api-di-bukit-menoreh-34

PANDAN WANGI masih belum menyahut. Tetapi ia mendengar seorang yang lain berkata, “Lihat, ia membawa sepasang pedang di lambungnya.”

Orang yang berdiri di paling depan, yang berwajah mengerikan dengan kumis dan jambang yang tumbuh bagaikan rumput liar di musim hujan itu tertawa. “Ya, ya. Ia membawa sepasang pedang di lambungnya seperti seekor ayam betina yang bertaji di kakinya.”

Dada Pandan Wangi menjadi semakin berdebar-debar. Sikap orang-orang yang tidak dikenalnya itu terasa semakin memuakkan. Meskipun demikian dengan sekuat-kuat hati, ditahankannya gelora di dalam dadanya, supaya ia tidak menimbulkan hal-hal yang tidak diinginkan, yang justru akan menutup setiap kemungkinan untuk bertemu dengan kakaknya. Lebih dari itu, ia tidak mau menyalakan setitik api dalam genangan minyak seperti yang terjadi saat itu di Menoreh. Ia sejauh mungkin akan menghindar, supaya ia tidak menjadi sebab apabila Tanah ini harus menjadihangus terbakar oleh api pertempuran di antara keluarga sendiri.

Tetapi sikap dan suara tertawa orang yang berdiri paling depan itu terlampau menyakitkan hati. Meskipun demikian Pandan Wangi masih juga berkata perlahan-lahan, “Paman, apakah aku boleh lewat?”

“He,”orang yang berkumis dan berjambang itu mengerutkan keningnya, “tentu. Tentu boleh. Tetapi siapa namamu he? Pandan Wangi? Nama itu terlampau manis. Aku tidak menyangka bahwa di atas bukit yang berbatu padas ini ada wajah semanis wajahmu.”

Pandan Wangi menahan hatinya sehingga keringatnya telah membasahi seluruh pakaiannya. Hampir saja ia menyebut dirinya sebagai puteri Kepala Tanah Perdikan. Tanah ini. Tetapi maksud itu diurungkannya. Seandainya orang-orang ini benar-benar ingin membuat Tanah ini menjadi kisruh, maka dengan menyebutkan dirinya ia tidak akan mendapatkan keuntungan apa-apa. Bahkan mungkin ia akan dijadikan sebab kekisruhan yang menyeluruh. Karena itu maka dikatupkannya saja mulutnya rapat-rapat.

“He, Pandan Wangi, siapakah yang sedang kau cari? Apakah kau mencari aku atau salah seorang dari kami?” berkata orang yang berdiri paling depan itu disambut oleh suara tertawa dari beberapa orang di belakangnya.

Pandan Wangi tidak menjawab. Semakin lama ia menjadi semakin segan untuk menjawab pertanyaan-pertanyaan orang-orang itu.

“Kau mencari siapa, he?”

Pandan Wangi masih tetap diam.

“Turunlah,” berkata orang itu, “tidak baik berbicara dengan orang tua-tua di atas punggung kuda.”

Pandan Wangi menjadi ragu-ragu. Orang itu benar juga. Dan apakah sikap orang-orang itu, yang dirasakannya terlampau menyakitkan hati karena sikapnya yang kurang sopan? Apakah sebaiknya ia meloncat turun dan minta maaf supaya segala persoalan segera selesai dan ia diperbolehkan lewat tanpa terjadi hal-hal yang tidak menyenangkan? Tetapi Pandan Wangi masih juga ragu-ragu.

“Turunlah,” orang yang berdiri di paling depan itu melangkah maju semakin dekat sehingga bulu-bulu tengkuk Pandan Wangi meremang. Sedang orang itu berkata lebih lanjut, “Aku hanya mau berbicara, menjawab pertanyaan-pertanyaanmu, apabila kau berlaku agak sopan sedikit. Kalau kau berbicara dengan orang-orang yang lebih tua, jangan dari atas punggung kuda. Apakah orang tuamu tidak pernah memberitahukan kepadamu?”

Nada suara orang itu terasa begitu bersungguh-sungguh sehingga Pandan Wangi menjadi semakin ragu-ragu.

“Mungkin ia tersinggung oleh sikapku,” katanya di dalam hati, “sehingga ia tampak menjadi terlampau kasar.”

“Turunlah, Ngger.” berkata orang itu pula sambil bersungut-sungut.

Dada Pandan Wangi menjadi bergetar. Sekali lagi dipandanginya wajah orang itu. Keningnya berkerut-merut dan alisnya hampir bertemu di atas hidungnya.

“Ia agaknya benar-benar tersinggung,” berkata Pandan Wangi pula di dalam hatinya yang menjadi kian berdebar-debar. Namun kemudian diputuskannya untuk memenuhi permintaan orang itu. Turun dari kuda.

Dan Pandan Wangi pun kemudian perlahan-lahan turun dari kudanya. Sambil mengangguk ia berkata, “Maaf, Paman, apabila aku Paman anggap kurang sopan. Aku agak terlampau tergesa-gesa, sehingga aku telah melupakan suba-sita. Sekarang apakah aku boleh lewat?”

Wajah orang itu menjadi tegang. Tiba-tiba, tanpa disangka-sangka oleh Pandan Wangi, orang itu membungkukkan badannya dalam-dalam. Terlampau dalam. Tetapi ternyata tangannya meraih sesuatu di atas tanah. Dan tanpa diduga-duga pula orang itu telah melempar kuda Pandan Wangi dengan sebutir batu sehingga kuda itu terkejut, meringkik dan melonjak. Karena Pandan Wangi sama sekali tidak menduganya maka kendalinya pun terlepas dari tangannya.

Lemparan yang kedua telah mendorong kuda itu meloncat berlari kencang sekali. Orang-orang yang berdiri di tengah-tengah jalan itu dengan lincahnya berloncatan menepi, menghindarkan diri dari injakan kaki-kaki kuda Pandan Wangi itu.

Sejenak Pandan Wangi berdiri terpaku seperti sebatang tonggak mati. Tidak ada yang segera dikerjakannya selain berdiri tegak di tempatnya. Ia tersadar ketika kemudian didengarnya suara tertawa meledak hampir di telinganya. Suara orang yang telah melempar kudanya sehingga Pandan Wangi terkejut bukan buatan. Selangkah ia mundur. Ditatapnya wajah orang yang sedang tertawa itu tajam-tajam.

Pandan Wangi itu pun menggeretakkan giginya. Kini ia merasa tertipu oleh sikap orang itu. Apalagi kemudian orang-orang yang lain pun tertawa pula berkepanjangan.

“Kau berhasil, Kakang,” terdengar salah seorang berteriak. “Kau berhasil memetik bunga dari atas bukit karang ini, meskipun agaknya bunga itu berduri.”

Kata-kata itu terasa menusuk perasaan Pandan Wangi terlampau dalam. Pedih sekali. Hampir saja ia menjerit keras-keras. Tetapi tiba-tiba disadarinya, bahwa kini ia membawa sepasang pedang di lambungnya. Ia kini bukan seorang gadis cengeng yang takut melihat tikus berkejar-kejaran.

Selangkah Pandan Wangi surut.

“Nah, begitulah, Nak,” berkata orang yang berkumis dan berjambang itu, “begitulah berbicara dengan orang tua-tua. Kau harus hormat dan jangan bersikap melawan. Bukankah kau mendengar, bahwa seorang kawanku menyebutmu sebagai bunga bukit karang meskipun berduri? Tetapi tidak ada gunanya melawan kami. Kami adalah orang-orang yang paling liar di atas bumi ini. Kami berbuat apa saja yang ingin kami lakukan. Juga atasmu. Kau ternyata terlampau cantik bagi kami.”

Dada Pandan Wangi berdesir tajam sekali mendengar kata-kata itu. Dengan tegang Pandan Wangi berdiri tegak di atas kedua kakinya yang merenggang. Orang-orang itu kini benar-benar nampak terlampau liar seperti yang dikatakannya sendiri.

Ternyata bahwa Pandan Wangi sama sekali belum mempunyai pengalaman yang cukup untuk menghadapi orang-orang seperti itu. Dengan mudahnya ia dapat ditipunya sehingga ia kehilangan kudanya. Apalagi kini ia menghadapi sikap yang paling menyakitkan hati dari laki-laki yang kasar dan liar itu.

“Kenapa kau diam saja Pandan Wangi?” terdengar suara orang yang berkumis dan berjambang itu.

Pandan Wangi sama sekali tidak menjawab, yang terdengar adalah gemeretak giginya beradu.

“Kau marah, he?”

Tidak ada jawaban.

“Jangan kau sesali lagi kudamu yang telah lari itu. Aku akan mencari gantinya yang jauh lebih baik daripadanya. Tidak hanya seekor, tetapi berapa yang kau minta. Setidak-tidaknya kami masing-masing yang berada di sini dapat memberimu seekor seorang.” Orang itu kemudian berpaling kepada kawan-kawannya sambil bertanya, “Begitu, bukan?”

Terdengar gelak tertawa meledak di antara mereka. Salah seorang dari mereka menyahut, “Aku akan memberinya dua ekor.” Dan yang lain lagi mengatasi suaranya, “Aku empat ekor.” Sedang yang berada di sisi lain, yang kecil kurus berwajah panjang, “Aku, berapa saja yang dimintanya.”

Orang yang berdiri di paling depan mengerutkan keningnya tetapi kemudian ia pun tertawa pula. Katanya, “Nah kau dengar. Semua bersedia memberikan berapa saja yang kau minta. Tetapi sudah tentu bahwa kau pun harus memberikan apa yang kami minta.” Orang itu berpaling dan berkata lagi kepada kawan-kawannya, “Bukankah begitu?”

“Ya. ya. Tentu, tentu,” meledak pulalah jawaban mereka, di antara gelak tertawa yang riuh.”

“Sikap yang memuakkan yang pernah aku lihat,” gumam Pandan Wangi di dalam hatinya. Tetapi mulutnya masih terkatup rapat-rapat dan giginya masih bergemeretakkan.

“Nah, apakah katamu?” bertanya orang itu pula. “Kini letakkan saja senjatamu. Tidak pantas seorang perempuan membawa pedang. Apalagi sepasang. Aku kira kau akan lebih cantik apabila kau memakai pakaian yang lumrah bagi seorang perempuan.”

Pandan Wangi sama sekali tidak menyahut

“Jangan diam saja,” berkata orang itu pula, “jawablah barang sepatah kata. Apa maumu sebenarnya. Sebab bagiku, bagi kami, biasanya tidak pernah memperhitungkan kemauan orang lain. Aku kira juga kemauanmu tidak akan kami perhitungkan meskipun kami ingin mendengarnya. Yang kami dengar dan kami perhatikan adalah kemauan kami sendiri. Dan kemauan kami atasmu sudah jelas. Aku bukan orang Menoreh. Aku datang ke tempat ini karena aku diperlukan. Maka Menoreh harus memberikan sambutan yang sebaik-baiknya bagi kami. Penghuninya dan terutama perempuan-perempuannya.”

Pandan Wangi masih tetap mematung.

“Hem,” laki-laki yang memuakkan itu menarik nafas dalam-dalam. Lalu katanya pula, “Ingat, jangan membuat kami kecewa supaya kami dapat berbuat sebaik-baiknya atas Tanah ini. Kau harus membantu kami seperti kami akan membantu kalian. Kami memerlukan perempuan-perempuan seperti kau. Kami akan lebih senang apabila kau memanggil kawan-kawanmu di saat yang lain, supaya kami tidak sayang mengorbankan jiwa kami untuk kepentingan kalian.”

Pandan Wangi benar-benar sudah tidak tahan lagi. Sebagai seorang gadis hatinya menjadi terlampau ngeri. Ia dapat membayangkan apa yang akan terjadi atasnya apabila ia jatuh ketangan orang-orang ini. Tetapi sebagai seorang gadis yang mengenakan se¬pasang pedang di lambungnya, ia dapat berbuat sesuatu. Ia dapat bertahan, meskipun seandainya ia tidak dapat melawan semua orang itu bersama-sama, maka ia akan terbunuh. Tetapi terbunuh ternyata akan lebih baik baginya daripada jatuh ke tangan mereka. Karena itu, maka wajah Pandan Wangi menjadi semakin merah seperti darah. Kini kedua tangannya telah bersilang memegang hulu sepasang pedangnya.

“He,” orang yang berdiri di paling depan berseru, “apakah kau akan melawan?”

Pandan Wangi tidak menjawab. Tetapi sorot matanya memancarkan kemarahan yang meluap-luap di dadanya.

Orang yang berjambang itu tertawa. Katanya, “Jangan nakal. Jangan bermain-main dengan senjata. Lihat, kami pun bersenjata. Pedangmu terlampau kecil untuk melawan golok-golok kami yang jauh lebih besar ini. Mungkin kau pernah melihat seseorang bermain pedang dan kau ingin melakukannya. Tetapi jangan bermain-main dengan kami. Apabila sikapmu menimbulkan kemarahan kami, maka kami akan dapat berbuat jauh lebih liar daripada yang pernah kau bayangkan.”

Tetapi Pandan Wangi tidak bergerak dan tidak menjawab. Bahkan darahnya kini benar-benar telah mendidih.

“Lepaskanlah ikat pinggangmu yang kau gantungi dengan sepasang pedang itu,” berkata orang itu. “Cepat. Kami sudah tidak sabar lagi. Buanglah senjata-senjata yang tidak akan berarti sama sekali bagimu, bagi keselamatanmu dan bagi apa pun itu.”

Kini Pandan Wangi telah sampai pada batas kemampuannya untuk menahan dirinya. Meskipun sebagai seorang gadis, terasa juga bulu-bulu tengkuknya yang meremang, tetapi karena ia bersenjata di lambung, maka terpercik tekad di dadanya untuk melawan orang-orang itu. Ia belum tahu betapa jauh kemampuan orang-orang itu bersama-sama. Tetapi ia harus melawan, membela dirinya dari kemungkinan yang lebih jelek daripada mati. Hal ini pasti akan menjadi peringatan bagi orang-orang Menoreh sendiri, bahwa mereka harus berhati-hati terhadap orang-orang yang tidak dikenal ini. Dan bahwa mereka dapat membuat bencana yang lebih dahsyat lagi di atas Tanah Perdikan ini.

Maka ketika orang yang berkumis dan berjambang itu kemudian maju lagi selangkah sambil tertawa seperti suara tertawa hantu di pekuburan melihat mayat, maka Pandan Wangi selangkah lagi surut. Namun sekejap kemudian kedua-belah tangannya telah menggenggam sepasang pedangnya.

Langkah laki-laki berjambang itu terhenti. Tampak keningnya berkerut. Namun sejenak kemudian ia tertawa lagi. Lebih keras. Dibarengi oleh suara tertawa orang lain di belakangnya.

“Ah, jangan nakal, Nak,” berkata orang yang berkumis dan berjambang itu. “Aku sudah berpengalaman menghadapi lebih dari seratus orang gadis. Ada yang penurut, ada yang malu-malu, dan ada juga yang keras kepala seperti kau ini. Apa kau kira pedang mu itu akan berguna?”

Pandan Wangi sadar, bahwa orang-orang yang berdiri di hadapannya itu benar-benar sebuas serigala kelaparan. Karena itu maka ia harus berhati-hati. Ia tidak boleh terpengaruh oleh kengerian yang bergetar di dalam jantungnya, jantung seorang gadis. Tetapi ia harus tegak dengan sepasang pedangnya itu.

“Letakkan pedangmu, Anak manis,” terdengar suara orang itu menggelitik hati. Benar-benar mengerikan. “Tidak kami sangka bahwa di tanah yang keras dan di sekitar bukit padas ini dapat berkembang bunga secantik ini. Meskipun justru karena itu maka kau menjadi semakin cantik.”

Kini seluruh bulu-bulu Pandan Wangi seolah-olah serentak meremang. Terasa tubuhnya menjadi dingin dan keningnya telah basah oleh keringat. Ia tidak dapat melepaskan diri sama sekali dari perasaan kegadisannya.

“Letakkan senjata itu, Anak manis, letakkanyah. Kau lebih cantik tanpa membawa senjata semacam itu. Ya, letakkanyah. Mari, Nak.”

Tangan Pandan Wangi menjadi gemetar. Wajah-wajah itu benar-benar mengerikan sekali. Terbayang di dalam angan-angannya kemungkinan yang paling pahit yang dapat terjadi atasnya.

“Bagus,” desis orang itu sambil tersenyum, “letakkanlah. Letakkan. Letakkan di situ.”

Ujung pedang Pandan Wangi menjadi semakin tunduk. Kengerian itu telah sampai di puncaknya dan hampir-hampir saja membuatnya kehilangan kesadaran dan pingsan. Tetapi ketika ujung pedangnya menyentuh tanah, Tanah Kelahirannya, serasa sesuatu menggeletar di dalam dadanya. Tiba-tiba dadanya serasa bergolak dahsyat sekali. Terbayang di matanya, dirinya terbaring diam di atas ta¬nah yang ditumbuhi oleh rumput-rumput liar dan batang-batang ilalang. Terba¬yang wajah-wajah yang buas itu berada di sekitarnya sambil tertawa berkepanjangan.

“Setan!” tiba-tiba giginya gemeretak. Tanpa disangka-sangka oleh laki-laki yang berjambang itu, maka ujung pedang Pandan Wangi terangkat kembali. Bahkan kini terjulur lurus-lurus ke depan. Terdengar ia kemudian berkata, “Lepaskan niatmu. Aku akan memusnakan kalian.”

Orang yang berkumis dan berjambang itu mengerutkan keningnya. Kini mereka tidak tertawa lagi. Dilihatnya mata Pandan Wangi memancarkan sinar yang begitu tajamnya menusuk dada mereka langsung menembus ke pusat jantung.

Laki-laki yang mengerikan itu merasakan segores keheranan di dalam dadanya. Gadis ini agaknya bersungguh-sungguh.

Dan Pandan Wangi memang bersungguh-sungguh. Ia sama sekali tidak ingin bergurau dengan orang-orang gila yang buas dan liar itu. Karena itu, maka ia berkata pula, “Orang-orang seperti kalian ini benar-benar harus dimusnahkan. Kalau tidak, lain kali kalian pasti akan berbuat serupa. Adalah penghinaan tiada taranya bagi kaumku, apabila kalian melakukan perbuatan terkutuk itu. Apalagi apabila kalian bertemu dengan gadis-gadis yang lemah dan sama sekali tidak mampu melawan. Bukan saja gadis Menoreh. Tetapi di manapun juga di muka bumi ini.”

Sejenak wajah laki-laki berjambang dan berkumis itu menjadi tegang, namun kemudian sekali lagi meledaklah suara tertawanya. Sambil menunjuk kepada kawan-kawannya ia berkata, “Apakah kau akan memusnahkan kami semua ini?”

“Ya,” jawab Pandan Wangi tegas.

“Hem,” orang itu menarik nafas, “aku semakin senang kepadamu. Kepada seorang gadis pemberani. Tetapi ketahuilah bahwa kedatanganku kemari atas permintaan Putera Kepala Ta¬nah Perdikan Menoreh beserta pamannya. Nah, dengarlah, bahwa kami di sini adalah tamu dari orang-orang yang paling penting.”

Dada Pandan Wangi berdesir mendengar keterangan itu. Bu¬kan karena orang-orang itu akan mendapat perlindungan dari kakaknya, tetapi justru dengan demikian ia mengerti, bahwa kakaknya sudah mengundang bencana yang paling dahsyat di atas Tanah kelahirannya sendiri.

Maka dengan penuh kemarahan ia menjawab, “Aku tidak peduli siapakah kalian. Aku tidak peduli siapakah yang mengundang kalian. Tetapi perbuatan terkutuk itu harus dihentikan. Perbuatan yang menentang sendi peradaban manusia dan apalagi menentang ketentuan yang digariskan oleh Sumber Hidup kita di dalam pergaulan antar umatnya.”

Kening orang yang berkumis itu semakin berkerut. Tetapi ia tertawa lagi sambil berkata, “Jangan gurui aku. Aku bukan seorang yang terikat akan peradaban manusia. Aku bukan orang yang mengikatkan diri kepada yang tidak pernah aku ketahui adanya. Aku hanya menyadari adaku, akal dan kehendakku sendiri. Aku tidak pernah tergantung dan menggantungkan diri kepada apa pun dan siapa pun. Karena itu jangan berharap bahwa kami akan mengurungkan niat kami.”

Pandan Wangi menggeretakkan giginya. Terdengar ia menggeram, “Baik. Baik. Sekarang aku pun tetap pada pendirianku. Kalian harus dimusnahkan. Kalian ternyata adalah orang-orang yang paling terkutuk di muka bumi. Kalian tidak saja ingin merusak Tanah kelahiran ini, tetapi kalian ingin merusak peradaban yang tumbuh di atasnya. Ketahuilah, aku adalah puteri Kepala Tanah Perdikan ini. Aku dapat berbuat atas nama ayahku. Termasuk membinasakan kalian.”

Orang-orang yang berdiri dengan sikap yang paling memuakkan itu terkejut mendengar kata-kata Pandan Wangi itu. Sejenak mereka saling berpandangan. Namun sejenak kemudian orang yang ber¬kumis itu menjawab, “Jangan menakut-nakuti aku dengan mengaku dirimu sebagai seorang saudara perempuan dari orang yang mengundang kami. Karena aku berkata bahwa aku diundang oleh putera Kepala Tanah Perdikan ini, maka kini kau mengaku sebagai seorang puterinya. Dengar. Aku tidak percaya. Aku tidak dapat kau tipu seperti kau merasa tertipu karena kudamu lari. Sekarang kami tidak dapat kau ajak berbicara berkepanjangan. Menyerahlah.”

Darah Pandan Wangi kini telah benar-benar mendidih. Ia telah berhasil menindas perasaan kegadisannya. Kini, yang tegak berdiri menghadapi orang yang liar itu adalah Pandan Wangi, murid dan puteri Kepala Tanah Perdikan Menoreh yang sedang menggengam sepasang senjatanya.

Karena itu, maka ketika laki-laki yang memuakkan itu melangkah selangkah maju lagi, Pandan Wangi tidak menghindar. Bahkan ia pun menyongsongnya selangkah maju.

Sikapnya itu benar-benar mengherankan. Namun justru dengan demikian laki-laki yang berdiri di hadapannya itu terpaksa harus berpikir. Apakah yang telah mendorong gadis ini untuk berbuat demikian berani.

“Ia telah berputus asa,” laki-laki itu mencoba menemukan jawabnya, “aku harus segera berbuat sebelum ada orang yang melihatnya.”

Maka laki-laki itu menjadi semakin bernafsu. Wajahnya pun menjadi merah karena darahnya yang naik sampai ke ubun-ubunnya. Setiap kali ia menelan ludahnya. Gadis yang berdiri di hadapannya itu memang terlampau cantik baginya. Tetapi justru karena itu, maka ia telah benar-benar menjadi gila karenanya.

“Aku masih memberimu kesempatan,” orang itu menggeram. “Letakkan senjatamu supaya kami tidak menjadi semakin buas dan liar.”
Tetapi Pandan Wangi menjawab, “Serahkan lehermu. Manusia semacam kalian tidak pantas hidup di atas bumi Menoreh.”

Bagaimanapun juga laki-laki itu merasa terhina sekali. Apalagi yang menghinanya itu adalah seorang perempuan. Seandainya Pan¬dan Wangi bukan seorang gadis yang cantik maka dengan satu gerakan saja, ia ingin merontokkan tulang-tulang iganya. Tetapi menghadapi Pandan Wangi, laki-laki itu masih merasa sayang. Betapapun dadanya bergolak, namun ia masih berusaha untuk tidak melukainya. Karena itu maka katanya, “Kalau kau tidak mau melepaskan senjatamu, maka biarlah aku yang memaksanya. Kemudian memaksamu untuk menyerah.”

“Aku hanya menyerah terhadap maut,” tantang Pandan Wangi.

“Bagus,” jawab orang itu, “tetapi aku mempunyai cara untuk memaksamu menyerah sebelum kau mati. Aku mempunyai ilmu yang barangkali sama sekali tidak dapat kau bayangkan. Aku dapat menyentuh bagian-bagian tubuhmu, sehingga kau menjadi lemas dan tidak berdaya. Nah, apakah kau akan melawan dalam keadaan yang demikian? Membunuh diri pun kau tidak akan mampu.”

Tetapi orang itu menjadi heran. Pandan Wangi sama sekali tidak terkejut dan heran mendengar kemampuan ilmunya. Bahkan Pandan Wangi menyahut, “Aku tidak peduli. Tetapi sebelum kau berhasil menyentuh tubuhku, kau atau aku pasti sudah mati.”

“Hem, kau benar-benar keras kepala,” orang itu menggeram.

“Kau yang biadab,” potong Pandan Wangi.

Orang itu sudah tidak bersabar lagi. Kecuali kecantikan Pandan Wangi yang telah membakar jantungnya, ia merasa terhina pula. Karena itu maka ia pun segera bersiap. Selangkah ia maju lagi. Kedua tangannya terjulur kedepan, sedang tubuhnya merendah pada lututnya. Katanya, “Aku ingin meminjam pedangmu, Nak.”

Pandan Wangi tidak menjawab. Tetapi ia pun telah berada dalam kesiagaan tertinggi. Ternyata laki-laki itu tidak membawa kawannya untuk ikut bertempur. Laki-laki itu merasa dirinya terlampau kuat untuk melawan seorang gadis kecil.

Meskipun Pandan Wangi telah memegang sepasang senjatanya namun laki-laki berkumis itu sama sekali tidak merasa perlu untuk mempergunakan goloknya. Ia ingin merampas pedang Pan¬dan Wangi dengan tangannya, kemudian menyentuh punggungnya dan membuatnya tidak berdaya. Apabila demikian, maka ia akan dapat berbuat sekehendak hatinya. Apapun yang akan dilakukanoleh gadis itu kemudian, sama sekali bukan tanggung-jawabnya. Biar sajalah gadis itu membunuh dirinya atau apa pun yang ingin dilakukan.

Karena itu maka sekejap kemudian, laki-laki itu melenting seperti belalang di padang rerumputan. Cepat seperti kilat dan hampir-hampir tidak dapat dilihat dengan mata. Kawan-kawannya berdiri saja tegak di tempatnya dengan mulut ternganga. Tetapi mereka memang sudah mengetahui kelebihan orang yang berkumis itu. Ka¬rena itu, tanpa mereka angkat, laki-laki berkumis itu menganggap dirinya pemimpin dari laki-laki yang lain. Dan laki-laki yang lain pun tidak pernah menolak anggapan itu.

Kali ini pun mereka mengharap mudah-mudahan usaha laki-laki berkumis itu segera berhasil. Dengan demikian maka mereka pun akan dapat berbuat serupa. Apalagi sebelumnya usaha laki-laki itu memang tidak pernah gagal. Dengan demikian ketika mereka melihat bahwa laki-laki berkumis itu sudah siap dan bahkan kemudian segera meloncat seperti tatit, hati mereka pun menjadi berdebar-debar pula.

Pandan Wangi melihat orang berkumis itu meloncat dengan kecepatan yang tinggi. Tetapi ia adalah murid dan sekaligus puteri Kepala Tanah Perdikan Menoreh yang baru saja menyelesaikan ilmunya sampai pada tingkat tertinggi. Karena itu, Pandan Wangi sama sekali tidak heran melihat loncatan laki-laki berkumis itu. Bahkan demikian kemarahan merayapi dadanya, sehingga ia tidak terlampau banyak memberi kesempatan kepada lawannya.

Kedua tangan laki-laki berkumis itu dengan cepatnya menerkam kedua pergelangan tangannya. Seandainya, yang menggenggam pe¬dang itu bukan Pandan Wangi atau seseorang yang mempunyai ilmu yang cukup, maka pergelangan tangannya pasti akan segera disentakkan, dan pedang di dalam genggaman itu akan terjatuh.

Tetapi ternyata yang terjadi sama sekali tidak demikian. Meskipun pada mulanya Pandan Wangi tampaknya berdiri saja seperti patung dan tidak sempat berbuat apa-apa, namun pada saat terakhir, Pandan Wangi menarik kedua tangannya bersama-sama. Hanya sejengkal. Dan ternyata, yang sejengkal itu telah membuat lawannya berteriak mengumpat-umpat. Ternyata tangan laki-laki itu tidak menerkam pergelangan tangan Pandan Wangi, tetapi tepat pada saat terkaman itu mencengkam sasarannya, pada saat itulah Pandan Wangi menarik kedua tangannya, sehingga kedua tangan laki-laki berkumis itu tepat mencengkam tajam pangkal pedang Pandan Wangi.

Kawan-kawan laki-laki itu melihat bahwa Pandan Wangi masih tetap berdiri di tempatnya. Tetapi terhalang oleh tubuh laki-laki berkumis itu sendiri, mereka tidak melihat apa yang sebenarnya telah terjadi. Yang mereka lihat kemudian adalah laki-laki berkumis itu meloncat mundur sambil berteriak kesakitan, sedang dari kedua telapak tangannya mengalir darah yang segar.

Betapa hati di setiap dada laki-laki yang berada di tempat itu bergetar dahsyat sekali. Mereka sama sekali tidak menyangka bahwa hal itu dapat terjadi. Mereka tidak melihat, bagaimana mungkin kedua tangan laki-laki berkumis itu terluka bersama-sama. Karena itu, maka sejenak justru mereka terdiam seperti patung dengan mulut yang ternganga-nganga.

Mereka terkejut ketika mereka mendengar suara laki-laki itu mengguntur, “He, apakah kalian buta. Cepat, kepung perempuan gila ini. Ia harus ditangkap hidup-hidup. Ia harus menerima hukuman yang paling keji dari kita sekalian.”

Suara itu telah membangunkan orang-orang yang sedang membeku. Segera mereka berloncatan sambil menarik senjata masing-masing mengepung Pandan Wangi di segala arah. Dada Pandan Wangi menjadi semakin berdebar-debar. Kini ia benar-benar harus bertempur melawan laki-laki itu semua. Enam orang. Sedang seorang dari mereka, yang berkumis dan berjambang itu, telah berhasil dilukainya tanpa menyerang sama sekali. Namun, menghadapi enam orang laki-laki yang buas dan liar itu sekaligus, bagi Pandan Wangi bukannya suatu pekerjaan yang mudah.

“He, kenapa kalian masih menunggu?” teriak laki-laki yang terluka itu sambil menyeringai menahan sakit. Kedua telapak tangannya yang terluka dikatupkannya dan kadang-kadang ditiup-tiupnya untuk mengurangi pedih.

Kini setiap laki-laki yang berada di seputar Pandan Wangi telah bersiap. Satu-satu mereka melangkah maju. Sedang Pandan Wangi masih tegak berdiri di tempatnya dengan sepasang pedangnya yang telah diwarnai oleh darah lawannya.

“Tangkap hidup-hidup!” teriak laki-laki berkumis itu. “Ia harus merasakan hukumannya. Ia harus tahu, betapa kami dapat berbuat di luar dugaannya.”

Ketika laki-laki di sekitarnya mulai bergerak, maka Pandan Wangi pun tidak menunggunya lagi. Seperti kijang ia berloncatan. Begitu tiba-tiba, sehingga benar-benar telah mengejutkan lawannya. Ketika mereka sadar, maka sebilah pedang telah terlempar dan seorang dari antara mereka dengan wajah tegang menggenggam pergelangan tangannya yang terluka.

Tetapi hai itu, ternyata telah mengobarkan kemarahan kawan-kawannya. Mereka segera merasa terhina. Dalam saat yang demikian pendek, gadis itu telah berhasil melukai dua orang laki-laki dari enam orang yang biasa melakukan petualangan tanpa dapat dihalangi. Di sini, di sekitar bukit padas, seorang perempuan telah berhasil menitikkan darah mereka.

Dengan demikian maka mereka pun serentak menyerang bersama-sama dari segala penjuru. Serangan itu datang seperti pusaran air yang melibat Pandan Wangi di tengah-tengahnya.

Untunglah bahwa Pandan Wangi telah berhasil menguasai ilmu ayahnya hampir sempurna. Karena itu maka ia masih juga dapat memberikan perlawanan yang cukup baik. Apalagi ia sudah bertekad bahwa ia tidak akan dapat ditangkap hidup-hidup. Orang-orang itu baru akan dapat menjamahnya apabila ia sudah menjadi mayat.

Dengan demikian, maka Pandan Wangi pun segera mengerahkan segenap kemampuannya. Seperti sikatan. Ia menyambar-nyambar dengan sepasang pedang tipisnya. Sekali mematuk, kemudian sebuah sabetan mendatar menyentuh kulit lawan-lawannya.

Laki-laki yang bertempur bersama-sama Pandan Wangi itu telah dicengkam oleh keheranan, bahwa di daerah ini ada seorang perempuan yang mampu bertempur sedemikian dahsyatnya. Adalah tidak lazim sama sekali, bahwa seorang perempuan menggenggam senjata, apalagi bertempur dalam unsur gerak perkelahian yang mapan dan bahkan begitu dahsyatnya. Namun sejenak kemudian luapan kemarahan mereka pun segera mereka tumpahkan. Mereka berkelahi dengan segenap kekuatan yang ada pada mereka. Mereka menyerang beruntun seperti ombak lautan. Susul-menyusul dari arah yang berbeda-beda.

Pertempuran itu pun segera meningkat semakin seru. Masing-masing telah mempergunakan setiap kemungkinan yang ada di dalam diri mereka. Segala kemampuan dan segala macam ilmu

Ternyata laki-laki yang bertempur bersama-sama melawan Pandan Wangi itu pun bukanlah orang-orang kebanyakan. Ternyata mereka memiliki bekal yang cukup sehingga mereka mendapat kehormatan memenuhi panggilan Sidanti.

Dengan demikian, ketika Pandan Wangi telah berhasil menjajagi kemampuan lawan-lawannya, terasa debar jantungnya menjadi semakin cepat. Terasa olehnya, bahwa kemampuan mereka bersama-sama benar-benar berbahaya baginya. Pandan Wangi tidak akan tergetar serambut pun apabila ia harus melawan seorang demi seorang. Tetapi kini ia harus menghadapi mereka bersama-sama. Enam orang meskipun yang dua telah terluka. Tetapi luka itu tidak melumpuhkannya. Yang seorang masih dapat menggenggam pedang dengan tangan kirinya, sedang yang seorang lagi, masih mampu mempergunakan tangannya yang terluka itu, meskipun tanpa senjata. Tetapi kelincahan dan kecepatannya bergerak, benar-benar telah mengganggu ketenangan Pandan Wangi.

Tetapi Pandan Wangi telah bertekad untuk bertempur sampai kemungkinan terakhir. Ia sudah tidak dapat mundur lagi. Apalagi menyerah. Menyerah baginya akan berakibat dahsyat sekali. Dan ia yakin bahwa akhirnya ia pun akan mati. Mati dengan cara yang paling mengerikan. Itulah sebabnya ia telah memeras segala kemampuan yang ada padanya. Bagaikan gumpalan asap, pedangnya berputaran melindungi dirinya, dan yang dengan tiba-tiba saja telah menyerang melibat lawan-lawannya.

Demikianyah, maka perkelahian itu semakin lama menjadi semakin meningkat. Ketika tubuh-tubuh mereka telah basah oleh keringat, maka tandang mereka pun menjadi semakin dahsyat. Sekali-sekali orang-orang yang bertempur bersama-sama itu berhasil mengepung Pandan Wangi di dalam suatu lingkaran yang rapat. Tetapi sesaat kemudian beberapa orang harus berloncatan menyibak karena serangan Pandan Wangi datang bagaikan prahara. Dengan demikian maka kepungan itu pun pecah, sehingga mereka harus berhadapan dengan Pandan Wangi dari satu arah.

Sekali-sekali terdengar laki-laki yang kedua tangannya telah terluka karena sikapnya sendiri itu menggeram. Ia menyesal bahwa ia kurang berhati-hati. Seandainya pada saat itu ia masih dapat menggenggam goloknya, maka perkelahian ini pun pasti akan lebih cepat selesai. Tetapi kini perempuan itu berhasil mempertahankan dirinya agak lebih lama. Namun setiap laki-laki itu pasti bahwa akhirnya Pandan Wangi yang lincah itu akan jatuh ke tangan mereka.

Tetapi Pandan Wangi benar-benar tidak akan menyerah. Betapa dahsyatnya serangan-angan datang beruntun, selalu dilawannya. Kadang-kadang ia harus membenturkan senjata karena ia tidak sempat lagi menghindar. Namun di dalam benturan-benturan yang terjadi, laki-laki yang garang itu pun menjadi heran. Kekuatan Pandan Wangi benar-benar mengagumkan, meskipun ia seorang gadis. Bagi mereka yang agak lemah, terasa getaran pada telapak tangannya, sehingga telapak tangannya itu menjadi pedih. Bahkan ada diantara mereka yang hampir-hampir saja kehilangan senjatanya, seandainya kawannya tidak menolong menyelamatkannya.

Pandan Wangi ternyata telah membuat setiap laki-laki yang melawannya itu menjadi heran dan kagum. Tetapi juga kemarahan mereka menjalar sampai ke ujung kepalanya. Bahkan kemarahan itu kemudian telah berubah pula menjadi dendam. Dan mereka mengharap bahwa mereka akan dapat melepaskan dendam mereka dengan cara mereka.

Namun betapapun juga Pandan Wangi mencoba memeras tenaganya tetapi yang dilawannya adalah enam ekor serigala yang kelaparan. Bagaimanapun juga, akhirnya Pandan Wangi merasa bahwa ia tidak akan mampu mengimbangi kekuatan mereka bersama-sama. Ternyata mereka pun bukan sekedar orang-orang kebanyakan yang hanya dengan kebetulan sajalah membawa pedang di lambungnya. Ternyata enam orang itu pun adalah orang-orang yang terlatih baik. Mungkin oleh guru-guru mereka, dan mungkin pula oleh pengalaman petualangan mereka yang penuh dengan kekerasan yang buas dan liar.

Demikianyah maka semakin lama semakin nampak jelas, bahwa Pandan Wangi menjadi terdesak semakin parah. Bahkan sekali-sekali ia harus meloncat jauh-jauh mengambil jarak yang cukup untuk melawan keenam orang yang segera memburunya, dengan senjata yang ter-acu-acu kepadanya.

Tetapi Pandan Wangi lebih berani menatap ujung-ujung senjata itu daripada harus memandang setiap wajah dari laki-laki yang buas dan liar itu. Ia lebih senang disentuh oleh ujung-ujung senjata itu, meskipun melubangi dadanya sama sekali. Tetapi tidak disentuh oleh tangan-tangan mereka yang penuh dengan noda dan dosa.

Karena itu, betapa tenaganya menjadi jauh susut, Pandan Wangi masih tetap melakukan perlawanan. Ketika ia melihat beberapa orang lawannya menitikkan darah, maka seolah-olah tenaganya menjadi tumbuh kembali. Namun hanya sesaat. Sesaat berikutnya ia merasa tenaganya seolah-olah telah terperas habis.

Dada Pandan Wangi semakin lama menjadi semakin berdebar-debar. Apakah pada suatu saat ia benar-benar akan jatuh ke tangan orang-orang itu?

“Tidak,” Pandan Wangi menggeram, “apabila aku tidak mampu melawan mereka, maka tusukan yang terakhir dari ujung pedangku adalah menghunjam ke dalam dadaku sendiri. Biarlah aku menjadi tumbal. Mudah-mudahan mayatku akan. menjadi peringatan bagi Kakang Sidanti, bahwa seharusnya Tanah ini dan segala isinya tidak dikorbankannya untuk kepuasan pribadi.”

Pandan Wangi tersentak ketika terasa sebuah sengatan pada pundaknya. Sengatan ujung senjata lawannya. Dengan gerak naluriah ia meloncat mundur. Pedangnya segera bergetar melindungi dirinya. Tetapi ternyata darahnya pun kemudian menitik dari segarit luka yang tergores di pundaknya itu.

Dada Pandan Wangi berdesir tajam. Hatinya terasa men¬jadi pedih jauh lebih pedih dari luka itu sendiri. Tetapi terlebih pedih lagi ketika ia mendengar laki-laki yang kedua tangannya terluka itu berkata lantang, “Jangan kau bunuh dia. Gadis itu harus ditangkap hidup-hidup.”

Gelora di dada Pandan Wangi telah mendorongnya untuk bertempur mati-matian dengan sisa-sisa tenaganya. Tiba-tiba ia menjadi semakin garang dan pedangnya pun menjadi semakin cepat berputaran. Sekali ia meloncat maju dengan tiba-tiba di antara ujung-ujung senjata. Dengan serangan yang rendah ia mematukkan senjatanya, dan ketika ia meloncat mundur terdengar salah seorang dari keenam laki-laki itu berdesis, kemudian mengaduh pendek.

“Gila,” Laki-laki itu menggeram, “ia melukai lambungku. Aku harus membalasnya.”

“Jangan bunuh dia,” teriak laki-laki yang berkumis.

“Seandainya aku tidak membunuhnya, tetapi aku harus membalas hinaan ini dengan penghinaan yang paling memalukan. “

“Terserah kepadamu. Tetapi ia harus tertangkap hidup-hidup.”

Pembicaraan itu terdengar berputar-putar di telinga Pandan Wangi. Pengaruhnya jauh lebih berat dari dentang senjata-senjata yang sedang beradu. Kengerian yang luar biasa telah mencengkam jantung dan hatinya, sehingga sekali lagi ia mengambil keputusan apabila memang sudah tidak mungkin lagi ia menghindar dari kekalahan, maka ia akan menikamkan senjata untuk yang terakhir kalinya pada dadanya sendiri langsung menghunjam jantung.

Sementara itu, di lorong yang memanjat di dalam pedukuhan itu, Sidanti, Ki Tambak Wedi, dan Argajaya sedang berkuda perlahan-lahan menyelusur jalan. Tidak ada tujuan yang ingin didatanginya. Mereka hanya ingin melihat perkembangan suasana di saat-saat terakhir. Mereka ingin melihat imbangan kekuatan yang ada di antara mereka. Sidanti dan Argapati. Karena itu, maka perjalanan itu sama sekali tidak dipengaruhi oleh matahari yang semakin lama semakin meninggi hampir sampai ke puncak langit.
Namun tiba-tiba mereka terperanjat. Di hadapan mereka tampak sebuah lingkaran perkelahian. Beberapa orang telah terlibat di dalamnya.

“Siapakah mereka itu ?” desis Sidanti. Argajaya tidak segera menyahut. Tetapi di antara pepohonan yang jarang-jarang di pategalan dan kebun-kebun kosong, Argajaya melihat beberapa orang yang bentuknya pernah dikenalnya.

“Mereka adalah beberapa orang dari antara orang-orang yang kita harap bantuannya, Sidanti.”

Sidanti mengangguk-anggukkan kepalanya. Kemudian ia bertanya pula, “Tetapi dengan siapa mereka berkelahi?”

“Entahlah,“ Argajaya menggelengkan kepalanya, “tidak begitu jelas bagiku. Tetapi pasti seorang yang pilih tanding yang mampu berkelahi melawan orang-orang itu. Tidak sekedar seorang lawan seorang, tetapi agaknya beberapa orang telah terlibat di dalamnya.”



“Setan,” Sidanti bergumam. “Apakah Argapati sudan mulai? Marilah kita lihat, siapakah yang telah mencoba menyombongkan dirinya melawan orang-orang kita. Mudah-mudahan orang-orang kita tidak mengalami apa pun juga.”

Sidanti segera melecut kudanya, sehingga kuda itu meloncat dan berlari kencang mendekati lingkaran perkelahian yang masih berlangsung dengan sengitnya. Tetapi tenaga Pandan Wangi sudah semakin lama menjadi semakin lemah, meskipun lawan-lawannya juga demikian. Namun karena lawannya berjumlah enam orang, maka kemungkinan baginya untuk dapat melepaskan diri dari tangan laki-laki yang buas itu menjadi semakin sempit.

Betapapun mereka sedang dibelit oleh perkelahian yang seru, namun mereka masih sempat mendengar derap beberapa ekor kuda mendekati mereka. Semakin lama menjadi semakin dekat. Ternyata derap kaki-kaki kuda itu cukup berpengaruh kepada mereka yang sedang bertempur. Salah seorang laki-laki yang sedang melawan Pandan Wangi itu berdesis, “Derap kaki-kaki kuda.”

Pandan Wangi pun mendengarnya pula. Tetapi ia masih belum sempat berpaling untuk melihat siapakah yang datang. Ia masih sibuk memperhatikan ujung-ujung senjata yang bertubi-tubi menyerangnya. “Meraka datang,” teriak salah seorang dari mereka.

“Ha,” sahut yang lain, “kini sampailah akhir dari perlawananmu anak manis. Meskipun agaknya kita pun terganggu pula sedikit, tetapi akhirnya maksud kami pun akan sampai pula. Mereka tidak akan dapat berbuat lain daripada membantu kami menangkapmu.”

Dada Pandan Wangi menjadi semakin berdebar-debar. Derap kaki-kaki kuda itu menjadi semakin dekat. Tidak hanya seekor kuda. Timbullah kengerian yang tajam di dalam dadanya. Bagaimanakah seandainya ia benar-benar jatuh ke tangan laki-laki yang liar itu. Apalagi mereka akan mendapat kawan, orang-orang yang datang berkuda itu meskipun Pandan Wangi masih belum sempat melihat orang-orang yang baru datang itu.

Dalam kepepatan hati, maka Pandan Wangi sampai kepada keputusannya. Ia harus mati. Kalau ujung-ujung senjata lawannya tidak mampu membunuhnya, maka ia akan membunuh dirinya sendiri.

Karena itu, maka tiba-tiba Pandan Wangi itu berdiri tegak sambil merentangkan tangannya yang masih menggenggam pedangnya. Ia berharap bahwa serangan yang datang beruntun dengan tiba-tiba akan sempat menusuk dadanya.

Tetapi ternyata sikapnya itu benar-benar mengejutkan. Sebelum ujung-ujung senjata menyentuh tubuhnya, tiba-tiba laki-laki yang kedua tangannya telah terluka berteriak, “Berhenti! Berhenti! Jangan lukai dia.”

Setiap laki-laki yang sudah siap menjulurkan pedangnya tiba-tiba tertegun. Mereka berdiri seperti patung, meskipun pedang mereka masih terjulur lurus-lurus ke depan.

“Sudah aku katakan, tangkap ia hidup-hidup. Agaknya anak manis ini telah menyerah.“

Kata-kata itu menyengat hati Pandan Wangi melampaui sengatan ujung pedang. Ternyata usahanya untuk menyelesaikan pertempuran itu dengan lubang di dadanya tidak berhasil. Karena itu, maka tiba-tiba ia meloncat mundur sambil berkata lantang, “Jangan mengharap kalian dapat menyentuh tubuhku selagi aku masih hidup.”

Laki-laki berkumis itu mengerutkan keningnya. Katanya, “Kau mau apa, Pandan Wangi?”

“Kalian hanya akan mendapatkan mayatku,” sahut Pandan Wangi tegas. Sementara itu ia telah mengangkat pedangnya siap untuk menembus dadanya.

Tetapi tiba-tiba mereka terkejut, ketika terdengar suara menggelagar, “Pandan Wangi. Apakah yang akan kau lakukan?”

Dengan gerak naluriah Pandan Wangi berpaling. Dilihatnya di atas punggung kuda kakaknya duduk dengan cemasnya. Sejenak kemudian Sidanti itu segera meloncat dan berlari mendapatkan adiknya. “Pandan Wangi, kenapa kau?”

Pandan Wangi memandangi kakaknya dengan sorot mata yang dipenuhi oleh keragu-raguan. Bahkan kemudian ia melangkah surut sambil berkata, “Jangan dekati aku.”

Sidanti tertegun sejenak. Ditatapnya wajah Pandan Wangi yang pucat. Keringat yang membasahi pakaiannya dan yang kemu¬dian dilihatnya adalah titik darah yang menetes dari lukanya.

“Kenapa kau, Wangi?” sekali lagi terloncat pertanyaan itu dari mulut Sidanti.

Pandan Wangi terdiam sejenak. Ditatapnya wajah kakaknya yang kecemasan. Tetapi ia masih dipengaruhi oleh kengerian yang sangat, sehingga ketika kakaknya maju selangkah, ia pun mundur selangkah.

“Kau biarkan orang-orangmu menghina aku. Bukan saja sebagai seorang puteri Kepala Tanah Perdikan, tetapi lebih-lebih lagi aku sebagai seorang gadis.”

Dada Sidanti berdentangan mendengar kata-kata itu. Sekilas hatinya dipengaruhi oleh kepentinganya atas orang-orang yang kebetulan telah mencegat Pandan Wangi. Mereka adalah orang-orang yang diperlakukannya dalam tujuan yang dianggapnya penting. Tetapi tiba-tiba terbayang di wajah Pandan Wangi yang pucat itu wajahnya semasa kanak-kanak. Dilihatnya wajah itu sebagai wajah Pandan Wangi pada saat ia masih kecil. Menangis dan merajuk. Anak itu selalu minta perlindungannya. Pada saat-saat kawan-kawannya nakal, maka gadis kecil itu selalu berlari kepadanya sambil menangis, “Kakang, Kakang Sidanti. Aku dinakali.”

Setiap saat ia menjadi marah. Setiap kali ia selalu berkata, “Bermainlah di sini. Siapa yang nakal, nanti aku pukul punggungnya.” Dan setiap kali Pandan Wangi akan terdiam. Ia akan bermain di sampingnya dengan tenteram.

Tiba-tiba Sidanti itu menggeram. Tiba-tiba saja ia memutar tubuhnya menghadap laki-laki yang liar yang masih menggenggam pedang di tangan mereka. Tanpa diduga-duga, maka Sidanti itu segera mencabut pedangnya sambil berteriak. “Hai cucurut-cucurut hina. Kalian hanya berani melawan seorang gadis kecil. Ayo inilah Sidanti. Kalau kalian benar-benar jantan, lawanlah Sidanti. Berkelahilah bersama-sama. Enam orang, atau panggil sepuluh orang kawanmu lagi.”

Perlahan-lahan Sidanti melangkah maju. Matanya memancarkan api kemarahan tiada terhingga. Pedangnya terjulur lurus ke depan. “Ayo, siapakah yang lebih dahulu?”
Sikapnya itu sama sekali tidak terduga-duga. Laki-laki liar itu sama sekali tidak menyangka, bahwa Sidanti akan bersikap demikian, justru kepada mereka.

Karena itu maka sejenak mereka berdiri saja mematung. Kemudian mereka saling berpandangan. Namun tidak seorang pun dari mereka yang mengerti, apakah yang seharusnya mereka kerjakan. Sedang di atas punggung kuda masing-masing, Argajaya dan Ki Tambak Wedi pun masih juga duduk termangu-mangu.

Dalam pada itu masih terdengar suara Sidanti, “Ayo, ayo, siapa yang paling jantan di antara kalian?”

Belum ada seorang pun yang beranjak dari tempatnya. Tetapi laki-laki yang berkumis dan berjambang tampak mengerutkan keningnya. Wajahnya kemudian semakin menegang, sedang kedua telapak tangannya masih ditelakupkannya.

Namun sejenak kemudian ia melangkah maju sambil berkata dengan suara yang gemetar, “Apakah maksudmu, Sidanti?”

“Jelas, membunuh kalian bersama-sama.”

Laki-laki itu menjadi semakin tegang. Katanya, “Jadi kau undang aku kemari sekedar untuk berkelahi?”

Sidanti terdiam sejenak. Terasa sesuatu bergelora di dalam dadanya. Tetapi kemudian ia menjawab, “Aku memang memerlukan kalian. Tetapi tidak untuk menghina gadis-gadis.”

“Siapakah perempuan ini?”

“Adikku,” sahut Sidanti pendek.

Laki-laki berkumis itu menjadi semakin tegang. Kini dahinya menjadi berkerut-merut. Desisnya, “Kami tidak tahu bahwa gadis ini adikmu.”

“Sekarang kalian sudah tahu. Ayo, bersiaplah. Kita akan mempertahankan nama kita masing-masing.”

“Tetapi kau memerlukan kami untuk suatu kepentingan yang lain.”

“Aku tidak peduli. Tetapi penghinaan bagi gadis-gadis apalagi adikku sama sekali tidak dapat dimaafkan.”

Wajah laki-laki itu menjadi semakin berkerut-merut. Tetapi sejenak kemudian ia berkata, “Aku tidak tahu bahwa perempuan ini adalah adikmu. Semuanya sudah terlanjur terjadi. Sekarang terserah kepadamu. Kalau benar-benar kau memutuskan untuk membersihkan nama kita masing-masing, marilah. Aku sudah datang ke tempat ini. Aku memang sudah membuat perhitungan. Kemungkinan yang dapat terjadi adalah, aku tidak akan keluar lagi dari lingkungan ini.”
“Bagus, bersiaplah.”

“Tetapi Sidanti, jangan kau memakai alasan serupa itu. Jangan kau pergunakan kesempatan ini sekedar untuk mengobarkan nafsumu berkelahi. Jangan kau katakan, bahwa tidak dapat dimaafkan lagi karena kami mengganggu gadis-gadis, atau menghinakannya. Sebutlah alasan yang lain, dan kami akan melayaninya.”

Itulah alasan yang sebenarnya. “Kalian ternyata adalah orang-orang yang paling terkutuk.”

“Karena kami menghina dan mengganggu gadis-gadis?”

“Ya.”

“Omong kosong,” tiba-tiba orang yang berkumis dan terluka kedua telapak tangannya itu tertawa. Katanya pula kemudian, “Apakah kau kira kami belum pernah mendengar apa yang pernah kau lakukan di Sangkal Putung? Apakah kau sangka bahwa kami tidak tahu, apa yang kau perbuat atas Sekar Mirah?”

Wajah Sidanti tiba-tiba menyala semerah api. Sejenak ia justru mematung di tempatnya. Mulutnya bergetar seperti getaran jantungnya yang semakin cepat. Tetapi tidak sepatah kata pun yang dapat diucapkan.

Dan laki-laki berkumis itu masih tertawa, “Nah, apa katamu tentang Sekar Mirah itu.”

Terdengar gigi Sidanti bergemeretak. Sesaat kemudian ia menjawab dengan suara gemetar, “Kebodohanmu adalah bahwa kau tidak dapat melihat perbedaan di antara sikapmu dan sikapku. Aku mencintainya. Aku mengambilnya dengan suatu cita-cita, bahwa suatu ketika aku akan hidup bersamanya dalam lingkungan kekeluargaan yang aku junjung tinggi. Mungkin aku termasuk seorang yang buas di dalam lingkaran pertempuran. Aku pernah membunuh dan mencincang musuhku. Tetapi aku menghormati hubungan yang tinggi di antara manusia di dalam hubungan kekeluargaan.”

Laki-laki berkumis itu mengerutkan keningnya. Namun ia tertawa pula, “Aku tidak melihat bedanya. Kau juga tidak menghormatinya, menghormati perasaannya. Kau berbicara tentang cita-cita dan keluarga, tetapi kau tidak berbicara tentang perasaan orang lain. Nah, bukankah tidak ada bedanya? Aku juga tidak berbicara tentang orang lain. Akupun hanya sekedar menuruti keinginanku. Yang berbeda di antara kita hanyalah keinginan kita. Kau inginkan dan kau paksa gadis itu untuk menjadi isterimu apabila berhasil, tetapi aku hanya menginginkannya sekarang.”

Kemarahan Sidanti benar-benar telah sampai ke puncak ubun-ubunnya. Ia benar-benar terhina karenanya. Namun justru karena itu sekali lagi

ia terbungkam. Hanya ujung pedangnya sajalah yang bergetar semakin cepat.

“Nah apa katamu?” berkata laki-laki berkumis itu. “Kalau ingin berkelahi, marilah kita berkelahi. Tetapi jangan halangi aku meskipun gadis itu adikmu. Aku sudah terlanjur mulai. Atau barangkali kau berbaik hati, meyerahkannya kepada kami supaya kami bersedia membantumu.”

“Cukup, cukup!” suara itu benar-benar mengejutkan. Bukan suara Sidanti, karena mulut Sidanti justru terkunci oleh kemarahan yang menyumbat dadanya.

Ketika mereka serentak berpaling, maka mereka melihat Arga¬jaya meloncat turun dari kudanya dengan wajah yang merah padam. Digenggamnya tombaknya erat-erat. Terdengar suaranya bergetar, “Gadis itu adalah kemanakanku pula. Marilah kita bertempur. Aku yakin bahwa kalian sebentar lagi akan menjadi bangkai.”

Sekali lagi setiap laki-laki yang berwajah liar dan buas itu menjadi heran. Keadaan ternyata berkembang tanpa dapat dikekang lagi. Namun mereka pun tidak ingin merendahkan nama mereka. Sehingga dengan garangnya, laki-laki yang telah terluka tangannya itu menggeram, “Baik, baik. Kami tidak berkeberatan. Marilah. Enam orang di pihak kami meskipun di antaranya telah terluka dan empat orang di pihakmu, bersama-sama dengan gadis itu. Kita akan bertempur. Tetapi kami minta, taruhannya adalah seorang gadis cantik yang bernama Pandan Wangi. Setuju?”

Sidanti sudah tidak dapat menahan hatinya lagi. Penghinaan itu sudah berlebih-lebihan. Apalagi ketika ia sadar, bahwa pamannya telah menjadi marah pula. Keenam orang itu tidak segera dapat mengalahkan Pandan Wangi seorang diri. Apalagi apabila mereka harus bertempur melawan dirinya dan pamannya bersama-sama. Sudah tentu Pandan Wangi sendiri akan serta. Terlbih-lebih lagi apabila gurunya membantunya pula. Maka membunuh keenam orang itu tidak akan memerlukan waktu sepenginang.

Tetapi sebelum Sidanti meloncat terdengar suara gurunya, “Sidanti. Tunggu.”

Sidanti tertegun sejenak. Bersamaan dengan pamannya ia berpaling.

“Jangan terburu nafsu,” berkata Ki Tambak Wedi kemudian.

“Mereka menghina aku, Guru,” berkata Sidanti.

“Ya. Tetapi jangan tergesa-gesa mengambil tindakan. Kita harus memperhitungkan setiap kemungkinan dengan saksama. Aku sependapat dengan kau dan pamanmu Argajaya. Tetapi aku tidak sependapat bahwa kalian harus bertempur di sini.”

“Di mana kami harus bertempur?” bertanya Argajaya.

“Bukan di mana. Tetapi perkelahian di antara kita memang harus dicegah. Kita sudah terlalu kenyang dihantam oleh pengalaman. Kita selalu dihancurkan karena kita selalu bertengkar dengan diri sendiri.”

“Tetapi penghinaan itu sudah melampaui batas.”

Ki Tambak Wedi mengerutkan keningnya. Dipandanginya wajah Pandan Wangi yang masih pucat. Lamat-lamat dilihatnya bayangan wajah Rara Wulan pada wajah gadis itu. Dan setitik keringat telah membasahi keningnya.

“Hem,” Ki Tambak Wedi menarik nafas dalam-dalam. “Persoalan itu selalu kembali pada setiap keadaan.” desisnya di dalam hati, “persoalan perempuan. Sejak masa itu, sejak jauh sebelum Sidanti dilahirkan, maka persoalan perempuan selalu saja melibatkan diri. Kemudian kegagalan Sidanti di Sangkal Putung, di Tam¬bak Wedi dan kini di Menoreh, persoalan itu selalu saja ditemuinya kembali.”

Tetapi sebelum Ki Tambak Wedi menentukan sikapnya, maka sekali lagi mereka telah dikejutkan oleh derap kaki-kaki kuda. Seje¬nak mereka terdiam. Dan suasana pun menjadi hening sepi. Yang terdengar adalah silirnya angin pegunungan menyentuh dedaunan dan suara derap kaki kuda yang semakin lama semakin menjadi jelas.

“Hanya seekor kuda,” desis Ki Tambak Wedi, sehingga karena itu maka ia pun tidak menjadi cemas karenanya. Ketika tanpa dikehendakinya ia menengadahkan wajahnya, maka dilihatnya matahari telah melampaui titik puncaknya di pusat langit.

Sejenak kemudian dari balik dedaunan, mereka melihat seekor kuda seakan-akan terbang di jalan pedukuhan. Namun sejenak kemudian langkah kuda itu pun diperlambat. Agaknya penunggangnya telah melihat, beberapa orang yang berada di tempat itu. Tetapi kuda itu tidak berhenti. Semakin lama semakin dekat dan dekat.

Ketika terlihat oleh mereka, penunggang kuda itu, maka ter¬dengar Pandan Wangi berteriak memanggil “Paman. Paman Samekta.”

Orang berkuda, yang bernama Samekta itu, menghentikan kudanya. Dengan herannya ia memandang Pandan Wangi yang masih menggenggam sepasang pedangnya. Kemudian dipandanginya Sidanti, Argajaya, Ki Tambak Wedi, dan beberapa orang laki-laki yang kasar dan liar itu.
“Angger Pandan Wangi,” terdengar suaranya tertahan-tahan, “apakah yang telah terjadi?”

Pandan Wangi masih berdiri di tempatnya. Sejenak ia menjadi ragu-ragu. Karena itu, sebelum ia menjawab, maka ia pun bertanya, “Kemanakah Paman akan pergi?”

Samekta tidak segera menjawab. Sekali lagi dipandanginya Sidanti dan Argajaya berganti-ganti. Baru sejenak kemudian ia berkata, “Aku mendapat tugas dari Ki Gede Menoreh untuk menjemputmu. Ki Gede mencemaskan kau dan memerintahkan aku untuk mencarimu apabila tengah hari kau belum kembali. Apakah yang telah terjadi di sini? “

Pandan Wangi memandangi wajah Sidanti yang kini menjadi ragu-ragu.

“Apakah kalian telah berkelahi?” terdengar lagi suara Samekta.

Pandan Wangi mengangguk. “Ya, Paman.”

Tiba-tiba wajah Samekta menjadi tegang. Perlahan-lahan ia turun dari kudanya dan berkata, “Kenapa kau berkelahi, Ngger. Apakah terjadi sesuatu atasmu? “

Pandan Wangi tidak menjawab. Tetapi tanpa disadarinya tangannya meraba lukanya. Setitik darah telah memerah di telapak tangannya.

“Kau terluka,” suara Samekta meninggi. Wajahnya kian menegang.

Pandan Wangi mengangguk.

“Siapakah yang telah melukaimu, Ngger?”

Pandan Wangi tidak segera menyahut. Tetapi dipandanginya beberapa orang laki-laki liar yang masih tegak berdiri di tempatnya.

Sejenak mereka dilontarkan dalam kediaman masing-masing. Tetapi mata Pandan Wangi telah berbicara, yang melukainya adalah satu dari antara laki-laki liar yang sedang dipandanginya itu. Sehingga meskipun Pandan Wangi tidak mengucapkan kata-kata, namun pemimpin pengawal tanah Perdikan Menoreh itu segera mengetahuainya bahwa salah seorang dari laki-laki itulah yang melukainya. Karena itu maka tiba-tiba ia menggeram. Ia tahu pasti babwa laki-laki itu adalah termasuk sebagian dari orang-orang yang tak dikenal di Tanah Perdikan ini yang datang atas permintaan Sidanti dan Argajaya. Karena itu maka dengan sorot mata yang menyala dipandanginya Sidanti dan Argajaya berganti-ganti. Dan tanpa disadarinya tangan Samekta telah melekat di hulu pedangnya.

Namun agaknya Pandan Wangi menangkap getar hati Sa¬mekta. Sehingga ia berkata pula, “Untunglah, bahwa Kakang Sidanti dan Paman Argajaya segera datang dan menolong aku. Kalau tidak, maka Paman akan tinggal mengenang namaku.”

“He?” Samekta terkejut mendengar keterangan itu. Sejenak ia berdiri keheranan. Bahkan seolah-olah ia tidak yakin akan pendengarannya, bahwa Sidanti dan Argajaya-lah yang telah menolongnya. Tetapi perasaan itu disimpannya di dalam hatinya. Ia terpaksa mempertimbangkan keadaan untuk menyatakan suatu sikap saat itu. Ia merasa berdiri di tempat yang tidak diketahui de¬ngan pasti. Menilik keadaan dan arah sikap masing-masing, Samekta percaya kepada keterangan Pandan Wangi. Tetapi beberapa persoalan masih terasa kabur di dalam kepalanya.

Sesaat mereka hanya saling memandang dengan perasaan masing-masing. Samekta yang keheranan, Argajaya dan Sidanti yang marah, Pandan Wangi yang masih pucat dan laki-laki liar itu pun bertambah liar. Sedang Ki Tambak Wedi yang duduk di atas punggung kudanya masih juga duduk sambil mengerutkan keningnya.

Tiba-tiba kesenyapan itu dipecahkan oleh Ki Tambak Wedi, “Apakah maksudmu datang kemari?”

Samekta berpaling kepada Ki Tambak Wedi. Jawabnya, “Aku menjemput Pandan Wangi.”

“Pandan Wangi berada bersama kakaknya,” berkata Ki Tambak Wedi pula. “Tinggalkan dia.”

Samekta heran mendengar kata-kata itu. Tetapi ia mendengar Pandan Wangi menyahut, “Tidak. Jangan kau tinggalkan aku, Paman Samekta. Tunggulah, kita pulang bersama-sama.”

Ki Tambak Wedi mengerutkan dahinya. Dipandanginya wajah Pandan Wangi yang masih pucat. Sejenak kemudian dipandanginya wajah Sidanti dan Argajaya yang masih merah.

Yang terdengar kemudian adalah kata-kata Samekta, “Aku memang mendapat perintah dari Ki Argapati untuk menjemput Angger Pandan Wangi. Ki Argapati mencemaskannya, apabila terjadi sesuatu di sepanjang jalan, seperti yang ternyata sekarang. Untunglah Angger Sidanti dan Ki Argajaya menolongnya. Untuk itu, mendahului Ki Argapati aku mengucapkan diperbanyak terima kasih.”

Dada Sidanti menjadi berdebar-debar karenanya. Ia sadar bahwa yang diucapkan Samekta itu hanyalah sekedar tata kesopanan. Tetapi apakah Argapati akan benar-benar berterima kasih kepadanya? Mungkin untuk persoalan ini saja. Persoalan Pandan Wangi. Tetapi untuk seterusnya, Argapati pasti akan memusuhinya. Karena itu, maka jawabnya, “Kau tidak usah mengucapkan terima kasih kepadaku. Juga Argapati. Aku berbuat atas kehendakku dan tanggung jawabku sendiri. Aku telah menolong adikku. Aku tidak peduli, apakah hubungannya semua persoalan ini dengan Argapati, yang sama sekali tidak bertanggung jawab terhadap anak-anaknya. Terhadapku dan ternyata pula kini terhadap Pandan Wangi. Seandainya aku tidak ada, apakah yang terjadi dengan gadis ini.”

“Kakang,” terdengar suara Pandan Wangi, “Kakang jangan berkata demikian. Adalah wajar bahwa ayah mengucapkan terima kasih kepadamu dan kepada Paman Argajaya. Jangan dikaitkan persoalan ini dengan persoalan-persoalan lain yang masih terlampau gelap. Justru aku saat ini ingin menemuimu untuk kepentingan itu.”

Sidanti menarik nafas dalam-dalam. Tetapi kemudian ia berkata, “Aku adalah kakakmu Pandan Wangi. Lepas dari setiap persoalan yang kini sedang membakar Tanah Perdikan ini.”

“Dan lepas dari setiap persoalan itu pula Ki Gede Menoreh akan mengucapkan terima kasih kepada kalian.”

“Tidak perlu. Aku tidak memerlukan terima kasih dari orang lain. Aku menolong adikku. Itu adalah kuwajibanku. Aku tidak memerlukan terima kasih itu.”

Tanpa diduga-duga Argajaya berkata, “Tetapi, Kakang Argapati adalah ayahnya, Sidanti. Ia mempunyai kuwajiban pula untuk menyatakan terima kasih kepada mereka yang menolong puterinya. Siapa pun orangnya.”

Dada Sidanti berdesir mendengar kata-kata Argajaya itu. Tetapi sesaat kemudian disadarinya bahwa Argajaya itu adalah adik Ar¬gapati. Hampir-hampir saja ia berteriak memaki. Tetapi sebelum mulutnya bergerak terdengar suara Ki Tambak Wedi tertawa pendek. Katanya, “Kalian adalah anak-anak cengeng. Kalian mempersoalkan suatu masalah yang sama sekali tidak berarti. Biar sajalah, apakah Argapati akan mengucapkan terima kasih atau tidak.”

Sidanti sejenak terbungkam di tempatnya. Hatinya bergolak tidak menentu. Ia tidak tahu kini, kepada siapa sebenarnya marah. Kepada laki-laki liar yang mengganggu Pandan Wangi itu, kepada Samekta atau justru kepada Argajaya? Karena itu, maka dadanya menjadi pepat dan terdengar giginya gemeretak.
“Kalian benar-benar telah kehilangan akal.” berkata Ki Tambak Wedi. “Sekarang lepaskan semua persoalan. Biar sajalah Pandan Wangi menentukan sikapnya. Apakah ia akan kembali ke rumah ayahnya atau ia akan pergi kepada paman dan kakaknya.”

Namun mereka terkejut ketika mereka mendengar isak Pandan Wangi yang ditahannya kuat-kuat. Gadis itu masih menggenggam sepasang pedang. Ia tidak menangis ketika ia berhadapan dengan enam laki-laki liar dan bahkan sampai kemungkinan bahwa ia akan mati terbunuh atau membunuh diri. Tetapi kini ketika perasaannya sebagai seorang gadis tersentuh pada hubungan keluarganya yang kisruh maka hatinya menjadi terlampau pedih. Sehingga ia tidak dapat lagi menahan air matanya. Ia kini berdiri sebagai seorang gadis. Seorang gadis yang seakan-akan berada di persimpangan jalan. Ia berdiri tegak di antara ayahnya dan kakaknya. Tetapi ayah dan kakaknya itu sama sekali tidak mempunyai sangkutan darah sama sekali. Dan persoalan itulah yang agaknya ikut menjadi sebab menyalanya api yang akan membakar Tanah Perdikan ini.

Keenam laki-laki liar yang telah bertempur melawan Pandan Wa¬ngi itupun menjadi heran. Gadis itu tidak gentar melihat mereka dan ujung-ujung pedang mereka. Tetapi kini, ketika ia sudah selamat dan tidak lagi berada di dalam bahaya, justru ia menangis.

“Dalam keadaan itu, terdengar Samekta berkata, “Sudahlah, Ngger. Marilah kita kembali.”

Tangis Pandan Wangi belum mereda. Tetapi ia mencoba menahannya sekuat hati, sehingga dadanya menjadi pepat, dan seakan-akan hendak meledak.

“Pulanglah, Wangi,” terdengar suara Argajaya. Betapapun juga gadis itu adalah kemanakannya. Seperti Sidanti, Argajaya telah dilibat oleh kenangan di masa gadis itu masih kecil. Gadis kecil itu sering didukungnya, dibawanya bermain-main ke rumahnya sebelum ia sendiri mempunyai anak perempuan. Meskipun kini anaknya sendiri telah hampir sebesar Pandan Wangi, namun kenangan itu masih jelas di dalam ingatannya.

Pandan Wangi mengangkat wajahnya, ia memang ingin pulang kepada ayahnya. Namun sebelum ia melangkah, terdengar ia berkata di antara isak tangisnya, “Kakang Sidanti. Kau akan melihat persoalan yang lebih buruk lagi di saat-saat mendatang, apabila kau masih tetap di dalam pendirianmu. Itulah yang akan aku, katakan, Kakang.”
Dada Sidanti berdesir mendengar kata-kata adiknya. Sejenak ia terdiam. Sekilas terasa kebenaran kata-kata Pandan Wangi. Sebelum persoalan ini meluas, maka ia telah menjumpai peristiwa yang disesalkannya, justru menimpa adiknya sendiri. Lalu apakah yang akan terjadi seandainya pergolakan yang kemelut ini menjadi semakin memburuk?

Kekisruhan pasti akan terjadi di mana-mana. Orang-orang yang ingin meneguk di air yang keruh akan mendapat kesempatan seluas-luasnya. Kini ia telah dihadapkan pada suatu contoh yang baik.

Dalam pada itu terdengar suara Pandan Wangi, “Kakang, apa pun yang pernah terjadi atasmu, kau adalah anak dari Tanah ini. Tanah Perdikan Menoreh. Apakah dengan demikian kau sampai hati melihat Tanah ini menjadi ajang keributan dan kekisruhan? Apakah kau sampai hati melihat orang-orang tak dikenal seperti orang-orang liar ini, berbuat sekehendak hatinya di sini. Membunuh, merampok, dan memperkosa, justru kitalah yang mengundang mereka dan memberikan tempat terhormat kepada orang-orang itu. Mempersilahkan mereka merampas kekayaan di rumah kita sendiri dan sekaligus membakar rumah kita ini?”

Sidanti tegak sebagai karang. Terasa tusukan-tusukan yang tajam di jantungnya. Ia melihat kebenaran kata-kata Pandan Wangi. Betapa pertentangan terjadi di dalam rumah tangga sendiri, bukan seharusnya kita membawa tetangga-tetangga kita, betapapun baiknya. Apalagi seliar laki-laki yang telah mengganggu Pandan Wangi itu, untuk ikut serta mengeruhkan suasana.

Ternyata bukan saja Sidanti yang langsung tertusuk oleh kata-kata itu, tetapi juga Argajaya sebagai putera Tanah Perdikan Menoreh. Sudah tampak di depan matanya, pepucuk dari segala macam bencana yang akan menimpa Tanah ini. Tanah Perdikan yang kini dipimpin oleh kakaknya sendiri.

Tetapi berbeda tanggapan Ki Tambak Wedi yang masih saja berada di atas punggung kudanya. Ia melihat gelagat pada wajah-wajah Sidanti dan Argajaya. Terasa darahnya meluap karenanya. Ia sadar bahwa kata-kata Pandan Wangi itu langsung mengenai sasarannya. Tetapi ia tidak dapat membiarkannya. Persoalan ini sudah terlanjur sampai pada suatu tingkatan yang cukup parah. Sudah tentu bahwa ia tidak akan dapat melangkah surut, apa pun yang terjadi. Karena itu maka, ia harus segera berbuat sesuatu. Membungkam Pandan Wangi sebelum ia berkata terlampau banyak dan berhasil melemahkan hati kakak dan pamannya. Apabila demikian, maka ia akan berdiri sendiri dan bahkan mungkin ia akan berhadapan dengan orang-orang yang selama ini berada di pihaknya. Dan yang paling menyakitkan hati apabila anaknya laki-laki, Sidanti, terpengaruh pula oleh kata-kata adiknya itu.

Hampir saja Ki Tambak Wedi memilih jalan yang paling berbahaya baginya tanpa mengenal unggah-ungguh. Hampir saja ia berbuat kasar terhadap Pandan Wangi. Mengusirnya dan berteriak keras-keras membantah kata-kata itu dengan seribu macam alasan. Tetapi ternyata ia pun tidak sampai hati berbuat demikian. Justru karena wajah Rara Wulan membayang di wajah gadis itu. Wajah seorang perempuan yang telah ikut menentukan jalan hidupnya. Perempuan yang telah mendorongnya untuk berperang tanding dan mempertaruhkan nyawa dan kehormatann di bawah Pucang Kembar beberapa puluh tahun lampau.

Bayangan itulah yang telah mengekangnya. Dan karena itu yang dilakukan kemudian adalah, mencari jalan untuk segera mengusir Pandan Wangi itu dengan cara yang lain.

Maka berkata orang tua itu, “Pandan Wangi. Ayahmu telah memerintahkan bawahannya untuk menjemputmu. Pulanglah, supaya ayahmu tidak menjadi cemas.”

“Ya, Kiai,” jawab Pandan Wangi, “aku akan segera pulang. Aku telah puas dapat bertemu dengan Kakang Sidanti, dapat mengatakan meskipun hanya sebagian kecil dari persoalan-persoalan yang tersimpan di dalam hatiku.”

“Kami berterima kasih atas peringatanmu itu. Tetapi kami mempunyai pertimbangan-pertimbangan tersendiri. Baiklah, aku kira saat ini yang harus kau lakukan adalah memenuhi panggilan ayahmu. Aku tahu, betapa gelisah hati orang tua menunggu anaknya pulang. Apalagi dalam keadaan serupa ini.”

Ternyata usaha Ki Tambak Wedi itu berhasil. Pandan Wangi segera merasa ingin untuk dapat bertemu secepatnya dengan ayahnya. Katanya di dalam hati, “Ayah pasti menjadi gelisah karenanya.”

Karena itu maka kemudian disarungkannya sepasang pedangnya dan berkata kepada kakaknya, “Aku minta diri, Kakang. Ingat-ingatlah peristiwa ini.”

Sidanti tidak menyahut. Dipandanginya wajah adiknya yang pucat dan basah oleh keringat dan air mata. Kemudian ia mengangguk kecil.

“Aku minta diri, Paman,” berkata Pandan Wangi pula.

“Hati-hatilah, Wangi. Apakah kau hanya berjalan kaki saja?”

***



“Hati-hatilah, Wangi. Apakah kau hanya berjalan kaki saja?”
Pandan Wangi menggeleng, “Tidak, Paman. Aku berkuda. Tetapi kudaku telah lari.”

“Kenapa?”

Pandan Wangi tidak menjawab. Tetapi dipandanginya beberapa orang laki-laki liar yang masih berdiri di tempatnya masing-masing.

Argajaya menggeram. Ia tahu, bahwa orang-orang itulah yang telah sengaja melepaskan kuda Pandan Wangi. Karena itu maka kemudian katanya, “Pandan Wangi, pakailah kudaku. Aku masih mempunyai beberapa ekor di rumah.”
Ki Tambak Wedi mengerutkan keningnya. Ternyata hubungan antara paman dan kemanakannya tidak dapat segera diputuskan oleh persoalan yang tumbuh kini. Meskipun demikian Ki Tambak Wedi tidak berkeberatan. Dengan demikian maka Pandan Wangi itu akan segera pergi.

Maka sejenak kemudian, setelah menyarungkan sepasang pedangnya, Pandan Wangi itu pun sekali lagi minta diri kepada paman dan kakaknya, kemudian kepada Ki Tambak Wedi. Ia masih ingin berpesan sesuatu, tetapi Ki Tambak Wedi mendahuluinya, “Selamat jalan, Anak manis. Hati-hatilah di jalan.” Lalu kepada Samekta ia berpesan, “Jagalah gadis itu baik-baik. Mungkin banyak bahaya di sepanjang jalan. Ayahnya pasti sudah menunggunya.”

“Baik, Kiai,“ sahut Samekta, meskipun hatinya meugumpat orang tua yang licik itu.

Sesaat kemudian maka kedua ekor kuda itu pun segera berderap meninggalkan mereka yang masih berdiri mematung di tempatnya.

Sejenak mereka yang ditinggalkan itu pun masih tegak sambil berdiam diri. Mereka seolah masih belum dapat melepaskan diri dari peristiwa yang baru saja terjadi. Di tangan mereka masih tergenggam senjata-senjata masing-masing. Golok, pedang, dan tombak pendek di tangan Argajaya. Bahkan ketegangan yang mencengkam mereka sama sekali masih belum mereda.

Dalam keadaan demikian itu terdengar suara Ki Tambak Wedi tertawa, “Jangan bermain-main lagi.”

Semua orang berpaling kepadanya, dan ia berkata seterusnya, “Kadang-kadang kita memang perlu memanaskan diri, supaya apabila terjadi persoalan yang sebenarnya kita benar-benar sudah bersiap. Tetapi sebaiknya pemanasan itu tidak terjadi dalam kesalah-pahaman. Sebaiknya memanaskan diri itu harus terjadi secara sadar.”

Tidak seorang pun yang menyahut. Sekian banyak laki-laki itu seolah-olah masih membeku.

“Sekarang sarungkanlah pedang kalian?” berkata Ki
Tambak Wedi seterusnya.

Ketika masih belum ada yang melakukannya, maka ia berkata kepada Sidanti, “Sidanti. Jangan dipengaruhi oleh perasaan yang kekanak-kanakan itu. Berpikirlah dewasa, seperti orang yang lain pun harus berpikir dewasa.”

Laki-laki yang berkumis dan berjambang itu tiba-tiba menyadari dirinya. Dan tiba-tiba pula ia berkata, “Aku bukan barang mainan di sini. Aku datang atas undangan kalian. Tetapi di sini aku sekedar akan dihinakan. Aku tidak mau. Aku harus berbuat sesuatu untuk menebus hinaan ini. Jangan kau sangka aku berdiri sendiri. Di sini ada beberapa puluh orang yang datang atas undangan kalian. Seperti aku. Apabila terjadi sesuatu atasku, maka mereka pasti akan berpikir tentang nasib mereka pula. Apalagi kalau aku berbicara tentang orang-orangku sendiri di tempatku. Mereka tidak akan tinggal diam. Kalian harus tahu akibat yang akan melanda Tanah ini.”

Wajah Sidanti yang masih tegang menjadi kian menegang. Dengan serta-merta ia menjawab, “Tetapi, kami tidak mengundang kalian untuk menghinakan gadis-gadis kami di sini. Apalagi Pandan Wangi adalah adikku.”

Laki-laki berkumis itu mengerutkan keningnya. Tiba-tiba ia bertanya, “Apakah gadis itu adikmu?”

“Ya.”

Laki-laki berkumis itu mengangguk-anggukkan kepalanya, gumamnya, “Aneh sekali. Kau telah bertekad untuk melawan Ayahmu. Ayahmu. Tetapi kau sangat terikat kepada adikmu. Kenapa adikmu ti¬dak kau bawa bersamamu? Menilik pengamatanku, adikmu agaknya berpihak kepada Ayahmu. Padahal meskipun ia seorang gadis, ternyata ia seorang gadis yang luar biasa. Lihat, tanganku telah terluka karenanya. Beberapa orang kawanku pun terluka pula,”

“Salahmu sendiri. Untunglah adikku mampu menyelamatkan dirinya sendiri. Kalau tidak, maka kalian pun akan menjadi mayat di sini.”

“He,” Laki-laki itu membelalakkan matanya. “Jadi kau benar-benar menghendaki pertengkaran? Ayo, kami ternyata tidak akan berkeberatan.”

Hampir saja Sidanti berteriak menjawab tantangan itu, tetapi gurunya mendahuluinya, “Sudah aku katakan. Apabila kalian ingin memanaskan diri jangan dalam suasana salah paham. Sarungkan senjata kalian. Yang terluka harus segera diobati. Setiap saat kalian akan diterkam oleh bahaya. Apalagi sejak Pandan Wa¬ngi mengalami perlakuan ini.”

“Jadi kalau terjadi benturan antara kalian dengan Argapati, kalian ingin menyalahkan kami karena kami mencegat Pandan Wangi?”

“Bukan itu soalnya. Maksudku, peristiwa ini akan dapat menjadi penyebab, meledaknya kemelut yang selama ini seolah-olah, tersekap dalam dekapan yang rapat.”

“Lalu bagaimana maksudmu? Apakah kami harus menunda perhitungan ini sampai persoalan kalian dengan Argapati selesai?”

“Tidak. Aku sama sekali tidak menghendaki persoalan ini berlarut-larut. Seharusnya Sidanti menyadari kedudukannya, dan tidak membuat persoalan-persoalan baru dengan pihak lain,”

Sidanti terkejut mendengar kata-kata gurunya, sehingga dengan serta-merta ia berpaling. “Apakah maksud Guru?”

Ki Tambak Wedi menarik nafas dalam-dalam. Terasa mulutnya terlampau berat untuk mengucapkannya. Bahkan perasaannya pun seakan-akan telah mengekangnya. Tetapi ia mencoba mempergunakan pikirannya. Ia harus memperhitungkan setiap keadaan dengan nalar, tidak dengan perasaan. Meskipun wajah Rara Wulan seolah-olah terbayang di wajah Pandan Wangi, namun ketika gadis itu sudah tidak berada di hadapannya, diusahakannya untuk mengusir bayangan itu dengan pikirannya.

“Apakah yang harus aku kerjakan guru?” bertanya Sidanti.

Ki Tambak Wedi tidak segera menyahut. Di pandanginya wa¬jah Argajaya yang menegang pula. Kemudian wajah-wajah dari beberapa laki-laki liar yang sedang dilanda oleh kemarahan itu.

“Maksudku,” berkata Ki Tambak Wedi, “jangan terjadi persoalan di antara kalian. Aku mengharap kalian yang kami undang pun dapat menempatkan diri kalian sebagai tamu yang terhormat, tetapi aku mengharap pula bahwa Sidanti dan pamannya dapat menjadi Tuan rumah yang baik. Dengan demikian kalian tidak akan terlibat dalam persoalan-persoalan yang tidak perlu.”

“Tetapi semuanya telah terjadi,” potong laki-laki berkumis itu. “Kami telah merasakan hinaan atas diri kami. Baik dari perempuan yang bernama Pandan Wangi maupun dari Sidanti.”

“Itulah yang ingin aku selesaikan sekarang,” berkata Ki Tambak Wedi. “Persoalan kalian dengan Sidanti harus kalian anggap tidak pernah terjadi. Sidanti dan Argajaya harus beranggapan demikian pula,”

“Tetapi mereka telah menghina adikku,” Sidanti-lah yang kemudian memotong kata-kata gurunya.

“Persoalan mereka dengan Pandan Wangi bukanlah persoal¬an kita, Sidanti.”

“He,” hampir bersamaan Argajaya, dan Sidanti bertanya lantang, “kenapa? Kenapa bukan persoalan kita?”

Sekali lagi Tambak Wedi menarik nafas dalam-dalam. Tetapi ia tidak segera mengucapkan jawabnya.

Tetapi Sidanti, dan Argajaya menjadi semakin lama semakin tegang. Mereka ingin mendengar penjelasan dari orang tua yang masih saja tenang-tenang duduk di atas punggung kudanya.

“Guru,” berkata Sidanti, “kenapa persoalan Pandan Wangi bukan persoalan kita?”

“Sidanti,” berkata Ki Tambak Wedi, “kau sudah berbuat tepat saat ini. Sebagai seorang kakak, kau sudah melakukan kuwajibanmu. Tetapi kau juga mempunyai kuwajiban-kuwajiban yang lain, yang juga harus kau lakukan, dan kau pertanggung jawabkan, sehingga kuwajiban yang satu, dan yang lain harus menjadi seimbang.”

Wajah Sidanti menjadi semakin tegang, dan ia mendengar Ki Tambak Wedi berkata pula, “Maksudku begini Sidanti. Kau memang bertanggung jawab terhadap adikmu itu apabila kau melihatnya. Seandainya peristiwa ini terjadi, dan kau melihatnya, maka tidak seorang pun yang dapat menyalahkan kau.”

“Melihat atau tidak melihat, Guru, tetapi peristiwa ini benar-benar peristiwa yang memalukan.”

“Tetapi kehadiran orang-orang itu sama sekali bukan peristiwa yang memalukan, sebab didorong oleh suatu cita-cita yang jauh lebih bernilai dari persoalan-persoalan harga diri seorang gadis. Persoalan yang kita tangani, dan yang mendorong kita mengundang mereka adalah persoalan Tanah Perdikan. Persoalan yang menyangkut hidup, dan mati seluruh rakyat di Tanah Perdikan ini. Sedang Pandan Wangi adalah hanya satu dari antaranya, dari antara rakyat Tanah Perdikan Menoreh ini. Seperti halnya kita sendiri. Jangankan kehormatan, tetapi jiwa, dan raga kita, kita pertaruhkan.”

“Guru. Betapapun tinggi nilai dari perjuangan kita, tetapi bukankah hal-hal serupa ini tidak perlu terjadi? Hal-hal yang menyangkut harga diri, dan kehormatan seorang gadis? Guru, keduanya sama sekali tidak ada sangkut pautnya. Perjuangan itu dapat berjalan, dan berlangsung terus, tetapi perampasan kehormatan serupa ini harus dihentikan.”

“Kau berada di dalam suatu dunia angan-angan yang hanya dapat terjadi di dalam mimpi, Sidanti. Kehadiran orang-orang itu di sini, sama sekali tidak dapat dibatasi menurut keinginan kita. Mereka hadir dengan segala keadaan mereka. Dengan segala sifat, dan watak mereka. Sehingga hal-hal yang akan terjadi sesuai dengan sikap, dan watak mereka seharusnya sudah kita perhitungkan sejak semula. Itulah sebabnya aku tidak terkejut apabila terjadi hal-hal serupa ini. Tetapi hal serupa ini harus terjadi di luar pengetahuan kita, di luar tanggung jawab kita. Dengan demikian, kita tidak akan tersangkut dengan perbuatan-perbuatan mereka, tetapi kita juga tidak akan membuat persoalan dengan mereka yang datang atas undangan kita.”

“Ah,” Sidanti berdesah.

Tetapi sebelum ia berkata gurunya mendahului, “Adalah kebetulan bahwa yang menjadi korban pertama-tama adalah adikmu, Sidanti. Tetapi apa boleh buat. Perjuangan yang besar memang memerlukan pengorbanan.”

“Kiai,” Argajaya tiba-tiba menyahut, “Kiai dapat berkata begitu karena Kiai tidak mempunyai sangkut paut dengan gadis itu. Tetapi ia adalah kemanakanku. Bagaimana mungkin aku dapat membiarkan hal itu terjadi?”

Ki Tambak Wedi mengerutkan keningnya. Tetapi kemudian ia tersenyum. “Kau memang aneh. Kau sudah menentukan sikap. Kau telah memilih pihak di dalam pertentangan ini. Kalau kau masih terikat kepada hubungan keluarga, maka kau harus mempertimbangkannya sepuluh kali lagi. Argapati adalah kakakmu. Bukan sekedar kemanakanmu. Kau telah berada di dalam suatu rencana bersama dengan kami. Argapati harus disingkirkan. Apakah kau juga masih bertanya, bagaimana kau dapat membiarkan hal itu terjadi?”

Terasa desir yang tajam tergores di jantung Argajaya. Jawaban Tambak Wedi tepat mengenai sasarannya, sehingga sejenak ia terbungkam. Betapa dahsyatnya gejolak di dalam dadanya, tetapi ia tidak dapat menemukan jawaban yang tepat atas kata-kata Ki Tambak Wedi itu.

Sekilas dipandanginya Sidanti. Ia sadar, bahwa Ki Tambak Wedi tidak akan dapat mengemukakan persoalan serupa itu kepada Sidanti, karena Argapati bukanlah Ayahnya.

Suasana yang hening, sejenak mencengkam setiap hati laki-laki yang ada di tempat itu. Hanya mata-mata mereka sajalah yang bergerak-gerak hinggap dari satu orang ke orang yang lain.

Dalam keheningan itulah kemudian mereka mendengar suara Ki Tambak Wedi, “Nah, seharusnya kita pun saling memelihara setiap hubungan baik yang telah ada. Orang-orang itu kini sudah tahu bahwa Pandan Wangi adalah adik Sidanti, sehingga mereka tidak akan dapat berbuat sesuatu atasnya di hadapan Sidanti, dan Argajaya.”

Urat-urat darah Sidanti, dan Argajaya serasa akan pecah. Teta¬pi mereka tidak dapat menjawab. Mereka tahu tujuan kata-kata gurunya, dan mereka pun sadar bahwa Ki Tambak Wedi hendak mengorbankan apa saja untuk kepentingan rencananya. Apalagi perempuan. Perempuan yang sama sekali tidak mendapat tempat yang baik di hatinya, sejak ia terlibat dalam persoalan yang rumit sampai di hari Tuanya. Rara Wulan.

Dan Ki Tambak Wedi itu berkata seterusnya, “Nah aku tetap pada pendirianku. Kalian harus melupakan apa yang telah terjadi supaya tidak ada retak betapapun kecilnya yang akan da¬pat mengganggu kekuatan kita. Tetapi itu tidak berarti bahwa ki¬ta masing-masing boleh berbuat sekehendak diri kita. Kita harus tetap dalam satu ikatan. Yang satu berusaha untuk tidak menyinggung perasaan yang lain. Kita harus dapat saling membatasi diri masing-masing,”

Ketika Sidanti akan berbicara, Ki Tambak Wedi mendahului. “Sidanti, kalau masih ada persoalan di dalam dirimu atau di dalam diri pamanmu, marilah kita bicarakan di rumah. Tetapi bagaimanakah tanggapan kita bersama atas peristiwa ini seperti yang aku maksudkan?” Lalu kepada setiap laki-laki yang masih berdiri mematung di sekitarnya Ki Tambak Wedi berkata, “Apakah kalian dapat mengerti? Tetapi ingat, Tanah ini bukan padang rumput yang hijau bagi kawanan kambing yang bodoh. Tetapi Tanah ini harus bersama-sama kita perjuangkan, kita semai, dan kita pihara bersama-sama, supaya kita kelak dapat memetik hasilnya. Bukan sebaliknya, menjadi arena persengketaan tanpa ujung dan pangkal.”

Sejenak mereka saling berpandangan. Tetapi tidak seorang pun dari mereka yang segera menjawab.

Sekali lagi mereka terdampar ke dalam suatu suasana yang hening. Namun terasa bahwa sorot-sorot mata mereka memancakan pergolakan di dalam dada masing-masing.

Ki Tambak Wedi yang masih duduk di atas punggung kudanya memandang wajah-wajah yang tegang itu satu demi satu, seakan-akan ingin melihat perasaan apakah yang tersembunyi di dalam hati mereka. Pengamatannya yang tajam mengatakan kepadanya bahwa dentang jantung orang-orang yang telah berkelahi bersama Pandan Wangi itu agak mereda. Sehingga tanpa sesadar mereka, senjata-senjata mereka pun telah terkulai menunduk dalam-dalam. Maka ketika mereka mendengar Ki Tambak Wedi berkata kepada mereka, seakan-akan mereka telah digerakkan oleh tenaga yang tidak mereka mengerti untuk memenuhinya.

“Sarungkanlah senjata-senjata kalian.”

Orang-orang liar itu pun segera menyarungkan senjata-senajata mereka. Sidanti, betapapun kebimbangan masih melanda dadanya, namun senjatanya pun telah disarungkannya pula.

“Marilah kita kembali, Sidanti,” berkata Ki Tambak Wedi kemudian. “Kita akan berbicara terlampau panjang di sini. Marilah, Ngger Argajaya.”

Sejenak Sidanti dan Argajaya saling berpandangan. Meskipun mereka mempunyai persamaan sikap tentang Pandan Wangi, namun ternyata bahwa di dalam hati mereka tumbuh pertentangan yang tidak mereka sadari. Betapapun juga Argajaya tidak dapat melepaskan kesadaran tentang dirinya, bahwa ia paman Pandan Wangi, adik ayah gadis itu, dan sama sekali tidak mempunyai sangkut-paut apapun dengan Sidanti, kakak Pandan Wangi. Sedang Sidanti pun menyadari hal itu pula. Kesadaran itu merupakan bibit yang tertanam di dalam hati masing-masing yang mungkin dapat tumbuh. Mungkin pula dapat menjadi subur, dan berbuah.

Tetapi Ki Tambak Wedi yang mempunyai pengamatan yang tajam itu pun menyadari keadaan itu pula. Ia menyadari bahwa benih itu dapat tumbuh dengan subur, dan menghasilkan buah yang lebat tetapi beracun. Karena itu, maka ia harus menjaga agar benih itu menjadi kering, dan mati sebelum sempat tumbuh ngrembaka.

Dan agaknya Ki Tambak Wedi mempunyai keahlian di dalam hal itu.

Sejenak kemudian, Sidanti, dan Argajaya yang masih tegak berdiri di tempatnya, mendengar Ki Tambak Wedi itu berkata pula kepada mereka, “Marilah kita pulang. Dapatkah kuda itu kalian pakai berdua? Kalau tidak, pakailah kudaku. Aku akan berjalan kaki saja.”

Sidanti dan Argajaya sekilas saling berpandangan. Namun kemudian Sidanti berkata, “Kudaku cukup kuat, Paman. Marilah silahkan.”

Argajaya tidak menjawab. Tetapi ia melangkah mendekati kuda Sidanti. Maka kemudian mereka mempergunakan kuda itu berdua, bersama Ki Tambak Wedi kembali ke rumah Argajaya. Tetapi keduanya masih sekali lagi berpaling memandang wajah-wajah yang liar, yang masih berdiri termangu-mangu di tempatnya.

Namun Sidanti segera mengekang kendali kudanya ketika ia mendengar salah seorang dari orang-orang liar itu berkata, “Persoalan kami dengan Pandan Wangi bukanlah persoalan kalian.”

Hampir saja Sidanti meloncat dari kudanya apabila gurunya tidak berkata, “Jangan bodoh, Sidanti. Aku perlu memberi penjelasan kepadamu di rumah. Kau harus sadar sejak semula, bahwa korban yang harus diberikan kadang-kadang terlampau memberati perasaan. Tetapi dalam perjuangan ini kalian jangan terlampau dikuasai oleh perasaan. Tetapi kalian harus mempergunakan pikiran, supaya perhitungan kalian tidak terombang-ambing.”

“Maksud guru?”

“Sudah aku katakan, jangan mengurusi soal-soal yang tidak bersangkut paut dengan perjuanganmu. Salahnya sendiri, apabila Pandan Wangi bertemu dengan orang-orang liar itu. Biarlah ia mempertanggung-jawabkan dirinya sendiri. Bukankah Argapati lebih banyak mempunyai tanggung jawab atasnya daripada kau?”

Terasa dada Sidanti, dan Argajaya bergetar. Tetapi mereka masih mendengar Ki Tambak Wedi berkata, “Betapa aku akan hancur didera oleh peraaanku, apabila aku membiarkan perasaan itu berbicara. Aku sama sekali tidak dapat melepaskan ingatanku apabila aku melihat wajah Pandan Wangi. Wajah itu adalah bayangan wajah Rara Wulan. Aku berkata berterus terang kepadamu, Sidanti, karena Rara Wulan adalah ibumu. Tetapi untuk kepentingan yang lebih besar, aku paksa diriku sendiri untuk melepaskan angan-angan, dan bayangan itu, supaya orang-orang liar itu tidak menusuk kita dari belakang.”

Sidanti dan Argajaya tidak menyahut. Mereka kini mengerti sepenuhnya maksud Ki Tambak Wedi. Namun demikian terasa dada mereka masih berdentangan.

“Kita bukan manusia-manusia cengeng yang hanya dikuasai oleh perasaan. Kita harus mempunyai perhitungan yang pasti. Kita harus mampu membuat perimbangan, apakah yang kita korbankan dan apakah yang dihasilkan karenanya.”

Sidanti dan Argajaya masih tetap berdiam diri. Tetapi kini terjadi percikan-percikan persoalan di dalam dada mereka. Kata-kata Ki Tambak Wedi itu ternyata seperti ujung jarum yang menusuk jantung mereka, dan meninggalkan bintik-bintik luka beracun.

Sementara itu, Pandan Wangi dan Samekta sedang mengendarai kuda mereka meninggalkan tempat terkutuk itu. Tetapi karena tubuh Pandan Wangi yang lelah, maka ia tidak berpacu terlampau cepat. Kuda pamannya itu pun masih belum begitu dikenalnya, sehingga kadang-kadang ia masih harus berusaha menyesuaikan diri.

Tiba-tiba mereka terpaksa mengekang kuda-kuda mereka ketika serombongan kambing berlari-larian memotong jalan. Agak jauh di belakang mereka seorang gembala berlari-lari pula, mengejarnya de¬ngan sebuah cambuk di tangan.

Pandan Wangi menarik nafas. Namun tiba-tiba ia mengerutkan keningnya dan bergumam, “Sejak beberapa lama, baru kali ini aku melihat seorang gembala menggembalakan kambing-kambingnya di ladang terbuka. Apakah gembala itu tidak takut, bahwa kambing-kambingnya akan dirampas orang atau apa pun, yang dapat berbahaya bagi kambing-kambingnya, dan bahkan bagi dirinya sendiri?”

Samekta tidak menjawab. Matanya terikat kepada gembala yang berlari-larian di belakang kawanan kambingnya yang memotong jalan. Gembala yang bermandi peluh dan kelelahan.

Ketika gembala itu mencoba meloncati parit di pinggir jalan, ternyata satu kakinya tergelincir dan gembala itu jatuh terguling ke dalam air. Tertatih-tatih ia mencoba berdiri, sedang tubuhnya telah menjadi basah kuyup. Bukan karena keringat, tetapi karena air yang agak keruh. Gembala itu mencoba mengusap mukanya yang kotor. Kemudian sambil bersungut ia berjalan perlahan-lahan dekat di depan Samekta dan Pandan Wangi, menyeberangi jalan.

Sesaat Pandan Wangi melupakan keadaan diri sendiri. Ia tersenyum melihat gembala yang basah kuyup itu. Gembala itu ternyata sudah bukan kanak-kanak lagi. Tetapi ia adalah seorang anak muda yang telah dewasa.

Ketika gembala itu sampai di pinggir jalan seberang, ia membungkuk memungut serulingnya yang tiba-tiba saja terjatuh. Diusapnya seruling itu dengan ujung kainnya yang telah basah pula.

“Hati-hatilah lain kali,” tanpa sesadarnya Pandan Wangi berkata.

Gembala itu berpaling. Kemudian membungkuk hormat sekali. “Aku tergesa-gesa sehingga aku tergelincir.”

“Kenapa kau tergesa-gesa?” bertanya Pandan Wangi pula.

“Menurut orang-orang tua, keadaan daerah ini agak kurang baik sekarang.”

“Tetapi kenapa kau pergi menggembala juga?”

“Aku kasihan melihat kambing-kambingku. Sekali-sekali aku bawa juga ke luar meskipun hanya sebentar.”

“Kalau dalam waktu yang sebentar itu kambingmu dirampas orang, bagaimana dengan kau? Apakah kambing-kambing itu kambingmu sendiri?”

“Ya, kambing-kambing ini adalah kambing-kambing ayahku sendiri. Aku memeliharanya dengan baik, supaya kambing-kambing itu dapat berkembang biak dengan baik pula. Kepada kambing-kambing itulah kami meletakkan harapan kami. Sawah kami terlampau sempit, dan pekerjaan-pekerjaan lain terlampau sulit didapatkan. Mudah-mudahan kambingku cepat menjadi banyak.”

Pandan Wangi mengangguk-anggukkan kepalanya. Kemudian tiba-tiba saja ia bertanya, “Kenapa keadaan di daerah ini agak kurang baik? Siapakah yang berkata demikian, dan apakah sebabnya?”

“Ah, apakah aku mengerti persoalan itu? Aku tidak tahu. Menurut orang-orang tua dan anak-anak muda yang ikut bersiap-siap, keadaan semakin hari menjadi semakin buruk. Ki Gede Menoreh sedang berselisih dengan puteranya sendiri. Benarkah begitu? Akulah yang bertanya, sebab bukankah kau puteri Ki Gede Menoreh pula?”

Pandan Wangi mengerutkan keningnya. Ia tidak menjadi heran bahwa seseorang segera dapat mengenalnya sebagai putri satu-satunya dari Kepala Tanah Perdikan ini, meskipun ia sendiri tidak mengenal gembala itu. Tetapi sudah tentu bahwa ia tidak dapat berceritera banyak kepada gembala itu, sehingga jawabnya, “Nah, sekarang pulanglah. Hati-hatilah. Memang keadaan kini agak kurang baik. Tetapi mudah-mudahan segera dapat diselesaikan.”

Gembala itu mengangguk-anggukkan kepalanya. Katanya, “Mudah-mudahan. Kami akan menjadi senang, karena kami dapat menggembalakan kambing-kambing kami dengan leluasa dan tidak terganggu oleh rasa takut, dan cemas. Kami pun akan dapat mengerjakan sawah kami dengan tenang. Bukankah begitu? Kami tidak meng¬harap terlampau banyak.”

Pandan Wangi mengernyitkan alisnya. Ketika ia berpaling kepada Samekta dilihatnya wajah pimpinan pengawal Tanah Perdikan itu sedang berkerut.

Harapan gembala itu memang sederhana, dan terlalu wajar. Mereka tidak mengharap terlampau banyak. Ketenangan untuk bekerja, tanpa dihantui oleh bermacam-macam persoalan yang menakutkan.

“Siapakah namamu?” tiba-tiba, Samekta bertanya.

“Gupita,” jawab gembala itu dengan serta merta.

“He,” Samekta menyahut, “nama itu terlampau baik buat seorang gembala. Nama itu baik sekali lebih baik dari namaku sendiri. Gupita.”

“Siapakah nama Tuan?” tiba-tiba gembala itu bertanya. Wajahnya memancarkan kejujuran hatinya. Ia memang ingin tahu nama yang kurang baik dari namanya itu. Dan ia bertanya. Wajar sekali baginya.

Samekta mengerutkan keningnya. Tetapi ia tersenyum dan menjawab, “Samekta. Namaku, Samekta. Bukankah namamu lebih baik dari namaku?”

Tanpa disangka-sangka gembala itu mengangguk, “Ya. Memang namaku agak lebih baik. Tetapi tidak terpaut banyak. Samekta juga nama yang baik meskipun tidak sebaik Gupita. Bukankah begitu?”

Mau tidak mau Samekta dan Pandan Wangi terpaksa tertawa. Sejenak mereka melupakan persoalan-persoalan yang sedang kemelut di Tanah Perdikan ini. Dan dengan demikian mereka mendapat gambaran, bahwa sebenarnya para gembala, para petani, para penarik pedati, tidak terlampau banyak mengharap untuk kepentingan mereka. Ketenangan. Ketenangan bekerja. Tidak ada ketakutan dan ancaman. Hidup damai dalam lingkungan keluarga yang damai. Mereka sama sekali tidak membayangkan atau mimpi untuk memiliki sepuluh ekor kuda tunggangan yang paling baik. Tidak ingin memiliki limabelas pasang lembu yang besar-besar, dan tidak mimpi untuk mempunyai rumah joglo gandeng tujuh. Tidak. Mereka hanya memerlukan ketenangan, dan kedamaian hati.

Samekta yang masih tertawa itu kemudian mengangguk-anggukkan kepalanya. Ia melihat mata gembala itu. Terasa sesuatu berdesir di dalam dadanya. Mata itu seolah-olah memercikkan sesuatu.

“Harapan,” desisnya di dalam hati. “Mungkin ia terlampau mengharap ketenangan, dan kedamaian hati. Mudah-mudahan segera akan terpenuhi.”

Sejenak kemudian maka Pandan Wangi dan Samekta itu segera menyadari keadaannya. Mungkin ayahnya kini sudah menjadi terlampau gelisah. Karena itu, maka Pandan Wangi pun berkata, “Marilah, Paman, ayah menungguku, dan lukaku memerlukan pengobatan pula, meskipun tidak seberapa dalam.”

“Oh, marilah. Kita hampir-hampir lupa waktu karena gembala yang aneh ini.”

“Apakah aku menghambat perjalanan Tuan?” bertanya gembala itu.

Samekta menggeleng, “Tidak. Kami sendirilah yang menghentikan perjalanan kami.”

Gembala itu mengangguk-anggukkan kepalanya. Kemudian ia ber¬tanya sambil menunjuk di kejauhan, “Apakah orang-orang itu kawan Tuan?”

Samekta dan Pandan Wangi serentak berpaling. Sebuah goncangan telah memukul dada mereka. Orang-orang itu adalah orang-orang liar yang telah mencegat Pandan Wangi, sedang berjalan tergesa-gesa ke arah mereka.

Sekilas Pandan Wangi dan Samekta saling berpandangan. Terasa tangan mereka gemetar, dan tanpa sesadar mereka, mereka telah meraba hulu pedang masing-masing.

Gupita yang berdiri di pinggir jalan memandangi mereka dengan mulut ternganga-nganga. Sesaat ia berpaling kepada orang-orang yang berjalan tergesa-gesa itu, dan sesaat ia memandangi Pandan Wangi dan Samekta.

“Apakah mereka bukan kawan-kawan Tuan?” Gupita bertanya sekali lagi.

Samekta menggeleng. Tetapi tidak menjawab. Bahkan ia berkata kepada Pandan Wangi, “Mereka benar-benar orang yang buas.”

Meskipun Pandan Wangi bukan seorang penakut, tetapi terasa bulu-bulunya meremang. Ia tidak takut seandainya ia harus bertempur di antara hidup, dan mati. Tetapi kerakusan orang-orang itulah yang telah membuatnya terlampau ngeri.

“Untung Angger Sidanti telah menyelamatkanmu,” desis Samekta.

Pandan Wangi mengangguk. Katanya, “Aku sudah sampai kepada keputusan untuk membunuh diri. Tetapi berdua dengan Paman Samekta aku mengharap dapat membinasakan mereka.”

Samekta mengangguk-anggukkan kepalanya. Tetapi kemudian ia berkata, “Tetapi Ki Gede Menoreh akan menjadi terlampau gelisah. Ki Gede telah menunggumu.”

Pandan Wangi mengerutkan keningnya. Tetapi terasa tangannya terlampau gatal. Kemarahan, dan kebencian telah membakar jantungnya. Meskipun demikian ia berkata, “Apakah yang sebaiknya kita lakukan, Paman?”

“Kembali. Kembali dahulu kepada ayahmu. Kemudian terserah, apa yang akan kau lakukan. Seandainya aku harus ikut bersamamu, aku pun tidak akan berkeberatan.”

Pandan Wangi tidak menyahut. Orang-orang itu semakin lama menjadi semakin dekat. Tetapi mereka pasti tidak akan dapat mengejarnya seandainya Samekta dan Pandan Wangi melarikan kuda mereka, meskipun tidak usah dipacu. Karena itu Samekta dan Pandan Wangi tidak menjadi tergesa-gesa. Bahkan Pandan Wangi masih dapat berkata kepada Gupita, “Gupita. Apakah kau tidak berusaha untuk menyingkirkan kambing-kambingmu?”

“Kenapa ?”

“Mudah-mudahan orang-orang itu tidak tertarik kepada kambing-kambingmu yang gemuk itu. Tetapi kalau kau sempat, singkirkanlah. Apabila mereka tiba-tiba saja ingin daging kambing maka kau pasti akan kehilangan. Mereka akan mengambil begitu saja tanpa banyak persoalan. Karena itu, lebih baik bagimu untuk menyingkir.”

Gupita mengangguk-anggukkan kepalanya. Tetapi ia sama sekali tidak berbuat demikian. Ia tidak berlari dengan tergesa-gesa menggiring kambing-kambingnya. Tetapi ia masih berdiri sambil mengangguk-anggukkan kepalanya, meskipun kini ia berdiri memandang ke arah orang-orang itu dengan tajamnya.

“Enam orang,” desisnya.

“Ya, enam orang,” ulang Samekta.

Dan Pandan Wangi menyahut, “Karena itu singkirkan kambing-kambingmu.”

Samekta berpaling ke arah beberapa ekor kambing yang sedang makan rumput dengan asyiknya dipinggir-pinggir pategalan. Sejenak kemudian matanya berkisar kepada orang-orang yang baru datang itu.

Dan tiba-tiba saja ia bergumam, “Enam orang. Bukankah mereka berenam? Dua di depan, dan empat di belakang. Bukankah begitu?”

“Ya. Mereka memang berenam. Kenapa?”

“Seandainya mereka ingin makan daging kambing, mereka tidak akan dapat menghabiskan seekor yang tidak terlampau besar.”

“Tetapi mereka tidak akan puas dengan demikian. Mungkin mereka akan mengambil tiga empat ekor. Atau bahkan seorang satu. Mereka bawa kambing-kambing itu ke pondok mereka. Setiap hari mereka menyembelih seekor daripadanya. Apabila kambing itu telah habis, mereka akan mencarimu atau mencari kandang-kandang kambing yang lain di padukuhan-padukuhan itu.

Gupita mengangguk-anggukkan kepalanya. Tetapi ia masih belum beranjak pergi. Bahkan kemudian ia berdesis, “Aku akan mempertahankan milikku. Kambingku tidak lebih dari tujuh ekor selain anak-anaknya. Aku akan mempertahankan milik keluargaku itu.”

Samekta dan Pandan Wangi terperanjat. Hampir bersamaan mereka berkata, “Jangan. Jangan kau coba, Gupita. Mereka adalah orang-orang yang paling buas yang pernah aku temui. Karena itu, menyingkirlah. Kau tidak akan dapat melawan mereka. Seorang daripadanya pun kau tidak akan dapat mengalahkannya, apa lagi mereka berenam.”

Gupita mengerutkan keningnya. Katanya, “Mereka tidak berhak berbuat demikian. Kambing itu adalah kambing keluarga kami. Kalau mereka minta dengan baik-baik, mungkin aku akan memberinya seekor. Kalau tidak, maka aku akan bertahan. Mereka akan dapat dihukum dengan melakukan perampasan itu.”

“Siapakah yang akan menghukum mereka?”

“Ki Gede Menoreh. Ki Gede Menoreh harus melindungi kami.”

Pandan Wangi dan Samekta terkejut mendengar jawaban itu. Sejenak mereka terdiam, dan saling berpandangan. Tetapi kata-kata itu sama sekali tidak salah.

“Apakah kami harus membiarkan diri dirampas hak-hak kami? Itu tidak adil.”

Samekta menarik nafas dalam-dalam. Tetapi ia mencoba untuk menasehati. “Jangan berbicara tentang hak dan keadilan pada saat-saat seperti ini, Gupita. Aku hargai keberanianmu, tetapi kau harus mencoba menyesuaikan dirimu.”

“Kenapa?” bertanya gembala itu.

“Kini baru terjadi benturan kekuatan di atas Tanah ini. Benturan kekuatan yang kadang-kadang melanggar segala macam nilai-nilai yang selama ini kita junjung tinggi. Hak dan keadilan, bahkan kebenaran sedang berada di dalam ujian. Mudah-mudahan Ki Gede Menoreh mampu menegakkannya dengan melenyapkan kekuatan-kekuatan yang akan menodainya.”

Gembala itu meggeleng lemah, “Aku tidak mengerti. Tetapi kambing itu kambingku. Tak ada orang lain yang berhak atasnya. Juga orang-orang itu. Bahkan kalian pun tidak berhak pula merampasnya.”

Samekta dan Pandan Wangi menjadi berdebar-debar. Orang-orang itu kini sudah menjadi semakin dekat. Karena itu maka Pandan Wangi berkata pula, “Menyingkirlah. Aku pun akan menyingkir karena Ayah menungguku. Apabila tidak, maka aku akan membantumu. Tetapi kesempatan yang paling baik saat ini bagimu adalah menyingkir cepat-cepat bersama kambing-kambing itu. Cobalah, berusahalah meskipun mereka telah semakin dekat.”

Gembala itu memandang Pandan Wangi dengan mata yang hampir tidak berkedip. Namun sesaat kemudian pandangannya beralih kepada Samekta, dan sesaat pula kepada orang-orang yang berjalan semakin dekat. Tetapi ia bertanya, “Apakah orang-orang yang merampas hak orang lain itu tidak akan dihukum?”

Samekta menarik nafas dalam-dalam. Amat sulitlah agaknya memberi penjelasan kepada gembala itu. Meskipun demikian ia menjawab, “Seharusnya ia dihukum. Tetapi kalau ia berpedang di lambungnya, maka untuk menghukumnya diperlukan kekuatan yang dapat melampaui kekuatan pedang orang-orang itu.”

Gembala itu masih belum mengerti menilik pandangannya yang termangu-mangu. Tetapi Pandan Wangi dan Samekta sudah tidak mempunyai kesempatan lagi. Orang-orang liar itu kini telah menjadi semakin dekat.

“Pergilah, lain kali kita berbicara. Di mana rumahmu?” bertanya Samekta.

“Di Randu Putung.”

“Randu Putung? Padukuhan itu dekat dengan Pucang Kembar, he?”

Gembala itu menganggukkan kepalanya, “Ya, di sebelah Utara.”

“Kenapa kau menggembala sampai ke tempat ini? Bukankah jarak ini terlampau jauh, apalagi dalam keadaan seperti ini?”

Gembala itu mengerutkan keningnya. Tetapi kemudian ia menjawab, “Aku mengikuti saja ke mana kambing-kambingku pergi.”

Sejenak Samekta dan Pandan Wangi saling berpandangan. Tetapi sebelum mereka berkata sesuatu, mereka berpaling. Terdengar salah seorang dari laki-laki yang datang itu berteriak, “He, Pandan Wangi, apakah kau menunggu aku, he?”

Pandan Wangi tidak menjawab. Tetapi ia berkata kepada gembala itu, “Pergilah. Aku pun akan segera pergi.”

“Tunggulah. Aku segera datang,” terdengar yang lain berteriak pula. Langkah mereka ternyata menjadi semakin cepat, pergi ke arah mereka. Bahkan orang yang berjalan di paling belakang berlari-lari kecil menyusul kawan-kawannya yang sudah lebih dahulu daripadanya.

Pandan Wangi mengerutkan dahinya. Lalu ia bergumam, “Marilah, Paman. Sebelum mereka terlalu dekat. Aku tidak yakin bahwa aku dapat menahan kebencianku kepada mereka. Sehingga lupa diri dan berusaha berbicara dengan pedangku.”

“Marilah, Ngger,” sahut Samekta, meskipun tangannya pun melekat di hulu pedangnya. Agaknya kebenciannya pun meluap sampai di ujung ubun-ubunnya. Bahkan ia menggeram, “Seandainya Ki Gede tidak menunggu.”

Keduanya kemudian menggerakkan kuda mereka perlahan-lahan. Mereka masih mencoba meyakinkan gembala itu supaya pergi. Tetapi mereka tidak mau menunggu orang-orang liar itu supaya mereka tidak tertahan-tahan lagi.

“He, ke mana kau, Pandan Wangi? Bukankah kau menunggu aku?”

Pandan Wangi sama sekali tidak menghiraukannya. Perlahan-lahan kudanya mulai melangkah meninggalkan gembala yang masih berdiri termangu-mangu.

“Pergilah, pergilah. Jangan menarik perhatiannya,” desis Samekta.

Tetapi Samekta menggeleng-gelengkan kepalanya ketika gembala itu sama sekali tidak beranjak dari tempatnya.

“Apa boleh buat,” desis Pandan Wangi. “Kami sudah mencoba memperingatkannya. Gembala itu jujur. Tetapi agak dungu.”

Samekta mengangguk-anggukkan kepalanya. Sementara kudanya berjalan meninggalkan Gupita yang masih berdiri di tempatnya. Mereka masih mendengar orang-orang yang berjalan ke arah mereka berteriak. “Tunggu, tunggu, Pandan Wangi. Aku ingin berbicara. Sedikit saja.”

Tetapi Pandan Wangi dan Samekta tidak menghiraukannya lagi. Semakin lama langkah-langkah kuda mereka justru menjadi se¬makin cepat, meskipun kadang-kadang mereka masih berpaling. Mereka masih melihat orang-orang itu melambaikan tangan mereka dan berkata lantang, “Aku ingin berbicara sedikit kepadamu, Wangi. Aku tidak akan mengganggumu lagi.”

Pandan Wangi mengerutkan keningnya. Tetapi Samekta ber¬kata, “Jangan hiraukan mereka. Mereka adalah orang-orang yang licik dan tidak mengenal tata kehidupan yang baik sebagaimana seharusnya.”

Pandan Wangi mengangguk-anggukkan kepalanya. Kudanya ber¬jalan semakin cepat. Lambat laun kuda itu pun berlari. Derap kakinya terdengar semakin lama semakin cepat, dan keras memukul-mukul jalan berbatu padas. Ketika mereka berdua berpaling, mereka melihat laki-laki itu berdiri berjajar di tengah-tengah jalan tanpa menghiraukan Gupita sama sekali.

“Mudah-mudahan anak itu tidak diganggu,” desis Pandan Wangi.

“Mudah-mudahan,” sahut Samekta. “Aku melihat sesuatu yang aneh pada gembala itu. Aku semula menganggapnya jujur tetapi bodoh seperti sangkamu. Tetapi aku melihat sesuatu yang lain pada sorot matanya.”

Pandan Wangi mengerutkan keningnya. Tiba-tiba ia berdesis, “Ya, aku melihat juga sinar matanya yang berkilat-kilat. Tetapi mungkin ia memang seorang gembala yang jujur tetapi bodoh, namun ia memiliki sesuatu yang lain di dalam dirinya. Ah, tetapi ia ter-lampau mengharapkan sesuatu di hari mendatang. Pancaran harapannya itulah yang agaknya membuat matanya bersinar-sinar.”

Samekta tidak menjawab. Ketika ia sekali lagi berpaling, ia melihat gembala itu berdiri di antara orang-orang liar itu. Tetapi mereka telah agak jauh, sehingga mereka tidak dapat melihat dengan jelas apakah yang kemudian dapat terjadi.

“Mudah-mudahan anak itu selamat. Mudah-mudahan ia tidak berkeras kepala mempertahankan haknya, supaya kepalanya tidak dipenggal.”

Pandan Wangi mengangguk-anggukkan kepalanya. Memang gembala itu sangat menarik perhatian. Ada berapa ratus gembala yang pernah dilihatnya dan bahkan dikenalnya. Tetapi gembala yang satu ini ternyata agak lain. Sikapnya, kata-katanya, walaupun sederhana, dan sorot matanya.

Sepeninggal Pandan Wangi dan Samekta, orang-orang liar itu ternyata tertarik akan kehadiran gembala yang masih tegak di tempatnya. Salah seorang daripadanya segera menghampirinya, dan bertanya, “Apa kerjamu di sini? Menggembalakan kambing-kambing itu?”

Gembala itu berpaling kepada kambing-kambingnya. Perlahan-lahan ia menjawab, “Ya, aku sedang menggembalakan kambingku itu.”

Laki-laki itu mengangguk-anggukkan kepalanya. Ia tidak menaruh perhatian sama sekali. Tetapi tiba-tiba salah seorang dari mereka berkata, “Kita tebus kegagalan kita dengan daging kambing.”

Agaknya pendapat itu memang menarik perhatian kawan-kawannya. Tanpa berjanji, mereka serentak berpaling ke arah sekumpulan kambing yang sedang makan dengan asyiknya. Kambing itu tampak gemuk dan segar, sehingga hampir serentak orang-orang itu menyahut, “Ya, kita tebus kegagalan kita dengan daging kambing.”

Gupita mengerutkan keningnya. Tetapi ia masih tetap berdiam diri. Ketika ia berpaling, maka Samekta dan Pandan Wangi sudah tidak dilihatnya lagi. Perlahan-lahan ia menarik nafas dan tiba-tiba ia tersenyum.

“He, apakah kambing-kambing itu milikmu?” bertanya salah seorang daripada orang-orang yang berwajah seram itu sambil memilin kumisnya.

“Ya,” Gupita menganggukkan kepalanya, “punyaku.”

“Aku memerlukannya. Kau tinggalkan sajalah kambing-kambing itu di sini. Biarlah kami yang memeliharanya. Kau harus menyumbang kepada perjuangan yang sedang kami lakukan ini, untuk kepentingan putera Kepala Tanah Perdikan Menoreh yang akan membuat kalian terlepas dari kekuasaan Argapati yang buas itu. Apakah kau mengerti?”

Tiba-tiba saja Gupita menggeleng. “Aku tidak mengerti,” jawabnya.

Orang-orang itu mengerutkan kening mereka. Sejenak mereka saling berpandangan. Dan sejenak kemudian mereka tertawa. Salah seorang dari mereka berkata, “Pantas kalau kau tidak mengerti. Kau tidak perlu mengerti, gembala dungu. Sekarang, pulanglah. Tempat ini sungguh-sungguh berbahaya. Untung kedua orang berkuda itu tidak memenggal kepalamu sehingga kau masih tetap hidup. Nah, pergilah. Kalau kedua orang itu kembali maka kau pasti tidak akan dapat pulang ke rumahmu selain namamu. Mereka pergi karena mereka takut akan kedatangan kami, sehingga kamilah sebenarnya yang telah menolong nyawamu. Karena itu tinggalkanlah kambing-kambingmu untuk kami. Kami akan berterima kasih atas sumbanganmu itu. Kau sudah ikut serta membantu perjuangan kami.”

Gembala itu memandang laki-laki itu satu demi satu. Dan tiba-tiba pula jawabnya mengejutkan, “Tidak. Aku tidak dapat memberikan kambing-kambing itu kepada kalian. Kambing-kambing itu adalah milik kami yang paling berharga.”

“He,” laki-laki berkumis dan berjambang, yang kedua tangannya telah terluka membelalakkan matanya, “kau membantah?”

“Kambing-kambing itu adalah hakku. Kalau kau memaksa kau akan dihukum.”

“He, siapakah yang akan menghukum kami?”

“Argapati. Ki Gede Menoreh yang kini memimpin Tanah Perdikan ini.”

Orang-orang itu hampir serentak tertawa. Salah seorang dari mereka berkata, “Ki Gede Menoreh sebentar lagi akan mati, yang kemudian akan memimpin Tanah ini adalah puteranya. Sidanti. Kau dengar?”

“Itu bukan urusanku. Tetapi kini yang berkuasa adalah Argapati. Bukan Sidanti. Justru Sidanti kini sedang melawan kekuasaan ayahnya sendiri, yang sejak kecil memberinya makan dan minum. Memberinya tempat berteduh, memberinya pakaian, dan memberinya segala-galanya yang diperlukan. Ternyata Sidanti itu kini melawannya. Ia tidak puas dengan segala macam pemberian itu, bahkan janji untuk memegang kekuasaan kelak. Ia ingin terlampau cepat dan karena keinginan yang membara di dadanya itulah maka ia telah sampai hati untuk melawan ayahnya sendiri. Mungkin pengaruh gurunyalah yang memaksanya berbuat demikian. Dan kau adalah alat-alatnya yang paling memuakkan. Kau cegat Pandan Wangi dengan caramu yang paling kasar. Untunglah bahwa Sidanti masih merasakan ikatan kekeluargaan yang tidak dapat dilupakan dengan tiba-tiba.”

“He,” Orang-orang itu terperanjat, “kau melihat hal itu?”

“Aku melihatnya. Aku menggembala tidak jauh dari tempat itu ketika hal itu terjadi. Aku bersembunyi di balik gerumbul-gerumbul, dan dinding batu. Ketika Sidanti datang dan ternyata berpihak kepada Pandan Wangi, aku diam-diam pergi. Aku merasa bahwa gadis itu dapat diselamatkan seperti yang ternyata kemudian. Kini, kau akan menebus kegagalan itu dengan merampas kambing-kambingku. Aku tidak boleh. Itu adalah hakku. Kalau kau minta, aku dapat memberimu seekor menurut pilihanku, karena aku kasihan melihat kalian kelaparan.”

Wajah-wajah yang buas itu tiba-tiba menjadi merah padam. Mereka tidak menyangka, bahwa mereka akan bertemu dengan seorang gembala yang gila, yang berani mengusik mereka, dan bahkan seolah-olah menantang mereka. Karena itu, maka salah seorang dari mereka yang tidak dapat menahan diri lagi maju beberapa langkah. Ditamparnya pipi Gupita sehingga gembala itu terhuyung-huyung beberapa langkah. Hampir saja ia terjatuh, tetapi segera ia berusaha untuk memperbaiki keseimbangannya.

“Kau tahu akibat dari penolakanmu itu, he, gembala gila?” teriak laki-laki yang menampar pipinya itu.

Gupita mengerutkan keningnya. Dengan mantap ia menjawab, “Ya.”

“Akibat itu adalah akibat yang paling buruk dapat terjadi atasmu. Kau dengar?”

“Ya. Mungkin kalian akan membunuh aku, sebab kalian lebih menghargai kambing-kambing itu daripada nyawa seseorang. Bukankah begitu?”

“Setan!” bentak laki-laki yang lain. Orang itu tidak sekedar menampar pipi Gupita, tetapi dipukulnya pelipis anak itu, sehingga sekali lagi gembala itu terhuyung-huyung beberapa langkah surut. Tetapi ia tidak juga jatuh terbanting di tanah.

“Jagalah mulutmu,” geram laki-laki itu, “aku akan menyobeknya atau menyumbatnya dengan ujung pedang. Dengar, kau harus segera pergi. Tinggalkan kambing-kambingmu di sini. Kalau kau tidak rela, laporkanlah kepada pelindungmu, Argapati. Aku tidak takut meskipun seandainya ia akan datang kemari, dan akan mencoba menangkap kami. Kami sudah siap.”

Gupita menggelengkan kepalanya. Jawabnya, “Tidak. Aku tidak akan melaporkan hal ini kepada siapa pun. Kalau di daerah ini masih berlaku wewenang peraturan-peraturan yang diakui, aku memang akan melaporkannya. Tetapi agaknya kalian sudah menjadi terlampau liar, sehingga kalian sudah tidak menghargai setiap peraturan yang ada. Kalian agaknya membanggakan diri kalian karena kalian berpedang di lambung. Kalau demikian, baiklah. Aku akan mempergunakan cara serupa untuk mempertahankan hakku. Aku tidak perlu menurut peraturan yang berlaku pula. Aku akan bertindak sendiri, karena kalian adalah orang-orang liar yang berdiri di luar peraturan yang manapun juga.”

Jawaban itu benar-benar tidak disangka-sangka oleh orang-orang liar itu. Karena itu, maka darah mereka pun segera mendidih. Laki-laki yang kekurus-kurusan agaknya benar-benar tidak dapat menahan diri lagi. Tiba-tiba saja ia mencabut pedangnya. Dengan sekuat tenaganya diayunkannya pedangnya sambil berteriak, “Matilah kau, gembala gila.”

Tetapi ternyata gembala itu tidak dengan suka-rela menyerahkan lehernya. Bagaimanapun juga ia berusaha untuk melepaskan dirinya dari sentuhan maut. Karena itu ketika ia melihat seseorang mengayunkan pedangnya, ia pun berusaha untuk menghindar. Tetapi ketika ia mencoba melangkah surut, tiba-tiba kakinya terperosok, sehingga ia jatuh berguling. Tetapi ternyata bahwa dengan demikian ia terlepas dari ujung pedang itu, karena begitu ia terpelanting, maka pedang itu terbang secengkang dari atas kepalanya.

“Setan alas!” teriak laki-laki yang kekurus-kurusan itu. Ia terseret dua langkah oleh kekuatannya sendiri.

Gupita yang terjatuh itu segera merangkak-rangkak untuk berdiri. Ketika ia tegak di seberang parit yang dangkal, ia melihat orang-orang liar itu memandangnya dengan mata merah. Apalagi yang kekurus-kurusan, yang telah gagal menebaskan pedangnya.

“Kau tidak akan dapat lari,” geram laki-laki yang kekurus-kurusan itu. “Kau pasti akan mati. Bangkaimu akan menjadi makanan burung-burung gagak yang berkeliaran di langit itu.”

Gupita masih berdiri di tempatnya. Dipandanginya wajah-wajah yang buas itu satu demi satu. Kemudian ia berkata, “Sebelum terlambat, lebih baik kalian mengurungkan niat kalian. Pergilah. Kembalilah kepada Sidanti dan Argajaya. Berkatalah kepada mereka dan kepada Ki Tambak Wedi, bahwa perbuatan mereka benar-benar tidak dapat dimengerti oleh orang-orang Menoreh yang berpikiran bening. Apalagi tindakan kalian yang liar melampaui keliaran perampok-perampok di waktu malam, sebab kalian merampok di siang hari tanpa berusaha menyembunyikan diri kalian dari kekuasaan Tanah Perdikan Menoreh.”

“Tutup mulutmu!” bentak orang yang berkumis dan berjambang. “Sadarilah dengan siapa kau berhadapan.”

“Aku sadar sesadar-sadarnya. Kau pun harus sadar dengan siapa kau berhadapan. Kau orang yang tidak dikenal di sini, dan ternyata kau pun belum mengenal Tanah ini. Kau tidak dapat mengalahkan Pandan Wangi seorang diri meskipun ia hanya seorang gadis. Aku sengaja mengintai perkelahian itu. Dan kalian tidak usah ingkar sebab aku melihat sendiri. Sekarang kau berhadapan dengan salah seorang gembala yang paling dungu di atas Tanah Perdikan ini. Dengar, aku yakin bahwa kau akan dapat menilai, betapa kekuatan yang tersimpan di Tanah ini. Apakah gunanya kalian berusaha untuk membantu Sidanti kalau kalian sama sekali tidak berarti di hadapan orang-orang Menoreh.”

Darah yang telah mendidih, menjadi semakin mendidih, sehingga wajah-wajah orang-orang liar itu terasa menjadi semakin panas. Tiba-tiba salah seorang dari mereka meloncati parit itu pula dengan pedang di tangan. “Aku akan membunuhmu. Tetapi aku tidak akan berbuat curang. Aku beri kesempatan kau melawan. Cepat, bersiaplah. Kawan-kawanku akan menjadi saksi.”

“Apakah sikapmu itu sudah kau pikirkan masak-masak?” jawab gembala itu. “Kau pasti akan menyesal. Karena itu, berkelahilah berbareng.”

“Cepat! Aku hampir tidak dapat menahan diri lagi. Jangan berbicara lagi, supaya aku tidak segera ingin menyobek mulutmu.”

“Kau juga hanya berbicara saja. Cepat, lakukanlah.”

Panas hati laki-laki itu bukan buatan. Selangkah ia maju perlahan-lahan sambil menjulurkan pedangnya tepat ke wajah gembala yang dianggapnya gila itu sambil berkata, “Lihat, mulutmu akan benar-benar aku sobek dengan pedang ini.”

Laki-laki itu tidak segera ingin menusukkan pedangnya dengan bersungguh-sungguh. Ia hanya ingin supaya Gupita segera melawannya. Karena itu, maka pedangnya terjulur perlahan-lahan meskipun benar-benar mengarah ke mulutnya.

Tetapi ternyata laki-laki itu tidak menyangka bahwa Gupita benar-benar berbuat gila. Tanpa di sangka-sangka anak muda itu merendahkan dirinya, dan benar-benar seperti orang gila ia melecut tangan laki-laki itu dengan sekuat-kuat tenaganya. Ketika ujung cambuknya membelit pergelangan tangan lawannya, maka dengan sekuat tenaganya cambuk itu disentakkannya.

Perbuatan itu benar-benar perbuatan yang tidak diduga oleh siapa pun. Namun ternyata hentakan cambuknya yang tiba-tiba serta dengan sekuat tenaga itu, membuat pedang lawannya benar-benar terlepas dan jatuh di tanah.

Laki-laki itu menyeringai menahan sakit di pergelangan tangannya. Ujung cambuk yang membelit tangannya, serta tarikan yang menyentak itu telah meninggalkan jalur-jalur merah pada pergelangan tangannya.

Terdengar laki-laki itu menggeram. Matanya benar-benar menjadi semerah darah. Segera ia meloncat untuk memungut pedangnya. Tetapi sekali lagi, tanpa diduga-duga, Gupita meloncat dan menginjak hulu pedang itu dengan kakinya, sementara tangannya dengan membabi buta mengayunkan cambuknya. Anak itu benar-benar seperti kerasukan setan. Lecutan-lecutan yang menghentak-hentak langsung memukul laki-laki yang sedang membungkuk untuk memungut pedangnya, tetapi yang karena injakan kaki Gupita maka ia tidak segera dapat mengambilnya. Sementara itu, tiba-tiba saja terasa tubuhnya seolah-olah telah dirajang dengan ujung cambuk tanpa hitungan.

Yang terdengar kemudian adalah sebuah jeritan yang seram bercampur-baur, dengan gemeretak gigi. Laki-laki itu berusaha untuk menghindar. Secepat-cepatnya ia meloncat mundur. Tetapi sementara ujung cambuk Gupita masih juga berhasil menyambar wajah, dan lehernya beberapa kali.

Peristiwa itu benar-benar tidak dapat dibayangkan sebelumnya. Seorang gembala yang menjadi gila dan membabi buta mempertahankan haknya dengan cara yang tersendiri. Ia tidak berkelahi dengan ilmu tata bela diri yang teratur dari perguruan manapun, apalagi yang namanya sudah dikenal. Tetapi ia mempergunakan cara seperti seorang yang kerasukan setan.

Kawan-kawannya yang melihat berdiri ternganga, tanpa berbuat sesuatu. Mereka seolah-olah terpukau oleh peristiwa yang belum pernah disaksikannya, sehingga justru karena itu, mereka tidak segera dapat berbuat sesuatu. Baru setelah mereka mendengar kawannya mengerang sambil mengumpat-umpat, mereka sadar apa yang telah terjadi. Salah seorang dari mereka telah menjadi sedemikian lemahnya oleh lecutan yang tidak terkendali sama sekali.

Dengan demikian maka sejenak kemudian terdengar setiap mulut menggeram dengan sorot mata yang seolah-olah memancarkan api.

Tetapi mata gembala itu pun seolah-olah telah menyala pula. Giginya pun menjadi gemeretak. Sejenak dipandanginya setiap wajah yang berdiri berjajar di hadapannya. Satu demi Satu. Sedang dikeningnya mengalir titik-titik keringat membasahi wajah.

Laki-laki yang kekurus-kurusan, yang pendek berwajah mengerikan, yang bertubuh sedang dan berdahi seperti lapangan, yang berkumis dan berjambang lebat, dan yang lain-lainnya, masih terpukau di tempatnya. Namun tangan mereka menjadi gemetar seperti jantung di dada mereka yang serasa akan meledak.

Tetapi, sekali lagi orang-orang liar itu dicengkam oleh keadaan yang tidak di sangka-sangkanya. Tiba-tiba saja gembala itu meloncat dan berlari secepat dapat dilakukan meninggalkan lawan-lawannya. Yang terdengar kemudian adalah suaranya melengking, “Aku tidak sempat melayani kalian lebih lama lagi. Lain kali kita akan bertemu. Agaknya ayahku telah berhasil menyembunyikan kambing-kambingku. Kalian tidak akan dapat menemukannya, sebab perhatian kalian terikat kepadaku.”

Namun orang-orang itu segera menyadari keadaan. Tanpa berjanji segera mereka berloncatan, berlari mengejar Gupita. Tetapi agaknya langkah Gupita cukup cepat, sehingga jarak mereka semakin lama tidak menjadi semakin dekat, tetapi justru menjadi semakin jauh.

“Kau tidak akan lepas dari tangan kami,” teriak laki-laki yang agak pendek. Tetapi ia sendiri tidak yakin bahwa hal itu dapat mereka lakukan. Sebab ternyata Gupita kini menjadi kian jauh. Anak itu ternyata cukup berpengalaman, berlari-lari di atas pematang yang basah dan licin.

“Setan alas!” yang kekurus-kurusan mengumpat. Nafasnya men¬jadi tersengal-sengal. “Anak itu benar-benar anak setan.”

Akhirnya orang-orang itu berhenti mengejar. Di antara mereka mengumpat tidak habis-habisnya. Dan bahkan yang berkelahi melawan Gupita dan tubuhnya telah dirajang dengan ujung cambuk berkata, “Anak itu harus mati. Sayang aku menjadi lengah karena aku tidak menyangka bahwa ia akan menjadi gila seperti itu.”

Kawan-kawannya mengangguk-anggukkan kepalanya. Tetapi yang berkumis dan berjambang berkata, “Tidak. Jangan disangka ini suatu kebetulan. Aku tidak percaya bahwa gembala itu adalah seorang gembala yang dungu. Aku tidak percaya bahwa karena tingkahnya yang membabi buta itu ia mampu melakukan ini semua. Merampas pedang dan kemudian menjelajahi tubuh itu dengan ujung cambuknya. Dua kali kita telah tertipu selama kita berada di Menoreh. Aku telah tertipu oleh gadis yang bernama Pandan Wangi itu sehingga pada gerak yang pertama, kedua tanganku telah terluka. Sekarang salah seorang dan kita telah terkelabuhi pula oleh anak muda yang mengaku dirinya seorang gembala itu. Tidak. Aku tidak percaya bahwa ia sekedar seorang gembala yang dungu. Lihat, apakah kita berhasil mengejarnya? Lihat apakah kita akan dapat menemukan kambing-kambingnya lagi yang katanya telah disingkirkan oleh ayahnya? Siapakah ayahnya itu, dan kenapa kita sama sekali tidak melihat bagaimana caranya menyingkirkan kambing-kambingnya?”

***
Kawan-kawannya tertegun mendengar keterangan itu. Barulah kini mereka berpikir, bahwa gembala itu pasti bukan hanya sekedar seorang gembala, pasti bukan. Meskipun ia berkelahi dengan cara yang liar, namun saat-saat yang menentukan yang diambilnya, benar-benar hasil dari perhitungan yang matang.

Orang berkumis itu berkata pula, “Apakah kau sangka suatu kebetulan pula bahwa ia terjatuh ketika kepalanya hampir tersentuh pedang yang terayun demikian derasnya? Pasti tidak.”

Kawan-kawannya mengangguk-anggukkan kepalanya. Hampir berbareng mereka bergumam, “Ya, pasti tidak.”

“Karena itu, kita harus menemukannya. Betapa cepat larinya, ia pasti tidak akan pergi terlampau jauh dari kawanan kambing-kambing itu. Dan betapa cepat lari kawanan kambing-kambing itu, pasti masih belum terlampau jauh. Dan kambing-kambing itu pasti tidak akan secerdik gembalanya, untuk bersembunyi sambil menenggang nafasnya. Seandainya kita hanya menemukan kambing-kambingnya dan tidak menemukan orangnya, biarlah kita pakai sebagai penawar kejengkelan di dalam hati.”

Kawan-kawannya mengerutkan keningnya. Tetapi mereka pun bersetuju. Kalau terpaksa mereka tidak dapat menemukan Gupita, maka cukuplah kiranya mereka menangkap kambing-kambingnya saja.

Demikianlah, maka segera mereka berjalan kembali. Diikutinya lah jejak kawanan kambing-kambing yang telah tidak tampak lagi, lari ke balik rerumputan. Tetapi jejak-jejaknya masih dapat dilihat dengan jelas, jejak kambing itu berbondong-bondong menyeberangi jalan. Ternyata bahwa dugaan mereka benar. Kambing-kambing itu memang tidak secerdik orangnya. Kambing-kambing itu tidak dapat berusaha untuk menghilangkan atau menyembunyikan jejaknya.

Tetapi yang mengejutkan mereka adalah, bahwa di belakang sekelompok jejak kambing itu terdapat jejak seseorang.

“Orang inilah yang disebut ayahnya, yang berusaha menyembunyikan kambing-kambing itu,” desis salah seorang dari mereka.

“Ya,” jawab yang lain.

“Tetapi hati-hatilah. Orang itu bukan orang kebanyakan. Seandainya benar ia seorang gembala, maka ia adalah gembala yang memiliki kekhususan. Ia adalah seorang gembala yang tangguh.”

Kawan-kawannya tidak menjawab. Mereka berusaha berjalan semakin cepat. Mereka mengharap bahwa mereka akan dapat menemukan, setidak-tidaknya beberapa ekor kambing. Sehingga dengan demikian, maka sakit hati mereka agak dapat diobati.

Ternyata kambing-kambing itu sama sekali tidak menyadari apa yang sedang terjadi. Mereka tidak tahu, bahwa orang yang menggembalakannya sedang melakukan sebuah permainan yang berbahaya. Karena itulah, maka mereka pun tidak berusaha untuk berdiam diri. Beberapa ekor di antaranya, tanpa prasangka apa pun telah mengembik sahut-menyahut.

“Sst, sst,” seorang gembala tua mencoba menenteramkan kambing-kambing itu. Tetapi ternyata tidak berhasil. Mereka masih saja mengembik-embik dan bahkan berkejar-kejaran.

“Sst, sst,” gembala tua itu menjadi berdebar-debar. Ia memang mempunyai dugaan, bahwa langkahnya akan diikuti oleh orang-orang yang tadi berkelahi melawan Gupita.

Tetapi kambing-kambing itu sama sekali tidak menghiraukannya. Be¬berapa ekor kambing yang masih sangat muda, berteriak-teriak memanggil induknya, dan induknya pun menyahut tidak kalah kerasnya.

“Sst, sst,” gembala tua itu masih mencoba. Tetapi ia sama sekali tidak berhasil membungkam kambing-kambingnya yang masih saja berbuat sekehendak mereka sendiri.

Tiba-tiba gembala tua itu terkejut. Ketika ia berpaling, dilihatnya beberapa wajah yang keras dan kasar menjenguk dari balik dedaunan.

“Nah, ke mana kau akan lari?” terdengar salah seorang dari mereka menggeram.

Gembala tua itu berdiri dengan lutut gemetar. Dipandanginya saja wajah-wajah yang kasar dan keras itu, tanpa dapat mengucapkan sepatah kata pun.

“Di mana Gupita?” bentak yang lain, yang kekurus-kurusan. Gembala tua itu tidak segera menyahut. Wajahnya memancarkan kecemasan dan ketakutan yang tidak terhingga. Tampak bibirnya bergerak-gerak, seperti orang kedinginan, tetapi tidak sepatah kata pun meloncat dari mulutnya.

“Di mana Gupita?” bentak yang agak pendek.

Perlahan-lahan orang tua itu menggelengkan kepalanya. Dengan suara bergetar ia menjawab, “Aku tidak tahu, Tuan. Bukankah tadi, Gupita ada bersama Tuan. Aku hanya sekedar bersembunyi bersama-sama dengan kambing-kambing ini.”

“Bohong! Kau pasti tahu, di mana Gupita bersembunyi.”

“Apakah ia bersembunyi?” gembala tua itu justru bertanya.

“Ya, ia lari dan bersembunyi.”

“Di mana ia bersembunyi, Tuan?”

“Ia berlari ke sana, ke arah pohon cangkring di sudut padesan, di sebelah. Kami kehilangan jejaknya, dan kami mencoba mencari saja kambing-kambingnya.”

“Ternyata Tuan lebih tahu daripada aku. Kenapa Tuan bertanya kepadaku tentang anak bengal itu?”

Sejenak orang-orang itu terbungkam. Ternyata mereka tidak dapat menjawab pertanyaan itu. Yang dapat mereka lakukan hanyalah saling berpandangan sesaat.

“Bohong!” tiba-tiba yang berdahi lebar membantah. “Kau pasti tahu ke mana anak itu pergi. Bukankah anak itu kawanmu menggembala? Bahkan anak itu menyebutmu ayah? Apakah ia anakmu?”

“Ya, Tuan. Anak itu adalah anakku. Tetapi aku benar-benar tidak tahu ke mana ia berlari. Kami sama sekali tidak berjanji apa pun untuk menghadapi persoalan yang tiba-tiba saja kami jumpai ini, sehingga aku tidak tahu apakah yang dikerjakan oleh anak dungu itu. Aku hanya melihat ia berada di antara Tuan, kemudian aku pergi menjauhkan kambing-kambing ini dan menjauhkan diriku sendiri.”

“Bohong, bohong! Kalau kami tidak dapat menemukan Gupita, maka kau akan kami ambil sebagai gantinya. Kau harus menanggung kesalahannya. Dan kau harus menerima hukumannya.”

“Tidak, Tuan. Jangan,” minta orang tua itu hampir merintih. “Dan apakah sebenarnya kesalahan anak itu terhadap Tuan?”

Sekali lagi orang-orang itu tidak dapat menjawab. Bahkan pertanyaan itu terulang di dalam dada mereka, “Apakah sebenarnya kesalahan anak itu?”

Tetapi mereka sama sekali tidak menghiraukan gema yang memantul dari dinding hati itu. Orang yang berkumis dan berjambang segera berteriak, “Anak itu telah berani melawan kehendak kami. Kami tidak pernah gagal untuk memenuhi kehendak kami. Tetapi anak itu mencoba membantahnya, dan kau mencoba menyembunyikan kambing-kambing itu.”

“Apakah keinginan Tuan itu?”

“Kambing-kambingmu semua. Tetapi karena Gupita telah membuat kami marah, maka tuntutan kami sekarang adalah kambing-kambingmu semua dan Gupita atau kau, Kakek tua.”

“Jangan, Tuan,” sekali lagi orang tua itu merintih.

“Aku tidak peduli meskipun kau akan menangis sambil mencium ujung kakiku. Selama Gupita masih belum tertangkap, kau harus berada bersama kami. Apabila kesabaran kami kemudian habis, maka kaulah yang akan menerima hukuman kami.”

“Tetapi, tetapi aku tidak bersalah, Tuan, dan anakku pun tidak bersalah. Anakku hanya lari dan bersembunyi. Apakah itu kesalahan yang harus dipertanggung-jawabkannya?”

“Apa?” teriak laki-laki yang tubuhnya dijalari oleh jalur-jalur bekas lecutan cambuk Gupita. “Kau sangka anakmu hanya lari dan bersembunyi? Lihat, seluruh tubuhku menjadi merah biru.”

Orang tua itu mengerinyitkan alisnya, “Kenapa, Tuan?”

“Inilah pokal anakmu sebelum lari. Dengan membabi buta ia mencambuk tubuhku tanpa aku sangka-sangka. Kemudian ia berlari meninggalkan kami dan bersembunyi.”

“Apakah anak itu berhasil mengenai Tuan?”

“Kenapa kau bertanya, Kakek tua? Kau lihat sendiri, betapa tubuhku menjadi berjalur-jalur merah hitam.”

Orang tua itu menggeleng-gelengkan kepalanya sambil berdecik. “Anak itu luar biasa. Aku tidak menyangka, bahwa ia mampu melakukannya. Ternyata ia memiliki keberanian berbuat.”

“Apa, apa yang kau katakan tentang anak itu? Kau heran dan kagum akan keberaniannya? Anak gila itu kemudian lari. Lari dan bersembunyi. Itukah keberanian yang kau katakan itu?” Orang itu berhenti sejenak. Nafasnya menjadi terengah-engah menahan marah. Lalu, “Karena itu, kau harus aku tangkap. Kalau anakmu tidak segera datang, kau akan mendapat hukum cambuk seperti anakmu mencambuk aku. Bahkan sepuluh kali lipat.”

“Jangan, Tuan, jangan.”

“Aku tidak peduli. Sekarang, sebelum kami menentukan hukuman itu kau harus membawa kambing-kambingmu bersama kami. Dengan demikian kau akan mendapat keringanan hukuman sekedarnya.”

“Tetapi, tetapi,” orang tua itu berkata terpotong-potong.

“Tetapi kambing-kambing itu adalah milik kami yang paling berharga, Tuan. Kalau kambing-kambing itu Tuan ambil, kami akan kehilangan milik kami. Hidup kami akan menjadi semakin miskin, dan mungkin kami akan kehilangan sumber makan kami sekeluarga, karena kami tidak dapat menjual setiap kali untuk membeli kebutuhan-kebutuhan kami sehari-hari.”

Jawaban orang tua itu sama sekali tidak dihiraukan oleh orang-orang yang keras dan kasar itu. Mereka sama sekali tidak peduli, apakah hal itu akan menutup kemungkinan bagi keluarga orang tua itu untuk mendapat makan, atau kemungkinan apapun. Mereka hanya ingin kehendak mereka terpenuhi, meskipun sangat merugikan bagi orang lain.

Karena itu orang yang kekurus-kurusan berkata, “Jangan banyak bicara. Ikut kami bersama kambing-kambingmu.”

“Jangan, Tuan. Anak-anak dan isteriku akan menunggu aku pulang bersama dengan kambing-kambing itu. Kalau kambing-kambing itu tidak pulang, apalagi bersama aku, maka hidup mereka akan terguncang. Mereka tidak akan dapat mencari makan. Dan milik mereka yang paling berharga telah hilang pula.”

“Jangan banyak bicara!” teriak yang agak pendek. “Kalau kau membantah sekali lagi, mulutmu akan aku remas sampai hancur.”

Orang tua itu menggigil. Wajahnya menjadi tegang. Agaknya ia masih ingin berbicara, tetapi kedua telapak tangannya menutupi mulutnya.

“Cepat!” teriak yang lain.

Tetapi orang tua itu belum beranjak dari tempatnya. Ia masih berdiri gemetar di tempatnya dengan wajah yang tegang. Kedua telapak tangannya masih saja menutup mulutnya.

“Cepat! Atau aku cambuk kau dengan pedang, he?”

Laki-laki tua itu sama sekali tidak berani berbicara, karena orang yang agak pendek itu mengancam apabila ia berbicara sepatah kata lagi, maka mulutnya akan diremas sampai hancur.

Namun dalam ketegangan itu, tiba-tiba mereka dikejutkan oleh derap kaki seekor kuda. Semakin lama semakin dekat. Suaranya gemeretak di atas tanah berbatu padas.

“Setan! Siapakah yang berkuda itu? Sidanti atau Argajaya atau siapa?” bertanya yang berkumis dan berjambang lebat.

Kawan-kawannya tidak segera dapat menjawab, sebab mereka pun ingin bertanya demikian pula. Mereka hanya saling pandang memandang untuk sejenak. Lalu menggeram hampir bersamaan. Sedang derap kuda itu menjadi semakin dekat. Seolah-olah mengarah ke tempat mereka.

Tetapi agaknya kuda-kuda itu sama sekali tidak menuju ke tempat itu. Kuda itu berderap terus, meskipun agak dekat dari tempat mereka. Tetapi mereka tidak dapat melihat kuda itu, terhalang oleh pepohonan dan gerumbul-gerumbul di sekitar mereka.

“Siapakah orang itu?” sekali lagi orang berjambang itu berdesis. “Apakah ia sengaja mencari kita di sini?”

Tak ada jawaban. Namun wajah-wajah itu menjadi semakin tegang. Dan ketegangan itu menjadi semakin tegang ketika sekali lagi mereka mendengar derap seekor kuda yang lain, seolah-olah sedang mengejar kuda yang pertama. Berpacu tidak kalah cepatnya, dan suara derap kakinya pun gemeretak menyentuh batu-batu padas di sepanjang jalan.

“Apakah yang telah terjadi?” desis yang kekurus-kurusan. “Apakah mereka orang-orang Pandan Wangi yang telah men¬dengar tentang persoalannya?”

Kawan-kawannya tidak menyahut. Tetapi ketegangan semakin mencengkam dada mereka. Meskipun derap kuda yang kedua ini pun semakin lama menjadi semakin jauh, dan lambat laun lenyap pula dari pendengaran mereka.

“Kita harus segera kembali,” desis yang berkumis dan berjambang. “Mungkin kita harus segera mempersiapkan diri kita. Siapa tahu, Argapati telah mulai menggerakkan orang-orang karena persoalan Pandan Wangi.”

“Marilah,” sahut yang lain. “Tetapi kita bawa orang tua ini dan kambing-kambingnya pula.”

Sejenak mereka saling memandang. Namun kemudian yang seorang lagi berkata, “Ya, kita bawa orang tua ini beserta kambing-kambingnya.” Lalu kepada gembala tua itu ia membentak, “Cepat, sebelum aku memanggal lehermu.”

“Tetapi, tetapi,” gembala tua itu ingin berbicara.

Tetapi suaranya terpotong, “Tutup mulutmu. Ayo bawa kambing-kambingmu segera bersama kami.”

Gembala itu berpaling. Dilihatnya kambing-kambingnya yang gemuk-gemuk sedang makan dengan asyiknya, rerumputan dan daun-daun muda pada gerumbul-gerumbul di sekitarnya, di dalam pategalan. Orang tua itu membawa kambing-kambingnya ke tempat itu untuk bersembunyi dan menyembunyikan kambing-kambing itu, tetapi ternyata orang-orang itu dapat menemukannya.

Agaknya ia tidak dapat berbuat lain daripada menuruti perintah orang-orang yang buas itu. Membawa kambing-kambingnya berserta mereka. Betapapun beratnya.

Tetapi sekali lagi mereka dicengkam oleh ketegangan yang memuncak. Sekali lagi mereka mendengar derap seekor kuda, dari jurusan yang sama dari kuda-kuda yang telah mendahuluinya. Berpacu seperti angin. Cepat sekali derap itu mendekat dan lewat tidak jauh dari tempat itu.

“Gila,” geram salah seorang dari orang-orang itu. “Kita harus melihat siapakah mereka itu. Cepat, kita keluar dari pategalan ini. Tetapi hati-hati, jangan menampakkan diri kita sebelum tahu siapakah mereka itu.”

Sejenak mereka tidak mengingat lagi kepentingan mereka dengan kambing-kambing itu. Perlahan-lahan mereka merayap ke pinggir pate¬galan, supaya dari atas dinding batu, mereka dapat melihat lepas menyeberang bulak yang sempit, sampai ke jalan kecil yang melintas di tengah sawah yang sempit pula. Suara kuda yang berderap itu, agaknya berasal dari jalan sempit itu.

Belum lagi mereka sampai ke pinggir dinding batu, ternyata suara derap yang sudah hampir tidak terdengar lagi itu disusul oleh derap kaki-kaki kuda berikutnya. Secepat kuda-kuda yang terdahulu pula.

“Apakah artinya ini?” desis yang berdahi lebar. Kawan-kawannya tidak menyahut. Tetapi mereka merangkak semakin cepat supaya mereka dapat melihat siapakah yang sedang berkuda dengan cepatnya itu.

Ketika mereka menjengukkan kepala mereka, ternyata kuda itu telah agak lampau, sehingga mereka hanya dapat melihat punggung seseorang di atas kudanya yang berpacu secepat tatit. Nampaknya seorang anak muda dengan pakaian yang baik, dan sebilah keris di punggungnya.

Sejenak keenam orang itu seolah-olah membeku. Mereka tidak melihat wajah orang berkuda itu, dan mereka tidak dapat mengenalnya. Lebih daripada itu, mereka sama sekali tidak dapat menduga, orang-orang siapakah yang berkuda berurutan dari arah dan menuju ke arah yang sama. Apakah mereka sekelompok orang-orang tertentu, ataukah mereka saling berkejaran.

Wajah-wajah yang kasar itu pun sejenak menegang. Mereka saling berpandangan, tetapi mereka tidak menemukan jawaban apapun pada wajah-wajah yang kasar dan tegang itu.

Dalam kesenyapan itu tiba-tiba yang berkumis dan berjambang menggeram, “Kita harus segera kembali. Mungkin sesuatu segera akan terjadi di atas Tanah Perdikan ini. Mungkin Argapati tidak dapat mengendalikan diri lagi karena Pandan Wangi mengatakan apa yang telah terjadi atasnya.”

Kawannya mengangguk-anggukkan kepalanya. Katanya, “Marilah. Kita memang harus segera kembali.”

“Tetapi bagaimana dengan kambing-kambing itu?”

Yang berkumis dan berjambang mengerutkan keningnya. Tetapi ia kemudian berkata, “Kita tidak dapat menunggu lebih lama lagi. Orang-orang berkuda itu merupakan teka-teki bagi kita. Marilah, lain kali saja kita pasti akan mendapatkannya lebih banyak dari kambing-kambing itu.”

Ajakan itu ternyata merupakan yang paling baik buat melepaskan ketegangan hati mereka. Karena itu, maka ketika orang yang berjambang, dan berkumis itu meloncati pagar batu, maka yang lain pun segera berloncatan pula tanpa berpaling lagi kepada sekawanan kambing-kambing yang sedang asik makan rerumputan. Dengan tergesa-gesa mereka berjalan beriringan menuju ke rumah Argajaya untuk mendapat penjelasan, apakah yang sudah terjadi? Apakah api di atas bukit Menoreh memang sudah mulai berkobar? Bagi mereka, apabila hal itu terjadi lebih cepat, memang lebih baik. Mereka akan segera lebih leluasa lagi untuk melakukan kehendak mereka. Merampas dan merampok, dan apa saja selain janji mereka membantu Sidanti mengalahkan Argapati.

Sementara itu, Pandan Wangi dan Samekta telah hampir sampai ke pedukuhan induk Tanah Perdikan Menoreh. Dengan berdebar-debar mereka mempercepat langkah kuda-kuda mereka. Mereka ingin segera sampai kepada Argapati, supaya orang tua itu tidak terlampau cemas menunggu puterinya.

Ketika mereka semakin dekat dengan padukuhan induk, hati mereka menjadi semakin berdebar-debar. Tiba-tiba saja dari balik dedaunan, mereka melihat ujung-ujung senjata berkilat-kilat. Di mulut jalan berkumpul beberapa orang pemimpin pengawal Tanah Per¬dikan, siap dengan segala perlengkapan perang. Bahkan beberapa ekor kuda dan perlengkapan-perlengkapan lain yang diperlukan.

“Apakah artinya ini, Paman Samekta?” bertanya Pandan Wangi.

“Ini adalah ujud dari kecemasan seorang Kepala Tanah Perdikan yang kehilangan seorang anaknya,” jawab Samekta. “Ketika aku berangkat ayahmu berpesan, supaya aku membawamu pulang. Kalau tidak, maka pertumpahan darah akan segera ter¬jadi.”

“Ah,” Pandan Wangi tiba berdesah, “jangan. Jangan, Paman.”

“Tergantung kepada Ki Argapati dalam menanggapi keadaan ini.”

Wajah Pandan Wangi tiba-tiba menjadi tegang. Tanpa sesadarnya dilecutnya kudanya dengan ujung kendali, sehingga kuda itu pun meloncat, dan berlari semakin cepat.

Ketika mereka memasuki mulut padukuhan induk, maka Pandan Wangi menjadi semakin berdebar-debar karenanya. Dilihatnya ujung senjata seperti ujung batang ilalang. Bertebaran di halaman, di sisi-sisi jalan. Para pengawal Tanah Perdikan yang masih setia kepada Argapati ternyata sudah benar-benar siap melakukan tugasnya. Meskipun mereka dipersiapkan dengan tergesa-gesa, namun karena kesiagaan mereka, maka kekuatan mereka pun cukup mendebarkan jantung.

Terasa ketegangan mencengkam dada Pandan Wangi. Sejenak kudanya terhenti ketika ia menarik kendali. Diedarkannya pandangan matanya di sekitarnya, dan dilihatnya wajah yang tegang dan menahan kemarahan. Tetapi wajah-wajah itu membayangkan kelegaan hati ketika mereka melihat Pandan Wangi datang kembali bersama utusan Ki Argapati, yang bertugas untuk menjemputnya. Tiba-tiba Pandan Wangi terkejut ketika ia mendengar suara memanggilnya, “Pandan Wangi.”

Suara itu adalah suara yang telah sangat dikenalnya. Dan ketika ia berpaling, maka dilihatnya ayahnya berdiri tegak dengan sebatang tombak pendek di tangannya.

Melihat sikap ayahnya, debar di dada Pandan Wangi terasa semakin berguncang. Ia kenal sikap itu. Ayahnya dengan tombak pendek itu di tangan, adalah pertanda bahwa ia sudah siap untuk melakukan apa pun.

“Ayah,” tiba-tiba Pandan Wangi meloncat turun dari kuda¬nya, dan segera berlari kepada ayahnya. Seperti kanak-kanak yang mendapat perlakuan yang nakal dari kawan-kawannya, Pandan Wangi memeluk pinggang ayahnya sambil menangis tersedu-sedu.

“Apakah yang sudah terjadi, Wangi?” bertanya ayahnya. Pandan Wangi tidak menyahut. Bahkan isak tangisnya serasa semakin menyumbat dadanya.

Ki Argapati menarik nafas dalam-dalam. Dicobanya untuk menenangkan dirinya sendiri, dan menenangkan hati puterinya. “Jangan menangis, Wangi. Berkatalah apa yang telah terjadi denganmu. Aku telah memerintahkan Pamanmu Samekta, untuk menjemputmu dengan segala macam akibat yang dapat terjadi. Dan aku kini telah siap, apa pun yang akan dilakukan oleh Sidanti, anak durhaka itu.”

“Tidak, Ayah, tidak,” desis Pandan Wangi disela-sela tangisnya. “Ayah jangan tergesa-gesa berbuat sesuatu.”

Ki Argapati mengerutkan keningnya. Dengan nada yang dalam ia bertanya, “Kenapa, Wangi?”

Sejenak Pandan Wangi tidak menyahut. Terasa isaknya se¬makin menyekat dadanya. Ketika ia melepaskan pelukannya, dan memandang berkeliling, dilihatnya beberapa orang pemimpin pengawal Tanah Perdikan sedang mengerumuninya. Dari wajah-wajah mereka memancarlah tekad hati yang bulat, untuk melakukan apa saja yang diperintahkan oleh Ki Argapati, Kepala Tanah Per¬dikan Menoreh.

Terasa jantung Pandan Wangi menjadi semakin cepat berdetak. Terbayang di pelupuk matanya, apa yang dapat terjadi atas Tanah kelahiran ini. Pertumpahan darah dan pepati. Tanah yang selama ini selalu dinafasi oleh kedamaian dan ketenteraman tiba-tiba kini bergolak demikian dahsyatnya.

“Pandan Wangi,” terdengar suara Argapati, “kita sudah tidak mempunyai pilihan lain daripada ini.”

Pandan Wangi tidak segera menjawab. Tetapi titik-titik air matanya masih mengalir di pipinya.

“Apalagi apabila telah terjadi sesuatu dengan kau. Maka aku sama sekali tidak akan menunda lagi, meskipun saat purnama naik sudah berada di depan hidungku. Aku tidak akan menunggu lagi, betapapun aku akan disebut sebagai seorang yang kehilangan sifat-sifat kejantananku, karena aku tidak memenuhi janjiku.” Argapati diam sejenak. Lalu, “Apakah terjadi sesuatu atasmu?”

Perlahan-lahan Pandan Wangi mengangguk lemah.

“He,” wajah Argapati menjadi semakin merah. “Katakan, apakah yang sudah terjadi, supaya hati ini menjadi semakin terbakar oleh kepastian, bahwa aku akan menghancurkannya.”

Sejenak Pandan Wangi berpaling. Dipandanginya Samekta yang kini telah berdiri di belakangnya pula. Dan sejenak kemudian ia mulai menceriterakan apa yang telah dialaminya. Ketika ia dihentikan oleh orang-orang yang tidak dikenalnya dengan wajah-wajah yang bengis dan kasar.

Terdengar Argapati menggeram. Tangannya menggenggam tangkai tombaknya semakin erat. Hampir tidak sabar ia mendengarkan Pandan Wangi masih juga meneruskan ceriteranya. “Aku bertempur dengan mereka, Ayah,” desis Pandan Wangi. “Mereka berenam berkelahi bersama-sama.”

Mata Argapati kini seakan-akan telah menyala. Dan hanya dengan susah payah ia masih berhasil menahan dirinya untuk mendengar ceritera puterinya itu. Meskipun semakin lama dadanya menjadi semakin panas dan bahkan hampir meledak karenanya.

“Tidak ada pilihan lain. Aku harus mulai sekarang, apapun yang akan terjadi.”

“Aku belum selesai Ayah.”

“Aku sudah tahu akhir dari ceriteramu. Untung Samekta datang tepat pada waktunya, sehingga ia dapat membantumu melepaskan diri dari tangan mereka,” nada suara Argapati terlampau dalam, dan datar. Tetapi ketika ia bergerak untuk berbuat sesuatu, tangannya ditahan oleh puterinya.

“Bukan, bukan begitu, Ayah,” berkata Pandan Wangi.

Argapati mengerutkan keningnya. “Bagaimanakah akhirnya?”

Pandan Wangi berpaling kepada Samekta. Dan tanpa sesadarnya Samekta menggelengkan kepalanya dan berkata, “Memang bukan begitu. Aku datang agak terlambat.”

“Kau terlambat?” Argapati membelalakkan matanya, “Jadi kau tidak dapat menolongnya sama sekali.”

Samekta mengangguk. Tetapi ia menjawab, “Aku memang terlambat Ki Gede, justru setelah Pandan Wangi mendapat pertolongan.”

Ki Gede Menoreh mengerutkan keningnya. Dan ia mendengar Samekta itu berkata seterusnya, “Dan Pandan Wangi itu pun terselamatkan dari kebuasan orang-orang liar itu.”

“Siapakah yang telah menolongnya?” suara Argapati seolah-olah tertahan di kerongkongannya.

“Sidanti dan Argajaya.”

“He,” Argapati terperanjat sehingga ditatapnya wajah Samekta dengan tajamnya. “Jadi yang menolong Pandan Wangi adalah Sidanti dan Argajaya?”

Samekta menganggukkan kepalanya, “Ya, Ki Gede.”

Argapati seolah-olah tidak percaya kepada keterangan itu, sehingga kemudian ia bertanya kepada Pandan Wangi, “Benar begitu, Wangi. Yang menolongmu adalah Sidanti dan Argajaya?”

Pandan Wangi mengangguk. Jawabnya, “Ya, Ayah. Kakang Sidanti datang tepat pada waktunya. Pada saat aku hampir menjadi putus asa.”

“Apakah Sidanti kemudian berkelahi melawan mereka?”

“Hal itu hampir saja terjadi,” jawab Pandan Wangi. “Tetapi agaknya Ki Tambak Wedi masih berhasil menahan mereka.”

“Tambak Wedi?” bertanya Ki Argapati. “Jadi ia hadir juga ketika itu dan menahan Sidanti dan Argajaya supaya tidak berkelahi?”

“Ya,” jawab Pandan Wangi. “Tetapi terasa betapa dendam telah membakar hati masing-masing.”

Ki Argapati menarik nafas dalam-dalam. Bahkan di dalam hati ia berdesah, “Oh, kenapa Sidanti dan Argajaya? Kenapa anak itulah yang telah menolong Pandan Wangi, sehingga aku merasa berhutang budi kepada mereka? Adalah wajib bagiku untuk mengucapkan terima kasih kepada mereka karena mereka telah melepaskan anakku dari malapetaka bahkan kematian, meskipun Sidanti itu kakak seibu Pandan Wangi.”

Perlahan-lahan wajah Argapati itu menunduk. Perlahan-lahan pula ia melangkahkan kakinya sambil menjinjing tombaknya, selangkah-selangkah menuju ke mulut lorong yang membelah padukuhan induk itu. Ketika ia sudah berdiri selangkah di luar padukuhan, ia berhenti. Dilontarkannya pandangan matanya jauh-jauh ke depan, seolah-olah ingin dilihatnya langsung rumah adiknya, Argajaya.

Sekali lagi Ki Gede Menoreh menarik nafas dalam-dalam. Dalam sekali. Dan di dalam hatinya pula ia berkata, “Apabila tidak ada Ki Tambak Wedi, maka persoalannya akan menjadi jauh berbeda.”

Lama sekali Ki Argapati tidak beranjak dari tempatnya. Tatapan matanya masih saja melekat di kejauhan. Jauh sekali, sejauh angan-angannya yang membumbung ke daerah yang tidak bertepi.

Pandan Wangi merasakan, betapa benturan-benturan yang dahsyat telah terjadi di dalam dada ayahnya. Persoalannya telah mendorong ayahnya menjadi semakin jelas bahwa di Tanah ini telah hadir kekuatan-kekuatan dari luar rangkah, yang justru akan menambah kemelutnya keadaan. Tetapi ia tidak segera dapat berbuat banyak atas Sidanti dan adiknya Argajaya, apalagi setelah mereka menolong Pandan Wangi sendiri dari kehancuran mutlak, bahkan melepaskannya dari maut yang akan ditentukannya sendiri.

Ki Argapati masih tegak berdiri di tempatnya. Tampaklah di dalam rongga matanya seolah-olah gelembung-gelembung udara yang bergerak-gerak. Dalam terik matahari yang membakar di siang hari, Ki Argapati merasakan betapa panasnya hati yang membara di dalam dadanya.

Beberapa orang berdiri tegak di belakangnya. Mereka telah bersiap menunggu perintah. Dan bahkan Pandan Wangi pun kini telah berdiri selangkah di sampingnya. Sekali-sekali Pandan Wangi ikut, sekali-sekali ditatapnya wajah Ayahnya yang keras seperti batu padas serta memandang ke kejauhan, ke dalam terik sinar matahari dan di pegunungan, tidak larut oleh titik-titik air hujan, dan tidak retak dibakar terik matahari.

Setiap dada menjadi berdebar-debar karenanya. Keheningan itu berpusar kepada Ki Gede Menoreh, yang dadanya sedang bergetar dengan dahsyatnya. Setiap katanya kini akan menentukan apakah yang akan terjadi di atas Bukit Menoreh itu. Apakah bukit itu akan dibakar oleh api peperangan, ataukah pengawal-pengawal yang telah siap untuk melepaskan senjata-senjatanya akan ditarik kembali ke dalam kubunya.

Perlahan-lahan matahari bergeser di langit yang cerah. Semakin lama semakin condong ke Barat. Bayang-bayang dedaunan dan pepohonan mendadak semakin lama semakin panjang.

Ki Argapati masih berdiri mematung. Wajahnya menjadi basah oleh keringat yang merentul di keningnya. Kulitnya pun kini telah menjadi semerah warna tembaga.

Ki Argapati adalah seorang pemimpin yang tegas. Yang menentukan sikap tanpa ragu-ragu, apabila perhitungannya sudah menentu. Ia dapat berbuat apa saja untuk kepentingan Tanah Perdikannya. Bahkan kalau perlu kekerasan.

Tetapi dada Ki Argapati kini dibakar oleh keragu-raguan yang dahsyat. Perasaan yang hampir tidak pernah dikenalinya sebelumnya. Tetapi karena ia sadar akan akibat tindakannya kali ini, maka justru karena itulah ia menjadi ragu-ragu. Sudah tentu ia sama sekali tidak menginginkan Tanah yang dibinanya selama ini akan dimakan oleh benturan di antara mereka sendiri. Sudah tentu ia tidak ingin melihat api akan menjilat langit di atas Tanah Perdikan Menoreh, dan menelan rumah, dan lumbung-lumbung padi. Sudah tentu ia tidak ingin melihat batang-batang padi muda yang sedang menghijau di sawah-sawah akan disasak oleh kaki-kaki kuda yang mendukung orang-orang bersenjata di atas punggungnya. Dan sudah tentu hatinya akan menjadi terlampau pedih melihat air-air di parit-parit yang jernih, sejernih embun, akan berwarna merah karena dinodai oleh darah yang mengalir dari luka di dada.

Ketegangan yang dahsyat telah melanda setiap jantung. Mereka menungu, dan menunggu. Sedang Argapati masih berdiri tegak bagaikan patung yang mati.

Akhirnya ketegangan itu memuncak ketika tiba-tiba Ki Argapati memalingkan wajahnya. Dipandanginya pengawal-pengawal Tanah Perdikan yang berada di belakangnya, yang tersebar di halaman-halaman, dan yang berkumpul di belakang gardu. Dipandanginya ujung-ujung senjata yang berkilat-kilat di sela-sela pepohonan, dan yang mencuat di atas dinding-dinding batu.

Sejenak ia diam membisu, kemudian menarik nafas dalam-dalam. Dalam sekali.

Para pemimpin pengawal yang berdiri dekat di belakangnya menjadi berdebar-debar. Mereka menduga-duga perintah apakah yang akan diterimanya. Mereka sudah tidak ada pilihan lain. Mereka tidak dapat menunggu anak harimau itu menjadi dewasa dan buas, yang kelak akan dapat menerkam mereka itu sendiri.

Perlahan-lahan Ki Argapati memanggil Samekta dan beberapa orang lainnya dengan isyarat tangannya. Kemudian dipanggilnya pula Pandan Wangi mendekat. Ia tidak dapat melepaskan pertimbangan puterinya. Dan ia tidak dapat menutup kenyataan bahwa Sidanti dan Pandan Wangi adalah dua orang bersaudara yang lahir dari ibu yang sama.

Ketika orang-orang itu telah dekat sekali di samping dan di belakangnya, terdengar suaranya parau, “Kita urungkan pertumpahan darah hari ini.”

Kata-kata itu menggetarkan setiap hati para pengawal itu. Sejenak mereka terpaku diam di tempatnya. Mereka sama sekali tidak mengharap bahwa tindakan Ki Argapati atas orang-orang yang sudah jelas melawannya itu tertunda. Beberapa pasang mata kemudian hinggap pada wajah Pandan Wangi, seolah-olah ingin berkata kepadanya, bahwa gadis itulah agaknya yang menunda tindakan yang seharusnya dilakukan oleh ayahnya. Bahkan saat ini pun sudah agak terlambat menurut perhitungan para pengawal itu.

Karena itulah, maka tidak seorang pun yang segera beranjak dari tempatnya. Para pengawal itu masih berdiri dengan wajah dan hati yang tegang.

“Kita masih harus menunda tindakan ini,” sekali lagi mereka mendengar Ki Argapati berdesis.

Beberapa orang menundukkan kepalanya sambil menggigit bibirnya. Bahkan salah seorang dari mereka bertanya dengan suara gemetar, “Kenapa kita masih harus menundanya Ki Gede?” Ki Gede Menoreh tidak segera menjawab. Tetapi tatapan matanya sekali lagi menembus terik matahari hinggap di kejauhan yang seolah-olah tidak bertepi.

Baru sejenak kemudian terdengar suaranya dalam, “Aku akan memberitahukan kemudian. Tetapi jangan tinggalkan kesiap-siagaan. Besok malam, purnama akan naik. Aku akan mendapatkan kepastian, pada saat purnama itu turun, dan hilang di balik bukit.”

Para pengawal itu saling berpandangan sejenak. Besok malam memang purnama akan naik. Saat itu seolah-olah mempunyai arti yang luar biasa bagi Ki Argapati. Beberapa orang memang pernah mendengar, meskipun tidak jelas, bahwa Ki Gede Menoreh pernah berjanji bahwa mereka akan menunggu purnama naik.

“Hari itu adalah hari yang menentukan masa depan Tanah Perdikan ini,” desis Ki Gede kemudian.

Dada Pandan Wangi tiba-tiba berdesis mendengar saat yang diucapkan oleh ayahnya. Saat purnama naik, saat ayahnya akan bertemu dengan Ki Tambak Wedi.

Tiba-tiba terasa bulu-bulu di seluruh tubuh gadis itu meremang. Betapa ia menjadi ngeri, membayangkan apakah yang akan terjadi dengan ayahnya pada saat yang telah ditentukannya itu.

Sejenak Pandan Wangi terpukau diam karena angan-angan tentang saat yang mendebarkan jantung itu. Berbagai bayangan hilir mudik di dalam rongga matanya. Sejenak ia terkenang yang pernah diceriterakan ayahnya kepadanya, pada saat purnama naik beberapa puluh tahun yang lampau, seumur kakaknya Sidanti. Pada saat ayahnya bertempur melawan Ki Tambak Wedi untuk kehormatan nama masing-masing. Pertempuran yang dahsyat sekali, yang tidak dapat ditentukan siapakah yang akan menang dan siapakah yang akan kalah.

Peristiwa itu besok malam akan terulang lagi di bawah Pucang Kembar. Ayahnya akan bertempur pula melawan Ki Tambak Wedi. Seorang lawan seorang untuk mempertaruhkan harga diri masing-masing, dalam mempertahankan sikap dan tindakan.

Sepercik kecemasan telah menusuk jantung Pandan Wangi dengan tajamnya, sehingga tanpa sesadarnya gadis itu memegang dadanya. Dan tanpa sesadarnya pula Pandan Wangi menggigit bibirnya keras-keras.

Sekali lagi ia merasa berdiri di persimpangan jalan yang sama-sama menuju ke dalam lembah yang gelap. Betapa sulitnya untuk memilih jalan yang akan ditempuhnya. Yang berdiri berhadapan dengan ayah kandungnya adalah kakaknya sendiri. Kakak seibu. Yang selama ini dicintainya sepenuh hati. Baru setelah ibunya itu meninggal, ia melihat seberkas noda melekat pada warna yang selama ini dianggapnya putih bersih, sebersih bunga menur.

Namun tiba-tiba Pandan Wangi itu meloncat berlari memeluk ayahnya sambil berkata di antara isak tangisnya, “Tidak, Ayah. Jangan ditunda. Sebaiknya sekarang Ayah bertindak sebelum terlam¬bat. Sebelum besok Ayah sampai pada saat purnama naik.”

Ki Argapati terperanjat. Sejenak ia berdiri mematung. Namun kemudian ia dapat menangkap perasaan puterinya, Pandan Wangi mencemaskan nasibnya besok apabila ia harus bertempur melawan Ki Tambak Wedi di bawah Pucang Kembar.

“Ayah jangan menunggu Ki Tambak Wedi beserta orang yang tidak kita kenal itu mendahului Ayah. Karena itu, Ayah harus melakukannya sekarang.”

Ki Argapati menahan nafasnya. Perlahan-lahan tangannya bergerak membelai rambut anaknya. Dengan nada yang berat ia berkata, “Tidak, Wangi. Aku tidak dapat melakukannya sekarang. Aku ingin sampai pada janjiku dengan Ki Tambak Wedi. Sesudah itu, barulah aku akan melakukannya.”

“Tetapi, tetapi …………” suara Pandan Wangi patah di tengah.

“Aku tahu yang kau cemaskan, Wangi. Bagaimanakah seandainya aku tidak dapat lepas dari perkelahian itu, dan untuk seterusnya aku akan kehilangan kesempatan mempertahankan Tanah ini?”

“Ayah,” Pandan Wangi memekik kecil.

“Jangan kau cemaskan. Aku akan berusaha sebaik-baiknya agar aku masih berkesempatan untuk mempertahankan Tanah ini. Aku akan berusaha. Apabila usahaku tidak berhasil, maka demikianlah takdir yang harus aku jalani. Tetapi aku tidak menyerah tanpa melakukan sesuatu. Dan aku siap untuk melakukannya. Jangan kau cemaskan aku, Wangi.” Ki Argapati berhenti sejenak. Tatapan matanya masih jauh hinggap pada tempat yang tidak terbatas. Titik-titik keringat mengembun di kening dan dahinya.

“Tetapi Ayah harus bertindak cepat, sebelum Ki Tambak Wedi sempat mempersiapkan diri.”