api di bukit menoreh 41

“Kecuali, kecuali apa, Kiai?”

“Ah,” gembala tua itu berdesah. “Tidak. Tidak ada kecualinya. Pertentangan dalam bentuk apa pun tidak menguntungkan.”

Sutawijaya menggigit bibirnya. Tetapi ia tidak dapat memaksa gembala tua itu untuk berbicara. Karena itu, maka anak muda itu hanya sekedar mengangguk-anggukkan kepalanya saja.

Yang mula-mula berbicara adalah gembala tua itu, “Demikianlah, Ngger. Angger telah mengetahui apa yang kira-kira akan aku kerjakan. Sesudah Menoreh ini selesai, maka aku akan mencoba bertemu dengan Ayahanda Ki Gede Pemanahan.”

“Tentu ayah akan menjadi senang sekali. Beberapa kali ayah bertanya tentang Kiai. Setiap kali ayah bertanya tentang bentuk dan gambaran tubuh Kiai. Dan setiap kali ayah selalu mengangguk-anggukkan kepalanya.”

“Apakah Ayahanda tidak berkata apa pun tentang aku?”

Sutawijaya menggeleng. “Tidak terucapkan. Tetapi aku melihat ayah berbicara di dalam hatinya tentang seorang dukun tua, seorang senapati, seorang pengembara dan seorang gembala.”

Gembala tua itu tersenyum. Di angguk-anggukkannya kepalanya. Tetapi ia tidak segera menyahut.

Sementara itu, di langit telah membayang warna-warna merah. Satu-satu bintang yang bergayutan tenggelam dalam kebiruan wajahnya.

Gupita dan Gupala yang telah merasa terlampau lelah, selama mereka duduk saja mendengarkan pembicaraan gurunya, melihat fajar yang sebentar lagi akan pecah.

“Kiai,” berkata Sutawijaya kemudian, “baiklah aku kembali sebelum terang. Aku harus mencari jalan yang sepi, supaya kehadiranku di sini tidak diketahui orang, atau justru menambah persoalan.”

“Kemana Angger akan kembali?”

“Aku membuat sebuah gubug di pinggir hutan di ujung Tanah Perdikan ini.”

“Tinggallah di sini, Ngger. Kita bersama-sama adalah orang-orang yang tidak mempunyai tempat tinggal di tanah perdikan ini.”

Sutawijaya tidak segera menyahut. Dipandanginya wajah kedua kawan-kawannya. Tetapi kedua kawannya itu pun tidak memberikan tanggapan apapun.

“Apakah Angger meninggalkan sesuatu di gubug Angger itu?”

Sutawijaya menggelengkan kepalanya. “Tidak Kiai.”

“Kalau begitu tinggallah di sini. Di sini ada beberapa ekor kambing yang dapat mengawani Angger. Apabila nanti matahari naik, maka kami bertiga akan segera meninggalkan tempat ini. Yang paling memberati hati kami adalah kambing-kambing itu. Nah, apabila Angger bersedia memeliharanya, tinggallah di sini untuk beberapa hari.”

“Akan kemanakah Kiai bertiga?”

“Kami akan menemui Ki Argapati. Kami sudah tidak dapat menunda-nunda waktu lagi. Menurut perhitunganku, Ki Tambak Wedi pasti akan segera kembali setelah ia menjajagi kekuatan lawannya.”

“Ya. Dan Kiai akan ikut serta secara langsung?”

“Ya.”

Sutawijaya menarik nafas dalam-dalam. Meskipun tidak terucapkan, namun terbaca di wajahnya, bahwa ia kurang sependapat dengan sikap itu.

“Anak muda ini sedang dibakar oleh suatu cita-cita,” berkata gembala tua itu di dalam hatinya. “Ia ingin melihat Alas Mentaok menjadi suatu kota yang besar. Tetapi ia tidak mengerti apa yang telah terjadi sebenarnya di atas tanah perdikan ini. Agaknya Angger Sutawijaya lebih senang melihat keduanya menjadi lemah agar seterusnya tidak mengganggu perkembangan Mentaok di masa-masa mendatang. Tetapi aku mengharap pendirian itu akan segera berubah. Keinginannya melihat sebuah kota yang baru yang dapat menyamai Pajang dan melampaui Pati, terlampau membakar darah mudanya. Mudah-mudahan keinginan itu akan segera mengendap sehingga ia dapat melihat masa depannya dengan wajar. Meskipun Sultan Hadiwijaya bukanlah seseorang yang pantas dianggap mampu mengendalikan suatu pemerintahan negara yang besar.”

Gembala tua itu menarik nafas dalam-dalam. Namun tanpa sesadarnya telah melintas di dalam angan-angannya kenangan tentang dirinya sendiri. Dirinya sendiri bukan sebagai seorang dukun miskin di dukuh Pakuwon, bukan sebagai seorang pengembara yang menyusuri jalan-jalan sempit, bukan sebagai seorang guru yang berusaha keras menurunkan ilmunya sebagai suatu peninggalan dari perguruannya terhadap kedua muridnya, bukan pula sebagai seorang gembala di atas tanah perdikan yang sedang dibakar oleh kemelutnya api perselisihan di antara mereka sendiri. Tetapi dirinya di masa mudanya.

“Hem,” orang tua itu berdesah. Lamat-lamat ia mendengar suara jauh di dasar hatinya, “Memang Sultan Hadiwijaya tidak akan dapat dipertahankan untuk seterusnya. Tetapi tidak pantas apabila aku tampil lagi di gelanggang pemerintahan dalam keadaan seperti ini. Aku sudah memutuskan semua jalur-jalur yang menuju ke arah itu, dan aku telah menempatkan diriku pada tempat yang sekarang ini.”

Gembala tua itu mengangguk-anggukkan kepalanya. Dan tiba-tiba saja ia menengadahkan wajahnya sambil berkata, “Hampir pagi.”

Tanpa sesadarnya kedua orang muridnya pun mengangkat kepalanya memandangi cahaya yang memerah di Timur. Kemudian dipandanginya wajah gurunya yang suram. Namun mereka berdua sama sekali tidak mengucapkan sepatah kata pun.

“Angger Sutawijaya,” berkata gembala tua itu, “silahkan tinggal di sini. Daerah ini cukup sepi dan hampir tidak pernah diinjak orang. Dekat tempat ini mengalir sebuah sungai yang meskipun kecil, tetapi airnya bening dan mencukupi kebutuhan.”

Sutawijaya mengangguk-anggukkan kepalanya. Katanya, “Baiklah, Kiai, aku akan tinggal di sini. Aku akan memelihara kambing-kambing itu, karena aku pun dapat menggembala dan menyabit rumput. Tetapi sebaiknya Kiai tidak usah menghitung, berapa ekor kambing yang Kiai tinggalkan, sebab apabila Kiai kembali kelak, jumlah itu pasti sudah berkurang.”

“Kenapa?”

“Kadang-kadang kami disentuh pula oleh keinginan untuk memanggangnya,” jawab Sutawijaya sambil tersenyum.

“Silahkan, Ngger. Aku tidak berkeberatan.”

“Kebetulan sekali,” gumam Sutawijaya, yang kemudian berkata kepada kedua kawan-kawannya, “kita tinggal di sini.”

Sementara itu, gembala tua itu pun segera minta diri untuk pergi ke sungai lebih dahulu. Sebelum berangkat ia harus mempersiapkan dirinya. Gembala tua itu bersama dua orang muridnya, tidak akan dapat mengirakan berapa lama ia akan tinggal bersama pasukan Argapati.

Di sepanjang jalan ke sungai, gembala tua itu selalu digelisahkan oleh perasaan sendiri. Apakah yang sebaiknya dikatakan kepada Argapati tentang dirinya. Apakah ia harus berterus-terang ataukah ia masih harus berselimut sejauh-jauh mungkin.

“Kedua murid-muridnya itu tidak mengenal aku,” desisnya, “tetapi mungkin Argapati dapat menebak, siapakah aku ini. Argapati pasti sudah mengenal guru, seorang yang bersenjata cambuk. Dan Argapati mungkin akan dapat mengingat hari-hari itu, semasa aku masih muda. Namun ia pasti belum mengerti, siapakah aku sebenarnya.”

Keragu-raguan itu selalu membayanginya selama ia berendam diri di dalam sungai, kemudian setelah ia berpakaian, menyelesaikan kewajibannya dan kemudian melangkah kembali ke gubugnya.

Di jalan setapak dari sungai itu ia bertemu dengan Gupala yang dengan bersungut-sungut berkata kepadanya, “Ubiku menjadi arang.”

Gembala itu tersenyum. Jawabnya, “Masih ada ubi yang lain.”

“Semuanya telah aku masukkan ke dalam api.”

“Masih melekat, pada batangnya. Bukankah kau dapat mencabut lagi?”

Gupala tertawa. Kemudian ia berlari menghambur ke sungai.

Beberapa langkah lagi orang tua itu bertemu dengan Gupita. Agaknya perhatiannya lain dari adik seperguruannya. Dengan sungguh-sungguh ia bertanya, “Sikap Sutawijaya agak aneh, Guru. Apakah ia ingin melihat Pajang runtuh?”

“Tidak. Tidak begitu, Gupita. Yang menjadi tujuan Angger Sutawijaya bukan itu. Yang penting baginya adalah, Mentaok menjadi besar. Kalau Mentaok justru akan menjadi besar karena Pajang, maka pasti tidak akan ada pertentangan antara Pajang dan Mentaok.”

Gupita menundukkan wajahnya. Tampak sesuatu bergolak di dalam hatinya, sehingga seakan-akan di luar sadamya ia bergumam, “Akhirnya kita sampai pada sifat manusia itu sendiri, Guru.”

“Bagaimana?” bertanya gurunya.

“Mereka selalu memburu kepentingan diri sendiri. Mereka menempatkan kepentingan sendiri di atas kepentingan yang lain. Seperti apa yang dilakukan oleh Sultan Hadiwijaya dengan menyingkirkan Arya Penangsang. Arya Penangsang sendiri dan sekarang Sutawijaya. Sebelum kemelut api yang membakar tanah ini padam, kita sudah melihat sepercik api di hutan Mentaok. Di sini telah terjadi geseran kepentingan, dan kelak di Mentaok akan terjadi pula.”

“Kita belum pantas untuk mencemaskannya sekarang. Mudah-mudahan hal itu tidak terjadi.”

“Mudah-mudahan, Guru,” jawab Gupita. “Tetapi seperti yang pernah Guru ceriterakan, bahwa api yang membakar seluruh Pajang dan Jipang sebenarnya adalah percikan api yang menyala di dalam dada orang-orang yang mementingkan diri sendiri. Kenapa Sultan Hadiwijaya dengan tergesa-gesa mengambil keputusan untuk menghancurkan Jipang?”

Orang tua itu mengangguk-anggukkan kepalanya. “Ya, pamrih pribadi.”

“Bukankah Guru pernah berceritera tentang dua orang gadis di Gunung Danaraja, yang melayani Kangjeng Ratu Kalinyamat yang bertapa telanjang dan bertirai rambutnya sendiri saja.”

“Kau dapat melihat Gupita, bahwa pergulatan pamrih pribadi dari orang-orang yang kebetulan memegang kekuasaan, akan berakibat jauh sekali. Yang terlibat bukan sekedar orang-orang itu sendiri, tetapi mereka akan menyeret setiap orang di dalam lingkungan kekuasaannya.”

“Seperti yang kita lihat di Menoreh kini, Guru, bukankah begitu?”

“Ya.”

“Dan kita akan terseret pula di dalamnya.”

Orang tua itu mengangguk-anggukkan kepalanya. “Ya. Kita akan terjun ke dalamnya. Sudah tentu dengan kepentingan kita juga. Gupala mempunyai kepentingan atas Tanahnya sendiri, supaya tidak selalu terancam oleh bahaya yang dapat datang dari Barat, apabila Tanah ini dikuasai Sidanti dan berhasrat untuk maju ke Timur, melawan Pajang. Dan kau?”

“Aku tidak mempunyai kepentingan apa-apa.”

Gurunya mengerutkan keningnya. Namun kemudian ia tersenyum. “Gadis itu? Bukankah kau menjadi hampir gila ketika gadis itu dibawa Sidanti ke Tambak Wedi? Bukankah kau ingin hidup tenteram tanpa dibayangi lagi oleh hantu yang setiap saat dapat mengganggu ketenteraman hidup itu kelak sesudah kalian berkeluarga?”

Gupita menundukkan kepalanya.

“Aku pun mempunyai pamrih. Meskipun tidak sejelas Angger Sutawijaya, Sultan Hadiwijaya, dan yang lain lagi. Aku berkepentingan agar Argapati tidak melepaskan haknya.”

Gupita masih menundukkan kepalanya.

“Sudahlah. Pergilah ke sungai dan bersiaplah. Kita akan pergi ke pusat pertahanan Argapati. Kita akan langsung melibatkan diri kita masing-masing.”

Gupita tidak menjawab, tetapi ia hanya mengangguk-anggukkan kepalanya saja. Ketika gurunya kemudian meneruskan langkahnya kembali ke gubugnya, maka Gupita pun berjalan pula ke sungai. Namun kepalanya masih juga tertunduk dalam-dalam.

Kedua anak-anak muda itu, setelah selesai bersiap dan berkemas, segera kembali duduk bersama-sama dengan gurunya, Sutawijaya dan kawan-kawannya. Agaknya gurunya telah minta diri kepada Sutawijaya untuk segera pergi menemui Argapati seperti yang telah dijanjikan.

“Aku mengharap bahwa api di atas bukit ini segera padam, Ngger,” berkata orang tua itu. “Apabila mungkin tanpa korban yang berarti. Tetapi menilik sikap-sikap yang mutlak di kedua belah pihak, agaknya salah satu memang harus menjadi korban.”

“Sudah tentu, Kiai tidak ingin bahwa tempat Kiai berpihaklah yang akan menjadi korban itu,” berkata Sutawijaya.

“Sudah tentu, Ngger. Kalau aku melepaskannya untuk dikorbankan aku tidak akan berpihak kepadanya. Setidak-tidaknya aku tidak akan mencampurinya. Tetapi aku sudah berkeputusan. Tanah perdikan ini akan lebih berarti apabila Argapati sendirilah yang memegangnya. Tentu saja tidak sempurna. Namun adalah jauh lebih baik daripada apabila Sidanti yang menguasainya. Lebih baik bagi rakyat tanah perdikan ini sendiri. Lebih baik bagi daerah-daerah tetangganya dan sudah tentu akan lebih baik bagi Mentaok yang haru akan berkembang.”

Sutawijaya mengerutkan keningnya.

“Sudah tentu Mentaok kelak tidak akan sekedar menjadi tanah perdikan. Aku tidak tahu apakah rencana Sultan Hadiwijaya tentang tahta, karena memang ada Pangeran Benawa di istana Pajang sekarang. Tetapi seandainya Pajang akan temurun kepada Pangeran yang lemah hati itu, Angger akan melihat Mentaok menjadi sebuah kadipaten yang besar.”

Sutawijaya tidak menyahut. Tetapi ia merenungkan kata-kata orang tua itu. Agaknya ia dapat mengerti jalan pikirannya, sehingga tanpa sesadarnya ia mengangguk-anggukkan kepalanya.

Sementara itu matahari telah meloncat ke punggung bukit. Sinarnya yang masih kemerah-merahan terserak-serak di atas pepohonan di hutan-hutan rindang.

“Aku masih mempunyai beberapa ontong jagung, Ngger,” berkata gembala tua itu. “Aku sendiri dan kedua anak-anak ini tidak biasa makan terlampau pagi. Apabila nanti Angger memerlukannya, kami persilahkan untuk mempergunakannya. Di belakang dan di samping rumah ini Angger dapat menemukan batang-batang ubi kayu yang telah cukup besar meskipun belum masanya. Tetapi satu dua, Angger akan dapat memetik ubinya.”

“Baiklah, Kiai. Aku akan tinggal di rumah ini. Selebihnya aku akan mencoba menilai semua keterangan Kiai. Mudah-mudahain dapat menumbuhkan harapan bagiku dan bagi Mentaok. Dan mudah-mudahan pula Mentaok benar-benar akan diserahkan.”

Orang tua itu mengangguk-anggukkan kepalanya. Kemudian katanya, “Kami akan minta diri, Ngger. Baik-baiklah di tempat ini. Aku menitipkan semua yang ada di halaman ini.”

“Yang ada hanya beberapa ekor kambing itu,” Gupala memotong.

“Ya, beberapa ekor kambing itu,” sambung gembala tua itu.

Sutawijaya mengangguk-anggukkan kepalanya. “Baiklah. Aku usahakan menjaga dan menggembalakannya seperti kalian menggembala. Tetapi sekali lagi aku minta, jangan kalian hitung jumlah kambing-kambing itu.”

Orang tua itu tersenyum. “Aku tidak pernah mengerti dengan pasti jumlah kambing-kambingku.”

“Sokurlah,” desis Sutawijaya.

Sejenak kemudian, maka gembala tua itu pun segera meninggalkan gubugnya diikuti oleh kedua muridnya. Namun sebelum mereka berangkat, Gupala sempat mendekati Sutawijaya sambil berkata, “Juntai kuning itu sama sekali tidak berarti bagi tuan. Sebaiknya tuan berikan saja kepadaku.”

“He,” jawab Sutawijaya, “bukankah kau pernah menerimanya dari padaku?”

“Tertinggal di hulu pedangku.”

“Kalian tidak membawa senjata?”

“Bukan pedang.”

“Lalu buat apa tali ini bagimu?”

“Kalung.”

Sutawijaya tersenyum. Tetapi dilepasnya juga tali kekuning-kuningan yang berjuntai di tangkai tombak pendeknya. Sambil menyerahkannya ia berkata, “Kalau kelak aku membawanya lagi, aku sudah tidak akan memberikannya kepadamu.”

Gupala tersenyum. Katanya, “Terima kasih.” Dan di lingkarkannya tali yang berwarna kuning keemasan itu di lehernya, berjuntai sampai ke lambungnya. Kemudian ujungnya dikaitkannya pada ikat pinggangnya.

“Kalau aku Bima, aku akan memakai kalung seekor ulat welang sebesar betis.”

“Kau selalu mengada-ngada,” desis Gupita.

Gupala tersenyum, kemudian ia minta diri sambil berkata, “Tinggallah Tuan di sini. Kalau suatu hari Tuan menyembelih kambing, jangan yang berwarna putih mulus.”

Ketika matahari merambat semakin tinggi, ketiganya telah berada di perjalanan menyusuri pinggir hutan yang tipis. Mereka harus mencari jalan, agar mereka tidak menjumpai rintangan apa pun di perjalanan. Mereka harus menghindari pula kemungkinan, petugas-petugas sandi yang disebar oleh Sidanti dapat menemuinya, sehingga keadaan akan berkembang ke arah yang lain dari yang telah mereka perhitungkan.

Namun yang masih menjadi masalah bagi gembala tua itu adalah dirinya sendiri. Sambil menarik nafas dalam-dalam ia berkata di dalam hatinya, “Aku akan berusaha sejauh-jauhnya untuk menyatakan diriku seperti sekarang ini. Entahlah, apa saja tanggapan Argapati terhadapku nanti. Tetapi Tanah ini harus diselamatkan. Mudah-mudahan kehadiran kami akan dapat membantu Ki Argapati.”

Dengan hati-hati mereka melangkah terus. Menyusup dari antara pepohonan yang satu ke yang lain, menyusur pinggir hutan, dan kemudian lewat di tengah-tengah pategalan yang tidak digarap.

Semakin dekat ketiganya ke pusat pertahanan Argapati, hati mereka menjadi semakin berdebar-debar. Apalagi Gupita. Ia merasa, bahwa persoalan yang timbul antara dirinya dan Wrahasta tanpa diketahui sebab-sebabnya, agaknya akan berkepanjangan.

“Anak muda yang bertubuh raksasa itu telah mengancam aku,” katanya di dalam hati, “aku tidak boleh kembali ke padukuhan itu.” Gupita menarik nafas. Namun kemudian ia berkata seterusnya di dalam hatinya itu. “Tetapi aku tidak dapat tinggal di luar. Aku harus ikut masuk bersama guru dan Adi Gupala.”

Akhirnya Gupita itu pun membulatkan tekadnya. Apa pun yang akan terjadi atas dirinya. “Aku sama sekali tidak mempunyai maksud-maksud yang tidak baik,” katanya pula di dalam hatinya. “Meskipun mungkin benar kata guru, bahwa apa yang kita lakukan ini terdorong oleh pamrih-pamrih pribadi, namun aku tidak akan membuat orang lain mengalami kesulitan. Justru dalam kepentingan yang bersamaan pula kita bekerja bersama-sama.”

Yang sama sekali seakan-akan tidak mempunyai persoalan adalah justru Gupala. Ia melangkah dengan mantap dan ketetapan di dalam hati. Sidanti harus dihancurkan. Selama Sidanti masih ada, ia pasti akan selalu mengancam ketenteraman kademangannya. Dan bahkan mungkin akan mengancam ketenteraman hidup keluarganya.

Sekilas-kilas diingatnya kata-katanya kepada adiknya pada saat ia akan berangkat, “Aku akan membunuhnya.” Dan diingatnya pula kata-katanya selagi ia menenteramkan hati adiknya, “Laki-laki itu terlampau rendah hati. Ia tidak akan berkata, ‘Aku akan kembali dengan membawa kepala Sidanti.’ Tidak. Tetapi ia hanya sekedar berkata, ‘Mudah-mudahan aku akan kembali dengan selamat.’”

Gupala tersenyum sendiri. Sekarang mereka telah berada dekat sekali dengan medan pertempuran itu. Apabila Ki Argapati tidak berkeberatan, maka ia akan segera ikut terjun di dalam peperangan.

Anak yang gemuk itu mengangguk-anggukkan kepalanya. Rasa-rasanya telah rindu melihat dan mengalami benturan senjata.

“Hem, aku tidak membawa pedang berhulu gading itu,” desahnya di dalam hati, “aku harus berkelahi dengan cambuk. Tetapi cambuk ini tidak dapat langsung menyobek dada lawan dan menumpahkan darahnya. Cambuk ini hanya dapat menumbuhkan luka-luka kecil dan membuat lawan-lawanku menyeringai menahan sakit. Sejauh-jauh yang dapat aku lakukan adalah mematahkan tulang lawan, tetapi bagiku sebenarnya lebih mantap mengayunkan pedang daripada sekedar cambuk kuda.” Gupala mengangguk-anggukkan kepalanya. Namun kemudian ia menarik nafas dalam-dalam, “Itulah ciri guru. Ia tidak senang membunuh lawannya sekaligus apabila tidak terlampau mendesak. Dan demikian pulalah watak jenis senjatanya.”

Ketika matahari telah merambat semakin tinggi, sampai ke ujung pepohonan, maka gembala tua bersama kedua muridnya sudah menjadi semakin dekat. Kini mereka berada beberapa puluh langkah saja dari bekas regol yang telah terbakar. Mereka berjalan membungkuk-bungkuk di antara batang-batang ilalang. Semakin lama semakin dekat.

Dari kejauhan mereka melihat beberapa orang sedang sibuk membuat regol darurat. Mereka menanam lurus melandingan sebesar betis setinggi regol yang telah terbakar. Ujungnya diruncingkan dan diikat berjajar tiga lapis. Kemudian di tengah-tengah diberinya sebuah pintu lereg yang besar dan kuat, sekuat pintu regol mereka yang telah terbakar.

“Regol darurat itu tidak akan mudah terbakar semudah regol yang lama,” desis Gupala.

“Ya, kayu-kayunya kayu basah dan regol itu tidak memakai atap dan dinding papan yang kering,” sahut Gupita.

Sementara itu gurunya masih saja merenung memandangi orang-orang yang sedang bekerja dengan sepenuh hati.

“Apakah kita akan memasuki padesan itu sekarang?” bertanya Gupala.

Gurunya berpaling ke arah Gupita, seolah-olah ia minta pertimbangan dari anak muda itu.

Gupita mengangguk-anggukkan kepalanya sambil berdesis, “Aku tidak menyebut waktu. Pagi atau siang atau sore.”

“Marilah kita masuk,” berkata gurunya, “aku ingin segera melihat luka Ki Argapati yang sebenarnya.”

Gupita mengangguk pula. “Marilah. Aku kira tidak akan ada kesulitan lagi bagi Guru dan Adi Gupala.”

Gupala mengerutkan keningnya. “Lalu bagaimana dengan kau sendiri?”

“Mudah-mudahan anak muda yang bertubuh raksasa itu tidak membuat persoalan lagi.”

Gupala mengangguk-anggukkan kepalanya, tetapi ia tidak berbicara lagi.

Mereka bertiga pun kemudian berjalan perlahan-lahan namun dengan penuh kewaspadaan mendekati regol darurat yang sedang dibuat itu. Semakin lama semakin dekat.

“Mereka telah melihat kita,” desis gembala tua itu.

“Ya,” sahut Gupita, “mudah-mudahan bukan Wrahasta yang memimpin pekerjaan itu.”

Sejenak kemudian mereka melihat lima orang keluar dari regol yang sedang mereka buat, berjalan menyongsong ketiga orang gembala itu.

“Siapakah kalian?” bertanya salah seorang dari kelima orang itu ketika mereka menjadi semakin dekat.

Gupita-lah yang melangkah maju sambil menjawab, “Aku Gupita. Aku yang kemarin telah datang ke padukuhan ini.”

“Oh,” sahut orang itu, “kaukah yang berusaha mengobati Ki Argapati?”

“Ya, ayahku inilah.”

Pengawal itu mengangguk-anggukkan kepalanya. Diamat-amatinya ketiga orang gembala itu berganti-ganti. Kemudian kepada salah seorang dari mereka ia berkata, “Sampaikan kepada Ki Samekta, bahwa dukun itu telah datang.”

Ketika orang itu melangkah ke regol yang sedang mereka buat itu, orang yang pertama berkata, “Kita menunggu disini.”

Gembala tua itu mengangguk-anggukkan kepalanya. Ia mengerti, kenapa para pengawal menjadi sangat berhati-hati. Bagi para pengawal Tanah Perdikan Menoreh, keadaan memang terasa terlampau gawat, sehingga setiap persoalan harus ditanggapinya dengan sangat berhati-hati.

Sejenak kemudian, mereka melihat seseorang keluar dari padukuhan itu diantar oleh pengawal yang tadi memberitahukan kehadiran gembala tua itu beserta kedua anak-anak muridnya. Orang itu ternyata adalah Samekta.

“Itulah, Ki Samekta telah datang.”

Gembala tua itu mengangguk-anggukkan kepalanya. Namun masih saja digelisahkan tentang dirinya sendiri apabila nanti ia harus bertemu dengan Argapati.

“Kalau tidak hari ini, juga besok atau lusa aku akan bertemu. Sudah tentu aku tidak akan menunggunya sampai Argapati mati, baik oleh lukanya maupun di dalam peperangan,” berkata gembala tua itu di dalam hatinya.

Samekta yang menjadi semakin dekat itu pun menganggukkan kepalanya. Sementara itu gembala tua itu pun mengangguk hormat.

“Ternyata Kiai benar-benar datang hari ini,” berkata Samekta. “Kami memang mengharap sekali kedatanganmu. Sebelum kau melihat lukanya, kau telah mampu mengobatinya, apalagi apabila kau melihat sendiri luka itu.”

“Mudah-mudahan,” jawab gembala tua itu sambil membungkukkan punggungnya, “aku akan sekedar berusaha. Mudah-mudahan usaha itu dapat berhasil.”

“Marilah, Kiai. Aku kira Ki Argapati pun telah menunggu pula.”

“Terima kasih.”

“Anakmu yang seorang itu telah aku kenal. Karena itu, kedatanganmu tidak perlu melampaui pemeriksaan yang sulit.”

“Terima kasih. Adalah menjadi pekerjaanku untuk mengobati setiap luka. Luka siapa pun juga oleh apa pun juga.”

Samekta mengerutkan keningnya. Namun kemudian dianggukkannya kepalanya sambil berkata, “Ya. Ya. Adalah menjadi kuwajiban seorang dukun untuk mengobati orang-orang yang terluka. Marilah.”

Gembala tua itu pun kemudian melangkah mengikuti Samekta. Di belakang, kedua anaknya berjalan dengan kepala menunduk. Di belakang keduanya, para pengawal melangkah dengan tegapnya, mengikuti iring-iringan kecil itu.

Ketika mereka menjadi semakin dekat dengan regol yang sedang dikerjakan itu, hati Gupita menjadi berdebar-debar. Seorang anak muda yang bertubuh raksasa berdiri di tengah jalan sambil bertolak pinggang.

“Orang itukah dukun yang dikatakan akan mencoba mengobati luka Ki Argapati?” bertanya anak muda yang bertubuh raksasa itu.

Samekta menganggukkan kepalanya, “Ya. Inilah orangnya.”

Wrahasta mengerutkan keningnya. Tetapi sorot matanya serasa membakar jantung Gupita. Ia merasa bahwa anak muda yang bertubuh raksasa itu selalu mengawasinya.

“Kami akan membawanya langsung menghadap Ki Gede Menoreh.”

“Apakah kau sudah yakin Paman Samekta?”

Samekta heran mendengar pertanyaan itu, justru di hadapan orang yang berkepentingan. Namun demikian ia menjawab, “Ya, aku sudah yakin.”

“Baiklah. Mudah-mudahan ia berhasil,” gumam Wrahasta.

Samekta berhenti sejenak. Dipandanginya wajah Wrahasta yang agaknya menjadi acuh tidak acuh. Namun sejenak kemudian, Samekta pun meneruskan langkahnya diikuti oleh gembala tua itu, dan kemudian di belakangnya adalah kedua murid-muridnya.

Ketika Gupita melangkah tepat di depan Wrahasta, terdengar anak yang bertubuh raksasa itu menggeram, “Kau akan menyesal bahwa kau telah mengabaikan pesanku. Kehadiranmu di sini sama sekali tidak kami kehendaki.”

Gupita mengerutkan dahinya. Namun ia tidak menjawab sepatah kata pun. Diayunkannya kakinya melangkah mengikuti gurunya dan adik seperguruannya. Meskipun demikian, kata-kata Wrahasta itu terasa sebagai sebuah ancaman baginya.

Gembala tua itu diantar oleh Samekta langsung menuju ke tempat Ki Argapati. Semakin dekat dengan rumah yang di tempatinya, hati gembala tua itu menjadi semakin berdebar-debar.

Sejenak kemudian mereka telah memasuki halaman. Sebelum mereka masuk ke rumah, maka Samekta-lah yang mendahuluinya, menyampaikan berita itu kepada Ki Gede, bahwa dukun tua beserta anak-anaknya itu telah datang.

Namun ketika Samekta itu keluar dari rumah itu, ia berkata, “Sayang, Ki Argapati sedang tidur. Apakah aku harus membangunkannya?”

“O jangan. Biarlah Ki Argapati tidur sebanyak-banyaknya. Itu akan sangat bermanfaat bagi luka-lukanya yang parah.”

“Kalau begitu, silahkan kalian menunggu di pendapa.”

Ketiga orang itu pun kemudian dibawa naik ke pendapa. Bersama Samekta mereka duduk di atas sehelai tikar pandan yang putih. Sambil menunggu Ki Argapati, maka gembala tua itu bercakap-cakap tentang luka itu dengan Ki Samekta.

Sementara itu pintu yang memisahkan pendapa dan pringgitan berderit. Kemudian muncullah seorang gadis dengan sepasang pedang di lambungnya. Tetapi kali ini ia tidak menggenggam hulu pedangnya, atau kendali seekor kuda yang tegar, atau sebuah busur dan anak panah. Yang kali ini dipegangnya adalah beberapa buah mangkuk di dalam nampan kayu.

Ternyata gadis itu tidak hanya sigap mempemainkan sepasang pedangnya, namun ia pandai juga melayani tamu dengan menghidangkan minum dan makanan.

Gupala yang berpaling ketika ia mendengar pintu bergerit, memandang gadis itu dengan tanpa berkedip. Bahkan dengan mulut ternganga ia mengikuti segala gerak-geriknya. Langkahnya, kemudian dengan hati-hati berjongkok untuk meletakkan mangkuk itu satu demi satu. Kemudian surut selangkah, berdiri perlahan-lahan dan akhirnya hilang kembali di balik pintu.

Demikian gadis itu hilang ditelan pintu, maka Gupala pun menarik nafas dalam-dalam. Gadis itu sangat berkesan di hatinya. Langkahnya lembut sebagai seorang gadis dengan nampan kayu di tangan. Tetapi agaknya cukup meyakinkan di medan peperangan.

Tanpa sesadarnya Gupala berpaling memandang wajah Gupita. Anak muda yang gemuk itu mengumpat-umpat di dalam hatinya ketika ia melihat Gupita tersenyum kepadanya.

Ketika kemudian Samekta sedang asyik bercakap-cakap dengan gurunya, Gupala bergeser mendekati Gupita. Dengan berbisik-bisik ia bertanya, “He, itukah gadis yang kau katakan bertempur melawan Ki Peda Sura?”

Gupita menggeleng. “Bukan.”

Gupala mengerutkan keningnya. Kemudian katanya perlahan-lahan hampir berdesis, “Bukankah gadis itu puteri Kepala Tanah Perdikan Menoreh yang bernama Pandan Wangi?”

Sekali lagi Gupita menggelengkan kepalanya. “Bukan.”

Gupala menarik nafas dalam-dalam. Dan tiba-tiba ia berkata, “Gadis itu membawa sepasang pedang.”

“Ada beberapa puluh gadis di Tanah Perdikan ini yang membawa sepasang pedang, karena Pandan Wangi memang membuat sepasukan pengawal yang terdiri dari gadis-gadis dan perempuan-perempuan muda. Semuanya membawa pedang rangkap.”

Gupala menggigit bibirnya. Tetapi ia tidak berbicara lagi. Meskipun demikian, berbagai pertanyaan bergelut di hatinya. Namun ketika terlihat olehnya Gupita tersenyum-senyum, maka ia berbisik, “Apakah kau berkata sebenarnya?”

“Tentu, aku berkata sebenarnya. Kalau kau ingin melihat, nanti aku bawa kau kepada pasukan berpedang rangkap itu.”

Sekali lagi Gupala terdiam. Dengan dada yang berdebar-debar ia berharap agar gadis yang berpedang rangkap itu keluar lagi dari pringgitan. Tetapi daun pintu itu sama sekali tidak bergerak.

Akhirnya Gupala menjadi jemu menunggu. Perhatiannya kini ditujukan kepada percakapan antara gurunya dan Ki Samekta yang agaknya sangat menarik.

“Semalam agaknya luka itu kambuh kembali,” berkata Samekta.

“Seharusnya Ki Gede banyak beristirahat,”

“Ya, Ki Gede menyadarinya. Tetapi keadaan sangat mendesak. Seandainya Ki Gede tidak muncul malam itu, aku tidak tahu, apa saja yang akan dilakukan oleh Ki Tambak Wedi.”

Gembala tua itu mengangguk-anggukkan kepalanya.

“Nah, kalau kau mampu menolongnya, tolonglah. Kalau Ki Gede dapat segera sembuh, maka kami akan tetap berpengharapan untuk dapat merebut tanah ini. Tanpa Ki Gede, kami di sini tidak akan berarti apa-apa bagi Ki Tambak Wedi, Sidanti, Argajaya, dan Ki Peda Sura yang pasti akan segera sembuh pula.” Ki Samekta tiba-tiba berhenti sejenak, lalu tiba-tiba, “He, bukankah anakmu itu mampu bertempur melawan Ki Peda Sura bersama Angger Pandan Wangi?”

Gembala tua itu mengangguk. “Ya, ia hanya sekedar membantu. Agaknya Angger Pandan Wangi memang seorang gadis pilih tanding.”

Samekta mengangguk-anggukkan kepalanya. Katanya, “Angger Pandan Wangi sudah menceriterakan semuanya. Kita memang tidak dapat menyangsikannya. Dalam bentrokan karena salah paham antara anakmu yang bernama Gupita itu melawan Angger Wrahasta, ternyata anakmu cukup berjiwa besar dan menunjukkan kemampuan yang luar biasa.”

Gembala tua itu tidak segera menyahut. Dipandanginya wajah Gupita sejenak, kemudian mengangguk-anggukkan kepalanya sambil berkata, “Hanya suatu kebetulan,”

“Tidak. Bukan suatu kebetulan. Karena anakmu sudah mulai, maka aku akan minta ijin kepadamu, agar anakmu kau perbolehkan ikut serta di dalam peperangan yang tengah membakar Tanah Perdikan ini. Hanya satu orang yang dapat kami banggakan di dalam lingkungan kami. Hanya Angger Pandan Wangi. Lalu siapakah yang harus bertempur melawan Angger Sidanti, Argajaya dan Ki Peda Sura?”

“Jangan dinilai terlampau tinggi. Mereka hanya sekedar gembala-gembala yang tidak berarti. Namun bukan berarti bahwa kami tidak bersedia untuk ikut melibatkan diri kami, meskipun kami tidak berkepentingan secara langsung.”

Samekta mengangguk-anggukkan kepalanya. Katanya, “Ya, kalian sama sekali memang tidak berkepentingan, karena aku yakin bahwa kalian memang bukan orang-orang Menoreh.”

Gembala tua itu mengerutkan keningnya. Dan ia mendengar Samekta berkata seterusnya, “Kalau kalian memang orang-orang Menoreh, maka kalian pasti merasa bahwa kalian akan berkepentingan langsung untuk ikut serta menyelesaikan masalah ini.”

Sambil menganggukkan kepalanya orang tua itu berkata, “Demikianlah. Namun kami memang sudah terlanjur terlibat di dalamnya.”

Samekta mengangguk-anggukkan kepalanya pula. Tetapi ia tidak segera berkata sesuatu. Dilemparkannya tatapan matanya jauh ke seberang halaman, menyentuh panasnya matahari yang menari-nari di dedaunan.

Sejenak kemudian, maka Samekta itu pun berkata, “Cobalah aku akan melihat, apakah Ki Gede sudah bangun.”

Sepeninggal Samekta, gembala tua itu menarik nafas. Kini sudah pasti baginya, bahwa ia dan kedua muridnya harus terjun di arena. Namun bagaimanakah bentuknya? Apakah memang sudah sampai saatnya Ki Tambak Wedi mengetahui kehadirannya?

Ketiganya berpaling ketika mereka mendengar pintu berderit. Sesaat kemudian Samekta telah berdiri di muka pintu itu sambil berkata, “Ki Gede telah bangun. Kalian ditunggu di dalam bilik.”

Gembala tua itu menganggukkan kepalanya. “Baiklah, kami akan segera datang.”

Ketiganya kemudian berdiri dan melangkahkan kakinya meskipun ragu-ragu. Mereka berjalan di belakang Samekta, memasuki pringgitan, kemudian langsung ke dalam. “Marilah, masuklah,” ajak Samekta.

Maka mereka pun kemudian masuk ke dalam sebuah bilik. Di dalam bilik itu Ki Argapati berbaring di atas pembaringannya ditunggui oleh anak gadisnya, Pandan Wangi.

Begitu mereka masuk, maka tiba-tiba tangan Gupala mencengkam lengan Gupita. Meskipun tidak menimbulkan kesan apa pun, tetapi Gupita berdesis, “He, sakit.”

“Ayo, tunjukkanlah kepadaku, di manakah pasukan gadis-gadis berpedang rangkap itu.”

Tetapi Gupita tidak menjawab. Ia hanya berdesis saja sambil mengibaskan lengannya yang dicengkam oleh Gupala. Namun Gupala tidak melepaskannya.

“Bukankah kau bilang bahwa gadis itu bukan Pandan Wangi? Bukankah kau berjanji untuk melihat pasukan gadis-gadis berpedang rangkap?”

“Ssst,” Gupita berbisik, “jangan ribut.”

“Tetapi kau belum menjawab.”

“Baiklah, aku mengatakan yang sebenarnya. Gadis itulah yang bernama Pandan Wangi.”

Gupala menarik nafas. Kemudian dilepaskannya tangan Gupita sambil berkata perlahan-lahan, “Sejak aku melihat aku sudah pasti, bahwa gadis itulah yang bernama Pandan Wangi.”

“He, jangan ribut. Lihat, gadis itu selalu memandangmu. Dan lihat, agaknya Ki Argapati akan berusaha bangkit.”

Gupala mengerutkan keningnya. Ia melihat Ki Argapati berusaha untuk bangkit dan bertahan dengan kedua belah tangannya.

“Jangan, Ki Gede,” gembala tua itu mencoba mencegah. “Silahkan Ki Gede berbaring saja.”

“Oh,” Ki Gede berdesah. “Maaf. Aku menerima kalian dengan cara yang barangkali kurang sopan.”

“Tetapi Ki Gede memang memerlukan berbaring.”

“Ya, sejak tadi malam lukaku terasa kambuh kembali.”

“Karena itu, Ki Gede harus banyak beristirahat.”

Ki Argapati mengangguk-anggukkan kepalanya. Kemudian ia mencoba memiringkan tubuhnya. Dengan tajamnya diamatinya gembala tua yang masih saja berdiri di samping Samekta.

“Kaukah ayah kedua anak-anak muda ini?”

“Ya, Ki Gede. Akulah.”

“Jadi, Kiai pulalah yang telah memberi aku obat sampai beberapa kali?”

“Dua kali,”

“Terima kasih, Kiai. Kedatangan Kiai memang aku harapkan sekali. Mudah-mudahan Kiai bersedia menolong aku.”

“Aku akan berusaha. Adalah kuwajibanku untuk menolong siapa saja.”

Ki Argapati mengangguk-anggukkan kepalanya. Sejenak ia terdiam, namun tampak di wajahnya bahwa ada sesuatu yang menyangkut di hatinya. Dipandanginya berganti-ganti gembala tua itu dan kedua murid-muridnya. Katanya kemudian, “Aku pernah melihat yang seorang itu di padukuhan ini, sedang yang lain di bawah Pucang Kembar. Bukankah mereka itu yang kau suruh memberikan obat kepadaku?”

“Ya, Ki Gede.”

Ki Gede menarik nafas dalam-dalam. Agaknya ia memang menahan sesuatu di dalam dadanya. Namun akhirnya ia berkata, “Samekta, bawalah kedua anak-anak muda itu ke pendapa. Aku ingin berbicara dengan orang tua ini,”

Samekta mengerutkan keningnya. Tetapi ia tidak dapat membantah, sehingga karena itu ia menjawab, “Baiklah, Ki Gede.” Kemudian kepada Gupala dan Gupita ia berkata, “Marilah Anak-Anak Muda, kita kembali ke pendapa.”

Gupita menganggukkan kepalanya sambil menjawab, “Baik, Tuan.” Kepada Gupala ia berkata, “Marilah.”

Gupala menjadi kecewa. Ia lebih senang berada di dalam ruang itu meskipun ia harus berdiri saja sehari penuh. Tetapi ia pun harus melakukannya, mengikuti Samekta keluar dari ruangan itu.

Sepeninggal Samekta dan kedua anak-anak muda itu, maka Ki Argapati pun kemudian mempersilahkan gembala tua itu untuk duduk pada sebuah dingklik kayu.