api-di-bukit-menoreh-38

TETAPI Ki Tambak Wedi tidak dapat menyembunyikan kenyataan yang terjadi. Kedua kawannya menjadi semakin terdesak dan teka-teki yang meliputi benaknya tentang pasukan kecilnya yang seolah-olah hilang dihembus angin prahara.

Ki Tambak Wedi menjadi ragu-ragu. Kalau ia memaksa diri untuk menundukkan Argapati yang telah terluka itu, maka apakah yang terjadi bukan sebaliknya?

Yang mengejarnya kini adalah pertanyaan tentang pasukan kecilnya. Bahkan kemudian ia mengambil kesimpulan, “Pasti ada seseorang yang dengan rahasia membantu Argapati. Mungkin seorang atau dua orang, tetapi mungkin sepasukan. Kalau mereka kemudian datang mengepung aku, maka keadaan akan menjadi sulit. Apalagi kalau mereka berhasil menangkap aku, maka kemenangan yang didapat Sidanti akan buyar tanpa arti.”

Akhirnya, Ki Tambak Wedi terpaksa mengambil keputusan yang betapapun sakitnya. Ia terpaksa melepaskan tekadnya yang bulat untuk membunuh Argapati. Meskipun dendam yang terungkat kembali sejak beberapa puluh tahun yang lampau masih tetap menyala di dalam hatinya, tetapi ia tidak boleh kehilangan akal. Ia tidak boleh terjerumus dalam kesulitan didorong oleh perasaannya. Bagaimanapun juga, ia harus tetap sadar dan mempergunakan nalarnya.

Karena itu, maka Ki Tambak Wedi itu pun mengambil suatu keputusan yang tidak diduga-duga sebelumnya. “Melarikan diri.”

Betapapun liciknya orang itu, ketika tiba-tiba saja ia melompat mundur. Seleret sinar yang hitam mengkilat meluncur ke dada Argapati. Untunglah, bahwa meskipun Argapati telah terluka, tetapi ia masih memiliki kelincahan bergerak, sehingga ia masih mampu menggerakkan tombaknya, menghantam sinar yang terbang seperti petir di udara.

Terdengar suara berdentum, disusul oleh gemerincingnya sebuah gelang-gelang yang jatuh di atas batu-batu cadas.

Namun Ki Tambak Wedi mampu memanfaatkan saat yang pendek itu. Selagi perhatian Argapati terpusat kepada gelang-gelangnya yang terbang menyambar dada, maka saat itu dipergunakannya sebaik-baiknya. Dengan cepatnya, hampir secepat gelang-gelangnya ia melompat dan berlari meninggalkan gelanggang.

Kedua kawan-kawannya terkejut melihat Ki Tambak Wedi tiba-tiba saja meninggalkan gelanggang. Sejenak mereka kehilangan akal, dan karena itulah, maka perlawanan mereka menjadi semakin lemah. Sebelum mereka menyadari apa yang terjadi, maka sebuah sengatan yang nyeri telah menggetarkan jantungnya. Sesaat mereka menyadari, bahwa hampir bersamaan mereka telah terluka.

Tetapi mereka tidak kuasa lagi untuk melawan. Para pengawal dari Menoreh itu dapat mempergunakan keadaan sebaik-baiknya. Yang terjadi kemudian adalah terlampau mengerikan. Kedua orang itu hampir bersamaan pula memekik tinggi, ketika dada mereka sekali lagi disobek oleh ujung senjata lawan. Dan hampir bersamaan pula mereka terhuyung-huyung, dan selanjutnya jatuh tersungkur di tanah.

Argapati masih berdiri di sisi sepasang Pucang Kembar sambil menggenggam tombaknya. Debar di dadanya masih menghentak-hentak, serasa akan meledakkan jantung. Kemarahan, kebencian, dan dendam menyala-nyala di hatinya. Tetapi ia tidak berdaya untuk melepaskan, karena Ki Tambak Wedi telah hilang dari pandangan matanya menyusup ke dalam rimbunnya dedaunan. Dorongan perasaannya ingin membawanya untuk mengejar orang tua yang telah terlampau banyak menyakitkan hatinya itu. Bukan baru kemarin atau kemarin dulu, bukan baru sepekan dua pekan, tetapi senjak berpuluh tahun yang lampau, sepanjang umur Sidanti itu sendiri.

Tetapi pengalaman dan kematangan telah mengekangnya. Ia menyadari bahaya yang tersembunyi di balik rerungkudan itu. Gelang-gelang besi Ki Tambak Wedi meluncur terlampau cepat mengarah ke sasarannya. Bahaya itu tidak boleh diabaikan, sehingga betapapun nafsunya melonjak-lonjak, tetapi ia tidak mengejar setan tua yang licik itu.

Ketika ia melihat dua orang temannya Ki Tambak Wedi tersungkur di tanah, hatinya berdesir. Demikian liciknya orang itu, sehingga kawannya sendiri pun telah dikorbankannya.

Ia sadar, ketika melihat Kerti dan kedua kawannya mendekatinya. Dengan nada rendah Kerti bertanya, “Ki Gede terluka?”

Baru pada saat itulah, seolah-olah pembuluh darah Ki Argapati dijalari oleh perasaan pedih dan nyeri dari dadanya. Selama ia berkelahi, ia sama sekali tidak merasa, betapa pedihnya luka di dadanya itu. Namun ketika lawannya telah hilang, maka perasaan sakit itu tiba-tiba saja tumbuh dan mencekamnya.

Perlahan-lahan Ki Argapati mengangguk, “Ya, aku terluka.”

Kerti melihat darah meleleh dari luka di dada itu mewarnai baju, ikat pinggang kulit, dan kain panjangnya.

“Luka itu cukup parah, Ki Gede,” desis salah seorang kawan Kerti.

Ki Gede Menoreh tidak menjawab. Kelelahan dan darah yang mengalir membuatnya menjadi terlampau lemah. Tiba-tiba saja ia terhuyung-huyung dan terpaksa berpegangan pada tangkai tombaknya.

“Ki Gede,” Kerti terkejut

“Aku memerlukan pertolonganmu, Kerti,” desis Ki Gede.

Dengan tergesa-gesa Kerti menghampirinya. Tangan Ki Gede yang gemetar segera melingkar di leher Kerti sambil bergumam lirih, “Aku terlampau bernafsu melawan Tambak Wedi, sehingga aku (melupakan luka di dada ini. Apakah kau) mempunyai sesuatu yang dapat menahan arus darahku ini?”

“Ya, ya Ki Gede. Aku selalu membawanya di dalam peperangan,” sahut Kerti.

Ki Gede Menoreh itu segera dipapahnya menepi, dan didudukkannya di atas rerumputan. Dari kantong ikat pinggang kulitnya, Kerti mengambil seberkas reramuan kering yang kemudian dikunyahnya. Dengan obat itulah ia mencoba menahan arus darah dari luka Ki Gede Menoreh.

Tetapi luka itu cukup parah dan darah yang mengalir agak deras sehingga obat itu tidak terlampau banyak dapat menolongnya. Karena itu, maka dada Kerti pun menjadi berdebar. Darah masih saja mengalir, dan Ki Argapati menjadi semakin lemah karenanya.

Ki Argapati sendiri pun menyadari keadaannya. Karena itu, maka ia berusaha untuk tidak bergerak-gerak lagi, supaya darahnya tidak semakin banyak mengalir dari lukanya.

Perlahan-lahan terdengar Argapati berdesis, “Bagaimana Kerti, apakah obatmu dapat berpengaruh atas aliran darah luka itu?”

Kerti menjadi agak ragu-ragu menentramkan hati Argapati, ia menjawab, “Ya, Ki Gede. Agaknya obat itu akan dapat menolong sekedarnya.”

Tetapi Ki Gede tidak dapat dihiburnya dengan cara itu. Terdengar suara tertawanya perlahan sekali. Katanya, “Agaknya obatmu kurang baik, Kerti. Tetapi itu bukan salahmu. Kau sudah berusaha. Kalau usaha itu tidak berhasil, maka kita sudah tidak dapat dipersalahkan lagi.”

“Tetapi obat itu berpengaruh juga, Ki Gede.”

“Sedikit sekali. Tetapi baiklah. Cobalah obatmu itu terus.”

Kerti pun mengunyah obat-obat itu semakin banyak. Semua persedian yang ada padanya. Kemudian diusapkannya pada luka Ki Argapati.

Namun meskipun demikian, darah Ki Argapati masih saja mengalir dari lukanya. Pengaruh obat itu ternyata hanya kecil sekali. Sehingga dengan demikian, Kerti dan kedua kawannya pun menjadi cemas.

“Sebaiknya Ki Gede segera kembali.”

Argapati yang lemah itu menarik nafas dalam-dalam. Perlahan-lahan sekali ia bertanya, “Kemana aku harus kembali, Kerti?”

Kerti terdiam sejenak. Ia telah mendengar pula tanda-tanda yang kurang menyenangkan, dan mereka yang berada di bawah Pucang Kembar itu tidak tahu, apakah yang sebenarnya terjadi di padukuhan induk Menoreh.

“Mungkin aku sudah tidak akan dapat melihat rumah itu lagi,” desis Argapati.

“Tidak, Ki Gede. Kita akan kembali pada suatu saat, seandainya kali ini kita tidak dapat bertahan. Tetapi kita sudah menentukan tempat yang baik bagi pasukan kita, apabila kita terpaksa mengundurkan diri. Bukankah pesan Ki Gede berbunyi demikian, meskipun saat itu kita sama sekali tidak pernah membayangkan, bahwa kita akan mengalami bencana ini?”

Ki Gede tidak menjawab. Diangkatnya wajahnya yang pucat. Ditatapnya daun pucang yang bergerak-gerak ditiup angin.

“Pohon ini sudah jauh berubah,” desisnya di dalam hati, “kini daunnya sudah semakin jarang, dan batangnya pun pasti akan segera rapuh. Beberapa puluh tahun yang lampau, sepasang pucang itu tampak tegak perkasa, seolah-olah tidak akan pernah mengalami hari-hari tuanya dan yang kemudian akan lenyap untuk seterusnya.

Sekali lagi Ki Gede Menoreh menarik nafas dalam-dalam. Sekilas dikenangkannya masa-masa mudanya. Dengan penuh dendam ia berperang tanding di bawah pucang itu. Tetapi ia masih muda. Kini ia menjadi semakin tua, seperti sepasang batang pucang itu pula.

Ki Gede itu berpaling, ketika ia mendengar Kerti berkata, “Marilah, Ki Gede. Kita berusaha untuk menemukan pasukan Menoreh di manapun berada. Kita akan melihat, apakah mereka masih berada di padukuhan induk atau tidak, dan kita akan mencari di mana mereka mengundurkan diri seandainya mereka terpaksa terdesak.”

“Tanda-tanda yang aku dengar agaknya tidak menyenangkan.”

Kerti menganggukkan kepalanya. Ia pun sadar akan hal itu. Tetapi ia berkata, “Kita masih harus meyakinkan. Mungkin pasukan Menoreh terdesak, tetapi kemungkinan untuk menemukan keseimbangannya kembali dapat saja terjadi.”

Argapati mengangguk. Tetapi ia berkata, “Aku sudah lemah sekali. Kalau darah ini tidak segera dapat dihentikan, maka aku akan kehabisan. Kau tahu, akibat dari seseorang yang kehabisan darah.”

“Ya, Ki Gede. Tetapi kita juga tidak dapat tinggal di sini terus-menerus tanpa berbuat sesuatu.”

“Terserah kepadamu, Kerti.”

Kerti mengerutkan keningnya. Dipandanginya kedua kawannya berganti-ganti. Ia menyadari, bahwa membawa Ki Gede itu sama sekali bukan tugas yang ringan. Sepanjang jalan mungkin akan ditemuinya orang-orang Sidanti, atau bahkan Ki Tambak Wedi. Apalagi mereka bertemu dengan Ki Tambak Wedi, sedang Ki Gede berada dalam keadaan demikian, maka yang akan terjadi sudah dapat dibayangkannya.

“Tetapi kita harus berusaha,” namun kata-kata itu tidak terucap.

Kedua kawannya agaknya dapat mengerti perasaan yang berada di dalam dada Kerti. Salah seorang dari mereka berkata, “Marilah. Kita harus segera secepatnya.”

Serentak mereka bergeser maju. Mereka akan mengangkat Ki Gede dan membawanya mencari pasukan Menoreh. Tetapi salah seorang dari mereka bertiga harus bebas, sehingga apabila datang bahaya setiap saat, maka seorang yang bebas itu akan dapat berbuat lebih dahulu untuk melindungi kawan-kawannya yang lain, dan terutama Ki Gede yang sedang terluka itu.

“Biarlah kami berdua yang mengangkatnya,” berkata salah seorang dari mereka kepada Kerti. “Kau berjalan di depan. Kau harus berusaha melindungi kami.”

Kerti mengangguk. “Baiklah,” jawabnya.

Tetapi sebelum mereka menyentuh Ki Gede Menoreh, yang menjadi semakin lemah itu, tiba-tiba seperti disengat lebah mereka serentak meloncat berdiri. Senjata-senjata mereka segera siap di tangan untuk menghadapi setiap kemungkinan.

Dalam cahaya bulan yang kekuning-kungingan, mereka melihat sesosok tubuh di dalam bayangan dedaunan. Selangkah-selangkah ia maju, semakin lama semakin nyata.

Kerti dan kedua kawannya menjadi berdebar-debar. Tiba-tiba saja mereka merenggang. Setapak, Kerti melangkah maju. Dari mulutnya terdengar pertanyaan, “Siapa kau?”

Orang yang baru datang itu tertegun. Tetapi tidak segera terdengar jawaban dari mulutnya.

Wajah Kerti dan kedua kawan-kawannya menjadi semakin tegang. Mereka berdiri tegak, membelakangi Ki Argapati yang menjadi semakin lemah dan berbaring di atas rerumputan. Dengan senjata di tangan masing-masing, mereka siap menghadapi setiap kemungkinan.

Setapak lagi Kerti melangkah maju sambil kertanya, “Siapa kau?”

Orang itu pun maju selangkah pula. Tetapi Kerti masih belum dapat memandang wajah orang itu dengan jelas dalam keremangan cahaya bulan yang semakin rendah di ujung Barat.

“Siapa kau, dan apa maksudmu?” pertanyaan Kerti menjadi semakin keras.

“Namaku Gupala,” jawab orang itu.

Kerti dan kedua kawannya mengerutkan kening mereka. Mereka belum pernah mendengar nama itu. Karena itu, ingatan mereka segera hinggap kepada orang-orang liar yang telah membantu Ki Tambak Wedi berkelahi melawan Ki Argapati.

Apakah ia termasuk salah seorang dari mereka, atau justru orang yang khusus mendapat tugas dari Ki Tambak Wedi? Pertanyaan itu telah mengetuk dada ketiga orang itu.

“Apakah maksudmu, kau belum menjawab?” desak Kerti.

Orang itu menghela nafas. Setapak ia maju. Kerti dan kawan-kawannya menjadi semakin bersiaga. Tetapi ternyata orang yang datang itu sama sekali tidak membawa senjata. Seandainya ia kehilangan pedangnya, maka pasti masih membawa wrangkanya di lambungnya. Tetapi orang itu sama sekali tidak berkesan, bahwa ia bersenjata.

“Maafkan,” berkata orang itu, “aku membawa sesuatu untuk Ki Gede Menoreh”

Dada Kerti dan kedua kawannya berdesir. Bahkan jawaban yang didengar pula oleh Ki Gede Menoreh yang terluka, telah sangat menarik perhatiannya.

“Obat. Obat untuk mengobati lukanya.”

“Apakah yang kau bawa?” bertanya Kerti.

Jawaban itu telah membuat mereka yang mendengarnya terkejut. Orang itu sama sekali belum dikenalnya. Dalam keadaan itu, tiba-tiba ia datang menawarkan obat untuk menyembuhkan luka-luka di dada Ki Argapati.

Itulah sebabnya, maka kecurigaan Kerti menjadi semakin meningkat. Tiba-tiba saja ia tidak mau memperpanjang waktu lagi, karena ia tahu, bahwa luka Ki Gede benar-benar harus segera mendapat perawatan. Maka katanya, “Sebutkan orang yang menyuruhmu datang dengan membawa racun itu. Jangan kau sangka, bahwa kami terlampau bodoh untuk menyerahkan nyawa kami kepada orang-orang yang tidak kami kenal.

“Oh,” jawab orang itu, “sama sekali bukan. Bukan racun. Tetapi aku membawa obat dari ayahku. Ayahku tahu benar, bawah Ki Gede sedang terluka. Itulah sebabnya, aku harus datang untuk menyerahkan obat itu kemari.”

“Siapakah ayahmu,” bertanya Kerti.

“Kiai Garit.”

Sekali lagi Kerti dan kawan-kawannya mengerutkan keningnya. Nama itu pun sama sekali belum pernah mereka dengar. Sehingga karena itu, maka Kerti berkata, “Jangan terlampau banyak bicara. Waktuku terlampau sedikit. Sekarang aku terpaksa membawanya untuk sementara. Kalau ternyata kau benar-benar tidak bersalah aku akan melepaskanmu.”

“Apakah maksudmu,” bertanya orang itu.

“Kau terlampau mencurigakan. Karena itu, kau harus ikut kami. Jangan melawan, supaya kami tidak berbuat terlampau kasar.” Kerti pun kemudian berpaling kepada kawan-kawannya, “Marilah kita bawa Ki Gede ke induk pasukan. Biarlah orang ini aku bawa pula bersama kita.”

“Tunggu,” potong orang itu, “apa pun yang akan kalian lakukan atasku, terserahlah. Tetapi aku minta obat ini dapat kalian taburkan di atas luka itu, supaya Ki Gede tidak kehabisan darah.”

“Omong kosong. Kau akan membunuh dengan cara yang sangat licik.”

“Jangan salah mengerti. Aku tidak mempunyai kepentingan apa pun untuk membunuhnya.”

“Jangan banyak bicara. Ayo, berjalanlah di depan.”

Orang itu hampir tidak mendapat kesempatan untuk menjawab, karena Kerti melangkah semakin dekat sambil mengacungkan senjatanya. Namun tiba-tiba langkahnya tertegun, ketika ia mendengar Ki Gede memanggilnya perlahan-lahan, “Bawalah orang itu kemari.”

Kerti ragu-ragu sejenak. Tetapi kemudian katanya, “Baiklah, Ki Gede.” Lalu kepada orang yang menyebut dirinya bernama Gupala itu, “Mendekatlah. Tetapi jangan membuat aku kehilangan kesabaran dan menghunjamkan pedang ini di punggungmu.”

Perlahan-lahan Gupala maju mendekati Ki Gede yang sedang terbaring. Beberapa langkah daripadanya, Kerti berdesis, “Berdirilah di sini.”

Orang itu pun berhenti dan kemudian duduk di atas tanah.

“Kami belum pernah mengenalmu, Ki Sanak,” berkata Argapagi lirih. “Apakah kau dapat membuktikan, bahwa kau benar-benar bermaksud baik?”

Gupala menjadi bingung. Jawabnya berterus terang, “Tidak, Ki Gede. Aku tidak dapat membuktikan dengan cara apa pun, kecuali apabila Ki Gede bersedia mencoba menaburkan obat ini. Akan tampak kemudian dengan cepat, bahwa darah itu akan segera berhenti”

“Dan membeku,” potong Kerti. Dengan tegangnya ia berkata, “Jangan main-main dengan cara yang licik.” Kemudian kepada Ki Gede ia berkata, “Marilah, Ki Gede, kita segera berjalan. Kita akan kehabisan waktu. Mungkin mereka memperpanjang waktu termasuk cara yang mereka perhitungkan pula. Karena itu, jangan hiraukan lagi orang ini.”

Ki Gede tidak segera menjawab. Dicoba untuk memperhatikan wajah orang itu. Tetapi ia memang belum pernah mengenalnya.

“Maafkan, Ki Sanak,” desis Argapati, “dalam keadaan serupa ini, aku wajib mencurigai setiap orang yang belum aku kenal. Juga kau. Apa pun dapat terjadi atasku dalam keadaan ini.”

“Tetapi luka itu segera memerlukan pertolongan sementara,” jawab Gupala.

“Pertolongan itu akan kami usahakan. Tetapi dengan cara yang meyakinkan,” potong Kerti.

Gupala terdiam sejenak. Agaknya ia sudah tidak mungkin lagi meyakinkan, bahwa obat yang dibawanya adalah obat yang baik, benar-benar obat yang dapat memampatkan arus darah dari luka.

Kecuali dari penolakan itu, maka Gupala pun menjadi bingung, apakah yang sebaiknya dilakukan. Kerti telah mencoba menahannya dan akan membawanya serta.

Dalam kebingungan itu, ia mendengar Kerti berkata, “Ayolah, kita sudah tidak mempunyai waktu lagi. Ikutlah kami dan jangan mencoba berbuat sesuatu yang akan membahayakan dirimu sendiri.”

“Tetapi, tetapi,” sahut Gupala terputus-putus, “aku bermaksud baik, ayahku pun bermaksud baik.”

“Jangan banyak bicara lagi,” potong kawan Kerti.

Gupala menjadi ragu-ragu. Apakah sebaiknya yang dilakukannya? Dalam pada itu ia melihat kedua kawan Kerti berjongkok di samping Ki Gede Menoreh, siap untuk mengangkatnya. Sedang Kerti sendiri berdiri di sampingnya dengan penuh kewaspadaan.

Namun tiba-tiba, Ki Gede yang sudah lemah itu terperanjat. Bukan saja Ki Gede, tetapi semua orang yang berada di bawah Pucang Kembar itu. Dalam keheningan malam, di sela-sela desah angin yang lembut, tiba-tiba saja terdengar suara ledakan memekakkan telinga. Ledakan cambuk yang dahsyat sekali, seperti ledakan petir yang bersabung di langit.

Sejenak orang-orang yang berada di bawah Pucang Kembar itu terbungkam. Tidak seorang pun yang tahu, apakah yang sedang mereka hadapi. Namun perlahan-lahan Ki Gede menari nafas dalam-dalam. Kepalanya yang lemah perlahan-lahan terangguk kecil.

Ketika sekali lagi terdengar ledakan cambuk yang dahsyat itu, maka seakan-akan Ki Gede menemukan suatu keyakinan tentang sesuatu. Perlahan-lahan terdengar ia berguman, “He, Ki Sanak, apakah kau kenal siapakah yang meledakkan cambuknya seperti ledakan petir di udara itu?”

Gupala ragu sejenak. Namun akhirnya ia menjawab, “Ya, Ki Gede. Aku mengenalnya. Ia-lah ayahku, yang aku katakan menyuruhku menyerahkan obat ini kepada Ki Gede.”

Ki Gede mengangguk-anggukkan kepalanya. Kemudian katanya, “apakah benar kau anaknya?”

“Ya, Ki Gede”

Dalam keremangan cahaya bulan tampak wajah Ki Gede yang pucat itu tersenyum. Ditatapnya wajah Gupala yang bulat tubuhnya yang gemuk dan kaki-kakinya yang kokoh.

“Apakah kau satu-satunya anak orang yang meledakkan cambuk itu?”

Sekali lagi Gupala menjadi ragu-ragu. Namun kemudian ia menjawab sambil menggeleng, “Tidak, Ki Gede. Aku adalah anaknya yang muda.”

“Berapa anaknya?”

“Dua,”

Ki Gede Menoreh diam sejenak. Terasa lukanya menjadi semakin pedih dan tubuhnya menjadi semakin lemah. Kini ia pun menjadi ragu-ragu. Suara campuk itu suatu isyarat yang penah dikenalnya beberapa puluh tahun yang lampau, ketika ia masih menjadi seorang prajurit.

Setelah mereka berpisah, maka jarang-jarang sekali mereka saling bertemu, dan bahkan hampir tidak pernah sama sekali. Kabar tentang kawannya, manusia bercambuk itu pun semakin lama semakin tidak bernah didengarnya lagi.

Kini, tiba-tiba ia mendengar ledakan serupa. Ledakan cambuk itu, ketika ia sedang dalam keadaan yang sulit.

Kerti dan kedua kawannya pun seolah-olah membeku pula. Dilihatnya wajah Ki Gede yang pucat itu, membayangkan sebuah yang menjadi rahasia.

“Apakah Ki Gede mengenal suara itu?” berkata Kerti.

Perlahan-lahan Ki Gede menganggukkan kepalanya. Perlahan-lahan pula ia berdesis, “Panggil anak muda yang bernama Gupala itu mendekat.”

Kerti menjadi ragu-ragu. Tetapi ia berpaling dan berkata kepada Gupala, “Ki Gede memanggilmu.”

Gupala melangkah maju. Kemudian berjongkok di samping Ki Gede.

“Apakah benar kau anaknya?”

“Ya, Ki Gede,” sahut Gupala.

Coba, tujukkan kepadaku, apakah kau mempunyai cambuk pula seperti ayahmu?”

Gupala tidak menjawab. Ia masih tetap ragu-ragu. Tanpa disadarnya dipandanginya tombak pendek yang masih tetap di dalam genggaman Ki Gede Menoreh.

“Gupala,” desis Ki Gede, “kalau kau mempunyai juga, coba tunjukkanlah kepadaku.”

Gupala tidak dapat berbuat lain. Dengan ragu-ragu ia meraih cambuknya yang melingkar di bawah bajunya. Dengan tangan gemetar ditunjukkannya cambuk itu kepada Ki Gede Menoreh.

Tangan Ki Gede yang masih lemah itu pun meraba cambuk Gupala. Terasa sesuatu yang aneh menjalari perasaannya. Tiba-tiba ia berkata, “Buktikan kepadaku, bahwa kau anaknya. Kau pasti pandai bermain cambuk pula. Kalau kau mampu meledakkan seperti ayahmu, meskipun tidak sesempurna itu, maka aku percaya kepadamu dan kepada ayahmu.”

Gupala masih saja dicekam oleh keragu-raguan. Tetapi ia berdiri juga dan melangkah beberapa langkah surut.

“Maafkan, Ki Gede,” katanya, “aku akan mencobanya.”

“Silahkan,” sahut Ki Gede.

Kerti dan kedua kawannya mengerutkan keningnya. Disiapkannya dadanya dan telinganya untuk mendengar cambuk itu meledak, supaya dadanya tidak menjadi pedih dan telinganya menjadi mengiang-ngiang.

Sesaat kemudian cambuk itu meledak, memekakkan telinga, meskipun tidak sekeras suara cambuk yang lebih dahulu. Namun demikian, Kerti dan kedua kawannya terpaksa menggeleng-gelengkan kepalanya, karena serasa sesuatu kemudian menyumbat telinganya.

Argapati menangguk-anggukkan kepalanya sambil tersenyum. Kemudian ia berkata lirih, “Kini aku percaya kepadamu. Berikan obat itu kepada Kerti. Biarlah ia menaburkannya di atas lukaku.” Ki Gede berhenti sejenak, lalu, “Tetapi kenapa ayahmu itu tidak datang sendiri kemari mengantar obat ini? Aku tidak akan mempersoalkan lagi, apalagi ia sendiri sudi datang kepadaku dalam saat-saat yang seperti ini. Aku tidak perlu bercuriga dan bertanya-tanya.”

Sejenak Gupala terdiam. Namun sejenak kemudian ia mengambil obat dari kantong bajunya, menyerahkannya kepada Kerti sambil menjawab, “Inilah obat itu. Menurut ayah, obat itu harus ditaburkan di sekeliling luka dan pada luka itu sendiri.”

Kerti menerima obat itu sambil mengangguk-anggukkan kepalanya. Kemudian ia bergeser maju mendekati Ki Argapati. Sementara itu Gupala berkata, “Menurut pesan ayah, ayah belum dapat menemui Ki Gede sekarang. Ada sesuatu yang mencegahnya. Karena itu, ayah menyuruhku menyerahkannya kepada Ki Gede.”

Argapati menarik nafas dalam-dalam. Gumannya, “Aku tidak tahu, apa yang telah menghalang-halangi ayahmu menemui aku. Aku tidak pernah merasa mempunyai persoalan apa pun. Tetapi baiklah, sampaikan kepadanya, bahwa aku sangat berterima kasih atas pemberian ini. Aku berharap, bahwa pada suatu ketika kita akan dapat bertemu.”

Gupala mengangguk-angguk kepalanya. Katanya, “Aku akan menyampaikannya kepada ayah.”

Sementara itu, Kerti telah mulai menabur-naburkan obat yang terbungkus dengan daun kelaras. Perlahan-lahan, merata di atas guratan luka yang panjang.

Sejenak kemudian, terasa arus yang dingin menjalari pembuluh-pembuluh darah Ki Argapati. Perasaan pedih yang menyengat-nyengat menjadi berangsur berkurang, meskipun tidak lenyap sama sekali. Namun yang memberinya harapan adalah kemampuan obat itu memampatkan lukanya, sehingga hampir tidak percaya kepada penglihatannya, Kerti berkata, “Apakah benar, bahwa darah itu tiba-tiba saja berhenti mengalir?”

Ki Argapati menarik nafas dalam-dalam. Meskipun tubuhnya terasa terlampau lemah, namun ia tersenyum, “Sampaikan kepada ayahmu itu Gupala, aku benar-benar berterima kasih kepadanya. Aku ingin segera bertemu dan meyakini, bahwa ia berputerakan seorang anak muda segemuk kau ini?”

Terasa dada Gupala berdesir. Tetapi ia tidak menyahut.

“Aku sekarang merasa, bahwa seolah-olah aku tetap hidup lagi setelah aku meninjau ke daerah maut. Sebenarnya aku sama sekali sudah tidak berpengharapan, karena darahku sudah tidak dapat dibendung lagi oleh obat yang dibawa oleh Kerti. Tetapi obat ayahmu benar-benar obat yang telah menumbuhkan harapanku kembali.”

“Mudah-mudahan, Ki Gede,” sahut Gupala, “mudah-mudahan obat itu dapat menyembuhkan luka Ki Gede.”

“Tetapi sampaikan kepada ayahmu, Gupala, bahwa pada saatnya aku ingin bertemu. Terserah kepadanya, kapan ia bersedia. Kalau aku yang harus datang kepadanya, aku pasti akan datang. Tetapi kalau ia bersedia datang kepadaku, akan aku terima dengan segala senang hati.”

“Ya, Ki Gede. Aku akan menyampaikannya,” jawab Gupala, kemudian, “kini perkenankanlah aku kembali kepada ayah.”

Ki Argapati menganggukkan kepalanya, “Baiklah, sekali lagi aku mengucapkan terima kasih.”

Gupala pun segera minta diri. Kemudian dengan langkah yang tetap, ditinggalkannya Ki Gede Menoreh yang terbaring dilingkari oleh Kerti dan kedua kawannya.

Namun beberapa langkah kemudian ia tertegun. Ia tidak dapat menahan dirinya yang dijalari oleh sifat-sifat yang aneh. Karena itu, maka tiba-tiba ia berpaling. Dipandanginya wajah Kerti yang samar-samar di dalam cahaya bulan yang bulat. Kemudian tiba-tiba ia bertanya, “Kiai, Kiai Kerti. Bukankah nama Kiai demikian? Nah, apakah Kiai masih ingin membawa aku beserta dengan kalian.”

Kerti mengerutkan keningnya. Tetapi ia tidak menjawab. Yang terdengar sekedar desis dari sela-sela bibirnya.

Karena Kerti tidak menjawab, maka Gupala pun kemudian melangkahkan kakinya pula sambil berkata, “Terima kasih, kalau Kiai tidak membutuhkan aku lagi.”

Yang terdengar kemudian adalah suara tertawa tertahan.

Kerti mengatupkan bibirnya rapat-rapat. Namun ia mendengar Argapati tertawa lirih, “Anak itu suka bergurau.”

Kerti mengangguk-anggukkan kepalanya. Dengan ragu-ragu ia bertanya, “Siapakah sebenarnya mereka itu, Ki Gede?”

“Aku pernah mengenalnya. Seorang yang baik hati. Tetapi sudah agak lama aku kehilangan hubungan. Kini tiba-tiba ia datang ketika aku sedang di dalam bahaya. Orang itu memang seorang ahli obat-obatan yang baik.”

“Apakah Ki Gede ingat, siapakah namanya?”

“Nama tidak penting baginya. Ia adalah seorang yang bersembunyi di belakang seribu satu macam nama.”

“Tetapi ia mempunyai kecirian yang tidak berubah seperti perubahan namanya itu.”

Ki Argapati menarik nafas dalam-dalam. Desisnya, “Itulah yang sukar untuk dikatakan. Tetapi menurut hematku, ia bukan seorang yang tidak berarti.”

“Orang yang hidupnya ditabiri oleh seribu macam rahasia.”

“Tepat. Apa kau sangka, bahwa anak yang bernama Gupala itu pun tidak berlatih merahasiakan dirinya? Aku tidak yakin, bahwa ia anak orang bercambuk itu. Entahlah, aku tidak tahu, kenapa aku berprasangka demikian.” Sejenak Ki Gede berhenti, lalu, “Tetapi sebaiknya kita tidak usah menjadi pening karenanya.”

Kerti menganggukkan kepalanya. Tetapi ia tidak menjawab. Dengan demikian, maka sejenak suasana dicekam oleh kesenyapan. Yang terdengar hanyalah desir angin pada daun pucang yang bergerak-gerak, seperti sedang melambai kepada bulan yang semakin rendah di ujung Barat.

Tiba-tiba kesenyapan itu dipecahkan oleh gonggong anjing-anjing liar di kejauhan. Ki Gede yang masih lemah itu pun berkata, “Apakah kalian akan berada di sini semalam suntuk?”

“Oh,” Kerti seolah-olah baru tersadar dari lamunannya. Terbata-bata ia menjawab, “Tidak, Ki Gede. Marilah, marilah kita berangkat ke induk pasukan.”

Kedua kawan Kerti pun kemudian memapah Ki Gede. Kedua lengan Ki Gede melingkar di pundak kedua orang itu di kedua sisinya, sedang Kerti dengan senjata terhunus berjalan di paling depan. Mereka menyadari, bahwa perjalanan yang pendek itu adalah perjalanan yang justru penuh dengan bahaya.

Sejenak mereka berjalan tertatih-tatih di atas tanah berbatu cadas. Kemudian meloncati tebing-tebing kecil, menyusup gerumbul-gerumbul liar, meninggalkan sepasang batang pucang yang masih tegak menjulang tinggi, seolah-olah ingin meraih bulan yang bulat di langit dengan daun-daunnya yang bergerak-gerak seperti jari jemari yang panjang.

“Bukankah Ki Gede tadi sore berangkat dengan naik kuda?” bertanya Kerti.

Ki Gede mengangguk, “Ya, aku membawa seekor kuda.”

“Kami juga membawa kuda,” berkata Kerti pula.

Merekapun segera berusaha menemukan kuda-kuda itu. Dengan hati-hati Ki Gede dipapah, didudukkannya di atas kudanya.

“Aku akan duduk di belakang Ki Gede,” berkata Kerti.

Ki Gede tidak menjawab. Tetapi ia mengangguk pula. Dipercayakannya saja dirinya yang terluka itu kepada pengawal-pengawalnya.

Kerti pun kemudian duduk di belakang Ki Gede Menoreh, sedang kudanya diserahkannya kepada kawannya. Diikatkannya kendali kuda itu pada pelana kudanya sendiri, dan dengan demikian maka kuda itu akan selalu mengikutinya.

Meskipun demikian, perjalanan mereka belum berarti lepas sama sekali dari bahaya. Di sepanjang perjalanan mereka akan dapat bertemu dengan sepasukan lawan. Sepasukan yang besar, atau segerombol peronda yang nganglang dari pihak Sidanti.

Dengan demikian, maka mereka pun tetap berhati-hati, setiap saat mereka harus bersiap menghadapi segala macam kemungkinan yang datang dengan tiba-tiba. Apalagi pada saat itu, Ki Argapati sedang dalam keadaan terluka cukup parah, sehingga tidak mungkin baginya untuk berbuat sesuatu, apabila mereka bertemu dengan lawan.

Demikianlah, maka dalam silirnya angin malam, kuda-kuda itu berjalan tidak terlampau cepat. Menyusur jalan sempit di hutan-hutan perdu yang jarang.

“Kita harus berusaha mencari jalan yang paling aman,” berkata Kerti, “Kalau benar padukuhan induk sudah tidak dapat dianggap aman, maka kita harus menuju ke padesan yang lain.”

Argapati mengangguk perlahan. Terdengar suaranya dalam, “Aku sudah menasehatkan, kalau terpaksa mereka tidak dapat menahan diri dari arus kekuatan Sidanti, maka aku minta para keluarga mereka disingkirkan ke Patemon. Sehingga seandainya pasukan Menoreh benar-benar terdesak, aku kira mereka pun akan menyingkir ke padesan itu pula.

“Baiklah, aku akan melihat padesan itu lebih dahulu,” berkata salah seorang kawan Kerti.

“Jangan sekarang. Nanti setelah kita mendekati padesan itu. Di perjalanan setiap tenaga kami sangat diperlukan.”

Pengawal itu mengangguk-anggukkan kepalanya. Ia menyadari, bahwa memang seharusnya ia tidak meninggalkan rombongan kecil yang parah itu.

Namun belum lagi mereka terlampau jauh dari Pucang Kembar. Mareka mendengar derap kaki kuda dari arah depan. Semakin lama semakin dekat, sehingga Kerti menarik kekang kudanya sambil berdesis, “Apakah kalian mendengar pula?”

“Derap kaki-kaki kuda.”

“Ya. Derap itu menuju ke arah ini.”

Wajah Kerti dan kawan-kawannya segera menjadi tegang. Sejenak mereka saling berpandangan. Namun mereka tidak segera berbuat sesuatu.

“Kita menyingkir dahulu,” terdengar suara Ki Argapati lambat, “kita bersembunyi di belakang semak-semak.”

“Oh,” seolah-olah Kerti baru sadar dari angan-angannya. Tanpa menunggu lagi dibawanya kudanya masuk ke belakang semak-semak yang agak rimbun. Demikian pula kedua kawannya pun bersembunyi di balik dedaunan.

Tetapi Kerti segera meloncat dari kudanya sambil berkata lirih, “Aku ingin melihat, siapakah mereka itu Ki Gede.”

“Hati-hatilah.”

Kerti mengangguk sambil berjalan tergesa-gesa, menyusup di bawah dedaunan untuk mengintip kuda-kuda yang akan lewat di jalan sempit di mukanya. Jalan yang baru saja ditelusuri pula.

Semakin dekat, maka tampaklah kuda-kuda itu semakin jelas bersama penunggangnya. Tiga ekor kuda.

Kerti menahan nafasnya ketika kuda-kuda itu menjadi semakin dekat. Semakin jelas olehnya, siapakah yang berada di punggung kuda itu hatinya menjadi semakin berdebar-debar.

“Benarkah mereka itu?”

Ketika kuda itu beberapa langkah lagi lewat di depannya, maka tiba-tiba Kerti pun segera meloncat dari dalam gerumbul, dan berdiri tegak di tepi jalan sambil memamggil, “He, berhenti. Berhenti!”

Orang-orang berkuda itu terkejut. Seekor di antara mereka telah mendahului. Mendengar teriakan itu segera kuda itu berhenti sambil meringkik, kemudian dengan tangkasnya berputar menghadap ke arah Kerti. Sedang dua ekor yang lain, yang masih belum melampaui Kerti segera berhenti. Demikian tegang penunggangnya menarik kekang kuda itu, sehingga kuda-kuda itu terlonjak berdiri.

Setelah kuda-kuda itu agak tenang, maka bertanyalah Kerti, “Kemanakah kalian akan pergi?”

Ketiga orang itu hampir bersamaan menarik nafas dalam-dalam. Salah seorang dari mareka berkata, “Kau mengejutkan kami.”

“Aku harus hati-hati. Aku tidak menyangka, bahwa kalian akan datang kemari.”

“Kami datang menyusul Ki Argapati.”

“Kenapa? Bukankah Ki Argapati berbesan bahwa tidak seorang pun boleh ikut campur dalam persoalan pribadinya?”

“Kami tidak akan mencampuri persoalannya. Tetapi apabila Ki Gede sudah selesai, maka aku akan memberitahukan, bahwa pasukan Menoreh terpaksa ditarik dari padukuhan induk.

Kerti menarik nafas dalam-dalam. Katanya dalam nada yang rendah, “Ki Gede sudah menduga. Suara tanda yang mencemaskan terdengar dari bawah Pucang Kembar.”

“Darimana kau tahu bahwa Ki Gede sudah menduga? Apakah kau sudah menemuinya?”

Kerti mengangguk. Katanya, “Ki Gede sekarang ada di sini. Dadanya terluka agak parah.”

“He,” ketiga orang itu terperanjat mendengar berita yang tidak terduga-duga itu.

Justru karena itu mereka terdiam. Tetapi sorot mata mereka seakan-akan tidak mempercayai berita itu. Ki Argapati tidak boleh terluka. Ki Argapati tidak akan dapat dilukai oleh siapa pun.

Kerti melihat kebimbangan pada sorot mata itu, sehingga ia perlu menjelaskan, “Ki Argapati memang terluka.”

Pengawal yang datang bertiga di atas punggung kuda itu saling berpandangan sejenak, kemudian salah seorang dari mereka bertanya dengan nada penuh kebimbangan, “Apakah kau berkata sebenarnya?”

“Aku berkata sebenarnya.”

“Kalau kau berkata sebenarnya, siapakah yang melukainya?”

“Ki Tambak Wedi.”

“He,” wajah-wajah itu pun segera menjadi tegang, “apakah Ki Argapati tidak dapat menyamai kelebihan Ki Tambak Wedi?”

“Bukan begitu. Tetapi bukan saat kini kita bercerita.”

Kalau kau mengenal jalan yang paling baik, marilah kita segera pergi ke induk pasukan yang telah ditarik itu.”

“Oh, baiklah.”

“Tunggu, aku akan memanggil Ki Gede.”

Kerti pun kemudian meloncat hilang di balik gerumbul, untuk memberitahukan kehadiran ketiga pengawal Tanah Perdikan yang telah beruaha menghubungi Ki Gede untuk melaporkan keadaan pasukannya.

Sejenak kemudian Ki Gede yang terluka itu pun muncul pula dari balik gerumbul di atas punggung kuda bersama Kerti yang menjaganya. Kehadirannya benar-benar telah membuat ketiga pengawal yang baru datang itu menjadi berdebar-debar. Ternyata bahwa Ki Gede Menoreh benar-benar terluka di dadanya.

“Marilah, berjalanlah di depm. Jangan terlampau cepat,” barkata Kerti kepada ketiga pengawal itu.

Salah seorang dari mereka agaknya masih ingin bertanya, tetapi Kerti mendahuluinya, “Jangan terlampau banyak bertanya. Kita harus segera meninggalkan tempat ini sebelum Ki Tambak Wedi kembali dengan membawa prajurit segelar sepapan.”

“Oh,” orang itu mengurungkan niatnya, “marilah.”

Ketiganya segera mendahului berjalan di depan. Kemudian Kerti yang sedang menjaga Ki Gede yang masih terlampau lemah. Di belakang mereka adalah kedua kawan-kawan Kerti yang telah ikut berkelahi melawan orang-orang Ki Tambak Wedi.

Perjalanan itu adalah perjalanan yang tegang. Setiap saat mereka harus bersiap menghadapi segala macam kemungkinan. Dalam keadaan itu, bagi Menoreh, tidak ada lagi batas yang dapat digoreskan, yang akan memisahkan daerah kekuasaan pasukan Sidanti dan daerah kekuasaan pasukau Samekta. Keduanya mungkin berada de segala tempat, dan keduanya mungkin merondai segala jalan di telatah Tanah Perdikan Menoreh. Sehingga dengan demikian, maka sukarlah bagi siapa pun untuk dapat segera mengenal kawan atau lawan apabila mereka bertemu di perjalanan.

“Kita melingkari padukuhan Sampit,” berkata sahah seorang dari ketiga orang yang berkuda di depan.

“Kemana kita akan pergi?” terdenger suara Ki Argapati.

“Kita akan pergi ke Karang Sari, Ki Gede. Dan kita harus melingkari padukuhan Supit, supaya kita berjalan dekat dengan daerah Wurawari.”

Kenapa kita memilih jalan Wurawari?” bertanya Kerti.

Ketiga orang yang berkuda di depan itu tidak ada yang segera menjawab. Bahkan mereka sejenak saling berpandangan.

“Kenapa?” desak Kerli.

Belum seorang pun yang menjawab.

Ternyata kediaman mereka telah menimbulkan kecurigaan pada Kerti, sehingga ia mendesak lebih keras lagi, “Kenapa, he? Apakah ada rahasia yang harus kalian sembunyikan?”

“Tidak. Tidak sama sekali. Tetapi aku ragu-ragu apakah beritaku tidak akan mengejutkan. Terutama bagi Ki Gede.”

“Bodoh kau,” bentak Kerti. “Kepada siapa kau akan menyampaikan semua persoalan kalau tidak kepada Ki Gede?”

“Tetapi Ki Gede sedang terluka,”

“Apa bedanya?”

Tetapi ketiga orang itu masih tetap ragu-ragu. Meskipun mereka tidak berpaling, namun tampak bahwa mereka menjadi gelisah.

“Katakanlah,” desis Ki Gede Menoreh kemudian, “apa pun yang akan kau katakan, aku akan mendengarkannya. Aku tidak boleh terpengaruh oleh keadaan apa pun. Adalah kewajibanku untuk mendengar semua persoalan. Yang baik, dan yang menyulitkan sekalipun.”

Salah seorang dari ketiga pengawal itu menarik nafas dalam-dalam. Sejenak dipandanginya wajah kedua kawannya berganti-ganti. Tetapi yang dilihatnya wajah-wajah itu masih tetap memancarkan kebimbangan hati.

“Katakanlah,” desak Ki Gede dalam nada datar.

“Baiklah, Ki Gede. Tetapi perkenankan aku menyampaikan penyesalan yang sedalam-dalamnya dari kakang Samekta, Wrahasta, dan para pengawal seluruhnya.”

“Ya, ya.”

“Pandan Wangi belum tampak di antara para prajurit yang mengundurkan diri.”

“He?” betapapun juga terasa sesuatu menghentak di dada Ki Gede Menoreh. Ia tidak akan terkejut dan apalagi bingung seandainya ia mendengar berita bahwa rumahnya telah menjadi karang abang, karena dibakar oleh Sidanti. Ia tidak akan tersentak sehingga nafasnya serasa terhenti, kalau ia mendengar bahwa seluruh padukuhan induk telah diduduki oleh Ki Tambak Wedi. Tetapi berita yang didengarnya ini adalah, bahwa Pandan Wangi belum ada di antara para pengawal yang mngundurkan diri.

“Di manakah anak itu agaknya,” terdengar suara Ki Argapati dalam nada yang dalam.

“Karena itulah maka aku mencarinya kemari,” sahut Kerti.

“Oh, kau keliru,” potong salah seorang dari ketiga orang berkuda itu. “Pandan Wangi ternyata telah menemui Kakang Samekta, bahkan ikut bertempur di medan sebelah Barat. Kemudian Kakang Samekta meninggalkannya karena ia harus pergi ke medan yang baru. Ketika pasukan itu mundur, Pandan Wangi tidak ada di antara mereka.”

Kecemasan yang dalam telah tergores di dinding hati Ki Argapati. Pandan Wangi adalah satu-satunya keturunan yang diharapkannya dapat menyambung namanya kelak, setelah ternyata Sidanti tidak dapat diharapkannya lagi. Tetapi ternyata bahwa gadis itu hilang di peperangan.

“Kenapa gadis itu dapat terlepas sehingga ia sendiri terjun di dalam peperangan?” terdengar suara Ki Argapati datar.

Meskipun Ki Argapati seolah-olah hanya bergumam kepada diri sendiri, namun kata-kata itu telah membuat Kerti tertunduk sambil berdesah, “Aku minta maaf Ki Gede. Bagaimana kami di rumah mencoba menahannya. Tetapi tiba-tiba saja ia telah lenyap.”

Ki Argapati mengangguk-anggukkan kepalanya. Katanya lemah, “Ya. Tidak seorang pun dapat dipersalahkan. Anak itu mempunyai kaki untuk melangkah dan mempunyai kehendak untuk mendorong kakinya itu. Anak itu memang keras kepala.”

Kerti tidak menjawab lagi. Meskipun Ki Gede tidak langsung menyalahkannya, namun ia adalah salah seorang yang diserahi untuk mengawasi anak itu. Dan ternyata anak itu kini hilang.

Tetapi Ki Argapati menjadi semakin terperanjat ketika orang yang menyusulnya itu berkata, “Beberapa orang melihat, Pandan Wangi terlibat dalam pertempuran melawan, Ki Peda Sura. Ketika pasukannya mundur, ia tertahan. Maksudnya dapat jelas kami tangkap, melindungi kami yang mundur dari senjata Peda Sura yang ganas itu. tetapi akhirnya, ia sendiri terpisah dari pasukannya.”

***
“Jadi Pandan Wangi bermpur melawan Ki Peda Sura?” bertanya Argapati yang menjadi semakin cemas.

“Ya, Ki Gede.”

“Seorang melawan seorang?”

“Ya, Ki Gede.”

“Oh,” Ki Argapati menarik nafas dalam-dalam. Tanpa sesadarnya terdengar kata-kata dari sela-sela bibirnya. “Hanya kekuasaan Tuhan saja yang akan dapat melepaskannya. Peda Sura belum akan dapat dilawannya. Meskipun ia mempunyai bekal yang cukup namun pengalaman setan itu jauh lebih banyak dan luas. Ia tidak mempunyai batas bagi perbuatannya. Apa pun dapat dilakukannya untuk mencapai tujuannya.”

Para pengawal yang mendengar kata-kata itu pun menjadi semakin cemas pula. Tidak seorang pun yang dapat membayangkan, apa yang telah terjadi dengan Pandan Wangi.

Dan tiba-tiba saja mereka terperanjat ketika Ki Gede beekata, “Kita pergi ke bekas pertempuran itu. Aku ingin melihat sendiri, apakah yang sudah terjadi.”

Dada Kerti menjadi berdebar-debar. Betapapun ia merasa bersalah, namun diberanikan dirinya berkata, “Ki Gede. Bukankah tempat itu masih terlampau berbahaya?”

“Ya, sangat berbahaya,” sahut salah seorang dari ketiga pengawal yang menjemputnya. “Peda Sura agaknya meninggalkan sekelompok orangnya di sekitar bekas pertempuran itu.”

“Apa pun yang akan terjadi aku akan melihat,” kata-kata Argapati tiba-tiba menjadi tajam. “Aku ingin melihat, apakah aku dapat menetnukan mayat anakku. Kalau tidak maka ia pasti dibawa oleh Peda Sura. Jika demikian, maka Pandan Waugi akan mengalami penderitaan yang mengerikan.” Ki Gede berhenti sejenak. Lalu terdengar ia menggeram, “Kalau demikian halnya, maka aku sendiri akan memimpin langsung pasukan Menoreh yang ada untuk merebut kembali semua kedudukan. Aku harus menemukan Pandan Wangi dalam segala kadaan dan menemukan kembali keutuhan Tanah Perdikan Menoreh, meskipun kini sudah tersayat-sayat.”

Dada Kerti berdesir mendengar kata-kata itu. Ki Gede adalah seorang yang keras hati. Hampir setiap kata-katanya dilakukannya dengan baik. Karena itu maka dengan hati-hati ia berkata, “Tetapi bukankah Ki Gede kini sedang terluka?”

“Lukaku tidak seberapa. Aku sudah sembuh dan aku berterima kasih kepada orang bercambuk itu.”

“Tetapi,” Kerti masih mencoba menahannya, “apabila Ki Gede langsung terjun di peperangan maka luka itu akan berbahaya.”

“Jadi maksudmu, aku baiknya tidur di pembaringan, sedang anakku dan seluruh Tanah Perdikan Menoreh sedang dibakar oleh api kedengkian, nafsu dan pamrih yang melonjak-lonjak?” suara Ki Gede menjadi semakin keras, dan bahkan hampir berteriak.

Kerti menarik nafas dalam-dalam. Tetapi kecemasan yang merambat di dadanya menjadi semakin dalam tergores di dinding jantungnya. Ki Gede sudah mulai menentukan sikap. Jika demikian, maka sulitlah baginya, dan bagi siapa pun untuk mengurungkannya.

Kerti adalah seorang yang sudah cukup lama berada di samping Ki Gede. Ia tahu benar sifatnya dan tabiatnya. Namun pengetahuannya tentang watak Ki Gede itulah yang kini membuatnya bingung dan tidak menentu.

“Cepat!” tiba-tiba Ki Gede berteriak. “Pacu kuda ini.”

“Oh,” Kerti berdesah.

“Cepat, kau dengar?”

“Baiklah, Ki Gede.”

Kerti Tidak dapat berbuat lain kecuali mempercepat langkah kudanya. Dengan demikian maka yang lain pun menjadi semakin cepat pula.

“Kita tidak hanya sekedar lewat di daerah Wura-wari. Tetapi kita akan singgah di padesan itu. Bukankah maksudmu, pertempuran berlangsung di daerah itu? Bukankah begitu?” berkata Ki Gede kepada ketiga pengawalnya yang berkuda di depan.

“Ya, Ki Gede,” jawbab salah seorang dari mereka, “tetapi tempat itu benar-benar berbahaya. Kalau kita lewat di sekitarnya, mungkin kita akan mendapat bahan untuk mengetahui di mana Pandan Wangi berada. Tetapi kalau kita langsung masuk ke daerah Wura-wari dalam keadaan serupa ini, maka kita telah kehilangan perhitungan.”

“Persetan,” sahut Argapati, “aku sendiri akan melihat daerah itu. Aku bukan seorang yang terlampau bodoh dan tidak empunyai perhitungan. Tetapi aku akan melihat bekas pertempuran.”

“Ki Gede,” suara Kerti merendah, “bagaimana mungkin Ki Gede akan melakukannya? Baiklah, aku dengan kedua kawanku inilah yang melihatnya. Kami dapat mempergunakan cara apa pun, sambil bersembunyi atau merangkak di antara tumbuh-tumbuhan. Tetapi kami tidak sedang terluka seperti Ki Gede saat ini.”

Terdengar Ki Gede Menoreh menggeretakkan giginya. Seakan-akan ia sama sekali tidak mendengar kata-kata Kerti itu. Bahkan ia berkata dengan lantangnya, “Kaalau perlu aku akan masuk ke padesan yang sudah diduduki pasukan Sidanti. Aku ingin tahu dengan pasti, apakah yang sudah terjadi dengan Pandan Wangi.”

Kerti menarik nafas dalam-dalam. Tubuh Ki Gede Menoreh masih terlampau lemah. Hanya kadang-kadang saja ia menghentakkan dirinya, namun kemujan ia tersandar kembali ke dada Kerti yang duduk di belakangnya.

“Jangan terlampau banyak bergerak Ki Gede. Aku takut kalau luka itu kembali berdarah lagi,” berkata Kerti kemudian.

Ki Gede tidak menjawab. Tatapan matanya jauh menembus kabut malam yang keputih-putihan di bawah sinar bulan yang sedang purnama. Setitik embun jatuh dari dahan di atas mereka. Dingin.

Namun betapa hangatnya dada Kerti yang gelisah itu. Kalau benar-benar Ki Gede kehilangan pengamatan diri karena hilangnya Pandan Wangi, maka keadaan akan menjadi semakin sulit. Kalau terjadi sesuatu atas Ki Gede, maka pasukan Menoreh akan kehilangan induknya, seperti sapu lisi kehilangan suhnya. Mawut bertebaran terserak-serak di halaman.

Ketika mereka telah melampaui bulak di sebelah padukuhan Supit yang kecil, hati Kerti menjadi semakin berdebar-debar. Sebentar lagi mereka akan sampai ke pategalan, berseberangan dengan padukuhan kecil tempat pasukan Samekta menunggu gerombolan Ki Peda Sura.
Tiba-tiba ketiga pengawal yang berkuda di depan merapat dan saling berbisik, “Kita bawa Ki Gede ke pategalan. Bekas pertempuran di pategalan itu sajalah yang kita tunjukkan kepadanya supaya ia tidak mendekat ke padesan di sebelah. Aku yakin bahwa di padesan itu pasti dijaga oleh pasukan Sidanti.”

“Ya,” jawab yang lain, “dengan demikian pasti akan lebih aman bagi Ki Gede.”

Mereka mengangguk-anggukkan kepala mereka. Dan dengan demikian maka mereka agak menjadi tenteram. Karena mereka tahu, bahwa Ki Argapati benar sedang dalam keadaan parah.

Karena itu, ketika mereka sampai ke simpang tiga yang menuju ke pategalan yang agak rimbun itu, ketiga pengawal yang berada di depan itu pun berbelok.

“He, kenapa mereka berbelok,” bertanya Ki Gede.

“Tunggu,” teriak Kerti.

Ketiga pengawal itu pun segera menarik kekang kuda mereka. Salah seorang dari mereka berpaling sambil meletakkan jari telunjuknya di depan mulut, “Sst, di padesan itu sedang berjaga-jaga pasukan Sidanti,” desis salah seorang dari mereka setelah Kerti mendekat.

“Tetapi kenapa kalian berbelok kemari?” bertanya Ki Argapati. “Bukankah kita masih harus maju lagi untuk mencapai Wura-wari?”

“Pertempuran itu terjadi di pategalan itu Ki Gede,” jawab salah seorang dari mereka.

Ki Gede mengerutkan keningnya. Namun ia menggeram, “Aku ingin melihat.”

Mereka pun kemudian meneruskan perjalanan itu. Ketika mereka sampai di ujung pategalan, maka mereka pun segera berhenti. Satu-satu mereka turun dari kuda mereka dengan penuh kewaspadaan. Tangan-tangan mereka telah melekat di hulu pedang masing-masing.

Dengan hati-hati Kerti menolong Ki Gede turun dari kudanya dan memapahnya berjalan perlahan-lahan memasuki pategalan yang sunyi itu. Smentara itu, seorang dari mereka berdiri di luar pategalan untuk mengawasi kuda-kuda mereka.

Demikian mereka memasuki pategalan itu, maka segera Ki Gede menggeram. Ketiga pengawal itu tidak menipunya. Ki Gede masih sempat melihat bekas pertempuran. Bahkan masih dilihatnya beberapa sosok mayat yang terbaring di tanah. Mayat-mayat itu akan tinggal di tempatnya sampai besok. Kalau orang-orang Sidanti di padukuhan sebelah sempat, maka mayat-mayat itu baru akan dikuburkan.

“Hem,” Ki Gede berdesah, “perang yang kisruh.”

“Ya, Ki Gede, perang brubuh.”

Ki Gede tidak menyahut. Perlahan-lahan sambil berpegangan leher Kerti ia melangkah maju semakin dalam. Dilihatnya bekas peperangan itu dengan tegangnya. Hampir setiap mayat yang dijumpainya ditatapnya dengan tajamnya dan bahkan kadang-kadang diamatinya dengan seksama. Kadang-kadang memang dijumpainya mayat-mayat orang yang pernah dikenalnya, Pengawal Tanah Perdikan Menoreh.

“Apakah pasukan Peda Sura telah membersihkan medan ini dengan mengambil mayat kawan-kawannya dan mereka yang terluka parah?” bertanya Ki Gede Menoreh.

“Aku kira belum, Ki Gede. Mayat masih banyak berserakan. Kalau Ki Gede sempat memperhatikan seluruh bekas medan ini.”

Ki Gede mengangguk-anggukkan kepalanya. Katanya, “Menilik korban yang jatuh, seharusnya pasukan Menoreh tidak dapat terdesak mundur.”

“Kalau keadaan tidak berubah, Ki Gede. Tetapi suara titir yang menjalar dari Timur telah menarik sebagian pasukan ini bersama Ki Samekta seudiri. Sedangkan Pandan Wangi tetap berada di medan ini.”

Ki Gede mengangguk-anggukkan kepalanya pula. Ia masih juga melangkah maju menyusur bekas medan yang bosah-baseh.

“Aku akan menyusur garis surut pasukan Menoreh,” tiba-tiba Ki Gede bergumam.

Kerti terperanjat. Sehingga dengan serta-merta ia berkata, “Terlampau berbahaya Ki Gede.”

Ki Gede tidak menjawab, tetapi ia melangkah terus sambil berpegangan pundak Kerti.

“Ki Gede masih terlampau lelah. Seandainya tidak ada bahaya apa pun di perjalanan, maka Ki Gede akan terlampau banyak membuang tenaga.”

“Aku tergantung di pundakmu.”

“Itu bukan berarti Ki Gede tidak mengeluarkan tenaga.”

“Tetapi tenagaku masih cukup. Jangan kau cemaskan. Aku tidak akan mati karena berjalan menyusur jalan surut sampai ke tempatnya yang sekarang. Di sepanjang jalan mundur itu aku akan mencari mayat Pandan Wangi.”

Kerti menjadi bingung. Tetapi ia tidak dapat berhenti, karena Ki Gede yang tergantung di lehernya masih benjalan selangkah-selangkah terus, meskipun dengan susah payah.

Tetapi yang mencemaskan Kerti dan pengawal-pengawal yang lain, bukanlah tenaga yang akan dikeluarkan oleh Ki Gede itu sendlri, meskipun hal itu pun harus mendapat perhatian, tetapi bahwa di garis surut para pengawal Tanah Perdikan Menoreh itu, pasti akan ditemui suatu pengawalan yang ketat dari orang-orang Sidanti.
“Ki Gede,” berkata salah seorang dari ketiga pengawal yang menjemput Ki Gede, “kalau kita akan menyelusur garis surut itu, berarti kita harus berjalan dari sini sampai ke Karang Sari.”

Ki Gede menarik nafas dalam-dalam. Apabila ia ingin menyusur bekas peperangan sampai ke tempat para pengawal itu menarik diri, memang ia harus berjalan dari pategalan itu, lewat Wura-Wari melalui beberapa bulak lagi sampai ke Karang Sari.

Meskipun demikian Ki Gede bergumam, “Tetapi aku akan menemukan puteriku di sepanjang daerah itu.”

Tak seorang pun yang segera dapat menjawab. Mereka terpaksa berjalan menurut bekas-bekas peperangan di pategalan itu. Semakin lama semakin menepi. Para pengawal yang menjemput Ki Gede tahu benar, bahwa sebentar lagi mereka harus melalui daerah persawahan yang terbuka semakin dekat dengan tempat-tempat yang mungkin dihuni oleh orang-orang Sidanti.

Ketika mereka melangkah semakin maju lagi, tiba-tiba salah seorang dari ketiga pengawal itu berkata, “Ki Gede, tidak ada gunanya kita mencarinya lebih jauh.”

Ki Gede memandangnya dengan penuh keheranan, “Kenapa?”

“Di sini Pandan Wangi bertempur.”

“Aku tahu, aku tahu,“ jawab Ki Gede, “tetapi bukankah mereka mundur?”

“Yang mundur adalah pasukan pengawal. Pandan Wangi mencoba melindungi kami. Aku tahu, betapa besar tanggung jawabnya sebagai putera Ki Gede. Kami sudah mencoba untuk membawanya serta. Tetapi ia tidak bersedia. Sedang keadaan peperangan telah memaksa kami untuk selangkah demi selangkah mundur terus, kalau kami tidak ingin binasa sesuai dengan perintah Pandan Wangi sendiri sebagai pimpinan kami waktu itu sepeninggal Samekta.”

Wajah Ki Gede menjadi semakin tegang.

“Pandan Wangi terpaksa bertempur seorang lawan seorang melawan Ki Peda Sura.”

Tiba-tiba terdengar Ki Gede menggeram. Sejenak ia berdiri membeku tergantung di pundak Kerti. Namun kemudian ia berkata lantang, “Kita kembali ke induk pasukan di Karang Sari. Aku akan memimpin pasukan itu langsung ke padepokan induk. Aku harus menemukan Pandan Wangi dalam keadaan apa pun.”

Para pengawalnya menjadi berdebar-debar. Dan mereka mendengar Ki Gede berkata, “Disini aku tidak menemukan mayatnya. Anak itu pasti dibawa oleh Ki Peda Sura.”

Dada Kerti menjadi semakin bergetar. Bahkan para pengawal itu menjadi terbungkam untuk sejenak. Namun kemudian salah seorang dari mereka berkata, “Apabila demikian, maka aku akan tinggal di sini.”

“Untuk apa?”

“Aku akan mencoba mencari sekali lagi. Lebih teliti di daerah peperangan ini.”

Ki Gede berpikir sejenak. Kemudian katanya, “Terserahlah kepadamu. Tetapi aku akan segera menyiapkan pasukan yang ada. Aku tidak mau menunda lagi. Hilangnya Paudan Wangi adalah karena salahku. Aku terlalu bernafsu untuk menjaga harga diriku dengan perang tanding itu, sehingga keadaan Tanah Perdikan ini menjadi terpecah belah, dan anakku satu-satunya itu hilang.”

Ki Gede tidak menunggu jawaban apapun lagi. Bersama Kerti ia segera kembali ke kudanya.

“Cepat, kita pergi ke Karang Sari.”

Seteiah menolong Ki Gede naik, maka Kerti pun segera naik pula. Dua dari mereka tinggal di pategalan itu untuk melihat kemungkinan yang mengerikan apabila hal itu terjadi atas Pandan Wangi. Sedang Ki Gede dengan tergesa-gesa segera meneruskan perjalanan mereka ke Karang Sari.

Di perjalanan itu Ki Gede bergumam, ”Kita hindari daerah yang dikuasai Sidanti.”

Kerti mengerutkan keningnya. Ia agak heran mendengar pesan itu. Selama ini Ki Gede agaknya sama sekali tidak ingin menghindar dari kemungkinan bertemu dengan lawan, namun tiba-tiba pesan itu diberikannya.

“Aku akan memimpin pasukan,“ geramnya kemudian.

Kerti mengangguk-anggukkan kepalanya. Kini ia tahu, bahwa Ki Gede merasa bahwa tugasnya masih belum selesai, sehingga ia tidak mau tertahan lagi di perjalanan ini.

Kuda-kuda itu pun kemudian berpacu dengan kencangnya. Debu
yang keputih-putihan meloncat di belakang kaki-kaki kuda yang berderap
di jalan kecil di tengah-tengah bulak yang panjang.

Sementara itu bulan di langit sudah menjadi terlampau rendah. Di ujung Timur telah menyala cahaya fajar yang kemerah-merahan. Semakin lama menjadi semakin cerah.

Di kejauhan terdengar suara kokok ayam yang seakan-akan menjalar dari satu kandang ke kandang yang lain. Sahut-menyahut tanpa menghiraukan apa saja yang telah terjadi di atas Tanah Perdikan Menoreh yang sedang kemelut dibakar oleh api pertentangan di antara mereka yang selama ini bersama-sama memelihara.

Apalagi setelah ada orang-orang yang tidak dikenal mencoba memanfaatkan keadaan untuk kepentingan mereka sendiri.

Kuda-kuda yang berlari di tengah-tengah bulak itu semakin lama menjadi semakin dekat dengan sebuah padesan yang agak besar, yang
menjadi tempat pasukan Menoreh menarik diri, Karang Sari.

“Apakah perempuan dan anak-anak ada di Karang Sari itu pula?“ bertanya Ki Gede tiba-tiba.

“Tidak, Ki Gede,“ jawab salah seorang pengawal, “mereka berada di Patemon.”

Ki Gede mengangguk-anggukkan kepalanya. Sekali lagi terdengar ia menggeram, sementara langit menjadi semakin cerah.

Namun agaknya Ki Gede tidak ingin melihat matahari terbit dalam perjalanannya. Sehingga dengan memandangi langit yang semburat merah kekuning-kuningan ia berkata, “Kerti, kita harus sampai ke Karang Sari sebelum fajar.”

“Kita akan berusaha, Ki Gede,“ sahut Kerti sambil mempercepat kuda mereka pula.

“Aku harus segera mempersiapkan pasukan Menoreh,” geram Ki Gede.

Kerti tidak menyahut. Tetapi ia sudah tidak terlampau gelisah lagi. Mereka sudah tidak akan melampaui tempat-tempat yang dapat dianggap berbahaya, yang mungkin menjadi tempat-tempat bersembunyi bagi para peronda dari pihak Sidanti.

Karang Sari itu pun kemudian telah berada di hadapan mereka. Sebuah padesan yang tidak begitu besar, dikitari oleh rumpun bambu ori yang lebat, seolah-olah sengaja ditanam sebagai benteng yang kuat untuk melindungi desa Karang Sari dari bahaya.

Di antara rumpun bambu ori yang penuh dengan duri-duri yang tajam itu, terdapat sebuah lorong yang sempit menyusup di bawah sebuah regol yang kuat. Itu adalah salah satu dari empat jalan untuk memasuki desa Karang Sari di empat penjuru.

Ki Gede serasa tidak sabar lagi menunggu langkah kaki kudanya. Ingin ia meloncat langsung memasuki desa yang berpagar rapat itu. Tetapi ia tidak dapat berbuat lain daripada membiarkan dirinya tetap duduk di atas punggung kuda bersama dengan Kerti.

Ketika mereka menjadi semakin dekat, maka segera mereka melihat beberapa pengawal bersenjata berdiri di depan regol desa. Sikap mereka menunjukkan kesiap-siagaan mereka. Senjata-senjata telanjang tergenggam di tangan mereka dengan eratnya. Beberapa orang di antara mereka menyongsong maju dengan tombak merunduk setinggi dada.

Beberapa puluh langkah dari regol itu Kerti memperlambat langkah kudanya. Para pengawal yang lain kini berada di belakangnya. Dengan dada berdebar-debar Kerti mengangkat tangan kanannya ke atas tanpa senjata.

Dan sebelum ia menghentikan kudanya terdengar salah seorang pengawal berteriak, “Ki Gede.”

Yang lain pun segera meloncat keluar dari regol padesan itu. Berdesak-desakan. Dan mereka melihat, bahwa sebenarnyalah yang berada di atas punggung kuda bersama dengan Kerti itu adalah Ki Gede Menoreh.

Maka mereka pun segera menyibak, memberi jalan supaya kuda Ki Gede Menoreh dapat melangkah maju.

Ketika sorot matahari yang pertama jatuh di atas desa Karang Sari, maka Ki Gede pun telah berada di regol desa itu. Di antara para pengawalnya ia merasa dirinya menjadi lebih baik. Dengan dada yang gemetar ia berkata, “Kita harus menebus kekalahan ini.”

Sejenak pengawal-pengawalnya terdiam memandangi wajah Ki Gede yang pucat. Namun kemudian seperti hentakan yang melonjak dari dalam dada masing-masing, mereka berteriak menyambut, “Ya, kita harus menebus kekalahan ini.”

Samekta dan Wrahasta yang mendengar suara ribut itu segera berlari-lari ke luar dari rumah di ujung desa itu, yang mereka pakai sebagai tempat untuk melakukan pimpinan atas para pengawal Tanah Perdikan Menoreh.

Mereka terperanjat ketika mereka melihat Ki Argapati yang pucat duduk di atas punggung kuda dibantu oleh Kerti.

“Apakah Ki Gede terluka,“ bertanya Samekta dengan serta-merta.

Ki Gede mengangguk perlahan-lahan. Dipaudanginya wajah Samekta dan Wrahasta berganti-ganti. Seolah-olah ia ingin melihat, apa saja yang telah mereka lakukan selama ini.

Sorot mata Ki Gede terasa terlampau tajam menusuk dada kedua pemimpin pengawal Tanah Perdikan Menoreh itu. Perlahan-lahan kepala mereka pun kemudian tertunduk. Seolah-olah Ki Gede sedang mengamati ketidak-mampuan mereka mempertahankan Tanah Perdikan ini dari kehancuran.

Ki Gede melihat kegelisahan di wajah kedua orang itu, sehingga dengan nada yang dalam ia berkata, “Aku tidak dapat menyalahkan kalian dan menyalahkan siapa pun. Aku tahu bahwa kalian telah berbuat sebanyak-banyaknya yang dapat kalian lakukan. Aku yakin bahwa semua orang telah berjuang untuk mempertahankan Tanah ini, selain aku sendiri yang asyik memanjakan perasaan tanpa nalar yang bening. Sekarang Tanah ini terluka parah dan aku sendiri pun terluka pula.”

Semua orang menundukkan kepala mereka. Tidak seorang pun yang berani menatap wajah Ki Argapati yang sayu dan pucat.

Namun tiba-tiba mereka dikejutkan oleh suara Ki Gede, “Tetapi aku ingin memperbaiki kesalahan itu. Sekarang aku akan memimpin sendiri pasukan Menoreh, merebut kembali daerah yang terpaksa kalian lepaskan itu.”

Samekta hampir-hampir tidak percaya kepada pendengarannya. Dengan pandangan yang aneh ditatapnya wajah Ki Gede Menoreh. Tetapi mulutnya tidak segera dapat mengucapkan sesuatu.

“Jangan menjadi gelisah. Aku sendiri yang akan memimpin pasukan Menoreh sekarang juga.”

“Tetapi,“ suara Samekta terbata-bata, “tetapi bukankah Ki Gede sedang terluka.”

“Lukaku tidak seberapa. Aku akan segera menjadi kuat lagi.”

“Tetapi Ki Gede memerlukan beristirahat. Meskipun hanya satu hari ini. Mungkin besok Ki Gede telah menjadi pulih kembali dan mampu memimpin pasukan Menoreh yang masih ada untuk merebut kembali semua tempat yang telah terpaksa kita lepaskan.”

“Aku tidak dapat menunggu sampai besok. Aku harus berangkat hari ini.”

Dada setiap orang yang mendengar kata-kata Ki Gede itu bergetar. Terjadilah pergolakan di setiap dada. Dorongan perasaan mereka, apalagi ketika mereka melihat Ki Gede sudah ada di antara mereka, seakan-akan telah membakar jantung mereka dan mendidihkan darah mereka. Hampir saja para pengawal itu berteriak, “Sekarang! Sekarang!“ Tetapi apabila mereka lihat Ki Gede yang lemah dan pucat, betapapun ia masih tetap dijalari oleh tekad yang menyala-nyala, mereka tidak akan dapat membenarkan sikap yang tergesa-gesa itu. Sikap itulah yang menjadi teka-teki bagi mereka. Ki Gede Menoreh tidak pernah kehilangan pengamatan,
seperti kali ini.

Karena itu, maka baik para pengawal Tanah Perdikan Menoreh, maupun para pemimpinnya, tidak segera dapat menyahut. Mereka seakan-akan terpukau dalam kediaman mereka. Membeku sambil memandangi wajah Ki Gede yang pucat.

Karena tidak seorang pun yang mengucapkan sepatah kata menyambut perintahnya, maka Ki Gede berkata pula, “Kenapa kalian menjadi beku? Apakah kalian ragu-ragu, bahwa kita tidak mampu lagi untuk merebut setiap kedudukan yang telah kita tinggalkan?”

Samekta menelan ludahnya. Selangkah ia maju mendekati Ki Gede dengan dada yang berdebar-debar. Menurut tanggapannya, pasti ada sesuatu yang menyebabkan Ki Gede menjadi terlampau tergesa-gesa mengambil keputusan.

“Ki Gede,” berkata Samekta dengan hati-hati, “marilah. Kami persilahkan Ki Gede beristirahat. Marilah, kita membicarakannya dengan tenang.”

Tetapi Ki Gede Menoreh sama sekali tidak berkenan di hati. Dengan keras ia menjawab, “Aku tidak akan membicarakannya. Kalau kalian masih mengakui aku sebagai Kepala Tanah Perdikan, maka aku akan memerintahkan kalian untuk bersiap sekarang.”

Setiap dada terasa berdesir mendengar kata-kata Ki Gede itu. Sejenak mereka saling berpandangan. Ki Argapati tidak pernah demikian.

Namun Samekta masih mencoba bertanya, “Ki Gede, apakah yang menyebabkan Ki Gede harus melakukannya sekarang? Bagaimana seandainya besok atau setiap saat apabila Ki Gede sudah pulih kembali.”

“O, kalian terlampau memikirkan diri sendiri,“ suara Ki Argapati menjadi semakin keras. Kini ia duduk tegak di atas punggung kudanya meskipun Kerti masih belum turun juga. “Kalian tidak dapat merasakan, betapa sakit hatiku mengalami peristiwa ini. Mungkin terlampau pribadi, dan mungkin kalian tidak mau terseret dalam kepentingan ini. Kalau demikian baiklah.
Aku akan mengambil jalan lain. Tetapi aku harus mendapatkannya sekarang dalam segala keadaan.”

Samekta menjadi semakin tidak mengerti. Dipandanginya sejenak wajah Wrahasta. Tetapi Wrahasta yang bertubuh raksasa itu seakan-akan membeku di tempatnya. Di tubuhnya masih tergores jalur-jalur merah, bekas-bekas luka oleh sentuhan senjata lawan ketika ia bertempur mati-matian mempertahankan rumah Kepala Tanah Perdikan Menoreh. Agaknya karena sesuatu hal, maka ia tidak mati di peperangan itu. Seandainya pada saat itu Pandan Wangi masih ada di dalam rumah itu, maka ia tidak akan beranjak sampai ke ujung hidupnya.

“Baiklah,“ berkata Ki Argapati kemudian, “beristirahatlah. Aku akan pergi sendiri.”

Samekta menjadi semakin bingung. Kerti pun menjadi bingung pula. Apalagi ketika ia tersentuh tubuh Ki Argapati yang menjadi terlampau panas. Panas oleh benturan yang terjadi di dalam tubuhnya. Benturan antara obat yang memampatkan lukanya dengan warangan yang ada pada ujung senjata Ki Tambak Wedi yang tergores di dada Ki Gede Menoreh itu, meskipun tidak terlampau tajam.

“Ki Gede,“ berbisik Kerti lirih, “tubuh Ki Gede menjadi terlampau panas. Mungkin terjadi sesuatu di dalam tubuh Ki Gede.”

“Oh,“ desah Ki Argapati “muugkin. Tetapi aku merasa semakin sehat. Aku sudah hampir pulih kembali.”

“Tetapi apakah agaknya yang memaksa Ki Gede untuk berbuat sekarang?“ bertanya Kerti pula. “Mungkin karena Ki Gede merasa kehilangan Pandan Wangi?”

“Sudah aku katakan,“ sahut Ki Gede.

Namun agaknya pertanyaan Kerti itu telah membuat Samekta, Wrahasta dan orang-orang lain menjadi terperanjat. Dengan terbata-bata Samekta bertanya “Maksud Ki Gede. Ki Gede ingin menemukan Pandan Wangi? Dan karena itu Ki Gede akan pergi sekarang?”

“Sudah aku katakan. Itulah sebabnya maka aku sebut persoalan ini kalian anggap terlampau pribadi. Aku terlampau mementingkan diriku sendiri, sekedar mencari anakku yang hilang itu.”

“Oh,” Samekta maju lagi selangkah, “tidak Ki Gede. Tidak. Pandan Wangi sama sekali tidak hilang.”

“He?“ Ki Argapati terbelalak mendengar kata-kata itu.

Samekta mengangguk lemah. Ketika sekali lagi ia memandang wajah Ki Gede, maka wajah itu sudah menjadi semakin pucat. Dan bahkan kini tubuh Ki Gede itu mulai menggigil. Agaknya benturan di dalam darahnya menjadi semakin dahsyat. Bahkan Kerti mulai bercuriga, apakah obat dari orang yang membawa cambuk dan mengaku bernama Gupala itu bukan justru racun yang memperkuat warangan senjata Ki Tambak Wedi yang tergores di dada Argapati.

Tetapi Kerti tidak bertanya tentang hal itu.

“Ki Gede,” berkata Samekta kemudian, “Pandan Wangi sudah kembali dengan selamat.”

“Siapa yang mengatakannya?“ bertanya Argapati.

“Ia ada disini.”

“Mana orangnya?”

“Ia sedang tidur. Ia terlampau lelah karena ia bertempur melawan Ki Peda Sura.”

Argapati termenung sejenak. Kata-kata Samekta itu seolah-olah sebuah mimpi saja yang mengganggunya. Perlahan-lahan dirabanya tengkuknya. Terasa lehernya menjadi terlampau panas.

Tiba-tiba saja ia merasakan tubuhnya menjadi terlampau lungkrah. Tulang-tulangnya seakan-akan terlepas dari tubuhnya. Kini baru ia mengerti, betapa tubuhnya dalam keadaan yang parah.

Namun dengan demikian, ia bertanya di dalam dirinya sendiri, “Apakah benar aku mendengar bahwa Pandan Wangi ada di sini? Atau karena keadaanku, maka aku menjadi kehilangan kesadaran, atau pingsan atau mimpi atau dalam keadaan apa pun. Tetapi itu hanya sekedar bayangan didalam hati?”

Tetapi ia mendengar lagi Samekta berkata, “Marilah Ki Gede, kami bawa Ki Gede kepadanya. Kepada Pandan Wangi.”

Ki Gede masih tetap ragu-ragu. Tetapi ia menganggukkan kepalanya sambil menjawab, “Marilah. Tetapi kalau kalian menipuku, maka aku dapat berbuat apa saja di luar sadarku. Adalah di luar nalar, kalau Pandan Wangi mampu melepaskan dirinya dari Peda Sura.”

Samekta tertegun sejenak. Namun kemudian segera ia berpular dan melangkah ke rumah yang diperuntukkan bagi Pandan Wangi.

Beberapa orang yang mengerumuni Ki Gede segera menyibak ketika kuda Ki Gede melangkah pula maju mengikuti Samekta.

Sementara itu Kerti masih juga duduk dibelakang Ki Gede. Di belakang kuda itu para pengawal yang sedang tidak bertugas di regol desa segera mengikutinya berbondong-bondong.

Samekta yang melangkah di depan kuda Ki Gede berjalan semakin cepat. Seperti seorang senapati yang maju di depan pasukannya di peperangan.

“Itulah rumah yang dipergunakannya, Ki Gede,” berkata Samekta sambil menunjuk sebuah rumah yang sedang di pinggir jalan di dalam lingkungan pagar batang-batang pring ori.

Ki Gede menjadi semakin berdebar-debar. Sejenak maka luka dan keadaan dirinya sendiri terlupakan lagi. Yang dipandanginya adalah pintu rumah yang kini telah berada di depannya.

Perlahan-lahan mereka memasuki regol halaman yang tidak terlampau luas. Wrahasta segera menahan para pengawal yang tidak berkepentingan agar mereka tidak turut masuk memenuhi halaman rumah itu.

Suara ribut-ribut di luar ternyata telah mengejutkan Pandan Wangi yang sedang beristirahat di bilik dalam rumah itu. Dengan hati yang berdebar-debar ia melangkah ke luar. Kedua pedangnya tetap siap di lambungnya.

“Apakah yang diributkan oleh orang-orang di luar itu bibi?” bertanya Pandan Wangi kepada seorang perempuan tua pemilik rumah itu.

“Entahlah, Ngger. Aku belum menjenguk juga.”

Pandan Wangi mengangguk-anggukkan kepalanya. Katanya, “Aku akan melihatnya sebentar.”

Perempuan tua yang lagi duduk di belakang alat tenunnya itu menengadahkan wajahnya. Sambil memiringkan kepalanya ia berkata, “Ya, aku memang mendengar orang ribut di halaman.” Tetapi perempuan itu tidak beranjak dari tempatnya. Sejenak kemudian ia telah mulai melemparkan jarum tenunnya lagi.

Pandan Wangi menarik nafas. Agaknya perempuan tua itu tidak tertarik lagi kepada apa pun juga selain jarum tenunnya yang besar itu.

“Apakah Paman tidak ada di rumah?” bertanya Pandan Wangi pula.

“Tidak, Ngger. Pamanmu sedang keluar,” jawabnya. Tetapi perempuan itu sama sekali tidak berpaling.

Sekali lagi Pandan Wangi menarik nafas.

Dan Pandan Wangi itu terperanjat ketika ia mendengar desah langkah seseorang masuk. Sebelum ia melihat orangnya, Pandan Wangi tdah mendengar suara orang itu memanggilnya.

“Angger Pandan Wangi. Apakab kau sudah bangun?”

“Paman Samekta,” desis Pandan Wangi.

Samekta kini telah berdiri di depan pintu. Katanya selanjutnya, “Aku telah mendengar suaramu. Tentu kau sudah tidak tidur lagi.”

“Aku banya dapat tidur sekejap, Paman. Selebihnya aku banya sekedar berbaring saja.” Pandan Wangi berhenti sejenak, lalu, “Siapakah yang berada di luar selain Paman Samekta.”

“Marilah, lihatlah sendiri.”

“Siapa?”

“Wrahasta.”

“Ah,” Pandan Wangi berdesah.

“Ada yang lain lagi, Ngger, marilah, lihatlah sendiri.”

Pandan Wangi masih juga ragu-ragu. Tetapi Samekta mendesaknya. “Marilah, Ngger, lihatlah siapakah yang menunggumu di luar.”

Samekta tidak menunggu jawaban Pandan Wangi. Segera ia berbalik dan melangkah ke luar, melintas pendapa.

Dengan ragu-ragu Pandan Wangi mengikutinya di belakang. Ketika ia melangkahi pintu, maka di bawah tangga pendapa dilihatnya seekor kuda yang dipegangi oleh seorang pengawal. Di belakang pengawal itu ia melihat Kerti sedang menolong seseorang turun dengan susah payah dari kuda itu.

Tiba-tiba Pandan Wangi terpekik, “Ayah.”

Dengan cepatnya Pandan Wangi meloncat berlari menyongsong ayahnya yang baru saja turun dari punggung kudanya. Menilik keadaannya, Pandan Wangi segera dapat mengetahui, bahwa sesuatu telah terjadi atas ayahnya itu. Karena itu maka dadanya serasa berhenti, seolah-olah menghentikan arus nafasnya.

Ki Argapati mendengar suara anaknya. Sejenak ia menengadahkan dadanya. Dipandangmya seseorang yang berlari ke arahnya. Seorang gadis dengan dua buah pedang di lambungnya sebelah-menyebelah.

“Pandan Wangi.”

Pandan Wangi yang berlari-lari itu langsung memeluk ayahnya yang lemah sambil berdesis, “Ayah, kenapa ayah?”

Ayahnya tidak segera menjawab. Tetapi Pandan Wangi terperanjat ketika tubuhnya tersentuh badan ayahnya. ”Ayah terlampau panas.”

Dengan tangannya yang lemah dilayani oleh Kerti Ki Argapati membelai kepala puterinya. Terdengar suaranya terlampau dalam, “Kau selamat Pandan Wangi.”

“Ya, Ayah, aku selamat,” sahut Pandan Wangi, suaranya menjadi gemetar. Betapa ia bertahan, namun ia adalah seorang gadis. Karena itu, maka terasa di pipinya air matanya mengalir satu-satu.

“Aku mendengar kau terlibat dalam perang tending melawan Ki Peda Sura.”

“Ya, Ayah.”

“Hanya tangan Tuhanlah yang dapat menyelamatkanmu.”

Pandan Wangi mengangguk. “Ya ayah.”

Ki Argapati terdiam sejenak. Tangannya masih membelai rambut puterinya yang kini menangis terisak-isak.

“Ki Gede,” berkata Kerti yang melayaninya, “sebaiknya, silahkan Ki Gede naik dan beristirahat.”

“Oh,” Pandan Wangi berdesah sambil melepaskan pelukannya. “Ya, Ayah. Silahkan Ayah naik. Apakah Ayah terluka?”

Argapati mengangguk perlahan. Terdengar suaranya semakin lirih, “Ya, aku terluka Wangi.”

“Dan tubuh Ayah terlampau panas. Apakah luka itu berbahaya dan parah?”

Argapati tidak segera menyahut. Dipalingkan wajahnya, beredar di halaman rumah itu. Dilihatnya beberapa orang pengawal berdiri mematung. Yang lain menyilangkan tombaknya di regol, supaya orang-orang yang tidak berkepentingan tidak masuk ke halaman.

“Ayah, apakah luka Ayah cukup parah?”

Ki Argapati yang lemah itu menggelengkan kepalanya. Desisnya, “Tidak Wangi. Lukaku tidak terlampau parah.”

“Tetapi Ayah sangat pucat dan tubuh Ayah sangat panas.”

Ki Argapati mencoba tersenyum. Namun tampak betapa ia menahan gejolak di dalam tubuhnya. Perasaan yang aneh menjalar menyusur peredaran darahnya. Di dalam dadanya serasa menyala api yang sangat panasnya.

“Angger,” potong Kerti kemudian ketika Pandan Wangi masih ingin bertanya, “Biarlah Ki Gede Menoreh naik ke rumah dan beristirahat.”

“O, marilah. Marilah Ayah.”

Kerti dan Pandan Wangi kemudian membamu Ki Gede menaiki tangga pendapa. Perlahan-lahan mereka melintas dan masuk ke ruang dalam.

“Bibi,” berkata Paudan Wangi kepada perempuan tua yang lagi menenun di sudut ruang, “Ayahku minta ijin untuk tinggal di rumah ini pula bersamaku, Bibi. Ayah sedang terluka.”

Perempuan tua itu berpaling sejenak. Dipandanginya Argapati yang menjadi semakin lemah. Acuh tidak acuh ia menjawab, “Silahkan. Bawalah masuk ke bilik sebelah.”

Pandan Wangi menarik nafas dalam-dalam. Perempuan itu segera melanjutkan kerjanya tanpa memperhatikan lagi orang-orang yang berada di dalam rumahnya.

Perempuan tua itu tidak berpaling ketika Pandan Wangi menyahut, “Terima kasih, Bibi.”

Namun tiba-tiba perempuan itu terbelalak. Dengan terbata-bata ia bertanya, “Siapa? Siapa yang kau katakan akan tinggal di rumah ini bersamamu?”

“Ayah, Bibi. Ayahku.”

“Maksudmu, Ki Gede Menorah?”

“Ya, Bibi.”

“O,” dengan tergesa-gesa perempuan tua itu melepaskan dirinya dari alat tenunnya. Dengan tergesa-gesa ia berdiri dan berkata, “Maaf. Maafkan aku. Aku tidak menyadari bahwa yang datang adalah Ki Gede Menoreh.”

Maka terbungkuk-bungkuk perempuan tua itu melangkah ke bilik yang lain sambil berkata, “Di sini. Di sinilah Ki Gede akan beristirahat.”

Dengan tergesa-gesa pula ia mengemasi pembaringan di dalam bilik itu. Dibentangkannya tikar pandan yang putih sambil bergumam, “Aku tidak menyangka, bahwa Ki Gede akan sudi singgah di rumah ini.”

Ki Gede Menoreh yang terluka itu pun segera dibaringkan di pembaringan itu. Tubuhnya ternyata menjadi semakin panas, dan nafasnya menjadi tersengal-sengal.

Kerti, Samekta. Wrahasta, Pandan Wangi, dan beberapa pemimpin pengawal yang lain menungguinya dengan cemas.

Betapa garangnya Pandan Wangi, namun sebagai seorang gadis yang menghadapi ayahnya yang terbujur dengan wajah pucat dan tubuh menggigil, Pandan Wangi tidak dapat menyembunyikan perasaannya. Betapa ia mumpuni mempergunakan sepasang senjatanya, namun untuk mengatasi keadaan ayahnya ia tidak dapat mempergunakan kemampuannya mempergunakan sepasang pedangnya.

Dalam keadaan yang demikian, maka tidak ada yang dapat memberinya pengharapan selain Kekuasaan Yang Tertinggi. Tidak ada senjata, tidak ada pedang, tombak atau apa pun juga yang akan mampu menolongnya, selain Sumber Hidupnya.

Karena itu, maka baik Pandan Wangi mau pun Ki Argapati sendiri, dalam keadaan demikian telah melepaskan dirinya dari segala macam kemampuan diri, segala macam jenis senjata dan ilmu yang paling dahsyat sekalipun. Kini mereka mencoba mendekatkan diri semakin lekat kepada Penciptanya.

Namun ternyata Ki Gede Menoreh yang telah lebih dalam menyadap pengalaman hidup, lebih cepat dapat menyandarkan perasaannya. Ia lebih cepat meletakkan dirinya ke dalam tangan Yang Maha Kuasa, dalam pasrah diri yang sedalam-dalamnya.

Karena itu, maka tiba-tiba ia menarik nafas dalam-dalam. Dicobanya untuk tersenyum dan berkata lirih kepada Pandan Wangi, “Pandan Wangi, kenapa kau menjadi terlampau cemas?”

“Ayah panas sekali, bahkan menggigil.”

“Luka ini sudah diobati Wangi. Jangan cemas.”

Kerti menarik nafas dalam-dalam. Ia bahkan menjadi semakin curiga terhadap obat yang telah ditaburkan di atas luka Ki Gede. Tetapi ia tidak dapat mengatakannya, supaya Ki Gede Menorek tidak menjadi cemas pula.

Tetapi ngaknya Ki Gede dapat mengerti kecemasan yang tersirat di hati Kerti, sehingga sambil tersenyum ia berkata, “Jangan mencemaskan obat yang telah kau taburkan di atas luka itu Kerti. Aku percaya bahwa orang itu tidak akan berkhianat meskipun aku sudah hampir tidak dapat mengingatnya lagi siapakah dan bagaimanakah bentuk wajahnya.”

Kerti mengerutkan keningnya. Namun ia bertanya pula, “Tetapi bukankah keadaan Ki Gede menjadi semakin sulit.”

Ki Gede adalah seseorang yang memiliki pengetahuan yang jauh lebih luas dari orang-orangnya. Dalam keadaan yang demikian ia masih dapat membuat perhitungan atas dirinya sendiri. Katanya, “Mudah-mudahan aku menjadi segera lebih baik, Kerti. Mungkin benturan antara kekuatan racun pada senjata Tambak Wedi dan obat yang ditaburkan di atas lukaku, telah terjadi di dalam arus darahku. Tetapi kalau aku mampu mengatasinya, maka aku akan segera baik.”

Kerti tidak menjawab. Tetapi kecemasan masih membayang di wajahnya, di wajah Wrahasta dan di wajah Samekta, bahkan di wajah-wajah yang lain.

Dalam keadaan yang demikian, ternyata bahwa orang-orang di sekitar Ki Gede itu tidak mampu lagi untuk menenteramkan hati mereka sendiri, apalagi bagi yang sedang terluka. Setiap kali mereka berdesah untuk melepaskan ketegangan yang menghimpit dada mereka.



Dalam ketegangan, mereka yang berada di sekitar Ki Gede berdiri tegak dalam kediaman. Mereka memandang wajah Ki Gede yang pucat dan suram. Yang dapat mereka lakukan hanyalah menunggu apa yang akan terjadi atas Ki Gede kemudian. Namun di dalam hati mereka tidak sepi dari doa dan harapan atas kemurahan Tuhan Maha Pencipta.

Nafas Ki Gede Menoreh pun menjadi semakin deras. Arus panas di dalam darahnya menyebabkannya basah oleh keringat.

Pandan Wangi akhirnya tidak dapat menahan ketegangan di dalam dirinya sehingga terloncatlah pertanyaannya kepada Kerti, “Paman, obat apakah yang telah dipergunakan oleh ayah?”

“Seseorang telah memberi obat itu di bawah Pucang Kembar, Ngger.”

“Siapakab orang itu?”

Kerti mengaugkat bahunya sambil berdesah, “Aku baru melihatnya sekali itu. Namanya Gupala.”

“Oh,” Pandan Wangi terperanjat, “jadi ayah mempergunakan obat dari seseorang yang belum jelas bagi Paman dan bagi ayah sendiri?”

Kerti menjadi ragu-ragu. Dipandanginya wajah Ki Gede yang pucat. Namun sebelum Kerti menjawab, terdengar suara Ki Gede lirih, “Aku tidak berprasangka jelek kepada anak yang gemuk itu, Kerti. Aku harap bahwa aku akan menjadi semakin baik seteiah benturan yang terjadi antara kekuatan racun dan obat itu mereda.”

Kerti tidak menjawab, dan Pandan Wangi pun tidak bertanya lagi. Mereka kini berdiri seperti patung menyaksikan Ki Gede yang terbaring diam sambil memejamkan matanya. Dicobanya untuk memusatkan segenap sisa-sisa tenaganya dalam perjuangannya mengatasi keadaan yang gawat pada dirinya. Tetapi Ki Gede meletakkan dirinya pada lambaran yang mapan. Pasrah setulus hati kepada Kekuasaan Yang Tertinggi.

Ruangan itu kini menjadi sepi. Perempuan tua pemilik rumah itu sudah tidak menenun lagi. Meskipun ia berdiri di luar pintu, namun ia dapat ikut merasakan, betapa ketegangan mencengkam ruang di dalam.

Hanya nafas-nafas yang tertahan sajalah yang terdengar. Hampir tidak ada mata yang sempat berkedip. Semuanya menatap wajah Ki Gede yang pucat pasi. Kadang-kadang mereka memandangi nafasnya yang bekejaran dan dadanya yang menggelombang. Tangannya yang gemetar bersilang di atas dadanya, sedang kedua kakinya terbujur lurus di bawah selimut kain panjang.

Sekali-kali mereka melihat Ki Gede menarik nafas dalam-dalam. Sekali-kali Pandan Wangi mengusap keringat yang mengembun di kening ayahnya, perlahan-lahan sekali. Tetapi Pandan Wangi tidak berani bertanya sesuatu.

Dadanya berdesir ketika ia melihat tombak pendek ayahnya terbaring di sisi tubuh Ki Argapati itu. Belum dimasukkan ke dalam selongsongnya, meskipun sudah berwrangka.

Tiba-tiba dendamnya kepada Ki Tambak Wedi melonjak sampai ke ujung ubun-ubun. Kalau terjadi sesuatu atas ayahnya, maka segala kesalahan adalah tanggung jawab iblis tua itu. Sejak ayahnya kawin dengan ibunya yang sudah mengandung kakaknya Sidanti, kemudian kemelutnya Tanah Perdikan Menoreh adalah akibat semata-mata dari kelahiran Sidanti, dan akhirnya keadaan ayahnya yang parah saat ini.

Tanpa sesadarnya, maka Pandan Wangi menggeretakkan giginya, sehingga Kerti berpaling ke arahnya. Orang tua itu segera dapat menangkap betapa kemarahan menyala di hati gadis yang perkasa itu.

Kerti menarik nafas dalam-dalam. Tetapi ia segera menyadari, bahwa tidak ada seorang pun yang akan mampu melawan Ki Tambak Wedi selain Ki Gede Menoreh. Apalagi di lingkungan mereka terdapat orang-orang yang bernama Ki Peda Sura, Sidanti, Argajaya, dan orang-orang yang tidak mereka kenal sebelumnya.

***
Dalam ketegangan keadaan itu, Kerti mencoba menilai keadaan secermat-cermatnya. Pasukan Samekta telah terpukul mundur, bahkan bersama-sama dengan para pengawal pilihan yang dipimpin oleh Wrahasta. Tetapi apakah yang dapat dilakukan Samekta dan Wrahasta menghadapi Sidanti dan Argajaya? Adalah suatu keajaiban bahwa Pandan Wangi tidak terbunuh atau tertangkap ketika ia berkelahi melawan Ki Peda Sura. Tetapi Pandan Wangi masih belum mengatakan, apakah sebabnya ia berhasil melepaskan dirinya.

Angan-angan mereka itu segera tersentak ketika mereka mendengar desah Ki Gede menarik nafas dalam-dalam. Perlahan-lahan ia menggerakkan tangannya, kemudian sekali lagi menarik nafas dalam-dalam.

“Ayah,” desis Pandan Wangi. Ki Gede tidak segera menjawab.

“Ayah, Ayah,” Pandan Wangi menjadi pucat, “Ayah.”

Hampir saja ia menjerit sambil memeluk ayahnya, apabila Kerti tidak segera menahannya, “Jangan, Ngger. Jangan membuat ayah terkejut. Lihat, nafasnya menjadi semakin teratur.”

“Tetapi….”

Pandan Wangi menjadi semakin bingung ketika Kerti tidak juga melepaskannya. Lenyaplah gambaran seorang prajurit yang tangkas di peperangan. Yang ada kini adalah seorang gadis yang kecemasan menunggui ayahnya, satu-satunya orang tuanya yang ada, yang sedang dibelai maut.

“Tidak, Ngger. Lihatlah. Ayah sedang mencoba mengatasi kesulitan yang ada di dalam dirinya dengan memusatkan segenap kemampuanya dan kekuatan yang tersisa. Ayah sedang memohon kepada Tuhan dengan segenap hatinya, segenap budinya. Marilah kita ikut berdoa di dalam hati.”

“Tetapi, tetapi, bagaimanakah keadaan ayah itu nanti.”

“Jangan cemas. Kita pasrahkan keadaannya kepada Penciptanya. Tetapi menilik tata-lahir yang kasat mata, keadaan ayahmu menjadi semakin baik.”

“Tetapi, tetapi, apakah obat itu bukan justru menyesatkan?”

Pertanyaan itu menyentuh perasaan Kerti yang betapapun kecilnya mempunyai dugaan serupa pula. Tetapi ia yakin, bahwa Ki Gede sendiri, seorang yang hampir mumpuni, pasti dapat membedakan, apakah yang sedang terjadi atas dirinya, sehingga karena Ki Gede sendiri sama sekali tidak berprasangka, maka ia tidak berbuat apa-apa.

“Paman,” Pandan Wangi mendesak, “apakah tidak ada reorang dukun yang cukup cakap untuk mengetahui, apakah yang menyebabkan ayah menjadi terlampau panas dan parah seperti ini.”

Kerti tidak dapat menjawab pertanyaan itu. Seandainya ada seorang dukun yang cakap tentang obat-obatan, namun Ki Argapati sendiri telah mantap mempergunakan obat dari orang yang belum begitu dikenalnya itu. Tetapi meskipun demikian, ikhtiar itu harus dilakukan. Pendapat Pandan Wangi itu dapat diusahakan seandainya mungkin.

Karena itu sambil mengangguk-anggukkan kepalanya ia berdesis, “Memang hal itu pun akan dapat kami coba.”

Kerti pun kemudian berbisik kepada seseorang yang berdiri di belakangnya, untuk menghubungi pemimpin-pemimpin pengawal yang lain. Yang mungkin dapat memanggil seseorang yang mampu menolong keadaan Ki Gede yang sedang parah itu.

Orang itu pun mengangguk-anggukkan kepalanya sambil berkata, “Aku akan mencoba.”

“Tetapi orang itu harus benar-benar dapat dipercaya. Lebih baik apabila orang itu tinggal di daerah ini. Orang yang selama ini selalu berhubungan dengan Ki Gede dalam soal obat-obatan ternyata kini telah berada di pihak Sidanti.”

“Ki Wasi?” bertanya orang itu.

Kerti mengangguk. “Ya, orang itu ternyata kini berpihak kepada lawan meskipun selama ini ia selalu dekat dengan Ki Gede dalam soal obat-obatan.”

Pengawal itu mengerutkan keningnya. Tiba-tiba ia bertanya, “Tetapi bukankah obat yang dipergunakan oleh Ki Gede ini bukan obat dari Ki Wasi.”

Kerti menggelengkan kepalanya. “Bukan, aku kira bukan.” Namun terbersit keragu-raguan di dalam dadanya. Apakah anak yang gemuk itu bukan sekedar suruhan Ki Wasi untuk meracuni Ki Argapati?

“Ah, kenapa aku menjadi terlampau cemas,” berkata Kerti di dalam hatinya. “Ki Gede telah mengenal cirri-ciri orang yang memberinya obat. Agaknya Ki Gede mempercayainya. Kenapa aku menjadi terlalu gelisah?”

Kerti mengangguk ketika pengawal itu berkata, “Baiklah aku pergi sekarang. Mudah-mudahan di padesan ini aku dapat menemukannya. Yang benar-benar baik dan dapat dipercaya.”

“Pergilah. Asal bukan Ki Wasi dan Ki Muni. Kedua-duanya tidak lagi dapat dipercaya.”

Pengawal itu segera pergi meninggalkan ruangan itu, untuk mencoba memenuhi permintaan Kerti dan Pandan Wangi.

Pandan Wangi, Wrahasta, Kerti, dan beberapa orang yang lain masih saja mengerumuni Ki Argapati dengan dada yang dicengkam oleh ketegangan. Ki Argapati masih terbaring diam sambil memejamkan matanya, dengan tangan bersilang di dadanya.

“Bagaimana keadaan ayah, Paman?” Pandan Wangi berbisik dalam kecemasan yang mencengkam.

“Kita hanya dapat menunggu, Ngger. Tetapi setidak-tidaknya keadaannya tidak menjadi semakin parah. Bahkan, lihatlah, pernafasannya sudah jauh lebih baik dan teratur.”

“Ayah telah mengerahkan tenaganya untuk mengatur jalan pernafasannya. Tetapi apakah ia dapat bertahan?”

Kerti tidak menjawab. Tetapi kecemasan yang sangat membayang di matanya. Keningnya yang telah berkerut, menjadi semakin berkerut-merut.

Wrahasta yang berdiri tegak di samping Kerti, sama sekali tidak bergerak. Ia pun tidak kalah cemasnya dari Kerti dan Samekta. Tetapi seperti juga Samekta, ia berusaha untuk menekan kecemasannya di dalam hatinya. Apalagi mereka tidak melihat langsung seperti Kerti, seseorang yang kurang mereka kenal memberikan obat kepada Ki Gede, dan obat itu telah ditaburkan di atas lukanya.

Di halaman rumah itu, pengawal yang mendapat tugas dari Kerti untuk mencari seorang dukun, segera melakukan tugasnya. Dengan tergesa-gesa ia berlalu dari halaman rumah itu, menghubungi seorang penduduk untuk menanyakan apakah di padukuhan itu ada seorang dukun yang baik untuk mengobati luka-luka baru, luka-luka karena senjata dan racun.

Tetapi pengawal itu kecewa ketika ia melihat orang itu menggelengkan kepala. ”Sayang, di desa ini tidak ada seorang pun yang pantas untuk mengobati luka. Apakah Ki Gede terluka parah?”

“Ya, Ki Gede terluka.”

“Apakah luka itu berbahaya bagi jiwanya?”

Pengawal itu terdiam. Ia tidak dapat menjawab pertanyaan itu. Namun kediamannya telah memberikan kesan kepada orang yang bertanya kepadanya, bahwa memang keadaan Ki Gede cukup berbahaya.

Berita tentang keadaan Ki Gede itu pun segera tersiar. Orang orang yang berdiri di luar halaman, di gardu-gardu dan hampir di segala tempat, telah mempercakapkan keadaan Ki Gede Menoreh. Mereka menjadi sangat berprihatin. Pada saat tanah perdikan ini mengalami bencana, maka pada saat yang demikian Ki Gede berada dalam keadaan luka parah, dan bahkan membahayakan jiwanya.

Pada saat orang-orang di seluruh padesan itu sedang berdoa untuk keselamatan Ki Gede, seluruh pengawal yang mundur ke dalam daerah itu, dan seluruh peududuk di daerah-daerah yang masih setia kepadanya, mengharapkan kesembuhannnya, maka para pengawal di jurusan Timur padesan itu telah dikejutkan oleh suara panah sendaren yang meluncur dari dalam daerah lingkungan bambu berduri.

Suara panah sendaren itu benar-benar telah menarik perhatian para pengawal, sehingga pemimpin pengawal yang berada di daerah itu segera memberikan perintah. ”Dua orang pergi bersama aku.”

Ketiganya segera meloncat ke atas punggung kuda berlari ke arah panah sendaren itu meluncur. Namun agaknya mereka telah terlambat. Panah itu jatuh ke dalam sebuah pategalan yang agak rimbun. Ketika kuda mereka mendekat, maka mereka melihat seekor kuda meluncur dengan cepatnya, menerobos dedaunan berlari ke jurusan induk kademangan.

“Seorang pengbubung atau petugas sandi dari Sidanti.”

“Marilah kita kejar,” geram salah seorang pengawal itu.

Tetapi pemimpin pengawal itu menggelengkan kepalanya, “Tidak akan dapat kita capai. Kuda itu tidak kalah baiknya dengan kuda-kuda kita. Kita kalah waktu dan kita pasti akan terjebak.”

Tetapi panah itu sangat menarik perhatian para pengawal, sehingga pemimpin pengawal itu berkata seterusnya, ”Kita harus melaporkan, bahwa di dalam lingkungan kita pasti ada petugas sandi Sidanti yang telah melepaskan panah sendaren itu.”

Ketiga pengawal berkuda itu segera berpacu kembali. Dengan segera mereka pun berusaha menemui Samekta yang sedang menunggui Ki Gede yang sedang sakit.

“Ada apa?” bertanya Samekta berbisik.

Pemimpin pengawal itu ragu-ragu sejenak. Beberapa langkah ia bergeser diikuti oleh Samekta yamg mengerti maksud pengawal itu. Lalu katanya, ”Seseorang telah melepasksan panah sendaren dari ujung desa ini.”

Samekta mengerutkan keningnya. Berita itu merupakan berita penting baginya.

“Kami bertiga sudah berusaha untuk mengejar panah sendaren itu, karena kami yakin bahwa seseorang telah menunggunya. Tetapi ternyata kami terlambat.”

“Kenapa?”

“Panah sendaren itu merupakan sesuatu yang tiba-tiba bagi kami. Ketika kami berkuda menyusul arah panah itu, maka seekor kuda yang lain telah berlari kencang-kencang dari petegalan sebelah.”

“Apakah kalian tidak mengejarnya?”

“Sudah terlampau jauh.”

Samekta mengangguk-anggukkan kepalanya.I Ia dapat mengerti, bahwa mustahil para pengawal dapat berbuat terlampau cepat dan tiba-tiba, memacu kudanya secepat anak panah pula.

Tetapi peristiwa itu tidak akan dapat dibiarkannya saja. Maka sebelum ia menemukan pemecahan ia berkata, ”Awasi keadaan baik-baik. Usahakan untuk mengetahui, siapakah yang telah melepaskan anak panah itu, atau setidak-tidaknya berusaha untuk mencegah, jangan sampai hal serupa itu terulang.”

Pemimpin pengawal itu menganggukkan kepalanya. Kemudian ia minta diri, meninggalkan rumah itu. Sekali ia berpaling, mencoba memandang wajah Ki Gede dari sela-sela yang mengerumuninya. Wajah itu masih juga pucat, dan mata Ki Gede masih saja terpejam.

Kerti yang berdiri di samping Pandan Wangi dengan gelisahnya menunggu orang yang disuruhnya mencari seorang dukun yang mungkin dapat membantu Ki Argapati, tetapi orang itu masih juga belum datang. Sedang keadaan Ki Gede merupakan teka-teki yang menegangkan bagi mereka yang tidak begitu mengerti tentang persoalan serupa itu.

Dengan tergesa-gesa Kerti menyongsongnya, ketika orang yang disuruhnya itu memasuki pintu. Tetapi ia menjadi kecewa ketika orang itu mengangkat bahunya sambil berkata, ”Tidak ada. Tidak ada seorang pun yang dapat melakukannya dengan meyakinkan. Di sini memang ada dukun-dukun kecil yang hanya mampu mengobati luka-luka kecil. Mungkin sakit sawan atau kerasukan. Tetapi tidak untuk melawan luka yaug begitu parah.”

Kerti menggeleng-gelengkan kepalanya. Ia menjadi semakin cemas. Tetapi ia sama sekali tidak dapat berbuat sesuatu. Perlahan-lahan ia melangkah kembali ke tempatnya di samping Pandan Wangi.

“Bagaimana, Paman?” bisik Pandan Wangi.

“Belum, Ngger. Orang itu belum menemukan. Tetapi yang lain masih akan berusaha terus.”

Pandan Wangi mengerutkan keningnya. Kecemasan yang sangat membayang di wajahnya. Tetapi seperti juga Kerti, ia pun tidak mampu berbuat apa-apa selain menunggu. Menunggu dan berdoa di dalam hati. Ia masih mengharap, bahwa secepatnya akan ada orang yang datang untuk membantu memperingan penderitaan Ki Gede dengan segala cara. Namun sebenarnya ia tidak akan dapat mengharap siapa pun. Kerti pun tidak, karena orang yang disuruhnya itu, tidak lagi berusaha untuk mendapatkan orang lain. Tidak ada orang yang dapat diharapkannya lagi.

Namun sementara itu, seseorang berjalan tertatih-tatih mendekati gardu penjagaan. Dengan nafas terengah-engah ia berkata kepada para penjaga, ”Aku akan keluar, Ngger.”

“Apakah keperluanmu, Kek?” bertanya seorang pengawal.

“Aku akan mencari seorang dukun yang baik, yang mungkin mampu mengobati luka-luka Ki Argapati.”

“Kemana kau akan pergi?”

“Kemana pun juga. Ki Samekta menyuruh aku mendapatkannya segera di mana pun.”

Beberapa orang pengawal saling berpandangan sejenak. Ketika pemimpin pengawal menganggukkan kepalanya, maka pengawal itu berkata, “Pergilah. Hati-hati, Kek. Keadaan semakin gawat.”

“O, tidak ada lagi halangannya buat seorang seperti aku, Ngger. Aku sudah tua.”

“Tetapi kau harus hati-hati. Apalagi kalau orang lain tahu bahwa kau mencari obat untuk Ki Argapati.”

“Baik, Ngger.”

Orang itu pun kemudian berjalan tersuruk-suruk di panasnya matahari meninggalkan padesan yang dilingkungi oleh pering ori yang rapat, membentengi tempat pemusatan pasukan induk pengawal Tanah Perdikan Menoreh yang terdesak dari padukuhan induk.

Berita tentang luka Ki Argapati memang sudah tersebar sampai hampir seluruh tanah perdikan. Tetapi tidak seorang pun di luar lingkungan pagar pering ori yang tahu keadaan sebenarnya dari luka Ki Gede itu. Ki Tambak Wedi yang tahu benar tentang luka itu pun, tidak dapat membayangkan akibatnya. Apakah yang kemudian terjadi dengan Ki Gede itu. Apakah luka itu menjadi bertambah parah, ataukah Ki Gede dapat mengabaikannya. Ketika Ki Tambak Wedi meninggalkannya, tampaknya Ki Gede masih tetap segar dan mampu melawannya.

Karena itu, maka Ki Tambak Wedi memerlukan keterangan. Yang diharapkannya adalah beberapa orang yang memang sudah berada di dalam lingkungan pering ori itu, di padukuhan kecil tempat induk pasukan Menoreh menempatkan dirinya.

Ketika seorang petugas sandinya datang dan melaporkan bahwa sudah ada tanda panah sendaren dari seseorang di dalam lingkungan pasukan Menoreh, maka harapan Ki Tambak Wedi menjadi semakin besar untuk segera dapat mengetahui apakah yang telah terjadi dengan Ki Argapati.

“Ia pasti segera datang,“ desisnya.

Sidanti mengannguk-anggukkan kepalanya. Tetapi ia tidak menjawab. Sekilas dilihatnya wajah Argajaya dengan sudut matanya. Wajah itu pun sama sekali tidak memberikan kesan apa pun juga.

Sementara itu, orang tua yang keluar dari daerah tertutup, pemusatan pasukan Menoreh semakin lama menjadi semakin jauh dari regol desa. Ketika orang tua itu berbelok dan masuk ke dalam daerah pategalan, maka tiba-tiba ia menarik nafas dalam. Punggungnya yang selama ini terbungkuk-bungkuk menjadi tegak kembali. Sambil menggeliat ditekankannya kedua tangannya di lambungnya sambil bergumam lirih, “Hem, serasa hampir patah punggungku.”

Sejenak kemudian orang itu berpaling. Sama sekali tidak dilihatnya seseorang menyusulnya. Daerah iu benar-benar merupakan daerah mati.

“Aku harus segera menyampaikannya kepada Sidanti, bahwa luka Ki Argapati sangat parah, bahkan hampir merenggut jiwanya,” katanya di dalam hati.

Orang itu mengangguk-anggukkan kepalanya. Namun ketika ia akan melangkahkan kakinya ia mendengar gemerisik di sampingnya. Cepat ia meloncat dan bersiaga untuk menghadapi setiap kemungkinan.

Sejenak kemudian dari balik rimbunnya dedaunan, muncul seseorang sambil berkata, “Hem, aku sudah mengira.”

Orang tua itu terperanjat. Orang yang muncul dari balik rimbunnya dedaunan itu adalah salah seorang pengawal Menoreh.

“Apa yang kau duga?” bertanya orang tua itu.

“Aku bercuriga melihat kau keluar dari padesan untuk mencari obat buat Ki Argapati. Ki Samekta tidak akan memerintahkan kepadamu, seandainya ia benar-benar memerlukan. Ternyata belum terlampau jauh, kau telah membuka kedokmu. Kau ternyata tidak terlampau tua seperti yang kau perankan. Kau belum begitu lemah dan belum saatnya berjalan tersuruk-suruk. Bahkan agaknya kau masih mampu untuk bertempur.”

“Hem,” orang tua itu menarik nafas, “Hidung petugas sandi pengawal Menoreh cukup tajam.”

“Bukankah kau juga orang Menoreh? Kita pasti sudah pernah berjumpa sebelum ini. Aku pernah mengenalmu, tetapi tidak tertatih-tatih dan tersuruk-suruk seperti keadaanmu pada saat kau keluar dari regol desa itu. Itulah yang membuat aku bercuriga. Tetapi kau tetap dilepaskan, seolah-olah kami sama sekali tidak menaruh perhatian atasmu. Nah, sekarang, marilah kita kembali saja. Kalau kau tidak terlalu banyak ribut, maka kau tidak akan mengalami nasib terlampau jelek.”

Orang tua itu mengerutkan keningnya. Sesaat ia tegak seolah-olah membeku. Namun tiba-tiba, secepat kilat ia mencabut sehelai keris kecil dari wrangkanya di bawah bajunya. Tanpa mengucapkan sepatah kata pun lagi ia langsung menyerang, menusuk dada.

Tetapi pengawal dari Menoreh itu pun telah mempersiapkan dirinya. Sehingga dengan demikian, maka ia pun mampu untuk meloncat mneghindari serangan itu.

“Hem, kau melawan, Kek?” katanya.

Orang tua itu tidak menjawab, Tetapi serangannya telah berulang lagi. Semakin lama semakin cepat. Kerisnya mematuk-matuk dengan dahsyatnya seperti seekor bilalang yang melenting-lenting untuk hinggap di tubuh pengawal Tanah Perdikan Menoreh itu.

Dengan demikian, maka petugas sandi dari Menoreh itu tidak dapat terus-menerus menghindar dan menghindar. Akhirnya ia pun harus bertempur pula.

Sesaat kemudian kedua tangannya telah menggenggam sepasang pisau belati pendek, yang segera terayun-ayun dengan dahsyatnya, menyambar-nyambar mengimbangi gerak keris lawannya.

Demikianlah, maka perkelahian itu pun semakin lama menjadi semakin sengit. Masing-masing ternyata adalah orang-orang terpilih. Orang orang yang memiliki beberapa kelebihan dari kawan-kawan mereka sehingga mereka mendapat tugas untuk melakukan pekerjaan-pekerjaan yang berbahaya.

Setelah perkelahian itu berlangsung beberapa saat, maka ternyata bahwa pengawal tanah perdikan yang sedang bertempur itu memiliki beberapa kelebihan dari lawannya. Umurnya masih jauh lebih muda dan nafasnya masih tetap segar, meskipun ia telah memeras kemampuannya. Sedang orang tua yang bersenjata keris itu semakin lama telah menjadi semakin susut tenaganya. Nafasnya mulai mengganggunya, dan ketuaannya agaknya berpengaruh juga atas kelincahannya, meskipun sebenarnya ia tidak perlu berjalan tertatih-tatih dan tersuruk-suruk.

Orang tua yang merasa dirinya terdesak itu segera mengerahkan tenaganya. Dicobanya untuk mengimbangi kemampuan lawannya. Tetapi ternyata bahwa lawannya pun berusaha sekuat tenaganya untuk segera mengakhiri perkelahian itu.

Dalam keadaan serupa itu, maka tidak ada jalan lain bagi orang tua itu daripada melarikan diri. Ia merasa bahwa ia mempunyai kecakapan yang melebihi orang-oran kebanyakan. Ia mampu berlari cepat sekali.

Namun sebelum ia mulai melepaskan langkah pertamanya, tiba-tiba sekali lagi mereka dikejutkan oleh gemerisik dedaunan di sekitar mereka. Pengawal Tanah Perdikan Menoreh itu meloncat surut ketika ia melihat bahwa orang yang datang itu adalah orang Sidanti.



“Hem, aku sudah menyangka,” desis orang itu.

“Apa?” bertanya orang tua yang hampir kehabisan nafas sambil bertolak pinggang.

“Aku menyangka bahwa perjalananmu terganggu.” Kemudian ia berpaling kepada petugas sandi yang baru saja berkelahi itu, “Kau dapat menemukannya, bahwa ia adalah seorang petugas kami?”

Pengawal Tanah Perdikan Menoreh itu menjawab, “Kita adalah orang-orang Menoreh. Sudah tentu kita sudah pernah saling bertemu dan saling mengenal meskipun belum begitu rapat. Aku juga pernah mengenal kau sebagai bekas pengawal tanah perdikan ini. Kau pun pasti sudah mengenal aku pula.”

“Bukan aku yang bekas pengawal tanah perdikan ini, tetapi kau.”

Pengawal itu mengerutkan keningnya. Ditatapnya kedua orang pengikut Sidanti itu berganti-ganti.

“Jangan menyesal, karena kau mengikuti aku,” berkata orang tua itu. “Memang sudah lazimya terjadi di daerah peperangan. Kalau seseorang gagal membinasakan lawannya, maka ia sendirilah yang mungkin akan menjadi binasa. Bukankah begitu?”

Pengawal itu menganggukkan kepalanya. “Ya, itu sudah aku sadari sebelumnya.”

Jawaban itu membuat kedua orang pengikut Sidanti terdiam sejenak. Mereka saling berpandangan. Mau tidak mau mereka harus mengagumi lawannya, yang menempatkan dirinya di atas landasan yang mantap.

Dan sejenak kemudian pengawal itu berkata pula, “Nah, sekarang bagaimana? Aku tetap dalam pendirianku. Kau, Kek, harus kembali. Bahkan kalau mungkin kau yang baru saja menyusul, akan aku tangkap pula.”

Orang tua, yang ternyata petugas sandi itu, menarik nafas dalam-dalam. Katanya, “Kau terlampau dibutakan oleh kesetiaanmu yang tidak akan ada artinya, sehingga kau tidak dapat melihat yang terbentang di hadapan hidungmu. Kau berdiri berhadapan dengan kami berdua. Melawan aku sendiri kau tidak segera dapat menang. Sehingga menurut takaran yang wajar, kau tidak akan menang melawan kami berdua bersama-sama. Tetapi kau masih juga berkata akan membawa aku kembali dan menangkap kawanku ini.”

“Apa pun yang akan terjadi atasku.”

Lawannya, yang datang kemudian, tertawa pendek. Katanya, “Orang-orang yang sampai saat ini masih juga menjadi pengikut Argapati memang tergolong orang-orang gila serupa ini.”

“Terserahlah menurut penilaianmu. Sebab aku yakin, bahwa kau sendiri sebenarnya dapat menimbang, menilai dan membuat perbandingan-perbandingan, antara Ki Argapati dan Sidanti. Siapakah yang salah dan siapakah yang benar.”
“Aku sudah menyangka, bahwa kau akan berpendirian serupa itu. Orang-orang semacam kau ini memang dapat berbuat membabi buta sampai sisa nyawamu yang terakhir. Karena itu, kami memang tidak dapat berbicara dengan kau. Yang dapat kami lakukan adalah memaksa kau dengan kekerasan untuk melihat ke-nyataan, bahwa mayatmu akan terkapar di pategalan ini. Dengan demikian maka kedatanganku di sini tidak akan sia-sia. Sebab sesuai dengan perhitungan Sidanti, memang mungkin sekali seseorang akan mengikuti kakek ini keluar. Ternyata perhitungan itu benar. Sedang kalau aku tidak juga segera kembali, maka tidak mustahil Sidanti akan mengirimkan lagi lebih dari satu orang untuk menjemput aku. Jika demikian, maka kami berharap dapat menangkap kau hidup-hidup. Keterangammu tentang Ki Argapati dam daerah pertahanannya yang terakhir pasti akan sangat kami butuhkan. Betapa pun juga kau bersumpah setia, namun kami akan berusaha memeras segala macam keterangan dari mulutmu. Selama kulitmu masih belum sekeras baja, dan dagingmu belum menjadi batu.”

Pengawal Tanah Perdikan Menoreh itu mengerutkan keningnya. Debar di dalam dadanya menjadi semakin cepat. Apa yang dikatakan oleh kedua orang itu memang tidak mustahil akan terjadi atas dirinya apabila ia berhasil ditangkap hidup-hidup.

“Aku masih belum terlampau jauh dari regol desa. Kalau aku berbasil membawa mereka keluar dari pategalan ini, meloncati tikungan, maka pasti akan ada seorang yang dapat melihat kami,” berkata orang itu di dalam hatinya. Maka dengan demikian ia bertekad untuk dengan segala cara menyelesaikan tugasnya sebaik-baiknya. Tetapi ia pun menyadari akibat yang paling parah dapat terjadi atasnya pula.

Orang itu mengangkat wajahnya ketika ia mendengar orang itu, petugas sandi Sidanti itu berkata, “Bagaianana? Apa sudah kau pertimbangkan? Mati atau ikut kami. Ada dua kemungkinan dapat terjadi atasmu apabila kau berada di antara kami. Kalau kau menyerah dengan suka rela dan memberikan keterangan dengan sejujur-jujurnya, kau akan mendapat tempat yang baik. Tetapi kalau kau terpaksa kami tangkap dengan kekerasan, akibatnya akan lain.”

“Kemungkinan-kemungkinan itu semuanya tidak aku kehendaki,” jawab pengawal itu.

“Aku sudah menduga, karena itu, kami terpaksa melumpuhkan kau. Kalau mungkin menangkap kau hidup-hidup. Kalau tidak membunuhmu dan membiarkan bangkaimu dimakan anjing liar di pategalan ini.”

Pengawal itu tidak menjawab. Tetapi ia telah bersiaga sepenuhnya. Kedua pisaunya yang telah siap di tangannya digengggamnya erat-erat.

Kedua petugas dari pihak Sidanti itu pun segera bersiap pula. Keduanya saling berpencar dan mencari sudut-sudut serangan dari arah yang berbeda. Kakek tua dengan keris kecilnya seolah-olah mendapat tenaga baru di dalam dirinya, sedang orang yang baru datang itu, benar-benar masih cukup segar. Selain dari kesegaran tubuhnya, maka di tangannya tergenggam sehelai senjata panjang. Pedang.

Tetapi Pengawal yang hanya seorang diri itu tidak akan menyerah. Ia dapat berusaha sedikit demi sedikit berkisar dari tempatnya, dan muncul di tempat yang terbuka, dengan harapan orang-orang yang berada di regol padesan tempat pemusatan pasukan Menoreh dapat melihatnya, meskipun tidak terlampau jelas. Tetapi titik-titik yang bergerak-gerak pasti akan menarik perhatian mereka.

Kedua pihak kini tidak lagi saling berbicara. Mereka telah berada dalam kesiagaan yang tertinggi. Seperti mendung yang hitam tebal tergantung di langit.

Demikianlah maka sejenak kemudian mereka telah terlibat dalam perkelahian yang seru. Seorang berhadapan dengan dua orang.

Dengan segala kemampuan yang ada padanya, pengawal Tanah Perdikan Menoreh itu bertahan. Sesuai dengan rencananya, maka ia pun segera bergeser dari satu titik ke titik yang lain. Supaya lawan-lawannya tidak segera menyadari caranya, maka arah yang pertama-tama ditempuh justru masuk semakin dalam ke dalam pategalarn. Namun kemudian melingkar-lingkar dan bergeser perlahan-lahan menepi.

Tetapi ternyata kedua lawannya bukan orang-orang yang berotak terlampau tumpul. Sesaat kemudian dada pengawal itu menjadi berdebar-debar ketika ia mendengar salah seorang lawannya berkata, “Ha, kau akan memancing kami keluar dari pategalan ini. Dengan demikian kau akan mengharap, kawan-kawanmu di regol padesan sebelah dapat melihat kita yang sedang berkelahi.”

Pengawal itu menggeram. Sejenak kemudian dikerahkannya segenap kemampuannya sambil menggeretakkan giginya.

Tetapi betapapun juga, menghadapi dua orang lawan yang mempunyai kemampuan yang cukup, adalah pekerjaan yang terlampau berat baginya. Sedangkan ia sadar kalau ia tidak berhasil, maka rahasia tentang Ki Gede yang parah itu akan segera sampai ke telinga Ki Tambak Wedi.

Kalau Ki Tambak Wedi kemudian dapat mendengar tentang keadaan Ki Argapati maka tidak mustahil, bahwa ia akan memanfaatkan keadaan. Ki Tambak Wedi dapat mengambil kesempatan selagi Ki Argapati masih belum dapat bangkit dari pembaringannya dan memimpin perlawanan.

“Tidak ada orang lain yang dapat melawan Ki Tambak Wedi selain Ki Argapati,” berkata pengawal itu di dalam hatinya. Tetapi dalam pada itu ia pun harus mengakui kenyataan, bahwa ia tidak akan dapat mengalahkan kedua lawannya itu, betapapun juga caranya. Apalagi kedua lawannya itu mengerti, bahwa ia akan membawa mereka ke luar dari pategalan supaya para pengawal yang bertugas di regol desa dapat melihat mereka yang sedang berkelahi.

Tetapi agaknya kedua orang itu tidak mau dipancingnya untuk hal itu.

“Jangan banyak tingkah,” berkata salah seorang dari kedua orang yang berpihak kepada Sidanti, “Kau hanya dapat memilih, menyerah atau terbunuh.”

Pengawal itu tidak menyahut, tetapi terdengar ia menggeram. Tandangnya menjadi semakin garang. Sepasang pisau belatinya menyambar-nyambar dengan dahsyatnya. Namun untuk mengatasi kedua lawannya memang terlampau sulit.

Semakin lama maka semakin ternyata, bahwa ia menjadi kian terdesak. Tidak ada lagi usaha yang dapat dilakukan. Seandainya ia berkeras hati untuk bertempur terus, maka sudah dapat dipastikan bahwa ia akan mati. Kematiannya tidak akan banyak memberikan arti bagi Menoreh. Sebab mayatnya akan berkubur tanpa diketahui oleh siapa pun juga. Tidak ada orang yang tahu, apakah yang sudah terjadi atasnya dan tidak akan ada orang yang tahu bahwa seseorang akan menyampaikan berita, keadaan Ki Gede kepada Ki Tambak Wedi.

“Aku harus mencobanya,” berkata pengawal itu.

Maka sekali lagi ia mencobakan caranya. Memancing kedua lawannya menepi. Tetapi setiap kali lawannya itu tertawa sambil berkata, “Ha, kami bukan anak-anak yang dapat kau jerat dengan permainanmu.”

“Persetan!” teriak pengawal itu. “Aku pun tidak mau mati di tangan kalian berdua.”

“Mau tidak mau, kami akan membunuhmu.”

Tetapi setiap kali pengawal itu selalu menghindar dan berloncatan menjauh.

“Pengecut!” teriak orang-orang Sidanti, “Kau ternyata tidak cukup jantan untuk melakukan tugas sandimu.”

“He,” orang itu tertawa pentdek, “seorang petugas sandi kadang-kadang memang memerlukan sikap yang licik. Bahkan kadang kadang curang. Katakan, apakah kalian cukup jantan juga berkelahi berpasangan melawan aku seorang diri?”

“Tetapi kau sudah terjun ke arena. Prajurit hanya dapat dihentikan oleh maut apabila ia bertempur.”

“Hanya prajurit-prajurit yang tidak mempunyai otaklah yang berpendirian demikian. Kakek ini pun tidak berbuat demikian. Setelah ia terjun dalam perang tanding melawan aku, maka ia telah mengingkari kejantanannya dengan membiarkan kau ikut bersamanya, bersama-sama mengeroyok aku.”

“Persetan!” sahut kakek tua. “Apa pun yang sudah kita lakukan maka aku berkeputusan, kau harus dibinasakan.”

Pengawal Tanah Perdikan Menoreh itu tidak sempat untuk menjawab. Kedua lawannya mendesaknya semakin sengit. Tetapi ia telah bertekad untuk menghindarinya apabila keadaan memang terlampau sulit baginya. Sebab hal itu akan lebih baik bagi pasukannya. Mereka dapat mengerti dan mempersiapkan diri sebelumnya.

Tetapi ia harus menyesal, bahwa ia terpaksa melepaskan orang yang hampir-hampir dapat ditangkapnya itu. Orang itu pasti membawa berita tentang Ki Argapati sanpai ke telinga lawan-lawannya.

“Apa boleh buat,” katanya di dalam hati, “Aku tidak mampu mengatasinya.”

Dengan demikian maka ia berusaha untuk menghindarkan diri dari perkelahian itu. Kedua orang lawannya pun tidak berani mengejarnya terus, sebab dengan demikian, mereka akan keluar dari pategalan dan pasti akan menumbuhkan kecurigaan kepada orang-orang Menoreh di padesaan sebelah.

“Hem, kau benar-benar akan lari,” berkata kakek tua itu, “baiklah. Bukan aku yang menyusul kau, tetapi kaulah yang menyusul aku. Aku tahu maksudmu, supaya aku tidak dapat menyampaikan berita sakitnya Ki Argapati kepadi Sidanti. Tetapi kau tidak berhasil. Kau terpaksa membiarkan kami pergi. Kami akan segera menyampaikan berita itu, dan kau dapat membayangkan akibatnya. Tanpa Argapati, prajurit Menoreh akan menjadi lumpuh. Dengarlah bahwa di pihak Sidanti ada nama-nama Ki Tambak Wedi, Sidanti sendiri, Ki Argajaya, Ki Peda Sura, dan masih banyak lagi. Siapakah yang berada di pihakmu? Pandan Wangi? Cobalah renungkan. Dari mana kalian akan memenangkan peperangan ini? Seandainya kekuatan prajurit di kedua belah pihak seimbang, maka senapati-senapatinyalah yang akan menentukan kemenangan.”

“Ada kelebihan di pihak kami yang tidak kalian miliki,” jawab pengawal itu, “yaitu pengabdian yang tulus. Kau tidak. Kau juga tidak. Orang-orang di pihakmu berkelahi karena pamrih-pamrih pribadi.”

“Pamrih-pamrih itulah yang telah mendorong kami untuk bertekad memenangkan peperangan ini. Pamrih-pamrih yang kami sadari. Bukan kesetiaan yang buta seperti kalian. Sebab orang-orang seperti kalian tidak lebih dari pancadan-pancadan yang hidup tetapi tidak mampu untuk berpikir. Kalian akan menjadi alat tempat orang-orang besar di pihakmu itu berdiri.”

“Itulah tekad kami. Sebab kami percaya bahwa orang-orang yang akan berdiri di atas kami adalah orang-orang yang benar berwenang dan benar-benar orang yang akan berpikir tentang kami dan Tanah kami.”

Hampir bersamaan kedua orang itu tertawa. Salah seorang daripada mereka itu berkata, “Jadilah seperti yang kau ingini. Tetapi bagaimana sekarang? Mati, atau menyerah atau membiarkan kami membawa berita tentang keadaan Ki Gede Menoreh?”
Pengawal itu tidak menjawab. Ia benar-benar tersudut dalam keadaan tanpa dapat memilih. Karena itu, maka kini ia berdiri tegak dengan sepasang senjata di tangannya, namun ia tidak berbuat sesuatu ketika kedua lawannya itu melangkah surut, “Biarlah kami ampuni kau sekali ini. Kau akan tetap hidup. Sebab aku tidak mau kau seret ke luar pategalan ini.”

Pengawal itu tidak menjawab. Kenyataan itu harus dihadapinya. Ia memang tidak mampu untuk melawan kedua pengikut Sidanti itu, betapa pun juga ia memeras tenaganya. Tetapi ia pun tidak mau mati sebelum menyampaikan kabar tentang petugas sandi itu kepada pimpinannya.

Karena itu, dengan hati yang bergolak ia terpaksa membiarkan kedua orang itu beringsut semakin jauh. Apalagi ketika ia mendengar salah seorang dari mereka tertawa sambil berkata, “Selamat tinggal. Berita tentang Ki Gede Menoreh akan segera tersebar. Tetapi mudah-mudahan Argapati sendiri tidak sempat mendengarnya karena lukanya yang parah itu. Aku tidak yakin kalau ia akan dapat disembuhkan oleh dukun yang betapa pun pandainya.”

Yang terdengar adalah gemeretak gigi pengawal itu. Perasaannya menjadi terlampau pahit mengalami peristiwa yang mengecewakan itu. Ia terpaksa membiarkan lawan-lawannya pergi sambil mentertawakannya. Sedang suatu berita yang sangat penting akan mereka bawa kepada lawan.

Sejenak kemudian kedua orang itu pun lenyap di balik dedaunan yang rimbun, seperti lenyapnya harapan petugas sandi dari pengawal Tanah Perdikan Menoreh itu untuk mempertahankan rahasia tentang sakitnya Ki Argapati.

“Peronda-peronda di gardu itu terlampau malas,” ia menggeram. “Tidak seorang pun yang melihat, apa yang telah, terjadi di sini.”

Dengan penuh penyesalan ia melangkahkan kakinya kembali kepada pemimpinnya untuk segera melaporkan peristiwa itu. Di dalam kepalanya telah terbayang berbagai kemungkinan yang pahit bagi pasukan Menoreh. Ki Tambak Wedi pasti akan segera mempergunakan kesempatan untuk menghantam pasukan induk yang masih belum berhasil menghimpun diri sebaik-baiknya itu. Apalagi Ki Argapati sedang terluka parah dan Pandan Wangi sedang dibebani oleh perasaan duka seorang gadis yang sedang nenunggui ayahnya yang sudah mulai dibelai oleh tangan-tangan maut.

Dalam pada itu, tanpa setahu pengawal itu, sepasang mata selalu mengikutinya dari balik rimbunnya dedaunan. Dengan ragu-ragu seseorang melihat segala peristiwa yang terjadi. Hampir-hampir ia tidak dapat menahan diri lagi, dan menerjunkan diri dalam arena perkelahian itu. Tetapi ia selalu memegang pesan seseorang yang diseganinya. Dan pesan itu berbunyi, “Jangan langsung mencampuri persoalan Tanah Perdikan Menoreh. Kita harus menunggu, apabila saat itu telah datang, barulah kita menyatakan diri dalam sikap yang pasti. Kini kita akan berbuat dalam kesempatan-kesempatan yang sangat terbatas. Kita mengharap bahwa orang-orang yang sedang bertengkar itu menemukan penyelesaian yang tidak terlampau parah.”

Orang itu menarik nafas dalam-dalam. Dipandanginya pengawal yang dengan tergesa-gesa meninggalkan petegalan itu.

“Keadaan sudah terlampau parah,” desisnya. “Aku kira tidak akan ada jalan untuk kembali dan menghindari benturan-benturan yang lebih dahsyat lagi. Tetapi baiklah, aku menunggu. Mungkin satu dua hari akan segera ternyata, sikap apa yang akan kami ambil.”

Sambil mengangguk-anggukkan kepalanya ia pun segera meninggalkan pategalan itu sambil bergumam, “Aku harus melaporkannya. Kalau Ki Tambak Wedi mengetahui keadaan Ki Argapati, maka keadaan memang dapat menjadi semakin panas.”

Maka dengan sigapnya orang itu segera meloncat menyusup di antara rimbunnya pepohonan, sambil mengikatkan sebuah cambuk yang berjuntai panjang di bawah bajunya.

Sementara itu, pengawal yang baru saja berkelahi dengan orang-orang Sidanti berjalan semakin lama semakin cepat, bahkan berlari-lari kecil. Dengan nafas terengah-engah ia mendekati regol. Belum lagi ia mendekat terdengar ia mengumpat, “Kalian adalah orang-orang gila yang malas.”

Pemimpin pengawal yang sedang bertugas mengerutkan keningnya, “Kenapa?”

“Kalian telah berbuat suatu kesalahan, sehingga orang tua yang berjalan tersuruk-suruk itu tolos dari tanganku.”

“Kenapa justru aku yang bersalah,” bertanya pemimpin itu.

“Aku tidak mampu melawan mereka berdua.”

“Berdua?”

“Ya. Dan kau tidak mengirimkan seorang pun untuk melihat apa yang telah terjadi. Kalau aku mati di pategalan itu, maka tidak seorang pun yang tahu, apa yang telah terjadi dan bahwa berita tentang sakitnya Ki Gede yang parah itu telah sampai ke telinga Tambak Wedi.”

“He, apakah kau sedang bermimpi. Cobalah, katakan apa yang sebenarnya terjadi. Orang tua yang tersuruk-suruk hampir mati itu dapat lolos dari tanganmu?”

“Kalian bukan petugas sandi. Tetapi kalian harus dapat memperhitungkan bahwa gila sekali apabila Sidanti benar-benar mengirimkan orang yang sudah tidak tegak lagi berjalan.”

Mereka saling berpandangan. Dan mereka mendengar petugas sandi itu menceriterakan serba singkat, apa yang telah terjadi.”

“Sidanti mengirimkan orangnya untuk melihat apa yang terjadi atas petugas sandinya, ketika menurut perhitungannya jarak yang ditetapkannya terlampau jauh.”

“Jarak yang mana?”

“Antara panah sendaren dan kedatangan orang yang mengirimkannya.”

***
Pemimpin pengawal itu mengangguk-anggukkan kepalanya. Ia merasa bahwa ia tidak cukup cepat menanggapi keadaan. Tetapi ia masih juga berkata, “Tetapi aku tidak dapat memperhitungkan waktu serupa itu. Aku melepaskan kau mengikuti orang tua itu. Aku tidak tahu batas waktu yang kau perlukan. Aku kira kau sedang mengikutinya sampai ke pinggir sungai untuk kemudian membenamkan orang tua itu ke dalamnya.”

Petugas sandi itu tidak menjawab. Tetapi ia bergumam, “Aku harus segera melaporkannya.”

Pemimpin peronda itu pun bergumam, “Kita meninggalkan kewaspadaan. Keadaan akan cepat meningkat.”

“Nah, bukankah hal itu kau sadari,” sahut pengawal yang baru saja bertempur melawan orang-orang Sidanti itu.

“Kami, seisi padesan ini, dan bahkan seluruh pasukan Menoreh akan menyadarinya. Sekarang, sampaikan laporan itu, supaya kami mendapat perintah secara resmi, apa yang harus kami lakukan di sini dan mungkin di seluruh daerah yang masih setia kepada Ki Argapati.”

Petugas sandi itu pun mengangguk-anggukkan kepalanya. Kemudian ditinggalkannya regol desa itu, dan dengan tergesa-gesa pergi menemui pimpinan tertinggi pengawal Tanah Perdikan Menoreh, Samekta yang sedang menunggui Ki Argapati yang sedang sakit.

Sementara itu, Ki Argapati yang sedang terbaring, masih juga memejamkan matanya. Sekali-sekali ia menarik nafas dalam-dalam, dan sekali-sekali ujung ibu jari kakinya bergerak-gerak. Namun kemudian diam kembali, seolah-olah sedang membeku.

Pandan Wangi mengerti, bahwa ayahnya sedang memusatkan segenap kemampuannya, untuk menenangkan dirinya. Ayahnya sedang mengatasi kesulitan yang terjadi di dalam tubuhnya akibat benturan racun dari senjata Ki Tambak Wedi dan obat yang ditaburkan di atas luka itu. Namun dalam kegelisahan ia sekali lagi bertanya perlahan-lahan kepada Kerti, “Paman, manakah orang itu? Apakah ia akan menunggu sampai terlambat?”

“Tidak, Ngger,” bisik Kerti, “tentu tidak. Sebentar lagi ia akan datang.”

Namun dalam pada itu, Kerti telah dicengkam oleh. kegelisahannya yang baru. Sebab ia tahu benar, bahwa tidak seorang pun lagi yang pergi mencari seorang dukun. Tetapi ia tidak sampai hati untuk mengatakannya kepada Pandan Wangi yang kecemasan itu.

Samekta yang mendengar pertanyaan Pandan Wangi itu pun menjadi gelisah pula. Dukun manakah yang akan dapat mengobati keadaan Ki Gede yang sudah menjadi kian parah itu?

Namun bagaimana pun juga, mereka masih mempunyai tempat untuk menggantungkan harapan. Mereka yakin akan kekuasan Yang Maha Besar, sehingga segala sesuatu akan sangat tergantung ditangan-Nya.

Dalam ketegangan itu, seseorang masuk ke dalam ruangannya langsung menemui Samekta. Mereka berbisik sejenak, kemudian Samekta bergeser dari tempatnya.

“Seseorang telah terlibat dalam perkelahian melawan orang-orang Sidanti. Salah seorang dari mereka keluar dari desa ini. Karena orang itu mencurigakan, maka seorang petugas sandi mengikutinya. Tetapi kawannya sempat menolongnya, sehingga mereka lolos.”

Samekta mengerutkan keningnya. Desisnya, “Kenapa ia dapat keluar dari daerah ini tanpa pengawasan?”

“Perhitungan kami yang salah,” pemimpin pengawal itu menceriterakan dengan singkat apa yang telah terjadi dengan seorang kakek-kakek dari seorang petugas sandinya.

Samekta mengangguk-anggukkan kepalanya. Tetapi ketegangan semakin membayangi wajahnya. Ia sadar, sepertinya pengawal menyadari, bahwa apabila berita itu sampai kepada Ki Tambak Wedi, dan Ki Tambak Wedi meyakini akan kebenarannya karena mendengar langsung dari mulut petugasnya, bukan sekedar berita dari mulut ke mulut bahwa Ki Argapati dalam keadaan parah, maka keadaan akan cepat meningkat.

Karena itu, maka katanya, “Kita harus segera mempersiapkan diri. Untuk sementara semua pasukan supaya ditarik untuk melindungi desa ini dan desa pengungsian para keluarga. Tempat tempat lain terpaksa kita lepaskan untuk sementara. Kita tidak boleh terpotong-potong menjadi sayatan-sayatan kecil yang akan digulung sedikit demi sedikit.”

Pemimpin pengawal itu menganggukkan kepalanya.

“Tetapi apakah kau yakin bahwa orang itu orang Sidanti.”

“Menurut laporannya, agaknya cukup meyakinkan.”

“Di mana orang itu?”

“Ia menunggu di luar.”

Samekta segera melangkah keluar. Ditemuinya petugas sandi yang langsung berkelahi melawan orang-orang Sidanti. Dan ia pun segera mengulangi ceriteranya, seperti ceritera pemimpin pengawal itu.

Sekali lagi Samekta mengangguk-anggukkan kepalanya. Kepada pemimpin pengawal itu ia berkata, “Hubungi semua pemimpin. Pasukan berkuda supaya dipersiapkan. Mereka harus dapat mengimbangi dengan cepat gerakan pasukan Sidanti. Kalau Sidanti datang menyerang, maka pasukan itu harus meninggalkan tempat ini, menyerang kedudukan-kedudukan Sidanti yang lemah untuk memecahkan perhatian mereka. Kalau perlu, mereka terpaksa mengorbankan satu dua rumah yang kelak akan kita perhitungkan untuk menimbulkan api.”

Pemimpin pengawal itu menganggukkan kepalanya. Ia menyadari sepenuhnya perintah itu.

“Itulah yang harus kalian kerjakan untuk sementara. Aku akan membicarakannya nanti, dan mungkin akan datang perintah berikutnya bagi kalian.”

“Baik,” sahut pemimpin pengawal itu, yang segera minta diri untuk mempersiapkan semua kekuatan yang ada di pihak Ki Argapati. Mereka kini tidak akan dapat mundur lagi. Mereka harus bertahan sampai kesempatan yang terakhir apabila Sidanti benar-benar menyerang. Dan mereka harus mempersiapkan benar-benar pasukan berkuda yang akan terbang ke segenap penjuru Tanah Perdikan ini. Cepat bergerak, dan cepat menghilang apabila keadaan memaksa.

Ternyata berita itu telah membuat Samekta menjadi semakin pening. Tetapi ia tidak akan segera memberitahukannya kepada Pandan Wangi. Biarlah gadis itu melepaskan diri untuk sementara dari persoalan perang. Biarlah ia menunggui ayahnya yang sedang sakit, sebagai seorang gadis yang meletakkan harapannya, bahwa orang yang sedang sakit itu kini merupakan satu-satunya orang tempat bergantung. Ia tinggal satu-satunya orang yang akan dapat melindunginya.

Karena itu, maka diam-diam digamitnya Wrahasta dan Kerti. Mereka bergeser beberapa langkah, dan dengan perlahan-lahan sekali mereka membicarakan apa yang sebaiknya mereka lakukan.

“Marilah kita bicarakan dengan tenang,” minta Wrahasta.

“Tidak sekarang. Kalian dapat memikirkannya, apakah yang sebaiknya kita lakukan. Kita tidak akan dapat meninggalkan Ki Gede dalam keadaannya. Aku sudah memberikan perintah sementara untuk mempersiapkan semua kekuatan di tempat pengungsian dan desa ini. Tidak terpecah belah, di samping satu kekuatan berkuda yang akan selalu mengimbangi gerakan Sidanti. Pasukan itu harus dapat bergerak cepat, mencapai segala penjuru dengan tiba-tiba dan melepaskan diri dengan tiba-tiba. Kalau perlu mereka harus membuat gerakan di sekitar padukuhan induk untuk mengelabuhi Sidanti dan Ki Tambak Wedi.”

Wrahasta dan Kerti mengangguk-anggukkan kepala mereka. Tanpa sesadarnya, mereka berpaling dan memandang Ki Gede yang sedang terbaring. Sedang Pandan Wangi dengan penuh kecemasan berdiri di sisinya. Sekali Pandan Wangi meraba tubuh ayahnya. Tiba-tiba saja ia hampir terpekik. Ketika ia tidak melihat Kerti berdiri di sampingnya, maka segera ia berpaling mencarinya.

“Paman,” desis Pandan Wangi ketika tampak olehnya Kerti berdiri bersama Samekta dengan Wrahasta , “Tubuh ayah sudah tidak panas lagi.”

Hampir terloncat Samekta, Wrahasta, dan Kerti mendekat dengan tergesa-gesa. Hampir bersamaan pula mereka meraba kaki Ki Gede. Dan benarlah kata Pandan Wangi, kaki itu sudah tidak panas lagi. Tetapi justru dengan demikian Kerti menjadi berdebar-debar. Karena apabila panas bagian kepala dan kaki tidak seimbang, maka keadaan yang demikian akan sangat berbahaya bagi Ki Gede.

Karena itu, maka perlahan-lahan Kerti beringsut maju. Perlahan-lahan pula dirabanya tangan Ki Gede. Tangan itu pun kini sudah tidak panas pula. Kemudian dengan tangan gemetar Kerti mencoba meraba leher Ki Argapati. Secercah warna yang cerah membayang di wajahnya. Leher itu pun telah menjadi sejuk seperti tubuhnya sendiri.

Dengan penuh pengharapan Kerti berkata perlahan-lahan, “Ya. Tubuh Ki Gede sudah tidak panas lagi.”

“Pernafasannya pun telah berjalan wajar,” sahut Wrahasta.

“Kita akan berdoa terus,” gumam Samekta.

Kerti dan Pandan Wangi mengangguk-anggukkan kepala mereka. Mereka memang selalu berdoa di dalam hati. Ternyata doa mereka telah didengar-Nya.

Dengan penuh pegharapan kini mereka menunggui Ki Gede yang sedang terbaring. Wajah-wajah mereka tidak lagi dilukisi kecemasan dan kebingungan. Tetapi wajah-wajah itu tampak diwarnai oleh kesegaran nafas Ki Argapati yang semakin lancar.

“Ayah,” Pandan Wangi berdesis ketika ia melihat ayahnya membuka matanya.

Ki Argapati menarik nafas dalam-dalam. Dalam sekali. Seolah-olah ia menjadi terlampau haus menghirup kesegaran udara Tanah Perdikan Menoreh.

“Ayah,” Pandan Wangi mengulangi.

Yang pertama-tama dipandang oleh Ki Argapati adalah wajah puterinya. Kemudian orang-orang di sekitarnya. Samekta, Wrahasta, Kerti, dan orang-orang lain.

Sekali lagi Ki Argapati menarik nafas dalam-dalam. Kemudian perlahan-lahan berkata, “Mudah-mudahan aku dapat mengatasi kesulitan di dalam diriku.”

Tubuh Ki Gede telah menjadi sejuk. Agaknya darah Ki Gede pun mengalir dengan wajar.

Kepala Ki Argapati bergerak-gerak. Ia mengangguk kecil sambil berkata lirih, “Obat yang kita terima dari anak yang gemuk itu ternyata terlampau baik.”

“Bagaimana ayah?” potong Pandan Wangi. “Apakah itu suatu bentuk pengkhianatan.”

“O, kau salah terima Wangi,” jawab Ki Argapati. “Kita harus berterima kasih kepadanya. Tak ada obat semujarab obat yang diberikan kepadaku. Seadainya aku tidak mendapat obat daripadanya, maka keadaan ini akan sangat jauh berbeda, Wangi. Berterima kasih pulalah kita kepada Yang Maha Bijaksana, yang telah mempertemukan aku dengan orang bercambuk itu.”

Pandan Wangi mengerutkan keningnya. Perlahan-lahan ia bertanya, “Orang bercambuk, Ayah?”

“Ya.”

Wajah Pandan Wangi menegang. Tetapi ia tidak segera mengucapkan kata-kata. Teringatlah olehnya, seorang anak muda yang menyebut dirinya sebagai seorang gembala. Seorang anak muda yang mempersenjatai dirinya dengan cambuk.

“Kenapa Wangi? Apakah kau heran mendengar sebutan orang bercambuk itu?”

Pandan Wangi beringsut setapak. Perlahan-lahan ia mengangguk sambil menjawab, “Ya, Ayah. Siapakah orang bercambuk itu?”

“Aku tidak begitu jelas, Wangi. Tetapi aku yakin, bahwa ia bermaksud baik.”

“Di manakah ayah mengenalnya sebelum ini?”

“Ketika ayah masih muda, di dalam lingkungan istana Demak.”

Pandan Wangi terkejut mendengar jawaban itu. Dengan kening yang berkerut-merut ia bertanya, “Berapa kira-kira umur orang bercambuk itu ayah?”

“Seumur ayah.”

“Tidak,” tiba-tiba Pandan Wangi membantah. “Ia masih muda. Bahkan lebih muda dari Kakang Sidanti.”

Kini Ki Argapati-lah yang mengerutkan keningnya. Kemudian perlahan-lahan ia menarik nafas dalam-dalam. Digerakkannya tangannya sedikit, kemudian kakinya.

“Pandan Wangi,” orang tua itu bergumam, “aku mengenalnya ketika kami masih sama-sama muda. Tidak mungkin ia kini nampak lebih muda dari Sidanti.” Ki Argapati berhenti sejenak, lalu tiba-tiba terbayang sebuah senyum dibibirnya, “O, barangkali kau pernah melihat orang yang bersenjatakan sebuah cambuk? Seorang anak muda yang gemuk hampir bulat?”

Pandan Wangi menggelengkan kepalanya. Namun tiba-tiba ia berkata, “Jangan bangun, Ayah. Lebih baik Ayah berbaring sejenak, sampai keadaan Ayah menjadi cukup baik.”

Ki Argapati yang ingin mencoba untuk bangkit meletakkan kepalanya kembali. Kerti dan Samekta pun mencegahnya pula.

“Luka itu akan berdarah lagi Ki Gede,” berkata Kerti.

“Ya, sebaiknya Ki Gede beristirahat secukupnya,” sambung Samekta.

“Aku sudah merasa cukup baik.”

Pandan Wangi menggeleng, “Belum, Ayah. Ayah masih perlu beristirahat.”

Ki Argapati menganguk-anggukkan kepalanya. Namun kemudian ia kembali kepada persoalan orang bercambuk. Katanya, “Bukankah yang kau lihat anak muda yang gemuk bulat? Anak itulah yang memberi aku obat yang sangat baik ini.”

Pandan Wangi mengerutkan keningnya. Tetapi ia sudah tidak dicengkam oleh kecemasan yang hampir tidak tertahankan. Wajah ayahnya, meskipun masih pucat, tetapi sudah tidak lagi seputih kapas. Dengan ragu-ragu ia menjawab pertanyaan ayahnya, “Aku tidak mengenal seorang anak muda yang gemuk bulat ayah?”

Argapati menarik nafas dalam-dalam. Sejengkal ia beringsut. Kemudian, “Lalu siapakah yang kau maksud dengan seorang yang masih lebih muda dengan Sidanti itu?”

Pandan Wangi tidak segera menyahut. Ditatapnya wajah Kerti, Samekta, Wrahasta, dan orang-orang lain di sekitarnya. Baru sejenak kemudian ia berkata, “Beberapa orang pengawal pernah juga melihatnya. Seorang gembala yang sering menggembalakan kambingnya di sekitar daerah perbatasan sebelum kami menarik diri.”

“Oh,” Argapati tersenyum, “sudah tentu bukan seorang gembala yang aku maksudkan. Yang aku maksudkan dengan seorang bercambuk adalah seseorang yang mempergunakan cambuk sebagai ciri pribadinya atau lebih tepat, sebagai senjatanya.”

“Ya, begitulah gembala itu ayah. Seorang gembala yang masih muda semuda Kakang Sidanti, bahkan masih lebih muda lagi.”

Argapati mengerutkan dahinya. Sekali lagi menarik nafas dalam-dalam. Ditelekankannya tangannya pada dadanya di bawah lukanya. Kemudian ia bergeser sedikit sambil bergumam, “Apakah ada orang lain yang mempunyai ciri yang serupa. Tetapi bagaimanakah dengan anak muda yang kau katakan itu? Apakah ia berbuat baik terhadap kau atau sebaliknya?”

“Ia seorang gembala, Ayah.”

“Hanya sekedar seorang gembala? Di sini ada berpuluh-puluh gembala yang membawa cambuk. Tetapi agaknya yang seorang ini agak lain. Apakah tanggapanmu memang demikian?”

Pandan Wangi tidak segera menyahut. Tanpa sesadarnya ia memandang wajah Wrahasta dengan sudut matanya. Tetapi orang yang bertubuh raksasa itu sedang menekurkan kepalanya.

“Ia mempunyai beberapa kelebihan dari gembala-gembala yang lain, Ayah.”

Argapati mengerutkan keningnya. Sekilas ia melihat Wrahasta yang tiba-tiba mengangkat wajahnya.

“Apakah kelebihan itu?”

“Ia mampu berkelahi seperti seorang pengawal.”

“Ah,” desah Argapati, “hampir setiap anak muda di daerah ini dapat sekedar membela dirinya.”

“Bukan sekedar membela dirinya,” sahut Pandan Wangi. Tetapi sejenak ia terdiam dalam keragu-raguan.

Argapati tidak segera mendesaknya. Bahkan ia berkata, “Orang lain yang mempunyai ciri serupa itu, sebuah cambuk, adalah seorang anak muda yang bertubuh gemuk. Ia menyebut dirinya sebagai anak orang bercambuk yang tidak menampakkan diri. Mungkin orang itulah yang pernah kau lihat dan mengaku sebagai seorang gembala, tetapi mempunyai beberapa kelebihan dari anak-anak muda yang lain.”

“Tetapi anak muda itu tidak gemuk, Ayah.”

“Apakah kau kenal namanya?”

Sekali lagi Pandan Wangi menjadi ragu-ragu. Dan sekali lagi tanpa sesadarnya ia memandangi wajah Wrahasta. Tetapi Wrahasta tidak sedang memandangnya, justru ia sedang memandangi wajah Ki Gede yang menunggu jawaban anaknya.

Namun akhirnya Pandan Wangi menyebutnya juga, “Namanya Gupita, Ayah.”

“He?” Argapati mengingat-ingat. Sambil memandang wajah Kerti ia berkata, “Anak yang gemuk itu menyebut dirinya bernama Gupala.”

“O,” dengan serta-merta Pandan Wangi menyahut, “kalau begitu, kedua anak muda itu memang bersaudara. Menurut Gupita, ia mempunyai seorang saudara laki-laki dan seorang ayah. Mereka adalah gembala-gembala yang tinggal di tlatah Menoreh.”

Kini Ki Argapati mengangguk-anggukkan kepalanya. Perlahan-lahan ia bergumam, “Hem, sekarang aku mempunyai sedikit bayangan tentang mereka. Jadi ada dua anak muda yang mengaku dirinya anak orang bercambuk itu.”

“Yang satu bernama Gupala dan yang lain bernama Gupita,” Kerti menyahut.

“Ya, begitulah menurut pengakuan mereka.” Argapati berhenti sejenak, lalu kepada Pandan Wangi ia bertanya, “Wangi, apakah kelebihan gembala yang kau maksudkan itu? Apakah ia sudah berbuat sesuatu yang menyatakan dirinya, sehingga kau mengambil kesimpulan demikian tentang anak itu ?”

Pandan Wangi mengangguk perlahan-lahan. Kini, ketika sekali lagi ia berpaling ke arah Wrahasta, pandangan mereka pun beradu. Cepat Pandan Wangi menundukkan kepalanya. Betapa pun juga ia adalah seorang gadis. Hatinya berdebar ketika ia melihat sorot yang aneh terpancar dari sepasang mata Wrahasta.

Sejenak Pandan Wangi berdiam diri. Tanpa sesadarnya ia meraba-raba kaki ayahnya. Tetapi Argapati tidak tahu, apakah yang sebenarnya bergetar di dalam dada puterinya. Ia tidak tahu, bahwa Wrahasta menaruh hati kepada gadis itu, dan bahwa gembala yang memiliki cambuk yang aneh itu telah menumbuhkan suatu perasaan yang aneh pada puterinya.

Karena itu, maka Ki Gede itu mendesaknya, “Apakah kelebihan yang kau maksud pada gembala itu Wangi?”

Pandan Wangi tidak dapat mengelak lagi sehingga dengan demikian betapa pun beratnya ia harus menjawab, “Ayah, bukankah Ayah sudah mendengar bahwa aku terpaksa bertempur melawan Ki Peda Sura karena aku terpisah dari pasukanku?”

Ki Argapati mengangguk.

“Dan bukankah Ayah tahu, bahwa aku tidak akan mungkin mengalahkan Ki Peda Sura dalam keadaanku sekarang?”

Sekali lagi Argapati mengangguk sambil berkata, “Tetapi kemampuanmu tidak terpaut banyak menurut penilaianku, Wangi.”

“Ya, namun aku tidak akan dapat melepaskan diriku dari padanya. Ia sudah bertekad untuk menangkap aku hidup-hidup. Tanpa melukai kulitku dan apalagi membunuhku.”

Ki Argapati mengangguk-anggukkan kepalanya. Ia menyadari, bahwa keadaan itu benar-benar merupakan keadaan yang sangat berbahaya bagi puterinya. Ki Peda Sura yang menyimpan pengalaman cukup di dalam dirinya merupakan lawan yang pasti tidak akan dapat diimbangi oleh Pandan Wangi.

Tetapi ternyata bahwa Pandan Wangi berhasil melepaskan dirinya dengan selamat, sehingga karena itu Ki Argapati bertanya, “Tetapi kau selamat sampai saat ini, Wangi. Bahkan ketika aku memasuki padesan ini dengan mata berkunang-kunang dan pikiran yang kusut karena aku merasa kehilangan kau, kau sempat beristirahat dengan tenangnya.”

Pandan Wangi menundukkan kepalanya. Tetapi ia bergumam, “Ya, Ayah. Aku sempat melarikan diri dari tangan Ki Peda Sura dan pasukannya.”

“He, Ki Peda Sura dan pasukannya?” Ki Argapati menjadi heran, “Jangan sombong, Anakku. Ki Peda Sura sendiri pun pasti akan mampu menangkapmu kalau ia mau.”

“Benar, Ayah. Kami melepaskan diri daripadanya. Bahkan kami sempat melukai Ki Peda Sura yang kemudian dipapah oleh orang-orangnya meninggalkan medan, tepat pada saat pasukan Kakang Sidanti datang membantu.”

“O,” Ki Argapati mengerutkan keningnya, “aku menjadi pening. Bagaimana mungkin kau dapat berbuat demikian? Tetapi siapakah yang kau maksud dengan kami?”

Pandan Wangi menjadi ragu-ragu sejenak. Sekali lagi ditatapnya wajah-wajah yang ada di seputar ayahnya berbaring. Dan ketika tatapan matanya berbenturan dengan mata Wrahasta maka sekali lagi Pandan Wangi tertunduk dalam-dalam.

“Ayah,” suara Pandan Wangi menjadi terlampau dalam. Adalah terlampau sulit baginya untuk berceritera tentang anak muda yang menyebut dirinya Gupita itu. Meskipun mereka bertemu di medan perang, namun betapapun juga, Pandan Wangi adalah seorang gadis. Meskipun demikian dipaksakannya ia berceritera.

“Itulah sebabnya aku mengatakan bahwa gembala itu mempunyai kelebihan dari gembala-gembala yang lain. Ketika aku sudah hampir kehilangan akal dalam perlawananku atas Ki Peda Sura yang memang ingin menangkap aku hidup-hidup aku sudah memutuskan untuk lebih baik mati daripada tertangkap. Aku dapat membayangkau apa yang akan terjadi atas diriku, seandainya Peda Sura benar-benar dapat membawa aku hidup-hidup.” Pandan Wangi berhenti sejenak. Tampaklah wajahnya menjadi semburat merah. Suaranya menjadi semakin dalam dan hampir-hampir tidak terdengar. Lalu sambungnya, “Dalam saat seperti itu. datanglah gembala yang menyebut dirinya bernama Gupita. Ia mencoba melepaskan aku dari tangan Ki Peda Sura, sehingga ketika kami melawan bersama-sama, Ki Peda Sura itu terluka.”

Ki Argapati mendengar ceritera itu dengan dada ber-debar-debar. Ia menjadi semakin yakin, bahwa orang bercambuk itu mempunyai kepentingan dengan daerah ini. Meskipun ia tidak tahu, kepentingan apa saja yang mengikatnya, namun kehadirannya dalam keadaan seperti ini membuat Ki Argapati berharap-harap cemas.

Berbeda dengan tanggapan orang-orang lain yang berada di ruangan itu yang menganggap bahwa kehadiran anak muda yang menyebut dirinya Gupita sebagai suatu kurnia, maka Wrahasta yang bertubuh raksasa itu menangkapnya dari sudut yang berbeda. Ketika dengan sudut matanya Pandan Wangi mencoba melihat kesan di wajah Wrahasta, maka terasa sebuah desir yang lembut menyentuh jantungnya. Wajah anak muda yang bertubuh raksasa itu mejadi tegang. Dan sejenak kemudian dengan suara gemetar ia berkata, “Apakah Ki Gede dapat mempercayainya?”

Ki Gede menggerakkan kepalanya. Ia mengerutkan keningnya ketika tampak olehnya wajah Wrahasta yang menegang.

“Maksudmu, ceritera Pandan Wangi?” bertanya Ki Gede.

“Bukan,” jawab Wrahasta. “Mungkin Pandan Wangi mengatakan sebenarnya apa yang dialaminya. Tetapi anak yang menamakan dirinya Gupita itu.”

Ki Gede tidak segera menjawab. Tapi tampaklah keheranan terpancar di pandangan matanya.

“Kita sama sekali belum mengenalnya dengan baik. Kita tidak tahu, apakah maksudnya menolong Pandan Wangi,” sambung Wrahasta. “Apakah itu bukan sekedar suatu permainan yang sudah diatur olehnya dengan Sidanti dan Peda Sura?”

Pandan Wangi terkejut mendengarnya. Maka tanpa sesadarnya ia menyahut, “Ki Peda Sura sendiri terluka pada saat itu.”

Tiba-tiba saja Wrahasta tertawa pendek. Dengan wajahnya yang aneh ia menjawab, “Itu mungkin sekali. Dengan demikian ia akan berhasil mengelabuhi tanggapanmu atasnya. Gembala itu akan mendapat kepercayaan daripadamu dan terlebih-lebih lagi dari Ki Gede. Dalam suatu kesempatan ia akan menikam kita dari belakang.” Wrahasta berhenti sejenak. Suara tertawanya telah lenyap. Dan dengan bersungguh-sungguh ia berkata, “Tetapi seandainya tidak demikian, seandainya ia tidak mempunyai hubungan dengan Sidanti maka ia pasti akan memanfaatkan keadaan di Tanah Perdikan ini. Ia mungkin sekali akan mengail di air keruh untuk kepentingan pribadinya.”

Sekali lagi wajah Pandan Wangi menjadi semburat merah, bibirnya menjadi gemetar, tetapi tidak sepatah kata pun yang meloncat. Sementara itu Samekta dan Kerti menarik nafas dalam-dalam. Tanpa mereka sengaja mereka berpaling dan saling memandang. Dari loncatan sorot mata mereka, mereka telah saling berbicara. Mereka segera dapat menangkap isi hati masing-masing. Dan mereka seolah-olah berbicara satu sama lain, “Wrahasta merasa tersinggung, kenapa bukan ia sendirilah yang menolong Pandan Wangi. Lebih daripada itu ia merasa kuwatir, bahwa anak muda yang bernama Gupita itu dapat mengganggu hubungan yang sedang dirintisnya dengan Pandan Wangi.” Namun orang-orang tua itu tidak segara ikut serta menanggapi persoalan itu secara langsung. Mereka harus berhati-hati. Dalam keadaan serupa ini, setiap percikan kekecewaan akan dapat mengganggu keadaan yang semakin lama menjadi semakin gawat.

Ki Gede yang tidak mengerti persoalan yang sebenarnya tidak segera menjawab. Tetapi keheranannya masih membayang di wajahnya. Kenapa tanggapan Wrahasta terlampau miring. Padahal orang-orang yang menyatakan ciri pribadi mereka dengan cambuk itu, telah menunjukkan maksud baik mereka.

Tetapi Ki Gede tidak segera menyahut. Dicobanya untuk mengerti tanggapan Wrahasta. Betapa pun buramnya, namun Ki Gede melihat juga arah yang dapat dipakai sebagai dasar pikiran Wrahasta.

“Wrahasta terlampau hati-hati,” berkata Ki Gede didalam hatinya. “Ia sendiri belum pernah mengenal orang-orang bercambuk itu, sehingga kecurigaannya itu pun beralasan.”

Dengan demikian maka ruangan itu menjadi sepi sejenak. Namun di dalam kesenyapan itu, dada Pandan Wangi telah digelisahkan oleh gemuruhnya perasaannya. Ia mengerti, apakah sebabnya Wrahasta bersikap demikian. Sebagai seorang gadis ia merasakan getaran yang memancar dari hati anak muda yang bertubuh raksasa itu. Tetapi sebagai seorang gadis ia pun merasakan getar di dalam dadanya sendiri, apabila ia mengenang, atau berbicara apalagi menyebut nama anak muda yang menyebut dirinya sebagai seorang gembala itu.

Dalam keheningan itu terdengar Ki Argapati bertanya, “Pandan Wangi, aku ingin mendengar, apakah yang sebenarnya telah terjadi atasmu pada saat kau bertempur melawan Ki Peda Sura. Aku ingin kau berceritera dari awal sampai akhir, berurutan seperti apa yang telah terjadi sebenarnya.”

Terasa dada Pandan Wangi berdentangan. Sebenarnya ia memang ingin menceriterakan, sehingga bagian-bagian yang paling kecil sekalipun. Ia ingin berceritera bahwa anak muda itu telah menolongnya sehingga mereka jatuh berguling di atas tanah yang kotor. Ia ingin berceritera bahwa anak muda yang menyebut dirinya bernama Gupita itu menarik tangannya berlari-lari di atas pematang dan tanah yang becek berlumpur. Di atas genangan air yang memantulkan cahaya bulan yang penuh, yang bergayutan di langit yang biru bersih.

Tiba-tiba Pandan Wangi itu mengatupkan bibirnya rapat-rapat. Ia menggeram di dalam hatinya, “Tidak. Aku adalah seorang dari sekian banyak pengawal Tanah Perdikan ini. Yang menarik perhatianku seharusnya bukan pantulan cahaya bulan yang bulat. Bukan birunya langit yang digantungi oleh bintang gemintang. Bukan selembar awan putih yang hanyut dalam hembusan angin dari samodra. Bukan. Bukan. Yang penting bagiku, Peda Sura telah kami lukai. Aku telah berhasil melepaskan diri dari tangannya dan pasukanku telah berhasil mengundurkan diri dengan korban yang sekecil-kecilnya.”

Namun justru dengan demikian, tidak sepatah kata pun yang meloncat dari bibirnya.

Samekta dan Kerti pun menjadi berdebar-debar pula. Ia tahu betapa sulitnya Pandan Wangi mengatakan apa yang telah dialaminya menilik ceriteranya yang baru dikatakannya sepotong-sepotong. Apalagi ketika mereka melihat, wajah Wrahasta yang menjadi tegang. Apabila Pandan Wangi menceriterakan sekali lagi, bahkan lebih banyak lagi tentang anak muda yang mengaku sebagai seorang gembala itu, maka mereka menjadi cemas bahwa perasaan Wrahasta akan benar-benar terluka. Karena itu, maka sebelum Pandan Wangi dapat mengatasi kebimbangannya, terdengar Samekta berkata, “Ki Gede, ada banyak soal yang harus kita bicarakan. Sebenarnya Ki Gede masih harus banyak beristirahat. Karena itu, sebaiknya ceritera-ceritera itu dapat ditunda untuk lain kali. Sekarang kami mengharap Ki Gede menenteramkan hati, dan apabila mungkin tidur meskipun hanya sekejap.”

Ki Gede mengerutkan keningnya. Tetapi kemudian ia berkata sambil tersenyum, “Kau benar Samekta. Aku memang harus beristirahat. Tetapi mendengarkan ceritera Pandan Wangi bagiku merupakan suatu kesegaran baru di dalam diri yang tegang selama ini. Aku akan berbangga dan bahkan mengagumi anak ini. Dengan demikian, segala kepahitan atas kekalahan yang aku alami ini akan terhibur karenanya.”

“Tetapi bukankah Ki Gede tidak kalah?” potong Kerti, “Semua yang terjadi, sehingga Ki Gede menderita luka, bukanlah suatu kekalahan. Tetapi itu adalah suatu kecurangan. Ki Gede tidak akan terluka apabila Ki Tambak Wedi sanggup bertempur beradu dada.”

Ki Gede tidak segera menjawab. Namun tiba-tiba saja Pandan Wangi menyahut, “Apakah Tambak Wedi berbuat curang sehingga Ayah terluka parah di dadanya?”

Kerti mengangguk. Jawabnya, “Akalmu telah membawa aku menyaksikan apa yang terjadi. Karena kami menyangka bahwa kau lari lagi dari halaman dan pergi ke Pucang Kembar, maka aku pun telah pergi ke sana pula. Agaknya kau memang bermaksud demikian.”

Pandan Wangi tidak menyahut, tetapi kepalanya ditundukkannya dalam-dalam, seolah-olah ia sedang mencoba menyembunyikan perasaan yang mengambang di wajahnya.

“Hem,” tiba-tiba Samekta menarik nafas dalam-dalam, “Kita telah terlibat lagi dalam suatu pembicaraan. Biarlah Ki Gede beristirahat sejenak, agar lukanya menjadi semakin baik. Apalagi apabila Ki Gede dapat tidur. Karena itu, maka marilah kita tinggalkan ruangan ini.”

Mereka yang berdiri di seputar pembaringan Ki Gede itu saling berpandangan sejenak. Kemudian terdengar suara Kerti, “Baiklah. Sekarang marilah kita tinggalkan ruangan ini. Ki Gede memang perlu beristirahat.”

Ketika Kerti dan Samekta berpaling ke arah Wrahasta, maka dilihatnya wajah anak muda itu masih juga tetap tegang.

“Marilah, Wrahasta,” berkata Kerti sareh.

Wrahasta masih ragu-ragu sejenak. Namun kemudian ia bergumam, “Marilah.”

Kerti mengangguk-anggukkan kepalanya. Katanya kepada Ki Gede, “Kami minta diri sejenak, Ki Gede. Kami masih menyimpan banyak persoalan. Nanti apabila Ki Gede sudah beristirahat, kami akan menyampaikan persoalan-persoalan itu.”

Ki Gede mengerutkan keningnya. Ia menjadi ragu-ragu untuk sejenak. Terasa sesuatu yang kurang wajar terjadi di antara orang-orangnya itu. Tetapi ia tidak dapat meraba, apakah yang kurang itu. Meskipun demikian ia mengangguk sambil berkata, “Silahkan. Silahkan. Aku memang ingin beristirahat. Tetapi aku minta Pandan Wangi tetap berada di sini menungguiku. Mungkin aku haus atau lapar atau memerlukan apa pun.”

“Tentu, Ayah,” sahut Pandan Wangi dengan serta-merta sebelum orang lain menyahut. Ia tidak mau apabila ia harus menyingkir pula dari samping ayahnya. Ia ingin menungguinya, dan lebih daripada itu, serasa dadanya dipenuhi oleh ceritera yang harus ditumpahkannya kepada ayahnya. Hanya kepada ayahnya.

Samekta dan Kerti saling berpandangan sejenak. Tanpa mereka sadari keduanya memandang Wrahasta dengan sudut mata mereka. Untunglah bahwa Wrahasta tidak memperhatikan sikap itu sehingga tidak menimbulkan persoalan apa pun di dalam dirinya.

Sambil mengangguk-anggukkan kepalanya Kerti berkata, “Wangi, ayahmu minta kau tetap menungguinya. Layanilah. Kami akan minta diri sejenak.”

“Silahkanlah, Paman,” sahut Pandan Wangi.

Sejenak kemudian maka ruangan itu pun telah menjadi lengang. Yang tinggal di dalamnya adalah Ki Argapati yang berbaring di pembaringan bambu dan Pandan Wangi, yang menungguinya duduk di pembaringan itu pula. Sementara itu Samekta, Kerti, Wrahasta, dan para pemimpin yang lain pergi ke tempat yang mereka pergunakan sebagai pusat pimpinan sementara pasukan pengawal Tanah Perdikan Menoreh.

Supaya persoalan mereka, terutama Wrahasta, terbatas pada masalah Tanah Perdikan, tidak langsung menyentuh soal pribadi, maka Samekta segera membawa mereka ke dalam suatu pembicaraan mengenai laporan yang didengarnya, bahwa seseorang dari desa ini telah lolos untuk melaporkan keadaan Ki Gede yang senyatanya kepada Ki Tambak Wedi.

“Laporan itu berbahaya bagi kita di sini,” berkata Samekta, “sebab apabila Ki Tambak Wedi yakin akan keadaan Ki Argapati, maka ia akan segera mengambil keputusan.”

Kerti dan Wrahasta mengangguk-anggukkan kepala mereka. Bahaya itu memang terbayang di dalam kepala mereka. Apabila dalam saat yang pendek Sidanti membawa seluruh pasukannya ke desa ini, maka keadaan akan menjadi sangat gawat. Meskipun seluruh pasukan pengawal yang tersebar di segala tempat ditarik, maka untuk mempertahankan diri, pasti akan terlampau sulit.