api-di-bukit-menoreh-39

“AKU sudah menyebarkan perintah untuk menarik semua pasukan. Dan aku juga sudah menyiapkan pasukan berkuda yang akan mengimbangi semua gerak lawan, kalau perlu dengan melakukan kekerasan dan mengorbankan beberapa buah rumah penduduk yang kelak akan kita perhitungkan.”

Wrahasta mengerutkan keningnya. Terbayang di dalam angan-angannya seakan-akan sekelompok burung elang yang terbang dari satu dahan ke dahan yang lain. Pasukan yang demikian memang dapat maempengaruhi pertimbanggan lawan dan kadang-kadang dapat mengalihkan gerakan pasukan. Tetapi orang-orang yang berada di dalam pasukan itu harus benar-benar orang-orang terpilih. Bukan saja kemampuannya bertempur, tetapi lebih dari pada itu, adalah ketabahan hati mereka menghadapi semua keadaan, kesadaran mereka akan perjuangannya dan ketiadaan pamrih bagi diri sendiri.

“Apakah orang-orangnya sudah dipilih?” Wrahasta kemudian bertanya. “Sebab untuk menjadi anggauta pasukan itu, beberapa syarat harus dipenuhi. Apalagi apabila ada di antara mereka yang mempunyai cacad pribadi. Maka mereka pasti akan melakukan hal-hal yang merugikan nama baik pasukan Pengawal Tanah Perdikan ini.”

“Aku mengharap demikian,” sahut Samekta. “Pada saat terakhir aku sendirilah yang akan menentukan orang-orangnya dari mereka yang telah ditunjuk.”

Wrahasta dan Kerti mengangguk-anggukkan kepala mereka. Mereka mencoba membayangkan, apakah yang akan dapat terjadi apabila dalam waktu yang singkat kedua pihak harus berbenturan lagi. Keduanya akan menjadi semakin parah. Tetapi terlebih parah lagi adalah pasukan Ki Argapati. Sudah tentu Ki Tambak Wedi akan ikut di dalam pasukan itu bersama Sidanti dan Ki Argajaya. Mungkin Ki Peda Sura dan orang-orang lain yang belum diketahuinya.

Jika demikian, maka sulitlah bagi pasukan Pengawal Tanah Perdikan Menoreh untuk mempertahankan diri. Mungkin pasukan berkuda itu akan mampu mengurai pemusatan pasukan Sidanti. Namun sudah tentu tidak akan cukup kuat untuk ikut menentukan akhir dari keseluruhan.

“Tetapi kita berusaha. Kita memang harus berbuat sesuatu,” tiba-tiba saja Kerti berdesis. “Kita tidak akan menyerahkan diri kita untuk dibantai tanpa melakukan perlawanan. Setiap laki-laki harus ikut di dalam pasukan.”

Samekta mengangguk-anggukan kepalanya. Katanya, “Sampai saat ini hampir tidak ada laki-laki yang tersisa. Yang kita harapkan untuk menambahkan kekuatan adalah orangg-orang tua yang sampai saat ini justru telah meletakkan senjata mereka, tetapi mereka cukup mempunyai pengalaman dan kemampuan. Mereka harus kita bawa kembali ke medan-medan dan menarik senjata-senjata mereka dari wrangkanya. Mereka akan didampingi oleh anak-anak muda yang merupakan kekuatan mereka, sedang mereka, dengan pengalaman dan kemampuan mereka, akan mengarahkan kekuatan itu ke sasaran yang benar.”

Sekali lagi Kerti den Wrahasta itu mengangguk-anggukkan kepala.

“Aku harus mendapat laporan tentang perintahku,” berkata Samekta kemudian. Lalu katanya, “Kalian ada pendapat?”

Kerti dan Wrahasta menggelengkan kepala mereka. “Aku kira untuk sementara, gerakan itu sudah cukup,” sahut Kerti.

“Kita memerlukan senjata jarak jauh lebih banyak lagi,” berkata Wrahasta kemudian. “Tekanan pada pintu-pintu masuk padesan ini perlu kita kurangi dengan panah-panah apabila mereka benar-benar datang. Kita harus membuat tempat-tempat yang mapan di atas bambu-bambu ori untuk menempatkan pasukan panah kita.”

“Ya, aku kira kau dapat melakukannya. Berikan perintah itu kepada pasukan yang berkepentingan.”

Wrahasta menganggukkan kepalanya. Ia tidak menunggu sehingga waktu akan terlalu habis oleh meningkatnya keadaan. Segera ia berdiri dan melangkah ke luar, mempersiapkan keadaan pintu gerbang masuk ke padesan di empat penjuru dengan menempatkan pasukan berpanah di sela-sela pering ori.

Samekta dan Kerti masih saja berbicara tentang keadaan pasukan mereka. Kesulitan-kesulitan yang akan mereka hadapi dan cara-cara yang akan dapat ditempuh untuk mengatasi setiap kesulitan itu.

“Pada saatnya kita harus menyampaikan kepada Ki Argapati supaya kita tidak salah jalan,” berkata Kerti. “Meskipun saat ini masih belum memungkinkan karena lukanya, namun aku mengharap bahwa sesudah ia beristirahat, ia akan dapat dibawa berbincang-bincang. Meskipun Ki Gede sendiri tidak akan ikut turun ke peperangan, tetapi nasehatnya sangat kita perlukan.”

Samekta mengangguk-anggukkan kepalanya. Tetapi ia masih belum dapat membayangkan, seandainya Ki Gede mengetahui semua persoalan, apakah ada seseorang yang dapat mencegahnya, supaya ia tidak meninggalkan pembaringannya, turun ke medan perang meskipun lukanya belum sembuh?

“Tetapi kita harus berhati-hati,” desis Samekta. “Kita mengenal sifat Ki Gede Menoreh baik-baik.”

“Ya,” sahut Kerti. “Hampir saja aku tidak berhasil mengajaknya masuk ke desa ini. Demikian ia mendengar bahwa Pandan Wangi terpisah dari pasukanya, hampir saja ia kehilangan kesadaran dirinya.”

“Karena itu, maka untuk sementara kita akan berusaha mengatasi semua persoalan di sini tanpa mengganggu Ki Argapati,” berkata Samekta kemudian.

“Ya, tetapi bagaimanakah kira-kira perasaan Ki Gede, apabila suatu ketika kita minta ia meninggalkan desa ini karena pasukan Sidanti sudah di ambang pintu dan tidak dapat dibendung lagi?”

Samekta mengerutkan keningnya. Tetapi kemudian ia menjawab, “Aku mempunyai perhitungan, bahwa keadan yang demikian tidak akan terlampau cepat terjadi. Aku percaya kepada Wrahasta dan aku mengharap hahwa pasukan berkuda yang akan tersusun itu dapat mengganggu susunan rencana Ki Tambak Wedi. Aku masih mengharap mudah-mudahan Ki Argapati cepat sembuh dan mampu memimpin pasukannya.”

Kerti mengangguk-anggukkan kepalanya. Katanya, “Obat yang didapatkannya dari orang bercambuk itu benar-benar baik. Setelah mengalami benturan yang dahsyat di dalam tubuhnya. Ki Argapati tampak menjadi segar.”

“Tetapi apakah masih ada sisa obat itu?”

Kerti menggelengkan kepalannya. “Tidak. Semua sudah habis ditaburkan di atas lukanya. Kalau daya penyembuh obat itu tidak berkurang, maka aku mengharap Ki Gede akan bisa lekas sembuh.”

Samekta tidak menyahut. Tetapi wajahnya menunjukkan keragu-raguan. Biasanya obat hanya mempunyai daya penyembuh yang sangat terbatas, sehingga setiap kali obat itu harus diganti. Meskipun demikian Samekta tidak mengatakannya. Bahkan ia berdoa mudah-mudahan obat yang satu ini mempunyai kelebihan dari obat-obat yang lain. Sehingga terloncat dari bibirnya, “Apabila Ki Gede lekas sembuh, maka kita akan hidup kembali. Kita akan menengadahkan kepala kita. Pasukan yang ada masih cukup kuat untuk merebut kembali seluruh Tanah ini dari pengkhianatan.”

Kerti mengangguk-angguk pula. Tetapi tiba-tiba ia bergumam, “Persoalan yang harus didengar oleh Ki Gede bukan saja persoalan Tanah Perdikan ini.”

“Apa lagi?”

“Pandan Wangi.”

“Kenapa Pandan Wangi? Meskipun ia seorang gadis tetapi ia adalah seorang senapati yang baik. Bahkan terlampau baik. Bahwa ia terpisah dari pasukannya, adalah karena rasa tanggung jawabnya yang berlebih-lebihan, apalagi ia sama sekali belum berpengalaman.”

“Bukan itu. Aku tahu bahwa ia adalah seorang senapati yang baik di medan perang. Tetapi ia adalah seorang gadis. Itulah lihat kilatan matanya, aku menganggapnya mata itu dipenuhi oleh yang harus diketahui oleh Ki Argapati.”

Samekta mengerutkan keningnya. Ia tidak segera menangkap reaksi dari Kerti. Namun ia mengangguk-angukkan kepalanya ketika ia mendengar Kerti berkata, “Maksudku, persoalan Pandan Wangi sebagai seorang gadis. Bukankah kau pernah berkata, bahwa sesuatu tergetar di dalam dada Wrahasta tentang Pandan Wangi.”

“O,” sahut Samekta penuh pengertian, “ya, itu pun merupakan suatu persoalan bagi Ki Argapati.”

“Mudah-mudahan Pandan Wangi tidak mempersoalkannya sekarang dengan ayahnya”

“Mungkin ia asyik berceritera tentang gembala itu.” Tiba-tiba Samekta mengangkat wajahnya seolah-olah ia sedang mengenang sesuatu “Gembala itu?”

“Kenapa dengan gembala itu?” bertanya Kerti.

“Aku pernah menyangkanya seorang gembala yang jujur tetapi dungu,” desis Samekta. “Tetapi ternyata akulah yang dungu.”

“Kau pernah bertemu dengan gembala itu?”

Samekta tersenyum. Jawabnya “Terlalu sekali. Ketika aku mendengar ia menyebut namanya, aku katakan kepadanya, bahwa namanya terlampau baik, lebih baik dari namaku. Apa jawabnya setelah ia mengetahui namaku? Katanya, ‘Ya, memang namaku lebih baik dari Samekta, meskipun Samekta juga sudah cukup baik, tetapi tidak sebaik Gupita.’”

“O,” Kerti pun tersenyum.

“Aku menyangkanya seorang yang dungu. Ketika aku melihat kilatan matanya, aku menganggapnya mata itu dipenuhi oleh bayangan harapan dari seorang gembala untuk mendapatkan perlindungan,” suara Samekta menurun. Sambil mengangguk-anggukkan kepalanya ia berkata, “Pantas, kata-katanya saat itu, betapa terasa kedunguannya, namun cukup membuat aku pening. Ia bertanya, ‘Apakah kalau ada seseorang yang merampas kambing-kambingku, merampas hakku, orang itu tidak dihukum?’ Dan pertanyaan itu membuat aku pening.”

“Apa jawabmu?”

“Kalau aku tahu tentang anak itu sebenarnya, jawabku pasti lain. Tetapi saat itu aku menjawab, ‘Bahwa mereka yang melanggar peraturan, merampas kambing, merampas hak seseorang itu mempunyai pedang di lambungnya. Untuk menghukumnya, diperlukan pedang yang lebih tajam dari pedang mereka.’”
Kerti mengangguk-anggukkan kepalanya. Dan Samekta berkata, “Tentu ia mentertawakan jawabanku saat itu, seolah-olah ketetapan dan tegaknya peraturan itu semata-mata berada di ujung pedang.”

“Ternyata ia bukan anak yang dungu seperti yang kamu sangka.”

“ Ya. Kalau benar kata Pandan Wangi, bahwa Gupita itulah yang menolongnya, dan bersama-sama melukai Ki Peda Sura, maka kilatan matanya saat itu adalah pertanda bahwa ia mempunyai sesuatu yang tersimpan di dadanya. Sekarang aku menyadari keadaanya saat itu. Itulah agaknya sebabnya ia sama sekali tidak menyingkirkan kambing-kambingnya ketika orang-orang liar yang berada di pihak Sidanti mendatanginya. Ternyata ia siap untuk menghadapi keenam orang yang tetah mencegat Pandan Wangi saat itu.”

Kerti masih mengagguk-anggukkan kepalanya. Namun timbul kekhawatiran di dalam dadanya. Pandan Wangi adalah seorang gadis. Kalau ia sudah mulai mengagumi seorang anak muda, maka kadang-kadang seorang gadis tidak lagi mampu memisahkannya, apakah ia mengaguminya sebagai seorang prajurit yang tangkas di peperangan, ataukah ia mengaguminya sebagai seorang anak muda yang lembut, atau justru sikapnya yang kasar, yang telah menyentuh hatinya, atau perasaan apa pun. Perasaan yang berbeda-beda dalam bentuk dan sifatnya itu, kadang-kadang dibaurkan menjadi satu di dalam hati seorang gadis.

Namun hal yang demikian adalah suatu hal yang sudah wajar. Kalau tidak ada persoalan-persoalan yang lain, maka hal itu tidak perlu dipersoalkan, atau dicemaskan.

Tetapi tidak demikian halnya dengan Pandan Wangi. Sebelum Pandan Wangi berbicara tentang gembala itu, maka seorang anak muda yang lain, yang hampir setiap hari keduaya bertemu pandang, telah lebih dulu mengaitkan cita-cita hidupnya kepadanya. Dan anak muda itu mempunyai peranan yang cukup penting bagi Tanah Perdikan Menoreh.

Samekta agaknya menangkap getar perasaan Kerti, sehingga ia berkata lirih, “Sudah tentu hadirnya gembala itu merupakan persoaIaan baru bagi Ki Argapati. Mungkin persoalan ini akan dapat berkepanjangan. Gembala itu pasti bukan tanpa maksud melibatkan dirinya dalam masalah Tanah Perdikan Menoreh.”

Jawab Kerti, “Ternyata gembala itu masih akan bertambah satu lagi dengan seorang anak muda yang gemuk, yang menyebut dirinya bernama Gupala.”

Samekta tidak segera menyahut. Kadang-kadang ia menyesali keadaan itu, keadaan yang kurang menguntungkan pada saat-saat serupa ini. Justru karena Pandan Wangi seorang gadis. Kalau Pandan Wangi bukan seorang gadis, kehadiran gembala itu akan dapat menumbuhkan harapan yang pasti, selagi ia bermaksud baik dan tanpa pamrih yang dapat merugikan tanah perdikan ini. Tetapi keadaannya agak berbeda karena Pandan Wangi adalah seorang gadis.

Sementara itu, di induk Tanah Perdikan Menoreh, Ki Tambak Wedi, Sidanti, Argajaya, dan beberapa orang pemimpin pasukannya sedang sibuk berbicara tentang Ki Argapati. Petugas sandinya yang berhasil keluar dari padesan tempat pemusatan pasukan Menoreh, telah sampai dengan selamat di padukuhan induk dan langsung menemui pimpinan tertingginya.

“Apakah kau pasti bahwa sakit Argapati cukup parah?”

“Ya,” jawab orang tua itu, “aku pasti. Aku melihat sendiri, bagaimana ia turun dari kuda, kemudian dengan susah naik ke rumah yang disediakan untuk puterinya, Pandan Wangi. Aku mendengar langsung dari seorang pengawal yang mendapat tugas untuk mencari seorang dukun yang cukup baik.”

“Apakah kau tidak menawarkan Ki Wasi. Bukankah Ki Wasi dahulu hampir tidak pernah terpisah dari Ki Argapati.”

Kakek petugas sandi itu mengerutkan keningnya. Ketika mengedarkan pandangan matanya ia melihat seorang laki-laki, berkumis dan berjanggut pendek tersenyum kepadanya. Tanpa ditanya orang itu berkata perlahan-lahan, “Sayang. Aku tidak dapat mengikuti jalan pikiran Ki Airgapati yang telah sampai hati memusuhi puteranya sendiri. Adalah tidak pantas bagi seorang ayah berbuat demikian. Betapapun besar kesalahan seorang anak, tetapi ia adalah setitik dari darahnya. Apakah seorang anak terpaksa melakukan perlawanan atas ayahnya, maka kesalahan yang sebenarnya pasti terletak kepada ayah itu sendiri. Setidak-tidaknya ia tidak berbasil membentuk anaknya menjadi seorang anak yang berbakti. Apalagi sikap yang terlampau keras seperti yang dilakukan oleh Ki Gede saat ini terhadap satu-satunya puteranya yang justru kelak akan mewarisi Tanah ini.”

Setiap orang di dalam ruangan itu mengangguk-anggukkan kepala mereka. Mereka menjadi semakin yakin dan mantap untuk berperang di pihak Sidanti. Namun beberapa orang yang lain acuh tidak acuh saja mendengar kata-kata itu. Orang-orang yang datang dari luar Menoreh sama sekali tidak peduli, apakah yang mereka persoalkan. Apakah ada perselisihan antara anak dan ayah, apakah ada sekelompok yang sedang mamperjuangkan cita-cita, apakah ada pihak-pihak yang sedang menuntut haknya, apakah ada apa pun juga, namun semua itu akan dapat mereka manfaatkan untuk kepentingan mereka masing-masing.

“Persetan,” berkata salah seorang dari mereka di dalam hatinya. “Aku tidak peduIi. Tetapi persengketaan ini harus segera menjalar. Sampai saat ini aku belum berhasil mendapatkan apa pun. Ternyata setan-setan yang lain telah mendahului aku. Kecuali sebuah pendok sepuhan dan sebuah timang kecil, aku belum mendapat apa-apa lagi.”

Berbeda dengan mereka, maka getar dalam dada Sidanti terasa menjadi semakin cepat mengalir. Ia menyadari bahwa pemahaman Ki Wasi atas dirinya ternyata keliru. Apakah kata orang tua itu seandainya ia tahu, bahwa Sidanti sama sekali bukan titik darah Ki Argapati?

Tetapi ditahankannya perasaan itu jauh-jauh di dalam dadanya. Bahkan kemudian ia bertanya kepada kakek petugas sandi itu, “Siapakah yang memberi obat kepada Ki Argapati?”

Kakek tua itu menggeleng. “Kami tidak tahu. Tetapi mereka sedang mencari.”

Tiba-tiba dari sela-sela mereka yang berada di dalam ruangan itu terdengar suara tertawa terkekeh-kekeh. Seorang laki-laki tua, berkumis, berjanggut, dan berambut jarang, tertawa sampai terangguk-angguk. Ikat kepalanya yang dililitkan begitu saja di kepalanya tanpa menutupi sebagian daripadanya, menunjukkan kejarangan rambutnya di ubun-ubun. Di kedua belah tangan laki-laki tua itu mempergunakan sepasang binggel akar kayu berlian, dan di lehernya tersangkut berbagai macam benda-benda yang dianggapnya keramat. Taring celeng mati ngurak, biji asam berangkai genap, sepotong besi berwarna kuning, tiga bongkah batu kecil berwarna telon bersap tiga, dan beberapa macam benda-benda yang lain. Sedang pada ikat pinggangnya tergantung sebuah tempurung kecil berisikan berbagai reramuan obat-obatnya dan sebuah kantong kain berisikan barbagai macam bunga-bunga yang dianggapnya aneh. Bunga semboja bermahkota genap. Bunga telasih putih, bunga pohung sungsang, dan bunga sekar jagad.

Sejenak semua mata terpancang kepada orang tua itu. Dengan matanya yang tajam orang tua itu memandang kepada petugas sandi yang memberitakan terutama keadaan Argapati. Sejenak kemudian ia berkata, “Apakah Argapati atau orang-orangnya tidak menyebut namaku?”

Petugas sandi itu menggeleng. Namun tiba-tiba ia berkata, “Ya, nama Kiai disebutnya juga.”

“Apa kata Argapati tentang aku?”

“Bukan Argapati, tetapi salah seorang pengawal yang bertugas mencari dukun yang dapat dipercaya.”

“Apa katanya?”

“Argapati mencari seorang dukun. Tetapi bukan Ki Wasi dan Ki Muni.”

Sekali lagi suara tertawa laki-laki tua, yang bernama Ki Muni itu meledak, sehingga tubuhnya berguncang-guncang. Tetapi tiba-tiba suara tertawanya terputus. Dikerutkannya dahinya sambil berkata, “Tetapi aku tidak mempunyai alasan yang sama seperti Ki Wasi. Pada saat Argapati masih berkuasa, Ki Wasi betah duduk sehari muput, bahkan semalam suntuk, menjagainya denggan setia. Mengurut kakinya dan mengobati luka-lukanya kalau kakinya terantuk tlundak pintu. Tetapi aku tidak. Sejak semula aku menentangnya. Aku pernah menantangnya berperangg tanding. Tetapi Argapati tidak bersedia. Karena itu, sampai saat ini pun aku tetap menentangnya.”

“Jangan ngundat-undat, Kakang Muni,” potong Ki Wasi. “Kau tidak berkata dengan jujur. Apakah yang pernah kau lakukan saat itu hampir setiap orang mengertahuinya. Tetapi aku tidak perlu mengungkapnya kembali. Yang penting adalah apa yang kini sedang kita hadapi. Sokurlah kau mampu menghadapi Ki Argapati itu dalam perang tanding seperti Ki Tambak Wedi. Dengan demikian maka nama Ki Muni akan segera dipasang di samping nama-nama Ki Argapati, Ki Tambak Wedi, dan nama-nama lain yang sejajar dengan nama-nama itu.”

Sepercik warna merah menjalar di wajah Ki Muni. Tiba-tiba wajah itu menjadi tegang. Dari sepasang matanya memancar kemarahan yang menyala di dalam dadanya. Dengan suara yang berat ia menggeram, “Persetan dengan kau, Adi Wasi. Apa kau sangka aku tidak mampu meremas mulutmu itu, he? Dahulu kau menjilat telapak kaki Argapati, sekarang kau bersimpuh di hadapan Angger Sidanti. Huh, orang seperti kau memang tidak dapat dipercaya sepenuh hati.”

Ki Wasi menarik nafas dalam-dalam. Tampak betapa ia terlampau sulit menahan perasaannya. Tetapi ia masih dapat berkata sareh, “Apakah kita akan berbantah dan saling mengungkapkan kenistaan di masa lampau? Kalau itu yang kau kehendaki, maka aku akan bersedia. Bahkan kalau kau masih juga belum puas, dan kau menghendaki yang lain, maka meskipun aku sudah merasa cukup tua, tetapi aku masih ingin mencoba mempertahankan harga diriku, Kakang.”

Sekali lagi suara tertawa Ki Muni meledak memenuhi ruangan. Beberapa orang ikut terseret dalam ketegangan itu. Sejenak mereka hanyut dalam perbantahan yang semakin seru. Tetapi tiba-tiba Argajaya tersenyum dalam hatinya. Ia mengenal kedua orang itu dan ia mengetahui apa yang telah mereka lakukan di masa-masa lampau mereka.

Karena itu, adalah sangat menggelikan apabila orang berbicara tentang diri sendiri di saat ini, di mana keadaan telah meningkat menjadi semakin panas.

Agaknya Ki Muni masih juga ingin menjawab. Tetapi tiba-tiba Ki Tambak Wedi memotong, “Ya, aku tahu semuanya. Aku bukan seorang yang tuli. Aku telah mendengar tentang kalian selengkapnya. Tetapi marilah kita lupakan masa lampau itu. Kita kini sedangg menghadapi tugas yang cukup berat. Kami mengharap kalian berdua selau berada dalam tugas kalian sebaik-baiknya. Aku tidak akan menempatkan Ki Muni di medan-medan perang untuk menghadapi langsung Ki Argapati atau menempatkan Ki Wasi sebagai seorang senapati perang untuk merebut Karang Sari atau Patemon, atau daerah-daerah lain yang kini masih dikuasai oleh orang-orang Argapati. Tetapi aku minta setiap saat kalian dapat menyembuhkan orang-orang yang terluka di peperangan. Itu adalah tugas kalian. Kalian tidak usah bertengkar berebut benar tentang pendirian masing-masing. Baik di saat ini maupun di saat-saat lampau.”

Keduanya tidak menjawab. Sesaat mereka saling memandang, namun kemudian mereka melemparkan pandangan mata mereka jauh-jauh keluar dari ruangan itu ke titik-titik di kejauhan.

“Yang perlu kita pertimbangkan sekarang, apakah yang sebaiknya kita lakukan,” berkata Ki Tambak Wedi. “Kalau benar-benar Argapati terluka parah, apakah ia akan dapat sembuh? Mungkin ada dukun-dukun kecil yang mencoba mengobatinya pula. Tetapi apakah mereka mampu membersihkan racun pada luka Ki Argapati itu. Kalau tidak, maka betapapun lambatnya, luka itu akan menjalar dan akan menghancurkan kulit dan dagingnya.”

“Tetapi Ki Argapati sendiri mengerti, bagaimana ia harus mengobati luka-luka,” berkata Ki Wasi.

“Ya, ilmu itu sekedar dimilikinya seperti aku juga mengerti serba sedikit. Tetapi untuk melawan luka yang parah, diperlukan sorang yang benar-benar memiliki pengetahuan tentang itu seperti Ki Wasi dan Ki Muni.”

“Tentu,” sahut Ki Muni. “Kalau benar ia terluka parah, maka biarkan saja ia sehari dua hari. Ia akan mati dengan sendirinya.”

Ki Tambak Wedi mengangguk-anggukkan kepalanya. Tetapi sebagai seorang yang cukup mempunyai pertimbangan tentang peperangan ia berpendirian lain. Ia tidak dapat menunggu sampai Argapati itu mati dengan sendirinya. Ia tidak dapat menunggu waktu yang tidak berkepastian. Sebagai seseorang yang mempunyai perhitungan medan, pikirannya agak lain dari pikiran Ki Muni. Maka katanya, “Memang Argapati mungkin akan mati dengan sendirinya. Tetapi kita tidak dapat melepaskan waktu ini, di saat-saat Argapati menjelang hari terakhirnya. Kita harus mempergunakan waktu sebaik-baiknya.”

“Apakah yang akan kita lakukan Kiai?” bertanya Argajaya.

Ki Tambak Wedi tidak segera menyahut. Tetapi ia melihat kilatan mata Sidanti, bahwa anak ini telah menangkap maksudnya. Bahkan Sidanti-lah yang mendahului berkata, “Kita hancurkan sisa-sisa pasukan Argapati itu selagi mereka belum mampu bangun dari pingsan. Kalau kita menunda-nunda lagi, mungkin ada sesuatu yang dapat menolong Argapati sehingga keadaan akan segera berubah.”

Argajaya menarik nafas dalam-dalam. Sebagai seorang senopati pasukan pengawal Tanah Perdikan Menoreh, ia tidak dapat berpendirian lain, kecuali membenarkan sikap Sidanti. Tetapi betapa pun juga terasa sesuatu berdesir di dadanya. Argapati yang sedang dibicarakan itu adalah kakaknya.

“Tetapi aku sudah bertekad untuk menyingkirkannya,” katanya di dalam hati. “Kemudian, aku harus menempuh perjuangan dalam babak yang baru. Aku pasti tidak akan dapat melihat Sidanti menjadi kepala Tanah Perdikan ini. Dan aku juga tidak dapat mempercayai Ki Tambak Wedi sepenuhnya, bahwa ia akan memberi kesempatan kepadaku ikut serta di dalam pemerintahan. Apalagi apabila dengan landasan Tanah Perdikan ini Ki Tambak Wedi dapat membawa Sidanti merayap ke singgasana Pajang.”

Argajaya terkejut ketika ia mendengar Ki Tambak Wedi bertanya kepadanya, “Bagaimanakah sebaiknya? Apakah kau sependapat dengan Sidanti.”

“Ya. Ya,” Argajaya tergagap, “aku sependapat. Memang tidak ada jalan lain yang dapat kita tempuh sekarang.”

Ki Tambak Wedi mengangguk-anggukkan kepalanya. Memang menurut perhitungan yang paling tepat, pasukannya harus segera bergerak, memukul pasukan Argapati yang sedang terluka parah itu. Menurut perhitungan keprajuritan, maka pasukan Argapati tidak akan dapat bertahan. Mereka tidak mempunyai pimpinan yang dapat mengimbangi para pemimpin dari pasukan Sidanti.

Tetapi ternyata Ki Tambak Wedi masih tampak ragu-ragu. Sekali-sekali dipandanginya wajah Sidanti, kemudian wajah Argajaya, lalu beredar kepada orang-orang yang berada di dalam ruangan itu.

“Kita harus segera melakukannya, Guru,” berkata Sidanti kemudian. “Lebih cepat lebih baik. Selama orang-orang Argapati masih berada dalam kegelisahan.”

“Ya, ya,” Ki Tambak Wedi mengangguk-angguk, “tetapi kita jangan kehilangan perhitungan. Kita harus mempertimbangkan keadaan dari segala segi.”

“Apalagi yang harus kita pertimbangkan, Guru? Kita sudah siap. Seandainya sekarang pun kita sudah siap untuk melakukannya. Tetapi menurut pertimbanganku, nanti malam kita bergerak. Kita tidak usah menunggu besok.”

Tetapi Ki Tambak Wedi menggelengkan kepalanya. Katanya, “Kita cukup kuat bergerak di siang hari. Bagiku gerakan di siang hari dalam keadaan ini akan lebih menguntungkan. Kesempatan untuk melarikan diri lebih kecil bagi Argapati yang sakit itu. Kita akan dapat melihat segala gerakan timbal-balik. Kita akan dapat menunjukkan kemenangan-kemenangan kita kepada para pengikut Argapati itu, sehingga nafsu perlawanan mereka pun pasti akan terpengaruh.”

Sidanti mengerutkan keningnya. Kemudian ia mengangguk-anggukkan kepalanya. Tetapi ia berkata, “Dapat banyak terjadi dalam waktu semalam ini. Mungkin timbul berbagai macam perubahan keadaan.”

“Itu memang mungkin sekali,” jawab Ki Tambak Wedi, “tetapi kita jangan tergesa-gesa, sehingga kita kehilangan pertimbangan nalar.”

“Apalagi yang dapat menghambat gerakan kita?” bertanya Sidanti.

“Marilah kita perhitungkan,” berkata Ki Tambak Wedi, kemudian. “Peristiwa yang terjadi atas sekelompok orang yang telah aku persiapkan di sekitar Pucang Kembar telah menumbuhkan banyak pertanyaan di hatiku.”

“Itu pasti pokal pasukan-pasukan Argapati yang memang telah dipersiapkan dahulu.”

“Mereka sama sekali tidak mengetahui, tentang sekelompok orang kita itu.”

“Kelompok mereka pun akan melakukan seperti apa yang kita persiapkan atas Guru.”

“Aku tidak berkesan demikian, Sidanti. Aku melihatnya lebih jauh dari sekedar kebetulan itu.”

“Lalu apakah yang telah terjadi menurut pertimbangan Guru?”

“Aku menjumpai keanehan. Aku telah menemukan bekas perkelahian antara sekelompok orang-orang kita itu dengan lawan mereka. Tetapi aku tidak dapat membayangkan, siapakah lawan mereka itu. Kalau mereka adalah sekelompok orang-orang Menoreh, maka akibat dari pertempuran itu pasti berbeda. Aku tidak banyak menemukan bekas-bekas dari perkelahian itu. Aku hanya melihait tiga mayat yang terbaring di sana. Kemudian ke manakah perginya yang lain?”

“Mereka berselisih dan saling bertempur. Bukankah aku telah mengatakan, bahwa kemungkinan itu dapat terjadi?”

Ki Tambak Wedi mengangguk-anggukkan kepalanya. Tetapi ia bergumam, “Memang kemungkinan ini dapat terjadi. Tetapi kemungkinan itu terlampau kecil. Mereka berangkat dalam keadaan yang baik tanpa ada tanda-tanda perselisihan apa pun di antara mereka. Sedangkan seandainya demikian, di antara kedua pihak itu yang masih hidup pasti akan sampai kepada kita untuk melaporkan keadaan itu.”

“Tidak, Guru. Aku pasti bahwa sebagian dari mereka ingin berkhianat. Sebagian ingin mencegah. Tetapi agaknya mereka yang berada di pihak yang teguh itu terlampau lemah. Mungkin memang hanya tiga orang itu yang semuanya mati terbunuh.”

“Lalu apakah yang dilakukan oleh yang lain?”

“Mereka melarikan diri.”

Ki Tambak Wedi mengernyitkan keningnya. Ia tidak melihat keuntungan apa pun dari mereka yang disangka melarikan diri itu. Tetapi seandainya demikian, maka luka-luka pada ketiga mayat itu pasti akan berbicara, bahwa mereka telah terbunuh dalam perkelahian yang tidak seimbang. Tetapi luka-luka pada mayat itu sangat mencurigakannya.

“Apakah Guru masih tetap ragu-ragu?”

Ki Tambak Wedi menganggukkan kepalanya. Dengan nada yang dalam ia bergumam, “Lalu siapakah yang telah melukai Ki Peda Sura itu? Seorang anak muda yang tiba-tiba saja berkelahi di pihak Pandan Wangi?”

Tidak seorang pun yang segera dapat menjawab. Ki Peda Sura sendiri masih belum bernafsu untuk berceritera tentang anak muda yang melukainya bersama Pandan Wangi. Agaknya orang itu memang berusaha untuk berdiam diri tentang luka yang dideritanya.

“Tidak masuk akal,” gumam Ki Peda Sura di dalam hatinya ketika orang-orang yang berusaha mengetahui persoalannya telah pergi. “Anak muda itu hanya bersenjata sehelai cambuk.”

Dengan demikian maka orang-orang lain tidak mendapat gambaran yang jelas tentang anak muda yang telah berhasil melukai Ki Peda Sura itu bersama Pandan Wangi. Agaknya Ki Peda Sura telah tersinggung harga dirinya, karena senjata lawannya hanya sehelai cambuk.

Tetapi pertanyaan Ki Tambak Wedi tentang orang yang telah melukai Ki Peda Sura itu memang menumbuhkan persoalan di dalam hati Sidanti. Betapa pun juga ia berusaha menyembunyikan perasaannya tentang hal itu, untuk sekedar menuruti nafsunya yang menyala-nyala, namun ia tidak dapat ingkar, bahwa sebenarnya ia merasakan adanya suatu kekuatan yang kurang dikenalnya ikut campur di dalam persoalan Tanah Perdikan Menoreh. Kekuatan yang sampai saat ini masih diselubungi oleh kabut yang tebal.

Ketika angan-angannya terbang melintasi Kali Praga dan melintasi Alas Mentaok, maka Sidanti tiba-tiba menggeram, “Persetan, seandainya mereka hadir di sini, maka umur mereka pasti akan tinggal seumur kembang bakung.”

Namun kadang-kadang tumbuh pula getar di dalam hatinya. Angan-angannya kadang-kadang tidak hanya terhenti pada jarak yang dekat dari Alas Mentaok. Namun kadang-kadang ia sampai pada persoalan Tanah Alas Mentaok itu sendiri. Ia pernah mendengar betapa keras tuntutan Ki Gede Pemanahan atas Bumi Mentaok yang oleh Adiwijaya telah disanggupkan akan diberikan kepadanya setelah ia berhasil menyingkirkan Aryo Penangsang.

Terbayang di dalam angan-angannya seorang anak muda dengan sebatang tombak pendek di tangannya.

“Tidak mungkin. Anak itu tidak akan berkeliaran di sini.”

Sidanti menarik nafas dalam-dalam. Diangkatnya wajahnya dan dipandanginya bayang-bayang dedaunan di halaman yang bergerak-gerak.

“Apa yaug kau pikirkan, Sidanti?” bertanya Ki Tambak Wedi.

“Memang mungkin ada kekuatan dari luar Tanah ini, Guru.”

Ki Tambak Wedi mengangguk-anggukkan kepalanya. Katanya, “Itulah yang akan aku katakan kepadamu, kepada Angger Argajaya, dan kepada semuanya di sini. Kekuatan yang masih samar-samar tetapi sudah terasa kehadirannya ini harus kita pertimbangkan sebaik-baiknya.”

“Kekuatan dari manakah menurut dugaan Ki Tambak Wedi?” bertanya Ki Muni yang lehernya dikalungi dengan berbagai macam jimat.

“Kami belum tahu.”

Sekali lagi Ki Muni tertawa. Katanya, “Kita kadang-kadang memang dibayangi oleh dugaan-dugaan kita yang samar-samar tetapi menakutkan. Kalau ada kekuatan itu, maka berapakah jumlah mereka? Segelar sepapan atau berapa?”

Ki Tambak Wedi mengerutkan keningnya. Jawabnya, “Ki Muni, kekuatan yang hanya satu dua orang, tetapi memiliki beberapa kelebihan dari orang-orang kebanyakan, akan sangat berarti bagi kita masing-masing. Katakanlah bahwa pasukan kita di sini dan pasukan Argapati telah sama-sama mengalami luka parah. Katakanlah bahwa kekuatan kami kini seimbang. Maka setiap kehadiran kekuatan itu akan segera merubah keseimbangan itu.”

“Ah,” Ki Muni mengeluh, “Kiai adalah seorang yang memiliki pengalaman yang pasti jauh lebih banyak dari aku di sini. Tetapi tampaknya Kiai terlampau hati-hati. Cobalah perhitungkan. Kalau selama ini kekuatan pasukan kita seimbang dengan kekuatan Argapati, maka kita pasti tidak akan berhasil mendesaknya. Padahal seperti yang kau ketahui, Kiai, kita di sini belum mengerahkan segenap kemampuan yang ada. Ki Wasi dan aku masih belum ikut berbuat sesuatu kecuali mengobati orang sakit. Meskipun kami tidak setangkas Ki Tambak Wedi, tetapi cobalah, pada suatu ketika aku ingin bertemu dengan orang yang bernama Argapati itu.”

Ki Tambak Wedi menarik keningnya. Ia melihat wajah Sidanti yang berkerut. Tetapi ketika Sidanti itu akan menjawab, maka segera anak muda itu digamitnya. Ia tahu benar bahwa Sidanti dan Argajaya menjadi muak mendengar orang itu membual. Meskipun demikian mereka tidak juga meniadakan kekuatan yang ada pada orang itu.

“Baiklah, Ki Muni,” sahut Ki Tambak Wedi, “suatu ketika keinginanmu itu akan terjadi. Suatu ketika Argapati akan sembuh dari sakitnya dan kau akan mendapat kesempatan pertama untuk melawannya.”

Tiba-tiba wajah Ki Muni menjadi tegang. Namun hanya sejenak. Sejenak kemudian terdengar suara tertawanya, “Sayang. Sayang sekali. Aku menjadi cemas bahwa cita-cita yang demikian itu tidak akan pernah dapat terjadi. Besok atau lusa, Argapati akan mati.”

“Bagaimana kalau ia tetap hidup?”

“Tidak mungkin,” jawab orang yang berkalung jimat di lehernya itu. “Seandainya ada obat untuknya, maka aku akan melawannya dengan cara lain. Aku akan membunuhnya dengan caraku. Aku akan menenungnya. Aku dapat membunuh tanpa meraba tubuhnya.” Dan suara tertawa orang itu menggema lagi di seluruh ruangan.

Ki Wasi hanya dapat menarik nafas dalam-dalam. Kawannya yang seorang ini memang mempunyai tabiat yang aneh. Tetapi tidak seorang pun yang berhasrat untuk mencegahnya. Hampir semua orang telah mengenalnya sebagai seorang pembual terbesar di seluruh Tanah Perdikan Menoreh. Tetapi kecuali seorang pembual sebenarnyalah bahwa memang ia seorang dukun yang baik. Ia terkenal bukan hanya sekedar mengobati luka-luka lama dan baru, mengobati penyakit di dalam tubuh seseorang, atau penyakit-penyakit yang tiba-tiba, tetapi ia memiliki kekuatan gaib yang dapat dipergunakan untuk tujuan-tujuan tertentu. Setiap orang memperkatakannya sebagai seorang juru tenung yang sakti.

“Baiklah,” berkata Ki Tambak Wedi yang mempelajari juga ilmu semacam itu, meskipun ia lebih mementingkan olah kanuragan. “Tetapi kita harus membuat perhitungan-perhitungan lahiriah. Kita barus memperhitungkan setiap kemungkinan adanya kekuatan yang ikut campur dalam persoalan ini.”

Ki Muni kemudian mengangguk-anggukkan kepalanya. Memang ia tidak dapat ingkar, bahwa menghadapi persoalan perang antara keluarga ini, perhitungan-perhitiungan atas dasar penilaian keprajuritan harus dimatangkan. Hanya dalam perselisihan pribadi sajalah, maka caranya itu dapat diterapkan. Kekuatan tenungnya pun ternyata hanya terbatas. Dan mau tidak mau Ki Muni harus mengakui di dalam hatinya, bahwa Ki Tambak Wedi pun memiliki pengetahuan yang serupa.

“Lalu apakah yang sebaiknya kami lakukan menurut Guru?” bertanya Sidanti.

“Kita harus menjajagi keadaan,” jawab gurunya.

Sidanti mengerutkan keningnya. Ia tidak segera dapat mengerti apakah yang dimaksud dengan gurunya. Namun Ki Tambak Wedi pun kemudian menguraikan rencananya, menjajagi keadaan dalam waktu sehari dua hari sambil mengikuti perkembangan keadaan Ki Gede Menoreh yang terluka parah itu.

Demikianlah kedua belah pihak telah memperkuat diri sendiri, membuat rencana untuk menghadapi setiap perkembangan keadaan dan mencoba untuk saling mengetahui rencana dan usaha masing-masing pihak.

Sementara itu, malam pun kemudian hadir di permukaan bumi. Semakin lama menjadi semakin gelap. Di tempat pemusatan para pengawal Tanah Perdikan Menoreh serta tempat pengungsian para keluarga yang juga dijaga cukup kuat, para peronda telah hilir-mudik dengan kewaspadaan tertinggi. Mereka berjalan dari gardu ke gardu, menyusuri setiap lorong dan menjaga setiap pintu keluar dan masuk padesan.

Di mulut-mulut lorong, pada tempat-tempat tertentu telah dibuat tempat-tempat di antara duri dari pering ori, planggrangan untuk para pengawal yang akan memperkuat pertahanan tempat-tempat kedudukan para pengawal Tanah Perdikan Menoreh dengan senjata-senjata jarak jauh, panah dan bandil, pelempar tombak kecil-kecil dan pelempar batu-batu dengan ujung-ujung bambu yang lentur.

Namun begitu tegang hati para pemimpin pengawal tanah perdikan, mereka sama sekali tidak ingin mengganggu Ki Argapati pada saat-saat ia masih habis bergulat dengan lukanya. Dibiarkannya Ki Argapati beristirahat ditemani oleh puterinya, meskipun Pandan Wangi sendiri banyak berceritera tentang pertempuran yang telah dialaminya. Namun Pandan Wangi tidak menggelisahkan ayahnya dengan kemungkinan-kemungkinan yang dapat terjadi dalam waktu singkat. Pandan Wangi sendiri tidak tahu pasti, bahwa ada seorang petugas sandi yang lolos dari tempat ini dan yang akan dapat mengabarkan tentang keadaan Ki Gede, sehingga akibat daripadanya akan berbahaya bagi pertahanan para penggawal.

Samekta sendiri pada saat itu hilir-mudik bersama-sama dengan Wrahasta memeriksa setiap gardu-gardu terpenting. Melihat kesiap-siagaan pasukan pengawal yang ditempatkan di depan mulut-mulut lorong masuk di empat penjuru. Melihat kelengkapan senjata-senjata jarak jauh dan bahkan Samekta sendiri telah mengunjungi padesan di sebelah, tempat keluarga mereka diungsikan, dijaga oleh kekuatan yang cukup untuk melindungi mereka dari setiap sergapan. Samekta telah mengatur pasukannya sedemikian, sehingga kedua tempat itu akan selalu dapat diamatinya dengan baik. Dan arus pasukannya akan dapat berpindah-pindah dengan cepat dan lancar. Telah diperhitungkannya kemungkinan pasukan lawan berusaha untuk memotong hubungan antara kedua tempat itu, atau menyerang dari arah yang lain.

Namun demikian, Ki Argapati bukan seorang pemalas yang hanya ingin berbaring diam di pembaringannya. Bagaimanapun juga, ketajaman perasaan keprajuritannya telah memperhitungkan semua persoalan yang telah terjadi. Meskipun Ki Argapati tidak tahu bahwa ada seorang yang telah melepaskan berita tentang sakitnya yang parah, namun ia memperhitungkannya seandainya hal yang demikian itu terjadi. Karena itu, maka setelah ia cukup puas berbicara dengan Pandan Wangi, seseorang disuruhnya memanggil Samekta menghadapnya.

Tanpa diduga-duga Ki Gede bertanya, “Bagaimana dengan persiapanmu, Samekta?”

Samekta menarik nafas dalam-dalam, jawabnya, “Cukup baik, Ki Gede. Tetapi kita tidak perlu cemas untuk saat-saat yang pendek ini. Aku memperhitungkannya bahwa setidak-tidaknya malam ini tidak akan terjadi sesuatu.”

Tetapi dada Samekta berdebar-debar ketika ia melihat Ki Argapati mengernyitkan keningnya sambil berkata, “Apakah kau tidak mempersiapkan pasukanmu dalam kesiagaan tertinggi?”

Samekta menjadi ragu-ragu.

“Kalau kau menganggap bahwa malam ini tidak akan terjadi sesuatu maka kau ternyata telah lengah Samekta.”

Samekta menjadi semakin ragu-ragu menghadapi pembicaraan itu.

“Samekta,” berkata Ki Gede lirih, “kita sudah kehilangan waktu satu senja. Karena itu kejarlah keterlambatan itu sekarang. Kau harus berusaha mempersiapkan orang-orangmu seolah-olah malam ini pasukan lawan akan menyerang kita. Seharusnya kau memperhitungkan kemungkinan itu. Seharusnya kau memperhitungkan kemungkinan bahwa berita tentang lukaku yang parah ini akan sampai ketelinga Ki Tambak Wedi. Bukankah begitu? Dengan demikian maka apabila perhitungan Tambak Wedi sejalan dengan perhitunganku, kesempatan ini pasti akan dimanfaatkan sebaik-baiknya. Tidak ada seorang pun yang akan mampu berhadapan seorang lawan seorang dengan Ki Tambak Wedi. Apalagi di dalam pasukannya telah ada Sidanti dan Argajaya. Peda Sura yang barangkali telah berangsur baik dan beberapa orang lain.”

Sesaat Samekta tidak dapat menyahut. Ternyata meskipun ia tidak membicarakannya dengan Ki Argapati tentang perkembangan terakhir, maka itu tidak berarti bahwa ia telah memberi kesempatan kepada Ki Argapati untuk beristirahat dengan tenang dan tanpa memikirkan persoalan perang yang sedang berkobar itu.

Karena Samekta tidak segera menjawab, maka Ki Argapati mendesaknya, “Apakah dasar perhitunganmu, bahwa malam ini tidak akan terjadi sesuatu?”

Samekta tidak dapat ingkar lagi. Maka dengan terus terang ia berkata, “Ki Gede. Sebenarnya kita memang telah berada dalam kesiagaan tertinggi. Sebenarnya aku mempunyai perhitungan yang serupa. Tetapi kami tidak bermaksud untuk mengganggu Ki Gede sehingga kami memang sengaja membuat suasana seolah-olah tidak menegang.”

Ki Gede menarik nafas dalam-dalam. Sambil mengangguk-anggukkan kepalanya ia merasakan, betapa orang-orangnya berusaha dengan sungguh-sungguh membantunya dalam keadaan yang paling sulit. Bukan saja untuk mempertahankan kekuasaannya di atas Tanah Perdikan Menoreh, tetapi juga berusaha sungguh-sungguh untuk membuatnya tenang dalam keadaannya kini.

Perlahan-lahan terdengar Ki Argapati berkata, “Terima kasih, Samekta. Aku memang sudah menyangka, bahwa kalian tidak akan sebodoh itu, membiarkan diri kita kehilangan kewaspadaan. Usaha kalian untuk membuat hatiku tenteram sangat aku hargai. Namun sebaiknya jangan membuat aku seperti kepompong yang tidak mengerti arah. Sebaiknya kalian membicarakan semua masalah dengan aku.”

Samekta tidak menyahut. Ditundukkanya kepalanya dalam-dalam. Ia sudah tidak akan dapat ingkar lagi. Tetapi ia menarik nafas ketika ia mendengar Ki Argapati berkata, “Tetapi aku tahu bahwa maksud kalian baik. Dan karena itulah maka aku mengucapkan terima kasih.”

Samekta hanya dapat mengangguk-anggukkan kepalanya saja. Namun ia menjadi sadar, bahwa ketajaman perasaan Ki Gede sebagai seorang prajurit memang tidak dapat diselebungi dengan cara apa pun.

“Untuk seterusnya Samekta,” berkata Ki Gede itu kemudian, “sampaikan semua persoalan kepadaku. Meskipun aku sadar, bahwa aku masih belum mampu berbuat terlampau banyak, tetapi mudah-mudahan aku masih dapat ikut berbicara dan berpikir, apakah sebaiknya yang harus kita lakukan.”

“Maafkan kami, Ki Gede,” berkata Samekta kemudian. “Untuk seterusnya aku akan selalu melaporkan semua perkembangan kepada Ki Gede.”

“Terima kasih,” Ki Gede mengangguk-anggukkan kepalanya. “Sekarang aku ingin mendengar apa yang telah kau kerjakan.”

Samekta mengangguk-anggukkan kepalanya. Kemudian dengan singkat diberitahukannya apa saja yang telah dipersiapkan. Pasukan yang bersenjata panah di mulut-mulut lorong, pasukan berkuda dan kesiagaan di seluruh padesan ini dan padesan tempat para keluarga ditempatkan. Jalur hubungan di antara keduanya dan segala macam kemungkinan yang lain.

“Ternyata kalian benar-benar tidak mengecewakan. Kalian telah mencoba membuat imbangan yang baik dalam keadaan yang sulit serupa ini. Baiklah, sekarang pergilah ke pasukanmu yang sedang bersiap-siap itu. Aku ingin mendengar laporan setiap kali. Kau dapat menyuruh orang lain menemui aku. Kerti atau Wrahasta atau orang lain lagi.”

“Baiklah, Ki Gede,” sahut Samekta yang kemudian minta diri kembali ke pasukannya. Ke rumah yang dipergunakan sebagai pusat pimpinan pasukan pengawal yang sedang tersisih dari induk Tanah Perdikan Menoreh.

***
Belum lagi Samekta sampai kerumah itu, ia tertegun melihat Wrahasta berjalan tergesa-gesa menemuinya. Sebelum ia bertanya Wrahasta telah berkata, “Aku sangka kau masih berada di tempat Ki Gede beristirahat.”

“Apakah ada sesuatu yang penting?”

“Ya,” sahut anak muda bertubuh raksasa itu,

“Apakah yang sudah terjadi?”

“Seorang petugas sandi melihat gerakan pasukan lawan menuju kemari.”

Dada Samekta menjadi berdebar-debar. Tetapi hal itu memang sudah termasuk dalam perhitungannya. Karena itu maka sambil mengangguk-angguk ia menjawab, “Bukankah semua bagian di dalam pasukan kita sudah siap pada tugasnya masing-masing”

Wrahasta mengangguk sambil menjawab, “Ya. Semua sudah di tempatnya masing-masing.”

“Bagaimana dengan pasukan berkuda?”

“Pasukan itulah yang menunggu perintah.”

Samekta berpikir sejenak. Kemudian katanya, “Panggilah pemimpin pasukan berkuda itu.”

Wrahasta pun kemudian dengan tergesa-gesa pergi untuk memanggil orang yang mendapat kepercayaan memimpin pasukan berkuda. Pasukan yang khusus dibentuk untuk menanggapi keadaan yang sulit itu. Pasukan yang terdiri dari anak-anak muda yang sudah cukup berpengalaman bertempur di atas punggung kuda. Memiliki keberanian dan kecepatan berpikir. Pasukan ini adalah pasukan andalan yang akan dapat mempengaruhi keadaan.

Sejenak kemudian, di rumah tempat pimpinan pasukan Pengawal Tanah Perdikan, seorang anak muda yang bertubuh tegap, berjambang lebat dan bermata tajam menghadap Samekta dengan dada tengadah. Wajahnya memancarkan api tekad yang menyala di dadanya. Di lehernya tersangkut secarik kain putih sebagai pertanda keikhlasan hatinya di dalam pengabdiannya.

“Wigatri,” berkata Samekta, “kepadamulah kami meletakkan harapan. Kami mengharap bahwa pasukanmu berhasil setiap kali merubah suasana. Tetapi ingat, kalian jangan bertindak terlampau jauh. Kalian harus tetap ingat, bahwa semua pihak yang sedang bertengkar ini adalah saudara kita sendiri. Memang ada beberapa orang yang mencoba menarik keuntungan dari peristiwa ini. Tetapi hal itu jangan kau jadikan alasan untuk berbuat sewenang-wenang.” Samekta berhenti sejenak, lalu, “Kalian dapat berbuat agak keras untuk menarik perhatian lawan ke arahmu. Tetapi jangan mengorbankan rakyat yang tidak tahu-menahu tentang pertengkaran yang sedang terjadi ini. Apakah kau dapat mengerti?”

Anak muda yang bernama Wigatri itu menganggukkan kepalanya, “Ya, Paman, aku mengerti.”

“Nah, kuasai tugasmu baik-baik. Kalian dapat menimbulkan kebingungan dan bahkan dapat menyalakan api di malam hari, namun korban yang kau berikan harus seimbang dengan tujuan tindakanmu itu. Apakah kau mengerti?”

“Ya, Paman.”

“Mungkin ada anak buahmu yang terlampau dikendalikan oleh perasaannya. Nah, itu adalah tanggung jawabmu.” Samekta berhenti sejenak, lalu, “Sekarang, kalian harus berusaha berada di luar lingkaran pasukan Sidanti yang bergerak kemari.”

Anak muda yang bernama Wigatri itu mengerutkan keningnya. Sejenak ia berdiam diri. Hanya debar jantungnya sajalah yang terasa rnenjadi semakin keras memukul dinding dadanya.

Dan ia mendengar Samekta berkata seterusnya, “Sekarang pergilah. Atau masih ada pertanyaan?”

Wigatri menyahut, “Apakah Sidanti sudah mulai bergerak?”

“Pasukannya bergerak kemari. Tidak mustahil padesan ini dikepungnya. Karena itu, kau harus segera pergi, supaya kalian tidak berada juga di dalam kepungan.

“Baik, Paman. Bukankah kami harus membuat kesan bahwa pasukan Menoreh telah menyerang di tempat-tempat tertentu?”

“Ya. Tetapi kalian harus menunggu isyarat. Kalau tidak ada isyarat itu, kalian harus tetap berada di sekitar tempat ini. Mungkin kalian kami perlukan untuk memecah kepungan Sidanti dan menyerang mereka dari belakang”

“Baik.”

“Ingat, segala macam isyarat akan kami berikan seperti yang sudah kami beritahukan.”

“Baik, Paman,” jawab Wigatri. “Sekarang, perkenankan kami pergi.”

“Hati-hatilah.”

Wigatri pun segera minta diri kepada para pemimpin yang lain. Dengan tergesa-gesa ia pergi ke pasukannya yang ternyata selalu siap sedia di segala saat. Wigatri tidak memerlukan waktu lama untuk mempersiapkan diri dan seluruh pasukannya. Sejenak kemudian, kesepian malam telah dipecahkan oleh derap kaki-kaki kuda yang berlari-lari meninggalkan padesan.

Sementara itu Samekta telah mengirim penghubung menghadap Ki Gede menyampaikan semua berita tentang pasukan Sidanti dan persiapan yang dilakukannya.

Di luar padesan itu, Wigatri membawa pasukannya berpacu ke arah yang telah ditunjuk oleh para pemimpin pasukan Pengawal Tanah Perdikan ke arah yang berbeda dari arah gerakan pasukan Sidanti.

Tidak terlampau jauh dari padesan mereka berhenti, menunggu perkembangan keadaan. Para pemimpin di padesan yang baru saja ditinggalkan pasti akan memberinya isyarat untuk melakukan sesuatu gerakan.

Meskipun demikian, Wigatri tidak lengah dengan menempatkan beberapa orang anggautanya untuk mengawasi keaadan.

Ketegangan yang merata telah mencengkam seluruh padesan tempat pemusatan pasukan pengawal Tanah Perdikan Menoreh dan tempat-tempat pengungsian keluarga mereka. Para pengawal sama sekali tidak melepaskan senjata-senjata mereka dari tangan. Bahkan hampir setiap laki-laki, tua muda yang meskipun bukan pasukan pengawal, namun mereka telah menempatkan diri dalam barisan.

Ketika malam menjadi semakin malam, maka ketegangan pun menjadi semakin memuncak. Beberapa orang petugas sandi secara terus-menerus melaporkan tentang gerakan lawan.

“Mereka telah berada di depan hidung kita,” berkata salah seorang petugas sandi.

Samekta, Kerti, Wrahasta, dan para pemimpin yang lain berdiri tegak di mulut lorong desa, di luar regol. Mata mereka beredar di kegelapan, seolah-olah ingin melihat, apa saja yang tersembunyi di balik layar yang hitam pekat itu.

Tiba-tiba hampir berbareng mereka tersentak. Mereka melihat seleret api di kejauhan. Obor.

“Aku melihat obor,” desis Kerti.

“Ya,” sahut Wrahasta.

Tetapi dada mereka menjadi semakin berdebar-debar ketika tiba-tiba obor itu seolah-olah terpecah menjadi percikan api yang berpuluh-puluh jumlahnya dan berpencaran di hadapan pemimpin pasukan pengawal Tanah Perdikan Menoreh itu pada jarak yang tidak terlampau jauh.

“Mereka berusaha untuk mengepung padesan ini,” desis Samekta.

Kerti dan Wrahasta mengangguk-anggukkan kepala mereka. Tanpa sesadarnya mereka berpaling dan melihat beberapa buah planggrangan pada carang-carang pering ori. Beberapa orang pengawal dengan busur di tangan mereka telah siap untuk menyambut kedatangan lawan.

“Mereka sudah siap,” desis Wrahasta. “Pasukan yang lain pun telah siap. Kita akan menutup regol ini dan menyambut mereka dengan lontaran tombak-tombak apabila mereka mencoba memecahkan pintu. Pasukan kita tidak akan mendekati pintu itu, sehingga dengan demikian tidak akan mungkin terjadi salah bidik.”

“Bagus,” sahut Samekta. “Kita bertahan di dalam lingkungan pering ori. Tetapi siapakah yang memimpin pasukan di tempat pengungsian itu?”

“Untuk sementara mereka dipimpin oleh pimpinan kelompok masing-masing sambil menunggu perintah lebih lanjut.”

Samekta mengerutkan keningnya. Kemudian katanya, “Salah satu orang dari kita harus ke sana.”

“Aku akan pergi” sahut Kerti.

Kerti tidak menunggu jawaban. Segera ia pergi mengambil seekor kuda. Bersama dua orang pengawal ia meninggalkan desa itu menuju ke desa sebelah untuk memimpin pasukan pengawal yang sedang berusaha melindungi para pengungsi dan anak-anak.

Seorang penghubung telah dikirim pula oleh Samekta untuk memberitahukan hal itu kepada Ki Argapati sambil melaporkan segala persiapan yang telah dilakukannya.

Ki Argapati mendengarkan laporan itu dengan dada yang berdebar-debar. Tetapi ia tidak dapat berbuat sesuatu. Setelah ia menjadi tenang, maka ia menyadari betapa lukanya itu sangat berbahaya, apabila ia tidak berhasil mengendalikan diri. Tetapi apabila keadaan menjadi semakin memuncak, apakah ia akan berbaring terus di pembaringannya?

Dengan pandangan mata yang sayu dan wajah yang pucat ia berkata kepada Pandan Wangi, “Lihatlah apa yang terjadi.”

“Baik, Ayah,” jawab Pandan Wangi.

“Aku harus mendengar setiap perkembangan yang terjadi.”

“Ya, Ayah”

Dan Pandan Wangi itu pun segera minta diri kepada ayahnya, turun ke halaman dan pergi ke ujung lorong. Dengan langkah yang tetap dan dada tengadah ia berjalan menyusuri jalan padesan. Tangan kanannya tanpa disadarinya telah meraba-raba hulu pedangnya.

Tetapi langkahnya tiba-tiba terhenti ketika ia melihat seorang anak muda yang bertubuh raksasa berdiri di pinggir jalan sambil membungkuk hormat kepadanya.

“Ah,” Pandan Wangi berdesah.

“Kemana kau, Wangi?” bertanya Wrahasta.

“Ayah menyuruh aku melihat apa yang sebenarnya terjadi ke ujung jalan.”

“Desa ini sudah dikepung.”

“Itulah yang akan aku lihat.”

“Kita harus bekerja dengan sepenuh tenaga. Bukan kita berkecil hati, Wangi, tetapi kita tidak boleh mengabaikan kenyataan, bahwa kita berada dalam kesulitan.”

Pandan Wangi menyadari pula akan hal ini. Karena itu maka ia pun menganggukkan kepalanya sambil menjawab, “Ya Wrahasta. Kita semua menyadarinya. Tetapi kita tidak dapat berbuat lain daripada bertempur. Bertempur sampai kemungkinan yang terakhir.”

Wrahasta mengangguk-anggukkan kepalanya. Katanya, “Mungkin masih ada jalan. Kita masih dapat surut beberapa langkah ke padesan yang lain. Seandainya hal ini harus terjadi, maka kita harus berdasar pada suatu kemungkinan, bahwa kita akan dapat merebut semua kedudukan kembali.”

Pandan Wangi tidak menjawab, Tetapi debar jantungnya menjadi semakin cepat. Apalagi ketika ia mendengar Wrahasta berkata, “Meskipun demikian, Wangi, aku masih menyisihkan waktu untuk kepentingan pribadiku.”

“Ah,” sekali lagi Pandan Wangi berdesah, “kita semua sedang disibukkan oleh tugas kita masing-masing.”

“Pandan Wangi,” kata-kata Wrahasta menurun, “mungkin aku tidak akan dapat melihat matahari terbit esok pagi. Namun sebelum itu aku ingin mendengar jawabanmu. Aku ingin kepastian, Wangi, bukan sekedar teka-teki.”

Terasa tubuh Pandan Wangi menjadi gemetar oleh debar yang semakin meugguncang dadanya. Namun dengan demikian justru mulutnya seakan-akan menjadi terbungkam.

“Kenapa kau diam saja, Wangi?”

Pandan Wangi menjadi semakin bingung. Ia tidak tahu, jawaban apakah yang sebaiknya diucapkan. Beberapa saat yang lalu ia telah mencoba memberikan harapan di hati anak muda yang bertubuh raksasa itu, meskipun tidak memancar dari lubuk hatinya. Dan kini sekali lagi ia dihadapkan pada kesulitan yang sama.

Untuk mengalihkan pembicaraan, Pandan Wangi mencoba mengelak, “Ayah menunggu aku, Wrahasta. Aku harus segera pergi ke gardu di ujung lorong ini.”

“Kau hanya memerlukan waktu sekejap untuk mengucapkan sepatah kata, Wangi.”

Dada Pandan Wangi menjadi semakin pepat. Sedang punggungnya telah menjadi basah oleh keringat dingin. Saat yang dihadapi oleh Tanah Perdikan Menoreh adalah saat yang paling gawat. Kalau saja ia bukan puteri Kepala Tanah Perdikan, maka Wrahasta tidak akan dapat mempergunakan saat-saat yang demikian ini untuk menekankan maksudnya.

Meskipun Pandan Wangi tidak menyangsikan kesetiaan Wrahasta atas Tanah ini, namun ia menyadari, bahwa keadaan anak muda ini dapat menggoncangkan perasaannya apabila ia menjadi kecewa.

Dalam kebingungan itu, tiba-tiba Pandan Wangi menarik nafas dalam-dalam ketika ia melihat sekelompok peronda lewat. Dengan serta-merta ia bertanya, “Di manakah paman Samekta dan paman Kerti?”

Tetapi yang menjawab adalah Wrahasta, “Paman Samekta berada di regol desa, sedang Paman Kerti pergi ke tempat pengungsian. Ia harus memimpin pasukan yang berada di sana.”

Dada Pandan Wangi kembali menjadi berdebar-debar ketika para peronda itu meneruskan langkahnya.

Sejenak kemudian mereka berdua berdiri mematung dalam kediaman. Yang terdengar lamat-lamat adalah suara angkup nangka dan derik jengkerik di kebun.

Namun tiba-tiba mereka berpaling ketika mereka mendengar langkah tergesa-gesa menuju ke arah mereka. Beberapa langkah lagi orang itu berhenti, sambil berdesis, “Wrahasta?”

“Ya,” sahut Wrahasta.

“Ki Samekta memanggilmu.”

“Mengapa?”

“Obor-obor itu mulai bergerak.”

Wrahasta mengerutkan keningnya. Tiba-tiba ia melangkah dengan tergesa-gesa meninggalkan Pandan Wangi yang masih berdiri termangu-mangu, diikuti oleh orang yang memanggilnya.

Pandan Wangi menarik nafas dalam-dalam. Untuk sementara ia dapat melepaskan dirinya dari cengkaman kebingungan. Namun kemudian kakinya segera terayun menyusul Wrahasta. Ia pun ingin segera tahu, apa yang telah terjadi.

Di muka regol Samekta berdiri dengan tegangnya. Ketika Wrahasta kemudian telah berada di sampingnya, ia berkata, “Lihat, orang-orang Sidanti benar-benar ingin mengepung padesan ini dari segala arah.”

“Bodoh sekali,” desis Wrahasta.

“Jangan segera mengambil kesimpulan itu. Kita tidak tahu kemantapan pasukan mereka. Mereka mungkin hanya menyebarkan obor keliling desa ini, sedang ia menempatkan kekuatan mereka pada tempat yang telah mereka perhitungkan.”

Wrahasta mengerutkan keningnya. Tiba-tiba mereka berpaling ketika mereka mendengar suara Pandan Wangi, “Tetapi gelar itu bukan gelar yang baik untuk menyerang.”

Samekta mengangguk-anggukkan kepalanya. Dengan mantap ia menyahut, “Kau benar, Wangi. Ternyata pandanganmu mengenai gelar keprajuritan cukup tajam meskipun kau belum pernah mempelajarinya dengan sungguh-sungguh. Dengan menebarkan orang-orangnya, Sidanti pasti akan mengambil sikap itu.”

Pandan Wangi tidak menyahut. Tetapi wajahnya menjadi berkerut mendengar pujian itu. Apalagi ketika disadarinya bahwa beberapa orang memandanginya dengan berbagai macam tanggapan yang kurang dimengertinya.

“Meskipun demikian,” berkata Samekta, “kita tidak boleh lengah. Kita tidak dapat melihat apa yang telah mereka persiapkan sebenarnya. Kita tidak tahu apa yang terdapat di kegelapan itu. Kita hanya melihat obor-obor itu terpencar. Tetapi apakah orang-orang mereka benar-benar terpencar, masih belum kita ketahui. Kita masih menunggu beberapa petugas sandi kita.”

Pandan Wangi akan menyahut. Tetapi terasa bahwa Samekta telah meluruskatn tanggapannya atas pasukan lawan meskipun sebagian terbesar pendapatnya dibenarkan.

“Ayah minta aku memberitahukan apa yang terjadi,” berkata Pandan Wangi kemudian.

“Ya, tunggulah sampai ada perkembangan seterusnya. Sampai saat ini kita tidak melihat sesuatu yang mencemaskan.”

“Tetapi ayah menunggu.”

“Seseorang akan menghubungi Ki Argapati dan menyampaikan laporan bahwa keadaan tidak berubah. Kau masih tetap di sini menunggu perkembangan.”

Pandan Wangi mengangguk-anggukkan kepalanya. Kepada penghubung itu ia berpesan, bahwa apabila keadaan meningkat, ia sendiri akan datang memberitahukan kepada ayahnya.

“Kita dapat beristirahat sejenak,” berkata Samekta, “sementara pengawasan akan diperketat.”

“Bagaimana dengan pasukan berkuda?”

“Aku sudah memesan mereka, agar mereka tidak meninggalkan padesan ini sebelum ada isyarat. Mereka akan jemu menunggu perkembangan berikutnya tanpa berbuat sesuatu.”

“Tidak, mereka pasti juga melihat obor-obor itu,”

Wrahasta tidak menjawab.

Sejenak kemudian para pemimpin itu pun pergi ke tempat pimpinan untuk beristirahat dan berbicara tentang keadaan. Pandan Wangi ikut bersama mereka. Ia tidak mau terpisah dari orang-orang lain, supaya Wrahasta tidak mendapat kesempatan untuk menyudutkannya ke dalam kesulitan.

Sementara itu, di seputar padesan, pasukan Sidanti mengepung dengan seluruh kekuatan. Meskipun demikian, mereka memang tidak akan segera menyerang. Mereka sedang mempertimbangkan kekuatan yang ada di kedua belah pihak. Gerakannya kali ini hanya sekedar memberikan tekanan-tekanan kepada hati pasukan Argapati, sambil menjajagi keadaan. Karena itu, maka pasukan itu tidak segera mengadakan gerakan sama sekali. Mereka berada di tempatnya sambil menggenggam senjata masing-masing. Meskipun demikian mereka memerlukan seluruh kekuatan yang ada, supaya apabila setiap saat justru pasukan Argapati yang menyergap mereka, mereka tidak menjadi terpecah-belah dan kalang kabut.

Bahkan di dalam pasukan itu ikut pula Ki Tambak Wedi sendiri, beserta Sidanti dan Argajaya.

“Apakah yang dapat kita ketahui dengan penjajagan ini, Guru?” bertanya Sidanti.

“Kita sekedar melihat suasana. Apabila keadaan yang demikian ini terjadi berulang-ulang, maka pasti akan berpengaruh atas kebulatan hati mereka. Semakin lama mereka pasti akan menjadi kecut dan berkecil hati. sehingga pada saatnya, kita akan meruntuhkan segenap keberanian mereka. Sementara itu kita akan dapat mengetahui apakah sebenarnya kekuatan yang mencampuri keadaan ini cukup berat sehingga kita perlu memperhitungkannya.”

Sidanti mengerutkan keningnya. Sambil bertolak pinggang ia berdiri tegak memandangi cahaya lampu yang berkeredipan di dalam padesan di hadapannya yang meloncat dari sela-sela rimbunnya pering ori yang melingkari desa itu. Sebuah obor menyala di pintu regol. Lamat-lamat Sidanti dapat melihat beberapa orang yang hilir-mudik di bawah obor di luar regol itu.

“Mereka tidak menutup pintu regol,” desis Sidanti

“Mereka bukan orang-orang yang terlampau bodoh,” sahut Argajaya, “sehingga mereka mengerti, bahwa cara kita ini sama sekali bukan gelar untuk menyerang mereka. Obor-obor yang tersebar itu hanya sekedar memberikan kesan bahwa kita akan mengepung mereka supaya mereka terpisah dari lingkungan di luar kedua desa sebelah-menyebelah ini. Tetapi mereka pun sadar bahwa mereka pasti akan dapat memecahkan kepungan yang terlampau tipis ini.”

“Ya,” sahut Tambak Wedi, “memang bukan itu tujuan kita. Kita akan membuat mereka menjadi cemas, gelisah, dan perasaan-perasaan lain yang tidak menentu. Apalagi dalam saat Argapati sedang luka parah. Aku mengharap bahwa Argapati tidak dapat mengendalikan diri, sehingga keadaan ini telah membuatnya semakin parah.”

Argajaya tidak menyahut. Ia dapat mengerti tujuan Ki Tambak Wedi yang mempergunakan berbagai cara untuk mtnghancurkan lawannya. Tidak saja dengan kekuatan badaniah, tetapi denggan memypengaruhi segi kejiwaan lawannya, ia berusaha memperlemah daya perlawanaan mereka.

Tetapi yang terlebih penting adalah usaha Ki Tambak Wedi untuk menilai kekuatan lawan secara langsung. Ternyata beberapa orang yang berhasil merayap mendekati regol di dalam kegelapan, telah kembali kepadanya.

“Apa yang kau lihat?” bertanya Sidanti tidak sabar.

“Beberapa orang pemimpin yang berdiri di luar regol,” jawab penghubung itu. “Tetapi sekarang mereka telah masuk lagi.”

“Ya, mereka pasti menganggap bahwa gerakan ini tidak terlampau berbahaya, meskipun mereka cukup bersiaga,” sahut Sidanti.

“Tetapi siapakah yang kau lihat?”

“Samekta, Wrahasta, Pandan Wangi, dan beberapa orang pemimpin pengawal yang lain.”

“Apakah ada orang yang belum kau kenal yang pantas kau curigai sebagai orang yang bukan berasal dari tanah perdikan ini di antara mereka?”

Orang Sidanti yang berhasil mendekati regol padesan tempat pemusatan pasukan pengawal tanah perdikan itu mencoba mengingat-ingat siapa sajakah di antara mereka yang berada di regol desa. Wajah-wajah mereka adalah wajah-wajah yang tidak asing lagi baginya, meskipun ada di antara mereka yang belum dikenalnya. Tetapi sama sekali tidak ada kesan bahwa di antara mereka ada orang yang tidak dikenal.

Karena itu maka jawabnya sambil menggelengkan kepalanya, “Aku tidak melihat yang pantas aku curigai. Mereka adalah orang-orang Menoreh.”

Ki Tambak Wedi mengerutkan keningnya. Teka-teki tentang kelompok kecilnya di Pucang Kembar sampai saat itu masih belum terjawab.

“Tidak ada orang lain,” tiba-tiba Sidanti berdesis.

“Belum dapat dipastikan,” sahut Ki Tambak Wedi, “mungkin mereka berada di dalam regol.”

Orang yaug berhasil keluar dari padesan itu pun tidak mengatakan bahwa ada orang-orang yang tidak dikenal berada di dalam desa itu.

Ki Tambak Wedi mengerutkan keningnya.

“Yang datang bersama Ki Argapati yang terluka itu pun hanya Pandan Wangi, Kerti, dan beberapa pengawal yang semua telah di kenalnya sebagai orang-orang Menoreh,” sambung Sidanti pula.

“Ya, ya,” sahut Ki Tambak Wedi, “mungkin juga begitu. Tetapi hatiku belum mantap. Aku masih ingin melihat dan menunggu beberapa hari. Tetapi padesan ini harus tetap kita awasi. Kita akan meletakkan sebagian dari kekuatan kita di padesan terdekat, dengan jalur-jalur penghubung yang baik dengan induk tanah perdikan ini.”

Sebelum Sidanti menjawab terdengar suara tertawa Ki Muni yang berdiri di belakang Ki Tambak Wedi, “Kapan pun kita melakukannya akibatnya tidak akan jauh berbeda. Kita tidak perlu tergesa-gesa. Tetapi seandainya sekarang pun, tidak akan banyak terdapat rintangan-rintangan. Aku sudah melihat apa yang akan terjadi. Dari ilmuku aku tahu bahwa Argapati sekarang sedang sekarat. Malam nanti, selambat-lambatnya besok pagi, ia akan mati. Memang terdapat perlawanan yang baik dari dalam dirinya yang memiliki kekuatan yang luar biasa. Tetapi kekuatan itu juga terbatas.” Ki Muni berhenti sejenak. Sambil mengerutkan dahinya ia berkumat-kamit. Kemudian katanya, “Pada saat Argapati mati, maka seluruh kekuatan pasukannya akan terpukul dari dalam diri mereka sendiri. Keberanian, tekad, dan kemauan mereka akan runtuh bersama mayat Argapati yang akan dikuburkan di dalam bumi. Nah, kalian tidak akan terlampau sulit untuk mengalahkannya. Dengan bersorak-sorak dan berteriak-teriak saja kalian akan dapat mematahkan perlawanan mereka. Dan mereka pun akan tidak ubahnya seperti kerbau yang paling bodoh.”

Ki Tambak Wedi mengerutkan keningnya. Ia tidak mempergunakan perhitungan serupa itu menghadapi Argapati. Tetapi ia tidak menolak keterangan Ki Muni itu. Sebab menurut keyakinan Ki Tambak Wedi sendiri, memang ada ilmu yang dapat melihat peristiwa-peristiwa yang akan terjadi, seperti apa yang pernah dipelajarinya meskipun tidak mendalam. Tetapi menghadapi Argapati, ia lebih cenderung mempergunakan perhitungan tata keprajuritan. Keteguhan hati Argapati pasti akan mempersulit penglihatannya melalui ilmu-ilmunya yang masih belum sempurna.

Namun ia tidak mengerti, betapa jauh Ki Muni menguasai ilmu serupa itu. Tetapi apa yang dikatakannya memang masuk akal. Argapati akan mati, malam ini atau besok pagi-pagi. Pasukannya akan kehilangan gairah perlawannya dan akan segera dapat dikalahkan.

Meskipun demikian Ki Tambak Wedi masih juga ragu-ragu.

“Kita pasti tidak akan memasuki tempat itu malam ini,” tiba-tiba ia bergumam. “Kita masih belum mendapatkan kemantapan.”

“Itu pun tidak menjadi soal,” jawab Ki Muni. “Adalah lebih baik apabila kita menunggu Argapati mati. Kita tidak akan melepaskan korban terlampau banyak.”

“Tetapi bagaimana kalau ia nanti dapat sembuh,” potong Sidanti.

“Penglihatanku tidak pernah salah,” sahut Ki Muni. “Hanya oleh sebab yang tidak terduga-duga hal itu dapat terjadi. Tetapi hal yang tidak terduga-duga itu pun tidak aku lihat, sehingga sembilan dari sepuluh kemungkinan, Argapati akan mati.”

“Apakah Ki Muni dapat juga melihat hadirnya kekuatan dari luar Menoreh pada pihak Ki Gede?” bertanya Sidanti tiba-tiba.

Wajah Ki Muni menjadi berkerut-merut. Ditatapnya wajah Sidanti sejenak. Kemudian sambil menggelengkan kepala ia menjawab, “Aku belum berusaha melihatnya. Aku baru berusaha melihat kemungkinan yang akan terjadi pada Ki Gede. Aku ternyata khilaf, bahwa aku tidak melihat kemungkinan itu sama sekali.”

Sidanti menarik keningnya. Tetapi ia tidak berkata apa pun, ia agak kurang tertarik dengan cara yang dipergunakan oleh Ki Muni. Baginya, perhitungan jasmaniahlah yang paling baik dipergunakan didalam gelar perang seperti saat ini.

“Baiklah, kita menunggu segala kemungkinan dan perkembangan keadaan. Tetapi kita tetap di tempat. Kita kepung desa ini supaya pasukan Argapati menjadi tintrim dan cemas menghadapi keadaan mereka di saat-saat mendatang. Seandainya kita masih belum mendapatkan kepastian, maka besok malam hal yang serupa ini pun akan kita lakukan, sementara itu petugas-petugas sandi akan berusaha melihat apa yang ada di dalam lingkungan pagar pering ori itu.”

Tidak ada seorang pun yang menjawab. Argajaya agaknya telah kehilangan gairah untuk ikut campur dalam percakapan itu. Betapapun juga Argapati adalah saudara kandungnya. Kemungkinan bahwa kakaknya itu akan mati, ternyata mempengaruhi pikirannya pula. Kadang-kadang timbullah keragu-raguannya atas kemungkinan yang akan dapat dicapai dengan caranya ini. Sesudah Argapati dikalahkan, bagaimana dengan dirinya? Apakah ia akan berhasil mengusir Ki Tambak Wedi dan Sidanti?

“Tetapi Sidanti bukan trah Argapati dan ia tidak akan berhak untuk mempergunakan nama itu dan gelar Ki Gede Menoreh,” katanya di dalam hati, namun kemudian, “Tetapi apakah aku mampu menghadapinya, dan apakah orang-orang Menoreh mempercayainya seandainya aku mengatakan keadaan yang sebenarnya.”

Keragu-raguan yang tajam telah meledak di dalam hati Argajaya. Sekali-sekali disambarnya wajah Sidanti, kemudian wajah Ki Tambak Wedi. Kedua wajah itu memang mirip. Sidanti memang bukan hanya sekedar murid Ki Tambak Wedi.

Terbayang di rongga mata Argajaya bayangan wajah kakak iparnya, Rara Wulan. Menurut anggapannya saat itu, Rara Wulan adalah seorang perempuan yang paling baik yang dikenalnya. Seorang penurut. Seorang yang sangat berbakti kepada suaminya. Seorang yang tidak pernah menimbulkan persoalan di dalam rumah tangganya.

“Semua itu hanya sekedar tebusan dari dosa-dosanya,” gumamnya di dalam hati.

Ketika Argajaya menarik nafas dalam-dalam, ia melihat Sidanti memandanginya. Hanya sekilas, kemudian anak muda itu melangkah beberapa langkah dan duduk di atas rerumputan yang basah oleh embun. Sejenak kemudian Ki Tambak Wedi pun melangkah pergi diiringi oleh Ki Muni, sedang Argajaya masih tetap berada di tempatnya.

Argajaya pun kemudian meletakkan dirinya pula, duduk di atas sebuah batu sambil memandangi padesan di depannya. Desa kecil yang berpagar rapat dengan batang-batang pering ori. Beberapa berkas cahaya lampu memancar menggores gelapnya malam.
Sekali lagi Argajaya menarik nafas dalam-dalam. Ia terkejut ketika seseorang menggamitnya. Ketika ia berpaling dilihatnya Ki Wasi duduk di belakang.

“He,” sapa Ki Wasi, “apakah yang kau renungkan?”

“Tanah ini,” sahut Argajaya.

Ki Wasi bergeser selangkah maju dan duduk di sisi Argajaya. Tanpa sesadarnya ia pun merenungi desa di hadapannya. Kemudian ditebarkannya pandangan matanya ke sekelilingnya. Tidak ada orang lain yang berada di dekatnya.

“Akhirnya api berkobar tanpa dapat dikendalikan,” desis Ki Wasi.

Argajaya menganggukkan kepalanya. “Ya. Tanah ini telah terbakar hangus. Kelak kita hanya akan mendapatkan abunya saja.”

Ki Wasi mengangguk-anggukkan kepalanya. Katanya, “Aku kehilangan pertimbangan, yang manakah sebenarnya yang paling baik aku lakukan. Ketika aku melihat kau berdiri di pihak Sidanti, maka aku yang dicengkam oleh keragu-raguan segera memisahkan diri dari Ki Argapati.”

“Ya,” sahut Argajaya.

“Sayang, bahwa Argapati lebih senang kepada kedudukannya daripada kepada anak laki-lakinya, yang sebenarnya dapat menjadi penerus cita-citanya.”

Terasa dada Argajaya berdesir. Namun ia menjawab terbata-bata, “Ya, ya. Kakang Argapati tidak mau mengalah.”

“Angger Argajaya,” berkata Ki Wasi, “apakah Angger Argajaya sama sekali tidak mempunyai pengaruh untuk memperingatkan Ki Argapati agar ia mengurungkan niatnya memusuhi puteranya sendiri? Yang paling menderita dalam persoalan ini adalah Menoreh. Pertentangan antara ayah dan anak itu akan membenturkan kekuatan-kekuatan yang ada di dalam Tanah ini. Apabila Ki Argapati bersedia mengalah, kemudian memberikan kesempatan kepada yang muda untuk ikut memimpin pemerintahan meskipun masih tetap dalam pengawasan yang tua-tua, maka keadaan akan menjadi berbeda. Sebaliknya Sidanti juga jangan meninggalkan ayahnya sama sekali, yang sampai saat ini telah menunjukkan kemampuannya, menjadikan Menoreh Tanah Perdikan yang besar dan disegani.”

Argajaya hanya dapat mengangguk-anggukkan kepalanya. “Ya, Ki Wasi. Memang seharusnya demikian.”

Tetapi Argajaya tidak mengatakan kepada Ki Wasi hubungan yang sebenarnya antara Argapati dan Sidanti. Juga hubungan antara Sidanti, Ki Tambak Wedi, dan dirinya sendiri dengan Pajang. Juga tidak tentang nafsu yang menyala-nyala di dalam dada Sidanti dan sudah tentu di dalam dadanya sendiri, untuk meloncat ke jenjang yang paling atas dari segala macam jabatan.

“Sekarang keadaan telah menjadi parah,” sambung Ki Wasi. “Ki Argapati sendiri mengalami luka-luka parah dan tidak seorang pun yang dapat menolongnya. Aku pun tidak, meskipun sebelum ini aku terlampau dekat dengan Ki Gede.”

Argajaya tidak menyahut. Ketika ia berpaling dilihatnya mata Ki Wasi menjadi suram. Pandangan mata yang suram itu seolah-olah meluncur jauh menembus dinding pering ori yang rapat itu. Dan tiba-tiba Argajaya mendengar Ki Wasi bergumam, “Lepas dari semua masalah, adalah kewajibanku untuk menyembuhkan orang yang sakit. Sebenarnya aku ingin pergi mendapatkan Ki Argapati. Tetapi agaknya Ki Argapati sendiri telah menutup kemungkinan itu. Ki Argapati atau orang yang dekat denganya, mungkin Samekta, mungkin Kerti, atau mungkin Angger Wrahasta, telah melarang dan menolak aku dan Ki Muni.”

Argajaya mengangguk-anggukkan kepalanya.

“Tanpa ilmu macam apa pun, memang sudah dapat diramalkan bahwa Ki Argapati akan menemui ajalnya.” suara Ki Wasi merendah. “Sayang. Sayang sekali.”

Argajaya seolah-olah membeku di tempatnya. Seperti Ki Wasi, ia pun kemudian memandangi keredip lampu minyak di dalam padesan itu. Ditatapnya kemudian nyala obor di depan regol. Kemudian terdengar ia berdesah perlahan-lahan.

Sementara itu, Samekta, Wrahasta, dan Pandan Wangi sedang duduk melingkari lampu minyak di atas ajuk-ajuk yang rendah. Mereka berkesimpulan bahwa Sidanti tidak akan menyerang malam ini.

“Mereka ingin meruntuhkan ketahanan hati kita,” berkata Samekta. “Meskipun demikian, kita tidak boleh kehilangan kewaspadaan.”

“Mereka pasti menyangka bahwa luka Ki Gede menjadi semakin parah,” sahut Wrahasta.

“Tetapi pasti ada sesuatu yang menahan mereka. Kalau mereka yakin Ki Gede menjadi semakin parah, maka mereka pasti akan menyerang malam ini. Dan sudah tentu mereka tidak akan memasang gelar seperti saat ini.”

“Kita hanya dapat menunggu perkembangan berikutnya.”

“Kita tahan dulu pasukan berkuda itu untuk tidak melakukan gerakan apa pun. Terasa bahwa ada sesuatu yang masih harus dipertimbangkan oleh Ki Tambak Wedi. Sesuatu yang kita masih belum tahu dengan pasti.”

Wrahasta menganguk-anggukkan kepalanya. Tanpa disengaja dipandanginya mata Pandan Wangi yang suram. Tetapi gadis itu menunduk dalam-dalam.

Meskipun Pandan Wangi seolah-olah tidak ikut di dalam pembicaraan itu, namun di dalam hatinya ia sedang mencoba mencari-cari kebenaran kata-kata Samekta, bahwa Ki Tambak Wedi masih harus mempertimbangkan sesuatu. Sesuatu yang belum dapat dimengertinya. Tetapi dalam pada itu Pandan Wangi mencoba menghubungkannya dengan orang-orang bercambuk yang telah memberi obat kepada ayahnya dan yang telah melepaskannya dari tangan Ki Peda Sura.

“Mereka tidak hanya satu orang,” berkata Pandan Wangi di dalam hatinya. “Yang aku lihat pasti bukan yang dilihat oleh ayah. Bukan karena namanya berbeda. Nama dapat dibuat seribu macam bagi seseorang. Tetapi ciri orang yang menolongku itu sama sekali tidak sama dengan anak muda yang menyerahkan obat itu kepada ayah. Yang menurut ayah, adalah seorang anak muda yang gemuk. Persamaan di antara mereka adalah keduanya mempergunakan cambuk sebagai senjata mereka, atau sebagai tanda pengenal mereka. Orang-orang itulah agaknya yang sedang dipertimbangkan oleh Ki Tambak Wedi. Mungkin yang dikatakan oleh Gupita ayahnya itulah yang harus diperhitungkan oleh Ki Tambak Wedi. Ayah Gupita yang sampai saat ini masih belum dapat dikenal siapakah orangnya.”

Tetapi Pandan Wangi menyimpan pendapatnya itu di dalam hati. Ia tidak mengerti, kenapa tiba-tiba saja ia tidak ingin mempersoalkan anak-anak muda bercambuk itu di hadapan Wrahasta.

Sementara itu malampun menjadi semakin malam. Para penjaga dan para peronda tidak melihat gerakan-gerakan yang berbahaya dari pasukan Sidanti. Beberapa di antara obor-obor mereka telah padam karena kehabisan minyak. Tetapi petugas-petugas sandi telah tersebar di tengah-tengah sawah, di antara kedua pasukan yang telah siap itu. Petugas sandi dari kedua belah pihak. Mereka saling mengintai untuk melihat apabila ada gerakan-gerakan yang aneh dan tanpa terduga-duga.

Di tepi pategalan, di ujung bulak, pasukan berkuda yang dipimpin oleh Wigatri menunggu dalam kegelisahan. Tetapi karena mereka melihat obor yang berkeredipan di seputar desa tempat pemusatan pasukan pengawal Tanah Perdikan Menoreh, maka segera mereka menyadari, bahwa pasukan Sidanti benar-benar telah mengepung desa itu. Karena itu, maka mereka terpaksa menyabarkan diri mereka, menunggu isyarat yang akan diberikan, apabila diperlukan.

“Apakah kita hanya akan menunggu semalam suntuk?” bertanya salah seorang dari mereka kepada Wigatri.

“Kita hanya dapat menunggu. Aku mendapat pesan, bahwa setiap gerakan yang akan kita lakukan, harus berdasarkan kepada isyarat yang akan diberikan. Mungkin kita harus pergi dan menarik perhatian pasukan lawan itu di tempat-tempat lain dengan menyalakan api yang cukup besar. Tetapi mungkin juga kita diperlukan untuk membantu mengurangi kepungan itu.”

Sambil mengangguk-anggukkan kepalanya, anak muda yang bertanya kepadanya melangkah pergi, kembali ke kudanya. Namun tampak kegelisahan menyekat rongga dadanya. Meskipun demikian mereka masih cukup sabar menunggu segala macam perintah dan mentaatinya.

Sebenarnya Wigatri sendiri pun telah menjadi gelisah pula. Sekali-sekali dibelainya leher kudanya yang diikatkannya pada sebatang pohon. Kemudian berjalan hilir-mudik sambil menundukkan kepalanya. Beberapa orang yang lain duduk terpencar di atas rerumputan sambil membelai senjata-senjata mereka. Namun demikian, beberapa di antara mereka yang sedang bertugas untuk mengawasi keadaan, telah berada di tempatnya dengan sepenuh kewaspadaan.

“Kalian dapat beristirahat sebaik-baiknya,” berkata Wigatri kepada kawan-kawannya yang tidak sedang bertugas. “Kalian boleh berbaring atau apa pun. Tetapi setiap saat kalian harus sudah siap meloncat ke punggung kuda kalian.”

Maka beberapa orang dari mereka pun kemudian dengan tenangnya berbaring di rumput yang basah oleh embun. Tetapi kehangatan dada mereka membuat mereka sama sekali tidak merasakan betapa dinginnya malam. Bahkan ada di antara mereka yang duduk di antara sadar dan tidak karena diserang oleh kantuk. Sebagian terbesar dari mereka memperhitungkan, bahwa malam ini mereka hanya sekedar berpindah tidur saja dari barak-barak mereka di dalam padesan.

Sebenarnyalah bahwa malam itu tidak ada sesuatu yang terjadi. Menjelang fajar, Sidanti telah menarik pasukannya. Namun seperti yang telah dipesankan Ki Tambak Wedi untuk menempatkan beberapa bagian dari pasukannya di tempat yang lebih dekat dengan padesan tempat pemusatan pasukan pengawal Tanah Perdikan Menoreh.

“Kita harus berusaha agar mereka tidak mendapat kesempatan mengumpulkan bahan makanan,” berkata Ki Tambak Wedi.

“Tetapi persediaan mereka masih cukup banyak,” jawab Sidanti.

Tetapi Ki Muni menggeleng. “Tidak. Aku yakin bahwa mereka akan kehabisan padi. Tetapi sebelum itu mereka pasti sudah menyerah apabila Argapati mati. Hanya satu dua orang saja dari mereka yang telah menjadi gila, akan mengadakan perlawanan terus.” Ki Muni berhenti sejenak. “Lalu setelah fajar menyingsing, aku ingin mendengar suara tangis Pandan Wangi, menangisi mayat ayahnya.”

“Seandainya benar Argapati mati,” sahut Ki Wasi, “hal itu pasti akan dirahasiakan untuk sementara.”

Ki Tambak Wedi menganggukkan kepalanya. “Ya. Pasti. Tetapi kita harus berusaha untuk selalu mendengar berita tentang Ki Argapati. Apakah sampai saat ini masih ada petugas sandi yang berada di dalam desa itu?”

“Ya,” sahut Argajaya, “masih ada dua orang kita di dalam desa itu. Keduanya adalah penduduk desa itu sendiri. Mereka tidak akan mudah keluar dari desa itu. Sehingga mereka hanya akan dapat memberikan isyarat-isyarat saja tentang keadaan di dalam.”

“Tetapi kita sulit untuk mengerti isyarat itu,” jawab Sidanti. “Kita tidak sempat membuat persetujuan, apakah yang akan dilakukan dan tanda-tanda apakah yang akan diberikan seandainya Argapati meninggal atau ada orang lain yang ikut campur di dalam peperangan ini.”

Argajaya tidak menjawab. Tetapi hal tersebut adalah memang benar.

Ki Tambak Wedi pun kemudian hanya dapat mengangguk-anggukkan kepalanya. Memang sulit baginya untuk dapat mengetahui keadaan di dalam lingkaran pering ori itu. Tetapi ia tidak segera menjadi putus asa. Kedua orang itu pasti akan menemukan akal untuk menyampaikan berita terutama berita terpenting dari dalam, seandainya mereka benar-benar tidak dapat lolos lagi dengan cara apa pun.

Dalamn pada itu, ketika pasukan Tambak Wedi ditarik dari sekitar tempat pemusatan pengawal Tanah Perdikan Menoreh, maka para penghuni desa itu pun merasa seolah-olah mereka dapat mulai bernafas lagi. Tetapi itu bukan berarti bahwa bahaya yang sebenarnya telah lenyap. Mereka menyadari, bahwa di siang hari pun kemungkinan yang sama akan dapat terjadi. Bahkan mungkin pada saatnya Ki Tambak Wedi akan menyerang desa itu di siang hari.

Pandan Wangi, yang telah berada di samping ayahnya, melaporkan semua yang terjadi. Ternyata bahwa pasukan kakaknya, Sidanti, hanya sekedar membuat suatu gerakan untuk mengetuk ketabahan hati para pengawal Tanah Perdikan Menoreh.

***
Ki Argapati mengangguk-anggukkan kepalanya. Katanya perlahan-lahan, “Sidanti menuggu berita kematianku.”

Pandan Wangi tidak segera menyahut, tetapi kepalanya tertunduk dalam-dalam.

“Tetapi aku heran bahwa Sidanti tidak benar-benar menyerang malam ini,” gumam Ki Argapati kemudian. “Berita tentang lukaku yang parah pasti telah sampai kepada mereka.”

Pandan Wangi kemudian menganggukkan kepalanya pula. Jawabnya, “Kita memang menyangka bahwa Kakang Sidanti akan mempergunakan kesempatan ini.”

“Ternyata serangan itu tidak dilakukannya,” sambung ayahnya. “Dengan demikian kita akan dapat mengambil kesimpulan, bahwa Ki Tambak Wedi pasti memperhitungkan kemungkinan lain yang dapat terjadi.”

Pandan Wangi sekali lagi mengangguk-anggukkan kepalanya. Ternyata perhitunggan ayahnya sesuai dengan perhitungan Samekta dan para pemimpin yang lain. Bahkan Kerti yang kemudian kembali ke desa itu pun mengatakan serupa itu pula.

“Wangi,” berkata ayahnya, “agaknya Ki Tambak Wedi telah mencium hadirnya orang bercambuk itu di tlatah Menoreh. Aku tidak tahu, dalam bentuk apakah gambaran Ki Tambak Wedi itu, apakah ia memang sudah mengenalnya atau pernah mendengar namanya atau mungkin ia hanya menduga-duga, tetapi aku kira Ki Tambak Wedi memperhitungkan hadirnya kekuatan yang lain di atas tanah perdikan ini. Ketika kami bertempur di bawah Pucang Kembar, dan Ki Tambak Wedi berhasil melukai aku agaknya memang telah terjadi sesuatu yang tidak terduga-duga. Tambak Wedi yang menunggu kehadiran orang-orangnya yang memang sudah dipersiapkan menjadi kecewa. Bahkan yang datang hanyalah seorang yang telah terluka parah. Inilah agaknya yang menahan Ki Tambak Wedi untuk bertindak malam ini. Agaknya ia perlu menjajagi apa yang ada di dalam lingkungan pertahanan ini.”

Pandan Wangi masih mengangguk-anggukkan kepalanya. Dan ayahnya meneruskannya, “Tetapi hati-hatilah selanjutnya. Sebab sebagaimana kau ketahui, bahwa tidak ada kekuatan apa pun di luar kekuatan kita sendiri. Aku berterima kasih bahwa aku telah diselamatkan oleh obat yang diberikannya. Tetapi seandainya Ki Tambak Wedi tidak ragu-ragu dan menyerang malam tadi, mungkin kita sudah terpecah menjadi kepingan-kepingan yang sama sekali tidak berarti lagi.” Ki Argapati berhenti sejenak, lalu, “Namun sekarang kita pun masih harus berprihatin. Kalau daya kemampuan obat ini kemudian lenyap, maka tidak akan ada seorang pun yang dapat melanjutkan pengobatan atas lukaku. Aku tidak dapat membayangkan, apakah yang akan terjadi kemudian. Mungkin aku dapat mencoba mencari dedaunan yartg dapat menolong. Tetapi aku bukan seorang yang mempelajari ilmu pengobatan dengan baik. Karena itu keragu-raguan Ki Tambak Wedi harus kita manfaatkan. Pasukan berkuda itu mungkin dapat membantu. Mereka harus berbuat dan mencoba menghilangkan jejak mereka supaya mereka tidak dikenal sebagai orang-orang Menoreh. Dengan demikian, maka Ki Tambak Wedi akan tetap menganggap bahwa memang ada kekuatan lain yang hadir di atas Tanah Perdikan ini untuk mengimbanginya. Aku mempunyai pikiran, bahwa beberapa orang dari pasukan berkuda itu supaya mempergunakan cambuk yang panjang juntainya, tetapi bertangkai pendek. Aku mengharap, pasukan itu dapat menimbulkan persoalan baru bagi Ki Tambak Wedi, sementara kita menunggu, apakah sebenarnya yang dikehendaki oleh orang-orang bercambuk itu.”

Pandan Wangi mengangguk-angguk pula. Ia mengerti maksud ayahnya. Sebelum ayahnya mampu berbuat sesuatu, ayahnya akan mengaburkan perhitungan Ki Tambak Wedi dengan caranya. Orang-orang bercambuk itu agaknya telah menumbuhkan pikiran baru pada ayahnya. “Mudah-mudahan Ki Tambak Wedi pernah mendengar tentang orang-orang bercambuk itu,” katanya di dalam hati.

“Panggillah Samekta,” berkata Ki Argapati kemudian.

“Baik, Ayah,” jawab Pandan Wangi yang kemudian melangkah pergi meninggalkan ruangan itu. Tetapi Pandan Wangi tidak pergi sendiri. Ia masih selalu berusaha menghindari pertemuan seorang diri dengan Wrahasta. Sehingga karena itu, maka disuruhnya seorang pengawal untuk menyampaikan pesannya kepada Ki Samekta.

Samekta mendengarkan cara Ki Argapati itu sambil mengangguk-anggukkan kepalanya. Ia dapat mengerti maksud Ki Gede Menoreh. Namun ia bertanya, “Tetapi Ki Gede, bagaimanakah sikap orang bercambuk itu sendiri? Apakah Gupala, Gupita, dan orang yang diakuinya sebagai ayahnya itu tidak merasa terlanggar haknya?”

“Mudah-mudahan tidak, Samekta. Aku mengharap seandainya demikian, mereka akan menemui aku.”

Sekali lagi Samekta mengangguk-anggukkan kepalanya. Setelah berdiam sejenak ia berkata, “Kami akan mencoba Ki Gede. Aku akan membuat agar empat orang di antara mereka, menjadi bayangan dari orang-orang bercambuk itu. Mudah-mudahan hal ini justru tidak menumbuhkan persoalan baru bagi Menoreh.”

Demikianlah maka Samekta mencoba untuk memenuhi cara yang harus ditempuhnya menurut petunjuk Ki Gede Menoreh, untuk menunda gerakan Ki Tambak Wedi sampai pada suatu saat Ki Argapati telah menjadi berangsur baik, maka ia harus mengaburkan perhatian Ki Tambak Wedi dengan gelar sandi, seakan-akan ada unsur kekuatan baru yang harus diperhitungkan setidak-tidaknya oleh Ki Tambak Wedi.

Maka ketika malam kemudian mendekat, maka pasukan berkuda yang dipimpin Wigatri telah bersiap pula. Demikian mereka mendengar laporan bahwa pasukan Sidanti bergerak seperti malam kemarin mendekati desa, maka pasukan berkuda itu dilepas oleh Samekta dengan tugas yang khusus. Sekali lagi Samekta berpesan, jangan menimbulkan korban yang tidak berarti. Baik bagi anggauta pasukan berkuda itu sendiri, maupun pada sasaran yang akan dituju.

Samekta sendiri bersama Wrahasta dan Pandan Wangi berdiri tegak di muka regol desa untuk melihat obor-obor yang seolah-olah merayap mendekati mereka. Tetapi seperti malam yang lampau obor-obor itu berhenti pada jarak yang tidak terlampau dekat dalam gelar yang sama seperti yang pernah terjadi.

“Mereka masih belum akan menyerang,” desis Samekta. “Itu hanya sekedar pameran kekuatan.”

Wrahasta menganggukkan kepalanya. Jawabnya, “Aku juga menyangka demikian. Tetapi kemungkinan yang lain dapat terjadi. Apakah paman Kerti sudah siap di tempatnya?”

“Ya. Ia telah pergi ke desa sebelah.”

Kemudian mereka pun terdiam. Ki Argapati pun telah mendengar laporan, bahwa pasukan Sidanti telah datang untuk kedua kalinya. Dan bahwa pasukan Menoreh pun telah siap menghadapi segenap kemungkinan.

Namun seperti malam yang telah lewat, pasukan Sidanti itu tidak segera berbuat sesuatu. Mereka berada dalam jarak yang tetap sambil duduk-duduk dan bahkan ada yang terkantuk-kantuk bersandar sebatang pohon atau saling bersandar punggung.

Samekta dan para pemimpin yang lain pun kemudian masuk ke dalam regol desa dan setelah sekedar memeriksa pasukannya, maka mereka pun segera kembali ke tempat pimpinan. Namun tampak di wajah-wajah mereka, sesuatu yang menegang di dadanya. Para pemimpin itu tidak dapat melepaskan diri dari ingatan mereka tentang pasukan berkuda yang sudah harus mulai melakukan tugas mereka.

Sejenak kemudian mereka terkejut ketika seorang pengawal dengan teresa-gesa masuk ke rumah itu. Dengan tergesa-gesa pula ia berkata, “Ki Samekta, aku, eh, para pengawas mendengar suara titir di kejauhan. Kami melihat warna semburat merah di langit.”

“Kebakaran maksudmu?”

Pengawal itu mungangguk, “Ya.”

Sejenak para pemimpin itu saling berpandangan. Segera mereka mengetahui, bahwa Wigatri telah berbuat sesuatu.

“Dari arah mana kau melihat api itu?”

“Di padukuhan induk.”

Samekta menarik nafas dalam-dalam. Ternyata Wigatri masih juga dibakar oleh darah mudanya. Agaknya pasukan berkuda itu langsung membuat huru-hara di padukuhan induk, atau padukuhan-padukuhan lain dekat padukuhan induk.

“Mereka adalah anak-anak yang berani,” gumam Wrahasta.

Samekta menganguk-anggukkan kepalanya. Keberanian anak-anak muda itu memang tidak disangsikan lagi. Namun yang masih perlu ditekankan kepada Wigatri adalah pertimbangan di samping luapan perasaan yang hampir tidak terkendali.

“Marilah kita melihat,” desis Samekta. “Dan Ki Argapati pun harus segera mendengar laporan ini pula.”

Sejenak kemudian maka Samekta, Wrahasta, Pandan Wangi, dan beberapa orang pemimpin yang lain pun segera keluar regol untuk melihat apa yang terjadi, sedang seorang penghubung telah langsung pergi melaporkan kepada Ki Argapati.

Ketika para pemimpin pasukan Pengawal Tanah Perdikan Menoreh melihat langit yang diwarnai oleh nyala api, serta suara titir yang seolah-olah memekik-mekik, maka terasa dada mereka pun tergetar.

“Rumah siapakah yang telah menjadi korban pertama ini?” desis Samekta.

“Wigatri tahu benar, siapakah yang masih harus mendapat perlindungan, dan siapakah yang benar-benar telah berkhianat,” sahut Wrahasta yang masih dialiri oleh darah mudanya pula.

Samekta mengangguk-anggukkan kepalanya. Tetapi sejenak ia tidak menyahut. Yang dipandanginya kini adalah obor-obor yang menjadi gelisah pula. Agaknya api dan suara titir itu telah menarik perhatian pasukan Sidanti yang sedang mengepung padesan itu.

“Apakah yang sudah terjadi?” bertanya Ki Tambak Wedi.

“Kebakaran,” jawab Argajaya. “Tetapi titir itu adalah pertanda bahwa daerah itu dilanda oleh bahaya”

Ki Tambak Wedi menggeram. Tetapi ia tidak segera mengambil kesimpulan.

“Kita harus melihat apa yang telah terjadi,” berkata Sidanti.

Ki Tambak Wedi mengangguk-anggukkan kepalanya. Tetapi ia tidak segera terpengaruh oleh keadaan itu. Sebagai seorang yang cukup berpengalaman ia mampu mengendalikan diri dan berbuat dengan kepala yang dingin.

“Kita harus segera menarik pasukan ini,” tiba-tiba Ki Muni memotong dengan nafas tersengal-sengal, “aku melihat api dan mendengar suara titir.”

“Kami telah melihatnya pula,” sahut Argajaya.

“Kalau begitu, kita harus segera kembali. Kita harus segera melawan serangan yang membabi buta itu.”

“Tunggu,” potong Ki Tambak Wedi, “jangan seperti anak-anak kehilangan makanan.” Ki Tambak Wedi berhenti sejenak, lalu, “Kita tetap di sini. Perintahkan dua orang untuk melihat apa yang telah terjadi.”

“O, jadi kau menunggu seluruh padukuhan induk menjadi karang abang?” teriak Ki Muni.

“Cepat!” Ki Tambak Wedi seolah-olah tidak mendengar suara Ki Muni. “Kemudian mereka harus datang kemari lagi. Berkuda.”

Sejenak kemudian maka dua orang anak buah Sidanti meninggalkan pasukannya untuk kembali ke pedukuhan induk. Mereka harus melihat apa yang telah terjadi. Dan mereka pun harus segera kembali, bahkan berkuda.

Dengan demikian, maka keduanya segera berlari-lari kecil memintas persawahan. Berlari-lari sepanjang pematang dan meloncat parit-parit kecil. Sementara itu di kejauhan masih dilihatnya warna merah menjilat langit.

Samekta dan para pemimpin pasukan pengawal Tanah Perdikan Menoreh masih berada di tempatnya. Mereka rnenjadi berdebar-debar ketika mereka melihat, sama sekali tidak ada perubahan pada gelar lawannya. Betapa gelisah obor-obor yang melingkari padesan itu, namun obor itu tidak beranjak dari daerah lingkarannya.

“Apakah Ki Tambak Wedi sama sekali tidak memperhatikan kebakaran itu?” desis Wrahasta.

“Ki Tambak Wedi adalah orang yang cukup berpengalaman” sahut Samekta. “Mungkin ia sedang menimbang-nimbang. Mungkin ia sedang memerintahkan satu dua orang untuk melihat apa yang sedang terjadi. Atau masih ada kemungkinan-kemungkinan yang lain. Tetapi aku yakin, bahwa yang terjadi akan berpengaruh pada lawan kita.”

Wrahasta tidak menjawab. Tetapi tatapan matanya seolah-olah menyala memandangi obor-obor yang masih saja berada di kejauhan.

“Kita tidak perlu menungguinya di sini,” berkata Samekta kemudian. “Kami akan mendapat laporan segera apabila terjadi perubahan keadaan. Di tengah-tengah sawah itu bertebaran para petugas sandi yang akan dapat memberitahukan setiap gerakan lawan.”

Wrahasta menganggukkan kepalanya. “Baik. Sementara kita menunggu perkembangan keadaan.”

Samekta dan para pemimpin yang lain pun segera masuk dan kembali ke tempat pimpinan. Sementara para petugas tetap mengawasi keadaan dengan saksama.

Di luar padesan itu, agak di kejauhan, Ki Tambak Wedi menunggu orang-orangnya dengan gelisah. Sementara itu Ki Muni menggerutu tidak habis-habisnya. Sedang Sidanti, Argajaya, dan Ki Wasi duduk merenung sambil sekali-sekali mengawasi warna merah di langit.



Ketika mereka telah hampir kehilangan kesabaran, maka terdengarlah derap dua ekor kuda mendekat. Semakin lama semakin dekat. Ternyata mereka adalah dua orang petugas yang telah dikirim oleh Sidanti untuk melihat keadaan.

“Apa yang telah terjadi?” bertanya Sidanti tidak sabar. “Sebuah serangan dari sepasukan berkuda,” jawab salah seorang dari mereka.

“Pasukan berkuda?” tanya Argajaya meloncat berdiri.

“Siapakah mereka itu?” desak Sidanti.

“Kami tidak dapat menyebutkan, siapakah mereka itu. Hampir semua dari mereka memakai secarik kain putih di lehernya, dan bahkan sebagian untuk menutup wajah mereka sehingga hanya mata mereka sajalah yang tampak.”

Ki Tambak Wedi mengerutkan keningnya, sedang Sidanti dan Argajaya menggeram hampir bersamaan.

“Jangan terkejut,” Ki Tambak Wedi berkata dengan nada datar. “Dalam keadaan yang sulit, orang-orang Menoreh pasti telah membuat permainan yang memuakkan.”

“Dalam sekaratnya Argapati masih dapat membuat onar,” sahut Ki Muni.

“Tetapi bukankah Argapati telah mati. Kalau tidak semalam maka pasti siang tadi. Bukankah begitu Ki Muni?” sahut Sidanti yang mulai menjadi jengkel terhadap orang yang banyak bicara itu.

Mata Ki Muni terbelalak mendengar kata-kata Sidanti itu. Hampir saja ia berteriak, tetapi ketika dilihatnya Ki Tambak Wedi maka maksudnya itu pun diurungkannya.

“Siapa tahu,” ia bergumam. “Tidak seorang pun mengerti apa yang sebenarnya telah terjadi dengan Argapati. Mungkin ia memang sudah mati sekarang.”

“Kita tidak berbicara tentang kemungkinan,” sahut Sidanti, “kita sekarang berbicara tentang semua persoalan yang benar-benar terjadi dan telah terjadi.” Lalu kepada kedua orang berkuda itu ia bertanya, “Apakah yang dapat kau katakan tentang mereka itu?”

Kedua orang itu termenung sejenak, katanya, “Mungkin bukan sesuatu yang penting untuk diketahui, tetapi yang kami dengar pada mereka, adalah sesuatu yang tidak lazim terjadi di atas Tanah Perdikan Menoreh ini.”

“Apa, apa yang kau dengar itu?”

“Di antara mereka terdapat beberapa orang yang bersenjata cambuk. Demikian keterangan yang aku dengar dari mereka yang melihat langsung orang-orang berkuda itu.”

Hampir bersamaan Ki Tambak Wedi, Argajaya, dan Sidanti terloncat maju. Dan hampir bersamaan pula mereka bertanya, “Orang bercambuk?”

“Ya,” jawab orang itu. Tapi ia sendiri menjadi heran. Kenapa Ki Tambak Wedi, Sidanti, dan Argajaya terperanjat mendengar keterangannya.

“Apakah kau berkata sebenarnya?” bertanya Sidanti.

“Demikianlah menurut pendengaranku. Aku sendiri tidak sempat menyaksikan. Ketika aku sampai di tempat itu mereka telah pergi sambil meninggalkan api.”

Ternyata berita itu bagi Ki Tambak Wedi, Sidanti, dan Argajaya adalah berita yang mendebarkan jantung. Meskipun mereka belum dapat meyakinkan perasaan mereka, tapi tanggapan mereka atas berita itu langsung meloncat ke peristiwa-peristiwa yang pernah terjadi di seberang alas Mentaok.

Dua orang yang bertugas melihat keadaan dan mengabarkanya itu menjadi semakin heran. Agaknya senjata cambuk itu benar-benar telah menarik perhatian. Bahkan seorang yang telah hampir mumpuni seperti Ki Tambak Wedi pun masih juga terkejut mendengar berita tentang cambuk itu.

Sementara itu Ki Tambak Wedi, Sidanti, dan Argajaya saling berpandangan sejenak. Meskipun mereka tidak mengucapkan kata-kata, tetapi seolah-olah mereka telah berbicara panjang lebar tentang segala macam kemungkinan.

Dan sejenak kemudian Ki Tambak Wedi bertanya, “Apakah yang sudah dilakukan oleh orang-orang yang bersenjata cambuk itu? Apakah mereka membunuh lawan-lawannya atau membuat para peronda ketakutan?”

Salah seorang dari kedua petugas itu menjawab, “Tidak, Kiai. Mereka tidak berbuat apa-apa. Memang mereka berkelahi sejenak. Hanya sejenak, karena kemampuan mereka seolah-olah tidak terlawan, sedang senjata mereka yang aneh itu terlampau liar. Tetapi mereka tidak membunuh seorang pun. Mereka hanya membakar dua buah gubug kecil yang sudah hampir roboh, sebuah gardu, dan dua buah kandang kuda yang kosong, karena kuda-kudannya telah dikumpulkan dan dipakai oleh pasukan kita.”

Sekali lagi Ki Tambak Wedi menggeram. Mereka tidak melihat apa yang telah terjadi. Tetapi gambaran itu samakin mendekatkannya kepada suatu dugaan tentang seseorang yang paling dibencinya selama ini, sejak ia berada di Tambak Wedi. Bahwa orang-orang yang bersenjata cambuk itu tidak melakukan pembunuhan dan sekedar membakar barang-barang yang tidak penting seolah-olah sengaja dipilihnya, semakin menguatkan dugaannya atas sifat dan watak orang ttu.

“Apakah pasukan kecil yang telah aku persiapkan di Pucang Kembar juga telah dibinasakan oleh orang yang bersenjata cambuk itu?” pertanyaan itu telah tumbuh di hati Ki Tambak Wedi. Sedang Sidanti dan Argajaya seolah-olah telah dicengkam oleh suatu perasaan yang tidak menentu.

Dengan demikian maka sejenak para pemimpin dari pasukan yang menentang kekuasaan Argapati itu terdiam dalam cengkaman yang menggelora.

“Aku tidak tahu, apakah yang sebenarnya telah terjadi?” bertanya Ki Muni. “Kenapa berita tentang orang-orang yang bersenjata cambuk itu tampaknya terlampau membingungkan, bahkan mencemaskan?”

Ki Tambak Wedi berpaling. Katanya, “Pada saatnya kau akan tahu bahwa pengetahuanmu tentang obat-obatan itu sama sekali tidak berarti dibandingkan dengan orang yang bersenjata cambuk itu.”

“He, siapakah orang itu?”

“Belum pasti. Tetapi sebaiknya kau dan Ki Wasi pada saatnya berkenalan dengannya.”

Ki Wasi mengerutkan keningnya. Dengan ragu-ragu ia pun bertanya, “Siapakah orang itu?”

Tetapi Ki Tambak Wedi menggelengkan kepalanya. “Aku tidak tahu. Semuanya masih sekedar dugaan. Kalau aku telah melihat sendiri, maka semua akan menjadi jelas.”

“Tetapi bagaimana Ki Tambak Wedi akan melihat mereka? Apakah gerakan mereka dapat diduga sebelumnya?” bertanya Ki Wasi kemudian.

Pertanyaan itu memang sulit untuk dijawab. Meskipun demikian Ki Tambak Wedi berkata, “Kita harus berusaha. Tepatnya aku akan berusaha supaya suatu ketika aku dapat bertemu dengan mereka di mana pun.”

Ki Wasi mengangguk-anggukkan kepalanya. Sementara itu Ki Muni maju beberapa langkah. “Ki Tambak Wedi, tidak seorang pun di dunia ini yang dapat melampaui kepandaian Ki Muni dalam hal obat-obatan. Mungkin aku tidak dapat mengalahkan Ki Tambak Wedi dalam olah kanuragan. Tegasnya kalau kita berkelahi dengan pedang, maka aku pasti akan kalah. Tetapi aku punya cara lain untuk mengalahkan lawanku. Ilmu itu tidak akan dapat dilawan. Seperti ilmu obat-obatan yang aku miliki. Aku menguasai segala macam racun dan penawarnya, segala macam dedaunan dan akar-akaran, bisa ular, kumbang, kemladean, kadal hijau berleher merah, semut salaka, laba-laba hijau bergelang perak, dan segala macam binatang. Tidak ada seorang pun yang mampu menguasai ilmu seperti itu.”

“Kita tidak perlu segala macam ilmu tetek bengek itu,” potong Sidanti dengan kesalnya. “Aku memerlukan kekuatan yang dapat mengalahkan orang-orang yang bersenjata cambuk itu. Habis perkara. Aku tidak peduli dengan apa ia melawan. Dengan pedang, dengan tombak, atau dengan mulutnya.”

Wajah Ki Muni itu serasa disengat oleh api. Sejenak ia berdiri tegak di tempatnya, seperti tonggak yang mati. Betapa dadanya menggelora, namun mulutnya serasa terkunci.

Ki Tambak Wedi menjadi berdebar-debar juga mendengar kata-kata Sildanti yang terlampau tajam itu, sehingga ia mencoba untuk menenangkan gelora di dada Ki Muni. “Jagalah sedikit perasaanmu Sidanti. Kita masih belum tahu pasti siapa orang itu. Kegelisahanmu terlampau berlebih-lebihan sehingga kau tidak sadar lagi apa yang kau ucapkan.”

Sidanti sudah hampir membuka mulutnya, namun Ki Tambak Wedi segera mendahului, “Tetapi yang penting sekarang mana yang pertama-tama harus kita lakukan.”

Ki Muni masih mengatupkan mulutnya rapat-rapat. Tetapi ia memang tidak dapat berbuat apa-apa, selagi Ki Tambak Wedi masih ada di dekatnya. Ia merasa cukup mampu untuk membungkam mulut Sidanti yang menyakitkan hati itu, tetapi terhadap Ki Tambak Wedi ia merasa sama sekali tidak akan mampu mengimbanginya. Itulah sebabnya ia terpaksa minyimpan segala macam perasaan di dalam dadanya.

Namun di dalam hatinya ia bergumam, “Pada suatu saat anak itu pasti akan berlutut sambil minta maaf kepadaku, apabila aku dapat membuktikan, bahwa dengan ilmuku aku mampu membunuh siapa pun juga dari kejauhan. Kalau benar ada orang-orang bercambuk itu, aku dapat menggendamnya sehingga tanpa sesadarnya mereka akan datang kepadaku. Mudah-mudahan hatinya tidak berlapis baja, sehingga hal itu mungkin aku lakukan. Sesuatu yang tidak akan terjadi pada Argapati yang berhati teguh itu.”

Berita tentang orang-orang yang bersenjata cambuk itu benar-benar mencapai sasarannya. Ternyata sejak saat itu, maka pertimbangan Ki Tambak Wedi menjadi semakin jelimet. Ia tidak dapat berbuat dengan tergesa-gesa dan tidak dapat terlampau percaya bahwa Ki Argapati benar-benar akan mati.

“Setan bercambuk itu adalah dukun yang hampir tidak ada duanya,” desisnya. “Kalau benar-benar ia berada di Menoreh, maka keadaan akan menjadi lain. Aku harus lebih berhati-hati.”

Sidanti yang duduk di sampingnya tidak menyahut. Namun kerut-merut di keningnya membayangkan betapa hatinya bergolak dengan dahsyatnya.

“Aku harus berusaha melihat, apakah dugaanku benar,” berkata Ki Tambak Wedi. “Kalau kita hanya ditakut-takuti oleh bayangan kita sendiri, maka kita adalah orang yang paling bodoh di muka bumi ini.”

Demikianlah Ki Tambak Wedi benar-benar bertekad untuk dapat melihat sendiri, siapakah orang yang bersenjata cambuk itu.

Dengan demikian maka di malam berikutnya ia tidak ikut bersama-sama pasukan Sidanti yang masih berusaha menurunkan ketabahan para pengawal Tanah Perdikan Menoreh dengan mengepung pusat pertahanannya. Pasukannya kali itu dipercayakannya kepada Sidanti dan Argajaya, didampingi oleh Ki Wasi dan Ki Muni beserta beberapa orang yang datang dari luar Tanah Perdikan Menoreh.

Ki Tambak Wedi sendiri telah menyusup ke tempat yang mungkin akan didatangi atau dilewati pasukan berkuda yang semalam telah membakar beberapa buah kandang dan gardu. Mungkin mereka akan kembali lagi atau pergi ke daerah di sekitarnya.

Sebelum itu Ki Tambak Wedi telah memerlukan menemui Ki Peda Sura untuk meyakinkan pendengarannya tentang lawan Ki Peda Sura.

“Seorang anak muda,” jawab Ki Peda Sura. Sebenarnya ia tidak senang untuk menyebutnya karena harga dirinya.

“Apakah Ki Peda Sura dapat mengenal cirinya?”

“Tidak ada kekhususannya. Ia adalah seorang anak muda yang mengagumkan. Lebih tangkas dari Pandan Wangi, sehingga mereka berdua berhasil melukai aku.”

“Apakah kau dapat menyebutkan sesuatu yang aneh atau yang agak lain dari para pengawal tanah perdikan?”

“Aku yakin ia bukan anak tanah perdikan ini.”

“Apakah jenis senjatanya?”

Ki Peda Sura tidak segera menjawab. Sebenarnya terlampau berat untuk menyebutkan bahwa anak muda itu bersenjatakan cambuk. Hanya sekedar cambuk.

Tetapi karena Ki Tambak Wedi telah mendesaknya, maka mau tidak mau ia mengatakannya juga, “Memang aneh. Senjata anak muda itu adalah sebuah cambuk. Cambuk yang berjuntai panjang dan bertangkai pendek.”

Dada Ki Tambak Wedi berdesir mendengar jawaban itu. Keyakinannya tentang lawannya yang paling diseganinya di seberang Alas Mentaok menjadi semakin nyata terbayang di kepalanya. Karena itu, maka tiba-tiba orang tua itu menggeram.

“Apakah kau pernah melihat atau mendengar sesuatu tentang orang yang bersenjata cambuk itu?” bertanya Ki Peda Sura.

Ki Tambak Wedi tidak menjawab pertanyaan itu, tetapi ia justru minta diri dan berkata, “Aku akan melihat, apakah yang sebenarnya sedang kita hadapi ini. Apakah kita sedang berhadapan dengan kelinci atau dengan harimau loreng.”

Ki Peda Sura yang masih belum sembuh benar heran mendengar kata-kata itu. Tetapi ia tidak sempat bertanya sesuatu karena Ki Tambak Wedi segera pergi meninggalkannya.

Tetapi sayang bahwa malam itu Ki Tambak Wedi tidak bertemu dengan orang-orang berkuda dan yang di antara mereka itu bersenjata cambuk. Ternyata orang-orang berkuda itu telah menempuh jalan yang lain sama sekali dari jalan yang diduga oleh Ki Tambak Wedi. Orang-orang berkuda itu sama sekali tidak menimbulkan kerusakan dan bencana apa pun. Mereka hanya mendatangi beberapa gardu. Membentak para peronda yang sebenarnya mereka ketahui dengan pasti, bahwa orang-orang itu berpihak kepada Sidanti, tetapi mereka sama sekali tidak dilukainya.

Seperti pada saat ia datang dengan tiba-tiba, maka dengan tiba-tiba pula mereka pergi sambil meninggalkan getar yang meledak dari ujung-ujung cambuk mereka.

“Beberapa orang bersenjata cambuk,” bisik para peronda itu.

Kawannya menganggukkan kepalanya sambil meraba lehernya. “He, apakah lehermu ini tidak putus?”

“Kenapa?” bertanya yang lain.

“Seharusnya mereka menyembelih kita seperti menyembelih kambing. Tetapi mereka pergi tanpa berbuat sesuatu.”

Keheranan yang ternyata merata di beberapa gardu yang lain. Agaknya orang-orang berkuda dan bercambuk itu telah mendatangi beberapa buah gardu berturut-turut.

Sebenarnyalah bahwa orang-orang berkuda itu telah mendapat pesan dari Ki Argapati untuk tidak membunuh apabila tidak terpaksa. Mereka yang menyaksikan kehadiran orang-orang berkuda itu harus dibiarkan hidup supaya mereka dapat berceritera tentang apa yang dilihatnya. Tentang orang-orang berkuda dan tentang orang-orang yang bersenjata cambuk.

Ketika laporan itu sampai ke telinga Ki Tambak Wedi, maka kemarahannya pun meluap sampai ke ubun-ubun. Memang terlampau sulit baginya untuk menjelajahi daerah seluas Tanah Perdikan Menoreh untuk berusaha bertemu dengan orang-orang berkuda yang mempunyai tujuan tidak menentu itu.

“Aku akan menjelajahi daerah ini malam nanti dengan kuda pula. Aku akan menyilang semua jalan dan lorong-lorong,” ia menggeram.

“Aku ikut pergi bersama Guru,” minta Sidanti.

“Kau tetap berada di pasukanmu. Kalau desa itu tidak kita kepung mungkin pasukan berkuda itu pun tidak bergerak,” berkata Ki Tambak Wedi kemudian. “Kau tidak usah mencemaskanku. Aku pasti bahwa seandainya dugaan kita benar, yang pergi bersama orang-orang berkuda itu bukan yang tua. Tetapi anak-anak yang masih sepanas nafas mudamu.”

Demikianlah maka pada malam berikutnya, Ki Tambak Wedi benar-benar pergi seorang diri di atas punggung kuda, menyelusuri jalan dan lorong, untuk menemukan serombongan pasukan berkuda yang berkeliaran di Tanah Perdikan Menoreh di malam hari. Tetapi usaha Ki Tambak Wedi itu tidak segera dapat berhasil karena ada beratus-ratus jalan silang menyilang di atas Tanah Perdikan Menoreh.

Namun sementara itu kekuasan Argapati benar-benar telah terkurung dalam daerah yang sangat sempit. Di siang hari pasukan pengawal Tanah Perdikan Menoreh kadang-kadang dapat berhubungan dengan padesan-padesan di sekitar tempat mereka bertahan. Namun semakin lama orang-orang di padesan itu pun menjadi semakin ketakutan. Orang-orang Sidanti selalu mengancam siapa saja yang berhuhungan dengan para pengawal Tanah Perdikan Menoreh. Apa lagi bagi mereka yang bersedia memberikan perbekalan. Meskipun demikian, masih juga ada orang-orang yang dengan beraninya berusaha membantu para pengawal yang seolah-olah terkurung dalam pemusatan pasukannya.

Sementara itu luka Ki Argapati sendiri menjadi semakin berangsur berkurang. Tetapi betapa lambatnya perkembangan kesehatannya, karena obat yang diterimanya dari orang bercambuk itu seolah-olah sudah tidak dapat membantunya sama sekali. Kekuatannya menjadi hambar setelah berhari-hari melekat di atas luka. Namun luka itu kini tidak lagi berbahaya bagi jiwanya. Luka itu kini telah menjadi luka biasa, karena racunnya telah menjadi tawar. Meskipun demikian, luka biasa yang sekian panjang dan dalamnya di dada adalah luka yang terlampau parah.

Persoalan-persoalan itu, tentang luka, tentang bahan makanan yang menipis, tentang kesempatan bergerak yang semakin sempit, dan tentang berbagai macam hal, selalu menimbulkan masalah bagi para pemimpin pasukan pengawal tanah perdikan. Setiap hari mereka berusaha mencari pemecahan yang paling baik yang dapat dilakukan. Tetapi mereka masih belum menemukan jalan yang lurus dan lapang. Yang dapat mereka lakukan adalah mengatasi kesulitan buat sementara dan sementara.

Namun apa yang didengar oleh Argapati, dapat memberinya sedikit harapan. Ternyata beberapa petugas sandinya telah menangkap hasil usahanya, gelar sandi. Orang-orang di seluruh Menoreh kini membicarakan orang-orang berkuda, dan orang-orang yang ada diantara mereka, yang mempergunakan cambuk sebagai senjata menonjolkan senjata-senjata cambuk itu, sehingga benar-benar berkesan pada orang-orang yang melihatnya dan bahkan mengalami sekali dua kali disengat oleh ujung senjata yang aneh itu. Tetapi kesan mereka pada umumnya adalah menganggap orang-orang berkuda dan terutama orang yang bersenjatakan cambuk itu terlampau aneh.

Ternyata berita tentang orang-orang bercambuk itu benar-benar telah merata sebelum Ki Tambak Wedi berhasil menemukan mereka pada suatu saat. Hampir saja Ki Tambak Wedi menjadi jemu. Namun adalah tugasnya untuk berusaha memecahkan teka-teki tentang orang-orang berkuda itu.

“Kalau aku tidak segera berhasil menemukan mereka, aku harus berada di mulut sumbernya, sehingga aku dapat melihat mereka keluar dari padesan itu dan mengikuti sampai jarak yang cukup, meskipun dapat berakibat mereka membatalkan perjalanan mereka apabila mereka merasa seseorang mengikuti mereka,” berkata Ki Tambak Wedi dalam hatinya. Memang agak sulit baginya untuk mengikuti mereka dengan berkuda pula tanpa diketahui oleh orang-orang berkuda itu sampai jarak yang cukup jauh dari padesan tempat pasukan pengawal yang masih setia kepada Argapati itu bertahan. Tetapi apabila tidak ada jalan lain yang dapat dipilih, maka jalan itu pun akan dilalukannya. Sudah tentu Ki Tambak Wedi tidak akan menghentikan orang-orang berkuda itu selagi mereka masih berada di sekitar pemusatan pasukan Menoreh itu. Sebab dengan demikian, mereka masih akan dapat memberikan tanda-tanda sandi untuk mengundang orang-orang tua yang mungkin berada di tempat itu, terutama orang bercambuk itu.

Tetapi ternyata berita tentang orang-orang yang bersenjata cambuk itu tidak hanya menggelisahkan Ki Tambak Wedi saja. Pada saat Ki Tambak Wedi berusaha mati-matian untuk menjumpai mereka, maka di sebuah gubug terpencil, di sudut desa yang kecil, dua orang anak muda sedang duduk menghadapi seorang tua yang duduk tepekur di atas sehelai tikar yang dibentangkan di atas jerami kering.

“Kami juga telah mendengar, Guru,” berkata salah seorang anak muda yang menyebut dirinya bernama Gupita.

“Hampir setiap mulut mengatakan tentang serombongan orang-orang berkuda dan bersenjata cambuk,” sambung yang lain, seorang anak muda gemuk bulat, dan menamakan dirinya Gupala.

Orang tua itu mengangguk-anggukkan kepalanya. Katanya, “Apakah kita terpaksa melibatkan diri kita dengan langsung ke dalam persoalan ini?”

“Kita tidak akan dapat tinggal diam, Guru,” sahut Gupita. “Kita akan berkepentingnn langsung. Apakah kita dapat melihat Sidanti dan Ki Tambak Wedi menguasai daerah ini?”

Orang tua itu tidak segera menjawab. Dan Gupita melanjutkannya, “Kalau kali ini mereka berhasil, maka mereka akan menginginkan lebih banyak lagi.”

“Mereka akan melintasi alas Mentaok, Guru. Prambanan akan terancam dan Sangkal Putung adalah pancadan yang paling baik untuk pergi ke Pajang.”

“Ya. Ya,” jawab orang tua itu, “kalian benar.”

“Adalah kuwajiban kita untuk berbuat sesuatu di sini.”

Orang tua itu masih mengangguk-snggukkan kepalanya. Namun kemudian ia berkata, “Tetapi aku menyesal, cara yang ditempuh oleh Argapati itu seolah-olah telah menyudutkan kita ke dalam persoalan ini. Apa pun yang akan kita lakukan, kesan yang didapat oleh Ki Tambak Wedi adalah bahwa orang-orang yang bersenjata cambuk itu telah ikut serta secara langsung. Mungkin Argapati menganggap dan memperhitungkan, bahwa Ki Tambak Wedi pun pernah mendengar dan mengenal orang-orang yang bersenjata cambuk. Sekalipun cara ini dipakai oleh Ki Argapati untuk memaksa oang-orang bercambuk yang sesungguhnya untuk tampil di arena.”

Kedua anak-anak muda yang bernama Gupita dan Gupala itu pun menundukkan kepalanya dalam-dalam. Mereka menyadari kebenaran kata-kata gurunya. Tetapi dorongan di dalam hati mereka sendiri menghendaki, agar mereka secara langsung ikut serta di dalam persoaan ini. Apalagi anak muda yang gemuk itu, yang merasa langsung terancam apabila Sidanti benar-benar dapat menguasai tanah perdikan yang besar ini.

Namun mereka tidak berani menekankan pendapat mereka. Mereka pun menyadari bahwa gurunya itu sebenarnya condong kepada sikapnya pula. Tetapi sebagai orang tua, gurunya pasti jauh lebih berhati-hati daripada mereka sendiri.

“Sekarang kita tidak dapat menghindar lagi,” berkata orang tua itu selanjutnya, “sehingga mau tidak mau kita harus menentukan sikap.”

“Apakah yang akan kita lakukan, Guru?” bertanya Gupita.

“Kita terpaksa melibatkan diri kita. Meskipun demikian kita tidak akan berbuat tergesa-gesa,” jawab gurunya.

“Tetapi keadaan telah memanjat semakin panas. Kalau malam yang pertama sejak Argapati terluka itu, Ki Tambak Wedi mengambil langkah yang benar maka Ki Gede Menoreh pasti akan menjadi semakin parah. Bukan saja lukanya tetapi juga kedudukannya.”

Gurunya mengangguk-anggukkan kepalanya. Katanya, “Kita sudah tentu tidak akan membiarkannya. Aku melihat keragu-raguan sikap Tambak Wedi pada malam itu, menilik gelar yang dipergunakan, sehingga aku pasti bahwa Tambak Wedi tidak akan segera berbuat sesuatu. Kegagalan Tambak Wedi di Pucang Kembar pasti diperhitungkannya juga. Kemudian kekalahan Ki Peda Sura dan tanda-tanda lain yang dapat menghambat maksud Ki Tambak Wedi, ditambah kecerdasan berpikir orang-orang Argapati dengan membentuk pasukan berkuda itu. Apalagi Argapati telah membuat tiruan dari orang-orang yang bersenjata cambuk seperti kita. Sekaligus ia mendapat dua keuntungan. Ia dapat membuat Ki Tambak Wedi semakin ragu-ragu dan memaksa kita untuk tampil.”

Kedua anak-anak muda itu mengangguk-anggukkan kepalanya. Tetapi mereka tidak segera menyahut.

“Sekarang,” berkata orang tua itu, “kita harus mulai. Tetapi kita tidak akan dapat dengan serta-merta datang menemui Argapati. Kita harus menilai suasana lebih dahulu, sementara Ki Tambak Wedi jangan sampai melihat lebih dahulu, bahwa kita sebenarnya hadir di sini.”

“Tetapi bagaimanakah kalau Ki Tambak Wedi itu segera tahu bahwa orang-orang berkuda itu sama sekali bukan orang-orang yang dibayangkannya? Bukankah dengan demikian ia akan segera menyerang Ki Argapati?” bertanya Gupita.

“Mungkin,” jawab gurunya. “Kita pun tidak akan menunda terlampau lama. Dalam pada itu, obat yang kita berikan kepada Ki Argapati itu pun pasti sudah hambar. Ia memerlukan obat baru. Mudah-mudahan tidak ada orang lain yang mencampur obat itu dengan jenis obat-obatan yang lain yang dapat memperlemah daya penyembuhnya atau bahkan saling memunahkan. Dan mudah-mudahan tidak pula disusupi oleh obat dari Ki Wasi atau lebih-lebih lagi Ki Muni.”

“Jadi, apakah kita akan menemui Ki Argapati untuk menyerahkan obat itu?” bertanya Gupala.

“Ya,” jawab gurunya, “tetapi kita memerlukan cara yang tidak terlampau kasar.”

“Maksud Guru?”

“Salah seorang dari kita harus dapat melihat suasana lebih dahulu, supaya kita tidak menemukan kesulitan. Kita minta waktu kepada Argapati kapan ia dapat menerima kita. Kalau tidak, mungkin kita akan berurusan dengan para peronda dan para pengawal. Apabila demikian keadaan kita akan dapat menjadi sulit, sebab mereka sama sekali belum mengenal kita.”

Kedua muridnya mengangguk-anggukkan kepalanya. Dan sejenak kemudian Gupala berkata, “Baiklah. Aku akan nencoba mencari kesempatan untuk bertemu dengan Ki Argapati.”

“Jangan kau, Gupala.”

“Kenapa Guru?”

“Bentuk tubuhmu terlampau mudah untuk dikenal. Setiap orang akan mengatakan bahwa satu di antara orang-orang bercambuk itu bertubuh gemuk bulat. Nah,setiap orang akan segera mengenal siapa kau sebenarnya.”

“Bukankah kita tidak berkeberatan, Guru, seandainya Ki Tambak Wedi segera mengetahui?”

“Sementara ini jangan. Aku sebenarnya senang juga melihat Tambak Wedi kebingungan. Semalam aku melihat ia berpacu dengan kudanya seperti orang gila. Mungkin ia ingin membuktikan dengan mata kepalanya sendiri, siapakah sebenarnya orang-orang bercambuk itu. Kalau ia segera menemukan kepastian karena orang-orangnya mengenalmu, maka ia akan segera menentukan sikap. Apa pun yang akan dilakukannya.”

Gupala menarik nafas dalam-dalam. Tanpa disengajanya, ia memandangi anggauta badannya. Tangannya yang sebesar pering petung, kaki-kakinya dan jari-jarinya. “Hem,” ia menarik nafas dalam-dalam.

“Jadi, Kakang Gupita lagi yang mendapat kesempatan. Kali ini seperti waktu yang terdahulu?”

***
Gurunya tersenyum, dan Gupita pun tersenyum.

“Baiklah,” Gupala seakan-akan mengeluh.

“Lain kali kau akan mendapat kesempatan pula dalam tugas yang yang lain.”

Gupala mengangguk-anggukkan kepalanya, meskipun sorot matanya membayangkan hatinya yang kecewa.

“Kapan aku harus membawa obat itu, Guru?” bertanya Gupita,

“Segera. Tetapi kau harus berusaha, bahwa kau akan bertemu dengan Ki Argapati sendiri. Aku akan mengawasi kau dari kejauhan bersama Gupala.”

“Tetapi,” tiba-tiba Gupala memotong, “Ki Argapati justru pernah mengenal aku.”

“Tetapi bukan petugas sandi Ki Tambak Wedi. Kalau salah seorang dari mereka melihat kau dan mengatakannya kepada Ki Tambak Wedi, maka segera Ki Tambak Wedi yakin, bahwa orang bercambuk yang gemuk bulat itu adalah kau. Sudah tentu bersama kita semua.”

Gupala tidak segera menyahut. Tetapi ia tidak mengerti kenapa gurunya berkeberatan. Bukankah pada saatnya nanti Ki Tambak Wedi akan tahu juga bahwa mereka berada di Tanah Perdikan Menoreh ini bersama-sama?

Namun demikian Gupala memang harus mematuhinya. Sehingga betapa ia berkeinginan untuk berperanan, namun niat itu harus disimpannya saja di dalam hati.

Maka setelah menyediakan beberapa jenis obat-obatan yang akan dapat menolong Ki Argapati dari lukanya yang parah, maka Gupita pun segera harus berangkat. Gurunya memberinya beberapa macam pesan apabila ia menghadapi kesulitan. Sementara ia mendekati padesan tempat pemusatan pasukan Tanah Perdikan Menoreh, gurunya dan Gupala akan mengawasinya dari kejauhan.

“Kalau kau benar-benar tidak dapat mengatasi kesulitan yang datang dengan tiba-tiba, maka panggillah kami dengan ledakan cambukmu,” pesan gurunya. “Kami tidak akan terlampau jauh daripadamu.”

“Baik, Guru,” jawab Gupita yang segera minta diri kepada gurunya dan kepada adik seperguruannya.

Dengan hati-hati Gupita, gembala yang bersenjata cambuk itu pun segera pergi mendekati padukuhan tempat pemusatan para pengawal Tanah Perdikan Menoreh. Tetapi kali ini ia tidak membawa seekor kambing pun. Ia harus dapat menerobos masuk dan menyerahkan obat itu kepada Ki Argapati sendiri sambil membicarakan kemungkinan, bahwa gurunya akan datang sendiri untuk menemui Ki Argapati.

Di padukuhan yang dilingkari dengan pohon pering ori, para pemimpin pasukan pengawal selalu dipeningkan oleh kesulitan-kesulitan yang setiap saat timbul. Kekurangan makanan telah mulai membayang, meskipun di lumbung masih ada persediaan. Namun persediaan itu telah menipis. Sedang tidak seorang pun dari orang-orang padukuhan itu yang dapat keluar untuk menggarap sawah mereka, karena dengan demikian akan dapat membahayakan kedudukan para prajurit. Yang mereka harapkan adalah bantuan bahan makanan dari daerah di sekitar desa itu, yang kini semakin ketat diawasi oleh orang-orang Sidanti yang agaknya lebih leluasa berkeliaran hampir di seluruh daerah tanah perdikan ini.

Selain masalah-masalah yang tumbuh pada lingkungan pasukan itu sendiri, maka Pandan Wangi juga dibebani oleh persoalan pribadi yang kadang-kadang membuatnya kehilangan akal. Sebagai seorang gadis, kadang-kadang Pandan Wangi mengurung dirinya di dalam biliknya sambil menangis. Pertanyaan Wrahasta benar-benar telah membuatnya cemas. Tetapi sampai begitu jauh, ia sama sekali tidak berani mengatakannya kepada ayahnya. Sehingga kegelapan hati itu disimpannya sendiri di dalam dadanya.

Masalah-masalah yang menyangkut Tanah Perdikan Menoreh dapat diperbincangkannya dengan banyak orang. Betapapun berat, namun agak lapanglah rasa dadanya, karena beban itu ditanggungkan oleh orang-orang lain pula. Tetapi beban perasaannya yang satu ini sama sekali harus dipikulnya sendiri. Tidak ada kawan untuk berbagi. Ayahnya juga tidak. Karena luka ayahnya sendiri masih cukup parah, sedang obatnya pun telah hampir punah daya penyembuhnya. Dengan demikian ia tidak sampai hati untuk menambah beban perasaan Argapati yang sedang disaput oleh keprihatinan itu.

Untuk sementara yang dapat dilakukan oleh Pandan Wangi adalah selalu berusaha untuk menghindari pertemuan seorang dengan seorang dari Wrahasta. Setiap kali ia selalu berusaha untuk berada di dekat Kerti atau Samekta, bahkan pemimpin pasukan yang lain kecuali Wrahasta, meskipun ia berusaha sedapat-dapat dilakukan, untuk tidak menimbulkan kesan yang menyakitkan hati pada anak muda yang bertubuh raksasa itu.

Sebenarnyalah bahwa Wrahasta selalu mencari kesempatan untuk dapat menemui Pandan Wangi seorang diri. Namun usahanya itu masih belum pernah berhasil. Setiap kali pasti ada orang lain di antara mereka. Dan orang lain itu rasa-rasanya benar-benar mengganggunya.

Di siang hari, Pandan Wangi lebih banyak bersama-sama dengan pamomongnya yang tua, Kerti. Hampir setiap saat Kerti selalu dibawanya. Meskipun tidak jelas, tetapi Pandan Wangi telah membayangkan kesulitannya kepada orang tua itu. Tetapi di malam hari, Kerti selalu berada di desa sebelah untuk memimpin pasukan yang mengawal keluarga dalam pengungsian.

“Apakah Paman Kerti harus bertugas di sana setiap malam?” bertanya Pandan Wangi ketika mereka bersama-sama berdiri di mulut regol.

Kerti menganggukkan kepalanya sambil menjawab “Ya, aku harus pergi ke sana.”

“Apakah tidak dapat secara bergilir, orang lain yang harus memimpin pasukan itu?”

“Tentu saja dapat,” jawab Kerti, “tetapi kini masih belum waktunya.”

Pandan Wangi menarik nafas dalam-dalam. Ketika ia menengadahkan wajahnya, dilihatnya matahari sedang memanjat langit. Cahayanya masih belum terlampau panas, namun kecerahan sinarnya membuat dedaunan seakan-akan ikut bersinar.

Namun Pandan Wangi itu tiba-tiba menarik nafas dalam-dalam. Ia tidak sempat menikmati cahaya pagi yang segar ini sepuas-puasnya seperti ketika tanah perdikan ini masih belum dibakar oleh api kedengkian dan nafsu. Ketika itu, apabila ia berpakaian seperti yang dikenakannya kini, adalah saat-saat yang menyenangkan. Karena dengan pakaian ini ia pasti berada di padang perburuan bersamn Kerti dan satu dua pengawal. Tetapi kini tidak. Kalau kali ini ia berada di padang perburuan, adalah perburuan yang paling buas yang dikenalnya. Berburu sesamanya, manusia.

Angan-angan itu telah membuat Pandan Wangi menjadi semakin muram. Dengan mata yang sayu ditatapnya sinar matahari yang jatuh di atas rerumputan liar di tanah persawahan yang tidak sempat disentuh oleh tangan.

“Tanah itu benar telah kering,” desisnya.

Kerti berpaling. Ia mendengar suara Pandan Wangi, tetapi ia tidak segera menyahut.

Tetapi tiba-tiba Pandan Wangi itu mengangkat wajahnya. Sesuatu telah menyentuh hatinya lewat telinganya. Suara seruling.

Mula-mula Pandan Wangi ragu-ragu atas pendengarannya sendiri. Di dalam keadaan serupa ini, apakah ada seseorang yang sempat meniup serulingnya? Apalagi suara itu datang dari arah luar benteng bambu berduri yang meugelilingi desa itu.

Tiba-tiba teringat olehnya seorang gembala yang biasa bermain-main dengan serulingnya. Ia pernah menemui gembala itu bermain seruling di muka pasukan pengawal tanah perdikan ini yang sudah dalam kesiagaan tertinggi sewaktu masih berada di induk tanah perdikan. Gembala itu bermain dengan nyamannya seolah-olah tidak terjadi sesuatu di sekitarnya.

Kini, ia mendengar suara seruling itu pula. Juga di hadapan hidung para pengawal yang sedang dalam kesiagaan tertinggi.

Dalam kebimbangan itu Pandan Wangi berpaling, memandangi wajah Kerti. Sekilas Pandan Wangi melihat kening orang tua itu bergerak-gerak. Dan tanpa disadarinya ia bertanya, “Apakah Paman Kerti mendengar sesuatu?”

Kerti mengangguk ragu. Namun ia menjawab, “Aku mendengar suara seruling dari balik rerungkudan di tengah-tengah sawah yang tidak digarap itu.”

“Ya, aku mendengarnya pula,” berkata Pandan Wangi kemudian.

“Aneh,” desis Kerti.

Pandan Wangi tidak segera menyahut. Didengarkannya suara seruling itu dengan seksama. Semakin lama rnenjadi semakin nyata mengalun bersama angin yang berhembus dari Utara. Kadang-kadang meninggi, kemudian turun merendah, seperti kegelisahan yang sedang merayap di hati Pandan Wangi.

“Gembala itu pula,” berkata Pandan Wangi lambat.

“Gembala yang mana Wangi?”

Pandan Wangi menarik nafas dalam-dalam. Dengan nada datar ia menjawab, “Paman Samekta pernah melihatnya.”

“Lalu?”

“Apakah Paman Kerti tidak melihatnya ketika aku menjumpainya di pinggir padukuhan induk tanah perdikan ini, dahulu?”

Kerti mengerutkan keningnya.

“Mungkin Paman memang tidak ada waktu itu. Tetapi seperti sekarang, ia bersenandung dengan serulingnya di depan hidung para pengawal. Aku mencurigainya waktu itu. Aku sangka ia adalah salah seorang petugas sandi Kakang Sidanti.”

“Sekarang pun kau harus mencurigainya.”

Kerti menjadi heran ketika ia melihat Pandan Wangi menggelengkan kepalanya. “Aku tidak akan dapat mencurigainya lagi, Paman.”

“Kenapa?”

“Orang itulah yang bernama Gupita, yang telah membebaskan aku dari tangan Ki Peda Sura.”

Wajah Kerti yang tua itu rnenjadi semakin berkerut-kerut. Perlahan-lahan ia mengangguk-anggukkan kepalanya sambil bergumam seolah-olah kepada diri sendiri, “Jadi orang inilah yang kau katakan itu Wangi?”

“Ya, Paman.”

Kerti terdiam sejenak. Sekilas melonjak di dalam kenangannya, seseorang yang gemuk bulat memberikan obat kepada Ki Gede Menoreh, dan ternyata obat itu telah menolongnya. Anak muda yang gemuk bulat itu juga bersenjata sebuah cambuk yang berjuntai panjangg dan bertangkai pendek, seperti yang pernah diceriterakan oleh Pandan Wangi tentang seorang gembala yang bernama Gupita, yang telah menolong melepaskannya dari tangan Ki Peda Sura.

“Ternyata ceritera tentang orang-orang bercambuk itu telah berkembang di Tanah ini,” gumam Kerti.

“Ya, apalagi setelah di antara pasukan berkuda itu terdapat juga beberapa orang bercambuk,” jawab Pandan Wangi.

Kerti mengangguk-anggukkan kepalanya. Tetapi ia tidak segera menjawab. Di dalam dadanya telah bergulat beberapa macam pendapat tentang orang yangg menyebut dirinya Gupita itu. Ia dapat mengerti bahwa Pandan Wangi tidak akan dapat mencurigainya, tetapi ia tidak dapat menolak seluruh pendapat Wrahasta yang dengan hati-hati menanggapi peristiwa itu. Tidak mustahil bahwa Sidanti telah membuat gelar sandi seperti yang dilakukan oleh Ki Argapati dengan menempatkan seseorang untuk dengan sengaja menghubungi Pandan Wangi dan menolong membebaskannya dari tangan Ki Peda Sura.

“Tetapi,” katanya di dalam hati, “Ki Gede mempercayainya.” Namun segera timbul persoalan di dalam dirinya. “Apakah benar, bahwa Gupita dan Gupala itu bersumber pada satu keluarga atau suatu perguruan? Apakah mereka tidak justru berdiri berseberangan dengan berebut ciri dari manusia bercambuk itu, namun sebenarnya mereka semuanya sama sekali bukan orang yang dimaksud oleh Ki Argapati. Atau bahkan semuanya telah dipersiapkan dengan cermat oleh Ki Tambak Wedi? Namun jika demikian, maka Ki Argapati itu pasti sudah tidak akan dapat tertolong lagi. Obat itu pasti akan mempercepat kematiannya. Namun justru obat itu ternyata bermanfaat baginya.”

Pertanyaan yang bersimpang siur telah mengganggu jantung Kerti. Semuanya dapat terjadi. Semuanya dapat keliru, tetapi mungkin juga semua tanggapan Ki Argapati dan Pandan Wangi tentang orang-orang bercambuk itu benar. Dan apakah kira-kira sikap Wrahasta terhadap orang itu nanti apabila ia mendengarnya juga?

Kerti tersedak dari angan-angannya ketika ia mendengar suara Pandan Wangi, “Apa yang akan kau lakukan?”

Ketika Kerti mengangkat wajahnya dilihatnya dua orang pengawal dengan tombak di tangan telah berdiri beberapa langkah di belakangnya.

“Aku mendengar suara seruling,” sahut pengawal itu hampir bersamaan.

“Lalu?” desak Pandan Wangi.

“Kami ingin melihatnya. Terlampau mencurigakan bahwa ada seseorang bermain seruling di tengah-tengah sawah yang kering itu.”

“Aku juga mendengar,” berkata Pandan Wangi. “Biarlah aku dan Paman Kerti sajalah melihatnya.”

Kedua pengawal itu saling berpandangan sejenak. Bahkan Kerti pun rnenjadi termangu-mangu. Sehingga salah seorang dari pengawal itu berkata, “Apakah tidak terlampau berbahaya apabila kalian berdua yang pergi melihatnya.”

Pandan Wangi mengerutkan keningnya. Di pandanginya wajah kedua pengawal yang berdiri tegak itu. Kemudian berpindah kepada wajah Kerti yang tegang.

Sejenak kemudian terdengar suara Pandan Wangi, “Apakah perbuatan yang serupa yang akan kalian lakukan tidak berbahaya bagi kalian?”

“Bukan begitu,” jawab salah seorang dari kedua pengawal itu. “Betapapun juga bahaya itu akan menimpa kami, tetapi kami tidaklah sepenting kalian berdua bagi tanah perdikan ini.”

Pandan Wangi menarik nafas dalam-dalam. Ia terdiam mendengar jawaban pengawal itu. Begitu besar pengorbanan yang disediakan untuk kepentingannya dan kepentingan Tanah ini. Tidak dihiraukannya lagi, apakah yang akan terjadi atas diri mereka sendiri.”

“Kita akan pergi bersama-sama,” berkata Pandan Wangi kemudian.

Kedua pengawal itu masih ragu-ragu. Namun salah seorang dari mereka akhirnya berkata, “Kalau memang itu yang kau kehendaki, baiklah. Kami akan melakukanya.”

Maka pergilah mereka berempat dengan hati-hati kearah suara seruling yang masih saja mengalun di sela-sela desir angin yang berhembus di antara dedaunan. Daun rerumputan yang liar dan batang-batang ilalang yang menjadi semakin tinggi.

Para peronda di gardu melihat keempatnya berjalan semakin lama semakin jauh. Beberapa orang menjadi cemas dan berbisik di antara mereka, “Kenapa Ki Kerti dan Pandan Wangi pergi juga.”

Kawannya menggelengkan kepalanya. Jawabnya, “EntahIah. Tetapi meskipun ia seorang gadis. Pandan Wangi mempunyai kelebihan dari kita semua. Bahkan Ki Kerti dan Ki Samekta tidak dapat menyamainya. Ternyata pada saat ia berkelahi melawan Ki Peda Sura.”

Kawan-kawannya mengangguk-anggukkan kepalanya. Sebenarnyalah bahwa Pandan Wangi adalah seorang gadis yang luar biasa.

Meskipun demikian, kepergiannya itu telah membuat para pengawal menjadi cemas. Sehingga dengan demikian maka tanpa mereka kehendaki dan tanpa berjanji mereka telah bersiap, berdiri berjajar di muka gardu di regol desa. Setiap saat mereka siap untuk meloncat ke arah suara seruling di balik ilalang itu.

Dari sela-sela rerumputan yang meninggi, gerumbul-gerumbul perdu yang liar, para peronda masih melihat bagian kepala Pandan Wangi dan ketiga kawannya berjalan semakin jauh. Sedang suara seruling yang melonjak-lonjak itu pun masih juga menyentuh telinga mereka.

Orang-orang di depan gardu itu menahan nafas mereka ketika mereka melihat Pandan Wangi berhenti. Agaknya Pandan Wangi telah menjumpai sumber suara seruling itu.

Sebenarnyalah bahwa kini Pandan Wangi telah berdiri beberapa langkah di belakang seorang anak muda yang duduk di bekas pematang yang kering sambil meniup serulingnya. Agaknya ia begitu asyik bermain sehingga kehadiran orang-orang yang mendekatinya itu tidak dapat menggangunya. Meskipun Pandan Wangi telah berdiri beberapa langkah di belakangnya, namun anak muda itu masih saja berlagu dengan kesungguhan hatinya.

Kerti berdiri termangu-mangu di belakang Pandan Wangi. Kalau anak muda ini yang dimaksud oleh Pandan Wangi, bersama-sama mengalahkan Ki Peda Sura, maka adalah mustahil, bahwa ia tidak mendengar kehadiran mereka berempat.

Berbeda dengan tanggapan Pandan Wangi. Gadis itu yakin, bahwa gembala yang meniup seruling itu pasti sudah mendengar kehadirannya, tetapi sengaja ia berbuat seolah-olah tidak mengetahui kedatangannya.

Pandan Wangi menarik nafas dalam-dalam. Sikap anak muda yang meniup seruling itu terasa lain di dalam hatinya. Kalau selama ini ia selalu dihadapkan kepada ketegangan, kecemasan dan berbagai macam perasaan yang membuatnya terlampau lelah lahir dan batin maka, sikap gembala itu memberinya suasana yang berbeda. Terasa bahwa gembala itu sengaja ingin bergurau seperti kebiasaan anak yang pernah dilihatnya. Gembala itu kadang-kadang bersikap seperti seorang gembala yang dungu, yang membuat Samekta kebingungan menjawab pertanyaan-pertanyaannya ketika mereka bertemu setelah ia dicegat oleh orang-orang liar yang berpihak kepada Sidanti.

Sepercik kesegaran melonjak di dalam hati Pandan Wangi yang seolah-olah selama ini menjadi kering. Timbullah niatnya untuk menanggapi sikap gembala yang pura-pura tidak tahu kehadirannya itu. Karena itu maka tiba-tiba ia berpaling. Sambil meletakkan jari telunjuknya di depan bibirnya, Pandan Wangi melangkah perlahan-lahan menjauhi gembala yang sedang bersenandung dengan serulingnya itu.

Kerti dan kedua pengawal yang datang bersamanya menjadi bingung. Tetapi mereka tidak mengucapkan sepatah kata pun karena Pandan Wangi masih tetap meletakkan telunjuknya di muka bibirnya yang terkatup rapat-rapat.

Kerti dan kedua pengawal itu pun berjalan pula sambil kebingungan di belakang Pandan Wangi.

Namun tiba-tiba langkah mereka tertegun ketika tiba-tiba suara seruling itu berhenti. Tetapi sebelum mereka berpaling Pandan Wangi telah berkata lantang, “Mari Paman, kita tidak akan mengganggu orang yang sedang terlampau asyik bermain dengan serulingnya. Kita tidak akan mematahkan arus perasaan yang sedang terungkap lewat nada-nada. Begitu mencekam seperti batu karang dibelai angin pegunungan.”

“Maafkan aku,” tiba-tiba terdengar gembala itu berkata, “maafkan aku. Aku tidak mendengar kehadiran Tuan-tuan di sini.”

Namun suara Pandan Wangi masih tetap lantang, “Kita sama sekali tidak cukup berharga untuk dapat mematahkan kidung yang syahdu itu.”

“Bukan, bukan maksudku.”

Tetapi Pandan Wangi tidak berhenti. Ia masih terus melangkah meskipun perlahan-lahan. Sedang kedua pengawal tanah perdikan yang mengikutinya berjalan dengan penuh kebingungan. Sekali-sekali mereka berpaling. Dilihatnya gembala yang meniup seruling itu melangkah tergesa-gesa di belakangnya.

Namun Kerti yang tua segera tanggap atas keadaan itu. Karena itu, maka tanpa dikehendakinya ia menarik nafas dalam sekali.

Pandan Wangi masih juga melangkah menuju ke padesan kembali diikuti oleh ketiga kawan-kawannya. Sedangkan gembala yang baru saja bersenandung dengan serulingnya itu masih saja mengikutinya dari belakang sambil berkata, “Maafkan aku. Bukan maksudku untuk mengabaikan kedatangan Tuan-tuan. Sebenarnya aku memang tidak mengetahuinya.”

“Bohong!” jawab Pandan Wangi. “Kalau kau tidak mengetahui kedatangan kami, kenapa kau sekarang dapat mengikuti kami.”

”Aku mendengar kalian berbalik meninggalkan aku. Sebelum itu aku benar-benar tidak mendengarnya.”

“Aku tidak percaya. Kau sengaja mengabaikan kedatangan kami.”

“Sungguh mati.”

“Dan sekarang, apakah alasanmu mengikuti aku? Ini adalah daerah kami.”

“Aku akan minta maaf,” jawab gembala itu, lalu, “dan aku akan menawarkan sebuah ceritera yang sangat menarik. Sama menariknya dengan ceritera Arjuna Wiwaha.”

Langkah Pandan Wangi tertegun sejenak. Tanpa sesadarnya ia memandangi wajah Kerti yang tua. Tanpa sesadarnya pula Kerti yang tua itu tersenyum.

Sepercik warna merah membayang di pipi Pandan Wangi. Tiba-tiba ia menundukkan kepalanya. Sesuatu terasa berdesir di dadanya.

Kini gembala yang menamakan dirinya Gupita itu telah berdiri di hadapan Pandan Wangi dan Kerti. Sambil membungkukkan kepalanya dalam-dalam ia berkata, “Maafkan aku, Kiai.”

Kerti tidak menyahut, tetapi ia berpaling kepada Pandan Wangi. Namun Pandan Wangi masih menundukkan kepalanya. Sedang kedua pengawal yang ikut bersama mereka itu pun menjadi bingung. Apakah sebenarnya yang telah terjadi?

Tiba-tiba terdengar suara Pandan Wangi lirih, “Silahkan, Paman. Aku hanya mengantarkan Paman mencari suara seruling itu. Kalau Paman memang mencurigainya, silahkan Paman bertanya dan memeriksanya.”

Kerti menarik nafas dalam-dalam. Namun tiba-tiba terbayang di rongga matanya seorang anak muda yang bertubuh raksasa, yang selama ini telah menggelisahkan dada Pandan Wangi. Sebagai seorang yang telah cukup berpengalaman, segera Kerti menarik garis yang akan bersilang di antara mereka.

Tanpa sesadarnya orang tua itu menggelengkan kepalanya. Namun diangkatnya wajahnya ketika ia mendengar gembala itu bertanya, “Kenapa Kiai mencurigai aku?”

Kerti mengangguk-anggukkan kepalanya. Ia harus berbuat sesuai dengan keadaan yang menyudutkankannya saat itu untuk menolong Pandan Wangi.

“Ya, anak muda,” berkata Kerti. “Adalah mencurigakan sekali, bahwa dalam keadaan yang demikian kau bersenandung dengan serulingmu di muka regol desa kami.”

“Apakah aku telah melanggar suatu peraturan di daerah ini?” bertanya gembala itu.

“Memang tidak ada peraturan yang melarang seseorang membunyikan seruling di sini. Tetapi bahwa ada juga yang melakukanya adalah menarik sekali.”

“Apakah anehnya, Kiai. Aku berjalan lewat jalan di depan kita itu. Karena aku merasa lelah, aku beristirahat di tempat yang teduh sambil membunyikan seruling untuk melupakan kesibukanku sehari-hari.”

Sekali lagi Kerti menarik nafas dalam-dalam. Ia telah cukup tua untuk menangapi persoalan itu. Karena itu maka katanya kemudian, “Sebaiknya kau mengatakan, apakah maksudmu dengan perbuatanmu itu. Aku pernah mendengar ceritera tentang kau, Ngger, bahwa kau adalah seorang gembala yang bernama Gupita, bukankah begitu? Yang pernah bertempur melawan Ki Peda Sura untuk menolong membantu Angger Pandan Wangi membebaskan dirinya dari tangan hantu itu. Dengan demikian, maka akan sangat menarik sekali ceritera Angger yang menurut penilaianmu sendiri sama menariknya dengan Arjuna Wiwaha. Atau barangkali harus ditegaskan, Arjuna Wiwaha yang mendapat hadiah seorang bidadari karena jasa-jasanya bagi bumi ini?”

“Ah,” gembala itu berdesis. Ketika ia memandang Pandan Wangi dengan sudut matanya maka dilihatnya gadis itu masih saja menundukkan kepalanya. “Maaf Kiai. Ceriteraku sebenarnya sama sekali tidak menarik. Aku hanya ingin memaksa Kiai dan Tuan-tuan yang lain terhenti. Sebab sebenarnya aku memang mempunyai sebuah ceritera meskipun tidak akan dapat memikat perhatian.”

Kerti mengangguk-anggukkan kepalanya. Desisnya, “Kami sudah menyangka. Karena itu kami mencari suara serulingmu. Kehadiranmu pasti bukan tanpa maksud. Bukankah begitu?”

“Begitulah. Tetapi kenapa Tuan-tuan begitu saja akan meningalkan aku sebelum bertanya sesuatu kepadaku hanya karena aku terlambat menyapa Tuan-tuan?”

“Ah,” Kerti berdesah, “bertanyalah kepada Angger Pandan Wangi.”

“Kenapa kepadaku,” dengan serta-merta Pandan Wangi menyahut.

“Bukankah Angger yang memerintahkan kepada kami untuk meninggalkannya.”

“Ah,” Pandan Wangi-lah yang kemudian berdesah “Paman-lah pemimpin rombongan kami. Aku hanya tunduk kepada perintah Paman.”

Kerti tersenyum di dalam hati. Sambil mengangguk-anggukkan kepalanya ia berkata, “Baiklah, biarlah aku yang menyusun alasan.” Kerti berhenti sejenak, lalu, “Begini anak muda. Sebenarnyalah bahwa kami sudah tahu. Seandainya kami melangkah pergi, kau pasti akan menyusul kami. Bukankah begitu? Ternyata dugaan kami benar seluruhnya. Dengan serta-merta kau mengikuti kami.

“Meskipun semula kau berpura-pura tidak mengetahui kehadiran kami. Nah, begitulah kira-kira.”

Kini wajah gembala itulah yang sejenak menjadi kemerah-merahan. Namun sejenak kemudian ia segera dapat menguasai parasaannya dan berkata, “Baiklah, aku tidak akan menyangkal.”

“Nah, sekarang apa ceriteramu itu?” bertanya Kerti.

Gupita menarik nafas dalam-dalam. Tetapi sebelum ia menjawab pertanyaan itu tiba-tiba matanya terlempar kepada seseorang yang dengan tergesa-gesa datang ke arah mereka. Seorang anak muda yang bertubuh raksasa bersama dua orang pengawal.

Dada Kerti berdesir ia melihat Wrahasta datang. Orang tua itu mendapat firasat bahwa masalah yang akan terjadi di antara mereka, bukanlah sekedar persoalan-persoalan yang menyangkut masalah Tanah Perdikan ini dalam segala segi hubungannya. Tetapi masalahnya akan menyentuh hati anak muda yang bertubuh raksasa itu, sebagai persoalan pribadi, meskipun dapat dibentuk menurut kepentingannya, sebagai persoalan Tanah ini.

Tetapi Kerti tidak mengucapkannya dalam kalimat-kalimat. Namun pandangan matanya yang buram agaknya telah berhasil menyentuh perasaan Pandan Wangi.

Sebelum Wrahasta itu mendekat, ia sudah bertanya lantang “He, kenapa kau berada di situ, Pandan Wangi?”

Pandan Wangi tidak segera menjawab. Dipandanginya wajah Wrahasta dengan tajamnya. Namun karena jarak mereka masih agak jauh, maka ditunggunya saja Wrahasta itu mendekat.

“Kenapa, Pandan Wangi?” desak Wrahasta.

Pandan Wangi masih belum menjawab. Sekali-sekali disentuhnya wajah Kerti dengan sudut matanya. Tampaklah wajah orang itu menyorotkan kecemasan hatinya.

Langkah Wrahasta semakin lama menjadi semakin cepat. Beberapa langkah dari Pandan Wangi, sekali lagi ia bertanya, “Kenapa kau berada di sini?”

“Aku menunggu kau mendekat Wrahasta. Aku tidak dapat berteriak sekeras kau.”

“Hem,” Wrahasta berdesah, “apakah kau tidak mempunyai kerja yang lain dari mengurusi seseorang macam anak itu?”

Terasa sesuatu bergetar di dada Pandan Wangi. Tetapi ia tidak segera menjawab. Ditunggunya Wrahasta semakin dekat, dan yang kemudian berhenti beberapa langkah di hadapannya.

Tetapi setelah berada di antara Pandan Wangi, Kerti, dan Gupita, Wrahasta tidak lagi bertanya kepada Pandan Wangi. Ditatapnya wajah Gupita tajam-tajam. Kemudian meloncatlah pertanyaannya, “Kaukah orang yang membunyikan seruling itu?”

“Ya, Tuan,” jawab Gupita.

“Kenapa?”

Gupita menjadi bingung mendapat pertanyaan itu. Ditatapnya wajah Pandan Wangi sekilas, kemudian Kerti, para pengawal dan yang terakhir Wrahasta.

“Mengapa kau berada di tempat ini?”

“Kebetulan sekali, Tuan. Hanya kebetulan saja aku berada di tempat ini.”

Sebelum Wrahasta bertanya lebih banyak lagi. Pandan Wangi memotongnya, “Wrahasta, anak muda inilah gembala yang pernah aku ceriterakan kepada ayah.”

Wrahasta mengerutkan keningnya. Tanpa disangka-sangkanya ia menjawab, “Aku sudah menduga.”

“Apakah kau sudah tahu atau mengenal ciri-cirinya.”

“Tidak. Tetapi bahwa kau memerlukan turun sendiri ke tengah-tengah bulak untuk menyongsongnya, tentu orang ini adalah seseorang yang pantas mendapat kehormatan.”

Jawaban itu telah menggoncangkan dada Pandan Wangi. Sebagai seorang gadis, maka langsung ia dapat menangkap maksud kata-kata Wrahasta itu. Namun dengan demikian getar di dadanya justru serasa membungkam mulutnya. Sejenak ia berdiri mematung dengan jantung yang berdentangan.

Kerti yang tua menarik nafas dalam-dalam. Dugaanya tidak akan terlampau jauh berkisar dari sasaran. Sementara Gupita sendiri berdiri dengan gelisahnya. Di wajahnya membayang keheranan dan kecemasan menghadapi sikap Wrahasta itu.

Karena tidak seorang pun yang menjawab kata-katanya, maka Wrahasta berkata pula, “He anak muda. Apakah kau tidak berpikir bahwa kehadiranmu di daerah ini dapat menumbuhkan kecurigaan pada kami?”

Gupita tidak segera menyahut. Namun wajahnya kini menjadi kian bersungguh-sungguh.

“Apakah kau kira bahwa permainan serulingmu itu hanya sekedar dapat memikat hati gadis-gadis dan tidak menumbuhkan persoalan pada para pengawal?”

Sekali lagi getar yang tajam tergores di mata Pandan Wangi. Tetapi ia masih saja terbungkam, dan Kerti pun masih belum dapat menyesuaikan dirinya dengan pembicaraan itu.

“Tuan,” Gupita-lah yang kemudian menjawab, “bukan maksudku untuk berbuat yang bukan-bukan. Sudah tentu bahwa aku bukan sekedar kebetulan sepenuhnya berada di tempat ini. Tetapi benar-benar suatu kebetulan bahwa Tuan-tuan inilah yang datang melihat seseorang yang dengan serulingnya berada di depan regol desa ini.”

“Nah, kau sudah mulai berubah. Ternyata bahwa di dalam dirimu tersimpan persoalan yang kau selimuti dengan berbagai macam dalih dan sikap yang pada saatnya akan terungkap satu demi satu. Nah, sekarang sebutkan, kenapa kau berada di tempat ini? Meskipun aku tahu bahwa kau akan dapat menyebut seribu macam alasan, namun aku akan mencoba mendengarnya.”

Gupita mengerutkan keningnya. Orang yang bertubuh raksasa ini tidak dapat ditanggapinya dengan sikap yang aneh-aneh. Ia harus bersungguh-sungguh, namun ia tidak akan dapat melanggar pesan gurunya, bahwa ia harus berusaha bertemu dengan Ki Argapati.

Tetapi kehadiran orang ini telah membuat rencananya menjadi kabur. Pada saat Pandan Wangi datang kepadanya, karena suara serulingnya, ia telah berbesar hati, bahwa ia akan mendapat jalan yang cukup lancar. Tetapi ternyata kini ia berhadapan dengan sikap yang lain.

Sekilas disambarnya wajah Pandan Wangi. Ia mengharap gadis itu mengambil sikap sebagai seorang puteri Kepala Tanah Perdikan, dan memberinya jalan yang lurus untuk menghadap ayahnya. Tetapi agaknya Pandan Wangi hanya menundukkan kepalanya saja. Gadis itu ternyata tidak berbuat sesuatu, seolah-olah Wrahasta-lah yang paling berkuasa di dalam lingkungan para pengawal Tanah Perdikan Menoreh.

Sejenak suasana menjadi hening. Hanya nafas mereka sajalah yang terdengar memburu dari lubang-lubang hidung. Wrahasta berdiri dengan sorot mata yang memancarkan kecurigaan dan bahkan kebencian kepada orang yang belum dikenalnya itu.

“Cepat, katakan,” Wrahasta menggeram, “kenapa kau berada di tempat ini dalam keadaan yang panas ini?”

Gupita menarik nafas dalam-dalam. Betapapun sulitnya tetapi ia harus tetap berusaha untuk dapat menghadap Ki Argapati sesuai dengan pesan gurunya.

“Katakan!” berteriak Wrahasta,

“Baiklah,” jawab Gupita yang tidak akan dapat menghindar lagi. Tetapi sekali lagi ia terperosok ke dalam keadaan yang semakin sulit. Anak muda itu sama sekali tidak mengerti apa yang tersimpan di dalam hati Wrahasta. Ia sama sekali tidak memperhitungkan kemungkinan yang lain daripada kecurigaan seorang pengawal atas kehadirannya di tempat yang tidak sewajarnya. Dan ia dapat mengerti. Karena itu, maka ia mencoba mencari alasan lain, yang menurut perhitungannya tidak akan dapat disangkutkan dengan kemelutnya keadaan, dengan pertentangan yang terjadi antara Ki Argapati dan puteranya Sidanti.

Tetapi jawabnya ternyata telah membuat telinga Wrahasta menjadi merah. Berkata gembala itu, “Sebenarnya kedatanganku sama sekali tidak bersangkut paut dengan keadaan tanah perndikan ini. Aku hanya ingin menemui seseorang yang pernah aku kenal. Beberapa kali kami telah bertemu sebelumnya. Karena aku tidak berani mendekati regol desa yang agaknya dijaga kuat maka aku berusaha memanggilnya dengan suara serulingku. Ternyata ia benar-benar datang.”

Jawaban itu benar-benar mengejutkan. Bukan saja dada Wrahasta yang terbakar oleh perasaannya sebagai seorang laki-laki muda, tetapi juga Kerti, para pengawal dan bahkan Pandan Wangi sendiri. Kerti yang tua itu dan Pandan Wangi, menjadi sangat cemas. Mereka dapat menduga, apa yang akan menyala di hati Wrahasta.

Dugaan mereka itu ternyata tepat. Wrahasta yang wajahnya menjadi merah padam itu terbungkam sesaat. Ia tahu pasti bahwa yang dimaksud Gupita itu adalah Pandan Wangi.

Melihat sikap orang-orang Menoreh itu Gupita menjadi bingung. Ia sama sekali tidak menyangka, bahwa usahanya menghindari masalah yang dianggapnya dapat mengganggu rencananya itu agaknya telah menumbuhkan persoalan yang lebih rumit.

Sejenak kemudian sambil menggeretakkan giginya Wrahasta berkata lantang, “Kau kira apa he, gadis ini? Apa kau kira sebegitu rendah dan bersedia secara sadar menghubungi seorang gembala yang tidak punya sangkan paran macam kau?” Wrahasta berhenti sejenak untuk mengatur getar darahnya, kemudian, “Ternyata kau tidak lebih dari orang-orang liar yang telah mencegat Pandan Wangi di perjalanan meskipun caramu lain. Kau mengelabuinya dengan macam-macam perbuatanmu untuk membuat Pandan Wangi menjadi kagum. Kau bersepakat dengan Peda Sura agar kau dapat menimbulkan kesan yang baik dari Pandan Wangi dan menganggapmu sebagai seorang pahlawan. Tetapi justru karena itu, kau adalah orang yang jauh lebih berbahaya dari laki-laki yang kasar dan buas itu, tetapi juga lebih licik. Adalah lebih baik bertempur beradu dada, daripada mempergunakan cara seperti yang kau lakukan itu. Apalagi dengan demikian kau akan mendapatkan rahasia dan keterangan mengenai apa pun juga di dalam daerah tertutup kami ini.”

Tuduhan itu benar-benar tidak disangka-sangka oleh Gupita sehingga ia menjadi semakin bingung. Sejenak ia masih saja berdiri termangu-mangu. Ia tidak tahu, apakah yang sebaiknya dilakukan, karena ia sama sekali tidak menyangka akan menghadapi masalah serupa itu.

Namun sebelum Gupita menyadari keadaannya, ia semakin terkejut ketika ia mendengar Wrahasta berkata lantang, “Kau menjadi tawananku.”

Gupita tersentak. Wajahnya menegang sejenak. Namun kumudian dicobanya untuk menekan perasaannya. Dengan gemetar ia berkata, “Apakah salahku?”

“Kau berada di daerah terlarang. Apa pun alasanmu.”

“Tetapi aku mempunyai alasan. Aku tidak akan mencampuri persoalan tanah perdikan ini. Persoalanku adalah persoalan pribadi yang sama sekali tidak bersangkut paut dengan soal apa pun.”

“Bohong, bohong!” Wrahasta menjadi semakin marah. Justru persoalan pribadi itulah yang telah membakar jantungnya. Tetapi ternyata hal itu sama sekali tidak disadari oleh Gupita yang kebingungan.

“Jangan mencoba melawan. Jangan kau sangka bahwa karena kau telah berhasil mengalahkan Ki Peda Sura, maka kami akan menjadi ketakutan. Kami, para pengawal tahu benar, bahwa semua itu hanyalah sebuah permainan yang sama sekali tidak menarik. Dan kami pun tahu benar banwa dengan demikian kau akan mendapatkan keuntungan yang berganda, kau akan mendapatkan rahasia yang diperlukan oleh Sidanti dari dalam lingkungan kami, dan sekaligus kau akan mendapatkan seorang gadis yang masih terlampau hijau. Pandan Wangi memang tidak akan berprasangka apa pun, karena hatinya yang masih terlampau bersih. Ia bersikap terlalu jujur terhadap siapa pun. Tetapi sayang, bahwa suatu ketika ia terperosok dalam suatu pertemuan dengan seorang semacam kau.”

Gupita menjadi semakin bingung. Sekilas dicobanya untuk memandang wajah Pandan Wangi, tetapi ia tidak dapat melihat kesan yang tersirat pada wajah itu. Ia hanya melihat wajah gadis itu pun menjadi tegang. Kemudian ditatapnya wajah Kerti yang tua. Wajah itu pun menjadi tegang pula. Namun seperti pada wajah Pandan Wangi, ia tidak dapat mengerti, apakah yang sebenarnya bergolak di hati orang tua itu.

Dada Gupita menjadi semakin berdebar-debar ketika ia mendengar Wrahasta berkata lantang, “Ikutilah kami. Jangan mencoba melawan perintah ini. Aku tidak bermain-main. Dalam keadaan serupa ini, kesalahan yang kecil sekalipun dapat menyeret kami ke neraka. Karena itu, kami tidak dapat bersikap lain terhadapmu.”

Darah Gupita serasa bergolak di dalam jantungnya. Sikap Wrahasta benar-benar tidak menyenangkannya. Tetapi meskipun demikian ia masih mencoba untuk mengerti. Ditrapkannya keadaan yang dihadapi oleh Wrahasta itu pada dirinya sendiri. Apakah yang akan dilakukannya seandainya ia menjadi pengawal tanah perdikan yang kemelut, dan menjumpai seseorang yang mencurigakan seperti dirinya itu?

“Aku hanya dapat mengharap bantuan Pandan Wangi,” katanya di dalam hati. “Sikap pemimpin pengawal yang bertubuh raksasa itu adalah wajar.”

Tetapi dalam pada itu, Pandan Wangi sendiri mengalami kesulitan yang tiada taranya. Ia tahu benar, mengapa Wrahasta bersikap terlampau keras terhadap gembala itu. Laki-laki muda yang bertubuh raksasa itu tidak hanya sekedar bercuriga terhadap Gupita, tetapi dadanya telah dibakar oleh perasaan cemburu. Karena itu, maka gadis itu tidak dapat segera mengambil sikap. Kalau ia mencoba untuk melindungi Gupita, maka api yang menyala di dada Wrahasta pasti akan semakin berkobar. Sikap itu akan menjadi minyak yang terpercik ke dalam api di dalam dada raksasa muda itu. Tetapi untuk membiarkan Gupita menjadi tawanan Wrahasta, agaknya perasaannya pun terasa terlampau berat.

Dalam kesulitan itu tanpa disadarinya, dipandanginya wajah Kerti seakan-akan ia minta bantuan kepada pemomongnya itu. Kerti menarik nafas. Pandangan mata Pandan Wangi itu ternyata telah menyentuh hatinya. Karena itu, maka kemudian ia melangkah maju sambil berkata, “Angger Wrahasta, serahkan gembala ini kepadaku. Aku memang sudah berpendirian serupa. Sebelum Angger datang, maka gembala ini sudah menjadi tawananku, maksudku, tawanan kita. Aku berhasrat untuk membawanya kepada Ki Samekta, atau bahkan langsung Ki Argapati. Sebab di Pucaang Kembar, Ki Argapati memamg sudah berhubungan dengan seorang anak muda yang bernama Gupala yang barangkali ada bersangkut paut dengan Gupita ini.”
“Ya, ya,” sela Gupita. “Gupala adalah adikku.”

Wrahasta mengerutkan keningnya. Tetapi perasaannya sebagai seorang anak muda agaknya lebih tebal menyelimuti pertimbangannya, sehingga ia menggeram.

“Ia harus berkata sebenarnya. Aku tidak berhasrat membawanya kepada siapa pun juga. Aku ingin memaksanya untuk mengakui, bahwa sebenarnya ia adalah petugas sandi Sidanti.”

“Tidak. Sama sekali tidak,” bantah Gupita.

“Diam!” bentak Wrahasta. Lalu, “Sekali lagi aku katakan, kau adalah tawananku.”

Gupita masih akan menjawab, tetapi sebelum mulutnya terbuka, maka ia melangkah surut. Ujung pedang Wrahasta yang besar dan panjang itu telah menyentuh dadanya.

“Jangan banyak bicara!” Wrahasta hampir berteriak. “Ayo berjalanlah!”

Sorot mata Gupita tiba-tiba menyala. Tetapi dengan sepenuh tenaganya ia mencoba menekan perasaan yang bergolak di dalam dadanya. Yang penting baginya adalah kesempatan untuk memasuki pusat pertahanan para pengawal dan kemudian berusaha bertemu dengan Ki Argapati. Tetapi apabila ia mengadakan perlawanan, maka jalan untuk menghadap Ki Argapati akan menjadi semakin jauh.”