orang yang tinggi kekar, dan orang-orang yang ada di sekitar arena itu pun menjadi heran.

“Kami juga merasa membantu para petugas, apabila kami dapat membuat kalian jera. Kalian adalah orang-orang yang sama sekali tidak menghargai orang lain, termasuk para petugas yang ada di sini. Justru kalian menganggap beberapa petugas yang ada itu sama sekali tidak mampu berbuat apa-apa, sehingga kalian perlu membantu mereka.”

“Diam!” teriak orang yang kekurus-kurusan.

Suara teriakannya telah mengejutkan setiap orang yang men¬dengarnya. Suara itu keras, lantang dan berat, sehingga sama sekali berbeda dengan sifat-sifat yang setiap kali dilihat oleh orang-orang di dalam barak itu. Orang yang kekurus-kurusan itu sering menggigil ketakutan apabila ia melihat sesuatu, bahkan kesannya ia ada¬lah seorang penakut yang cengeng. Tetapi kini tiba-tiba saja ia menjadi sangat garang dan kasar.

“Jangan biarkan ia berbicara lagi. Bunuhlah kalau kau terpaksa melakukannya. Kau dan kita semua, tidak akan dihu¬kum oleh siapa pun.”

Orang yang bertubuh kekar itu mengerutkan keningnya. Tiba-tiba matanya menjadi liar dan kemerah-merahan, sedang kedua pisau di tangannya menjadi gemetar.

Sekilas Swandaru memandang mata pisau yang bergetar itu. Dadanya menjadi berdebar-debar ketika tampak olehnya bahwa daun pisau itu berwarna hitam kemerah-merahan. Sama sekali tidak putih mengkilap seperti sebilah pedang.

Gurunya melihat pula warna itu, sekaligus melihat ke¬raguan Swandaru. Karena itu, maka ia pun kemudian berkata, “Hati-hatilah atas sepasang pisau itu.”

Orang yang kekurus-kurusan dan orang yang tinggi kekar itu pun berpaling kepadanya, sementara Kiai Gringsing berkata te¬rus, “Pisau itu berbahaya bagimu. Setiap goresan di kulitmu, akibatnya akan sangat berbahaya bagimu. Ingat, orang-orang itu ada¬lah orang-orang yang senang sekali bermain-main dengan racun. Demikian juga pisau itu. Pisau itu tidak sekedar diberi warangan biasa, tetapi warangan yang mengandung racun yang paling tajam.”

“Persetan dengan igauanmu,” potong orang yang kekurus-kurusan.

“Tetapi jangan takut,” berkata Kiai Gringsang pula, “kau adalah orang yang kebal, setidak-tidaknya telah dibekali dengan berbagai macam obat untuk melawan racun. Berapa kali kau hampir mati karena racun. Tetapi kau masih tetap hidup sampai sekarang.”

Tetapi suara Kiai Gringsing terputus ketika orang yang kekurus-kurusan itu berteriak, “Jangan hiraukan kicau orang tua itu. Cepat, lakukanlah tugas ini sebaik-baiknya.”

Orang yang tinggi kekar itu memang tidak menunggu lagi. Perlahan-lahan ia maju mendekati Swandaru. Meskipun tenaganya kini sudah jauh berkurang, namun sepasang pisau itu benar-benar telah mendebarkan jantung.

Pisau yang beracun itu seakan-akan terayun-ayun di tangan orang yang tinggi itu. Sekali-sekali berputar dan sekali-sekali terjulur lurus ke depan.

“Gila,” berkata Swandaru di dalam hatinya. “Untunglah, bahwa tenaganya sudah hampir habis. Nafasnya pun agaknya sudah hampir putus. Kalau aku dapat menghindar terus-menerus, tanpa perlawanan apa pun, ia pasti akan berhenti dengan sendiri¬nya, kehabisan nafas.”

Demikianlah, maka sejenak kemudian orang itu pun sudah mulai menyerang. Meskipun geraknya tidak lagi terlampau ce¬pat, tetapi kini ia memusatkan serangannya pada ujung pisau¬nya.

Swandaru merasa, bahwa ia harus benar-benar berhati-hati. Menurut gurunya, racun itu adalah racun yang sangat kuat. Sehingga karena itu, maka ia pun selalu menghindari serangan-serangan yang se¬gera datang beruntun.

Dengan ragu-ragu Swandaru mencari kesempatan untuk menye¬rang. Tetapi sepasang pisau itu benar-benar sangat berbahaya. Se¬kali ia memang melihat pertahanan orang itu terbuka. Namun ternyata Swandaru cukup waspada juga karena ia melihat jebakan-jebakan yang akan menyeretnya untuk berpelukan dengan maut.

Dalam pada itu, ternyata untuk beberapa saat Swandaru sama sekali tidak berdaya menghadapi kedua pisau beracun itu. Ia sama sekali tidak mau tergores meskipun hanya seujung ram¬but. Dengan demikian, maka ia hanya dapat berloncatan mundur dan berputar di arena perkelahian itu tanpa mendapat kesempatan sama sekali untuk menyerang.

“Selesaikan saja anak itu,” berkata orang yang kekurus-kurusan.

Tetapi seperti yang diperhitungkan oleh Swandaru, maka orang itu pun sudah menjadi semakin lelah. Nafasnya menjadi terengah-engah dan keringatnya sudah membasahi seluruh permuka¬an kulitnya.

“Apakah kau masih mampu mempergunakan tenagamu terakhir,” bertanya orang yang kekurus-kurusan.

Orang itu menggeram. Ditatapnya wajah Swandaru yang menegang sejenak. Tetapi Swandaru itu justru kemudian terse¬nyum sambil menjawab, “Mari kita berlomba lari. Berputar-putar di arena ini. Pada suatu saat, tanpa perlawanan apa pun kau akan pingsan. Nafasmu tinggal tersangkut di ujung hidungmu.”

“Licik,” teriak orang yang kekurus-kurusan, “Kau sangat licik. Itu bukan perbuatan jantan.”

“Senjata itu sangat berbahaya,” sahut Swandaru. “Sentuhan yang tidak berarti dapat membuatku mati. Dan aku tidak mau. Lebih baik kita berkejar-kejaran sampai kawanmu itu pingsan sendiri.”

“Kenapa kau tidak pulang saja?” bertanya orang yang kekurus-kurusan.

“Kenapa?” bertanya Swandaru.

“Menanak nasi seperti perempuan. Kalau kau laki-laki, kau tidak akan berkelahi dengan cara itu. Kau pasti akan berusaha melawan meskipun akibatnya mati.”

Wajah Swandaru menegang kembali. Terasa darahnya me¬lonjak mendengar penghinaan itu. Dan orang yang kekurus-kurusan itu masih berkata, “Nah, apa katamu sekarang? Orang-orang di sekitar kita menjadi saksi, bahwa ternyata kau adalah orang yang hanya dapat berteriak-teriak tanpa arti.”

Sejenak Swandaru tidak menyahut. Namun kemudian ia mengangguk-anggukkan kepalanya sambil berkata, “Jadi menurut penilaianmu sekarang ini akulah yang licik meskipun kawanmu yang menggenggam senjata yang ganas itu?”

Pertanyaan itu benar-benar tidak diduga-duga. Orang yang kekurus-kurusan itu mengharap Swandaru marah dan langsung menye¬rang. Tetapi agaknya anak yang gemuk itu masih saja dapat menahan diri. Karena itu justru ia sendirilah yang menjadi tidak sabar lagi. Katanya kepada orang yang tinggi kekar, “Nah, kau telah cukup mendapat istirahat. Lakukanlah sekarang. Kejar anak gemuk itu sampai dapat. Kalau ia menghadapkan dadanya tikamlah dadanya. Kalau ia lari tikamlah punggungnya.”

“Kalau aku miring?” bertanya Swandaru.

“Gila,” teriak orang yang kekurus-kurusan. “Lakukan se¬karang!”

Orang yang kekar itu menggeram, ia maju selangkah demi selangkah dengan wajah yang semakin liar.

Dalam pada itu Swandaru menjadi lebih berhati-hati menghadapinya. Namun demikian ia memang merasa, kalau dengan cara ini maka perkelahian akan berlangsung terlalu lama. Ia harus menemukan kesempatan yang sebaik-baiknya untuk mengalah¬kan lawannya, tetapi kulitnya sendiri tidak tergores ujung sen¬jata beracun itu.

Namun akhirnya Swandaru menarik nafas ketika gurunya berkata, “Sudahlah, jangan biarkan permainan ini berlangsung terlampau lama. Bukankah kita ini gembala yang baik, yang masih tetap menyimpan cambuk kita masing-masing? Pergunakan cam¬bukmu untuk mencegah pisau-pisau beracun itu.”

Agung Sedayu menegang sejenak, memandangi wajah guru¬nya. Tetapi ia pun segera mengangguk-angguk. Gurunya sama sekali tidak sekedar diburu oleh kegelisahan. Namun agaknya gurunya memang merasa tidak perlu lagi menyembunyikan cambuk-cambuk ini. Sebagian dari cirri-ciri dirinya sudah mulai diperlihatkannya.

Swandaru yang semula juga ragu-ragu, kemudian tersenyum ketika ia melihat gurunya mengangguk-anggukkan kepalanya. Bahkan ia masih sempat berkata, “Apakah aku harus menggembalakan pisau ini?”

Sebelum Kiai Gringsing menjawab, orang yang tinggi ke¬kar itu sudah mulai menyerangnya sambil menggeram, “Per¬setan dengan gembala gila seperti kalian.”

Swandaru masih harus meloncat menghindar. Namun kemudian ketika ia berdiri di atas sepasang kakinya, tangannya sudah menggenggam cambuknya yang diurai dari bawah ba¬junya.

“Nah,” katanya, “sekarang kita masing-masing sudah ber¬senjata. Senjatamu adalah senjata seseorang yang menguasai racun, sedang senjataku adalah senjata seorang gembala.”

Mata orang yang tinggi kekar itu menjadi merah padam. Sejenak dipandanginya ujung cambuk Swandaru. Namun kemudian ia menggeram, “Persetan! Kau sangka aku sekedar seekor kambing domba yang ketakutan mendengar bunyi cambuk.”

Swandaru tidak menjawab. Tetapi diputarnya cambuknya di atas kepalanya. Sudah agak lama ia tidak mempergunakan cambuk itu, sehingga ia merasa perlu untuk melemaskan otot-otot pergelangan tangannya.

Orang yang tinggi kekar itu pun tidak sabar lagi. Dengan satu loncatan yang panjang ia menyerang, menyusup di bawah putaran cambuk Swandaru. Namun, meskipun sudah agak lama Swandaru tidak mempergunakan cambuknya, ia masih tetap cukup lincah menguasai senjatanya. Ketika sebuah ledakan melengking, maka terdengarlah keluhan tertahan. Orang yang ting¬gi besar itu dengan serta-merta meloncat surut. Sebuah goresan yang kemerah-merahan telah melekat di kakinya.

“Setan alas!” ia mengumpat. Ketika ia melangkah ma¬ju, ternyata kakinya menjadi timpang.

Swandaru tidak membiarkannya lagi. Ia pun segera men¬desak. Yang menjadi pusat perhatiannya adalah sepasang pisau beracun itu. Karena itu, maka dengan tiba-tiba ia pun menyerang. Sekali lagi cambuknya meledak. Kali ini mengenai pergelangan tangan orang yang tinggi kekar itu.

Sekali lagi sebuah keluhan terdengar. Bahkan kemudian disusul dengan umpatan yang kasar. Bukan saja pengelangan ta¬ngannya berdarah, tetapi satu pisaunya telah terlepas dari ta¬ngannya.

“Hem,” orang yang kekurus-kurusan berdesah, “orang ini memang luar biasa. Minggirlah,” katanya kemudian kepada orang yang tinggi itu, “aku akan mencobanya.”

Kiai Gringsing sama sekali tidak terkejut mendengar kata-kata orang yang kekurus-kurusan. Ia memang sudah menyangka, bah¬wa orang yang tampaknya sebagai seorang penakut itu, pasti mempunyai kelebihan dari orang yang tinggi kekar, yang tam¬paknya sehari-hari adalah orang yang tidak terkalahkan di barak itu. Bahkan para penjaga pun takut kepadanya, karena ia memi¬liki kekuatan raksasa. Namun, meskipun orang yang kekurus-kurusan ini agaknya tidak memiliki kekuatan jasmaniah sebesar orang yang tinggi kekar itu, tetapi agaknya orang ini memiliki ilmu yang lebih masak.

Selain Kiai Gringsing, maka orang-orang yang menyaksikan per¬kelahian itu menjadi heran. Mereka sama sekali tidak menyang¬ka, bahwa orang yang kekurus-kurusan itu pada suatu saat dapat berbuat seperti itu seolah-olah memiliki kemampuan lebih besar dari orang yang tinggi dan kekar itu.

Namun para petugas yang ada di tempat itu pun segera da¬pat mengetahui, bahwa sebenarnya orang yang kekurus-kurusan itu memang mempunyai kelebihan dari orang yang tinggi kekar itu.

Swandaru yang masih memegang cambuknya berdiri ter¬mangu di tempatnya. Ia melihat orang yang tinggi kekar itu masih menyeringai menahan sakit.

“Simpan pisaumu,” berkata orang yang kekurus-kurusan itu. “Jangan sampai pisaumu menyentuh lukamu sendiri. Kau akan segera mati karenanya.”

Orang yang tinggi kekar itu mengangguk-anggukkan kepalanya. Segera ia menyarungkan pisau yang masih di genggamnya.

“Ambil yang satu,” berkata Swandaru. “Kalau mengenai anak-anak yang sedang bermain-main, maka kau akan berdosa se¬puluh kali lipat.”

Yang terdengar adalah gemeretak gigi orang yang tinggi kekar itu. Namun yang berkata adalah orang yang kekurus-kurusan. “Jangan marah. Sepantasnya kau memang hanya menakut-nakuti anak-anak. Tetapi kalau kau bertemu dengan lawan yang agak kuat, kau tidak dapat berbuat apa-apa.”

Orang itu sama sekali tidak menjawab. Setapak demi setapak ia melangkah mendekati pisaunya.

“Ambil,” berkata Swandaru.

“Ya, ambil,” ulang orang yang kekurus-kurusan.

Orang itu ragu-ragu sejenak. Tanpa sesadarnya diamat-amatinya pergelangan tangannya yang terluka dan menitikkan darah.

“Cepat ambil,” desis Swandaru pula.

“Ya, cepat ambil,” ulang orang yang kekurus-kurusan.

Meskipun dengan hati yang bimbang, namun tangannya dijulurkannya pula meraih pisau yang tergolek di tanah itu.

Namun ia terloncat surut ketika tiba-tiba saja ia dikejutkan oleh cambuk Swandaru yang meledak. Dengan wajah yang te¬gang ia berdiri termangu-mangu. Tangannya yang berdarah itu pun menjadi gemetar.

“He, kenapa kau?” bertanya Swandaru sambil tersenyum.

“Gila,” geram orang yang kekurus-kurusan, “ambillah. Kenapa kau tiba-tiba menjadi pengecut?”

Orang itu masih berdiri gemetar. Sejenak ditatapnya wa¬jah Swandaru, kemudian wajah orang yang kekurus-kurusan itu.

“Ambillah!” teriak orang yang kekurus-kurusan itu. “Ka¬lau orang itu akan mengganggumu, biarlah aku putuskan batang lehernya.”

Swandaru mengerutkan keningnya. Sementara Agung Sedayu menggeleng-gelengkan kepalanya melihat tingkah laku adik se¬perguruannya.

“Anak itu memang bengal,” berkata Agung Sedayu di dalam hatinya. Namun sementara itu, ia melihat bahwa orang yang kekurus-kurusan itu benar-benar merasa terhina oleh perbuatan Swandaru.

“Orang yang kekurus-kurusan ini agaknya lebih berbahaya dari kawannya yang tinggi kekar namun seperti kerbau itu,” berkata Agung Sedayu di dalam hatinya.

Sementara itu, orang yang tinggi kekar itu pun telah me¬langkah maju dengan penuh keragu-raguan. Sekali-sekali ditatapnya wa¬jah kawannya yang kekurus-kurusan itu, kemudian ditatapnya pula wajah Swandaru.

“Cepat,” berkata orang yang kekurus-kurusan.

Orang yang tinggi kekar itu hampir terloncat. Dengan secepat-cepatnya, ia meraih pisaunya yang beracun. Kemudian ia pun segera meloncat mundur.

Swandaru tidak dapat menahan tertawanya, sedang Agung Sedayu pun tersenyum pula tertahan-tahan.

“Kau memang terlampau sombong anak yang gemuk,” berkata orang yang tinggi kekurus-kurusan itu. “Sekarang kau ja¬ngan menyebut dirimu bernama Sangkan. Aku tahu bahwa kau pasti bernama lain. Dan aku pun kini tahu, selama ini kau berpura-pura menjadi orang-orang bodoh, miskin dan setengah gila. Tetapi sebenarnyalah bahwa kalian adalah orang-orang sombong yang tidak ada ada duanya di dunia. Kini kalian akan membuat semua orang terkejut. Kalian akan mendapat pujian, sebagai orang-orang bodoh yang ternyata memiliki kelebihan yang luar biasa.”

“He,” tiba-tiba Swandaru memotong, “apakah kau tidak berbuat seperti itu? Selama ini, orang yang tinggi kekar itu sajalah yang kau taruh di depan. Kau sendiri selalu bersembunyi di belakang. Bukankah kau selalu berpura-pura menjadi seorang pe¬nakut yang paling ketakutan apabila ada suara tikus sekalipun? Sekarang kau juga akan tampil sebagai seorang pahlawan.”

“Diam! Diam kau,” orang yang kekurus-kurusan itu benar-benar telah menjadi marah. “Aku memang menunggu kesempatan ini. Selama ini aku memang sedang meyakinkan, bagaimana kita harus menghadapi hantu-hantu dari Alas Mentaok. Justru untuk ke¬pentingan kita bersama. Tetapi kedatangan kalian telah meru¬sakkan semua rencanaku. Usaha yang aku lakukan akan menjadi sia-sia, dan hantu-hantu itu tetap akan marah kepada kita.”

“He, apakah kita masih harus berbicara tentang hantu?”

“Gila! Kau sangka kau, kakakmu, dan ayahmu ini siapa? Betapapun saktinya kalian, kalian tidak akan dapat berbuat sesuatu di sini tanpa berbicara tentang hantu.”

Swandaru mengangguk-anggukkan kepalanya. Tetapi ia bertanya, “Apakah kau sudah berhasil setelah sekian lama melakukan¬nya?”

Orang yang kekurus-kurusan itu terdiam sejenak. Ditatapnya saja wajah Swandaru dengan sorot mata yang memancarkan kemarahan. Namun pertanyaan itu tidak segera dijawabnya.

“Bagaimana?” Swandaru mendesaknya.

Orang itu menggelengkan kepalanya, “Belum. Sebenarnya aku memang sudah hampir berhasil. Tetapi kedatangan kalian ini telah menjauhkan kami dari mereka, sehingga usaha yang sudah lama aku lakukan itu, menjadi sia-sia. Karena itu, maka kalianlah yang harus menanggung akibat kegagalan itu. Kalian terpaksa dikorbankan. Sudah lama aku ingin membuat korban semacam ini untuk hantu-hantu itu. Korban darah. Mudah-mudahan mereka menjadi lulut dan dapat mengerti keinginan kami.”

“Apakah korban darah itu?” bertanya Swandaru.

“Sama dengan korban nyawa.”

Swandaru mengerutkan keningnya. Namun tiba-tiba saja ia berkata sambil mengangguk-angguk, “O, jadi kau ingin membunuh diri?”

“Persetan!” kemarahan orang itu sudah memuncak.

Agung Sedayu masih saja mengangguk-anggukkan kepalanya. Tetapi ia tidak dapat mencegah Swandaru. Kebiasaannya yang ternyata menyakitkan hati orang yang kekurus-kurusan itu tidak dapat di¬hindarinya.

Sejenak kemudian maka sambil maju selangkah orang yang kekurus-kurusan itu menggeram, “Kini memang sudah tiba saatnya. Salah satu dari kalian bertiga akan mati, atau kalau kalian sama-sama maju, maka kalian bertiga akan mati pula bersama-sama. Se¬makin banyak korban yang aku berikan, maka kami yang tinggal di sini akan menjadi semakin aman.”

Swandaru melihat sorot mata orang itu. Ia benar-benar sudah ada di puncak kemarahannya. Karena itu, ia kini tidak dapat berkelakar lagi.

Sejenak kemudian orang yang kekurus-kurusan itu pun sudah siap. Dengan wajah yang tegang ditatapnya cambuk Swandaru. Namun sejenak kemudian ia pun segera melenting menyerang dengan dahsyatnya.

Swandaru memang sudah bersiap menghadapinya. Cambuk¬nya sudah terlanjur berada di tangannya, sehingga karena itu, maka cambuk itu pun segera meledak memekakkan telinga.

Tetapi orang yang kekurus-kurusan itu memang cukup tangkas. Ia masih mampu menggeliat menghindarkan dirinya, sehingga cambuk Swandaru sama sekali tidak mengenainya.

Namun dalam pada itu, ketika orang yang kekurus-kurusan itu tegak berdiri di atas kedua kakinya, di tangannya telah tergeng¬gam seutas rantai besi yang diambilnya dari kantong ikat ping¬gangnya. Rantai itu tampaknya tidak begitu besar, hampir se¬panjang lengan tangannya. Tetapi yang berbahaya dari senjata itu adalah sebuah gerigi pada bola besi sebesar kemiri.

Swandaru menjadi tegang sejenak. Tanpa diberitahukan lagi, ia sadar, bahwa bola besi yang tampaknya hanya sekecil kemiri itu pasti sangat berbahaya. Geriginya yang kehitam-hitaman itu pasti mengandung racun seperti pisau belati orang yang tinggi besar itu.

Ternyata gurunya membenarkan dugaannya itu. Dengan sungguh-sungguh Kiai Gringsing berdesis, “Hati-hatilah dengan bola kecil yang bergerigi itu, Swandaru.”

Swandaru menganggukkan kepalanya. Dan ia pun menjadi kian berhati-hati.

Sejenak kemudian bola kecil itu sudah berputaran seperti baling-baling. Untunglah bahwa Swandaru pun mempergunakan sen¬jata yang hampir sejenis. Ujung cambuknya adalah senjata yang lentur, meskipun tidak kurang berbahayanya. Kalau Swandaru bersungguh-sungguh mempergunakan senjata itu, maka lecutan sendal pancing apabila menyentuh tubuh lawannya, pasti akan menyo¬bek kulit, karena karah-karah besi yang melingkar pada juntai cam¬buk itu.

Sejenak kemudian keduanya sudah berhadapan kembali. Sejenak mereka bergeser beberapa tapak. Sedang orang-orang yang menyaksikan perkelahian itu menjadi semakin berdebar-debar. Mereka pun berdesakan surut beberapa langkah, karena orang yang kekurus-kurusan itu selalu memutar rantai yang berbola di ujungnya.

Dengan sedikit membungkukkan badannya, Swandaru ber¬siap menghadapi setiap kemungkinan. Digenggamnya tangkai cambuknya dengan tangan kanannya, sedang ujungnya dipegang¬nya dengan tangan kiri. Namun demikian, cambuk itu siap me¬ledak setiap saat.

Perkelahian yang seru itu tidak dapat dihindarkannya lagi. Dengan garangnya orang itu menyerang Swandaru dengan ujung rantainya. Sejenak bola itu melingkar-lingkar di udara, namun kemu¬dian menukik menyerang dengan cepatnya. Selagi Swandaru menghindarinya, maka bola itu seperti kepala seekor ular me¬matuknya dari arah yang lain.

Orang yang kekurus-kurusan itu benar-benar menguasai senjatanya yang sangat berbahaya itu. Seperti senjata-senjata beracun lainnya, setiap sentuhan akan berarti maut.

Tetapi Swandaru pun mampu mempergunakan senjatanya sebaik-baiknya. Setiap kali ia masih sempat meledakkan cambuk¬nya. Bahkan ujung cambuknya telah beberapa kali menyentuh tubuh lawannya, sehingga jalur-jalur merah melekat di bahu dan le¬ngannya, setelah karah-karah besi dijuntai cambuk itu menyobek baju orang yang kekurus-kurusan itu.

Meskipun demikian, orang yang kekurus-kurusan itu seakan-akan tidak menghiraukannya. Meskipun ia tidak kebal, tetapi ia sama sekali tidak gentar. Menurut perhitungannya, luka-lukanya itu sa¬ma sekali tidak akan membahayakan jiwanya. Tetapi kalau ia berhasil menyentuh lawannya, maka itu akan berarti kematian. Sehingga dengan demikian, ia justru semakin mendesak maju, menyusup di antara ayunan ujung cambuk Swandaru.

Demikianlah, maka perkelahian itu semakin lama menjadi semakin sengit. Kadang-kadang kedua senjata itu saling melilit. Te¬tapi agaknya keduanya cukup menguasai, dan senjata-senjata itu pun cukup kuat, sehingga setiap kali, lilitan itu pun segera terurai.

Agung Sedayu dan Kiai Gringsing menyaksikan perkelahi¬an itu dengan hati yang berdebar-debar. Orang yang kekurus-kurusan ini ternyata tidak sekedar berkelahi seperti kawannya yang tinggi itu.

Agaknya Swandaru mempertimbangkannya juga. Ternyata ia kini menghadapinya dengan bersungguh-sungguh. Kerut keningnya dan tatapan matanya menunjukkan bahwa ia tidak lagi bermain-main.

Tetapi ternyata bahwa senjata orang yang kekurus-kurusan itu pun mempunyai kelebihan dari senjata Swandaru. Senjata Swandaru dapat melukai kulit, tetapi tidak membunuh dengan kejam seperti senjata lawannya. Itulah sebabnya, maka Swardaru agak mengalami kesulitan. Meskipun demikian, latihan-latihan yang berat selama ini membuatnya menjadi seorang yang tabah meng¬hadapi kesulitan apa pun juga.

Dengan demikian, maka Swandaru tampaknya selalu ter¬desak. Ia kadang-kadang melangkah surut, kadang-kadang berloncatan ke samping. Namun setiap kali ia masih juga berhasil melukai kulit lawannya. Setiap kali orang yang kekurus-kurusan itu tertegun, apabila cambuk Swandaru meledak. Dan setiap kali sebuah goresan merah yang baru telah melekat di tubuh orang itu, bahkan kadang-kadang luka yang menitikkan darah.

Orang yang menyaksikan perkelahian itu menjadi semakin berdebar-debar. Apalagi mereka yang tidak mengerti kedudukan masing-masing. Mereka hanya melihat Swandaru selalu terdesak, tanpa melihat bagaimana senjatanya berhasil melukai lawannya.

Lawan Swandaru yang kekurus-kurusan itu pun mengumpat di dalam hatinya. Sekian lama ia bertempur, namun ia masih belum berhasil menyentuh kulit lawannya. Bahkan kulitnya sendiri yang semakin lama menjadi semakin parah.

“Persetan,” ia menggeram di dalam hatinya. “Luka-luka ini hanya akan menimbulkan sedikit gangguan pada kulitku. Tetapi aku harus menyentuhnya. Ia akan segera mati sebelum mening¬galkan lingkaran perkelahian ini.”

Dengan sepenuh kemampuannya, orang itu sudah bertekad untuk membunuh Swandaru dengan racunnya. Ia sama sekali tidak menghiraukan lagi ledakan-ledakan senjata lawannya. Ujung cambuk yang mengenainya sama sekali tidak dihiraukannya, mes¬kipun kadang-kadang ia harus menyeringai menahan sakit.

Meskipun Swandaru berhasil melukai lawannya semakin sering, tetapi Agung Sedayu dan gurunya masih juga selalu dicemaskan oleh senjata lawannya. Orang yang kekurus-kurusan itu seolah-olah sama sekali tidak merasa bahwa kulitnya telah terkelupas di beberapa bagian. Pakaiannya telah menjadi kemerah-merahan karena darah yang meleleh dari setiap jalur luka, meskipun tidak dalam.

Swandaru pun kemudian menjadi heran. Kekuatan apakah yang membuat lawannya seperti orang kesurupan. Luka-luka itu seolah-olah sama sekali tidak terasa. Ia masih saja mendesaknya sam¬bil mengayunkan bola besinya yang kecil dan bergerigi itu. Se¬tiap kali menyambar di samping telinganya, kemudian terjulur mematuk lambungnya.

Agaknya lawannya tidak memilih tempat di tubuhnya. Manapun yang dapat dikenainya akibatnya sama saja. Bahkan di bagian yang tertutup oleh pakaian, karena gerigi yang tajam itu pasti akan dapat menembusnya.

“Gila,” geram Swandaru di hatinya, “apakah orang ini menyimpan nafas kuda atau kulitnya memang sudah mati, se¬hingga ia tidak merasakan sakit sama sekali?”

Namun dengan demikian kemarahan yang merambat di¬ hati Swandaru pun sampai ke puncaknya. Sepercik kegelisahan telah mewarnai hatinya pula, “Kalau aku tidak segera melum¬puhkannya, akulah yang akan dibunuhnya. Aku dan orang ini mempunyai tujuan yang lain. Agaknya ia benar-benar akan membu¬nuh aku,” Swandaru mengerutkan keningnya. “Kalau saja Guru tidak terlalu lembut hatinya, aku bunuh juga orang ini.”

Dengan demikian, maka terdengar gigi anak muda yang gemuk itu gemeretak. Agung Sedayu yang selalu memperhatikan wajah adik seperguruannya, segera menangkap, betapa hati anak muda yang gemuk itu kini semakin menyala.

Dengan demikian, maka perkelahian itu pun menjadi sema¬kin cepat. Swandaru pun telah mengerahkan bukan saja kemam¬puannya, tetapi juga kekuatannya. Setiap sambaran cambuknya kini menjadi kian berbahaya. Dan setiap sentuhan juntai berkarah besi itu, menjadi semakin dalam menyobek kulit.

Orang yang kekurus-kurusan itu pun setiap kali terpaksa mena¬han sakit yang menyengat. Ia merasakan pula, bahwa lecutan cambuk lawannya menjadi semakin keras. Tetapi hatinya yang sekeras batu sama sekali tidak menahannya. Ia maju terus tanpa menghiraukan badannya yang seakan-akan sudah menjadi arang keranjang oleh goresan-goresan ujung cambuk lawannya.

Namun dalam pada itu, karena Swandaru yang baru saja sembuh dari sakitnya masih belum mendapatkan segenap keku¬atan dan kemampuannya kembali, semakin lama menjadi sema¬kin lelah. Apalagi setelah ia memeras segenap kemampuan dan tenaganya. Setiap kali ia harus meloncat menghindari sambaran dan patukan bola besi beracun itu, kemudian mengerahkan segenap tenaganya untuk mengayunkan cambuknya. Kadang-kadang sun¬dul puyuh, kadang sendal pancing. Bahkan ia pun menjadi ngeri juga melihat lawannya yang seakan-akan sudah menjadi merah ka¬rena darah. Namun ia masih juga maju dengan beraninya, se¬akan-akan sama sekali tidak terjadi apa pun padanya.

“Gila,” desis Swandaru, “apakah aku berhadapan dengan anak setan Alas Mentaok, atau orang itu telah kesurupan sehingga daya tahannya menjadi lipat sepuluh dari daya tahan manusia wajar, atau memang aku sedang bertempur dengan salah satu dari jenis hantu di Alas Mentaok ini?”

Tetapi Swandaru tidak sempat merenungi pertanyaan yang mengganggunya itu. Ia masih harus bertempur terus. Dalam pada itu nafasnya semakin lama menjadi semakin cepat menga¬lir lewat lubang hidungnya, sedang kekuatannya pun semakin lama menjadi semakin susut pula.

“Sebentar lagi, aku akan kehilangan kekuatan untuk melawannya,” ia berdesis oleh kesadarannya bahwa ternyata se¬telah ia sakit kekuatannya masih belum pulih seluruhnya.

Agung Sedayu dan Kiai Gringsing pun menjadi semakin tegang pula menyaksikan perkelahian itu. Meskipun cambuk Swandaru sudah berhasil melukai tubuh lawannya bahkan tidak sekadar disatu dua tempat, namun ia masih belum berhasil me¬ngurangi ketangkasan orang yang kekurus-kurusan itu. Senjatanya yang beracun itu masih tetap menyambar-nyambar dan mematuk mengerikan.

Agung Sedayu yang hampir tidak dapat menguasai pera¬saan cemasnya, tanpa sesadarnya bergeser maju. Tetapi gurunya menggamitnya sambil berbisik, “Kita menunggu sejenak. Aku melihat sesuatu.”

Agung Sedayu tertegun sejenak. Ia memang tidak akan da¬pat begitu saja memasuki arena, karena meskipun tanpa berjanji, adik seperguruannya seolah-olah sedang melakukan perang tanding seorang lawan seorang. Tetapi ia pasti tidak akan sampai hati melihat kegagalan Swandaru yang masih belum pulih kembali kekuatannya, apalagi ia sudah harus berkelahi melawan dua orang berturut-turut.

“Itu tidak adil,” berkata Agung Sedayu di dalam hati¬nya.

Namun demikian ia tidak bergeser maju lagi. Ia mematuhi pesan gurunya.

“Tetapi, apakah yang sudah dilihat oleh Guru?” perta¬nyaan itu telah tumbuh di dalam hatinya.

Ketika ia berpaling sedikit, dilihatnya gurunya mengamati perkelahian itu dengan sangat tegangnya, seolah-olah ia sedang memperhitungkan setiap gerak dari keduanya.

“Nafas Adi Swandaru sudah hampir putus, Guru,” bisik Agung Sedayu.

Kiai Gringsing sama sekali tidak menyahut. Tetapi ia masih mengikuti perkelahian itu.

Agung Sedayu menarik nafas dalam-dalam. Kini ia pun memper¬hatikan setiap gerak dari kedua belah pihak yang terjadi di arena.

Swandaru masih tetap selalu bergeser surut. Keringatnya telah membasahi seluruh tubuhnya, sedang nafasnya menjadi semakin terengah-engah. Cambuknya sudah tidak begitu lincah lagi, meskipun di saat-saat yang berbahaya, Swandaru masih dapat meng¬hentakkan tangannya, dan di tubuh lawannya bertambah lagi seleret luka.

Sejenak kemudian agaknya perkelahian itu sudah meman¬jat sampai ke puncaknya. Orang yang kekurus-kurusan itu menjadi semakin liar. Ia semakin mendesak maju, sedang rantainya yang berujung bola besi bergerigi sebesar kemiri, berputaran semakin cepat. Namun untuk mempertahankan dirinya, Swandaru pun telah mengerahkan segenap tenaganya. Untunglah bahwa pikirannya masih tetap tenang, sehingga meskipun tidak sekuat se¬mula, tetapi ia masih mampu melihat kelemahan-kelemahan pada lawan¬nya yang akhirnya menjadi seperti orang kesurupan itu, yang tidak menghiraukan lagi dirinya, betapapun cambuk Swandaru melecut tubuhnya.

Swandaru benar-benar hampir kehabisan akal. Sekali-sekali ia terhuyung-huyung surut. Sebuah lubang yang kecil di atas tanah tempat ia berpijak, telah membuatnya hampir-hampir terbanting jatuh.

Pada saat-saat yang demikian, Swandaru telah mencoba me¬meras otaknya, bagaimana ia dapat menjatuhkan lawannya. Meskipun ia jarang-jarang melakukannya, benar-benar memeras otaknya, namun ia menemukan juga sikap yang dapat menguntungkannya.

Lawannya sama sekali tidak menghiraukan lagi sentuhan ujung cambuk Swandaru, sehingga ia menyadari bahwa ia harus menemukan cara lain untuk menghentikan lawannya. Karena itu, selagi lawannya menyerang membabi buta dengan senjata rantainya menyambar-nyambar kepala Swandaru, maka anak yang ge¬muk itu telah menyerang lawannya dengan caranya. Disambar¬nya kaki orang yang kekurus-kurusan itu dengan ujung cambuknya. Kemudian, selagi ujung cambuk itu masih melilit pergelangan kaki dengan sekuat-kuat sisa tenaganya, Swandaru telah meng¬hentakkan juntai cambuknya itu.

Ternyata bahwa sisa tenaga Swandaru itu masih cukup kuat. Orang yang kekurus-kurusan itu sama sekali tidak menyangka, bahwa lawannya akan menyerang dengan cara yang aneh itu, apalagi selama ini ia seolah-olah sama sekali tidak menghiraukan lagi serangan-serangan lawannya atas tubuhnya. Karena itu, hentakkan ujung cambuk itu telah mengait kakinya dan seakan-akan mena¬riknya dengan serta-merta.

Hentakkan itu benar-benar tidak dapat dilawannya. Sejenak ia terhuyung-huyung, namun kemudian dengan kerasnya ia terbanting jatuh di tanah.

Swandaru sendiri yang telah mengerahkan sisa tenaganya, ternyata hampir tidak mampu lagi untuk berdiri tegak. Dengan nafas yang terengah-engah ia mencoba menarik cambuknya yang ma¬sih melilit di kaki lawannya yang kini terbanting di tanah.

Bagaimanapun juga, Swandaru tidak mau membiarkan diri¬nya diterkam oleh keganasan racun senjata lawannya. Karena itu, ia masih harus tetap berusaha melawan dengan senjatanya.

Namun ternyata Swandaru tidak segera berhasil. Tenaga¬nya sudah tidak cukup mampu untuk menarik cambuknya yang masih melilit di kaki lawannya, betapapun ia mencoba. Bahkan akhirnya ia terpaksa menghentikan usahanya ketika nafasnya hampir-hampir menjadi putus karenanya.

Tetapi, kemudian ia menjadi heran. Baru setelah ia tidak berhasil menarik senjatanya, ia menyadari, bahwa lawannya yang terbanting jatuh itu sama sekali sudah tidak mampu lagi untuk bangkit. Ternyata setelah ia memeras segenap kemampu¬an dan tenaganya tanpa menghiraukan apa pun juga itu, sampai jugalah ia pada batas kekuatan jasmaniahnya yang sebenarnya telah tidak mampu lagi mendukung hasratnya yang menyala-nyala di dalam dada. Membunuh lawannya yang gemuk. Karena itu, ketika ia tersentak oleh keadaan yang tidak terlawan lagi itu, serasa punahlah semua tenaganya. Perasaan sakit kini serasa telah mencengkeram seluruh urat nadinya. Pedih dan sakit. Selebihnya, tenaganya serasa telah punah sama sekali.

Swandaru masih berdiri di tempatnya dengan nafas terengah-engah. Tangannya sudah tidak mampu lagi memegang tangkai cambuknya. Bahkan dengan susah payah ia bertahan untuk te¬tap berdiri di tempatnya.

Semua yang menyaksikan akhir dari perkelahian itu me¬nahan nafasnya. Sejenak mereka seolah-olah terpukau oleh peris¬tiwa yang menegangkan itu. Mereka melihat orang yang kekurus-kurusan tergolek di tanah dengan darah yang memerahi pakai¬annya, yang robek-robek karena senjata Swandaru, seperti kulitnya yang robek-robek pula. Sedang Swandaru berdiri dengan susah pa¬yah mempertahankan keseimbangannya dengan nafas yang terengah-engah.

Sejenak, tempat itu telah diliputi oleh suasana yang mene¬gang. Setiap orang berdiri membeku di tempatnya. Sekali-sekali mereka mendengar orang yang kekurus-kurusan itu mengaduh perlahan-lahan, sedang nafas Swandaru mengalir semakin tidak teratur. Bahkan kemudian Swandaru tidak berhasil lagi bertahan berdiri di tempatnya. Perlahan-lahan ia menjatuhkan diri dan duduk di tanah.

Dalam pada itu, selagi mereka dicengkam oleh keadaan yang menegangkan, seorang petugas maju mendekati Swandaru. Sambil bertolak pinggang ia berkata lantang, “Kau sudah membuat onar di sini. Atas nama kekuasaan Ki Gede Pemanahan dan puteranya Mas Ngabehi Loring Pasar, kau dan kedua orang yang kini aku ragukan, apakah mereka benar-benar saudaramu dan ayahmu itu, aku tangkap.”

Swandaru yang masih duduk di tanah terkejut. Tetapi sebelum ia menyahut, Agung Sedayu telah melangkah maju men¬dekati petugas itu sambil bertanya, “Apakah kesalahan kami?”

“Kau sudah membuat onar, sehingga di sini terjadi per¬kelahian.”

“Siapakah yang sebenarnya sudah mulai?”

“Lihat akibat dari perbuatanmu ini. Kau harus sadar, bahwa kau tidak hidup seperti binatang di dalam rimba ini. Anak yang gemuk ini sudah membuat seseorang menjadi luka parah.”

“Tetapi bukan maksudnya. Bukan maksud kami menumbuhkan pertentangan di sini.”

“Aku tidak peduli, apakah kau bermaksud demikian atau tidak. Tetapi yang terjadi adalah bukti yang tidak dapat kau ingkari.”

“Tetapi apakah kau tidak mengikuti perkembangan kea¬daan yang sebenarnya, sehingga kau mengambil kesimpulan yang salah, bahwa kamilah yang telah bersalah?”

“Jangan banyak bicara. Kau berbicara dengan petugas yang mendapat kekuasaan dari Ki Gede Pemanahan.”

“Lalu?”

“Kau harus tunduk kepada kami. Kau akan kami tangkap, kami ikat dan kami bawa menghadap Ki Gede Pemanahan.”

“Menarik sekali. Tetapi barangkali orang-orang itulah yang pantas kau tangkap.”

“Tidak. Kalian bertiga.”

“Tunggu,” tiba-tiba terdengar suara yang lain. Ketika mereka berpaling, mereka melihat Wanakerti mau mendekati petugas itu. “Sebenarnya tidak pantas kalau kita berselisih pendapat. Apalagi di hadapan orang-orang yang seharusnya kita awasi, kita bimbing dan kita arahkan selagi mereka bekerja di sini. Tetapi aku juga tidak dapat tinggal diam melihat kesalah-pahaman ini.”

“Apa yang kau anggap dengan salah paham itu?” bertanya petugas yang ingin menangkap Swandaru. Seorang yang berwajah keras seperti batu. Berkumis lebat dan berjanggut jarang.

“Sebenarnyalah kita harus berbicara dulu. Kita bersama-sama akan menentukan siapakah yang bersalah di dalam hal itu. Terutama kita harus menghiraukan pimpinan kita di sini. Ingat, kita terikat di dalam ketentuan tugas dan wewenang. Kita mempunyai pemimpin yang dapat memberikan bimbingan di dalam tugas kita.”

“Persetan,” berkata orang berkumis itu, “lihat. Apakah yang dilakukan oleh pemimpin kita di dalam keadaan yang ga¬wat ini? Lihat, ia hanya dapat mengangguk-anggukkan kepalanya sambil mencabuti janggut. Aku tidak mempedulikannya.”

Pemimpin dari para petugas, yang sebenarnya masih be¬lum mempunyai sikap apa pun itu, tiba-tiba merasa terhina. Se¬langkah ia maju sambil berkata, “Jangan berkata begitu. Aku memang tidak bersikap dengan tergesa-gesa. Tetapi kau jangan menyebut aku tidak dapat berbuat apa-apa.”

“Apa yang sudah kau lakukan, he?” bertanya orang berkumis itu.

Pemimpin para pengawas itu berdiri tegang memandangi wajah orang berkumis itu. Sejenak ia tidak mengucapkan kata-kata. Namun sejenak kemudian ia berkata, “Akulah yang paling berkuasa di sini, berdasarkan limpahan kekuasaan dari Ki Gede Pemanahan.”

“Omong kosong,” bantah orang berkumis itu, “aku akan membuktikan, bahwa Ki Gede Pemanahan akan membe¬narkan sikapku.”

“Kau jangan memperbodoh kami. Kami tahu pasti, bah¬wa ada ketidakwajaran di antara kalian. Kau, orang yang gagah itu, dan orang yang sudah dikalahkan oleh anak yang gemuk ini.”

“Apa maksudmu?”

“Setiap hidung akan merasakan kejanggalan perbuatanmu ini. Di dalam keadaan yang seperti ini, tiba-tiba kau tampil dan akan menangkap ketiga orang ini. Itu adalah mustahil. Kita harus bersikap adil. Sebaiknya kedua pihak kita hadapkan ke¬pada Ki Gede Pemanahan karena keonaran ini.”

“Itu tidak perlu. Yang dua orang ini kita sudah menge¬nal sejak lama. Mereka adalah orang-orang yang bertanggung jawab selama ini. Dengan maksud baik berbuat untuk kawan-kawannya. Tetapi yang tiga orang ini memang keras kepala.”

“Aku yang menentukan. Aku yang memutuskan.”

Sejenak keadaan menjadi semakin tegang. Agung Sedayu kini bahkan berdiri termangu-mangu seperti juga Wanakerti. Sedang Kiai Gringsing mengikuti setiap perkembangan keadaan dengan saksama.

Dalam pada itu orang yang berkumis itu pun menjadi gelisah. Agaknya ia tidak dapat menahan kemarahannya lagi. Namun ia kini berhadapan dengan pimpinannya. Karena itu ia hanya dapat menghentak-hentakkan kaki sambil menggeretakkan giginya.

Dalam pada itu, selagi orang-orang yang berdiri di sekitar tem¬pat itu dicengkam oleh ketegangan, tiba-tiba mereka hampir ter¬lonjak di tempatnya ketika mereka mendengar pemimpin penga¬was itu tiba-tiba mengaduh sambil terhuyung-huyung.

Kiai Gringsing yang berdiri selangkah daripadanya, masih sempat meloncat dan menahannya, ketika pemimpin pengawas itu roboh. Dengan dada yang berdebaran dilihatnya sebuah pisau belati yang menancap di punggung pemimpin pengawas itu.

Selagi Kiai Gringsmg menahan pemimpin pengawas yang menjadi lemah, maka Agung Sedayu sampat meloncat ke luar dari lingkaran orang-orang yang sedang berbantah. Ia sempat melihat sesosok tubuh berdiri di atas batu padas. Bahkan Agung Sedayu masih melihat orang itu menggerakkan tangannya melemparkan pisau ke arahnya.

Untunglah bahwa Agung Sedaya mempunyai bekal ilmu yang cukup. Dengan tangkasnya ia menghindar. Sambil melon¬cat ke samping ia memiringkan tubuhnya, sehingga pisau itu meluncur di sisinya.

Tetapi orang di atas batu padas itu tidak segera menghen¬tikan serangannya. Sebelum Agung Sedayu sempat memper¬baiki kedudukannya, sebuah pisau yang lain telah meluncur mengarah ke dadanya.

Dalam keadaan yang sulit, Agung Sedayu masih sempat menjatuhkan dirinya, meskipun ia masih tetap menperhitungkan bahwa pisau berikutnya akan menyambarnya pula.

Perhitungannya ternyata benar. Ia terpaksa berguling sekali ketika sebilah pisau meluncur sekali lagi.

Orang-orang yang menyaksikan hal itu, bagaikan tonggak-tonggak mati yang membeku di tempatnya. Mereka rasa-rasanya sedang bermimpi menyaksikan pameran ketangkasan yang luar biasa. Ketangkasan melontarkan pisau, dan ketangkasan menghindarinya. Namun jantung mereka serasa menjadi berhenti berdetak, ketika mereka melihat Agung Sedayu terpaksa berguling-guling menghindari se¬rangan lawannya.

Namun Agung Sedayu sendiri sudah tentu tidak mau membiarkan dirinya menjadi sasaran serangan tanpa berbuat sesuatu. Ketika ia mendapat kesempatan, maka tiba-tiba ia meloncat berdiri. Hampir tidak kasat mata, bagaimana ia melakukan. Te¬tapi Agung Sedayu sudah membalas serangan-serangan pisau itu. Dengan sekuat tenaganya ia melempar orang yang berdiri di atas batu padas itu. Tidak dengan pisau, tetapi dengan batu sebesar telur ayam yang disambarnya pada saat ia berguling-guling di tanah.

Ternyata Agung Sedayu masih memiliki kecakapannya membidik yang dipelajarinya sejak kanak-kanak. Sejak ayahnya masih ada. Ayahnya pun adalah seorang pembidik yang baik.

Jangankan sasaran yang seakan-akan terpancang di atas batu padas, sedangkan sasaran yang bergerak di udara pun, Agung Sedayu mampu mengenainya.

Itulah sebabnya, maka sejenak kemudian, terdengar pekik kesakitan. Orang yang berdiri di atas batu padas itu terhuyung-huyung sejenak dan kemudian jatuh terguling di tanah.

Agung Sedayu tidak menunggu lebih lama lagi. Ia pun se¬gera berlari mendapatkan orang itu.

“Berhenti di situ!” tiba-tiba terdengar pengawas yang ber¬kumis lebat itu berteriak.

Agung Sedayu tertegun sejenak. Ketika ia berpaling, dili¬hatnya orang yang berkumis itu berjalan tergesa-gesa mendekatinya.