api di bukit menoreh 43

Ki Argapati yang kemudian berdiri di depan regol itu memandangi bayangan barisan lawan di dalam gelap malam. Ia tidak dapat menduga, berapa besar pasukan lawan itu.

Tetapi agaknya pasukan Ki Tambak Wedi itu pun berhenti beberapa puluh langkah di depan regol. Beberapa lama mereka mengatur gelar yang akan dipergunakan dan menempatkan orang-orang terpenting pada tempat yang telah ditentukan.

“Kita tidak akan dapat menahan mereka di luar regol,” desis Ki Argapati kepada orang-orang yang ada di sekitarnya. Samekta, Wrahasta, Kerti, Hanggapati, Dipasanga, Pandan Wangi, dan beberapa pemimpin kelompok terdekat. “Mereka akan merupakan banjir bandang yang tidak tertahankan. Karena itu jangan berbuat bodoh dengan usaha yang sia-sia itu. Tetapi kalian harus berusaha, mengurangi jumlah lawan sebanyak-banyak dapat kalian lakukan pada saat mereka mendesak masuk. Kita akan bertempur di dalam regol apabila mereka sudah memecahkan pertahanan kita. Karena itu, kita harus mempersiapkan arena itu. Sehingga kita mendapat keuntungan karenanya. Dalam perang campuh, kita harus masih mendapat kesempatan, mempergunakan senjata-senjata lontar. Itulah sebabnya, maka kita harus memanfaatkan pagar-pagar batu. Mereka tidak akan memperhitungkan sampai sejauh itu.”

Samekta dan para pemimpin yang lain mengangguk-anggukkan kepala mereka. Persiapan itu memang telah dilakukannya. Peringatan Ki Gede ini telah memantapkan cara itu untuk melawan serangan yang kurang diketahui, betapa besarnya.

“Begitu mereka mulai bergerak,” sambung Ki Argapati, “berikan tanda-tanda kepada pasukan yang berada di luar regol. Mereka akan menyerang pasukan lawan dari belakang. Mudah-mudahan pengaruhnya cukup baik bagi kita.” Ki Argapati berhenti sejenak, lalu, “Kalian tidak boleh salah menempatkan diri. Kalian telah mcmpunyai lawan masing-masing, sehingga kalian harus menemukannya. Kalau tidak rencana kita tidak akan berjalan dengan baik. Orang-orang terpenting di pihak lawan akan menimbulkan terlampau banyak korban.”

Para pemimpin pengawal itu mengangguk-anggukkan kepala mereka. Hanggapati dan Dipasanga sejenak saling berpandangan. Mereka belum mengenal seorang demi seorang, apalagi lawan, sedang kawan sendiri pun masih belum dikenalnya dengan baik.

“Beri kami petunjuk,” berkata Hanggapati, “supaya kami tidak keliru memilih lawan.”

“Ya,” jawab Ki Argapati, “Wrahasta akan bersama Ki Hanggpati dan Kerti akan berada bersama Ki Dipasanga. Mereka akan membawa kalian berdua kepada lawan-lawan kalian untuk bertempur bersama-sama. Ki Hanggapati dan Ki Dipasanga masih belum dapat menimbang betapa jauh kemampuan lawan, karena sebelumnya belum pernah mengenalnya.”

Hanggapati dan Dipasanga mengangguk-anggukkan kepalanya. Berkata Dipasanga, “Yang penting bagi kami bukanlah untuk mengenal kemampuan. Hampir setiap prajurit di peperangan tidak mengenal kemampuan lawan-lawannya sebelumnya. Yang penting bagi kami, karena lawan-lawan kami telah ditentukan sebelumnya adalah orang-orangnya. Siapakah dan yang manakah yang bernama Ki Tambak Wedi, Sidanti, Argajaya, Peda Sura, dan yang lain lagi.”

”Ya, ya,” Ki Argapati mengangguk-anggukkan kepalanya, “aku dapat mengerti. Mudah-mudahan dalam hiruk-pikuk pertempuran, rencana yang telah kita susun itu dapat kita lakukan dengan baik.”

Hanggapati dan Dipasanga mengangguk-anggukkan kepala mereka. Mereka menyadari, bahwa lawan-lawan mereka adalah orang-orang yang memiliki kemampuan tidak kalah dari para perwira Pajang. Karena itu, maka pertempuran kali ini tidak akan dapat dianggapnya sebuah perkelahian antara mereka yang sedang berebut air sawah, meskipun hakekatnya tidak jauh berbeda.

Tetapi keduanya adalah pengawal yang telah dipercaya oleh Ki Gede Pemanahan, untuk mengawani putera satu-satunya, menyelami pedalaman Alas Mentaok. Keduanya adalah perwira-perwira yang dapat dibanggakan. Keduanya tidak jauh berbeda kemampuan dari Sutawijaya sendiri.

Dan kini mereka berdua mendapat tugas untuk mendekatkan hubungan antara Mentaok, yang masih harus membangun hari depannya dengan Menoreh, yang kini sedang dibakar oleh api perpecahan.

“Aku harus dapat menunaikan tugas ini dengan baik,” berkata Hanggapati di dalam hatinya. “Kalau aku gagal, maka pendekatan hubungan antara Angger Sutawijaya dan Ki Argapati ini pun akan gagal pula. Tetapi kalau aku berhasil bersama Ki Dipasanga, maka setidak-tidaknya, Ki Argapati akan mengingat-ingatnya di dalam hatinya. Apabila Angger Sutawijaya kelak berhasil membuka Mentaok, Menoreh pasti tidak akan mengganggunya.”

Sedang Dipasanga pun berpendirian serupa itu pula, sehingga meskipun kini mereka sedang berada di antara lingkungan yang baru saja dikenalnya, namun mereka merasa, bahwa tugas mereka harus mereka lakukan sebaik-baiknya untuk kepentingan Sutawijaya.

Demikianlah, maka para pemimpin Menoreh itu pun telah siap untuk menyambut lawan mereka. Wajah-wajah mereka segera menjadi tegang, ketika bayangan di atas sawah yang kering di hadapan regol itu mulai bergerak-gerak, seperti seleret pagar yang hitam yang maju perlahan-lahan di antara batang-batang ilalang yang tumbuh liar.

“Mereka telah mulai bergerak,” desis Samekta.

“Ya. Mereka telah mulai.”

Setiap orang mulai menahan nafasnya, seperti Ki Tambak Wedi juga menahan nafas. Sidanti, Argajaya, Ki Peda Sura, Ki Muni, Ki Wasi, dan pemimpin yang lain telah ditempatkan di tempat masing-masing. Dan pasukannya kini telah mulai merayap mendekati regol padukuhan di hadapan mereka. Ki Tambak Wedi menyadari, bahwa di sekitar regol itu telah siap segala macam ujung senjata yang akan menyambutnya. Namun tidak ada pilihan lain daripada bertempur. Tidak ada pilihan lain daripada menumpas mereka, yang akan dapat menjadi benih persoalan di masa depan. Ki Tambak Wedi sama sekali tidak menghiraukan lagi, apakah dengan demikian ia telah menyisihkan rasa perikemanusiaan.

Sejenak kemudian, setiap tangan telah menggenggam senjata yang telanjang. Beberapa orang di setiap kelompok diperlengkapi dengan senjata-senjata jarak jauh. Panah, bandil dan bahkan tulup-tulup berduri. Di samping mereka yang berperisai, pelontar senjata-senjata jarak jauh itu harus berusaha mengurangi tekanan senjata-senjata yang dilontarkan oleh lawan.

Maka setelah Ki Tambak Wedi merasa saatnya telah tiba, pasukannya itu pun dibawanya maju semakin dekat. Jarak yang semakin dekat itu telah membuat kedua belah pihak menjadi semakin berdebar-debar. Setiap orang mulai menilai diri. Dan setiap orang mulai bertanya-tanya, siapakah lawan yang akan dibinasakannya?

Jarak yang memisahkan kedua pasukan itu menjadi semakin dekat. Sebentar lagi mereka pasti akan segera berbenturan. Dalam benturan yang dahsyat itu, mereka sudah tidak akan ingat lagi, bahwa mereka pernah hidup dalam satu lingkungan keluarga besar yang bersama-sama membina tanah perdikan ini. Yang pernah bersama-sama membuat sawah-sawah dan pategalan menjadi hijau. Menebas hutan untuk membuka tanah-tanah baru. Menggali parit, dan membuat jalan-jalan.

Kini mereka telah terbelah dengan senjata di tangan masing-masing. Sedang dada mereka telah terbakar oleh kebencian dan nafsu-nafsu yang lain, yang tidak terkendali lagi.

Dan kini mereka telah siap untuk saling membunuh. Ya, saling membunuh. Tanpa belas kasihan, tanpa berperikemanusiaan. Apalagi perintah Ki Tambak Wedi. Semua harus dimusnahkan. Mereka akan menjadi rabuk bagi kesuburan dan kemakmuran tanah ini di hari kemudian.

Ki Argapati menunggu pasukan lawan menjadi semakin dekat. Ia tidak akan menerima lawannya dekat di depan regol. Tetapi ia akan mundur beberapa puluh langkah. Ia memerlukan suatu arena yang luas untuk melawan pasukan Ki Tambak Wedi yang tidak akan dapat tertahan di mulut regol, karena Ki Argapati telah dapat membayangkan, betapa dahsyatnya banjir bandang yang akan melanda padukuhan dan pertahanannya kali ini. Namun menurut perhitungannya, korban mereka pun tidak akan terhitung lagi.

Demikianlah, maka pasukan Ki Tambak Wedi itu pun telah menjadi semakin dekat. Samekta yang telah berjanji untuk memberitahukan kepada gembala tua dan sebagian pasukannya yang berada di pategalan di sebelah padukuhan, itu pun segera memerintahkan untuk melepaskan tiga buah anak panah api ke udara, seperti yang telah dijanjikan. Tetapi panah api itu bukan sekedar pemberitahuan kepada pasukan Menoreh yang ada di luar padukuhan, tetapi juga merupakan perintah bagi setiap orang dari pasukan pengawal tanah perdikan ini untuk berada di tempatnya, dan bagi mereka yang berkuwajiban untuk menyerang pasukan Tambak Wedi dengan senjata-senjata pelontar, untuk segera mulai memasang anak-anak panah, dan lembing-lembing yang akan segera mereka lepaskan apabila perintah berikutnya telah diberikannya.

Sejenak kemudian, maka meluncurlah tiga buah panah api berturut-turut ke udara.

Ki Tambak Wedi dan orang-orangnya yang melihat panah api itu mengerutkan kening mereka. Mereka sadar, bahwa tanda itu pasti merupakan suatu perintah. Tetapi mereka tidak tahu, arti dari perintah itu.

Meskipun demikian, Ki Tambak Wedi pun kemudian meneriakkan aba-aba yang segera disahut oleh para pemimpin kelompok, untuk berwaspada.

“Panah berapi itu pasti mengandung suatu maksud. Hati-hatilah. Kita sudah sampai ke hidung lawan. Sebentar lagi senjata-senjata mereka akan menghujani kita. Berlindunglah pada perisai-perisai kalian.”

Belum lagi gema perintah itu hilang, maka ternyatalah, bahwa Samekta telah memberikan perintah berikutnya atas persetujuan Ki Argapati.

Kali ini bukan panah api yang naik ke udara, tetapi sebuah panah api yang langsung dilepaskan oleh Samekta sendiri ke arah pasukan Ki Tambak Wedi.

Beberapa orang pengawal yang melihat panah api itu pun segera menyadari, bahwa pertempuran sudah dimulai.

Sekejap kemudian, maka beberapa panah api telah meluncur pula dari dalam lingkungan pring ori. Beberapa obor terpaksa dinyalakan untuk membakar ujung panah berapi itu.

Ki Tambak Wedi pun kemudian menggeram. Dengan suara bergetar ia segera meneriakkan perintah, “Balas setiap panah dengan panah. Setiap nyawa dengan nyawa.”

Anak buahnya pun segera menyiapkan perisai-perisai mereka dan di belakang orang-orang yang berperisai itu, beberapa orang telah menyiapkan busur dan anak-anak panah pula.

Sejenak kemudian, maka udara di antara kedua pasukan itu pun segera dipenuhi oleh anak-anak panah yang hilir-mudik ke arah yang berlawanan. Anak-anak panah para pengawal yang bersenjata di balik pring ori dan anak-anak panah orang-orang Ki Tambak Wedi yang mencoba melindungi diri mereka dengan perisai-perisai.

Bukan saja anak-anak panah bedor berujung runcing yang berterbangan kian kemari, tetapi juga panah-panah api, seolah-olah menari-nari di udara.

Pasukan Ki Tambak Wedi yang merayap maju itu sama sekali tidak menghiraukan bumbung-bumbung kecil di bawah kaki-kaki mereka.

Dengan demikian, maka mereka telah menggulingkan beberapa di antara bumbung-bumbung yang berisi minyak, semakin lama semakin banyak. Dan minyak itu agaknya telah menangkap api yang terlontar dari panah-panah api dari balik pring ori. Dengan demikian, maka api pun segera berkobar pada jerami yang sengaja ditebarkan oleh para pengawal Menoreh.

“Licik,” Ki Tambak Wedi menggeram. Mau tidak mau, maka api itu pun telah mengganggu pasukannya. Bahkan beberapa orang yang lengah telah terjilat api jerami di bawah kaki-kaki mereka.

Api itu pun sejenak kemudian telah menjalar. Api yang terlontar pada ujung-ujung panah api telah membakar jerami itu di beberapa tempat, sehingga jerami yang terbakar itu pun kemudian seolah-olah merupakan pagar yang menjilat-jilat ke udara.

Api itu benar-benar telah berhasil menahan arus pasukan Ki Tambak Wedi. Mereka harus berhati-hati, supaya kaki mereka tidak terbakar karenanya.

Dalam kesempatan yang demikian itulah, pasukan pelontar lembing dan busur-busur di dalam pagar pring ori itu melepaskan lembing dan anak-anak panah. Seperti hujan senjata-senjata itu menyambar pasukan Ki Tambak Wedi yang sedang terhambat maju.

Sekali lagi Ki Tambak Wedi mengumpat. Sidanti yang menjadi kian marah berteriak nyaring, “Jangan takut. Mereka menjadi licik karena mereka ketakutan melihat arus pasukan kita yang datang seperti banjir bandang. Pecahlah regol itu, kita jadikan padukuhan itu menjadi karang abang.”

Pasukan Ki Tambak Wedi pun kemudian bersorak gemuruh. Tetapi mereka masih belum dapat maju, karena api yang membakar jerami di depan regol itu masih menyala-nyala, sementara anak-anak panah menyambar-nyambar di atas kepala mereka.

Satu dua dari mereka ternyata menjadi lengah. Selagi mereka meloncat-loncat menghindari api di bawah kaki mereka, maka sementara itu dada mereka telah disambar oleh sebuah anak panah.

Korban telah mulai berjatuhan.

Justru karena itulah, maka kemarahan Ki Tambak Wedi, Sidanti, Argajaya, dan para pemimpin yang lain menjadi semakin memuncak.

Namun api jerami itu pun tidak dapat bertahan terlampau lama. Sejenak kemudian, api itu telah mulai surut. Meskipun demikian, api itu telah berhasil menahan mereka dalam garis lontaran anak-anak panah dan lembing, sehingga senjata-senjata itu telah berhasil merenggut beberapa nyawa dari lawan mereka.

“Kita maju terus,” teriak Ki Tambak Wedi.

Orang yang telah berada di depan api jerami itu tidak segera maju. Mereka masih menunggu pasukan yang lain, yang terpisah oleh api yang sudah hampir padam.

“Cepat, maju terus!” teriak Ki Tambak Wedi pula.

Namun mereka masih belum dapat maju. Sisa-sisa api dan abu jerami itu masih terlampau panas, sementara anak-anak panah dan lembing masih terus menghujani mereka, sehingga satu demi satu korban pun kian bertambah-tambah.

Baru sejenak kemudian, pasukan itu dapat melampaui bekas api jerami yang di sana-sini masih menyimpan bara.

Dan ternyata kemudian, untuk melampaui garis yang dibuat oleh para pengawal Menoreh dengan jerami dan minyak itu, pasukan Ki Tambak Wedi sudah harus menyerahkan beberapa orang korban. Namun korban-korban itu seperti api yang menyentuh minyak di dalam dada para pemimpinnya. Dengan kemarahan yang menyala-nyala, mereka merayap semakin dekat.

Panah dan lembing berloncatan di udara. Semakin lama semakin banyak. Bahkan ada di antara senjata-senjata itu yang berbenturan di udara dan jatuh di tanah tanpa menyentuh korbannya sama sekali.

Ki Gede melihat pasukan lawan yang semakin maju itu dengan dada yang berdebar-debar. Ternyata pasukan itu cukup kuat. Dan Ki Gede Menoreh itu tahu benar, bahwa sebagian dari mereka, bukanlah orang-orang Menoreh. Orang yang datang untuk pamrih-pamrih pribadi, itulah yang membuat Ki Gede terlampau prihatin. Orang-orang itu sama sekali tidak memikirkan kepentingan apa pun, selain kepentingan diri mereka sendiri. Sehingga dengan demikian, Menoreh sama sekali tidak akan berarti lagi bagi mereka, apabila maksud mereka telah dapat tercapai. Namun ada juga di antara mereka, di antaranya Ki Peda Sura, yang menginginkan Menoreh yang lain dari Menoreh yang sekarang. Selain dapat memberikan keuntungan pribadi secara langsung, juga di waktu-waktu mendatang. Menoreh akan tetap merupakan sumber yang tidak akan kering-keringnya bagi dirinya dan orang-orangnya.

Tetapi Ki Gede juga berbangga, melihat kebulatan tekad para pengawal tanah perdikannya. Wajah-wajah mereka yang mantap dan sorot mata mereka yang membara, telah menyatakan, bahwa mereka bersedia melakukan apa saja untuk kepentingan tanah ini. Apalagi setelah mereka mendengar ceritera tentang pasukan berkuda Menoreh, yang telah berhasil menerobos masuk ke padukuhan induk. Ternyata, bahwa Ki Tambak Wedi bukan iblis yang melihat segala keadaan dan segala peristiwa di atas tanah ini. Suatu ketika orang yang mengerikan itu dapat juga lengah.

Semakin dekat pasukan Ki Tambak Wedi, maka hujan senjata dari balik pring ori itu pun menjadi semakin lebat. Meskipun orang-orang Ki Tambak Wedi membalas juga, namun kedudukan orang-orang di balik pring ori itu ternyata jauh lebih baik dari mereka yang berlindung di balik perisai, karena arah lontaran anak panah lawan tidak dapat diperhitungkan.

Namun betapapun lambatnya, pasukan lawan itu maju terus. Bahkan ketika regol padukuhan itu sudah menjadi semakin dekat, tiba-tiba terdengar Ki Tambak Wedi yang memimpin langsung serangan itu berteriak nyaring. Dan sejenak kemudian, seperti banjir bandang, pasukan itu mengalir melanda regol.

Sesaat Samekta tertegun, melihat arus manusia yang hampir-hampir seperti kehilangan perasaannya. Namun sejenak kemudian ia menyadari keadaannya, sehingga segera turun pula perintahnya agar pasukan pelontar yang menebar di belakang pring ori, segera menarik diri menghadap regol padukuhan. Menempatkan dirinya di balik pagar-pagar batu di sepanjang jalan. Mereka harus menyongsong pasukan Ki Tambak Wedi, yang pasti akan memecahkan regol.

Hanya beberapa orang sajalah yang tertinggal di belakang pring ori untuk mengawasi apabila ada usaha lain yang dilakukan oleh pasukan lawan.

Demikianlah, maka sebagian besar dari alat-alat pelontar yang dapat dipindah dari tempatnya segera dibawa ke balik pagar-pagar batu menghadap ke regol, yang sebentar lagi akan dipecahkan oleh pasukan Ki Tambak Wedi.

“Kurangi jumlah lawan sebanyak-banyaknya dapat kalian lakukan,” perintah Samekta. “Sebagian langsung menyerang pasukan yang baru masuk itu dari depan, sedang yang lain harus memukulnya dari samping, apabila sebagian dari mereka justru telah masuk.”

Setiap pemimpin kelompok pasukan pelontar senjata jarak jauh itu mengangguk-anggukkan kepala mereka. Mereka tahu benar, apa yang harus mereka lakukan.

“Dalam keadaan yang tidak teratasi, kalian harus mundur dan bergabung dengan pasukan yang lain.”

Sekali lagi mereka mengangguk. Tanpa sadar, mereka telah meraba hulu pedang di lambung mereka.

“Nah, lakukanlah.”

Orang-orang itu pun kemudian berlari-lari kembali ke kelompok masing-masing. Dengan dada berdebar-debar, mereka menunggu orang-orang Ki Tambak Wedi yang sedang berusaha untuk membuka pintu regol di dalam hujan anak-anak panah, yang dilontarkan oleh para pengawal di sebelah-menyebelah regol.

“Pecahkan regol itu!” teriak Ki Tambak Wedi.

Beberapa orang yang dipimpin langsung oleh Sidanti, berusaha memecah regol itu dengan kekerasan. Karena regol itu terlampau kuat dengan selarak kayu sebesar paha, maka Sidianti berusaha mencari cara lain. Bukan pintunyalah yang akan dipecahkannya. Tetapi dinding sebelah menyebelah pintu darurat itu.

Beberapa orang berusaha memecah dinding itu dengan kapak dan berbagai macam senjata yang mereka bawa. Agaknya usaha itu berhasil. Sedikit demi sedikit papan-papan kayu itu pecah dan memberi kesempatan ujung senjata mengungkit sisa-sisanya.

Sejenak kemudian, Sidanti telah berhasil memecahkan dinding itu. Dengan lantang ia berteriak, “Masuk, buka selarak pintu.”

Seseorang dengan tergesa-gesa menyusup masuk lubang yang telah berhasil mereka buat. Tetapi begitu ia masuk, jatuhlah ia tertelungkup. Sebuah anak panah telah terhunjam di dadanya.

Sidanti menggeram. Ia sadar, meskipun di depan regol itu tidak ada pasukan yang menghadang mereka, tetapi begitu pintu itu pecah, maka ujung-ujung anak panah akan berterbangan menyongsong mereka.

Dalam keragu-raguan itu, terdengar Ki Tambak Wedi berteriak, “Pecahkan dinding itu lebih lebar lagi!”

Dan Sidanti pun melakukannya. Dinding itu menjadi semakin menganga. Dan Sidanti pun semakin keras berteriak, “Masuk dengan perlindungan perisai!”

Seseorang segera menyusup masuk dengan sebuah perisai yang menutup dada dan kepalanya. Tetapi ketika tangannya baru menyentuh selarak ia pun jatuh terguling. Mati oleh anak panah dari lambung.

Kini Sidanti menjadi semakin marah. Tetapi ia pun menjadi semakin banyak mengetahui, tentang kesiagaan lawannya. Karena itu, ia harus mengambil cara yang lain. Dan sekali lagi ia berteriak kepada orang-orangnya, “Jangan hanya satu orang. Masuklah beberapa orang bersama-sama.”

Dinding yang pecah di sisi pintu itu pun menjadi semakin lebar. Kini beberapa orang menyusup bersama-sama. Tidak hanya dari satu sisi, tetapi dari kedua belah pihak.

Beberapa orang yang telah berada di dalam pintu gerbang itu pun segera membuat lingkaran untuk melindungi diri mereka dengan perisai yang satu dengan yang lain saling bersentuhan rapat, seolah-olah mereka telah berada di dalam suatu lingkaran baja yang rapat, dan tidak tembus oleh panah.

Tetapi orang-orang Menoreh tidak kehabisan akal. Mereka tidak lagi memakai panah-panah berujung runcing. Tetapi mereka kemudian melemparkan panah-panah api lewat di atas perisai-perisai itu.

Orang-orang yang melidungi dirinya dengan perisai itu mengumpat-umpat sambil meloncat-loncat karena api yang menyentuh kaki-kaki mereka, meskipun mereka telah menutup diri dengan perisai-perisai ganda. Seorang berjongkok yang lain berdiri, dalam satu lingkaran di depan pintu regol itu.

Tetapi api yang dilontarkan begitu saja telah jatuh bertaburan di sekitar mereka, bahkan ada yang jatuh tepat di atas kepala.

Sesaat kemudian, lingkaran perisai itu pun segera terurai. Tetapi pada saat yang bersamaan, seseorang telah berhasil mengangkat selarak pintu regol yang besar itu pada satu sisinya.

“Setan,” geram Samekta yang berdiri di atas dinding batu. Tangannya segera terentang. Dan sejenak kemudian sebuah anak panah meluncur menyusup pagar perisai yang telah pecah, langsung menghunjam ke punggung orang yang sedang berusaha mengangkat selarak pintu itu.

Terdengar ia terpekik. Kemudian terhuyung-huyung jatuh terlentang. Sekali lagi ia mengeluh tertahan, ketika palang pintu yang besar itu jatuh menimpa kepalanya. Kemudian untuk seterusnya ia terdiam. Mati.

Namun dengan demikian pintu regol itu sudah menganga. Seperti prahara yang tidak tertahankan lagi, dan pintu itu bagaikan bendungan yang akan pecah. Perlahan-lahan kekuatan yang tidak terkira di luar pintu itu mendesak terus, sehingga akhirnya pintu itu pun terbuka.

Seperti banjir bandang, orang-orang Ki Tambak Wedi kemudian berjejalan memasuki regol itu.

Kesempatan itu tidak dilewatkan oleh para pengawal Tanah Perdikan Menoreh. Sekejap kemudian, maka muntahlah dari setiap busur, anak-anak panah menghujani regol. Sejenak kemudian segera terdengar teriakan dan pekik tertahan. Beberapa orang segera jatuh terbanting di tanah karena dada mereka ditembus oleh panah dan lembing.

“Pergunakan perisai kalian!” teriak Sidanti.

Barulah orang-orang itu sadar. Tetapi korban telah berjatuhan. Kini mereka dengan hati-hati maju sambil melindungi diri masing-masing dengan perisai.

Tetapi demikian, mereka berada di dalam regol, maka mereka pun segera berlari berpencaran di sepanjang jalan. Bahkan mereka pun segera berusaha meloncat masuk ke dalam halaman sebelah-menyebelah jalan.

Namun ternyata, para pengawal tanah perdikan telah siap menyambut mereka. Sebelum mereka berhadapan dalam arena perang, maka para pengawal tanah perdikan masih sempat menyerang mereka dengan anak-anak panah dan lembing. Namun kesempatan untuk itu menjadi semakin sempit, karena jumlah lawan yang menjadi semakin banyak dan dekat.

Ki Argapati melihat semuanya itu dengan dada yang berdebaran. Kemudian ia pun memberikan isyarat kepada orang-orangnya untuk menemukan lawan yang telah ditentukan. Ia sendiri masih berdiri tegak di tempatnya, di antara pengawal-pengawalnya yang paling terpercaya. Di sampingnya berdiri puteri satu-satunya, Pandan Wangi, yang telah menggenggam sepasang pedangnya.

“Mereka akan segera datang Wangi,” desis ayahnya.

Pandan Wangi menganggukkan kepalanya. Ketika ia berpaling, dilihatnya tombak pendek ayahnya telah merunduk.

Pasukan lawan itu pun semakin lama semakin maju perlahan-lahan. Mereka kini telah menebar, memencar ke segala arah. Namun untuk sampai di garis itu, mereka sudah harus menyerahkan terlampau banyak korban, seperti yang telah diduga oleh Ki Argapati.

Ternyata dalam keadaan yang demikian, Ki Tambak Wedi masih tetap berhasil menguasai pasukannya. Masih tampak jelas, bahkan pasukannya itu maju dalam gelar. Gelar Gajah Meta, meskipun harus disesuaikan dengan keadaan. Arena agaknya terlampau sempit untuk merubah gelar itu ke dalam bentuk yang lain.

Ki Argapati memang sudah menduga. Satu-satunya gelar yang paling menguntungkan bagi Ki Tambak Wedi. Mereka masih berada di dalam lingkungan yang sempit, karena mereka belum berhasil menebarkan pasukan mereka. Apalagi karena mereka berhadapan dengan gelar yang ternyata telah dipasang oleh Samekta, Sapit Urang.

Sementara itu, Wrahasta telah berdiri di samping Hanggapati. Mereka berdua harus menemukan Sidanti di dalam hiruk-pikuknya peperangan itu, sedang Kerti harus mengantar Dipasanga mencari Argajaya, atau apabila keadaan memaksa, dapat terjadi sebaliknya. Yang penting, bahwa Sidanti dan Argajaya dapat terikat dalam suatu perkelahian yang seimbang, sehingga mereka tidak terlampau banyak menghisap korban.

Samekta yang mendapat kepercayaan memimpin, perlawanan itu kini telah mendekatkan dirinya kepada Ki Argapati. Keadaan menjadi terlampau sulit baginya. Karena itu, maka ia harus selalu berada disamping Ki Gede, agar segala perintahnya tidak menyesatkan.

Ki Gede Menoreh tidak beranjak dari tempatnya. Ia yakin, bahwa Ki Tambak Wedi akan berada di ujung pasukannya, sehingga apabila ia tetap berada di tempat itu, maka mereka akan dapat segera bertemu.

Demikianlah, maka pertempuran itu pun segera menjalar semakin merata. Orang-orang Ki Tambak Wedi yang mengembang semakin luas, segera harus berhadapan dengan para pengawal Tanah Perdikan Menoreh yang semakin menyempit.

Sidanti dan Argajaya telah menempatkan diri mereka masing-masing, di sebelah-menyebelah ujung belalai gelar Gajah Meta, seakan-akan menjadi ujung taring yang maha runcing. Sedang seperti telah diperhitungkan, Ki Tambak Wedi sendiri berada di tengah-tengah ujung pasukannya.

Ki Argapati melihat gelar di kedua belah pihak dengan dada yang berdentangan. Kedua pasukan itu telah benar-benar bertempur, dan darah pun telah membasahi Tanah Perdikan Menoreh. Darah putera-puteranya sendiri.

Namun dalam pada itu, selagi pasukan Ki Tambak Wedi bergerak maju untuk mencapai seluruh arena pertempuran, terdengarlah hiruk-pikuk di ekor pasukan itu. Sejenak Ki Tambak Wedi tertegun, namun kemudian dibiarkannya orang-orang yang memang sudah ditempatkan di ekor barisan untuk mengatasi persoalannya. Ki Tambak Wedi memang sudah menduga, bahwa apabila pertempuran terjadi di dalam regol, maka kemungkinan yang terberat, orang-orang Argapati akan menyerang dari segala arah. Karena itu, maka Ki Peda Sura, Ki Muni, dan Ki Wasi di tempatkannya di ekor barisannya.

Ternyata yang datang menyerang ekor pasukan Ki Tambak Wedi itu adalah para pengawal yang berada di luar padukuhan. Dengan tangkasnya mereka menyerang sisa-sisa pasukan lawan yang masih belum sempat masuk ke dalam regol. Dengan demikian, maka pasukan itu pun segera tertahan.

Namun Ki Peda Sura yang telah sembuh dari lukanya, segera menempatkan diri di dalam pasukannya. Sejenak kemudian, ia berhasil membawa seluruh pasukannya masuk ke dalam regol sambil bertempur menghadap keluar. Ki Peda Sura, Ki Muni, dan Ki Wasi berusaha menyumbat pintu regol dengan ujung senjata bersama pasukannya, untuk mencegah para pengawal itu masuk.

Tetapi ternyata usaha Ki Peda Sura itu tidak berhasil. Pasukan yang berada di luar padukuhan itu pun mendesak terus, sehingga akhirnya, Ki Peda Sura harus menghadapinya di dalam padukuhan, di jalan-jalan sempit dan di halaman. Sementara ujung pasukannya telah maju lebih jauh lagi.

Ki Argapati pun kemudian melihat pula, bahwa pasukannya yang berada di luar lingkungan pring ori ini telah ikut serta pula bertempur. Ternyata cara yang dipergunakannya itu telah berhasil menahun arus maju pasukan Ki Tambak Wedi, karena sebagian dari mereka harus melawan serangan yang datang dengan tiba-tiba dari arah belakang. Meskipun hal serupa itu telah diperhitungkan oleh Ki Tambak Wedi, namun ia tidak menyangka, bahwa kekuatan yang menyerang dari ekor gelar Gajah Metanya itu adalah pasukan yang cukup kuat.

Tetapi Ki Tambak Wedi percaya sepenuhnya kepada kemampuan Ki Peda Sura. Tidak ada orang Menoreh yang dapat mengalahkannya selain Ki Argapati sendiri. Kemampuan Ki Peda Sura tidak terpaut terlampau banyak daripadanya sendiri dan Ki Argapati. Karena itu, ia bersama-sama Ki Muni dan Ki Wasi, orang-orang terkuat di atas tanah perdikan ini, akan segera dapat menyapu lawan-lawannya, betapapun kuatnya.

Dalam hiruk-pikuk pertempuran itu, sekali-sekali terdengar teriakan-teriakan nyaring, di sela-sela keluhan kesakitan. Dentang senjata dan perisai, kadang-kadang melontarkan bunga-bunga api di udara. Namun dalam pada itu, orang-orang yang sedang bertempur itu pun telah dikejutkan oleh ledakan cambuk yang memekakkan telinga.

“Setan!” geram Sidanti. “Apakah mereka berada ditempat ini juga?”

Namun sejenak kemudian, anak muda yang perkasa itu mengumpat-umpat tidak habis-habisnya. Akhirnya ia melihat seseorang yang bersenjatakan cambuk. Tetapi orang itu sama sekali belum dikenalnya. Seorang dalam pakaian yang serupa dengan pakaian para pengawal dan orang-orang Menoreh yang lain. Di sampingnya, seorang anak muda yang bertubuh raksasa, bertempur bagaikan gajah yang sedang mengamuk.

“Wrahasta,” desis Sidanti, “anak itu terlampau sombong. Tubuhnya yang besar itu, disangkanya mampu membuatnya seorang yang tidak terkalahkan.”

Karena itu, maka Sidanti pun segera meloncat, menyusup di antara peperangan itu, menyongsong Wrahasta yang sedang mengayun-ayunkan pedangnya.

Sidanti sama sekali tidak menghiraukan orang bercambuk itu. Ia tidak melihat Wrahasta berbisik kepada orang yang memegang cambuk itu. Dan ia tidak melihat, bahwa orang yang memegang cambuk itu mengangguk-anggukkan kepalanya sambil berdesis, “Jadi anak muda itulah yang bernama Sidanti. Pantas, ia tangkas seperti sikatan.”

“Akulah yang akan menyelesaikannya,” desis Wrahasta.

“Aku mendapat tugas untuk itu.”

“Aku adalah anak Menoreh. Aku ingin mencobanya.”

Hanggapati sama sekali belum dapat memperbandingkan kekuatan Wrahasta dengan kekuatan Sidanti, bahkan dengan kemampuannya sendiri. Tetapi agaknya Wrahasta sudah tidak dapat dicegah lagi. Ketika Sidanti datang semakin dekat, langsung ia menyongsongnya dengan sambaran pedang. Dengan penuh kebanggaan, Wrahasta terlampau percaya kepada tenaga raksasanya. Sidanti yang lebih kecil dan lebih pendek daripadanya, pasti tidak akan memiliki kekuatan seperti kekuatannya.

Namun betapa terkejut Wrahasta, pada saat senjatanya membentur pedang Sidanti. Terasa seolah-olah tangannya menjadi retak. Perasaan sakit yang amat sangat telah menyengat telapak tangannya, kemudian menjalar sampai ke seluruh tubuhnya. Wrahasta sama sekali tidak berdaya untuk mempertahankan genggamannya, sehingga pedangnya itu pun bergetar dan jatuh di tanah.

“Kau terlampau sombong,” geram Sidanti. “Ternyata kau telah mengantarkan nyawamu, he raksasa yang bodoh.”

Sejenak Wrahasta seakan-akan terpaku di tempatnya. Ia sama sekali tidak menyangka, bahwa Sidanti mempunyai kekuatan yang tidak terkirakan. Tangannya yang jauh lebih besar dari tangan Sidanti itu seolah-olah sama sekali tidak berdaya, dan pedangnya yang besar itu seakan-akan telah membentur batu karang.

Tanpa dapat berbuat sesuatu, ia melihat Sidanti justru melangkah surut. Kemudian menggeram, “Ternyata kaulah pemimpin pengawal Menoreh yang pertama-tama mati oleh ujung pedangku.”

Namun sebelum Sidanti meloncat maju sambil menghunjamkan ujung pedangnya, maka Hanggapati telah mendapat kesempatan untuk berbuat sesuatu. Dengan sepenuh tenaganya ia meledakkan cambuknya mengarah ke pergelangan tangan Sidanti.

Sidanti terkejut bukan buatan. Disangkanya orang yang memegang cambuk itu adalah orang-orang Menoreh yang mencoba-coba jenis senjata itu, atau salah seorang dari orang-orang berkuda yang berusaha mengelabui orang-orangnya. Namun ternyata orang itu mampu bergerak begitu tangkas dan kuat. Karena itu, maka dengan tergesa-gesa Sidanti sekali lagi meloncat surut. Namun orang itu ternyata tidak melepaskannya. Sekali lagi cambuk itu menggeletar di udara dan menyambar lehernya.

“Setan,” Sidanti mengumpat sambil merunduk rendah-rendah. Ia tidak mau menjadi sasaran tanpa berbuat sesuatu. Karena itu, maka tiba-tiba pedangnya terjulur lurus-lurus mengarah ke lambung lawannya.

Hanggapati terpaksa bergeser surut. Namun ia tidak lengah, dan cambuknya masih tetap berputar.

“He, menyenangkan juga jenis senjata ini,” katanya di dalam hati. “Ternyata jenis senjata lentur dapat juga digerakkan dengan cepat dan lincah seperti sulur pepohonan.”

Dada Sidanti serasa terbakar menghadapi kenyataan itu. Karena itu, maka darahnya serasa mendidih sampai ke ubun-ubunnya. Apalagi ketika ia melihat raksasa yang kehilangan pedang itu telah berhasil memungut pedangnya kembali.

“Siapakah orang ini?” pertanyaan itu selalu mengganggu jantung Sidanti. “Apakah di Menoreh ada orang baru yang demikian tangkasnya bermain dengan cambuk, ataukah orang-orang ini termasuk seperguruan atau termasuk dalam salah satu cabang perguruan Kiai Gringsing?”

Namun justru karena itu, maka Sidanti pun kemudian mendesak maju. Ia harus segera menyelesaikan lawannya, dan kemudian membinasakan orang-orang Menoreh seperti menebas batang ilalang.

Tetapi ternyata orang ini memang mempunyai kelebihan dari orang lain. Bahkan kemudian, ternyata bahwa orang itu mampu melawannya dengan senjata cambuknya itu.

“He,” tiba-tiba Sidanti menggeram, “siapa kau? Apakah kau orang baru di sini?”

Hanggapati tidak menjawab. Tetapi cambuknya sajalah yang bergeletar menyambar-nyambar, sehingga setiap kali Sidanti harus menghindarinya dan bahkan melangkah surut.

“Aku yakin, kau bukan orang Menoreh,” geram Sidanti kemudian. “Sikapmu terlampau tenang dan pandangan matamu lurus-lurus ke pusat mata lawanmu. Kau pasti bukan orang Menoreh atau pengawal tanah perdikan ini. Coba katakan, siapakah kau?”

Hanggapati masih tetap berdiam diri. Tetapi serangannya menjadi semakin deras melanda lawannya. Ujung cambuknya berdesing-desing seperti lebah yang mengitari tubuh Sidanti. Bahkan sentuhan yang sekali-sekali menyengat tubuhnya, serasa seperti tusukan duri-duri yang paling tajam.

Sekali lagi Sidanti menggeram. Tetapi ia pun terkejut, ketika di bagian lain dari pertempuran itu terdengar sekali lagi ledakan cambuk. Bahkan kemudian berturut-turut.

“Siapakah yang telah siap melawan Paman Argajaya itu?” Sidanti bertanya kepada diri sendiri. Dengan demikian, maka kemarahannya pun menjadi semakin meluap-luap.

Sementara itu, Dipasanga pun telah melecutkan cambuknya berulang kali. Meskipun belum terlampau biasa, tetapi sebagai seorang prajurit ia segera dapat menyesuaikan diri dengan senjata yang ada di tangannya. Dan kali ini senjata itu adalah sebuah cambuk.

Argajaya pun mengumpat tidak habis-habisnya. Ia tidak menyangka, bahwa pada suatu ketika ia akan bertemu dengan lawan yang demikian tangguhnya. Apalagi lawannya itu ternyata bersenjata cambuk.

“Pantaslah, bahwa orang-orang berkuda itu berani memasuki padukuhan induk. Di antaranya terdapat orang-orang bercambuk seperti ini.”

Namun seperti Sidanti, kemarahan Argajaya pun segera memuncak. Seperti Sidanti, ia pun bertanya dalam nada yang datar, “Siapa kau, he?”

Namun berbeda dengan Hanggapati, ternyata Dipasanga menjawab, “Namaku Dipa.”

“Darimana kau?”

“Aku orang Menoreh.”

“Bohong!” teriak Argajaya. “Aku belum pernah melihat kau.”

“Apakah kau pernah datang ke Menoreh sebelum ini?”

Betapa hiruk-pikuknya peperangan, Kerti yang mendengar pertanyaan itu terpaksa tersenyum. Argajaya adalah adik kepala tanah perdikan ini.

Dengan demikian, maka pertanyaan Dipasanga itu telah membuktikan, bahwa justru Dipasanga-lah yang belum mengenal Menoreh. Karena itu, terdengar Argajaya menggeram, “Kau terlampau bodoh untuk berpura-pura. Kenapa kau bertanya begitu kepadaku?”

Dipasanga surut selangkah. Namun kemudian, serangannya melibat lawannya seperti angin pusaran. “Siapa kau?” ia ganti bertanya.

“Aku adalah Argajaya. Adik kepala tanah perdikan ini.”

Dipasanga mengerutkan keningnya. Ia mendapat tugas untuk menghadapi salah satu di antara dua, Sidanti, atau Argajaya. Kini ia telah bertemu dengan Argajaya. Tetapi ia masih belum yakin, karena tidak seorang pun yang memberitahukaunya dengan pasti, bahwa Argajaya adalah adik Ki Argapati.

Meskipun demikian, seakan-akan di luar sadarnya ia bertanya, “Kenapa kau melawan kakakmu sendiri?”

Pertanyaan itu telah menusuk jantung Argajaya, seperti tajamnya ujung pedang. Sejenak ia terbungkam, meskipun senjatanya tidak berhenti terayun-ayun.

”Kenapa?” desak Dipasanga.

“Persetan!” jawab Argajaya. “Apakah artinya seorang Kakak yang hanya mementingkan dirinya sendiri, tanpa mengerti persoalan orang lain, meskipun orang lain itu adalah anak dan adiknya sendiri?”

Dipasanga tersenyum. Katanya, “Itulah yang tidak dapat diukur dengan ukuran-ukuran yang umum. Kepentingan seseorang tergantung sekali dari sudut memandangnya. Karena itulah, maka kau dapat mengatakan, bahwa Ki Argapati hanya sekedar mementingkan diri sendiri tanpa mengingat kepentinganmu dan anak laki-lakinya. Tetapi apakah kau yakin, setiap orang akan mengakui, bahwa kepentinganmu itu lebih bermanfaat bagi tanah ini dari sikap yang kau anggap kepentingan pribadi pada Ki Argapati itu? Apakah bukan karena kepentingan pribadimu yang tidak dipikirkannya justru untuk kepentingan yang lebih besar, kau merasa, bahwa Ki Argapati telah mementingkan dirinya sendiri.”

“Persetan, kau tahu apa? He, siapakah kau sebenarnya? Berapa kau diupah oleh Kakang Argapati untuk ikut di dalam pertempuran ini?”

“O,” jawab Dipasanga, “ada beberapa perbedaan antara aku dan orang-orangmu, termasuk orang yang disebut-sebut bernama Peda Sura. Aku mempunyai kepentingan yang khusus, kenapa aku bersedia bertempur di pihak Ki Argapati. Mungkin dapat juga disebut pamrih-pamrih pribadi, meskipun tidak sejelas Ki Peda Sura. Tetapi aku ternyata telah melibatkan diri dalam pertempuran ini.”

Argajaya menggeram. Senjatanya berputar semakin cepat. Dan dengan demikian, maka cambuk Dipasanga pun menjadi semakin sering meledak-ledak.

Meskipun Dipasanga tidak biasa bertempur dengan senjata semacam itu, namun ia mampu mempergunakannya dengan baik. Sekali-sekali ujung cambuknya berhasil melontarkan beberapa orang yang lengah di sekitar tempat perkelahiannya melawan Argajaya. Bahkan sekali-sekali ujung cambuk itu dapat membuat Argajaya menjadi agak bingung.

Tetapi Argajaya pun bukan orang Menoreh kebanyakan. Ia adalah adik Ki Argapati, Kepala Tanah Perdikan Menoreh. Dengan demikian maka ia pun segera berhasil menempatkan dirinya menghadapi orang bercambuk itu.

Dengan demikian, maka perkelahian di antara mereka menjadi semakin seru. Masing-masing memiliki kelebihannya, dan masing-masing adalah orang-orang yang sudah cukup banyak menyimpan pengalaman di dalam dirinya.

Dalam pada itu, pasukan Ki Tambak Wedi itu pun semakin lama menjadi semakin meluas, sedang pasukan Ki Argapati menjadi semakin menyempit. Kini di semua pihak, kedua pasukan itu telah bertemu dan bertempur mati-matian. Di jalan-jalan sempit, di halaman, dan di kebun-kebun. Mereka sama sekali tidak menghiraukan lagi di mana mereka sedang berada, yang mereka perhatikan adalah garis lingkaran dari gelar mereka masing-masing.

Dalam keadaan yang demikian itulah, maka ujung gelar Gajah Meta itu pun kini telah sampai di muka puncak pimpinan gelar lawan. Sehingga dengan demikian, maka kedua pimpinan tertinggi itu pun akan segera saling berhadapan.

Mereka masing-masing sudah menyangka, bahwa mereka akan bertemu lagi di dalam perang ini. Ki Argapati dan Ki Tambak Wedi.

“He,” geram Ki Tambak Wedi, “apakah kau sudah sembuh benar?”

Ki Argapati mengerutkan keningnya. Tombaknya telah merunduk semakin rendah. Beberapa, langkah ia menyongsong maju dibarengi oleh Pandan Wangi dan Samekta. Sebelah menyebelahnya adalah para pengawal yang paling terpercaya untuk melindunginya dari pasukan Ki Tambak Wedi yang lain.

“Aku sudah lama menunggumu, Ki Tambak Wedi,” sahut Argapati.

Ki Tambak Wedi mengerutkan keningnya. Dilihatnya seorang gadis yang membawa sepasang pedang yang sudah bersilang di muka dadanya.

“Kau bawa gadismu bertempur?” bertanya Ki Tambak Wedi.

“Apa bedanya seorang gadis dan seorang anak lelaki?”

“Kau memang luar biasa. Kau dapat membuat gadismu melebihi setiap lelaki di atas Bukit Menoreh ini.”

Ki Argapati tidak menjawab. Tetapi matanya tidak berkisar dari senjata Ki Tambak Wedi yang mengerikan. Sebuah nenggala bermata rangkap.

“Tetapi, sayang Ki Argapati,” berkata Ki Tambak Wedi selanjutnya, “usahamu selama ini akan sia-sia. Karena aku sudah memutuskan, bahwa setiap orang di dalam padukuhan ini harus dimusnahkan. Semua harus dibunuh. Meskipun ia seorang gadis.”

“Keputusanmu lain dengan keputusanku, Ki Tambak Wedi. Dan aku mengharap, bahwa keputusankulah yang akan berlaku di sini.”

Ki Tambak Wedi menggeretakkan giginya. Segera ia meloncat menyerang sambil berteriak nyaring, “Mampuslah kau ayah-beranak.”

Tetapi Ki Argapati telah siap menerima serangan itu. Karena itu maka ia pun segera meloncat ke samping untuk mengelakkan serangan itu. Berbareng dengan itu, tombaknya pun segera terjulur lurus mematuk dada lawannya.

Ki Tambak Wedi berdesis. Ia terpaksa mengeliat dan memutar tubuhnya. Dengan cepatnya ia merendah dan menyusup di bawah senjata lawannya sambil menyerang lambung.

Ki Argapati tidak menjadi bingung. Ia pun bergeser surut. Dengan cepatnya pula ia memutar tombaknya, dan berusaha untuk mengetok pundak lawannya dengan pangkal landean tombak itu.

“Kau gila,” geram Ki Tambak Wedi sambil meloncat surut. Namun sejenak kemudian serangannya telah membadai pula.

Pada gerak yang pertama-tama, telah terasa pada Ki Argapati, bahwa kelesuan geraknya memang agak terganggu oleh luka dan pembalut di dadanya. Namun meskipun demikian, ia masih merasa cukup mampu untuk menghadapi Ki Tambak Wedi dalam keadaan itu. Apalagi ia mengharap Pandan Wangi dapat mengganggu keseimbangan pertempuran itu.

“Suruh anakmu ikut serta,” tiba-tiba Ki Tambak Wedi berteriak. “Jangan hiraukan lagi sikap jantan di peperangan.”

Seleret warna merah membayang di wajah Ki Argapati yang tegang. Betapa tajamnya sindiran Ki Tambak Wedi itu bagi seorang laki-laki seperti Ki Argapati. Namun sejenak kemudian, ia telah berhasil menguasai perasaannya. Bahkan kemudian ia menjawab, “Kita tidak sedang berada dalam arena perang tanding, Ki Tambak Wedi. Di dalam peperangan, yang bertempur adalah pihak yang satu melawan pihak yang lain. Bukan Ki Tambak Wedi melawan Ki Argapati.”

“Persetan!” Ki Tambak Wedi menggeram, dan serangannya pun menjadi semakin cepat.

Dalam perkelahian yang semakin seru, maka semakin terasa dada Ki Argapati terganggu sekali oleh pembalut dan bahkan lukanya yang masih belum sembuh benar. Karena itu, maka perlawanan Ki Argapati pun tidak pada puncak kemampuannya.

Untunglah, bahwa Pandan Wangi yang memiliki ilmu dari ayahnya itu mampu mengisi kekurangan Ki Argapati. Setiap kali Pandan Wangi dengan sepasang pedangnya dapat mengganggu perhatian Ki Tambak Wedi, sehingga setiap kali usaha Ki Tambak Wedi untuk mendesak Ki Argapati terpaksa diurungkannya, karena sambaran-sambaran pedang Pandan Wangi.

“Setan betina!” ia menggeram. “Apakah kau dahulu yang harus mati, he?”

Pandan Wangi sama sekali tidak menyahut. Tetapi pedangnya menjadi semakin lincah berputaran.

Ki Tambak Wedi semakin lama menjadi semakin marah mengalami perlawanan kedua ayah-beranak itu. Karena itu, maka dikerahkannya segenap kemampuannya untuk segera mendesak lawannya. Supaya Pandan Wangi tidak selalu mengganggunya, maka akhirnya ia memutuskan untuk membunuh saja anak itu lebih dahulu.

“Semua harus dibinasakan. Semua. Juga Pandan Wangi,” ia menggeram di dalam hatinya untuk memantapkan rencananya.

Maka sejenak kemudian, Ki Tambak Wedi mencoba memusatkan perhatiannya kepada Pandan Wangi. Ia ingin mengurangi gangguan-gangguan kecil pada saat ia akan memusnahkan Ki Argapati kelak.

Tetapi kesempatannya pun terlampau terbatas. Kalau ia berkelahi melawan lima Pandan Wangi, maka ia pasti akan dapat menyelesaikan pekerjaannya satu demi satu. Tetapi kini ia berhadapan pula dengan Argapati, sehingga setiap saat ia harus berwaspada. Ujung tombak pendek itu setiap kali dengan tiba-tiba saja telah mengarah ke dadanya.

Namun Ki Tambak Wedi adalah iblis yang paling mengerikan. Sehingga dengan segala macam cara ia telah berhasil melibat Pandan Wangi yang agak terpisah dari ayahnya.

Namun, ketika ia siap melontarkan gelang-gelang besinya untuk segera menyelesaikan Pandan Wangi yang berdiri beberapa langkah daripadanya, tiba-tiba ia disambar oleh sebuah kenangan tentang seorang perempuan yang pernah hinggap di dalam hatinya. Ternyata wajah gadis yang bernama Pandan Wangi itu mirip benar dengan ibunya, Rara Wulan, Wajah yang pernah membuatnya kehilangan keseimbangan, sehingga lahirlah Sidanti. Dan apabila Rara Wulan itu kemudian bersuami, maka menjadi jauhlah ia lari dari setiap perempuan, dan menyepi di lereng Gunung Merapi.

Sekejap Ki Tambak Wedi dicengkam oleh keragu-raguan. Namun sekejap kemudian, ia menggeretakkan giginya sambil menggeram, “Tidak seorang pun yang akan dapat lolos. Semua harus dimusnakan, termasuk Pandan Wangi. Siapa pun Pandan Wangi itu.”

Dengan demikian, maka segera digenggamnya selingkar gelang-gelang besinya. Dan dengan sekuat tenaganya, gelang itu dilontarkannya ke arah Pandan Wangi.

Tetapi waktu yang sekejap itu ternyata terlampau besar artinya bagi Pandan Wangi. Ki Argapati yang mempunyai cukup pengalaman melihat sikap Ki Tambak Wedi di dalam pertempuran itu, segera dapat menangkap maksud dari iblis lereng Gunung Merapi itu. Karena itu, maka dengan segera ia meloncat mendekati Pandan Wangi tepat pada saatnya. Pada saat gelang besi itu meluncur ke arah dada anak gadisnya.

Sambil menggeram Ki Argapati masih sempat memukul gelang besi itu ke udara, sehingga sepercik bunga api meloncat bersama gelang yang membubung itu.

“Gila,” Ki Tambak Wedi dan Ki Argapati mengumpat hampir bersamaan. Jantung di dalam dada mereka pun berdentang semakin cepat pula, sementara dada Pandan Wangi menjadi berdebar-debar. Hampir saja ia disambar oleh senjata Ki Tambak Wedi yang pasti tidak akan dapat dielakkannya.

Dengan demikian, maka Ki Argapati menjadi lebih berhati-hati. Ia harus melupakan sakit di dadanya. Ia harus berusaha sejauh-jauh dapat dilakukan untuk melawan iblis yang paling ganas itu. Meskipun kadang-kadang Samekta dapat membantunya, tetapi tenaganya tidak terlalu banyak berarti bagi pertempuran antara orang-orang yang berilmu jauh di atas jangkauannya.

Maka, betapa lambatnya, namun pasti, Ki Tambak Wedi akan dapat menguasai lawannya. Karena menurut pertimbangan Ki Tambak Wedi sendiri, pada suatu saat Argapati yang masih diganggu oleh lukanya itu, akan kehabisan tenaga sebelum waktu yang dapat dicapai oleh ketahanan tubuhnya seperti biasanya dalam keadaan yang wajar.

Di sudut lain, Sidanti dan Argajaya ternyata tidak kalah tangkas dari lawan-lawan mereka. Wrahasta dan Kerti tidak terlampau banyak berarti lagi bagi keduanya, karena mereka harus melawan orang-orang yang memang sudah dipersiapkan oleh Sidanti dan Argajaya pula. Sehingga baik Argajaya maupun Sidanti, masih mempunyai keyakinan, bahwa mereka akan dapat mengalahkan lawan-lawan mereka.

Tetapi saat itu, agaknya Hanggapati dan Dipasanga masih dipengaruhi oleh jenis senjata yang tidak biasa mereka pakai. Karena itu, mereka berdua pun tidak berkeras hati, meskipun mereka merasa tidak dapat menguasai lawannya.

“Pada saatnya akan aku letakkan senjata-senjata ini. Dan aku akan memakai pedangku,” keduanya berpendirian serupa di dalam keadaan yang menjadi semakin gawat.

Namun, mau tidak mau, ledakan-ledakan cambuk itu telah menumbuhkan persoalan pula di dalam hati Ki Tambak Wedi, yang justru tidak melihat sendiri siapa yang mempergunakannya.

Demikian mendesaknya persoalan suara-suara cambuk itu, sehingga akhirnya Ki Tambak Wedi tidak dapat menahan hatinya lagi untuk mengetahuinya. Diperintahkannya seorang penghubungnya untuk melihat, siapakah orang-orang yang telah mempergunakan cambuk di dalam peperangan ini.

“Kenapa kau digelisahkan oleh suara cambuk itu Ki Tambak Wedi? Apakah kau tidak senang mendengarnya?” bertanya Argapati sambil menyerang terus.

Ki Tambak Wedi menggeram. Tetapi ia tidak menjawab. Dengan sekuat-kuat tenaganya ia berusaha untuk segera mengalahkan lawannya apabila mungkin. Dengan demikian, maka ia akan mendapat kesempatan untuk menjelajahi peperangan ini. Tetapi apabila tidak, maka ia harus menunggu Argapati kehabisan tenaga, dan sama sekali tidak berdaya lagi.

Sejenak kemudian, penghubungnya telah kembali lagi kepadanya. Dengan cekatan ia meloncat surut, menghindari serangan Ki Argapati dan Pandan Wangi sambil bertanya, “Siapa mereka?”

”Orang-orang yang tidak kita kenal,” jawab penghubung.

“Siapa nama mereka?”

Penghubung itu terpaksa meloncat jauh-jauh ketika serangan Ki Argapati melanda Ki Tambak Wedi dengan dahsyatnya. Tetapi Ki Tambak Wedi pun cukup lincah untuk menghindarinya, bahkan dengan sigapnya ia meloncat menyerang Pandan Wangi.

Tetapi sekali lagi ia harus membentur kekuatan Ki Argapati yang menghalanginya. Kemudian disusul oleh serangan sepasang pedang dari arah lambung.

Ki Tambak Wedi terpaksa meloncat surut. Tetapi justru ia mendapat kesempatan untuk mendengar, “Sidanti belum mengenalnya.”

Ki Tambak Wedi menarik nafas dalam-dalam. Kalau Sidanti belum mengenalnya, mereka atau salah seorang daripadanya pasti bukan anak-anak dari seberang Mentaok yang menggelisahkan itu.

Dengan demikian, maka Ki Tambak Wedi bertempur semakin mantap. Ia percaya, bahwa kekuatan pasukannya tidak terlampau jauh berada di bawah kekuatan lawannya, sebelah korban berjatuhan pada saat mereka masuk. Bahkan mungkin masih dapat mengimbangi atau bahkan melampauinya. Tetapi yang membuatnya yakin adalah kemampuan para pemimpinnya. Tidak ada seorang pun yang dapat dipercaya di antara orang-orang yang masih setia kepada Argapati. Tidak akan ada orang yang dapat berhadapan langsung dengan Sidanti, Argajaya, dan apalagi Ki Peda Sura. Bahkan orang-orang Menoreh sendiri, Ki Muni dan Ki Wasi. Meskipun keduanya tidak akan banyak terpaut dari para pemimpin pengawal Tanah Perdikan Menoreh, namun dengan demikian, maka kekuatan pasukannya telah meyakinkannya.

Karena itu, maka kini tenaganya dipusatkannya untuk menghancurkan Ki Argapati dan dengan sepenuh tenaga ia telah memaksa dirinya untuk memantapkan rencananya, membunuh Pandan Wangi juga. Meskipun setiap kali di wajah gadis itu seolah-olah selalu membayang wajah Rara Wulan yang kecemasan, yang seolah-olah memandangnya dengan tajam dan dengan perasaan yang meluap-luap.

“Kau gila, he, Tambak Wedi,” seolah-olah ia mendengar suara Rara Wulan. “Gadis itu adalah anakku, anakku.”

“Persetan!” ia menggeram. “Biarlah ia anak iblis, gendruwo, tetekan, aku tidak peduli. Semua orang, apalagi pemimpinnya, harus dibunuh. Pertahanan ini harus jadi neraka yang paling jahanam bagi mereka.”

Dengan demikian, maka sambil menggeretakkan giginya, Ki Tambak Wedi berkelahi terus, semakin lama semakin garang.

Sementara itu, di bagian lain dari peperangan itu pun menjadi semakin seru. Sekali-sekali terdengar mereka berteriak di sela-sela dentang senjata. Teriakan mereka yang mencoba menghentakkan kemampuannya, namun juga teriakan mereka yang tersentuh oleh senjata.

Desak-mendesak telah terjadi di setiap langkah di garis peperangan. Mereka adalah orang-orang yang berasal dari satu wadah, sehingga kekuatan, kemampuan dan cara-cara mereka bertempur hampir bersamaan. Hanya di beberapa bagian saja terjadi kegelisahan yang agak mengganggu ketabahan hati para pengawal Tanah Perdikan Menoreh yang setia kepada Ki Argapati. Orang-orang yang tidak dikenal bertempur dengan kasar dan buasnya. Mereka sama sekali tidak menghiraukan perasaan apa pun. Apalagi mereka telah mendapat perintah untuk membinasakan semua orang yang melawan. Dengan demikian, maka mereka pun bertempur tanpa batas lagi. Apalagi dengan sengaja mereka menunjukkan kekejaman-kekejaman yang tidak pernah terbayangkan sebelumnya, untuk menurunkan keberanian dan tekad lawan-lawan mereka.

Tetapi ternyata semuanya itu hanyalah mengungkat kemarahan para pengawal tanah perdikan, sehingga mereka justru berkelahi semakin gigih untuk mempertahankan diri dan garis perlawanan di dalam gelar yang telah mantap. Kalau salah satu garis pertahanan itu dapat dipecahkan, maka gelar keseluruhan akan dapat terpengaruh karenanya. Dengan demikian, maka apa pun yang terjadi, mereka bertahan sampai kemampuan mereka yang terakhir.

Namun di sela-sela pertempuran yang semakin seru itu, terdapat tiga orang yang masih sedang mencari-cari lawan masing-masing. Mereka menyusup di antara hiruk-pikuknya ujung senjata. Di tangan mereka tergenggam pedang. Mereka tertegun sejenak, ketika mereka melihat kesulitan yang berbahaya pada garis pertempuran di bagian belakang gelar lawan. Agaknya Ki Peda Sura sedang menari dengan sepasang senjatanya yang mengerikan. Tanpa ampun, siapa yang mendekat, pasti akan terlempar jatuh. Sedang beberapa langkah dari padanya, Ki Wasi sedang mengamuk sebagai harimau terluka, dan di bagian lain lagi sambil berteriak-teriak Ki Muni mendesak lawannya tanpa dapat ditahan lagi.

Betapa para pengawal berusaha, namun kekuatan mereka memang jauh melampaui kemampuan setiap orang di antara para pengawal.

Sejenak gembala tua dan kedua anak-anaknya itu tertegun. Namun sejenak kemudian orang tua itu berkata, “Hadapilah mereka berdua. Aku akan menyelesaikan Peda Sura. Hati-hatilah, jangan merasa dirimu lebih baik dari lawanmu. Perasaan yang demikian adalah ujung dari kekalahan, betapapun lemahnya lawan-lawanmu.”

Kedua muridnya mengangukkan kepalanya. Sambil menghindarkan diri dari setiap serangan, akhirnya mereka pun berpisah untuk menemui lawan-lawan yang telah ditentukan bagi mereka masing-masing.

Beberapa langkah setelah meninggalkan gurunya, Gupala melonjak kegirangan, seperti anak kambing dilepaskan di padang rumput yang hijau segar. Beberapa kali ia tertegun melihat perang campuh yang seru. Ujung senjata berputaran dan terayun-ayun, kemudian gemerincing benturan yang melontarkan bunga-bunga api.

Sejenak kemudian Gupala telah berada di baris pertempuran yang terdepan. Kini ia harus mulai menyadari arti dari ujung-ujung senjata lawan, yang setiap saat dapat menghunjam di dadanya.

Gupala mengerutkan keningnya. Sejenak ia melihat seorang pengawal yang bertempur mati-matian melawan seorang yang agak asing. Menurut dugaan Gupala orang itu pasti bukan orang Menoreh.

“Mungkin orang ini termasuk salah seorang anak buah Ki Peda Sura,” katanya di dalam hati. Dan tiba-tiba saja tangannya menjadi gatal. Apalagi ketika ia melihat orang itu tertawa sambil berkata, “He, sebut ayah dan ibumu. Lalu tundukkan kepalamu. Aku akan memenggalnya.”

Lawannya, seorang pengawal tanah perdikan, menggeram. Tetapi ia memang sedang terdesak. Bahkan sejenak kemudian senjatanya telah terlepas dari genggamannya.

Sekali lagi Gupala melihat orang itu tertawa sambil berkata, “Ayo cepat, berlutut.”

Pengawal itu surut beberapa langkah. Tetapi dalam perang yang hiruk-pikuk ia tidak banyak mendapat kesempatan. Sekali ia justru terdorong oleh seseorang yang sedang menghindarkan diri dari tusukan ujung tombak.

“Mau lari kemana kau anak yang malang,” suara tertawa itu menjadi semakin keras.

Dan tiba-tiba saja Gupala tidak dapat menahan tertawanya pula melihat orang yang sedang mabuk kemenangan itu. Bahkan kemudian ia berkata, “He, kau cepat sekali mendapat kegembiraan. Itulah agaknya yang membuat kumismu menjadi tebal.”

Orang itu terdiam. Dipandanginya Gupala sejenak. Hanya sejenak. Hiruk-pikuk peperangan telah mendorongnya untuk segera melakukan sesuatu. Dan tiba-tiba saja ia meloncat menikam pengawal yang sudah tidak bersenjata itu, supaya ia segera dapat menghadapi musuhnya yang lain.

Tetapi ujung senjata tidak pernah dapat menyentuh korbannya. Tiba-tiba saja ia terpekik selagi ia masih menjulurkan tangannya yang menggenggam senjata itu. Sejenak kemudian ia menjadi terhuyung-huyung. Demikian Gupala menarik pedangnya yang terhunjam di lambung orang itu, maka orang itu pun segera jatuh tertelungkup. Mati.

Pengawal yang terselamatkan itu sejenak berdiri mematung. Ia mengenal anak yang gemuk itu sebagai seorang gembala. Tetapi bagaimana mungkin ia dapat melakukan hal itu. Begitu cepatnya, sehingga matanya tidak dapat menangkap gerak itu.

Kini yang terdengar adalah suara tertawa Gupala. Sambil meloncat meninggalkan pengawal itu ia berdesis, “Ambil senjata itu. Kau tidak dapat tidur di dalam peperangan kalau kau tidak mau benar-benar di bantai oleh lawan-lawanmu.”

Orang itu seperti tersadar dari tidurnya. Segera ia memungut senjata lawannya yang terbunuh itu, karena senjatanya sendiri telah tenggelam dalam hiruk-pikuknya peperangan.

Gupala pun kemudian menyusup di antara kedua pasukan yang sedang bertempur itu. Sekali tangannya yang gatal tidak dapat ditahannya lagi.

“Bukankah aku berada di peperangan?” ia bergumam di dalam hatinya. Dengan demikian, maka setiap kali ia harus berhenti, seperti terhisap oleh suatu keinginan yang tidak tertahankan, maka setiap kali senjata telah terhunjam di tubuh lawan-lawannya. Meskipun demikian, Gupala masih mencoba membedakan, apakah lawannya itu orang-orang Menoreh, ataukah orang-orang asing yang datang ke Menoreh dalam keadaan yang kemelut itu.

Meskipun kadang-kadang Gupala keliru, namun dari jenis pakaiannya, Gupala dapat mengira-irakan, siapakah yang sedang dihadapinya.

Tiba-tiba Gupala itu tertegun. Dilihatnya seseorang bertempur sambil berteriak-teriak. Kadang-kadang tertawa dan kadang membentak-bentak. Sekilas Gupala dapat melihat, bahwa orang itu mempunyai kelebihan dari para pengawal tanah perdikan.

“Oh, inilah orang yang bernama Ki Muni itu agaknya,” berkata Gupala di dalam hatinya. Melihat ciri-ciri, tingkah laku dan pakaiannya, kalung yang dibebani dengan berbagai macam benda, maka Gupala pun dapat memastikan, bahwa orang yang dicarinya itu sudah diketemukannya.

Perlahan-lahan Gupala yang gemuk itu pun segera mendekatinya. Namun tiba-tiba ia mempunyai cara yang menyenangkan baginya untuk menarik perhatian orang yang garang itu.

“Senjatanya sangat menarik,” desis Gupala di dalam hatinya, “sebuah pedang yang lengkung.”

Gupala memang tidak segera menyongsongnya. Dibiarkannya Ki Muni sesumbar dan bertempur seperti seekor elang yang menyambar. Beberapa orang terpaksa bergabung untuk melawannya.

Gupala mengerutkan keningnya. Bukan saja tangannya yang menjadi gatal, tetapi hatinya tergelitik melihat sikap dan tandang Ki Muni, seolah-olah di seluruh jagad tidak ada orang laki-laki selain dirinya.

Itulah sebabnya, maka Gupala pun tiba-tiba telah berbuat serupa. Sambil tertawa berkepanjangan ia menyerang beberapa orang sekaligus. Ia membuat lingkaran perkelahian sendiri di samping arena yang berpusar pada Ki Muni.

Beberapa orang lawan-lawannya terkejut melihat anak muda yang gemuk itu meloncat-loncat dengan lincahnya. Pedangnya terayun-ayun menyambar-nyambar seperti burung sikatan. Setiap kali ujung pedang itu menyentuh tubuh lawannya, dan setiap kali terdengar pekik kesakitan.

Tetapi Gupala memang aneh. Ia masih sempat bergurau di peperangan. Kalau beberapa saat lawan-lawannya tidak ada yang terpekik kesakitan karena ujung pedangnya tidak berhasil melukai lawannya, maka ia sendirilah yang berteriak. Namun kemudian suara tertawanya menggema berkepanjangan.

Cara bertempur Gupala itu benar-benar telah menarik perhatian. Baik lawan maupun kawan. Beberapa orang pengawal terheran-heran melihat gembala itu mampu bertempur demikian tangkasnya, apalagi seolah-olah ia hanya sedang bermain-main di saat terang bulan.

Lawan-lawannya pun menjadi cemas melihat tandangnya. Ujung pedangnya seolah-olah mempunyai mata yang dapat melihat kemana lawannya menghindar. Seseorang yang sekali diburu oleh pedangnya, betapapun juga ia berusaha, maka akhirnya ujung pedang itu pasti akan bersarang di dadanya.

Demikianlah, maka Gupala telah menimbulkan kegemparan di medan itu. Arena pertempuran di seputarnya menjadi gelisah seperti di landa angin pusaran.

Ternyata cara itu berhasil menarik perhatian Ki Muni. Orang yang merasa dirinya tidak terlawan itu mengerutkan keningnya melinat arena yang kisruh beberapa langkah daripadanya.

“He, siapa yang berkelahi di situ?” ia berteriak.

“He, akulah yang berkelahi di sini,” terdengar jawaban dari tempat yang gelisah itu.

“Siapa kau?” teriak Ki Muni pula.

“Aku, gegedug Tanah Perdikan Menoreh. Seorang pengawal yang paling setia pada tugasku, karena cita-cita yang menjiwai setiap perbuatanku.”

“Persetan, siapakah namamu?”

“Setiap orang mengenal aku. Karena aku selalu berada di sisi Ki Gede Menoreh, membina tanah ini. Sekarang selagi tanah ini menjadi semakin baik, kau datang untuk menghancurkannya.”

“Gila, gila kau,” Ki Muni berteriak sambil mengamuk. Senjatanya yang lengkung menyambar-nyambar seperti elang. Beberapa orang yang berada di sekitarnya segera terdesak menjauh, dan beberapa orang yang bersama-sama melawannya pun meloncat surut.

Beberapa langkah Ki Muni maju diikuti oleh pasukannya yang mendesak maju pula.

“Aku adalah seorang yang hampir sepanjang umurku berada di tanah ini,” berkata Ki Muni dengan lantangnya. “Aku belum pernah mengenal tampangmu.”

Gupala tidak segera menjawab. Ia melihat Ki Muni menjadi semakin dekat ke lingkaran perkelahiannya.

“Ayo, sebut namamu.”

“Jawabanmu sungguh mentertawakan,” berkata Gupala. “Kalau kau orang Menoreh, apalagi sejak kanak-kanak, kenapa kau ikut bersama-sama cucurut-cucurut itu untuk justru menghancurkan Menoreh?”

“Setan,” Ki Muni bergumam, “siapa namamu?”

“Kalau kau benar orang Menoreh, maka kau adalah seorang pengkhianat,” berkata Gupala selanjutnya tanpa menjawab pertanyaan Ki Muni.

“Diam, diam!” Ki Muni berteriak. “Aku sobek mulutmu dengan pedang yang aku dapat dari ujung bumi, yang tajamnya tujuh kali tajam pedang yang lain.”

Gupala mengerutkan keningnya. Kini Ki Muni telah berada hanya beberapa langkah saja daripadanya. Sekilas ia melihat pedang yang lain dari pedang orang-orang Menoreh. Dalam redup sinar api yang sudah hampir padam, pedang itu tampak berkilat-kilat.

“Pedang itu memang tajam,” berkata Gupala di dalam hatinya. “Setiap sentuhan pada tubuh, akibatnya sangat berbahaya. Tetapi agaknya pedang itu tidak sekukuh pedangku. Ternyata orang itu selalu berusaha menghindari benturan yang langsung. Apalagi dengan kekuatan yang besar.”

Gupala pun kemudian menggeram. Dan tiba-tiba saja ia berteriak, “He. Kau ingin tahu namaku. Namaku adalah Ki Muni, seorang dukun yang tidak ada duanya. Yang setia kepada tanah kelahiran.”

“Persetan,” Ki Muni menjadi semakin marah. Terasa darahnya seakan-akan telah mendidih. Dengan serta-merta ia meloncat menyerang Gupala sejadi-jadinya.

Gupala surut selangkah untuk memantapkan diri. Namun kemudian ia pun melangkah maju kembali sambil memutar pedangnya. Meskipun pedangnya tidak setajam pedang lawannya, namun pedang itu memiliki kelebihan juga. Ki Muni tidak akan berani beradu tenaga lewat tajam pedangnya.

Dada Gupala menjadi berdebar, ketika ia melihat api yang tiba-tiba saja telah melonjak ke udara. Sekilas ia berpaling. Dilihatnya sebuah rumah yang terletak beberapa langkah dari arena perkelahian itu terbakar.

“Mereka menjadi liar,” desisnya di dalam hati. “Api yang terhambur-hambur dari panah api, jerami-jerami yang bertimbun-timbun di sisi ujung jalan dan bahkan yang sengaja ditebarkan di luar regol, gardu darurat di regol yang telah terbakar pula, telah hampir padam. Tetapi kini sebuah rumah telah menyala.”

Tetapi Gupala tidak sempat untuk merenung dan mengumpat-umpat saja. Serangan Ki Muni segera melandanya seperti banjir. Namun ia pun telah cukup siap untuk melawannya.

Perkelahian di antara keduanya segera menjadi semakin seru. Baik para pengawal tanah perdikan, maupun orang-orang Ki Tambak Wedi, lambat laun bergeser semakin jauh. Mereka menganggap perkelahian itu adalah perkelahian yang tidak perlu dicampurinya.

Gupala tidak memerlukan waktu terlampau lama untuk menjajagi kemampuan lawannya. Dan tiba-tiba saja ia tersenyum. Ki Muni hanyalah seorang yang mampu berteriak-teriak saja. Meskipun ia memiliki kemampuan di atas orang kebanyakan, namun orang itu hampir tidak banyak berarti bagi Gupala. Karena itu, mulailah Gupala dengan tabiatnya. Selagi ia masih bertempur menghadapi Ki Muni, maka sekali-sekali ia berlari berputar-putar. Namun setiap kali pedangnya menyambar korban-korban yang berjatuhan di pihak lawan.

“He, apakah kau memang gila?” teriak Ki Muni.

“Ki Muni,” berkata Gupala, “ayahku berpesan kepadaku, agar aku selalu tidak menganggap lawanku terlampau ringan. Aku pun tidak menganggap demikian terhadapmu. Tetapi, aku tidak dapat mengingkari kenyataan, bahwa sebenarnya Ki Muni itu tidak lebih dari namanya. Hanya suaranya saja seakan-akan bunyi ledakan petir di langit. Tetapi kau tidak memiliki kemampuan apa pun di peperangan.”

Betapa dada Ki Muni serasa akan meledak mendengar ejekan Gupala itu. Apalagi lawannya itu tidak lebih dari seorang anak muda gemuk yang tidak dikenal. Meskipun anak itu berjambang, namun wajahnya sama sekali tidak meyakinkannya, bahwa ia mampu bertempur di peperangan.

Karena itu, maka Ki Muni pun segera mengerahkan segenap kemampuan yang ada padanya. Dibacanya segala macam ilmu, doa dan jampi-jampi. Disebutnya segala macam nenek-moyang, bahureksa segala macam sudut, kali, dan hutan-hutan. Bahu reksa jalan dan perapatan. Kemudian sambil menghentakkan senjatanya ia berteriak nyaring.

Orang-orang yang telah mengenal Ki Muni agak lama, mengetahuinya, bahwa Ki Mumi sudah sampai pada puncak kemarahannya, dan dengan demikian orang-orang itu mengharap, bahwa korban di pihak lawan akan semakin banyak berjatuhan.

Tetapi ternyata dugaan itu sama sekali tidak benar. Betapapun Ki Muni mengerahkan segala macam kemampuan yang tersimpan di dalam dirinya, beserta pedang pusakanya yang didapatkannya dari ujung bumi, namun lawannya yang masih muda dan gemuk itu masih saja tertawa berkepanjangan.

“Ayo, kerahkan segenap kemampuanmu, Ki Muni,” berkata Gupala sambil tertawa. “Atau barangkali kau memang sudah sampai pada puncak kemampuanmu?”

“Persetan!” sahut Ki Muni sambil berteriak-teriak, maka serangannya pun menjadi semakin deras. Tetapi lawannya masih saja tertawa dan kadang-kadang menari-nari berloncat-loncatan dari seorang ke orang yang lain.

Di bagian lain dari pertempuran itu, Gupita dengan tenangnya bertempur melawan dukun yang lain, Ki Wasi. Namun ternyata Ki Wasi pun tidak seliar Ki Muni. Dengan sungguh-sungguh Ki Wasi berusaha untuk mengatasi keadaan. Namun pada kemampuan tertentu, ia terpaksa melihat kenyataan, bahwa lawannya meskipun masih cukup muda, namun memiliki kemampuan yang tidak dapat diabaikannya. Bahkan semakin lama, ternyata, bahwa lawannya adalah seorang yang luar biasa.

“Aku belum pernah melihat wajahmu anak muda,” desis Ki Wasi.

Gupita mengerutkan keningnya. Jawabnya, “Mungkin, Ki Wasi.”

”Siapa namamu?”

“Gupita. Seorang gembala.”

“Kau berbohong.”

“Tidak. Aku memang seorang gembala.”

Ki Wasi terdiam. Senjatanya, sepasang trisula bertangkai pendek hampir tidak berarti sama sekali bagi lawannya. Namun ia berusaha sekuat-kuat tenaganya. Kalau semula ia berhasil mendesak setiap orang yang melawannya dan membawa kelompoknya setapak demi setapak maju, maka kini ia terbentur pada suatu perlawanan yang tidak mudah ditembusnya.

Dan tanpa disangka-sangka, Ki Wasi mendengar lawannya yang masih muda itu bertanya, “Ki Wasi, kenapa kau melakukan perlawanan atas Ki Argapati?”

Sejenak Ki Wasi tidak dapat menyahut. Pertanyaan itu benar-benar telah menyentuh perasaannya.

Gupita merasakan sentuhan itu pula, karena perlawanan Ki Wasi yang seakan-akan tertegun. Bahkan kemudian orang itu meloncat selangkah mundur. Meskipun Ki Wasi menyilangkan trisulanya di muka dadanya, namun getaran di dalam dadanya telah mempengaruhinya.

Tetapi Gupita tidak mempergunakan kesempatan itu. Bahkan membiarkan Ki Wasi menyadari keadaannya. Meskipun pedangnya teracu ke depan dada lawannya, tetapi Gupita tidak meloncat dan menembus dada itu dengan ujung pedangnya.

“Jangan kau tanyakan, mengapa aku melawannya,” geram Ki Wasi.

“Itu hakku,” jawab Gupita. “Hakmu adalah menjawab atau tidak. Kalau kau memang berkeberatan, kau tidak perlu menjawabnya.”

“Aku tidak akan menjawab.”

“Terserahlah. Tetapi dengan demikian aku dapat membuat jawaban sendiri. Dan aku menganggap perlawananmu itu sebagai suatu pemberontakan dan ketidak-setiaan terhadap pimpinanmu.”

“Kau salah,” jawab Ki Wasi. Namun agaknya ia telah mendapatkan kemantapannya kembali, sehingga justru ia-lah yang menyerang Gupita dengan sekuat-kuat tenaganya.

Namun Gupita sebenarnya bukanlah lawannya. Karena itu, Gupita dengan, mudahnya dapat menghindarkan diri dari setiap serangannya.

“Aku mempunyai pertimbangan sendiri,” desis Ki Wasi. “Aku melawan Ki Argapati, karena Ki Argapati ternyata mengecewakan sekali. Berapa tahun aku bekerja dengan patuh. Namun agaknya Ki Argapati bukan seorang yang dapat menjadi contoh bagi setiap orang di atas tanah perdikan ini. Ia lebih mementingkan dirinya sendiri daripada membela anak dan adiknya. Ia begitu taat bersujud kepada kekuasaan Pajang daripada memberikan perlindungan kepada Angger Sidanti dan Argajaya. Apakah itu sikap seorang ayah yang baik. Adalah menjadi tanggung jawab seorang ayah, apa pun yang dilakukan oleh anaknya.”

“Juga apabila anak itu melakukan kesalahan?”

“Tentu tidak. Tetapi Angger Sidanti tidak bersalah. Ia didorong ke dalam suatu keadaan yang tidak dapat dielakkannya lagi. Ia mempunyai harga diri sebagai seorang putera kepala tanah perdikan yang besar dan kuat. Tetapi Ki Gede telah melepaskan tangung jawab itu.”

Gupita mengerutkan keningnya. Api yang berkobar semakin besar menelan sebuah rumah. Cahayanya yang kemerah-merahan telah membuat wajah-wajah semakin menjadi tegang dan mengerikan. Keringat yang meleleh dari kening dan darah yang menitik dari luka, membuat medan perang itu menjadi semakin panas.

Gupita masih bertempur melawan Ki Wasi. Tetapi ternyata Gupita tidak memanfaatkan setiap keadaan yang memberinya kesempatan untuk menyudahi perkelahian.

Ki Wasi pun ternyata merasakan keganjilan yang terjadi dalam perkelahian itu. Ia merasa bahwa betapapun ia berusaha, namun ia tidak akan dapat mengimbangi lawannya.

Tetapi meskipun demikian, ia masih tetap dapat melakukan perlawanan, betapapun disadarinya, bahwa perlawanannya itu hampir tidak ada artinya.

“Apakah maksud orang ini?” pertanyaan itu tumbuh di dalam hatinya. “Kenapa ia tidak membunuh aku saja di dalam peperangan ini, meskipun agaknya ia dapat melakukannya dengan mudah?”

Dan Gupita memang tidak ingin membunuhnya. Agaknya Ki Wasi adalah salah seorang yang lemah hati, yang mudah percaya kepada hasutan dan keterangan-keterangan palsu. Ki Wasi yang melihat dan bahkan sering bermain-main dengan Sidanti ketika anak itu masih terlampau muda, tidak sampai hati melihat ia tersudut dalam kesulitan yang pahit, yang menurut pengertiannya, karena Argapati tidak mau melindunginya.

“Kalau Ki Wasi dapat mengerti keadaan yang sebenarnya, apa saja yang pernah dilakukan Sidanti, maka ia akan berpendirian lain. Ia baru mendengar keterangan dari sebelah sisi. Dan keterangan itu langsung dipercayainya,” berkata Gupita di dalam batinya. Dan karena itu pulalah ia ingin Ki Wasi tetap hidup, dan dapat mengerti apa yang sebenarnya telah terjadi.

Karena itu, meskipun dengan alasan yang berbeda-beda, namun kemudian Gupita pun telah bertempur tidak saja melawan Ki Wasi. Beberapa orang yang melihat pemimpin kelompoknya terdesak, segera berusaha membantunya. Tetapi Gupita sama sekali tidak mengalami kesulitan. Ternyata pedangnya mampu melindungi dirinya, dan bahkan mampu melukai beberapa orang lawan-lawannya. Seorang demi seorang, Gupita telah kehilangan lawan. Para pengawal tanah perdikan yang bersamanya selalu mempergunakan setiap kesempatan untuk mendesak terus, sehingga semakin lama semakin ternyata, bahwa garis medan di tempat itu tidak lagi dapat dipertahankan oleh orang-orang Ki Tambak Wedi yang dipimpin oleh Ki Wasi.

Di bagian tengah, Ki Peda Sura pemimpin pasukan yang menghadapi para pengawal yang datang dari arah belakang, sempat melihat pasukannya di kedua sisinya bergeser mundur, sehingga lingkaran gelar Gajah Meta itu pun menjadi semakin sempit, karenanya. Sambil menghentakkan senjatanya ia menggeram. Seharusnya kekuatan kedua sisi itu dapat dipercaya, karena masing-masing dipimpin oleh dua orang kuat dari Tanah Perdikan Menoreh ini sendiri. Tetapi ternyata, bahwa pertahanan itu semakin lama semakin surut.

“Apakah keduanya telah berkhianat dan justru membiarkan pasukannya mundur?” pertanyaan itu telah mengganggunya.

Namun karena itulah, maka ia pun segera mengamuk tanpa terkendalikan lagi. Setiap orang yang berusaha mendekatinya, pasti akan terpelanting tersentuh senjatanya. Meskipun senjatanya tidak mempunyai tajam seperti pedang, namun justru senjata itu mampu meremukkan tulang. Sentuhan di kepala tidak akan perlu diulanginya lagi.

Namun agaknya kekalutan di kedua sisi pasukannya sangat mengganggunya, sehingga ia bermaksud untuk melihat sendiri, apakah yang sebenarnya telah terjadi.

Karena itu, maka diserahkannya pimpinan kepada salah seorang kepercayaannya, dan ia sendiri kemudian meninggalkan tempatnya untuk melihat apa yang terjadi di kedua sisinya. Yang mula-mula ingin dilihatnya adalah pasukan yang dipimpm oleh Ki Muni. Orang itu adalah orang yang cukup kasar, sehingga seharusnya ia mampu melakukan apa saja untuk menghancurkan lawannya. Apalagi di dalam pasukan Ki Muni itu, terdapat banyak orang-orangnya sendiri, yang pasti akan mampu membuat lawan-lawan mereka kehilangan keberanian. Orang-orangnya telah terlampau biasa melakukan pembunuhan dengan berbagai macam cara. Bahkan cara-cara yang tidak dapat dibayangkan sebelumnya.

Tetapi tiba-tiba Ki Peda Sura tertegun, ketika ia melihat sesuatu yang aneh di peperangan itu. Ia melihat seorang tua dengan kumis yang lebat sedang bertempur melawan beberapa orang sekaligus.

“Bukan main,” geram Ki Peda Sura, “ternyata orang ini perlu mendapat perhatian.”

Dengan demikian, maka Ki Peda Sura mengurungkan niatnya. Dengan garangnya ia meloncat mendekati orang tua itu sambil menggeram. “He, siapakah kau?”

Orang tua itu berpaling sejenak. Ketika dilihatnya Ki Peda Sura maka katanya, “Kaukah yang bernama Ki Peda Sura?”

“Ya. Akulah Ki Peda Sura. Nah, dengan mengenali namaku, kau sudah dapat membayangkan, apa yang akan terjadi atasmu. Sekarang sebut namamu.”

“Sudah lama aku mencarimu. Di mana kau bertempur selama ini? Hampir-hampir aku menganggap, bahwa kau sudah mati terbunuh di peperangan ini,” jawab orang itu.

“Persetan!” Ki Peda Sura berteriak. Kemarahannya yang telah membakar dadanya, kini menjadi semakin memuncak. “Sebut namamu!”

“Apakah arti nama seseorang?”

”Cepat, sebelum kau mati!”

“Aku dapat menyebut seribu macam nama. Panji Jayengraga, Rangga Semantana, Raden Badersewu.”

“Cukup. Cukup. Sebut namamu yang sebenarnya.”

“Pilihlah salah satu. Atau kalau kau anggap kurang sesuai, nah siapa sebaiknya namaku?”

Kemarahan Ki Peda Sura sudah tidak dapat ditahannya lagi. Karena itu, maka tanpa mengucapkan sepatah kata pun lagi, ia menerkam orang tua berkumis itu dengan suatu serangan maut. Kedua senjatanya bersama-sama terayun, menghantam lawannya dengan kecepatan yang tidak tersangka-sangka.

Lawannya menahan nafas. Ternyata Ki Peda Sura benar-benar seorang yang memiliki kemampuan yang cukup tinggi. Namun, kali ini ia berhadapan dengan lawan yang tidak disangka-sangka akan dijumpainya di medan peperangan ini. Menurut perhitungannya, selain Ki Tambak Wedi dan Ki Argapati, tidak akan ada orang yang mampu menyamainya. Tetapi ternyata kali ini, orang berkumis itu mampu menghindari serangannya. Dengan loncatan yang melampaui kecepatannya, ia berhasil menghindar, sehingga ayunan senjata Ki Peda Sura telah menyeret tubuhnya sendiri. Karena ia tidak memperhitungkan sama sekali hal itu, maka tubuhnya terhuyung-huyung beberapa langkah, sebelum ia berhasil menguasai keseimbangannya kembali.

Sambil mengumpat-umpat Ki Peda Sura mempersiapkan dirinya untuk menghadapi lawannya yang mendebarkan jantungnya. Orang tua berkumis itu ternyata memiliki bekal yang cukup untuk menghadapinya.

Dengan demikian, maka Ki Peda Sura harus berhati-hati. Kali ini ia harus bertempur bersungguh-sungguh, tidak sekedar membunuh lawan hampir tanpa perlawanan.

“Ki Peda Sura,” terdengar orang tua itu berbicara dengan suara yang agak sengau, “aku terpaksa melibatkan diri dalam pertentangan ini, karena aku tidak ingin melihat tanah perdikan ini runtuh. Dengan kehadiranmu dan orang-orangmu, maka kekacauan di atas tanah ini akan semakin menjadi-jadi.”

“Kau juga orang asing di sini.”

“Memang, memang aku bukan orang Menoreh. Tetapi aku datang seorang diri. Katakanlah aku hanyalah datang bersama dua orang anak-anakku. Dan aku tidak akan melibatkan diri, seandainya tidak ada orang-orang seperti Ki Tambak Wedi, dan kau beserta anak buahmu. Kalau aku biarkan persoalan ini berlarut-larut, maka tanah ini akan jatuh ke tangan Ki Tambak Wedi dan Sidanti. Namun untuk seterusnya kau akan selalu memerasnya. Bayangkan, apa yang akan terjadi atas tanah ini.”

“Persetan!” Ki Peda Sura menghentakan giginya. Kemudian serangannya pun datang beruntun. Sepasang senjatanya terayun-ayun mengerikan.

Orang tua berkumis itu telah benar-benar bersedia untuk melawannya, sehingga karena itu, maka dengan sigapnya ia menghindari setiap serangan dan bahkan kemudian menyerang kembali.

Sejenak orang tua itu menjadi ragu-ragu. Ia bukan seorang pembunuh yang selalu haus darah. Bahkan setiap ia melakukan pekerjaan yang menurut keyakinannya sudah pada tempatnya, ia masih saja memperhitungkan segala macam kemungkinan.

Namun yang dihadapinya kini adalah seseorang yang telah berbentuk. Seseorang yang tidak akan mungkin dapat dirubahnya lagi. Ki Peda Sura adalah seseorang yang sangat berbahaya, bukan saja bagi Tanah Perdikan Menoreh, tetapi juga bagi kemanusiaan pada umumnya. Seandainya ia gagal memeras tanah perdikan ini, maka ia akan dapat melakukannya di tempat yang lain.

Sambil bertempur orang tua itu masih sempat membuat pertimbangan-pertimbangan. Bahkan ia masih sempat bertanya, “Ki Peda Sura. Apakah pamrihmu, sehingga kau bersama anak buahmu dengan bersusah payah ikut dalam pertentangan antara ayah dan anak ini?”

Ki Peda Sura tidak menyahut. Namun serangannya menjadi semakin garang, seperti badai mangsa kesanga.

“Ada dua kemungkinan Peda Sura,” berkata orang tua itu. “Setelah peperangan ini selesai, kaupun akan diselesaikan pula oleh Ki Tambak Wedi, karena bagaimanapun juga, kau tidak akan menang melawannya. Sedang kemungkinan yang lain. Tambak Wedi-lah yang akan kau peras habis-habisan. Seandainya Tambak Wedi berkeberatan, maka tanah perdikan inilah yang akan menjadi korban. Kau akan memasuki setiap pintu dan menghisap segala macam isinya. Dan sudah tentu kau akan menghindari benturan-benturan langsung dengan Tambak Wedi. Dan menurut perhitunganmu, Ki Tambak Wedi tidak akan sekuat Argapati dalam mengendalikan pemerintahan di Menoreh.”

“Persetan,” Ki Peda Sura menggeram. Dengan sekuat tenaga ia menyerang lawannya. Namun serangan-serangannya itu sama sekali tidak pernah menegangkan urat orang tua yang berkumis itu.

“Tetapi Ki Peda Sura,” orang itu masih berbicara saja sambil memutar pedangnya, “yang paling jelek adalah justru kemungkinan yang lain lagi. Kemungkinan ketiga. Yaitu apabila kau bersama-sama Ki Tambak Wedi memeras tanah perdikan ini.”

“Diam, diam!” teriak Ki Peda Sura. Sepasang senjatanya menyambar-nyambar dengan dahsyatnya. Namun sepasang senjata itu sama sekali tidak berhasil menyentuh lawannya. Bahkan setiap kali senjatanya itu membentur pedang orang tua berkumis itu, terasa tangannya seakan-akan bergetar.

“Setan manakah yang tiba-tiba ada di dalam peperangan ini?” geram Ki Peda Sura.

“Nah Ki Peda Sura,” berkata orang itu pula, “masih ada kesempatan sebelum orang-orangmu tumpas di peperangan ini. Tinggalkan medan dan pergi ke asalmu. Kalau kau tidak mengganggu tanah ini untuk seterusnya, kau pun tidak akan kami ganggu.”

“Tutup mulutmu!” terak Ki Peda Sura.

“Maaf. Aku akan berbicara terus. Kalau kau mau mendengarkan aku akan bergembira sekali. Sebab tidak akan ada kemungkinan bagimu untuk menyelamatkan anak buahmu. Kedua anakku, adalah gembala-gembala yang salah seorang daripadanya telah membantu Pandan Wangi melukai kau beberapa saat yang lampau. Keduanya kini ada di medan ini, sekarang dua orang lain yang akan dapat membinasakan Sidanti dan Argajaya. Nah, sekarang kau tahu, bahwa Ki Tambak Wedi telah salah menilai kekuatan lawannya. Termasuk kau yang terlampau tamak.”

“Bohong. Kau sangka aku percaya?”

“Satu contoh adalah di hadapanmu sekarang. Kalau kau tidak mau mendengarkan kata-kataku, apa boleh buat.”

Terasa dada Ki Peda Sura berdesir. Ia sadar, bahwa lawannya kali ini bukan sekedar seorang yang berbicara terlampau keras, tetapi ia adalah seorang yang tangguh tanggon.

Meskipun demikian, sama sekali tidak terlintas di kepalanya untuk meninggalkan medan. Ia masih mempunyai cara untuk mencoba mengalahkan orang ini.

Demikianlah mereka bertempur semakin lama semakin seru. Beberapa kali Ki Peda Sura terdesak, dan setiap kali ia telah bergeser surut. Beberapa orang yang bertempur di sekitar kedua orang itu terpaksa berusaha menyingkir, karena mereka masih harus melayani lawan masing-masing. Tetapi mereka lebih senang berada agak jauh dari keduanya, daripada tanpa setahu mereka, kepala mereka pecah oleh sentuhan senjata kedua orang yang luar biasa itu.

Namun semakin lama semakin terasa, bahwa Ki Peda Sura tidak akan mampu lagi melakukan perlawanan lebih lama lagi. Apalagi ketika orang tua yang berkumis itu mengambil suatu keputusan, bahwa Ki Peda Sura memang harus dilenyapkan.

Ki Peda Sura pun menyadari keadaaanya. Ia tidak akan mampu bertahan lebih lama lagi melawan orang tua berkumis itu. Karena itu ia harus segera berbuat sesuatu, agar ia tidak terdesak terus, dan apalagi dibinasakan. Sejenak kemudian terdengar sebuah tanda yang meluncur dari mulutnya. Sebuah suitan nyaring.

Orang tua berkumis itu menjadi berdebar-debar. Ia tahu benar, bahwa yang diperdengarkan oleh Ki Peda Sura itu pasti suatu pertanda, tetapi orang tua itu tidak tahu, apakah maksudnya.

“Aku harus segera menyelesaikannya,” pikir orang tua itu. Tetapi ia terkejut ketika beberapa orang berloncatan dari antara hiruk-pikuk peperangan, dan kemudian seolah-olah mengepungnya. Tiga orang yang bertubuh kekar dengan wajah yang mengerikan.

“Nah, kau tidak akan dapat lolos lagi,” desis Ki Peda Sura.

Orang tua itu mengerutkan keningnya. Kemudian ia menarik nafas dalam-dalam sambil berdesis di dalam hatinya, “Memang tidak ada pilihan lain. Melawan Peda Sura sama berbahayanya dengan melawan iblis.”

“Menyerahlah, supaya kau dapat mati dengan tenang,” geram Ki Peda Sura.

Tetapi orang berkumis itu masih tetap tenang. Sekali ia bergeser untuk mempersiapkan dirinya. Dipandanginya wajah-wajah itu satu demi satu.

“Sudah sekian lama aku tidak pernah bertempur bersungguh-sungguh. Berkelahi antara hidup dan mati. Tetapi berhadapan dengan empat orang ini agaknya memang tidak ada pilihan lain. Aku tidak hanya sekedar bermain-main lagi, seperti beberapa kali aku lakukan melawan Sumangkar dan Ki Tambak Wedi, karena saat itu aku belum berada di dalam suatu keadaan seperti sekarang. Tetapi kini aku harus menentukan,” berkata orang tua itu di dalam hatinya. “Juga apabila pada suatu saat aku berhadapan dengan Tambak Wedi sendiri.”

“Kenapa kau membungkam?” bentak Ki Peda Sura. “Jangan menyesal. Tidak ada pilihan lain bagimu.”

Orang berkumis itu menarik nafas dalam-dalam. Kemudian katanya, “Marilah Ki Peda Sura. Aku sudah siap.”

“Sebut namamu, supaya aku dapat berceritera, bahwa seorang yang bernama dadap, atau waru, atau tikus, atau kelinci, telah aku bunuh di peperangan,” desis Ki Peda Sura.

“Nama-nama itukah yang pantas bagiku? Bukan Panji Jayengraga, atau Rangga Parang Jumena, atau Rangga Surenggana.”

“Cukup, cukup!” bentak Ki Peda Sura. “Baiklah kalau kau ingin mati tanpa nama.” Kemudian kepada kawan-kawannya ia berkata, “Kita terpaksa membunuhnya tanpa ampun, terserahlah cara yang mana yang akan kalian pilih.”

“Orang ini harus dicincang,” geram salah seorang dari mereka, “tetapi ia harus mati perlahan-lahan.”

“Bagus, aku ingin menangkapnya hidup-hidup.”

Terdengar salah seorang dari mereka tertawa. Kemudian hampir bersamaan mereka maju mendekat.

Orang tua itu harus benar-benar mempersiapkan dirinya. Orang-orang itu bukanlah orang kebanyakan yang dapat diabaikan.

Sejenak kemudian, Ki Peda Sura itu pun berkata, “Nah, selesaikan. Pekerjaan kita masih banyak.”

Serentak ketiga orang itu menyerang dari tiga jurusan. Dengan senjata masing-masing yang berbeda-beda mereka berusaha sekaligus menghancurkan lawannya. Salah seorang dari mereka mempergunakan sebuah tombak pendek berduri pandan. Sentuhan senjata itu dapat menyobek kulit dedel duwel. Seorang yang lain bersenjata sebuah golok yang besar, sedang yang seorang lagi bersenjata pedang.

Tetapi orang tua berkumis itu cukup sadar. Dengan sigapnya ia menghindari serangan-serangan itu, dan bahkan salah seorang daripada mereka telah membenturkan dengan senjata orang tua itu. Betapa ia terkejut merasakan tangannya seakan-akan disengat oleh bara api. Hampir saja senjatanya terlepas dari tangannya. Karena itu, maka terdengar ia menggeram untuk melontarkan kemarahan yang menyesak dada.

Namun sebelum orang tua itu berhasil berdiri tegak, serangan Ki Peda Sura sendiri datang membadai. Sepasang senjatanya menyambar-nyambar dengan dahsyatnya. Hampir saja kepala orang tua itu tersentuh oleh senjata Peda Sura yang dahsyat itu. Hanya dengan kecepatan yang tidak dapat diperhitungkan oleh lawannya, orang tua itu berhasil menyelamatkan dirinya.

“Bukan main,” desisnya di dalam hati, “mereka berempat merupakan lawan yang berat juga.”

Karena itu, maka orang tua itu tidak lagi dapat berlengah-lengah barang sekejap pun. Menghadapi mereka berempat, maka tugasnya agak lebih berat daripada berhadapan langsung dengan seorang Tambak Wedi, karena ia harus memperhatikan beberapa arah sekaligus. Untunglah, bahwa orang-orang Ki Tambak Wedi mempunyai kegemaran membakar rumah, lumbung dan bahkan kandang-kandang kerbau, sehingga nyala api telah membantunya untuk melihat lawan-lawannya yang datang dari berbagai arah.

Sementara itu, Gupala telah menjadi jemu untuk bermain-main. Kini perhatiannya dipusatkannya kepada lawan utamanya, Ki Muni. Dukun itu telah mengerahkan segenap kemampuannya. Segenap mantra dan guna-guna telah dibacanya. Namun ternyata, bahwa ia menjadi cemas. Ternyata kemampuannya bertempur di peperangan tidak seperti yang diduganya sendiri. Ia mengharap lawannya menjadi gemetar dengan mantra dan guna-gunanya. Bahkan kemudian bersujud sambil memeluk lututnya sementara ia dapat menggoreskan pedang di leher lawan itu. Tetapi lawannya yang gemuk ini sama sekali tidak terpengaruh oleh mantra-mantranya. Danyang prapatan, kedung-kedung, dan pereng-pereng Bukit Menoreh, ternyata kali ini tidak merestuinya. Bahkan jimat-jimat yang tergantung di lehernya, taring celeng jantan, keyong buntet, dan segala macam bebatuan dan kayu-kayuan, sama sekali tidak menolongnya.

Gupala pun agaknya adalah seorang yang terlampau sulit untuk mengendalikan dirinya. Ketika ia melihat Ki Muni mengamuk dalam keputus-asaannya, maka Gupala pun menjadi marah. Apalagi ketika pedang lengkung Ki Muni berhasil menyentuh talinya yang berwarna kekuning-kuningan sehingga terputus beberapa jari di ujungnya. Dan selagi ia sibuk dengan tali itu, pedang lengkung yang tajam bukan kepalang itu, telah menyentuh tubuhnya sehingga menitikkan darah.

Kemarahan Gupala meluap sampai ke ujung rambutnya. Pedang yang tajam bukan buatan, itu benar-benar telah melukainya. Sentuhan yang tidak disangka-sangka itu ternyata telah membakar jantungnya. Untunglah, bahwa luka itu tidak berbahaya dan tidak terlampau dalam.

Namun demikian, luka itu telah cukup membuatnya kehilangan pertimbangan.

Sejenak kemudian, sambil menggeram, Gupala meloncat maju. Kini serangannya membadai tanpa dapat ditahan lagi oleh lawannya. Beberapa orang yang mencoba membantu Ki Muni, setelah ternyata, bahwa Ki Muni tidak dapat melawannya sendiri telah terpelanting jatuh dengan dada terbelah, atau kening yang berlumuran darah.

Ki Muni menjadi semakin berdebar-debar melihat lawannya seolah-olah menjadi semakin garang. Dengan demikian ia menjadi semakin berputus asa. Tidak ada seorang pun lagi yang akan mampu menolongnya. Mantra-mantra dan jampi-jampinya pun tidak.

Tetapi Ki Muni masih juga mencoba melawan. Pedangnya masih berputar, terayun-ayun dengan cepatnya. Namun ia sendiri sudah tidak berhasil melakukan pengamatan atas gerak-geraknya sendiri.

Gupala yang marah pun menyerangnya semakin cepat. Sehingga akhirnya, Ki Muni tidak dapat menghindar lagi. Ketika Gupala menjulurkan pedangnya, Ki Muni masih mencoba menghindarkan diri sambil memukul pedang itu. Tetapi pedang itu sama sekali tidak berkisar, bahkan kemudian terayun mengarah ke lambungnya. Dengan gugup Ki Muni masih berusaha untuk menyilangkan pedangnya, namun ternyata kekuatan lawannya terlalu besar, sehingga ia justru terdorong beberapa langkah surut. Belum lagi ia sempat memperbaiki keseimbangannya, ternyata Gupala telah meloncat sambil berteriak untuk mengakhiri perkelahian itu.

Dada Ki Muni berdesir. Tetapi hanya sejenak. Kemudian serasa tubuhnya terdorong beberapa langkah, dan selanjutnya ia tidak tahu apalagi yang terjadi atas dirinya.

Gupala menarik pedangnya. Dilihatnya Ki Muni kemudian roboh dengan darah menyembur dari luka di dadanya.

Kematian Ki Muni benar-benar telah berpengaruh pada anak buah yang dipimpinnya. Tiba-tiba mereka merasa ngeri melihat anak muda yang gemuk berjambang lebat itu. Tanpa mereka kehendaki, mereka pun berusaha bergeser menjauhinya. Namun mereka tidak dapat menghindar dari pertempuran itu. Di mana-mana mereka bertemu dengan lawan, karena para pengawal Tanah Perdikan Menoreh pun telah menyebar di segala medan. Bukan saja para pengawal yang masih muda, tetapi hampir setiap laki-laki yang setia kepada Ki Argapati mengangkat senjata. Mereka yang telah menyimpan senjata-senjata mereka, karena umur mereka telah merambat semakin tua pun, ternyata telah menarik senjata-senjata itu dari wrangkanya. Bahkan mereka yang hampir tidak pernah memegang senjata pun telah bangkit dan ikut di dalam peperangan yang hiruk-pikuk itu.

Di ujung lain dari peperangan itu, Gupita masih bertempur melawan Ki Wasi. Tetapi ternyata Gupita lebih banyak sesorah daripada mempergunakan ujung pedangnya. Sedang lawannya pun semakin dipengaruhi oleh perasaan heran, kenapa anak muda itu masih belum berusaha dengan sungguh-sungguh menyelesaikan pertempuran itu.

Apalagi ketika tiba-tiba saja Gupita itu berkata, “Masih ada waktu, Ki Wasi. Apakah kau dapat mempergunakan?”

Ki Wasi tidak menjawab. Tetapi sikap anak muda itu telah mengendorkan nafsu perlawanannya. Dan tiba-tiba ia melihat, bahwa peperangan ini telah menjadi semakin buas. Setiap kali ia mendengar teriakan kemarahan dan pekik kesakitan.

“Apakah memang hal serupa ini yang aku kehendaki?” pertanyaan itu telah mengganggunya.

Sebagai seorang dukun yang baik, Ki Wasi menjadi berdebat setiap ia melihat orang-orang yang terluka, merintih dan mengaduh.

“Inilah permulaan dari tingkah laku Sidanti,” terdengar Gupita berkata. “Lalu apa yang kira-kira akan dilakukan apabila ia nanti berkuasa?”

Ki Wasi tidak menjawab. Sepasang trisulanya masih berputaran, meskipun ia sadar, bahwa hal itu tidak akan banyak gunanya.

“Ki Wasi,” desis Gupita, “apakah kau tahu benar, kenapa Ki Argapati tidak mau melindungi anak laki-lakinya?”

Ki Wasi tidak menjawab.

“Bukankah kau hanya mendengar dari Ki Tambak Wedi atau Sidanti sendiri? Bukankah kau belum mendengarnya dari Ki Argapati?”

Ki Wasi masih tetap berdiam diri. Namun perlawanannya semakin lama menjadi semakin lemah. Apalagi karena ia menyadari, bahwa lawannya sama sekali tidak ingin membunuhnya. Meskipun Gupita melukai juga satu dua orang yang berusaha membantu Ki Wasi, tetapi ternyata Ki Wasi sama sekali tidak disentuh oleh ujung senjatanya.

Meskipun demikian, tetapi setiap kata Gupita serasa lebih tajam dari ujung senjata yang di genggamnya. Kini ia melihat akibat dari pembangkangan Sidanti.

“Pasti ada suatu alasan, kenapa Argapati tidak mau melindungi Sidanti saat itu,” pikiran itu seakan-akan baru saja tumbuh di kepala Ki Wasi. “Atau mungkin Sidanti dan Ki Tambak Wedi memang ingin mempercepat penyerahan kekuasaan tanah perdikan ini, supaya mereka dapat berbuat sekehendak hati?”

Karena itu, maka Ki Wasi pun menjadi ragu-ragu. Perlawanannya menjadi semakin tidak berarti, sehingga Gupita ternyata lebih banyak melayani lawan-lawannya yang lain daripada Ki Wasi sendiri.

Meskipun demikian, peperangan di sekitar Gupita masih saja berlangsung dengan serunya. Di antara pasukan Ki Tambak Wedi, maka orang-orang yang bukan berasal dari Menoreh sendiri, mempunyai cara yang mengerikan untuk menekan keberanian lawan. Seperti di sudut-sudut peperangan yang lain, mereka berbuat di luar batas. Dan merekalah yang lebih menarik perhatian Gupita daripada Ki Wasi yang seakan-akan telah kehilangan tenaganya sama sekali.

Namun adalah di luar dugaan sama sekali, ketika tiba-tiba saja terdengar orang itu mengaduh. Gupita yang sedang menyelesaikan seseorang yang berkelahi dengan ganasnya terkejut. Ketika ia berpaling, dilihatnya Ki Wasi terhuyung-huyung.

Hampir di luar sadarnya ketika tiba-tiba saja Gupita meloncat mendekati Ki Wasi. Dengan serta-merta tangannya menyambar orang tua itu sehingga ia tidak jatuh terjerembab.

Namun tiba-tiba dadanya berdesir. Tangannya itu merasakan sesuatu yang hangat meleleh dari punggung Ki Wasi. Luka.

“Bunuh pengkhianat itu,” terdengar seseorang berteriak.

Kini menjadi jelas bagi Gupita, bahwa agaknya seseorang di antara anak buah Ki Wasi sendiri telah berusaha membunuhnya, karena ia dianggap berkhianat.

Dan belum lagi Gupita menyadari keadaan sepenuhnya, maka seseorang telah meloncat dan berusaha menusuk punggung Ki Wasi sekali lagi. Tetapi usaha orang itu kini tidak berhasil, karena pedangnya membentur pedang Gupita. Dan bahkan pedang orang itulah yang terlempar jatuh dari genggamannya.

“Jangan hiraukan aku anak muda,” desis Ki Wasi, “biarlah aku menerima hukuman apa saja. Aku ternyata telah berkhianat dua kali lipat. Aku telah mengkhianati Ki Argapati dan kini aku sedang berpikir untuk mengkhianati Sidanti karena sikapmu.”

“Masih ada kesempatan,” jawab Gupita, “kali ini Ki Wasi tidak sedang berkhianat. Tetapi Ki Wasi sedang berusaha memperbaiki kesalahan Ki Wasi itu.”

Ki Wasi menggeleng lemah, “Tidak ada gunanya. Lukaku parah.”

“Bukankah Ki Wasi seorang dukun? Apakah Ki Wasi tidak membawa obat apapun?”

Ki Wasi ragu-ragu sejenak, kemudian katanya, “Aku memang membawa. Tetapi tidak untuk luka separah ini.”

Hiruk-pikuk peperangan menjadi semakin seru. Sementara tubuh Ki Wasi pun menjadi semakin lemah. Gupita masih mencoba menahan tubuh yang lemah itu. Tetapi seperti yang dikatakannya sendiri, Ki Wasi sudah tidak mempunyai harapan.

Gupita menarik nafas dalam sambil memegangi tubuh itu dengan tangan kirinya. Sedang tangan kanannya masih menggenggam pedangnya erat-erat.

“Serahkan pengkhianat itu kepada kami,” teriak salah seorang lawannya, “biarlah kami menyelesaikannya.”

“Kenapa kau anggap dia berkhianat?”

“Ia tidak melawan kau dengan sungguh-sungguh. Jangan kau sangka, bahwa tidak ada seorang pun di antara kami yang mendengar percakapan kalian, meskipun sepotong-sepotong. Kau mencoba mempengaruhinya, dan dukun gila itu agaknya sedang dirambati oleh racun perkataan-perkataanmu itu. Nah, jangan kau kira, bahwa kau pun akan dapat hidup. Justru setelah pengkhianat itu mati, kau pun akan segera diselesaikan.”

Betapa mengendapnya hati Gupita, namun darah mudanya dapat juga menjadi panas. Tetapi ia masih belum melepaskan Ki Wasi yang menjadi semakin lemah.

“Biarkan aku,” desis Ki Wasi, “aku pasti akan mati. Tidak ada kesempatan untuk mengobati aku. Tetapi biarlah, aku merasa bahwa di saat-saat terakhir aku sudah menyadari kesalahanku. Aku masih sempat untuk berpesan kepadamu. Sampaikan permohonan maafku kepada Ki Argapati.”

Gupita tidak segera dapat menjawab. Ia melihat penyesalan yang dalam di mata Ki Wasi, sehingga ia menjadi semakin iba karenanya. Tetapi agaknya Ki Wasi memang sudah tidak akan dapat tertolong lagi. Sejenak kemudian orang tua itu menjadi semakin parah. Nafasnya seakan-akan saling berkejaran, dan sejenak kemudian terdengar ia berdesis, “Tinggalkan aku.”

Gupita tidak sempat menjawab lagi. Orang itu menghembuskan nafasnya yang terakhir.

Gupita pun menarik nafas. Diletakkannya orang itu perlahan-lahan di atas tanah. Lidah api yang menjilat ke langit, menerangi wajah yang menjadi seputih kapas itu dengan cahayanya yang kemerah-merahan.

Pada saat Gupita sedang merenungi Ki Wasi itu, hampir saja ia menjadi lengah, ketika salah seorang lawannya berhasil melepaskan diri dari para pengawal tanah perdikan, sehingga dengan sebuah loncatan yang panjang, ia berusaha menusuk lambung Gupita. Untunglah, Gupita menyadari keadaannya, tepat pada saatnya, ketika ia mendengar salah seorang pengawal berteriak, “He, Gupita. Awas orang itu.”

Gupita masih sempat berguling sekali, kemudian melenting berdiri beberapa langkah dari lawannya.

Lawannya yang merasa kehilangan sasaran menggeram. Sekali lagi ia meloncat menyerang Gupita dengan garangnya. Namun kali ini Gupita telah siap menerimanya. Malang bagi orang itu. Gupita yang pikirannya masih dipengaruhi kematian Ki Wasi di ujung jalannya kembali itu, tidak dapat mengatur perasaannya. Ketika ujung senjata lawannya terjulur ke dadanya, ia bergeser ke samping. Kemudian digerakkannya ujung pedangnya, menyambar orang yang terseret oleh kekuatannya sendiri, meluncur di hadapannya.

Terdengar keluh tertahan. Kemudian orang itu terbanting jatuh di tanah. Sejenak ia menggeliat, namun kemudian ia tidak akan bergerak-gerak lagi.

Gupita menarik nafas. Kini tidak ada lagi orang yang disegani di daerah itu. Apalagi ketika ia melihat pasukannya berhasil menguasai keadaan. Sepeninggal Ki Wasi, maka orang-orang Ki Tambak Wedi itu seakan-akan telah kehilangan pimpinan. Seorang yang membunuh Ki Wasi, mencoba untuk memegang pimpinan di kelompok itu. Namun agaknya orang itu pun tidak berumur lebih panjang lagi, ketika pundaknya seakan-akan terbelah oleh senjata seorang pengawal tanah perdikan.

Gupita yang melihat keadaan orang-orangnya telah mantap, tiba-tiba saja ingin menemui gurunya. Ada sesuatu yang mendesak. Kematian Ki Wasi yang tidak wajar itu serasa mengganggu perasaannya saja. Ia ingin melepaskannya dengan menceriterakannya kepada gurunya. Hanya sebentar, dan ia akan segera kembali ke tempatnya.

Karena itu, maka setelah memberitahukan maksudnya kepada seorang pengawal, Gupita pun meninggalkan tempat itu untuk menemui gurunya sebentar.

Sejenak Gupita berputar-putar. Namun kemudian ia tertarik pada suatu lingkaran pertempuran yang seru. Dengan hati yang berdebar-debar ia mendekatinya, mungkin gurunya sedang bertempur melawan Ki Peda Sura.

Ternyata dugaannya tidak salah. Ia melihat gurunya bertempur. Tetapi tidak hanya melawan Ki Peda Sura, tetapi melawan empat orang yang tangguh dan beberapa orang lain. Ternyata Ki Peda Sura tidak hanya memberi isyarat kepada tiga orang kawannya. Beberapa orang yang lain pun datang susul-menyusul dari sela-sela peperangan.

“Hem,” Gupita menarik nafas dalam-dalam, gurunya memang orang yang luar biasa. Meskipun ia harus melawan sekian banyak orang, namun sama sekali tidak tampak gugup atau bingung. Dengan mantap ia menggerakkan senjatanya, menyambar-nyambar.

Ki Peda Sura-lah yang justru menjadi bingung. Sudah sekian lama ia bertempur bersama beberapa orang tetapi mereka belum berhasil mengalahkan gembala tua itu. Bahkan satu demi satu orang-orangnya terlempar dari arena.

“Ayo, cepat, kita selesaikan saja kakek ini,” teriak Ki Peda Sura. “Jangan beri ia kesempatan!”

Kawan-kawannya menjadi semakin bernafsu. Tetapi terlampau sulit bagi mereka untuk dapat menembus putaran pedang kakek tua berkumis lebat itu.

Gupita yang melihat gurunya bertempur melawan sekian banyak orang segera mendekatinya. Beberapa langkah dari arena itu, ia berhenti sejenak. Sekali-sekali ia harus menghindar apabila ujung-ujung senjata meluncur di seputarnya.

Agaknya gurunya melihat kehadirannya. Karena itu maka terdengar orang tua itu bertanya, “He, Gupita. Kenapa kau berada di situ?”

“Aku ingin menemui Guru sebentar. Tetapi agaknya Guru baru sibuk.”

“Apakah ada kesulitan?”

“Tidak, Guru,” Gupita berhenti sejenak. Namun tiba-tiba timbullah keinginannya untuk mempengaruhi lawan-lawannya dengan berita kematian Ki Wasi. Karena itu maka katanya, “Aku hanya akan memberitahukan, bahwa Ki Wasi telah terbunuh.”

“He?”

“Ki Wasi telah terbunuh.”

Berita itu agaknya telah mengejutkan Ki Peda Sura, sehingga dengan serta-merta ia berteriak, “Bohong! Siapakah yang mampu membunuh Ki Wasi?”

“Aku,” jawab Gupita tanpa disangka-sangka.

“Bohong! Bohong! Anak kelinci macam kau.”

“Terserahlah kepadamu. Tetapi aku memberitahukan kepada Guru, bahwa Ki Wasi telah mati.”

“Kau bunuh dia?” bertanya gurunya sambil melayani lawan-lawannya. Sedang pertempuran pun masih berlangsung dengan hiruk-pikuk. Beberapa orang pengawal mencoba untuk membantu orang tua yang harus melawan sekian banyak orang. Tetapi orang-orang Ki Peda Sura pun semakin banyak pula yang datang membantunya, sehingga seperti juga orang-orang Menoreh mempersiapkan diri mereka melawan pemimpin-pemimpin pasukan Ki Tambak Wedi, dengan sekelompok kecil, agaknya demikian pulalah yang dilakukan oleh Ki Peda Sura.

Dalam pada itu terdengar Gupita menjawab pertanyaan gurunya, “Tidak, Guru. Aku tidak membunuhnya.”

“Nah,” teriak Ki Peda Sura, “bukankah kau sudah membual. Ki Wasi tidak mungkin mati.”

“Benarkah begitu?” bertanya gurunya.

“Tidak. Ki Wasi memang sudah mati. Tetapi memang bukan aku yang membunuhnya. Ia telah dibunuh oleh anak buahnya sendiri.”

“Gila!” teriak Ki Peda Sura.

“Ya. Sebenarnyalah begitu.”

Ki Peda Sura terdiam sejenak. Sepasang senjatanya dengan dahsyatnya berputaran melanda lawannya. Tetapi lawannya benar-benar seorang yang tangguh. Meskipun demikian, betapa tangguhnya seseorang, namun untuk melawan sejumlah orang yang berilmu pula, agaknya memerlukan terlampau banyak tenaga dan pemusatan pikiran.

“Guru,” tiba-tiba Gupita berkata, “apakah aku boleh ikut di dalam permanan ini?”

“Bagaimanakah dengan tugasmu?”

“Tidak ada hal yang menarik sepeninggal Ki Wasi.”

“Bohong, bohong!” Ki Peda Sura berteriak-teriak. Namun Gupita sama sekali tidak menghiraukannya.

“Baiklah,” jawab gurunya, “tetapi berhati-hatilah. Lawan kita adalah orang-orang yang buas dan liar.”

“Persetan!” geram Ki Peda Sura. “Kau berdua adalah orang-orang yang paling licik. Kalian mencoba mempengaruhi perasaan kami dengan ceritera yang mentertawakan itu.”

Gupita masih belum menanggapinya. Kini ia maju semakin dekat. Kemudian ia meloncat masuk ke dalam arena. Yang mula-mula ditanganinya adalah mereka yang sedang bertempur melawan para pengawal yang mencoba membantu orang tua yang berkumis itu. Namun kemudian, ia merambat semakin dekat, sehingga akhirnya, ia sudah berada di ujung lingkaran pertempuran yang seakan-akan terpisah ini.

“Setan alas, kau ingin mati lebih dahulu,” geram salah seorang pembantu kepercayaan Ki Peda Sura.

Tetapi Gupita tidak memperhatikannya sama sekali. Bahkan kemudian perhatiannya tertarik kepada dua orang yang sekaligus terluka, ketika gurunya mengayunkan pedangnya.

“Guru memang bukan seorang pembunuh,” desisnya. Dan ternyata meskipun tidak mati, namun kedua orang itu sama sekali sudah tidak mampu lagi untuk melawan karena luka-lukanya.

Bersama Gupita, gurunya bertempur melawan orang-orang Ki Peda Sura. Namun orang-orang itu sama sekali tidak menarik perhatiannya, yang penting baginya, adalah memotong induknya, Ki Peda Sura sendiri.

Dengan hadirnya Gupita di dalam pertempuran itu, maka gurunya kini lebih banyak mendapat kesempatan untuk memusatkan perhatiannya kepada Ki Peda Sura. Ia sudah tidak lagi terlalu banyak diganggu oleh senjata-senjata yang berkeliaran di sekitarnya, karena sebagian dari mereka harus melayani Gupita yang bertempur seperti burung sikatan.

Tekanan yang semakin lama semakin berat, ternyata tidak dapat lagi dielakkan oleh Ki Peda Sura, sehingga karena itu, maka ia harus lebih banyak mengerahkan segenap kemampuan yang ada padanya. Diperasnya segenap tenaganya untuk dapat bertahan terus di antara beberapa orang-orangnya yang terpenting.

Namun gembala tua itu dapat bergerak secepat tatit. Kemana ia pergi, ujung senjatanya selalu saja mengikutinya, seolah-olah ujung senjata itu mempunyai mata yang dapat melihatnya.

“Persetan,” ia menggeram. Dan tiba-tiba saja ia bersuit beberapa kali dalam nada yang khusus.

“Apa lagi yang akan dilakukan iblis ini?” pikir gembala tua itu.

Dan ternyata ia tidak perlu menunggu lebih lama. Tiba-tiba seperti laron mengerumuni nyala api, beberapa orang anak buah Ki Peda Sura menyerang gembala tua itu sejadi-jadinya dari segala pihak. Orang tua itu adalah orang yang cukup berpengalaman. Ia pernah bertempur melawan berbagai macam kelompok dan gerombolan. Ia pernah bertempur melawan laskar yang teratur, melawan prajurit, melawan penjahat dan melawan gerombolan-gerombolan liar. Dan ia pun mengenal watak dari para pemimpin gerombolan-gerombolan liar seperti Ki Peda Sura itu. Juga sikapnya kali ini. Dengan demikian, maka gembala tua itu segera dapat mengambil kesimpulan, bahwa Ki Peda Sura telah berusaha mempergunakan orang-orangnya menjadi perisai, sementara ia akan melarikan dirinya.

Namun ternyata orang-orang Ki Peda Sura berbuat terlalu cepat. Sebelum orang tua itu menyadari keadaannya, ia sudah terkepung rapat sekali. Tidak hanya satu sap, tetapi dua sap.

“Bukan main,” ia bergumam, “begitu taatnya mereka terhadap pemimpinnya.”

Namun dengan demikian, orang tua itu menyadari, bahwa ia memerlukan waktu untuk memecah kepungan itu. Dan waktu itu agaknya akan dipergunakan oleh Ki Peda Sura untuk melepaskan dirinya dari tangannya. Orang itu sama sekali tidak akan merasa bertanggung jawab atas akibat dari perbuatannya itu. Ia tidak akan mempedulikan lagi, apakah yang akan terjadi dengan peperangan ini. Apabila Ki Peda Sura sendiri telah berhasil melepaskan dirinya, maka orang-orangnya pun pasti akan segera berusaha lari sejauh-jauh mungkin dapat mereka lakukan.

Karena itu, maka gembala tua itu pun hanya dapat menggeram. Kini ia harus berusaha secepat-cepatnya memecahkan kepungan itu. Namun harapan untuk tetap menguasai Ki Peda Sura menjadi semakin kecil.

Yang didengarnya hanyalah suara tertawa Ki Peda Sura. Berkepanjangan di antara dentang senjata beradu. Tetapi tiba-tiba suara tertawa itu terputus. Sambil meloncat menghindar Ki Peda Sura mengumpat. Ketika diperhatikannya, maka seorang anak muda yang tiba-tiba menyerangnya, adalah seorang anak muda yang gemuk.

“He, siapa kau? Apakah kau sudah jemu hidup he?”

“Mau lari kemana kau, Kiai?” bertanya anak yang gemuk itu.

Sebelum Ki Peda Sura menjawab, terdengar gembala tua di tengah-tengah kepungan orang-orang Ki Peda Sura bertanya, “He, kenapa kau berada di situ?”

Anak yang gemuk itu belum sempat menjawab. Serangan Ki Peda Sura tiba-tiba datang membadai.

“Bukan main,” desahnya di dalam hati. “Serangan ini berbau maut,” berkata anak yang gemuk itu di dalam hatinya.

Namun ia segera menarik nafas dalam-dalam, ketika seorang anak muda yang lain datang membantunya, “Hati-hatilah menghadapi iblis berbindi rangkap ini.”

“Persetan iblis-iblis kecil,” geram Ki Peda Sura.

Kini Ki Peda Sura harus bertempur melawan Gupala dan Gupita sekaligus. Sementara itu guru mereka yang masih sedang berusaha memecahkan kepungan yang rapat itu mengulangi pertanyaannya, “Gupala, kenapa kau berada di situ?”

“Aku kehilangan lawanku,” teriak Gupala.

“Kemana?”

“Ke neraka.”

“He,” orang tua itu mengerutkan keningnya. Namun pedangnya masih saja berputar melindungi dirinya, “apakah Ki Muni sudah terbunuh?”

“Ya.”

“Siapa yang membunuhnya?”

“Aku. Aku telah membunuhnya dengan pedang ini setelah ia melukai aku.”

“He, kau terluka.”

“Ya, meskipun hanya sedikit.”

Dan tiba-tiba terdengar Ki Peda Sura memotong, “Bohong! Kalian agaknya sedang berusaha mengecilkan hati kami dengan ceritera-ceritera semacam itu.”

“Aku sudah menduga bahwa kau tidak akan percaya,” jawab Gupala sambil bertempur. “Sebenarnya aku ingin membawa kepalanya, agar kau dapat melihatnya sendiri. Tetapi niat itu aku batalkan, karena aku masih berperikemanusiaan.”

“Persetan!” Ki Peda Sura menjadi semakin garang, dan kedua anak-anak muda itu pun bertempur semakin dahsyat pula.

“Kita bertukar lawan,” mereka terperanjat, ketika mereka mendengar suara itu selangkah di belakangnya. Ternyata gurunya telah berhasil memecah kepungan lawan-lawannya, dan kini telah siap menghadapi Ki Peda Sura. Katanya kemudian, “Tahanlah orang-orang itu supaya aku mendapat kesempatan melanjutkan permainanku dengan Ki Peda Sura.” Lalu katanya kepada Ki Peda Sura, “Ayo, Kiai. Jangan bubar. Aku masih belum jemu dengan permainan yang mengasyikkan ini.”

Wajah Ki Peda Sura menjadi merah membara. Ia tahu arti dari kata-kata gembala tua itu. Agaknya orang itu sama sekali tidak ingin melepaskannya, sehingga bagaimanapun juga, ia akan selalu mengejarnya.

Kemarahan Ki Peda Sura sudah sampai di puncak kepalanya. Tetapi ia bukannya orang yang tidak melihat kenyataan, bahwa lawannya sama sekali tidak akan dapat dilawannya. Tetapi ia belum menemukan jalan apa pun untuk menghindarinya.

Sejenak kemudian, maka Ki Peda Sura harus bertempur lagi melawan gembala tua itu. Beberapa orang kepercayaannya segera membantunya pula, sedang beberapa orang lagi di antara mereka masih harus melawan Gupala dan Gupita, sementara para pengawal Menoreh pun telah mencoba mengurangi jumlah lawan mereka.

Tetapi betapa liciknya Ki Peda Sura. Dengan cara yang sama, mengorbankan orang-orangnya, ia masih berusaha untuk melarikan dirinya. Beberapa orang kepercayaannya dengan membabi buta telah menyerang gembala tua dan yang lain kedua murid-muridnya. Sementara itu Ki Peda Sura mempergunakan kesempatan untuk melenyapkan dirinya di dalam hiruk-pikuk peperangan. Namun kali ini ia tidak berani mengangkat dadanya sambil melepaskan suara tertawanya.

“Licik,” geram gembala tua itu. Ki Peda Sura adalah seorang yang memiliki ilmu cukup tinggi. Tidak jauh di bawahi gembala tua itu. Tidak jauh pada dari Ki Tambak Wedi sendiri. Karena itu, ketika ia berusaha melarikan diri, menyusup di dalam hiruk-pikuknya peperangan, ia tidak terlampau banyak mengalami kesulitan.

Betapapun gembala tua itu menahan hatinya, tetapi pada suatu saat kemarahannya pun terungkat pula. Ia sudah berada di peperangan setelah terlalu lama ia tidak mengalaminya. Dan di dalam peperangan yang bersungguh-sungguh ini, ia telah kehilangan lawannya. Karena itu, maka dengan terpaksa sekali, ia berusaha menyingkirkan orang-orang yang telah mengurung dengan rapatnya.

Ketika satu dua orang dari mereka terlempar sambil mengaduh, bahkan ada yang tidak sempat mengeluh, karena pedang orang tua itu langsung menembus jantung, terdengar orang tua itu bergumam, “Bukan maksudku. Bukan maksudku membunuh orang-orang yang tidak ikut menentukan sikap itu.”

Namun orang tua itu tidak dapat menghindarinya, karena mereka berkelahi seperti orang kesurupan iblis. Sedang di bagian yang lain, Gupita dan Gupala pun mengalami persoalan yang serupa.

Ketika orang tua itu sudah berada di luar kepungan, karena tidak ada seorang pun lagi yang dapat melakukannya, maka Ki Peda Sura seakan-akan telah hilang ditelan oleh api pertempuran yang semakin seru itu.

“Aku kehilangan lawan,” desis orang tua itu. “Adalah terlampau sukar untuk mencari seseorang yang sengaja bersembunyi di antara ributnya peperangan itu. Pada permulaan peperangan ini, mencari Ki Peda Sura tidak akan terlalu sulit. Ia pasti berada di salah satu ujung bagian dari seluruh gelar. Selain daripada itu, ia pasti menjadi pusat dari sekelompok lawan, karena ia mempunyai banyak kelebihan. Tetapi untuk mencari Ki Peda Sura yang berlindung pada sekian keributan memang tidak akan mudah.”

Meskipun demikian, gembala tua itu tidak berputus asa. Sekilas ia melihat dua orang muridnya bertempur. Tetapi ia tidak mencemaskan nasib keduanya. Karena itu maka katanya, “Tinggallah di sini, aku akan mencari iblis yang licik itu.”

“Tetapi aku berjanji untuk kembali ke tempatku semula,” jawab Gupita.

“Kembalilah. Di sini dan di tempatmu itu tidak akan banyak bedanya sekarang. Lawanmu telah menjadi patah kemauan. Mereka tinggal mendorongnya pergi dari tempat ini.”

“Bohong!” teriak salah seorang dari mereka. “Aku akan membunuh kalian.”

Tetapi kata-katanya terputus ketika Gupala meloncat sambil berkata lantang, “Tutup mulutmu. Jangan membual.”

Orang itu terkejut bukan buatan. Tetapi terlambat. Ia tidak mampu menghindari pedang Gupala yang menjulur lurus ke dadanya. Sehingga yang terdengar kemudian adalah keluhan tertahan. Namun orang yang hampir sampai di batas ajalnya itu tiba-tiba berteriak, “Aku bunuh kalian. Aku bunuh kalian.”

Begitu suaranya hilang di dalam hiruk-pikuknya dentang senjata, tubuhnya pun jatuh terbanting di tanah.

Gembala tua itu melihat sambil menarik nafas dalam-dalam. Ketika ia berpaling ke arah Gupita, dilihatnya muridnya yang tua itu menggigit bibirnya.

“Anak itu harus diajar untuk sedikit menahan diri,” berkata gembala tua itu di dalam hatinya. “Adalah wajar membunuh di peperangan. Tetapi nafsunyalah yang terlampau membakar dadanya. Membunuh, meskipun di peperangan, bukanlah permainan yang dapat dilakukan sekehendak hati.”

Namun ketika tiba-tiba teringat olehnya Ki Peda Sura, maka gembala tua itu pun sekali lagi berkata, “Berhati-hatilah. Aku akan pergi.”

“Silahkan, Guru,” jawab Gupita. “Aku pun akan bergeser ke tempatku pula.”

Sejenak kemudian gembala tua itu pun segera meloncat di antara hiruk-pikuknya ujung senjata. Sekali-sekali langkahnya tertahan, namun kemudian dengan tergesa-gesa ia pun melanjutkannya.

Sementara itu, Gupita pun sedang berusaha menghindarkan diri dari kekisruhan di tempatnya. Beberapa orang pengawal Tanah Perdikan Menoreh telah berada di sekitarnya pula. Betapa kekaguman mereka melihat bagaimana gembala itu menyelesaikan lawan-lawannya. Bagaimana ia menggerakkan pedangnya, dan bagaimana ia berloncatan seperti burung sikatan. Bahkan gembala yang gemuk itu pun mampu bergerak dengan lincahnya tanpa dibebani oleh dagingnya yang seolah-olah berlebihan.

“Gupala,” berkata Gupita, “aku akan kembali ke tempatku. Apakah kau akan tinggal di sini?”

“Aku sudah tidak mempunyai lawan.”

“Aku pun tidak. Tetapi aku sudah berjanji.”

Gupala tidak segera menjawab. Tetapi senjatanyalah yang sedang berbicara. Dan Gupita hanya dapat mengangkat bahunya ketika ia melihat darah menyembur dari luka di lambung lawan Gupala itu.

Sejenak ia masih melihat Gupala bertempur. Kemudian ditinggalkannya anak muda yang gemuk itu, yang kini berada di antara para Pengawal Tanah Perdikan Menoreh. Bagi para pengawal, Gupala terasa lebih menarik dan mengagumkan dari anak muda yang seorang lagi, karena Gupala terasa lebih banyak berjasa di dalam peperangan ini.

Gupita pun kemudian kembali ke tempatnya semula. Ke tempat Ki Wasi terbunuh oleh kawan-kawannya sendiri.

Ternyata, bahwa para pengawal tanah perdikan masih belum dapat menguasai keadaan sepenuhnya. Meskipun Ki Wasi sudah tidak ada lagi, namun mereka masih harus bekerja keras untuk menahan arus lawan. Seorang yang berbadan pendek, berdada lebar, agaknya telah berusaha memimpin kelompok itu. Orang itu agaknya memiliki kemampuan yang lebih baik dari kawannya. Namun ia tidak terpaut terlampau banyak, sehingga orang yang pendek itu pun tidak dapat banyak berbuat.

Kedatangan Gupita segera dapat merubah keseimbangan. Meskipun ia tidak segarang Gupala, namun orang yang pendek itu pun segera dapat dilumpuhkannya.

Dengan demikian, maka orang-orang Ki Tambak Wedi itu pun kemudian berperang tanpa ikatan. Sebagian mereka, yang justru terdiri dari orang-orang yang berasal dari luar Menoreh, yang dibawa oleh Ki Peda Sura dan oleh beberapa orang yang sekedar ingin mengail di air yang keruh, ternyata telah biasa bertempur tanpa pimpinan. Mereka justru mcnjadi bertambah liar dan buas.

Di ujung peperangan, Ki Tambak Wedi masih harus memeras tenaganya melawan Ki Argapati dan puterinya Pandan Wangi. Ki Argapati yang masih belum sembuh benar itu, agaknya telah terpaksa memeras tenaganya. Bahkan ia telah berbuat melampaui batas-batas yang dapat mengganggu dadanya yang terluka.

Tetapi melawan Ki Tambak Wedi, ia tidak dapat membatasi diri, kalau ia tidak ingin luka di dadanya itu bertambah lagi dengan sebuah tusukan nenggala. Karena itu, maka ia telah memeras segenap kemampuannya untuk melawan iblis yang mengerikan itu.

Namun betapapun juga luka di dadanya itu telah membatasi kemampuannya. Ia tidak dapat sampai ke puncak ilmunya. Untunglah, bahwa di sampingnya ada puterinya, Pandan Wangi, yang dapat mengisi setiap kekurangan, sehingga Ki Tambak Wedi pun tidak segera berhasil membinasakan lawannya.

Tetapi sebenarnya kehadiran Pandan Wangi itu telah membuat Ki Argapati selalu berdebar-debar pula. Ia sama sekali tidak mencemaskan nasibnya sendiri. Adalah wajar baginya sebagai seorang kepala tanah perdikan, seandainya ia harus mengorbankan apa pun yang dimilikinya. Bahkan nyawanya. Tetapi ia sama sekali tidak rela, apabila Pandan Wangi pun akan mati terbunuh pula. Pandan Wangi adalah satu-satunya anaknya yang akan dapat menyambung keturunan. Trah Argapati. Kalau Pandan Wangi terbunuh pula, maka Sidanti-lah yang akan menyebut dirinya trah Argapati, dan berhak mewarisi pimpinan tanah perdikan ini, tanpa ada orang yang mengganggu gugat.

Karena itulah, maka betapa lukanya menganggunya, tetapi Argapati telah memeras segenap tenaga dan kemampuannya. Ia harus bertahan. Apa pun yang akan terjadi.

Meskipun demikian, namun tenaganya memang menjadi terbatas. Apalagi ketika tangannya meraba pembalut luka itu. Terasa sesuatu menghangati tangannya. Darah. Darah yang telah merembes dari lukanya yang belum sembuh benar.

Dalam pemusatan tenaga, agaknya luka itu telah menitikkan darah. Gerak yang terlampau banyak dan geseran-geseran pembalutnya, telah memperderas tetesan darah itu.

Dengan demikian, maka Ki Gede Menoreh itu pun menjadi semakin berdebar-debar. Telah berapa puluh kali ia harus berhadapan dengan lawan. Seorang lawan seorang, atau di peperangan. Tetapi ia belum pernah mengalami kegelisahan seperti kali ini. Kegelisahan yang terbesar justru karena ia memikirkan nasib puterinya.

Namun karena itulah, maka Argapati sama sekali tidak menghiraukan dirinya sendiri. Dengan kemampuan yang ada padanya, ia bertempur mati-matian. Tombak pendeknya menyambar-nyambar dengan dahsyatnya, seakan-akan ia tidak sedang diganggu oleh luka di dadanya.

Tetapi Ki Tambak Wedi yang pernah bertempur melawan Ki Argapati merasakan, bahwa tenaga Ki Argapati tidak sepenuh kemampuannya, apabila ia tidak diganggu oleh luka itu. Itulah sebabnya maka ia berpengharapan, pada saatnya Ki Argapati akan kehabisan tenaga dan dengan mudah menyelesaikanya. Tanpa Ki Argapati, Pandan Wangi sama sekali bukan apa-apa lagi baginya.

Ki Tambak Wedi yang licik itu tersenyum di dalam hati. Hampir pasti, bahwa kali ini Ki Argapati tidak akan dapat menghindari ujung senjatanya. Dua kali ia berkelahi melawan Ki Argapati dalam perang tanding. Seorang lawan seorang, ia telah gagal mengalahkanya. Kemudian dengan akal yang licik dan curang pun ia tidak berhasil. Kini agaknya kesempatan telah terbuka baginya.

“Tanpa Ki Argapati, pasukan pengawal Menoreh ini akan segera dapat disapu seperti asap dihembus angin,” katanya di dalam hati. “Apalagi tidak seorang pun yang akan mampu memimpin pasukan pengawal ini. Yang paling bernilai dari setiap orang di tanah perdikan ini adalah Pandan Wangi. Dan betapa mudahnya menyelesaikan anak ini. Kalau aku tidak sampai hati untuk melakukannya, karena wajahnya yang mirip dengan wajah ibunya itu, biarlah Peda Sura menangkapnya, hidup atau mati. Terserah, apakah yang akan dilakukannya. Kalau Sidanti dan Argajaya berkeberatan, maka lebih baik anak itu dibunuh saja, seperti yang sudah diputuskan.”

Dengan demikian, maka tandang Ki Tambak Wedi pun menjadi semakin garang. Ia melihat setiap kali Argapati terpaksa melontar surut, menahan dadanya dan barulah ia mengerahkan kemampuannya untuk menyerang kembali.

Bahkan Ki Tambak Wedi itu tidak dapat lagi menahan perasaannya, sehingga terdengar ia berdesis, “Apakah lukamu kambuh lagi, Argapati?”

Dada Ki Argapati berdesir mendengar pertanyaan itu. Agaknya Ki Tambak Wedi telah melihat kelemahannya, sehingga dengan demikian, Ki Tambak Wedi akan dapat memperhitungkan dengan tepat apa yang bakal terjadi dalam peperangan ini.

Namun meskipun demikian, Ki Argapati masih juga tersenyum, “Nah, bukankah kau hanya sekedar menunggu? Kau tidak dapat mengambil peranan apa-apa dalam perkelahian ini Ki Tambak Wedi, sehingga dengan demikian, kau hanya dapat mengharap mudah-mudahan aku terganggu oleh bekas lukaku.”

“Persetan,” Ki Tambak Wedi menggeram. Kemarahannya telah benar-benar membakar seluruh isi dadanya. “Kau harus segera selesai Argapati. Kemudian memusnahkan seluruh anak buahmu termasuk anak gadismu itu.”

Ki Argapati tidak menjawab. Tetapi ia tidak dapat mengingkari kenyataan, bahwa kekuatannya pasti terbatas. Darah yang mengalir semakin deras itu, pasti akan segera mempengaruhi daya tahannya.

Di bagian-bagian yang lain, tidak ada kekhususan yang menarik dari peperangan itu. Ternyata Sidanti dan Argajaya mendapat lawan yang tangguh. Mereka tidak menyangka, bahwa tiba-tiba saja di atas Bukit Menoreh itu hadir orang-orang yang dapat mengimbangi kemampuannya, meskipun masih harus mendapat bantuan dari orang-orang di sekitarnya.

Tetapi akhirnya, kedua orang pengawal Sutawijaya itu tidak dapat bertahan terlampau lama dengan senjata cambuknya. Senjata yang tidak biasa dipergunakannya. Karena itu, maka akhirnya mereka telah memindahkan cambuk-cambuk itu ke tangan kiri. Dan mereka pun segera bertempur dengan pedangnya. Dengan demikian keadaan mereka menjadi semakin mantap.

Yang paling mencemaskan di seluruh medan adalah justru Ki Argapati sendiri. Tekanan Ki Tambak Wedi semakin lama menjadi semakin berat, sehingga Ki Argapati telah mulai terdesak beberapa kali. Sekali-sekali tangan kirinya ditelekankan ke dadanya yang terasa mulai pedih.

“Ha,” Ki Tambak Wedi tertawa, “nyawamu telah berada di mulut lukamu itu. Sebentar lagi kau akan menjadi lemas, dan tanpa kau kehendaki kau akan terbaring di tanah. Betapa mudahnya membunuhmu saat itu.”

“Tutup mulutmu,” Pandan Wangi membentak sambil menyerang sejadi-jadi, sehingga terdengar ayahnya menahannya, “Wangi.”

Tetapi Pandan Wangi tidak menghiraukannya. Tiba-tiba gadis itu telah dibakar oleh kemarahan yang meluap-luap, sehingga ia tidak lagi dapat mengendalikan dirinya. Ia tidak memperhitungkan lagi, dengan siapa ia berhadapan.

“He, apakah kau gila anak manis,” teriak Ki Tambak Wedi.

Pandan Wangi tidak menjawab. Penglihatannya tentang keadaan ayahnya hampir membuatnya berputus asa. Karena itu, sebelum ia melihat ayahnya dikalahkan oleh Ki Tambak Wedi, maka lebih baik ia menentukan akhir dari perkelahiannya. Kalau ia berhasil bersama ayahnya mengalahkan Ki Tambak Wedi, biarlah itu segera terjadi, sebelum ayahnya kehabisan darah. Tetapi kalau ia harus mati, biarlah ia mendahului ayahnya.

“Pandan Wangi,” sekali lagi ia mendengar suara ayahnya.

Tetapi Pandan Wangi tidak menghiraukannya. Sepasang pedangnya berputaran seperti sepasang angin pusaran yang libat-melibat. Namun demikian, untuk dapat mengalahkan Ki Tambak Wedi dalam keadaan serupa itu, meskipun ia bersama ayahnya, adalah sama dengan menunggu tumbuhnya jamur di musim kemarau. Ayahnya telah menjadi semakin lemah, dan dirinya sendiri pasti tidak cukup kekuatan untuk melawan iblis yang telah menodai nama ibunya.

“Pandan Wangi,” teriak Ki Tambak Wedi, “jangan gila.”

Tetapi Pandan Wangi sudah tidak menghiraukan lagi. Kelembutan di wajahnya telah lenyap disaput gelapnya hati. Rambutnya tiba-tiba telah terurai dan matanya pun telah menyorotkan sinar keputus asaan.

“Wangi, Wangi,” ayahnya masih mencoba mencegahnya.

Tetapi ia seakan-akan sudah tidak mendengar apa pun lagi.

Namun ternyata, betapa hitamnya hati Ki Tambak Wedi, ia masih juga dapat dipengaruhi oleh perasaannya. Pandan Wangi yang berurai rambut, sorot mata keputus-asaan, dan gemeretak gigi itu, sekali lagi telah membayangkan kenangan yang ingin dilupakan oleh Ki Tambak Wedi. Kini seolah-olah ia melihat Rara Wulan yang menyusulnya ke Pucang Kembar pada saat ia sedang berkelahi dengan Arya Teja. Pandan Wangi yang putus asa itu seolah-olah berteriak kepadanya, “Inilah dadaku. Di sinilah kau menghunjamkan senjatamu itu.”

Ki Argapati menjadi heran melihat Ki Tambak Wedi beberapa kali meloncat surut. Namun dengan tiba-tiba telah menyerangnya dengan garangnya. Tetapi seolah-olah orang itu selalu menghindari benturan dengan senjata Pandan Wangi.

Ki Argapati tidak mengerti apa yang tersirat di dalam hati lawannya. Karena itu ia masih selalu dicemaskan oleh sikap puterinya itu. Meskipun kadang-kadang ia masih mampu melindunginya, namun gerak Pandan Wangi yang tidak terkendali itu kadang-kadang telah menempatkannya pada jarak yang terlampau jauh dari padanya.

“Pandan Wangi,” desis Ki Tambak Wedi, “kau jangan berbuat gila. Lebih baik kau pergi dari arena ini.”

“Itu akan lebih gila lagi,” sahut Pandan Wangi. “Aku akan membunuhmu atau kau membunuhku.”

“Anak setan,” geram Ki Tambak Wedi, “aku ingin membunuh ayahmu.”

“Dan setiap orang di sini,” sambung Pandan Wangi. “Nah, kalau begitu bunuh aku lebih dahulu.”

“Wangi,” potong ayahnya, “jangan kehilangan akal. Pakai otakmu di dalam setiap peperangan.”

Tetapi Pandan Wangi seakan-akan tidak mendengar lagi kata-kata ayahnya. Dengan demikian, maka ia masih saja berkelahi tanpa terkendali. Dengan sepasang pedang yang terayun-ayun dengan cepatnya ia berloncatan menyerang Ki Tambak Wedi.

Ki Argapati yang merasa semakin lemah, terpaksa menyesuaikan dirinya dengan tata gerak anaknya, supaya Pandan Wangi tidak terlepas sama sekali dari perlindungannya apabila keadaan sangat mendesak. Karena itu, maka ia sama sekali tidak mendapat kesempatan untuk menghemat tenaganya. Namun dengan demikian, Ki Tambak Wedi pun menjadi sibuk untuk melayani ayah beranak itu.

“Anak setan,” ia menggeram di dalam hatinya. Dicobanya untuk menemukan kekuatan, agar ia tidak selalu dibayangi oleh perasaannya.

Dan ketika ia terdesak beberapa langkah, maka ia menggeretakkan giginya sambil berkata, “Aku tidak peduli. Aku tidak peduli siapa dia.”

Maka terdengar orang tua itu menggeram. Dan tiba-tiba saja ia berteriak nyaring, “Persetan kalian berdua. Kalian harus segera mati. Dan padukuhan ini harus menjadi abu sebelum fajar.”

Ketika Ki Tambak Wedi kemudian melepaskan segala macam keragu-raguannya, maka tenaga Ki Argapati pun menjadi semakin terperas karenanya. Dan ia sendiri menyadari, bahwa ia tidak akan dapat bertahan sampai fajar.

Para pengawal yang mampu melihat keseimbangan yang sedang condong dengan perlahan-lahan itu pun mencoba untuk mendapatkan kesempatan membantu kepala tanah perdikannya, agar Ki Argapati mendapat kesempatan untuk menahan diri. Samekta pun kemudian melihat kelemahan kepala tanah perdikannya, sehingga hatinya menjadi berdebar-debar. Ia tahu benar, bahwa luka di dada Ki Argapati pasti telah mengganggunya.

Tetapi apa yang dapat dilakukan adalah tidak terlampau banyak berarti. Namun bersama dengan setiap orang yang ada di sekitar pertarungan itu, Samekta berusaha untuk memperpanjang daya perlawanan Ki Argapati dan Pandan Wangi.

Namun setiap kali Samekta selalu digelisahkan oleh kemungkinan yang dapat terjadi di tempat-tempat lain. Ia masih belum mendapat gambaran dari seluruh peperangan. Pada saat terakhir ia memang sedang menunggu beberapa orang yang dikirimkannya ke beberapa bagian dari gelarnya untuk melihat keadaan.

Dengan tergesa-gesa ia berusaha menemui penghubungnya yang pertama-tama datang mendekatinya, “Bagaimana?” ia bertanya.

“Ki Muni telah terbunuh,” desis penghubung itu.

“He.”

“Ki Muni.”

“Benar begitu?”

“Ya.”

“Lalu bagaimana keadaan medan di tempat itu.”

“Anak yang gemuk itu telah meninggalkan arena, masuk ke daerah peperangan yang lebih dalam.”

“Apakah yang dilakukannya?”

“Aku mencoba mencari hubungan. Ternyata Ki Peda Sura sudah melarikan diri. Tetapi gembala tua itu pun tidak ada di tempatnya. Yang ada justru anak yang gemuk itu. Ketika aku berhasil mendekatinya, ia mengatakan bahwa ayahnya sedang mencari Peda Sura.”

Samekta menarik nafas dalam-dalam. Harapannya yang menjadi pudar ketika ia melihat Ki Argapati selalu terdesak, kini menjadi cerah kembali. Dengan demikian, maka keadaan pasukan di kedua belah pihak pun pasti akan terpengaruh oleh keadaan itu. Apalagi ketika kemudian ia mendengar dari penghubungnya yang lain, bahwa Ki Wasi telah mati, dibunuh oleh anak buahnya sendiri.

“Kenapa?” bertanya Samekta.

Penghubung itu menggelengkan kepalanya, “Entahlah.”

Memang hal itu agak kurang penting bagi keadaan seluruh peperangan ini.

“Dimana anak gembala yang bernama Gupita itu?”

“Ia masih berada di tempatnya. Kehadirannya di tempat itu ternyata mempunyai pengaruh yang sangat besar, apalagi sepeninggal Ki Wasi.”

Samekta mengangguk-anggukkan kepalanya. Ia dapat membuat perhitungan dalam sekilas, bahwa pengaruh dari keadaan itu, pasti akan terasa sampai ke induk pasukan ini. Beberapa orang anggauta pasukan di induk ini pasti akan terpaksa mengalir, membantu ke tempat-tempat yang akan menjadi semakin lemah.

“Beberapa orang akan mendapat kesempatan membantu Ki Argapati,” desisnya, namun kemudian. “Tetapi untuk melawan Ki Tambak Wedi, apakah akan banyak dapat membantu?”

Pertanyaan serupa itulah yang selalu mengganggunya. Dan kini ia melihat Ki Argapati menjadi semakin lemah. Bahkan Pandan Wangi pun menjadi semakin mencemaskannya. Kadang-kadang ujung senjata Ki Tambak Wedi hampir saja berhasil menyentuh tubuhnya. Dalam keadaan yang demikian, Ki Argapati telah memaksa dirinya untuk meloncat melindunginya, betapa ia memeras tenaganya yang terasa menghentak-hentak lukanya.

Samekta memang tidak dapat menunggu dan membiarkan terlampau lama. Kemudian beberapa orang yang dianggapnya mempunyai beberapa kelebihan dari kawan-kawannya, telah ditariknya untuk mencoba mengganggu Ki Tambak Wedi.

Cara itu telah membuat darah Ki Tambak Wedi semakin mendidih, sehingga ia sudah tidak menghiraukan apapun lagi. Senjatanya segera berputaran, dan setiap kali ia melemparkan seorang lawannya dari arena.

Iblis dari lereng Merapi itu benar-benar telah bertempur dengan dahsyatnya. Senjatanya menjadi semakin mengerikan, dan patrapnya pun telah membuat setiap tengkuk meremang.

Ki Argapati yang melihat lawannya menjadi semakin buas menjadi gemetar menahan marahnya. Tetapi ia tidak dapat ingkar dari kenyataan, bahwa lukanya sangat mengganggunya.

Namun Ki Argapati kini berdiri di dalam keadaan tanpa pilihan. Satu-satunya yang harus dilakukan adalah bertempur tanpa memikirkan bagaimana akhir dari pertempuran itu bagi diri sendiri, meskipun hal itu telah dapat diperhitungkannya.

Tetapi usaha Samekta dengan beberapa orang anggauta pengawal pilihan ternyata berpengaruh juga. Setiap kali Ki Tambak Wedi harus mengumpat-umpat sambil menghindarkan diri dari patukan senjata-senjata yang seolah-olah mengerumuninya.

Di bagian belakang dari gelar Gajah Meta yang sudah menjadi semakin lebar itu, ternyata telah terjadi perubahan keseimbangan. Tempat-tempat yang ditinggalkan oleh Ki Wasi dan Ki Muni, telah berubah sama sekali. Para pengawal Tanah Perdikan Menoreh telah hampir-hampir dapat menguasai seluruh keadaan. Apalagi setelah Ki Peda Sura meninggalkan arena tanpa memberikan pesan dan petunjuk apa pun kepada anak buahnya.

Kemunduran pasukan Ki Tambak Wedi di tempat-tempat itu ternyata sangat mempengaruhi keadaan di sekitarnya. Beberapa orang di dalam kelompok-kelompok yang lain, terpaksa harus bergeser membantu tempat-tempat yang menjadi semakin lemah. Beberapa orang yang berada di dalam pimpinan Sidanti dan di bagian lain dipimpin oleh Argapati, tidak dapat membiarkan gelar yang bulat itu akan terpecah.

Sehingga sejenak kemudian, di belahan belakang dari gelar Gajah Meta yang harus menghadapi kepungan para pengawal Tanah Perdikan Menoreh yang semakin mendesak itu, menjadi semakin berbahaya. Apalagi karena Gupala hampir-hampir tidak mau mengekang dirinya, sehingga lingkaran arena di seputarnya menjadi semakin ribut. Lawan-lawannya harus menghadapi dalam kelompok-kelompok kecil, meskipun mereka tidak dapat menahan putaran pedangnya yang seakan-akan melanda pasukan Ki Tambak Wedi yang sudah menjadi semakin kisruh. Apalagi para pengawal yang ada di sekitarnnya, memanfaatkan pula keadaan itu dan bertempur sejauh-jauh kemampuan mereka.

Sidanti dan Argajaya yang kemudian mendengar dari seorang penghubung tentang keadaan itu menggeram seperti seekor harimau lapar. Tetapi mereka tidak dapat berbuat terlampau banyak, karena mereka ternyata menemukan lawan yang pilih tanding. Wrahasta dan Kerti di tempat masing-masing cukup memberikan pengaruh pula pada pertempuran di sekitar lingkaran perkelahian yang dahsyat antara Sidanti, Argajaya dan lawan-lawannya.

Setelah lawan-lawan Sidanti dan Argajaya bertempur dengan senjata mereka sendiri, maka segera tampak, bahwa Dipasanga dan Hanggapati adalah seorang prajurit. Meskipun pada dasarnya mereka memiliki ilmu masing-masing, namun pengaruh lingkungan keprajuritan segera tampak. Apalagi prajurit-prajurit yang telah mengalami berbagai macam persoalan seperti keduanya.

Karena itulah, maka Sidanti dan Argajaya menjadi berdebar-debar. Apakah persoalan Tanah Perdikan Menoreh telah menjadi persoalan di dalam istana, sekaligus untuk mencari jejaknya dan gurunya.

Dengan demikian, maka Sidanti dan Argajaya menjadi semakin lama semakin gelisah. Namun mereka tidak dapat segera mengambil sikap. Mereka hanya dapat menunggu, apa yang akan diperintahkan oleh Ki Tambak Wedi.

Di arena pertempuran yang lain, Ki Tambak Wedi masih belum terlampau merasakan tekanan-tekanan di bagian-bagian gelarnya. Ia masih memusatkan segenap perhatiannya untuk menyelesaikan Argapati yang semakin lama menjadi semakin lemah. Pandan Wangi yang berusaha bertempur sekuat tenaganya dan justru hampir-hampir menjadi putus asa itu, menjadi semakin cemas melihat keadaan ayahnya.

Namun agaknya beberapa orang yang berusaha membantu Ki Argapati dan Pandan Wangi, dapat memperingan tekanan-tekanan yang diberikan oleh Ki Tambak Wedi.

Betapa Ki Tambak Wedi mengumpat-umpat di dalam hati, setiap kali ia harus menghindari ujung tombak yang dilontarkan ke arahnya, kemudian ayunan pedang yang menyambar dari belakang. Sebuah pisau yang menyambar dari arah yang tidak terduga-duga dari antara sekian banyak lawan-lawannya.

“Setan,” ia mengumpat, dan iblis tua itu menjadi semakin marah. Bukan saja kepada lawan-lawannya, tetapi juga kepada orang-orangnya sendiri. Mereka sama sekali tidak berhasil menghalau para pengawal yang seakan-akan mengepungnya dalam suatu lingkaran yang terpisah dari seluruh peperangan.

“Kemana orang-orang gila ini?” ia menggeram. Setiap kali ia berusaha melihat pasukannya. Dan setiap kali ia melihat kesibukan yang luar biasa. Agaknya pertempuran di sekitarnya pun menjadi semakin dahsyat pula.

“Meskipun demikian,” ia berkata d idalam hatinya, “adalah terlampau bodoh untuk membiarkan tikus-tikus ini mengerumuni aku, sehingga usahaku menjadi selalu terganggu.”

Akhirnya Ki Tambak Wedi menjadi tidak sabar lagi. Terdengar ia bersuit nyaring, dua kali ganda.

Setiap orang di dalam pasukannya mengetahuinya, bahwa dengan demikian, Ki Tambak Wedi memerlukan beberapa orang untuk membantunya. Melihat keadaan medan di sekitamya, maka Ki Tambak Wedi pasti memerlukan orang-orang untuk menghalau para pengawal yang mengitarinya.

Tetapi betapa sulitnya untuk menghindarkan diri dari lawan masing-masing yang terasa semakin lama menjadi semakin banyak. Bahkan seolah-olah setiap orang harus melawan bukan saja seorang lawan saja, tetapi di dalam hiruk-pikuk peperangan, lawan-lawan mereka serasa selalu bergeser, dari yang seorang ke orang yang lain. Mereka menjadi terkejut, ketika tiba-tiba di hadapan mereka telah berdiri seorang tua yang berkumis lebat, menyambar senjata mereka sehingga senjata itu terpelanting, kemudian meloncat dan hilang di dalam peperangan itu, untuk muncul di tempat lain, dan berbuat serupa pula. Dalam keadaan yang demikian, maka orang-orang di dalam pasukan Ki Tambak Wedi menjadi bingung dan kadang-kadang ada di antara mereka yang kehilangan akal, karena tiba-tiba senjatanya telah terlepas.

Tanpa senjata di peperangan yang seru terasa benar-benar mengerikan.

Tetapi orang tua berkumis itu sendiri. Seakan-akan tidak mempedulikan lagi lawan-lawannya yang telah kehilangan senjata. Ia pergi tanpa berbuat sesuatu. Namun meskipun demikian, para pengawal Tanah Perdikan Menoreh-lah yang selalu mempergunakan kesempatan, selagi orang-orang yang kehilangan senjata itu masih belum berhasil memungut senjatanya itu kembali.

Dengan demikian, maka keadaan hampir di seluruh medan segera berubah. Meskipun tidak seganas Gupala, namun Gupita telah mulai dijauhi pula oleh lawan-lawannya. Sidanti dan Argajaya seakan-akan terikat oleh lawan masing-masing, meskipun lawan-lawan mereka tidak lebih unggul dari mereka masing-masing. Namun kesempatan yang ada pada Wrahasta dan Kerti telah dipergunakan sebaik-baiknya.

Ki Tambak Wedi pun kemudian menyadari keganjilan yang ada di dalam pasukannya dan pasukan lawan. Ternyata perhitungannya telah meleset dari kenyataan yang di hadapinya. Ia sama sekali tidak menyangka, bahwa selain Argapati dan Pandan Wangi, di dalam lingkungan dinding pring ori itu terdapat orang-orang yang dapat mengimbangi pemimpin di dalam pasukannya, entah darimana mereka datang.

Betapa kemarahan telah membakar dadanya, tetapi ia harus menghadapi kenyataan yang ada di medan yang seru itu. Iblis itu pun menyadari, bahwa pasti ada suatu sebab, bahwa orang-orangnya tidak dapat memenuhi panggilannya, atau hanya sebagian saja dari mereka yang dapat mendekatinya dan membantunya mengusir para pengawal yang mengerumuninya. Meskipun demikian, ia masih belum leluasa untuk melakukan tekanan atas Argapati dan Pandan Wangi.

Betapa lemahnya Argapati, namun ia masih jauh berada di atas kemampuan orang-orangnya dan bahkan masih mampu membuatnya berdebar-debar dengan ujung tombak pendeknya.

Ki Tambak Wedi yang marah itu menggeram. Terasa dadanya seakan-akan meledak. Harapannya untuk membuat padukuhan ini menjadi karang abang sebelum fajar, agaknya sama sekali tidak akan dapat dilakukan.

Dengan susah payah, seorang penghubungnya telah berhasil mendekatinya, dan memberitahukan apa yang telah terjadi di medan. Dengan demikian, maka serasa jantung Ki Tambak Wedi itu terbakar di dalam dadanya.

Tetapi Ki Tambak Wedi masih cukup sadar, bahwa ia tidak dapat membiarkan dirinya hanyut dalam arus perasaannya. Ia harus mampu mencari kemungkinan yang paling baik di saat-saat mendatang.

Dengan demikian, maka tekanan ia terhadap Ki Argapati yang semakin lemah dan atas Pandan Wangi pun mengendor pula. Senjata-senjata yang berterbangan menyambarnya serasa semakin banyak. Pisau-pisau belati dan bahkan tombak-tombak pendek. Ia sama sekali tidak mendapat kesempatan untuk melihat, siapakah yang telah melontar-lontarkan senjata-senjata itu, sehingga setiap kali ia harus berloncatan menghindarinya.

Yang dapat dilihatnya adalah orang-orang Menoreh yang memandanginya dengan sorot mata yang menyala. Sekilas dilihatnya seorang berkumis yang kemudian seakan-akan lenyap ditelan oleh para pengawal yang lain. Tetapi orang-orang itu satu-persatu tidak menarik perhatiannya sama sekali.

Yang menjadi pusat perhatiannya adalah keadaan keseluruhan dari peperangan ini.

Sejenak kemudian, Ki Tambak Wedi berada di dalam kebimbangan. Apakah ia dapat meneruskan pertempuran? Ketika terkilas di matanya Argapati yang semakin lemah. Pandan Wangi yang kini sudah hampir kehilangan akal, maka tumbuhlah keinginannya untuk menyelesaikan saja sama sekali keduanya. Tetapi bagaimana dengan orang-orangnya yang lain? Apakah mereka tidak menjadi semakin berkecil hati dan kehilangan keberanian untuk bertindak di saat lain?

Apalagi apabila disadarinya, bahwa para pengawal Tanah Perdikan Menoreh yang mengerumuninya menjadi semakin lama semakin banyak. Agaknya mereka telah mendapat kesempatan untuk meninggalkan medan mereka masing-masing untuk membantu Kepala Tanah Perdikannya. Lemparan-lemparan senjata ke arahnya menjadi semakin deras, dan bahkan kadang-kadang terasa berbahaya.

Karena itu, Ki Tambak Wedi yang gelisah itu harus segera mengambil suatu keputusan. Melangkah maju untuk membinasakan Argapati dan Pandan Wangi, tetapi membiarkan anak buahnya menjadi semakin kalang kabut, atau menarik diri, dan mencoba menghimpun kekuatan untuk melakukan serangan yang lebih baik di saat lain.

Tetapi agaknya Ki Tambak Wedi tidak banyak mendapat kesempatan. Setiap kali ia mendengar sorak sorai yang seakan-akan membelah langit yang justru telah menjadi semburat merah.

“Hem,” iblis itu menggeram, “aku tidak dapat membiarkan keadaan ini sampai pagi. Kalau kemudian matahari terbit dan medan ini menjadi terang, maka pasukanku pasti akan menjadi semakin parah.”

Karena itu, betapapun beratnya, akhirnya Ki Tambak Wedi mengambil keputusan, selagi kekuatannya masih cukup besar, ia harus menarik diri. Betapa pahitnya. Tetapi tidak ada jalan lain untuk menyelamatkan kekuatannya.

“Lain kali aku masih akan dapat menghubungi orang-orang di luar tanah perdikan ini. Aku mengharap Ki Peda Sura masih ada di dalam barisan, meskipun ia bersembunyi. Ia akan dapat menjadi penghubung yang baik dengan kekuatan-kekuatan di luar tanah ini,” Ki Tambak Wedi berkata di dalam hatinya, namun kemudian ia menggeram, “Setan Argapati itu masih juga mampu bertahan sampai menjelang fajar. Meskipun tampaknya nafasnya telah hampir putus, dan darahnya telah membasahi lagi di dadanya, ia masih juga dapat menggerakkan pedangnya dengan sempurna.”

Akhirnya, memang tidak ada jalan lain bagi Ki Tambak Wedi. Dengan hati yang tersayat, ia memberikan isyarat, agar pasukannya mulai menyusun diri dalam garis surut.

Sidanti dan Argajaya terkejut mendengar isyarat itu. Meskipun ia tidak dapat segera menguasai kedua lawannya, namun mereka tidak berada di bawah kedua prajurit Pajang itu. Nafsu mereka yang meluap-luap di dada mereka, telah membatasi pengamatan mereka atas seluruh medan.

Karena itu, isyarat Ki Tambak Wedi itu sama sekali tidak mereka sangka-sangka.

Namun di bagian-bagian lain, isyarat itu merupakan harapan bagi orang-orang Ki Tambak Wedi untuk tetap hidup. Karena itu, ketika isyarat yang dibawa oleh arus angin dan kemudian mengalir dari seorang pemimpin kelompok ke pemimpin kelompok yang lain, segera menumbuhkan gejolak di setiap dada. Memang bagi mereka mundur saat itu adalah satu-satunya cara untuk menyelamatkan sisa-sisa pasukan yang ada. Mereka yang mengalami tekanan-tekanan yang luar biasa segera mengerti, bahwa Ki Tambak Wedi ingin menyelamatkan sisa pasukan ini. Dan mereka pun mengerti, bahwa di saat-saat mendatang, mereka masih harus menyusun diri lebih baik lagi untuk merebut padukuhan ini dari tangan Argapati dan membinasakannya sama sekali.

Beberapa orang dari mereka pun masih juga bertanya-tanya di dalam hati, bagaimana akhir dari peperangan antara Ki Tambak Wedi dan Argapati yang sedang terluka itu.

“Tetapi di dalam pasukan Argapati terdapat kekuatan-kekuatan yang sama sekali tidak terduga-duga,” desis mereka.

Dengan demikian, maka para pemimpin kelompok-kelompok kecil di dalam pasukan Tambak Wedi itu segera menyusun diri untuk melakukan gerakan surut. Ternyata untuk menarik diri dari peperangan yang seru ini pun sama sekali bukan pekerjaan yang mudah.

Selangkah demi selangkah Ki Tambak Wedi membawa orang-orangnya mundur. Sambil bertempur ia memberikan isyarat-isyarat terus-menerus kepada penghubung-penghubung yang harus menyampaikan isyarat-isyarat ke seluruh pasukan dengan tanda-tanda bunyi, dan gerak.

Ki Argapati yang sudah menjadi semakin lemah, melihat gerakan yang dilakukan oleh Ki Tambak Wedi. Sejenak ia merenungi keadaan itu, keadaannya sendiri, dan seluruh pasukannya.

Betapa besar nafsunya untuk tetap mengejar Ki Tambak Wedi dan tidak membiarkannya terlepas dari tangannya. Tetapi luka di dadanya terasa semakin lama menjadi semakin pedih. Ketika ia memaksa diri, maju mengejar Ki Tambak Wedi yang mencoba melindungi orang-orangnya, terasa dadanya seakan-akan menjadi pecah, sehingga langkahnya pun tertegun karenanya.

Kini ia tidak dapat ingkar lagi. Tenaganya benar-benar telah habis terperas. Dan ia mengucapkan sukur di dalam hatinya kepada Tuhan, yang masih menyelamatkannya tepat pada saatnya. Tepat pada saat ia kehilangan segala kemampuannya.

Tiba-tiba pertempuran itu serasa berputar. Pandangan matanya semakin lama menjadi semakin gelap. Api yang masih menyala di beberapa tempat pun tampaknya menjadi semakin suram.

Ki Argapati masih melihat Ki Tambak Wedi yang menjadi semakin jauh. Ketika Pandan Wangi meloncat ingin mengejarnya, terdengar Ki Argapati menghentakkan kekuatannya yang terakhir, memanggil puterinya, “Pandan Wangi ………”

Pandan Wangi terkejut. Ketika ia berpaling dilihatnya ayahnya terhuyung-huyung bertelekan pada landaian tombaknya.

“Ayah,” dengan tangkasnya Pandan Wangi meloncat mendekati ayahnya. Hampir saja ayahnya terjatuh kalau ia tidak segera ditolong oleh Pandan Wangi. Demikian tergesa-gesa, sehingga ia tidak sempat menyarungkan pedangnya dan begitu saja dilelakkannya di tanah. Pedang yang seolah-olah tidak pernah terpisah dari dirinya itu, seakan-akan dilupakannya ketika ia melihat keadaan ayahnya yang parah.

Sejenak kemudian, Samekta pun telah berdiri di sampingnya. Dengan tangan gemetar, ia pun mencoba menahan tubuh Ki Argapati. Tetapi ternyata tubuh itu telah menjadi sedemikian lemahnya, sehingga Samekta terpaksa membaringkannya di tanah.

“Ayah, Ayah,” pekik Pandan Wangi. Meskipun ia mampu bertempur di peperangan, namun ketika ia melihat keadaan ayahnya, maka sifat-sifat kegadisannya tidak lagi dapat disimpannya.

“Tenanglah, Pandan Wangi,” desis Samekta. “Ki Argapati telah pingsan.”

“Ayah, Ayah,” Pandan Wangi tidak dapat menahan titik-titik air matanya yang membasahi pipinya. Apalagi ketika ia melihat darah yang memerahi pembalut luka Ki Argapati.

Ki Tambak Wedi yang menjadi semakin jauh melihat bagaimana Argapati kehilangan kesadaran dirinya. Karena itu ia mengumpat di dalam hatinya, “Kalau aku bertahan beberapa kejap lagi.”

Meskipun demikian, masih tumbuhlah keragu-raguannya, apakah ia akan berlari beberapa langkah maju dan membunuh Argapati itu sama sekali, atau ia harus tetap melindungi orang-orangnya yang sedang bergerak mundur.

Sejenak Ki Tambak Wedi memeras pikirannya. Tetapi pengawal Tanah Perdikan Menoreh menyerang orang-orangnya yang sedang mundur itu seperti air bah. Dengan demikian, maka Ki Tambak Wedi tidak dapat membiarkan orang-orangnya itu binasa dan korban akan berjatuhan terlampau banyak.

“Sayang,” desis Ki Tambak Wedi, “aku kehilangan waktu yang sekejap ini. Tetapi biarlah. Besok atau lusa apabila aku kembali, maka tidak seorang pun yang dapat memimpin pasukan Argapati, karena Argapati sendiri pasti memerlukan waktu beberapa hari untuk dapat sembuh, atau bahkan mungkin ia akan mati karena luka-luka itu. Seandainya ia tidak mati, maka untuk maju ke medan perang, ia harus membuat banyak sekali pertimbangan-pertimbangan.”

Dengan demikian, maka Ki Tambak Wedi terus berusaha menarik diri dengan hati-hati. Para pemimpin pengawal tanah perdikan, sebagian telah terpaku di samping Ki Argapati. Demikian juga seorang gembala tua yang kemudian telah melepaskan kumisnya.

“Tolonglah Kiai, tolonglah,” tangis Pandan Wangi.

Gembala tua itu mengerutkan keningnya. Dirabanya pergelangan tangan Ki Argapati. Ternyata pemimpin tertinggi Tanah Perdikan Menoreh itu telah terlampau banyak mengeluarkan tenaga selagi lukanya masih sangat mengganggunya. Akhirnya ia benar-benar kehilangan kekuatannya sama sekali.

“Untunglah ia mampu bertahan tepat sampai Tambak Wedi menarik diri,” desis Samekta.

“Ia telah memeras segenap kekuatan yang tersisa, agar ia tetap berdiri tegak, selagi Ki Tambak Wedi masih berada di hadapannya,” jawab gembala tua itu.

Semua orang yang mengitarinya menundukkan kepalanya. Samekta, Pandan Wangi, dan gembala itu kini berlutut di sampingnya. Dengan cemas mereka melihat Ki Argapati yang pucat seperti kapas.

Ternyata keadaan itu telah menarik banyak perhatian para pemimpin Menoreh yang lain. Mereka tidak dapat melepaskan diri tanpa menghiraukan kepala tanah perdikan mereka, sehingga keadaan itu telah sangat mempengaruhi seluruh medan.

Peluang itulah yang agaknya memberi banyak kesempatan kepada Ki Tambak Wedi untuk menarik pasukannya.

“Ki Samekta,” desis gembala itu, “awasilah pasukanmu. Serahkan Ki Argapati kepadaku. Mungkin di dalam gerakan yang terakhir Ki Tambak Wedi membuat perangkap-perangkap yang berbahaya.”

Samekta seperti terbangun dari tidurnya yang diganggu oleh mimpi yang buruk. Tiba-tiba ia menyadari, bahwa keadaan pasukannya masih belum terlepas sama sekali dari bahaya yang dapat dengan mendadak menjeratnya. Karena itu, maka ia pun segera berdiri sambil berkata, “Baiklah. Biarlah aku pergi ke pasukan yang sedang mencoba mendesak pasukan lawan.”

“Tahanlah mereka, agar mereka tidak dikendalikan oleh perasaan. Ki Tambak Wedi bukan sekedar seorang pemimpin yang mumpuni. Tetapi ia dapat mempergunakan segala cara untuk melakukan rencananya. Sebaiknya pasukanmu tidak keluar dari lingkungan ini. Kita masih belum tahu tepat, apa yang berada di padang rerumputan di luar, meskipun kita mempunyai kesempatan yang baik kali ini.”

“Aku sependapat Kiai. Terserahlah, aku percayakan Ki Argapati kepadamu.”

Samekta pun kemudian berlari-lari bersama dua orang pengawal yang lain mendekati garis surut pasukan Ki Tambak Wedi. Setelah berhasil menghubungi beberapa orang penghubung, Samekta segera memerintahkan, supaya pasukannya tidak mengejar lawan sampai ke luar lingkungan pring ori.

“Kenapa?” bertanya penghubung itu.

“Beberapa orang di antara kita yang mampu mengendalikan orang-orang terpenting di pasukan lawan sedang sibuk dengan Ki Argapati. Perhitungkan hal itu. Ki Tambak Wedi bukan sahabat yang dapat diajak bergurau.”

Penghubung-penghubung itu pun mengangguk-anggukkan kepalanya. Kemudian menghilang di dalam hiruk-pikuknya kedua pasukan yang sedang bergeser itu.

Namun memang ternyata, betapa Ki Tambak Wedi mencoba melindungi pasukannya. Ia benar-benar seperti iblis yang menyebar maut di antara mereka yang berani mendekatinya. Dengan demikian, maka usaha pasukannya menarik diri, semakin lama menjadi semakin lancar.

Gupala dan Gupita masih selalu mengingat-ingat pesan gurunya, bahwa mereka masih belum saatnya memperlihatkan diri kepada Sidanti, Argajaya, atau Ki Tambak Wedi sendiri. Sehingga dengan demikian, maka gerak mereka pun menjadi sangat terbatas.

Ketika ia mendengar pesan Samekta, bahwa mereka tidak sebaiknya mengejar sampai ke luar regol, mereka pun segera dapat mengerti. Apalagi ketika penghubung itu mengatakan tentang keadaan Ki Argapati.

“Guru pasti sedang menolong Ki Argapati,” berkata mereka di dalam hati, “sehingga Ki tambak Wedi yang kehilangan lawan itu akan menjadi burung elang di kandang ayam.”

Ternyata betapa gejolak membakar dada setiap pengawal Tanah Petdikan Menoreh yang sedang mendapat kesempatan baik itu, namun mereka dengan penuh pengertian, mematuhi perintah pemimpin mereka. Karena sebenarnya mereka pun ngeri melihat tandang Ki Tambak Wedi. Setiap sentuhan senjatanya akan berarti maut.

Demikianlah, maka ketika orang-orang di dalam pasukan Ki Tambak Wedi itu telah berhasil keluar dari regol padesan itu, maka dengan susah payah para pengawal telah menahan dirinya untuk tidak terseret oleh arus perasaannya. Mereka memang tidak dapat melihat, apa saja yang ada di balik setiap helai daun ilalang di dalam gelap. Meskipun langit telah menjadi semburat merah, namun padang ilalang liar di hadapan padesan itu masih tetap dibayangi oleh gelapnya malam.

Di luar regol, Ki Tambak Wedi masih saja sibuk mengatur pasukannya. Namun ia melihat, bahwa orang-orang Menoreh tidak mengejarnya terus. Karena itu, maka ia dapat menarik nafas sejenak, melepaskan kepepatan di dalam dadanya.

Belum lagi Ki Tambak Wedi mengusap keringatnya yang membasahi keningnya, dengan tergopoh-gopoh Sidanti datang kepadanya sambil bergumam, “Kenapa kita harus menarik diri?”

Ki Tambak Wedi berpaling. Dipandanginya Sidanti sejenak. Kemudian ditengadahkannya wajahnya, memandangi langit yang sudah menjadi semakin merah.

“Sebentar lagi fajar akan menyingsing.”

“Dan kita akan melihat orang-orang itu binasa.”

“Kau salah hitung, Sidanti. Di belakang pring ori itu ternyata terdapat banyak orang-orang yang tidak pernah kita perhitungkan, entah mereka datang dari mana. Tetapi adalah suatu kenyataan, bahwa kau dan Argajaya mendapat lawan-lawan yang tidak kau duga-duga sebelumnya. Ki Muni dan Ki Wasi telah terbunuh, Ki Peda Sura terdesak dan terpaksa menyembunyikan diri di dalam medan.”

“Dan Guru tidak berhasil membunuh Argapati?”

Ki Tambak Wedi menggeleng, “Kali ini tidak. Karena itu, kita harus menyusun diri. Lebih baik dari yang sudah. Kita sudah tahu kekuatan yang sebenarnya ada di belakang pring ori itu.”

Sidanti menggeretakkan giginya, sementara mereka menjadi semakin lama semakin jauh dari regol yang mereka tinggalkan.

“Tetapi aku masih berhasil melihat Argapati roboh,” berkata Ki Tambak Wedi seterusnya.

“Mati?”

“Aku tidak tahu. Tetapi lukanya menjadi bertambah parah. Ia terpaksa memeras seluruh tenaganya dalam peperangan ini. Argapati bertempur berpasangan dengan Pandan Wangi. Dan aku masih saja dipengaruhi oleh perasaan itu.”

”Perasaan apa Guru?”

Ki Tambak Wedi tergagap mendengar pertanyaan Sidanti. Sejenak ia terdiam, namun sejenak kemudian ia menjawab, “Tidak. Tidak apa-apa. Tetapi aku tidak berhasil membunuhnya. Beberapa orang pengawal kepercayaan Argapati selalu mengganggu aku. Sedang orang-orangku sendiri tidak membantu aku, mengusir orang-orang itu.”

“Kenapa?”

“Aku tidak tahu, tetapi agaknya tekanan pasukan pengawal Menoreh memang terlampau ketat, sehingga mereka kehilangan waktu dan kesempatan. Hal inilah yang harus aku ketahui nanti. Pengalaman ini harus diperhitungkan di saat-saat mendatang.” Ki Tambak Wedi berhenti sejenak, lalu, “Lemparan-lemparan senjata para pengawal itu benar-benar terasa mengganggu setiap usahaku untuk membunuh ayah beranak itu. Setiap kali aku tertegun dan menghindar.” Tetapi Ki Tambak Wedi tidak tahu, bahwa di antara para pengawal kepercayaan Argapati itu terdapat seorang tua yang mengenakan kumis palsu. Meskipun sepintas Ki Tambak Wedi melihatnya juga, tetapi ia sama sekali tidak sempat memperhatikannya, karena ia sama sekali tidak menyangka, bahwa seseorang telah memasang kumis palsu itu orang yang ikut menentukan jalannya peperangan.

Dalam pada itu, gembala tua yang telah melepas kumisnya itu berjongkok di samping Ki Argapati, dengan wajah yang tegang. Ia adalah seorang dukun yang berpengalaman, yang setiap saat selalu bersedia mengobati siapa pun juga.

Namun kali ini dadanya berdebar-debar melihat keadaan Ki Argapati. Agaknya luka yang dideritanya itu benar-benar berbahaya bagi keselamatannya.

“Bagaimana Kiai? Bagaimana?” bertanya Pandan Wangi dengan cemasnya.

“Aku akan berusaha, Ngger,” jawab gembala tua itu. “Sebaiknya, biarlah Ki Argapati ini dibawa ke pondok dahulu.”

“Tetapi kenapa Kiai belum berbuat sesuatu? Jarak itu terlampau jauh, Kiai.”

“Aku telah memperhitungkan. Kini aku akan menaburkan obat yang dapat mengurangi arus darahnya lebih dahulu.”

Orang-orang di sekitar Ki Argapati berbaring itu terdiam sambil menahan nafasnya, ketika mereka melihat dukun tua itu melepas pembalut Ki Argapati. Jantung mereka serasa tergores pula, ketika mereka melihat luka yang berdarah itu. Di peperangan mereka sudah terlampau biasa melihat luka. Tetapi luka itu luka yang sudah agak lama dan kambuh kembali, sehingga pengaruhnya pun agak berbeda.

Apalagi ketika mereka melihat darah yang sudah menjadi kehitam-hitaman.

Perlahan-lahan gembala itu menaburkan reramuan obat di atas luka itu. Kemudian sejenak ia menungguinya sambil menghembus-hembusnya.