Api di Bukit Menoreh 24

WURANTA sendiri tidak dapat mengerti apa yang terjadi dalam dirinya. Ia sama sekali tidak berkeberatan, apa pun yang akan terjadi dengan Sekar Mirah setelah ia diselamatkan dan berada di tangan keluarganya kembali. Tak ada hubungan apa pun antara dirinya dengan gadis itu, selain peranan yang harus dilakukannya. Namun, ketika peranannya hampir selesai, terasa kenapa demikian cepatnya. Dan kenapa peran yang harus dilakukan itu hanya sekedar demikian saja?

Wuranta itu menundukkan kepalanya pula. Terbayang di kepalanya saat-saat yang dilampauinya beberapa hari ini. Saat-saat yang berbahaya dan penuh ketegangan.

“Untuk apakah sebenarnya aku berbuat demikian? Untuk Jati Anom, Pajang, atau untuk sekedar membebaskan gadis itu, dan kemudian menyerahkannya kembali kepada orang yang telah menunggunya?”

Terbayang kembali apa yang telah dilakukannya bersama dengan Alap-alap Jalatunda. Memperkenalkan dirinya kepada gadis itu. Menyebut namanya dan nama Alap-alap Jalatunda sebagai seorang sahabatnya.

Ketika Wuranta itu mengangkat wajahnya, terlihatlah olehnya Sekar Mirah sedang berpaling pula. Sejenak mereka saling memandang. Namun tiba-tiba pandangan Sekar Mirah menjadi lain. Lain sekali dengan kemarin. Pandangannya kini mengandung kecurigaan dan kebencian. Bahkan gadis itu kemudian berkata, “Bukankah anak muda itu kawan Alap-alap Jalatunda?”

Tuduhan itu menyengat jantung Wuranta, seperti sengatan ujung senjata. Tetapi ia dapat mengerti, sehingga dengan demikian ia menjawab perlahan-lahan dengan suara yang sendat, “Benarlah demikian. Tetapi Adi Swandaru dan Adi Agung Sedayu dapat memberikan keterangan tentang diriku.”

Sekar Mirah memandang Agung Sedayu sesaat. Kemudian ia mundur beberapa langkah sambil bertanya kepada kakaknya, “Siapakah anak muda itu, Kakang?”

“Kakang Wuranta adalah seorang anak dari Jati Anom. Ia adalah lantaran yang dapat menunjukkan kepada kami, di mana kau berada, dan bagaimana dapat membebaskanmu.”

Sekali lagi wajah Sekar Mirah menjadi merah. Tiba-tiba ia berkata lembut, “Maaf. Maafkanlah aku, Kakang Wuranta.”

Wuranta tidak menjawab, tetapi hatinya berkata, “Pantas, Sidanti tergila-gila kepadanya dan Alap-alap Jalatunda benar-benar telah menjadi gila. Mudah-mudahan aku tidak menjadi gila pula seperti mereka.”

Yang berkata kemudian adalah Swandaru, “Kakang Wuranta telah berhasil masuk ke daerah ini dan menjadikan dirinya sahabat Alap-alap Jalatunda.”

Sekar Mirah mengangguk kecil. Tetapi ia tidak berkata apa-apa lagi.

Sejenak mereka saling berdiam diri. Ruangan yang tidak terlampau luas itu seakan-akan tidak lagi berisi seorang pun. Namun tiba-tiba mereka terkejut ketika pintu depan gubug itu terbuka. Di muka pintu berdiri dua orang sambil menggenggam pedangnya. Berkata salah seorang dari mereka, “Aku mendengar semua yang kalian percakapkan. Kalian tidak usah ingkar. Aku datang sejak aku mendengar gadis ini berteriak.”

Wuranta, Swandaru, dan Agung Sedayu sejenak menjadi termangu-manggu. Ditatapnya kedua orang yang berdiri di muka pintu itu dengan mata yang hampir tidak berkedip. Begitu kuatnya mereka terpukau oleh keadaan di dalam ruangan itu, sehingga mereka sama sekali tidak menyadari, bahwa ternyata kehadiran mereka di dalam rumah itu telah diketahui oleh orang lain.

“Nah, apakah yang akan kalian katakan. Lebih baik kalian menyerah saja, supaya kalian tidak mempersulit pekerjaanku.”

Agung Sedayu menarik nafas. Ia-lah yang pertama-tama melangkahkan kakinya mendekati kedua orang yang masih berdiri di muka pintu.

Wuranta yang melihat langkah Agung Sedayu yang tenang dan meyakinkan itu menjadi berdebar-debar. Meskipun ia melihat perubahan pada diri anak muda itu sejak ia bertemu kembali di Jati Anom setelah agak lama berpisah, namun sikapnya saat itu benar-benar telah menimbulkan berbagai pertanyaan di dalam dirinya. Di dalam diri Agung Sedayu itu tidak dapat dikenalnya lagi sifat-sifatnya pada masa kanak-kanaknya. Hampir tak ada bekas-bekas dari sifat-sifatnya itu. Seakan-akan Agung Sedayu tidak pernah berada di dalam suatu keadaan yang tidak sepantasnya bagi laki-laki muda. Seakan-akan anak muda itu tidak pernah menjadi seorang pengecut dan penakut. Tetapi kini Agung Sedayu melangkahkan kakinya dengan suatu keyakinan pada dirinya.

Dengan suara yang meyakinkan pula terdengar Agung Sedayu bertanya, “Siapakah kalian?”

“Kau tidak perlu bertanya siapakah kami. Tetapi kamilah yang berhak bertanya kepada kalian. Siapakah kalian?”

“Kalian telah mendengarkan percakapan kami.”

“Ya, ya. Kami tahu bahwa di antara kalian bernama Swandaru dan Agung Sedayu. Pengkhianat yang licik itu sudah aku kenal sebelumnya.”

Dada Wuranta berdesir mendengar sebutan itu. Pengkhianat. Di Jati Anom anak-anak muda menudingnya pula dengan sebutan itu. Pengkhianat.

“Apakah yang aku dapat dari sebutan-sebutan itu?” berkata Wuranta di dalam hatinya. “Di mana-mana aku dianggap sebagai pengkhianat. Kalau Alap-alap Jalatunda masih hidup, ia pun akan menuding wajahku sambil berkata demikian pula. Yang aku tidak tahu, bagaimanakah sebenarnya anggapan Sekar Mirah kepadaku.”

Tiba-tiba Wuranta itu menggelengkan kepalanya. Ia sama sekali tidak memperhatikan lagi tuduhan orang yang berdiri di muka pintu itu. Hatinya seakan-akan menjadi pepat.

Namun ia masih mendengar suara Agung Sedayu, “Kau benar. Akulah yang bernama Agung Sedayu. Dan Kakak Sekar Mirah itulah yang bernama Swandaru. Sedang yang satu, yang kau sangka pengkhianat itu adalah sahabatku. Ia memang berjuang untuk kepentingan Pajang sejak semula. Kebodohan pemimpin kalianlah yang telah memungkinkannya memasuki daerah ini.”

“Persetan dengan senua itu! Sekarang menyerahlah. Aku ingin, mengikat kaki dan tanganmu. Apabila keributan di banjar itu sudah selesai, maka akan datang giliran kalian untuk mendapatkan perhatian khusus dari Ki Tambak Wedi.”

Agung Sedayu seolah tidak mendengar kata-kata mereka itu. Malahan ia bertanya, “Apakah kalian berdua tidak ikut berkelahi di halaman banjar itu? Aku tadi berkesempatan untuk melihatnya. Kawan-kawanmu yang bertugas di segala penjuru berlari-larian ke sana. Kenapa kalian enak-enak saja di sini.”

“Hem,” geram salah seorang dari mereka, “apabila kami juga pergi ke sana, maka kalian akan leluasa berbuat sekehendakmu di sini. Itulah pertanda bahwa nasibmu memang sedang malang. Kalian mengira bahwa kami pun dipanggil pula ke sana. Ketahuilah, bahwa kami bertugas di sini berlima bergiliran pada keadaan biasa. Tiga dari kawan-kawan kami telah pergi ke banjar desa. Tetapi kami berdua tetap berada di sini. Agaknya nasib kalian yang terlampau jelek.”

Wajah kedua orang itu tiba-tiba menjadi tegang ketika mereka mendengar Agung Sedayu itu justru tertawa. Katanya, “Marilah masuk. Kita lebih baik berbicara dengan baik.”

Sejenak kedua orang itu terbungkam. Mereka sama sekali tidak menyangka bahwa Agung Sedayu akan berbuat demikian. Anak muda itu sama sekali tidak menjadi cemas dan takut. Bahkan ia tertawa dan mempersilahkannya masuk.

Karena kedua orang itu tidak segera menjawab, maka Agung Sedayu itu berkata pula, “Marilah, kalau memang kau tidak akan pergi ke banjar itu. Apakah perlunya kita bertengkar?”

Sesaat kemudian kedua orang itu pun menyadari keadaannya. Wajah mereka yang tegang menjadi semakin tegang. Dengan gemetar salah seorang dari mereka berkata, “Jangan mencoba mempengaruhi sikapku. Aku bukan anak-anak. Seandainya gadis itu yang mempersilahkan aku, maka aku pun tidak akan melepaskan niatku untuk menangkap kalian. Ayo, menyerahlah sebelum kami bertindak.”

“Apakah kalian berdua mampu berbuat demikian? Kami bertiga di sini, sedang kalian hanya berdua.”

“Setan alas!” bentak yang lain. “Takaran kami adalah sepuluh orang seperti kalian.”

“Tetapi yang ada di sini hanyalah kami bertiga. Apakah kami harus mencari tujuh orang kawan lagi buat melayani kalian?”

Kedua orang itu pun menjadi semakin marah. Mereka merasakan kata-kata Agung Sedayu itu sebagai suatu penghinaan. Karena itu maka salah seorang dari mereka berkata, “Tak akan ada kesempatan lagi. Kalian telah menghina kami. Karena itu, maka kalian akan kami bunuh tanpa persoalan lagi. Tanpa harus dihadapkan kepada Ki Tambak Wedi atau siapa pun.”

Agung Sedayu tidak menjawab. Ia melihat kedua orang itu menjadi sangat marah. Karena itu maka ia pun harus berhati-hati. Ia belum tahu, sampai di mana kemampuan keduanya. Tetapi ia yakin bahwa kedua orang itu pasti tidak akan setangkas Sidanti atau Alap-alap Jalatunda.

Dengan pedang teracung ke depan kedua orang itu bersama-sama melangkahi tlundak pintu masuk ke dalam gubug itu pula. Wajah mereka menjadi merah karena kemarahan yang telah memuncak.

Agung Sedayu melangkah selangkah surut. Ia menjadi semakin hati-hati menghadapi kedua orang itu. Apalagi ketika keduanya kemudian berpencar. Seorang ke sisi kiri, yang seorang, ke sisi kanan.

“Hem,” Agung Sedayu bergumam di dalam hatinya, “mereka cukup berhati-hati.”

Tetapi betapa terkejut Agung Sedayu ketika ia melihat Wuranta dengan tiba-tiba saja meloncat dengan garangnya, menyerang salah seorang dari kedua orang itu. Dengan pedangnya, ia langsung menusuk ke arah lambung.

Swandaru terkejut pula melihat serangan itu. Semula ia menyangka bahwa Agung Sedayu akan menyelesaikannya sendiri. Tetapi kemudian ia melihat Wuranta telah mulai membuka serangannya. Namun Swandaru itu tidak beranjak dari tempatnya. Ia merasa bahwa semuanya itu akan dapat selesai. Kuwajibannya adalah melindungi Sekar Mirah dari setiap bahaya. Itulah sebabnya, maka Sekar Mirah itu tidak dilepaskannya.

Serangan Wuranta ternyata cukup dahsyat. Orang yang diserangnya terkejut pula. Tetapi orang itu cukup tangkas untuk menghindari serangan itu. Dengan lincahnya orang itu mulai membalas serangan Wuranta. Pedangnya menebas mendatar dalam ruangan yang tidak terlampau luas itu.

Kawannya yang seorang tidak segera berbuat sesuatu. Sejenak ia melihat kawannya berkelahi. Meskipun ia tidak melepaskan pengawasannya terhadap Angung Sedayu, tetapi ia mampu sekedar menilai keadaan yang terjadi. Ternyata kawannya itu tidak kalah cepatnya menggerakkan pedang daripada Wuranta.

Agung Sedayu pun melihat pula kekurangan Wuranta atas lawannya. Agaknya lawannya adalah seorang yang cukup terlatih. Dalam saat yang pendek, Wuranta telah terdesak beberapa langkah. Bahkan serangan-serangan yang diluncurkan oleh orang padepokan Tambak Wedi itu cukup membahayakan Wuranta.

Tetapi Wuranta bertempur dengan sepenuh tenaganya. Ia sendiri tidak menyadari sepenuhnya apa yang telah dilakukan. Tetapi ia merasa, bahwa ia harus berbuat sesuatu. Ia tidak mau dicengkam oleh ketegangan dan kerisauan. Karena itu tiba-tiba saja ia telah meloncat untuk melepaskan diri dari ketegangan yang mencengkamnya. Bukan karena kehadiran kedua orang itu, tetapi karena hatinya yang risau menghadapi keadaan. Hadirnya Agung Sedayu benar-benar telah membuat hatinya menjadi kisruh. Dan justru kehadiran kedua orang itu seakan-akan memberinya jalan untuk melepaskan ketegangan dan kerisauannya, sehingga tanpa berpikir jauh ia telah membuka serangannya.

Agung Sedayu menjadi cemas melihat perkelahian itu. Perkelahian di tempat yang sempit adalah lebih berbahaya daripada di tempat terbuka. Perbedaan kemampuan mempermainkan senjata yang tidak terlampau banyak, di tempat terbuka tidak akan terlampau berbahaya bagi pihak yang lemah, apalagi apabila ia mampu mengimbanginya dengan kecepatan bergerak. Tetapi di tempat yang sempit kesempatan untuk bergerak sangat terbatas. Kecakapan menggerakkan senjata akan sangat penting pengaruhnya.

Karena itu sejenak kemudian, Agung Sedayu melihat Wuranta itu menjadi semakin terdesak. Keadaannya tiba-tiba menjadi sangat berbahaya ketika ia telah melekat dinding, sedang serangan lawannya masih saja mengejarnya. Sekali ia mampu menangkis serangan itu, tetapi untuk seterusnya kedudukannya menjadi sangat sulit. Ternyata lawannya mampu mempergunakan kesempatan itu. Dengan sebuah tipuan yang mengejutkan, orang itu memancing senjata Wuranta untuk menangkis, tetapi begitu senjata Wuranta terayun ke samping, maka dengan cepatnya pedang lawannya itu terjulur lurus menggali ke dadanya.

Dada Agung Sedayu berdesir, ia tidak dapat membiarkan hal itu terjadi. Bahkan Swandaru pun hampir-hampir saja meloncat menolongnya seandainya ia tidak melihat pedang Agung Sedayu secepat kilat seolah-olah meloncat dari wrangkanya langsung memukul pedang lawan Wuranta sehingga pedang itu bergeser ke atas.

Keduanya yang sedang berkelahi terkejut melihat gerak Agung Sedayu yang demikian cepatnya sehingga sejenak keduanya berdiri saja sambil memandangi wajah Agung Sedayu yang tegang.

Tetapi sekali lagi terjadi sesuatu di luar dugaan Agung Sedayu, Swandaru, Sekar Mirah, bahkan kedua orang Tambak Wedi itu sendiri. Tiba-tiba Wuranta itu pun menjadi marah. Sambil menunjuk wajah Agung Sedayu dengan pedangnya ia berkata, “Adi Agung Sedayu, jangan terlampau sombong. Kalau kau ingin berkelahi, carilah musuhmu sendiri. Jangan kau ganggu aku. Apakah kau sangka aku tidak mampu menyelamatkan diriku sendiri? Kau sangka tanpa pertolonganmu aku akan semudah itu mati terbunuh? Adi, aku telah mengorbankan diriku dalam suatu pekerjaan yang sangat berbahaya. Sudah tentu aku tahu benar akibatnya. Apakah dengan demikian aku masih memerlukan pertolongan orang lain untuk keselamatanku.”

Agung Sedayu berdiri tegak seperti patung. Ia tidak mengerti apakah yang sedang dihadapinya. Ia merasa berbuat sesuatu yang seharusnya dilakukan. Tetapi ternyata Wuranta menganggapnya telah berbuat kesalahan. Karena itu, maka ia menjadi bingung dan untuk sesaat tidak tahu apa yang sebaiknya dilakukan.

“Adi,” berkata Wuranta kemudian, “kalau kau ingin melihat aku berkelahi, lihatlah dengan baik. Kalau kau ingin berkelahi pula, berkelahilah dengan lawan yang lain. Tetapi jangan ganggu aku. Kau dan aku adalah sama-sama seorang laki-laki. Kau dan aku mempunyai kesempatan yang sama. Karena itu carilah kesempatanmu sendiri apabila kau ingin menyombongkan diri. Apakah dengan demikian kau ingin menunjukkan kelebihanmu dari aku?”

Agung Sedayu menjadi semakin bingung. Ketika ia berpaling memandangi Swandaru, tampak anak muda yang gemuk itu menjadi bingung pula. Tetapi wajah Sekar Mirah tidak membayangkan kebingungannya, tetapi wajah itu membayangkan kecemasan.

Namun sejenak kemudian mereka dikejutkan oleh suara panah sendaren lamat-lamat di kejauhan. Panah sendaren yang dilepaskan oleh Ki Tanu Metir untuk memberi tanda kepada Untara yang berada di ambang pintu Padepokan Tambak Wedi itu.

Kedua orang Tambak Wedi itu agaknya mendengar juga suara panah sendaren itu. Karena itu mereka agaknya menjadi bertanya-tanya pula di dalam hati mereka. Apakah arti panah sendaren itu?

Sebelum kedua orang padepokan itu menyadari keadaannya, maka terdengar suara Swandaru, “Nah, sekarang jangan mencoba membuat ribut lagi di sini. Sekarang kau berdualah yang harus menyerah kepada kami. Bukankah kau mendengar suara panah sendaren itu? Itu adalah pertanda bahwa pasukan Pajang akan masuk ke dalam padepokan ini,”

Kedua orang itu terdiam sejenak. Dengan wajah yang dipenuhi oleh kebimbangan mereka saling berpandangan dan bertanya-tanya di dalam hati. Tetapi salah seorang dari mereka kemudian berkata. “Jangan mencoba menyelamatkan diri dengan cara yang licik itu. Kalian sudah berada di tangan kami. Kalian harus menyerah dan harus tunduk kepada segala perintahku.”

“Jangan mengigau,” potong Swandaru, “kalian sudah tidak akan dapat meloloskan diri lagi.”

Tetapi kedua orang itu tidak mau diperdayakan. Karena itu maka segera mereka bersiap untuk segera mulai dengan pertempuran lagi di dalam gubug yang kecil itu. Tetapi kali ini Agung Sedayu tidak mau terlibat lagi dalam kesulitan dengan Wuranta yang tiba-tiba saja marah-marah tanpa diketahui sebabnya. Karena itu, maka ia mengambil jalan lain. Tiba-tiba ia menghadap kepada orang padepokan Tambak Wedi yang seorang lagi. Ia harus mengalahkan orang itu segera. Lebih cepat dari waktu yang diperlukan oleh orang yang lain mengalahkan Wuranta. Dengan demikian, maka keadaan pasti akan terpengaruh karenanya. Yang seorang lagi itu pun pasti akan kehilangan keberanian untuk berkelahi terus.

Ketika kedua orang itu mulai bergerak, maka tiba-tiba saja Agung Sedayu meloncat dengan kecepatan yang hampir tidak dapat dilihat. Hampir tak masuk di akal Wuranta dan orang Tambak Wedi yang lain. Mereka seakan-akan tidak melihat Agung Sedayu itu berbuat sesuatu, tetapi yang mereka lihat adalah, pedang lawannya telah terlontar jatuh.

Orang yang kehilangan pedangnya itu pun berdiri saja dengan mulut ternganga. Bagaimana mungkin hal itu dapat terjadi. Ia hanya merasakan tangannya menjadi nyeri dan pedang itu terlepas justru pada saat ia mulai mempersiapkan dirinya. Waktu yang diperlukan oleh Agung Sedayu benar-benar tidak dapat dimengertinya.

“Nah, apakah katamu sekarang?” bertanya Agung Sedayu sambil mengacungkan pedangnya kepada orang itu. “Aku bukan Sidanti. Aku tidak akan membunuh lawanku yang sudah menyerah. Sekarang jawablah pertanyaanku. Apakah kau ingin menyerah atau ingin mencoba melawan. Kalau kau berkeras hati hendak berkelahi, maka saya persilahkan kau mengambil pedangmu.”

Orang itu berdiri kebingungan. Ia tidak mengerti, apakah Agung Sedayu itu berkata sebenarnya ataukah hanya sekedar bergurau saja. Tetapi sesaat kemudian ia mendengar Agung Sedayu itu berkata lagi, “Ayo. Ambil pedangmu, cepat! Ambil! Ambil!”

Orang Tambak Wedi itu benar-benar tidak mengerti maksud Agung Sedayu. Seperti orang yang kehilangan kesadaran ia berdiri saja membeku.

Tiba-tiba Agung Sedayu melangkah surut beberapa langkah. Sekali lagi ia berkata lantang, “Ambil pedangmu. Lawan aku. Cepat sebelum pedangku menembus jantungmu.”

Orang itu benar-benar tidak mengerti apa yang harus dilakukan. Kesempatan untuk mengambil pedangnya kembali itu seperti terasa di dalam mimpi. Tetapi seperti digerakkan oleh tenaga yang aneh ia melangkah, membungkuk mengambil pedangnya.

“Nah, kau sudah bersenjata lagi. Ayo, lawanlah Agung Sedayu.”

Orang itu masih berdiri tegak kaku seperti tiang-tiang batu di dalam gubug itu.

“Cepat!” bentak Agung Sedayu.

Tetapi tiba-tiba orang itu menggeleng. Dilemparkannya pedangnya sambil berkata, “Tidak. Tidak ada gunanya. Aku menyerah.”

Agung Sedayu menarik nafas dalam-dalam. Katanya, “Kau menyerah? Apakah kau tidak akan mencoba melawan aku?”

Sekali lagi orang itu menggelengkan kepalanya. “Tidak. Kau mampu bergerak seperti hantu. Cepat melampaui kecepatan mataku. Aku tidak akan mampu melawanmu.”

Agung Sedayu mengangguk-anggukkan kepalanya. Ketika ia berpaling dilihatnya orang Tambak Wedi yang seorang berdiri seperti patung pula. Wajahnya menjadi pucat dan dadanya berdebaran.

“Bagaimana kau?” bertanya Agung Sedayu.

“Tidak, tidak,” jawabnya gemetar.

“Tidak? Apa yang tidak?”

“Aku tidak berani melawan kalian. Aku menyerah.”

Agung Sedayu mengangguk-anggukkan kepalanya. Dengan sudut matanya ia mencoba memandangi wajah Wuranta. Ia tidak tahu, apakah yang tumbuh dan berkembang di dalam hatinya. Tetapi Agung Sedayu tidak dapat menangkap perasaan anak muda itu.

Wuranta sendiri berdiri tegak di tempatnya. Ia melihat kecepatan bergerak Agung Sedayu. Gerak yang tidak dapat dibayangkannya dapat dilakukan oleh anak yang dahulu adalah seorang anak yang tercela di antara kawan-kawan laki-laki sebayanya. Seorang pengecut dan pengikut. Bahkan kadang-kadang terlampau cengeng. Dalam permainan yang biasa saja, Agung Sedayu sering sekali menangis dan berlari-lari pulang mengadukan kepada ibunya.

Tetapi anak itu kini begitu tangkasnya bermain pedang.

Meskipun demikian, Wurata masih belum dapat menerima kenyataan itu. Kenyataan itu terlampau pahit baginya. Meskipun ia tidak dapat berkelahi setangkas Agung Sedayu, tetapi apa yang selama ini dikerjakan, tidak juga dapat dilakukan oleh Agung Sedayu. Bahkan ia berkata di dalam hatinya, “Tanpa aku, Sekar Mirah tidak akan dapat terlepas dari padepokan ini. Bahkan mungkin ia sudah kehilangan miliknya yang paling berharga di tangan Alap-alap Jalatunda.”

Sejenak ruangan itu menjadi sepi. Agung Sedayu menjadi ragu-ragu untuk berbuat sesuatu. Wuranta masih berdiri di tempatnya dengan pedang di tangan, sedang Sekar Mirah dan Swandaru pun berdiri saja seperti patung. Meskipun demikian, terasa ada pertanyaan-pertanyaan di dalam hatinya, apakah sebabnya maka tiba-tiba Wuranta bersikap demikian, sedang Sekar Mirah menjadi sangat bersedih karenanya. Samar-samar ia dapat meraba, apakah sebenarnya yang menyebabkan Wuranta bersikap kasar terhadap Agung Sedayu.

Yang menjadi semakin bingung adalah dua orang Tambak Wedi yang berdiri kaku dengan wajah yang pucat. Mereka melihat sesuatu yang kurang wajar pada kedua lawannya. Wuranta dan Agung Sedayu. Tetapi meskipun demikian mereka tidak berani berbuat sesuatu. Apa yang dilakukan Agung Sedayu ternyata benar-benar telah mempengaruhi perasaan mereka. Apalagi orang yang pedangnya telah terlempar jatuh tanpa dapat berbuat apa pun.

Dalam pada itu, di regol padepokan Tambak Wedi, pasukan berkuda yang langsung dipimpin oleh Untara sendiri berderap memasuki padepokan seperti banjir yang telah memecahkan tanggul. Debu yang putih berhamburan naik tinggi ke udara.

Begitu Untara mendengar tanda-tanda yang diberikan oleh Kiai Gringsing, maka ia tidak menunggu lagi. Ia percaya bahwa orang tua itu memiliki perhitungan yang cukup baik, sehingga tanda-tanda yang diberikannya dapat dipercayainya.

Tetapi meskipun demikian, Untara tidak menunjukkan kelemahannya. Ia menyadari bahwa pasukannya itu tidak cukup banyak untuk bertempur melawan kekuatan yang ada di Tambak Wedi. Karena itu, maka sebelum ia memasuki regol padepokan, pasukannya telah mendapat pesan daripadanya, untuk membuat gelar yang dapat memberi kesan kepada lawannya, bahwa pasukan berkuda itu cukup banyak.

Sesaat pasukannya memasuki regol padepokan, maka pasukan itu segera berpencar. Sebagian langsung masuk dalam-dalam ke dalam padepokan itu, melingkar, kemudian berlari hampir di sepanjang jalan kecil menuju ke banjar pimpinan, sedang yang lain memilih jalan yang lain. Tetapi tujuan mereka, seperti yang telah diancarkan Ki Tanu Metir lewat Wuranta adalah banjar pimpinan. Sementara itu pasukan yang lain, yang berjalan kaki pun sudah tidak terlampau jauh lagi dari padepokan itu. Bahkan mereka pun lamat-lamat telah mendengar tanda yang dilontarkan oleh Ki Tanu Metir, panah sendaren. Karena itu, maka pasukan itu mempercepat langkahnya, bahkan berlari-lari kecil.

Yang pertama-tama memberi tanda, bahwa perhitungan Ki Tanu Metir cukup baik adalah, bahwa Untara sama sekali tidak menjumpai seorang penjaga pun di regol padepokan. Pertanda ini adalah pertanda yang baik bagi Untara. Meskipun pada saat ia datang ke padepokan ini ia cukup berhati-hati, sehingga ia berada pada jarak yang cukup jauh, karena ia masih meragukan keadaan. Tetapi ternyata bahwa pintu gerbang padepokan ini seolah-olah telah terbuka lebar menyambut kedatangannya.

Kedatangan Untara benar tidak diduga-duga oleh orang-orang padepokan Tambak Wedi. Baik oleh orang-orang Tambak Wedi sendiri maupun oleh orang-orang Jipang yang berada di Tambak Wedi yang saat itu sedang bertempur satu sama lain dengan sengitnya. Karena itu, ketika mereka mendengar kuda berderap di dalam padepokan mereka, maka mereka terkejut bukan buatan. Segera mereka menyadari keadaan mereka. Tetapi sudah terlambat. Kawan-kawan mereka yang terbunuh di dalam perkelahian yang ribut tanpa dapat dikendalikan, sudah tidak terhitung lagi jumlahnya. Bahkan Ki Tambak Wedi sendiri sama sekali sudah kehilangan perhitungannya dalam menghadapi pasukan Untara di Jati Anom. Dengan marahnya ia berkelahi membunuh orang-orang Jipang seperti menebas ilalang. Meskipun demikian orang-orang Jipang itu telah membuatnya semakin marah, karena setiap kali Sanakeling berhasil menyusun kembali sekelompok orang-orang yang cukup kuat untuk melawan hantu Tambak Wedi itu. Demikian juga Sidanti dan Argajaya. Setiap kali mereka harus berhadapan dengan kelompok-kelompok yang teratur sebagaimana prajurit yang sedang bertempur. Meskipun Ki Tambak Wedi, Sidanti, dan Argajaya seakan-akan mampu menumpas lawannya, namun jumlah orang Jipang itu cukup memberikan perlawanan yang sengit. Dengan demikian, maka akibatnya adalah korban berjatuhan tanpa dapat dihitung lagi.

Dan kini mereka yang sedang dirobek-robek oleh perkelahian itu menghadapi kenyataan baru, kedatangan pasukan Untara dan Jati Anom. Kedatangan itu demikian mengejutkan sehingga perkelahian yang berlangsung di sudut-sudut halaman, di kebun-kebun di antara rumpun-rumpun bambu dan di jalan-jalan itu, tiba-tiba terhenti. Orang-orang Tambak Wedi dan orang-orang Jipang sejenak berdiri kaku dengan dada yang semakin berdebar-debar.

Sesaat kemudian mereka melihat kuda menyambar-nyambar di sekitar mereka. Mereka melihat kuda-kuda itu datang dari beberapa jurusan. Dengan demikian, maka dada mereka menjadi semakin berdebar-debar. Bahkan beberapa orang dari mereka pun menjadi bingung karenanya.

Sebelum mereka menyadari keadaan, maka di kejauhan mereka mendengar seseorang berteriak nyaring, “Atas nama pemerintah Pajang, kalian supaya menyerah.”

Sejenak halaman banjar itu dicengkam oleh keheningan. Mereka tidak lagi mendengar derap kuda berlari-lari. Tetapi mereka melihat samar-samar di balik dedaunan dan pagar halaman, ujung-ujung pedang prajurit Pajang yang duduk di punggung kuda.

Ki Tambak Wedi berdiri termangu-manggu. Ketika ia menebarkan pandangan matanya, maka dilihatnya mayat bergelimpangan. Mayat kawan dan mayat lawan. Beberapa puluh langkah daripadanya berdiri Sanakeling yang telah dibasahi oleh darahnya sendiri. Luka-lukanya membujur-lintang di tubuhnya. Namun ia masih mampu berkelahi seperti harimau lapar.

Di luar halaman banjar, Sidanti yang keringatnya juga sudah diwarnai oleh darah yang memercik dari luka-lukanya, berdiri dalam keragu-raguan. Apakah yang harus mereka kerjakan?

Dalam keheningan itu sekali lagi terdengar suara dikejauhan, “Atas nama Adipati Pajang, menyerahlah. Kalian telah terkepung rapat.”

Suara itu bergetar menyelusur dedaunan, cabang-cabang pepohonan. Ranting-ranting dan menyentuh setiap telinga orang-orang Padepokan Tambak Wedi dan orang-orang Jipang, sehingga dada-dada mereka pun bergolak karenanya.

Ki Tambak Wedi, Sanakeling, Sidanti, dan Argajaya masih berdiri kaku di tempatnya. Dari tempatnya masing-masing, mereka saling memandang dan saling bertanya, apakah yang sebaiknya mereka lakukan.

Sejenak kemudian Ki Tambak Wedi melambaikan tangannya kepada muridnya dan kepada Argajaya. Keduanya pun segera memenuhi panggilan itu. Sambil meloncati mayat-mayat kawan dan lawannya, mereka tergesa-gesa mendapatkan Ki Tambak Wedi.

“Apa yang akan kau lakukan?” gumam Ki Tambak Wedi kepada muridnya.

Dengan nafas terengah-engah Sidanti menyahut. “Terserah kepada Guru, apa yang harus kami lakukan.”

Ki Tambak Wedi terdiam sesaat. Dipandanginya wajah Argajaya. Tetapi seperti Sidanti, ternyata Argajaya itu pun menunggu perintahnya.

Dalam pada itu sekali lagi udara padepokan digetarkan oleh suara di kejauhan, “Bagaimana jawabmu Ki Tambak Wedi. Kalian telah terkepung. Menyerahlah kepada kami yang datang ke padepokanmu mengemban perintah dari Pimpinan tertinggi Wira Tamtama, atas nama Adipati Pajang.”

“Persetan!” Tambak Wedi menggeram.

“Apakah kita harus melawan mereka bersama-sama?” bertanya Sidanti.

“Jangan bodoh,” jawab gurunya.

“Lalu apa yang harus kita lakukan?”

“Kita telah berada di dalam keadaan yang paling sulit selama kita berada di padepokan ini. Tetapi apa boleh buat. Kita sudah terlanjur basah kuyup.”

“Ya, tetapi lalu bagaimana?” desak Argajaya.

“Kita harus melepaskan diri dari padepokan ini. Kita tidak akan mampu melawan orang-orang Pajang itu. Kekuatan mereka masih cukup segar, sedang kekuatan kita telah turun lebih dari separo, seandainya Sanakeling masih bersedia bergabung lagi.”

“Apakah aku harus melarikan diri?”

“Tetapi kalian harus bertempur dahulu. Dengan demikian maka kesempatan kalian untuk menghindarkan diri menjadi lebih banyak. Biarlah orang-orang lain kalian tinggalkan. Aku juga akan segera menyusul, sebab aku kira tidak ada gunanya melawan mereka.”

“Bagaimana dengan Sanakeling?”

Ki Tambak Wedi memandangi orang itu, Sanakeling masih berdiri tegak dalam kebimbangan. Tiba-tiba ia melihat Ki Tambak Wedi melambaikan tangannya memanggilnya.

Sanakeling berdiri termangu-manggu. Tetapi kemudian ia menggeleng sambil menggeram, “Kalau kau perlukan aku, datanglah kemari.”

“Gila,” Sidanti berdesis, tetapi Ki Tambak Wedi mencegahnya.

“Biarlah. Kita pergunakan orang bodoh itu untuk saat yang terakhir.”

“Lalu apakah yang akan kita lakukan?”

“Aku akan datang kepadanya.”

“Kenapa Guru harus merendahkan diri demikian?”

“Kita menghadapi bahaya yang cukup besar. Kita pergunakan Sanakeling supaya ia melindungi kita tanpa diketahuinya. Kita tidak usah memikirkan nasibnya. Ia pasti akan mati di tangan Untara.”

Sidanti sama sekali tidak rela melihat gurunya terpaksa mengalah mendatangi Sanakeling. Tetapi ia melihat, bahwa rencana gurunya itu adalah satu-satunya yang dapat dilakukan. Karena itu, maka betapa pun sakit hatinya, ia terpaksa melihat gurunya itu berjalan mendekati Sanakeling.

“Kita bersama-sama berada di dalam kesulitan,” berkata Ki Tambak Wedi kepada Sanakeling kemudian, “waktu kita tidak cukup panjang. Bagaimanakah sikapmu Sanakeling?”

“Aku tetap pada pendirianku. Pantang menyerah kepada orang-orang Pajang, tetapi aku ingin Sidanti aku bunuh sekarang juga.”

“Itu tidak mungkin kau lakukan. Kau akan dapat memilih salah satu di antara keduanya. Melawan Pajang atau melawan Sidanti.”

“Keduanya. Aku tetap dalam pendirianku.”

“Tetapi kau tidak akan dapat melakukan bersama-sama. Baiklah, kalau kau tetap bertekad demikian. Tetapi apakah yang pertama-tama kau lakukan?”

Sanakeling tidak menjawab.

“Aku mempunyai usul, selagi kekuatan kita masing-masing masih cukup kuat untuk melawan Untara. Kita bersama-sama melawan orang-orang Pajang, kemudian kita selesaikan persoalan kita. Kau akan mendapat kesempatan perang tanding melawan Sidanti.”

Sanakeling masih berdiam diri

“Adalah bodoh pada saat serupa ini kita membuka garis perang segi-tiga. Itu hanya akan menguntungkan Untara saja. Apakah hal ini kau sadari?”

“Baik,” tiba-tiba Sanakeling menggeram, “aku setuju usulmu. Kita bertempur melawan Untara, tetapi sesudah itu, aku harus mendapat kesempatan membunuh Sidanti.”

“Terserah kepadamu. Tetapi yang akan terjadi adalah perang tanding. Kesempatanmu sama dengan Sidanti. Membunuh atau dibunuh di dalam perkelahian itu.”

“Baik. Kesempatan itu aku terima.”

“Nah, sekarang terserah kepadamu. Tuntunlah pasukanmu yang masih tersisa. Aku akan membawa pasukan Tambak Wedi untuk melawan orang-orang Pajang itu. Kalau yang datang itu hanya pasukan berkudanya saja, maka kekuatan itu tidak terlampau besar.”

“Bagus,” sahut Sanakeling, “tetapi kau jangan ingkar janji.”

“Aku junjung tinggi sifat-sifat jantan di antara kita.”

Sanakeling mengangguk-anggukkan kepalanya. Sementara itu Ki Tambak Wedi kembali kepada Sidanti. Namun ia masih belum melihat pasukan Pajang mulai bergerak. Agaknya mereka menyangka bahwa Tambak Wedi sedang merundingkan syarat penyerahan. Bahkan ia masih mendengar lagi suara, “Apakah kalian menyerah?”

Sekilas Ki Tambak Wedi memandang Sanakeling. Dilihatnya wajah itu menegang. Bahkan kemudian menggeleng. Ki Tambak Wedi pun tersenyum di dalam hati. Namun mulutnya segera berteriak, “Tak ada seorang pun di antara kami yang berpikir untuk menyerah. Meskipun tubuh kami telah dibasahi oleh keringat dan darah, tetapi kami akan tetap dalam pendirian kami.”

Demikian Ki Tambak Wedi berhenti, maka terdengar Sanakeling berteriak, “Ternyata kalian, prajurit-prajurit Pajang, terlampau licik. Kalian mempergunakan kesempatan, selagi kita menyelesaikan masalah kami ke dalam. Tetapi tidak apa. Sisa-sisa yang ada pada kami cukup kuat untuk melawan kalian.”

Jawaban itu memang sudah diduga. Namun ternyata Untara tidak segera bertindak. Ia masih melihat keadaan yang dihadapinya. Namun sebagai seorang prajurit yang berpengalaman, maka segera ia berhasil menyesuaikan dirinya. Segera ia mengetahui dan menyadari sepenuhnya apa yang sedang dihadapi. Dengan mempertimbangkan pesan Ki Tanu Metir lewat Wuranta, sambil melihat apa yang terjadi saat itu, maka Untara mampu menarik kesimpulan dan langsung membuat perhitungan sebaik-baiknya. Sebenarnya ia mengharap kehadiran Ki Tanu Metir untuk mendapat pertimbangan, tetapi orang itu masih belum dilihatnya. Namun untuk bertindak lebih lanjut ia cukup berhati-hati. Ia tidak tergesa-gesa menyerbu lawannya yang sedang dengan tegang menunggunya. Tetapi dibiarkannya keadaan itu tetap tidak berubah. Sementara itu pasukannya yang berjalan kaki semakin lama menjadi semakin dekat. Di pintu gerbang, Untara telah menempatkan dua orang penghubung yang akan mengatur pasukannya yang segera akan menyusul. Sementara itu, ia dapat memperpanjang waktu dengan berbagai macam pertanyaan dan ancaman. Namun derap kuda pasukannya telah cukup membuat orang-orang Tambak Wedi dan orang-orang Jipang yang masih hidup menjadi bingung dan berkecil hati, seolah-olah kuda-kuda itu berada di segala jurusan.

Ketika Untara mendengar Sanakeling menjawab maka ia berkata pula, “Sanakeling, apakah kau masih tetap merasa bahwa pasukanmu cukup kuat untuk melawan Pajang?”

Dari balik segerumbul perdu Sanakeling melihat kepada Untara yang duduk di atas punggung kuda. Di belakangnya beberapa prajurit berkuda mengawalnya dengan kuat. Ujung-ujung pedang berkilat-kilat tersentuh oleh sinar matahari pagi yang semakin lama menjadi semakin cerah.

“Jumlah kami masih cukup!” teriak Sanakeling. “Jangan menyangka bahwa karena pertengkaran kecil di antara kami maka kekuatan kami menjadi susut.”

Untara tertawa. Katanya, “Apakah kau sangka kami di sini tidak melihat mayat yang bergelimpangan di halaman, di bawah rumpun-rumpun bambu dan gerumbul-gerumbul liar di kebun belakang, di jalan-jalan, bahkan bergayutan di pagar-pagar batu yang rendah itu?”



“Persetan dengan itu semua!” Ki Tambak Wedi-lah yang menyahut. “Kalau kau mau menyerang kami, marilah kami tunggu. Kenapa kalian masih berdiam diri saja di situ? Apakah kalian merasa bahwa kalian telah terperosok ke dalam lingkungan yang tidak kalian duga-duga. Kalian menyangka bahwa kami telah tumpas karena perselisihan yang tidak berarti ini? Untara, kamu salah. Ternyata, bahwa kami masih sanggup menyambut kedatanganmu. Ayo, kenapa kau diam saja di situ?”

“Jangan menggertak, Kiai,” sahut Untara, “pasukan kami cukup banyak. Tetapi adalah menjadi kebiasaan Wira Tamtama Pajang untuk tidak tergesa-gesa bertindak. Kami memberi kalian waktu. Dan waktu yang kami berikan untuk berpikir itu cukup panjang, supaya kalian tidak menyesal nanti.”

“Omong kosong!” teriak Ki Tambak Wedi. Kemudian kepada Sanakeling ia berkata, “Kalau Untara masih belum berbuat sesuatu, kitalah yang akan bergerak dahulu Sanakeling. Siapkan pasukanmu!”

“Bagus,” sahut Sanakeling. Namun ketika ia berpaling memandangi daerah sekitarnya hatinya menjadi berdebar-debar. Pasukannya sebagian besar telah musnah seperti orang-orang Tambak Wedi sendiri. Meskipun demikian ia tidak dapat menyerah. Maka berteriaklah ia kepada sisa-sisa pasukannya, “Hentikan permusuhan atas orang-orang Tambak Wedi. Kita mendapat lawan baru yang lebih gila dari orang-orang Sidanti.”

Sejenak orang-orangnya menjadi bingung. Tentu saja mereka tidak akan dapat melupakan permusuhan yang baru saja terjadi. Bahkan ada di antara mereka yang telah terluka dan sahabat-sahabatnya telah terbunuh di dalam perkelahian itu, tetapi kini mereka dihadapkan pada kenyataan baru, Wira Tamtama Pajang telah berada di ujung hidung. Bukan saja berada di Jati Anom.

“Sanakeling,” terdengar suara Untara, “kau masih membayangkan kebesaran pasukan Jipang pada masa-masa lampau. Kau telah gagal dalam gerakanmu di Utara. Kini kau akan mengalami kegagalan yang serupa. Apakah tidak lebih baik bagimu untuk menyerah?”

“Aku tidak pernah merasa gagal di Utara. Aku datang bersama orang-orangku karena panggilan Macan Kepatihan. Dan di sini pun aku tidak akan gagal pula. Kali ini aku akan menangkapmu dan menggantungmu di muka regol padepokan ini.”

“Aku atau kau Sanakeling? Mungkin kedua-duanya. Sesudah kau menggantung aku, maka kaulah yang akan digantung oleh Ki Tambak Wedi.”

Sanakeling terdiam. Sekilas ia berpaling ke arah Ki Tambak Wedi. Tetapi Ki Tambak Wedi-lah yang menyahut, “Setan Pajang yang licik! Apakah kau mencoba mempengaruhi tekad kami bersama-sama untuk melawanmu. Apa yang terjadi kemudian telah kami setujui bersama. Kau tidak akan berhasil dengan caramu. Ayo, Sanakeling, siapkan pasukanmu. Ternyata Untara tidak cukup kuat untuk bertindak. Kalau pasukannya cukup, maka ia tidak akan hanya berbicara saja di atas punggung kudanya.”

Dada Untara berdesir. Teryata perhitungan iblis lereng Merapi itu cukup cermat, sehingga ia dapat menebak keadaannya. Tetapi dengan pasukan yang ada, Untara tidak merasa cemas. Meskipun orang-orangnya tidak banyak, tetapi mereka semuanya berada di atas punggung kuda, sehingga gerak mereka pun akan jauh lebih cepat dari lawannya.

Meskipun demikian sebagai seorang senapati ia harus yakin atas perhitungannya, sehingga meskipun ia tidak mencemaskan pasukannya yang hanya sebagian itu, namun ia masih tetap menunggu. Untara masih cukup bersabar. Ia tidak akan mulai sebelum pasukannya datang, kecuali kalau Ki Tambak Wedi mendahului.

Dalam pada itu ia mendengar Ki Tambak Wedi itu berteriak, “Sanakeling, apakah pasukanmu sudah siap?”

Sanakeling memandangi orang-orangnya yang masih tersisa. Sebagian sudah berdiri berkelompok, sedang yang lain masih sedang menyusun diri. Namun sebagian dari mereka telah menjadi sangat letih. Meskipun demikian wajah-wajah mereka masih memancarkan tekad mereka sebagai seorang prajurit. Nyala di dalam dada orang-orang Jipang masih lebih hangat dari orang-orang Tambak Wedi sendiri.

Ketika Sanakeling melihat orang-orangnya telah berkelompok di beberapa tempat, di jalan-jalan dan di dalam halaman, maka ia berteriak, “Kau lihat sendiri Ki Tambak Wedi, orang-orangku masih tetap dalam keadaannya meskipun beberapa orang yang lain telah terluka dan bahkan terbunuh. Tetapi yang tersisa masih cukup kuat menghadapi siapa saja.”

***
Terdengar Sidanti dan Argajaya menggeram. Mereka juga melihat orang-orang Jipang itu dengan cepat telah menyusun dirinya kembali, sedang orang-orang Tambak Wedi masih juga tertatih-tatih mencari kawan-kawan di antara mereka. Namun meskipun agak lambat tetapi orang-orang Tambak Wedi itu akhirnya berhasil juga mengelompokkan dirinya.

“Ayo Untara, kenapa kau masih tetap diam? Pasukanku seluruhnya telah siap,” teriak Ki Tambak Wedi. Tetapi Sanakeling menyahut, “Pasukanku pun telah siap pula.”

Ki Tambak Wedi mengerutkan keningnya. Terasa betapa Sanakeling tidak mau lagi disebut dan dimasukkan ke dalam lingkungan pasukan Ki Tambak Wedi.

Tetapi Untara tertawa. Terdengar suara tertawanya sangat menyakitkan hati. Apalagi ketika Untara itu berkata, “Ki Tambak Wedi dan Sanakeling. Apakah kalian sangka aku tidak melihat orang-orang kalian yang merangkak-rangkak berkumpul di jalan-jalan itu? Apakah kalian menyangka bahwa aku bukan seorang prajurit yang dapat menilai pasukan? Seharusnya kalian tidak lagi memaksa orang-orang kalian yang telah menjadi kelelahan itu untuk bertempur. Kalian pasti sudah dapat menilai pula, bahwa prajurit-prajurit Pajang masih cukup segar menghadapi lawan, meskipun lawannya gabungan antara pasukan Tambak Wedi dan pasukan Sanakeling. Tetapi yang kedua-duanya telah terlampau payah karena pertengkaran di antara kalian sendiri.”

“Tetapi jumlah orang-orangmu terlampau sedikit Untara,” sahut Ki Tambak Wedi.

“Kau mencoba menghibur hatimu sendiri. Kau melihat pasukan berkuda ini?”

“Lima orang dari Utara, lima orang dari Selatan, lima dari Barat dan lima dari Timur. Begitu? Apakah aku harus kagum melihat pasukan yang tidak lebih dari jumlah jari-jariku?”

Untara menarik nafas dalam-dalam. Ternyata Ki Tambak Wedi mempunyai tangkapan yang baik, meskipun orang itu telah mencoba memperkecil arti pasukannya. Ia akan dapat menjadi seorang senapati yang cakap di medan perang.

“Siapakah sebenarnya orang tua-tua ini,” pikir Untara, “Ki Tambak Wedi, Ki Tanu Metir dan siapa lagi? Ternyata mereka mempunyai sikap dan pandangan serta perhitungan seorang prajurit.”

Untara itu mengangkat kepalanya ketika ia mendengar Ki Tambak Wedi berteriak, “Apa katamu, he Untara? Apakah tidak sebaiknya kau saja yang menyerah?”

Tetapi sekali lagi Untara tertawa. Jawabnya, “Kalau perhitunganmu benar Kiai, kenapa kau juga masih berdiam diri, bersama pasukanmu yang letih. Lihat, berapa orang yang berada, di belakangku. Jumlah ini sudah cukup meyakinkan bahwa dugaanmu terlampau jauh dari kebenaran.”

Ki Tambak Wedi menggeram, Tetapi ia pun tidak berani segera mulai. Ia sebenarnya juga menunggu Untara memasuki halaman dan daerah pertempuran yang sempit. Pasukannya beserta pasukan Sanakeling yang lelah, tidak akan dapat berkelahi dalam arena yang luas, apalagi melawan prajurit-prajurit berkuda. Tetapi agaknya Untara tidak segera bergerak. Dengan segala macam cara Tambak Wedi memancingnya, membuat Untara segera bertindak. Namun senapati yang meskipun masih muda, tetapi sudah cukup masak menghadapi medan itu masih tetap bersabar.

“Untara,” berkata Ki Tambak Wedi, “kalau kau berkata sebenarnya, kenapa kau masih duduk di situ seperti patung? Apakah tugasmu hanya berteriak-teriak saja sepanjang hari? Apakah tugas seorang Senapati Pajang itu hanya menakut-nakuti orang, mengancam kemudian menunggu orang-orang itu menyerah?”

“Sebagian benar, Kiai.”

“Setan alas!” Ki Tambak Wedi mengumpat.

Agaknya Sanakeling-lah yang sudah tidak sabar lagi. Luka-lukanya semakin lama terasa semakin pedih. Karena itu, maka ia tidak ingin membiarkan dirinya menjadi lemah karena darahnya yang meskipun hanya setetes-setetes meleleh dari luka-lukanya. Maka dengan garang ia berkata, “Kitalah yang akan mulai. Jangan terpancing ke segenap arah. Kita pusatkan pasukan kita kepada senapati yang hanya pandai berteriak-teriak itu saja. Pasukannya yang lain pasti akan terhisap ke sana. Bukankah kita menginginkan medan yang sempit?”

“Bagus,” sahut Untara, “ternyata kau cukup berterus terang mengatakan cara yang kau pilih.”

“Tak ada gunanya berahasia. Kau pasti mampu menebak,” sahut Sanakeling, yang sejenak kemudian berteriak memberi aba-aba kepada pasukannya.

Pasukannya yang letih itu pun segera bersiap. Meskipun keringat mereka seolah-olah telah terperas habis, dan bahkan titik-titik darah telah membasahi pakaian mereka, namun mata mereka masih tetap menyiratkan dendam dan kebencian. Apalagi ketika mereka mendengar Sanakeling berkata, “Jangan biarkan diri kalian tertangkap hidup. Kalian akan menjadi tontonan di sepanjang jalan kota Pajang.”

Untara melihat pasukan yang sudah menjadi sangat lelah itu mulai bergerak. Kemudian disusul oleh pasukan Ki Tembak Wedi langsung di bawah pimpinan Ki Tambak Wedi, Sidanti, dan Argajaya sendiri. Seperti yang dikatakan oleh Sanakeling, mereka semuanya menyergap ke arah Untara bersama para pengawalnya.

Untara menarik nafas, ia melihat para pemimpin dan pasukan lawannya yang perlu mendapat perhatiannya, Ki Tambak Wedi, Sanakeling, Sidanti dan Argajaya. Untuk melawan mereka Untara memerlukan kelompok-kelompok khusus. Tak akan ada orangnya yang mampu berhadapan dengan salah seorang dari keempatnya, selain dirinya sendiri menghadapi salah seorang dari para pemimpin pasukan lawannya kecuali Ki Tambak Wedi.

Namun, selain para pemimpinnya, maka sebenamya pasukan Tambak Wedi dan Sanakeling itu sudah terlampau lemah, setelah mereka berkelahi sesamanya. Bahkan dalam pasukan yang sudah siap melawan pasukan Untara itu pun mereka tidak dapat bercampur dalam satu baris perlawanan. Tampaklah bahwa masing-masing berada di dalam lingkungannya sendiri.

“Apakah kalian benar-benar tidak menyadari keadaan diri,” teriak Untara.

“Jangan banyak bicara!” sahut Sanakeling sambil membawa pasukannya semakin maju.

Untara merasa bahwa ia tidak akan dapat mengulur waktunya. Karena itu, maka dipanggilnya salah seorang perwira bawahannya. Diberikannya beberapa petunjuk untuk melawan para pemimpin dari padepokan ini.

“Hati-hatilah dengan iblis yang tua itu. Jangan kurang dari sepuluh orang. Sedang anak muda yang bernama Sidanti itu, cobalah melawan bersama tiga atau empat orang. Demikian juga yang lain itu, yang aku kira adalah adik Argapati dari Menoreh seperti yang dipesankan oleh Ki Tanu Metir. Sedang Sanakeling, serahkan ia kepadaku. Akulah yang berkewajiban untuk menangkapnya hidup-hidup, apabila mungkin. Kalau tidak, aku terpaksa menyelesaikannya demi tugasku.”

Perwira Wira Tamtama itu mengangguk-anggukkan kepalanya, ia menyadari bahwa tugas itu bukan tugas yang ringan. Meskipun di hadapannya berjalan prajurit-prajurit yang lemah dan tertatih-tatih menyeret tombak dan pedang mereka, tetapi menghadapi para pemimpinnya, maka masih banyak diperlukan tenaga.

Sekilas perwira itu memandang berkeliling. Pasukannya memang tidak begitu banyak. Tetapi cukup untuk membuat orang-orang Tambak Wedi dan orang-orang Jipang menjadi bingung. Dengan tangannya perwira itu memanggil beberapa orang bawahannya. Diberikannya beberapa keterangan. Hanya mereka yang berada di atas kuda-kuda yang cukup tangkas dan dapat dikuasai dengan baiklah yang dipilihnya untuk melawan Ki Tambak Wedi yang mengerikan itu.

Pasukan yang dibawa oleh Sanakeling semakin lama menjadi semakin dekat. Sementara itu beberapa ekor kuda dari para prajurit Pajang telah bergerak pula menyusun diri. Beberapa orang bergabung dalam satu kelompok untuk menghadapi orang-orang yang mempunyai banyak kelebihan dari para prajurit itu sendiri.

Tetapi ternyata Untara bukan anak-anak yang lagi bermain perang-perangan. Ia mampu menilai keadaan dan membuat perhitungan yang tepat. Ketika orang-orangnya telah tersusun, meskipun dengan terpaksa ia harus memanggil beberapa orang yang datang dari jurusan lain, maka ia mulai menggerakkan pasukannya pula. Tetapi Untara tidak menyongsong pasukan yang datang ke arahnya. Dengan sebuah tanda-tanda pedang Untara ternyata menggerakkan pasukannya yang berada di arah yang bertentangan dengan dirinya, meskipun hanya beberapa orang saja.

Sejenak kemudian orang-orang Tambak Wedi dan orang-orang Jipang mendengar ringkik kuda justru di belakang mereka. Ketika mereka berpaling, maka mereka melihat bayangan yang bergerak-gerak di belakang dedaunan mendekati mereka.

“Setan alas!” teriak Tambak Wedi. “Kau mulai dengan licik, Untara?”

“Bukankah sudah aku katakan, bahwa pasukanku telah mengepung kalian.”

“Persetan!” teriak Sanakeling. Dengan gigi gemeretak, maka ia berteriak pula, “Jangan songsong mereka. Biarkan mereka maju. Kita tetap bertempur dalam medan yang sempit.”

“Hem,” Untara menarik nafas, “meskipun orang itu sudah hampir kehabisan tenaga, namun sikap senapatinya masih cukup baik.”

Perwira bawahannya yang duduk di atas punggung kuda di sampingnya menganggukkan kepalanya. “Otaknya cukup baik,” gumamnya.

Untara pun kemudian harus mengambil sikap berikutnya. Ternyata ia tidak berhasil mengacaukan orang-orang Jipang. Namun orang-orang Tambak Wedi tampak menjadi agak kebingungan. Apalagi ketika kuda-kuda di belakang mereka menjadi semakin dekat.

“Kalian bukan anak-anak yang dungu,” teriak Sanakeling, “kalian dapat menghindarkan diri dari kuda-kuda itu. Pergunakan dinding-dinding halaman, dan cepat, tutup regol halaman itu.”

Sekali lagi Untara menarik nafas. Desisnya, “Bukan main.”

Sementara itu ia melihat orang-orangnya tidak mampu mencapai regol halaman, lebih cepat dari orang-orang Jipang. Ternyata orang-orang Jipang telah berhasil menutup regol itu, kemudian memasang palangnya yang kuat sebesar lengan.

Dan Untara mendengar Sanakeling berteriak lagi kepada orang-orangnya yang berada di jalan-jalan, “Bersiaplah kalian. Hindarkanlah serangan yang licik itu. Masuk, meloncati pagar batu ke halaman sebelah-menyebelah. Pusatkan seranganmu kepada Senapati Pajang yang hanya pandai menakut-nakuti itu saja.”

Tetapi Untara bukan pula orang yang mudah menjadi bigung menghadapi kenyataan itu, sehingga ia pun berteriak, “Tunggu sajalah orang-orang Jipang itu merangkak kemari. Kalau mereka benar-benar ingin menyergap aku, mereka pasti akan keluar dari halaman banjar desa. Nah, kesempatan bagi kalian akan datang juga akhirnya. Meskipun kini mereka berloncatan masuk. Hematlah tenaga kuda kalian, supaya kalian sempat melihat orang-orang Tambak Wedi dan orang-orang Jipang bertekuk lutut di hadapan kita.”

Mendengar teriakan Untara itu, Sanakeling menggeram. Sejenak ia berpikir. Untara ternyata melihat kemungkinan yang pasti akan datang pula, yaitu pasukannya keluar dari halaman banjar itu, dengan meloncati dinding batu dan menyerbu ke arahnya. Dan Untara tiba-tiba memerintahkan pasukannya diam menunggu setelah ia keluar dari halaman itu.

“Memang sia-sia aku memerintahkan menutup pintu regol itu,” pikir Sanakeling, “sebentar lagi aku sudah akan keluar dari halaman ini.”

Tetapi tiba-tiba Sanakeling melihat keuntungannya pula. Halaman di sebelah tidak seluas halaman banjar, sehingga kesempatan berkelahi dengan kuda tidak terlampau banyak, Halaman itu di kelilingi oleh dinding batu pula.

Melihat hal itu Sanakeling mengerutkan keningnya. Tetapi ia tidak berkata apa pun. Ia melihat kuda-kuda prajurit Pajang bergeser mendekati Untara.

Sejenak Sanakeling itu berpaling. Kini ia melihat Ki Tambak Wedi, Sidanti, dan Argajaya bersama pasukan Tambak Wedi menjadi semakin maju pula. Mereka mendekati halaman sebelah lewat sisi yang lain dari yang dilewati Sanakeling. Sanakeling sendiri tidak ingin menggabungkan pasukannya dalam satu lingkaran perkelahian menghadapi pasukan Untara. Mereka bertempur dalam lingkungan sendiri-sendiri. Apabila pasukan Tambak Wedi itu tidak sekuat prajurit-pasukan Jipang, biarlah pasukan itu musnah lebih dahulu.

Akhirnya mereka telah sampai pada dinding halaman banjar itu, dan sesaat lagi mereka akan meloncatinya.

Untara menjadi berdebar-debar. Pasukan lawan itu sudah tidak begitu kuat. Tetapi apakah pasukannya yang hanya berjumlah sedikit itu mampu melawannya? Untunglah bahwa pasukan lawan itu sudah terlampau letih.

Tetapi Untara tidak dapat tinggal diam lebih lama lagi. Ketika orang yang pertama telah menjejakkan kakinya di halaman tempatnya menunggu, maka segera ia menjatuhkan perintah pula untuk segera bertindak.

Beberapa orang segera meluncur maju di atas kudanya. Orang yang pertama itu ternyata bernasib kurang baik. Ia tidak sempat berbuat sesuatu ketika prajurit Pajang itu menyerangnya dari atas punggung kuda. Orang yang pertama itu adalah orang Sanakeling.

Terdengar Sanakeling menggeram semakin keras. Terdengar giginya gemeretak. Selanjutnya ia sendirilah yang meloncati pagar bersama-sama dengan beberapa pengawalnya yang terpilih.

Untara yang melihat Sanakeling, segera bergerak pula. Adalah menjadi kewajibannya untuk menangkap sisa-sisa Senapati Jipang itu, sementara seorang perwira bawahannya telah menyiapkan diri bersama kelompoknya menyambut pasukan Tambak Wedi yang telah berada di sisi dinding halaman itu pula.

Pasukan berkuda itu pun segera berpencaran. Tiba-tiba orang-orang Jipang itu terkejut ketika mereka mendengar derap kuda di belakang mereka. Bahkan Ki Tambak Wedi sendiri tertegun pula karenanya. Ternyata dua orang prajurit Pajang telah meloncat turun dari kuda-kuda mereka dan masuk ke dalam halaman itu dengan diam-diam untuk membuka regol halaman. Sedang lawan-lawan mereka telah mencurahkan seluruh perhatiannya kepada Untara dan para pengawalnya.

Kuda-kuda itu berderap menyerang orang-orang Jipang dan orang-orang Tambak Wedi yang telah berkumpul di sepanjarg dinding halaman, menunggu giliran mereka untuk meloncat. Tetapi karena serangan yang datang tiba-tiba, meskipun hanya dari beberapa ekor kuda itu, mereka terpaksa mempertahankan diri mereka, sehingga pasukan itu menjadi agak terganggu karenanya. Kawan-kawan mereka yang telah meloncat dinding halaman di seberang telah disambut pula oleh pasukan berkuda Untara, dan yang masih tinggal di halaman ini pun telah mendapat serangan pula dari arah yang berlawanan. Sedang kawan-kawan mereka yang mencoba menyerang jalan di muka halaman itu pun terpaksa menghentikan langkah-langkah mereka dan terpaksa mereka harus melayani kuda-kuda yang menyambar di jalanan itu pula.

Tetapi ternyata jumlah orang-orang Jipang dan orang-orang Tambak Wedi masih cukup banyak. Meskipun mereka sudah menjadi sangat letih namun jumlah mereka masih cukup untuk menahan arus prajurit-prajurit berkuda dari Pajang yang terlampau sedikit jumlahnya.



Untara yang sudah siap untuk menyongsong Sanakeling tertegun sejenak ketika ia melihat dengan tiba-tiba saja Ki Tambak Wedi melepaskan sebuah gelang-gelang besinya. Senapati dari Pajang itu menahan nafasnya sejenak ketika ia melihat seorang anak buahnya terpelanting dari kudanya oleh gelang-gelang besi itu. Korban anak buahnya yaug pertama. Anak buahnya yang tidak begitu banyak.

“Gila,” desis Untara dengan kemarahan yang menghentak-hentak di dadanya.

Sekilas ia memandang perwira yang diserahinya untuk melawan Tambak Wedi. Untara melihat perwira itu mengerutkan keningnya. Namun apa yang terjadi merupakan peringatan baginya bahwa melawan orang itu adalah pekerjaan yang berbahaya. Tetapi di samping itu, perwira itu mendapat petunjuk pula, bahwa setiap kesempatan bagi Tambak Wedi untuk melepaskan gelang besinya akan berarti maut. Dengan demikian, maka serangan-serangan terhadapnya harus datang beruntun, seperti ombak yaug menghantam pantai tanpa sekejap pun waktu yang boleh diabaikan.

Tetapi Ki Tambak Wedi itu masih berada di seberang pagar dinding halaman, sehingga kelompoknya masih belum dapat menyergap iblis lereng Merapi itu. Namun perwira itu bukan seorang yang hanya mampu menunggu perintah Untara. Sambil menunggu Tambak Wedi, maka kelompoknya beserta orang-orang yang telah disiapkannya menunggu Sidanti dan Argajaya, segera menyerbu ke arah orang-orang Tambak Wedi yang telah meloncati pagar halaman banjar. Sedang prajurit-prajurit Pajang yang di halaman seberang, segera melibatkan diri dalam pertempuran yang ribut, justru untuk mengurangi kesempatan Ki Tambak Wedi membidik salah seorang daripada mereka. Kuda-kuda itu menyambar silang-menyilang pada tempat yang paling jauh dari Ki Tambak Wedi yang sangat berbahaya itu.

Ki Tambak Wedi mengerutkan keningnya. Ia melihat pertempuran sudah menjalar di mana-mana. Ia melihat orang-orang berkuda di halaman banjar menyerang orang-orang Jipang agak jauh daripadanya. Sedang di hadapan dinding batu halaman itu, orang-orangnya sendiri telah terlibat pula dalam pertempuran yang sengit dengan orang-orang berkuda dari Pajang. Bahkan orang-orang berkuda itu agaknya lebih tangkas dari orang-orang yang bertempur di halaman banjar.

Tiba-tiba Ki Tambak Wedi menarik nafas dalam-dalam. Ia sama sekali tidak berminat lagi untuk menyerang orang-orang yang berada di halaman banjar dengan gelang-gelangnya. Orang-orang Pajang itu ternyata kini sedang bertempur dengan orang-orang Jipang. Perhatiannya kini di tujukan kepada orang-orangnya yang telah meloncati dinding halaman.

Ki Tambak Wedi adalah seorang yang mempunyai pandangan yang jauh dan cukup terang. Ia tidak percaya bahwa Untara hanya akan bertempur dengan orang-orangnya itu. Perhitungannya telah mengatakan kepadanya, bahwa di belakang barisan berkuda ini pasti akan segera menyusul pasukannya yang lain. Tetapi ia sengaja tidak mengatakannya kepada siapa pun, sebab ia sengaja membiarkan perkelahian ini berkecamuk terus untuk memberinya kesempatan melarikan diri.

Sedang Sanakeling yang sedang menjadi mata gelap karena persoalan yang bertubi-tubi, tidak sempat membuat perhitungkan lain. Meskipun ia telah menduga bahwa prajurit Pajang mungkin akan bertambah, namun ia merasa bahwa pasukan yang ada akan segera dapat mengatasi keadaan melawan pasukan Untara yang tidak begitu kuat. Kemudian sesudah ini, entahlah apa yang akan dilakukannya. Melarikan diri, bersembunyi atau apa pun untuk mendapat kesempatan bertempur dengan Sidanti.

Pertempuran di halaman banjar, di halaman sebelah, di jalan-jalan pun menjadi semakin seru. Untara ternyata tidak dapat mengingkari kenyataan bahwa jumlah orang-orang Jipang dan Tambak Wedi masih cukup berbahaya bagi anak buahnya. Karena itu, maka ia harus berhati-hati, dan menjaga supaya pasukannya mampu bertahan sampai pasukannya yang lain datang ke padepokan ini.

Hatinya menjadi berdebar-debar ketika ia melihat Sidanti, Argajaya, dan sebagian besar orang-orangnya telah meloncati halaman. Bahkan kemudian Ki Tambak Wedi pun kini telah berdiri di atas dinding batu melihat keseluruhan dari pertempuran itu.

“Dari sana setan itu akan dapat membidik setiap orang yang dikehendaki,” desis Untara di dalam hatinya. Namun ternyata perwira bawahannya pun telah memperhitungkannya pula. Karena itu, maka hampir bersamaan beberapa ekor kuda menyambarnya beruntun, sedang penunggangnya mencoba menyentuh tubuh itu dengan pedang.

Ki Tambak Wedi yang sedang memperhitungkan pertempuran itu terkejut mendapat serangan yang tiba-tiba. Sekali lagi terpaksa meloncat turun ke halaman banjar. “Gila,” desisnya.

Pada saat yang demikian, pada saat pasukan Untara berada dalam keadaan, yang cukup gawat, seorang penghubung telah mendatanginya. Karena itu maka Untara tidak segera menyerang Sanakeling. Diterimanya penghubung itu dengan harapan, bahwa pasukannya yang berjalan kaki telah datang. Dibiarkannya beberapa orang lebih dahulu menahan Sanakeling dan pasukannya.

Ternyata harapannya itu terjadi. Penghubung itu mengabarkan bahwa pasukannya yang berjalan kaki kini telah memasuki pintu gerbang padepokan itu.

“Bagus,” desis Untara, “bawalah mereka langsung ke pertempuran ini. Aku kini mempunyai perhitungan bahwa kita akan segera menyelesaikan tugas kita. Usahakan pasukan itu mengepung pertempuran ini, usahakan bahwa tidak seorang pun dapat lolos, termasuk Ki Tambak Wedi itu.”

Penghubung itu pun segera melakukan tugasnya. Dengan cepat menemui pasukan yang baru datang memasuki regol padepokan Tambak Wedi, yang seakan-akan terbuka tanpa seorang penjaga pun bertugas di tempat itu.

Pasukan itu pun dengan tergesa-gesa melakukan perintah Untara. Dengan diam-diam pasukan itu menebar dan segera mendekati tempat pertempuran itu dari segala arah.

Tepat pada saat-saat Untara merasa terdesak, dan memerlukan bantuan dari pasukannya itu, pertempuran itu telah dikejutkan oleh kehadiran prajurit Pajang yang lebih banyak dari prajurit-prajurit berkuda. Ki Tambak Wedi yang melihat kedatangan pasukan itu, menggeram. Meskipun ia telah menduga bahwa hal itu akan terjadi, namun kedatangan itu agak terlampau cepat dari perhitungannya. Dan iblis itu tidak habis berpikir, siapakah yang telah membawa Untara itu memasuki padepokannya. Siapakah yang telah memberitahukan kepada senapati yang seakan-akan memiliki beribu telinga dan mata itu, bahwa pasukan di padepokannya sedang kisruh di antara mereka sendiri, sehingga Senapati Pajang yang masih muda itu, tiba-tiba saja telah berada di padepokannya.

Sedangkan Sanakeling, Sidanti, dan Argajaya pun tidak kalah terkejut seperti setiap prajurit Jipang dan Tambak Wedi yang lain.

Dengan kehadiran pasukan itu maka keadaan hampir telah dapat diperhitungkan, bagaimana akan berakhir. Karena itu, maka dalam hiruk-pikuk pertempuran, Untara masih mencoba sekali lagi berteriak sekeras-kerasnya, katanya, “He, Sanakeling dan Ki Tambak Wedi, apakah kalian masih tetap dalam pendirian kalian untuk tidak menyerah? Sebaiknya kalian membuat pertimbangan-pertimbangan baru. Kini keadaan telah memberikan keyakinan, bagaimana akan jadinya pasukan kalian apabila kalian tetap berkeras kepala?”

Yang menyahut adalah Ki Tiambak Wedi dengan suara yang tidak kalah kerasnya, “Hanya betina-betina pengecut sajalah yang menyerah dalam pertempuran seperti ini. Ayo Uutara, kerahkan semua prajuritmu. Gelang-gelang besiku tidak terbatas jumlahnya. Aku akan membunuh mereka satu demi satu dari atas dinding halaman itu.”

Namun Untara menyahut, “Jangan membual. Betapa tinggi kesaktian yang kau miliki, tetapi tenaga manusia pasti mempunyai batas. Kau tidak akan dapat melawan duapuluh lima orang sekaligus.”

Ki Tambak Wedi menggeram mendengar kata-kata Untara itu. Meskipun demikian ia menyadari bahwa kata-kata itu mengandung kebenaran. Ia tidak akan dapat melawati duapuluh lima orang sekaligus. Apalagi apabila orang yang berjumlah duapuluh lima itu seakan-akan tidak dapat berkurang. Sebab apabila salah seorang dari mereka terbunuh, maka orang lain lagi datang menggantikannya.

Tetapi Ki Tambak Wedi harus tetap di tempatnya. Bahkan apabila mungkin ia harus tetap membakar hati Sanakeling untuk bertempur terus bersama orang-orangnya, sementara ia mendapat kesempatan untuk melarikan diri. Jangankan orang-orang Jipang, sedang orang-orangnya sendiri, Ki Tambak Wedi tidak segan-segan untuk mengorbankannya. Baginya sudah tidak akan ada gunanya lagi mempertahankan padepokan yang sudah mulai runtuh itu. Biarlah yang tidak dapat diselamatkan ini runtuh sama sekali, tetapi asal dirinya sendiri dan muridnya yang kelak akan meneruskan perguruannya dapat diselamatkannya. Itulah sebabnya, maka perhitungan Tambak Wedi kini sama sekali tidak tertuju pada keseimbangan pasukan lagi, tetapi bagaimana ia mendapat perisai untuk membebaskan dirinya.

Sanakeling yang sedang dibakar oleh keadaan itu, sama sekali tidak menyangka, bahwa Ki Tambak Wedi, Sidanti, dan Argajaya telah bersiap untuk menghianatinya. Apalagi ketika ia melihat, bahwa pasukan Tambak Wedi sendiri benar-benar telah ditelan oleh peperangan yang dahsyat. Sanakeling masih sempat melihat Sidanti meloncat-loncat di tengah-tengah api peperangan itu, sedang di sampingnya itu melihat Argajaya mengamuk seperti harimau luka. Sedang Ki Tambak Wedi sendiri melakukan apa yang dikatakannya. Dari atas dinding batu ia melontarkan beberapa gelang besinya. Setiap kali ia melepaskan senjatanya itu, terdengar lawannya mengaduh, dan kemudian jatuh terbanting di tanah. Tetapi ia tidak dapat bertahan di tempatnya terlampau lama. Beberapa orang terpilih selalu menyerangnya. Kini bukan saja orang-orang berkuda yang menyambar-nyambarnya seperti burung-burung elang yang beriringan, tetapi orang-orang yang berdiri di atas kaki mereka pun datang beruntun seperti arus banjir yang melanda tanggul. Terus-menerus tidak pernah terputus. Dengan demikian maka akhirnya Ki Tambak Wedi itu harus sekali lagi meloncat turun dan bertempur di antara perkelahian yang hiruk-pikuk.

Namun iblis yang licik itu tersenyum di dalam hati, ketika ia melihat Untara meloncat turun dari kudanya dan dengan mantap mendapatkan Sanakeling. Sejenak kemudian keduanya telah terlibat dalam perkelahian yang sengit di antara anak buah masing-masing.

Meskipun Sanakeling tidak setangguh Tohpati yang bergelar Macan Kepatihan, namun melawan orang ini pun Untara harus cukup berhati-hati. Apalagi ketika tumbuh keinginan di dalam hatinya untuk menangkap Sanakeling hidup-hidup. Apabila demikian, maka Sanakeling akan dapat dipergunakannya untuk alat di bagian-bagian lain daripada bekas kekuasaan Demak, untuk menenteramkan sisa-sisa pasukannya yang liar. Apalagi di bagian Utara, bekas medan tempur yang dipilihnya. Gerombolan-gerobolan kecil yang masih berkeliaran di tempat itu pasti akan patah tekad dan kemauan mereka, apabila mereka mendengar dan melihat, bahwa Sanakeling benar-benar telah tertangkap.

Tetapi Sanakeling sendiri sudah bertekad, bahwa jangan seorang pun di antara mereka yang tertangkap hidup. Itu adalah suatu peristiwa yang sangat memalukan baginya dan bagi orang-orangnya. Mereka akan mengalami penghinaan yang jauh lebih berat daripada mati bagi seorang prajurit. Sebab menurut gambaran angan-angan Sanakeling, apabila mereka tertangkap hidup, maka mereka akan diarak di sepanjang jalan. Orang-orang yang melihat mereka akan bersorak-sorak sambil melempari mereka dengan batu. Kemudian mereka akan diikat di alun-alun. Karena mereka telah menyia-nyiakan kesempatan pertama untuk menyerah, maka mereka akan mendapat hukuman picis. Mati pelahan-lahan di tiang hukuman, karena goresan-goresan pisau setiap orang yang lewat sambil menaburi luka mereka dengan garam dan air asam.

Karena itu, maka yang terjadi selanjutnya adalah pertempuran yang sangat dahsyat. Orang-orang Jipang yang putus asa, berkelahi membabi buta. Demikian juga orang-orang Tambak Wedi yang menganggap, bahwa peperangan ini bagi mereka adalah mempertahankan padepokan mereka. Mereka menganggap bahwa adalah menjadi kuwajiban mereka untuk mempertahankan setiap jengkal tanah dengan darahnya dan bahkan nyawanya.

Untara yang langsung bertempur melawan Sanakeling merasakan, betapa Sanakeling telah kehilangan segala macam pertimbangannya. Seakan-akan wajah orang yang hitam itu telah memancarkan tekadnya, tidak untuk bertempur dan membinasakan lawannya, tetapi perkelahian itu hanya merupakan alat baginya untuk membunuh diri. Dalam keadaan itu Sanakeling telah lupa segala-galanya. Lupa kepada Sidanti dan janjinya untuk melakukan perang tanding. Meskipun demikian, sepasang senjata Sanakeling tetap berbahaya bagi Untara. Bindi di tangan kiri dan pedang di tangan kanan adalah pasangan senjata ciri kegarangan Sanakeling. Dan sepasang senjata itu kini menyambar-nyambar mengerikan. Namun, yang dihadapinya adalah Senapati Pajang yang bertugas langsung menyelesaikan persoalannya di daerah itu. Meskipun Untara hanya bersenjata tunggal, tetapi senjata itu cukup lincah untuk melawan sepasang senjata lawannya yang mengerikan.

Di sisi lain, Sidanti dan Argajaya pun mengalami tekanan yang tidak mudah diatasinya. Empat lima orang sekaligus mengepungnya dengan rapat dan rapi, seakan-akan mereka sengaja disiapkan untuk melawannya. Setiap kali mereka berpaling ke arah Ki Tambak Wedi yang berkelahi di sampingnya, maka setiap kali mereka melihat bahwa orang tua itu pun ternyata sedang sibuk melayani musuh-musuhnya. Betapa buasnya seekor harimau, namun melawan serigala yang baik, yang jumlahnya tidak terbatas, maka akhirnya harimau itu pun akan jatuh terkapar di tanah.

Demikian pula agaknya nasib iblis lereng Merapi yang merasa dirinya tak terkalahkan, apabila ia masih tetap berada di pertempuran itu. Karena itu, maka setelah pertempuran itu menjadi semakin ribut, sampailah ia pada rencananya. Menghindar dari padepokannya yang sebentar lagi akan hancur dilanda arus prajurit Pajang.

Tetapi sudah barang tentu ia tidak akan dapat pergi begitu saja, sebab prajurit Pajang telah mengepungnya dengan ketat. Juga ia tidak boleh dilihat oleh orang-orang Jipang yang sedang berkelahi mati-matian, bahkan oleh orang-orangnya sendiri.

Itulah sebabnya, maka setelah keputusannya jatuh untuk melarikan diri, Ki Tambak Wedi itu tampaknya menjadi semakin garang. Dilontar-lontarkannya beberapa gelang besinya dan diamuknya setiap orang yang dekat. Orang tua yang mengerikan itu berloncatan kian-kemari, menyusup di antara kawan dan bahkan di antara lawan. Dengan demikian, maka pertempuran menjadi kacau. Beberapa orang menjadi ngeri melihat tandangnya.

Sidanti melihat sikap gurunya itu. Segera ia tanggap pada keadaan, sehingga dengan isyarat ia memberitahukannya kepada pamannya untuk mempersiapkan diri meninggalkan perkelahian.

Betapa kisruhnya perkelahian itu, sehingga ketiga orang yang limpat tetapi licik itu akhirnya berhasil menyusup ke dalam pasukan sendiri, perlahan-lahan mereka berlindung di antara orang-orang Tambak Wedi yang berkelahi membabi buta. Setiap kali mereka mendengar Tambak Wedi membakar nafsu mereka dengan meneriakkan beberapa kata-kata. Menyusupkan pengertian, bahwa mereka sedang berkelahi untuk kepentingan kampung halaman. Sedumuk batuk, senyari bumi, totohane pati.

Ki Tambak Wedi, Sidanti, dan Argajaya kemudian dengan saling memberikan isyarat, melepaskan diri dari setiap ikatan peperangan yang kacau. Mereka adalah orang-orang yang mengenal padepokan itu dengan baiknya. Segala sudut dan seginya telah mereka ketahui dengan saksama. Itulah sebabnya, maka mereka berhasil melenyapkan diri mereka di balik pagar dinding yang rendah, di belakang garis peperangan itu. Kemudian menyusup menghilang di dalam gerumbul-gerumbul yang lebat. Dengan diam-diam mereka meloncat dari gerumbul yang satu ke gerumbul yang lain. Mereka sadar, bahwa sebentar lagi, orang-orang di dalam peperangan itu pasti akan menyadari, bahwa mereka bertiga telah hilang dari antara mereka.

Setelah beberapa langkah mereka menghindar, maka segera mereka mencari jalan untuk menembus lingkaran orang-orang Pajang yang menebar, mengawasi medan dengan amat cermatnya. Tetapi orang-orang Pajang tidak mengenal padepokan itu sebaik Ki Tambak Wedi. Orang-orang Pajang tidak mengenal batas-batas rumpun-rumpun bambu yang lebat dan tanaman-tanaman liar yang tumbuh di antara dinding-dinding yang bersilang melintang membatasi setiap halaman.

Dengan demikian, maka akhirnya ketiganya berhasil menghilang dari peperangan. Untuk sementara tak seorang pun yang mengetahuinya. Setiap orang di medan peperangan itu sedang di sibukkan oleh lawan masing-masing. Bahkan kemudian, perang itu menjadi seolah-olah perang brubuh. Mereka tidak dapat mengenal lawan-lawan mereka seorang demi seorang. Mereka bertempur bersama-sama dalam pergumulan yang kacau. Mereka menikam lawan yang dekat dari setiap orang, dan mereka menyerang siapa saja yang lengah di sekitarnya tanpa pilih. Bahkan orang-orang yang semula dipersiapkan untuk khusus melawan Ki Tombak Wedi pun tidak berhasil selalu membayanginya. Sejenak sebelum melarikan diri Ki Tambak Wedi meloncat-loncat dari satu tempat ke tempat yang lain, hampir menyusur sepanjang halaman. Bahkan sekali-sekali orang tua itu meloncat pula ke pertempuran yang memanjang di jalan di muka halaman banjar. Dengan demikian maka orang tua itu hampir mengitari tidak saja satu halaman, tetapi di mana peperangan berkecamuk, di situ Ki Tambak Wedi tiba-tiba saja muncul. Namun apa yang dilakukan itu, semata-mata sebagai persiapannya untuk menghilang. Dengan demikian, maka orang-orangnya sendiri maupun lawan-lawannya menganggap bahwa Ki Tambak Wedi sedang berada di medan yang lain.

Setelah mereka bertiga berhasil keluar dari pengawasan para prajurit Pajang, maka segera mereka berlari semakin menjauhi peperangan. Namun tiba-tiba Sidanti berkata, “Guru, aku harus mengambil Sekar Mirah dahulu sebelum keluar dari padepokan ini.”

“He,” Ki Tambak Wedi berkerut.

“Gadis itu harus kita bawa serta. Banyak manfaatnya. Tidak saja bagiku, tetapi juga bagi kita semua. Apabila kita kehilangan kesempatan untuk keluar, maka Sekar Mirah akan dapat kita jadikan alat.”

Ki Tambak Wedi berpikir sejenak. Kemudian ia bergumam, “Ada untungnya, tetapi ada pula kesulitannya. Kita tidak akan dapat lari dengan cepat, sebab kita harus membawa gadis itu. Namun benar juga katamu, bahwa gadis itu pun dapat kita jadikan perisai demi keselamatan kita.”

“Jadi, bagaimana Guru?”

Ki Tambak Wedi menjadi ragu-ragu sejenak. Tanpa sesadarnya dipandanginya Argajaya yang berlari di sampingnya.

“Bagaimana, Ngger?” bertanya Ki Tambak Wedi.

“Terserah kepada Kiai,” jawab Argajaya.

“Baiklah. Kita pergunakan gadis itu sebagai tanggungan. Kecuali itu, aku takut kalau seterusnya kau akan kehilangan segenap gairah untuk melanjutkan hidupmu, apabila gadis itu lepas dari tanganmu.”

Sidanti tidak menjawab. Tetapi ia menjadi gembira mendengar ijin gurunya. Karena itu maka mereka pun segera berlari ke pondok Sekar Mirah.

Sementara itu pertempuran masih juga berkecamuk dengan dahsyatnya. Namun segera dapat dirasakan bahwa prajurit Pajang segera akan dapat menguasai keadaan. Mereka segera berusaha untuk memperpanjang garis peperangan dan memancing orang-orang Jipang dan Tambak Wedi dalam perkelahian yang lebih luas. Dengan demikian maka lapisan orang-orang yang bertempur itu menjadi semakin tipis. Sementara itu, para prajurit Pajang yang melingkari daerah peperangan itu pun segera menjadi semakin menyempitkan diri. Seperti sehelai jaring yang besar, mereka merapat tanpa melepaskan seorang pun dari tangkapan. Tetapi mereka tidak menyadari, justru ikan yang paling besarlah yang sudah berhasil lolos dari tangan mereka.

Tetapi sisa-sisa yang masih ada di dalam kepungan itu pasti sudah tidak akan dapat lolos lagi. Semakin sempit jaring-jaring kepungan prajurit Pajang, maka jarak mereka pun menjadi semakin rapat. Akhirnya, setiap prajurit Pajang seakan-akan telah merapat yang satu dengan yang lain. Dalam keadaan yang demikian, seandainya Ki Tambak Wedi terlambat beberapa lama, maka ia pun pasti tidak akan dapat lolos lagi tanpa membunuh beberapa orang yang mengepung pertempuran itu.

Semakin dekat kepungan itu, maka pertempuran itu pun semakin mendekati akhirnya. Prajurit Pajang semakin mendesak maju, dan orang-orang Jipang dan Tambak Wedi yang payah menjadi semakin payah. Namun seperti juga Sanakeling, orang-orang Jipang menjadi seperti orang-orang yang sedang kesurupan. Mereka mengamuk sejadi-jadinya. Tetapi Untara, senapati yang berpengalaman itu segera mengenal, bahwa sikap itu adalah sikap putus-asa. Justru menghadapi orang-orang yang demikian Untara harus berhati-hati. Orang yang demikian sudah tidak lagi dapat menghitung kalah atau menang, tidak lagi memikirkan siasat dan cara yang sebaik-baiknya. Tetapi orang yang demikian hanya cukup berpikir cukup mendapatkan korban sebanyak-banyaknya yang akan bersama-sama pergi ke lubang kematian.

Demikian juga yang dilakukan Sanakeling saat itu. Ia sama sekali sudah tidak mengharap bahwa pasukannya bersama pasukan Tambak Wedi akan dapat memenangkan pertempuran. Secara naluriah, sebagai seorang senapati, ia dapat merasakan, bahwa pasukannya pasti akan segera hancur, demikian juga pasukan Tambak Wedi. Dengan demikian, maka sudah tidak ada lagi gunanya bagi Sanakeling untuk mempertimbangkan kemungkinan berperang tanding melawan Sidanti. “Kami semuanya akan mati bersama-sama di sini,” katanya di dalam hati.

Dengan demikian, maka tandangnya menjadi semakin garang. Ia sudah tidak berpikir apa pun, kecuali membunuh sebanyak-banyaknya. Kalau mungkin membunuh Untara dan membawanya bersama-sama menjelang kematian.

Tetapi agaknya Untara tidak dengan sukarela menyerahkan dirinya. Ia masih mencoba untuk menangkap Sanakeling hidup-hidup. Tetapi karena tandang Sanakeling, maka tak ada yang dapat dilakukan kecuali menyelesaikan tugasnya tanpa mempertimbangkan apa yang akan terjadi atas lawannya. Seandainya ia berhasil melumpuhkan Sanakeling hanya dengan melukainya, tanpa membunuhnya, adalah lebih baik. Tetapi apabila orang itu terpaksa mati terbunuh di dalam peperangan, itu adalah kemungkinan yang sudah diketahuinya. Diketahui oleh Untara dan oleh Sanakeling sendiri.

Dalam pertempuran yang semakin sengit, maka Untara dan Sanakeling tidak segera mengetahui, bahwa Tambak Wedi, Sidanti, dan Argajaya telah hilang dari medan peperangan. Dengan licik mereka telah mengorbankan orang lain untuk kepentingan mereka. Tanpa pertimbangan-pertimbangan lain, mereka sengaja bersembunyi di balik bangkai kawan-kawan mereka sendiri.

Pertempuran di sela-sela pepohonan, dinding-dinding batu dan rumpun-rumpun bambu, ternyata mampunyai pengaruh tersendiri. Untara dan Sanakeling tidak dapat melihat medan itu secara keseluruhan atau setidak-tidaknya gambaran yang agak luas, karena terhalang oleh dedaunan dan batang-batang pepohonan. Namun Untara telah mempercayakan seluruh pasukannya kepada perwira-perwira bawahannya dan kepada pemimpin-pemimpin kelompoknya. Ia ingin memusatkan segenap perhatiannya kepada Sanakeling. Kali ini ia harus dapat menyelesaikan tugas yang dibebankan kepadanya oleh Panglima Wira Tamtama Pajang, setelah ia membuat Panglima itu kecewa di Sangkal Putung. Setelah ia hampir menjerumuskan Ki Gede Pemanahan dan puteranya Sutawijaya ke dalam kesulitan yang berbahaya. Bahkan tugas yang diterimanya ini seakan-akan suatu hukuman atas kesalahan dan kekhilafan yang pernah dilakukannya itu. Sebagai seorang senapati di daerah yang luas, ia mendapat perintah langsung menangani penangkapan dan penyelesaian orang-orang Jipang yang berada di Tambak Wedi.

Demikianlah, pertempuran antara keduanya semakin lama menjadi semakin sengit. Sanakeling yang putus asa benar-benar mengamuk seperti serigala yang kelaparan. Menerkam dengan sepasang senjatanya dengan garangnya, meskipun tubuhnya dan pakaiannya menjadi semakin dibasahi oleh keringat dan darahnya. Pedang Untara ternyata telah menambah goresan-goresan luka di tubuh Sanakeling. Semakin lama semakin banyak. Namun Sanakeling sama sekali tidak menjadi semakin lemah. Tampaknya justru menjadi semakin garang dan buas. Dalam keputus-asaan ia bertempur, seakan-akan kesadarannya telah tidak dimilikinya lagi.

Menghadapi orang yang demikian, Untara harus semakin berhati-hati. Ia telah berhasil mengalahkan Senapati Jipang yang tangguh tanggon. Raden Tohpati yang bergelar Macan Kepatihan. Namun Tohpati disaat-saat terakhirnya tidak menjadi gila seperti Sanakeling dengan kedua jenis senjatanya.

Namun Untara adalah orang yang cukup mempunyai bekal menghadapi keadaan itu, sehingga lambat laun ia pun berhasil menguasai keadaan. Setiap kali ia berhasil menekan lawannya dan setiap kali ia dapat menambah luka di tubuh Sanakeling, dengan harapan orang itu akan jatuh lemas sebelum terbunuh.

Saat demi saat, pertempuran itu memanjat ke titik puncaknya. Kini orang-orang Tambak Wedi dan orang-orang Jipang sudah hampir tidak mendapat tempat lagi untuk mempertahankan diri. Medan peperangan menjadi semakin lama semakin sempit. Untara sudah tidak berusaha lagi untuk memperluas garis pertempuran, karena orangnya kini cukup banyak untuk menghadapi lawannya. Bahkan prajurit-prajuritnya telah memaksa lawan-lawannya untuk berkumpul di satu lingkaran yang semakin sempit.

Sementara itu Ki Tambak Wedi, Sidanti, dan Argajaya berlari semakin cepat menyusup gerumbul dan meloncati pagar-pagar batu. Mereka ingin segera sampai di gubug Sekar Mirah untuk mengambilnya, dan membawanya sebagai perisai yang hidup.

Sementara itu di gubug tempat Sekar Mirah disimpan, Swandaru, Agung Sedayu, Wuranta dan Sekar Mirah sedang bergumul dengan persoalan mereka sendiri. Mereka dicengkam oleh kebingungan dan ketidakpastian, kenapa tiba-tiba saja suasana perasaan mereka bergetar. Sikap Wuranta benar-benar menjadi sebab, seakan-akan Agung Sedayu dan Swandaru menjadi kehilangan pegangan untuk menghadapinya.

Untuk menghilangkan perasaan canggungnya, maka Agung Sedayu tiba-tiba membentak kepada kedua orang Tambak Wedi itu.

“He, kenapa kalian diam saja mematung di situ?”

Kedua orang itu pun terkejut. Anak ini memang anak muda yang aneh bagi mereka. Ketangkasannya hampir tak dapat dibayangkannya. Bahkan mereka telah mencoba memperbandingkan Agung Sedayu itu dengan Sidanti.

Dengan cemas kedua orang itu memandang wajah Agung Sedayu yang tegang. Salah seorang dari mereka itu dengen nada yang dalam menjawab, “Apakah yang harus, kami lakukan?”

Agung Sedayu tidak segera dapat menjawab pertanyaan itu. Tetapi tiba-tiba ia menyadari bahwa ia berada di antara lawan-lawannya. Karena itu untuk menjaga setiap kemungkinan yang bakal terjadi apabila ada orang-orang lain yang datang, maka tiba-tiba ia berkata, “Aku akan mengikat kalian di sini.”

Wajah kedua orang itu tiba-tiba menjadi kian menegang. Namun bagi mereka, hal itu akan lebih baik untuk keselamatan mereka. Apabila Sidanti datang kepada mereka, maka ia akan melihat, bahwa mereka telah berbuat sesuatu, tetapi mereka tidak mampu.

Jawaban mereka benar-benar telah mengejutkan Agung Sedayu. Berkata salah seorang dari mereka, “Silahkanlah Tuan, apabila hal itu baik bagi Tuan.”

“Pengecut!” Agung Sedayu hampir berteriak, perasaan yang bersimpang siur telah saling mendorong di dalam hatinya, sehingga menumbuhkan loncatan-loncatan yang kadang-kadang membuat dirinya sendiri menjadi terkejut.

Kedua orang Tambak Wedi itu pun terkejut. Tetapi mereka tidak tahu apakah yang sedang bergolak di dalam dada Agung Sedayu. Kebingungannya menghadapi Wuranta, dan keheranannya melihat sikap orang-orang Tambak Wedi itu membuatnya menjadi meledak-ledak. Mereka sama sekali bukan orang-orang yang tidak berdaya. Bahkan salah seorang dari mereka mampu mengimbangi, bahkan di dalam keadaan yang khusus, di ruang yang sempit, ia mampu mendesak Wuranta. Namun tiba-tiba mereka dengan tanpa berbuat sesuatu menyerahkan diri mereka untuk diikat.

Agung Sedayu menganggap sikap itu sangat memuakkan. Tetapi sebenarnyalah orang-orang Tambak Wedi belum seluruhnya dapat disamakan ketahanan sikapnya dengan orang-orang Jipang, prajurit-prajurit Pajang, atau mereka yang pernah mendapat tuntunan khusus tentang olah kanuragan dan sikap kejantanan. Orang-orang Tambak Wedi, betapa mereka pernah melatih diri dalam tata perkelahian di bawah tuntunan-tuntunan orang yang berilmu, namun ketahanan jiwa mereka belum mendapat bentuk yang serupa di antara mereka. Para pemimpin Tambak Wedi tidak sempat menilai setiap orangnya satu demi satu. Ada di antara mereka yang dengan gigih bertahan atas suatu keyakinan, bahwa Tambak Wedi adalah kampung halaman yaug harus dipertahankan sampai saat terakhir dari hayatnya. Tetapi ada juga yang acuh tidak acuh, hanyut dalam arus ketamakan para pemimpinnya. Dalam keadaan yang sulit, maka mereka akan lebih senang memilih keselamatan nyawa mereka dan memeluk keyakinan yang tidak pernah dapat tertanam dalam-dalam di dalam hati mereka. Meskipun para pemimpin berusaha membuat orang-orangnya kehilangan nilai kediriannya, sehingga mereka berpendirian bahwa sikap mereka itulah yang paling benar.

Kedua orang itu adalah bagian dari mereka yang belum dapat dibentuk oleh orang-orang Tambak Wedi. Karena itu, maka keduanya tidak akan bertahan sampai mengorbankan nyawanya, meskipun keduanya mempunyai beberapa kelebihan dari orang-orang kebanyakan.

Tetapi bagaimanapun juga Agung Sedayu masih tetap menyadari keadaannya. Dengan nanar ditebarkannya pandangan matanya ke sekeliling ruangan, kalau-kalau dapat ditemukannya tali atau tampar atau apa pun.

Dan tiba-tiba ia meloncat beberapa langkah, mendorong sebuah ajug-ajug gendi di sudut rumah itu, kemudian dengan pedangnya di potongnya beberapa utas tali pengikat dinding sudut. Dengan tali itu Agung Sedayu pergi mendapatkan kedua orang Tambak Wedi sambil berdesis, “Berdiri beradu punggung.”

Kedua orang itu tidak membantah. Mereka segera berdiri beradu punggung. Mereka tahu benar bahwa Agung Sedayu akan mengikat tangan-tangan mereka dengan tali anyaman bambu dan lulup batang melinjo yang diambilnya dari sudut rumah itu.

***
Mereka menyeringai menahan nyeri ketika tali itu melukai pergelangan tangan mereka. Tetapi mereka tidak dapat berbuat sesuatu. Hanya mata mereka sajalah yang bergerak-gerak dari seorang ke orang yang lain yang berdiri di dalam ruangan itu.

Mereka melihat Wuranta berdiri seperti patung. Betapa wajahnya menegang, tetapi Wuranta sama sekali tidak bergerak. Namun perasaan di dalam dadanya sajalah yang bergolak seperti angin prahara. Apa yang dilihatnya itu, semakin membuat hatinya pedih. Wuranta menyangka bahwa Agung Sedayu sengaja berbuat aneh-aneh untuk menunjukkan kelebihannya. Seolah-olah Agung Sedayu itu berkata kepadanya dengan sikapnya itu, “Lihat Wuranta, bukankah aku mampu berbuat seperti ini? Dua orang ini dapat aku kuasai dengan baik. Apalagi kau seorang diri.”

Namun untuk sesaat, justru karena getar di dalam dadanya itu Wuranta seolah-olah menjadi beku. Kehilangan kemampuannya berpikir untuk sesaat. Dengan mata yang hampir tidak berkejap ia melihat saja apa yang telah terjadi di dalam ruangan itu.

Tetapi tiba-tiba ia menyadari keadaannya ketika ia mendengar suara derap kaki orang berlari-lari. Semakin lama semakin dekat. Di antara derap langkah itu didengarnya suara orang bergeramang.

Bukan saja Wuranta yang terkejut mendengarnya. Tetapi Swandaru dan Agung Sedayu yang baru saja selesai mengikat orang-orang Tambak Wedi itu pun terkejut pula.

Suara derap itu pun semakin lama menjadi semakin dekat. Mereka yang berada di dalam rumah itu pun segera menyadari bahwa mereka harus menyiapkan diri mereka. Seandainya yang datang itu orang-orang yang berbahaya bagi mereka, maka mereka pun harus sudah bersiap untuk menghadapinya.

Perlahan-lahan Swandaru melepaskan Sekar Mirah. Didorongnya gadis itu menepi sambil berbisik, “Hati-hatilah Mirah.”

Sekar Mirah mengangguk, namun hatinya menjadi berdebar-debar ketika suara orang yang datang itu didengarnya, “Pintunya terbuka sedikit guru.”

“Mungkin ada orang di dalam,” jawab yang lain. Jawaban itu benar mengejutkan mereka yang ada di dalam rumah itu. Mereka segera mengenal bahwa suara itu adalah suara Sidanti dan pasti gurunya itu bernama Ki Tambak Wedi.

Suara langkah orang berlari itu pun segera berhenti. Yang berada di dalam rumah itu tahu dengan pasti, bahwa mereka berada di depan rumah itu di samping pintu.

Terdengar Sidanti berkata, “Mungkin para pengawas.”

“Hati-hatilah,” potong gurunya.

Sejenak mereka berdiam diri. Namun tiba-tiba terdengar Sidanti berteriak, “Siapa di dalam?”

Swandaru dan Agung Sedayu saling berpandangan, sedang Wuranta berdiri tegang di tempatnya

“Siapa, he?”

Tiba-tiba Agung Sedayu menjulurkan pedangnya kearah leher tawanannya yang diikat sambil berdesis di dalam mulutnya, “Jawab.”

Kedua orang itu menjadi ragu-ragu. Tetapi pedang Agung Sedayu semakin menekan lehernya.

“Siapa?” kembali Sidanti berteriak.

Dari luar Sidanti mendengar suara tergagap, “Aku. Aku, Tuan.”

“He?” Sidanti semakin berteriak, “kau pengawas yang mendapat tugas di sini?”

“Ya. Ya, Tuan.”

Sidanti telah mengenal suara itu. Karena itu maka tiba-tiba kemarahannya terungkat sampai ke ubun-ubun. Ia menyangka bahwa para pengawas mempergunakan kesempatan pertempuran di banjar untuk melakukan perbuatan yang jahat, seperti apa yang akan dilakukan Alap-alap Jalatunda. Karena itu tiba-tiba saja, seperti orang gila Sidanti meloncat masuk, melanggar uger-uger pintu sehingga berderak roboh.

“Setan!” teriaknya. “Kau akan mati juga seperti Alap-alap Jalatunda.”

Agung Sedayu yang berada di dalam rumah itu telah bersiap sepenuhnya. Ia telah memperhitungkan bahwa Sidanti pasti akan memasuki rumah itu, tetapi ia tidak menyangka bahwa anak muda itu akan melanggar uger-uger sehingga roboh. Beberapa potong bambu yang menyilang di atas pintu itu pun rontok menimpa Sidanti, tetapi sama sekali tidak dihiraukannya. Namun karena itu, maka untuk sejenak Agung Sedayu tertegun karenanya.

Ketika Sidanti kemudian melihat siapa yang berada di dalam rumah itu, maka darahnya menjadi serasa berhenti mengalir. Sesaat ia tegak seperti patung. Mulutnya bergetar, namun tak sepatah kata pun terloncat dari bibirnya. Dengan gemetar ia menatap Agung Sedayu seperti melihat hantu. Kemudian dipandanginya wajah Swandaru yang bulat.

Pertemuan itu begitu tiba-tiba sehingga kedua belah pihak kehilangan kesadarannya untuk sekejap. Masing-masing berdiri saja di tempatnya. Namun sorot mata merekalah yang lebih dahulu berbicara. Dendam dan kebencian yang tersimpan di dalam dada, seakan-akan tertumpah seluruhnya lewat tatapan mata masing-masing.

Sejenak kemudian, tiba-tiba ketegangan itu sekali lagi dipecahkan oleh peristiwa yang tidak terduga. Tak seorang pun yang menyangka bahwa peristiwa itu akan terjadi.

Wuranta agaknya telah benar-benar ditelan oleh perasaannya, sehingga ia sudah tidak mampu lagi berpikir bening. Terdorong oleh berbagai macam perasaan yang bergolak di dalam dadanya, serta dugaannya yang keliru tentang Agung Sedayu, maka tiba-tiba anak muda itu telah berbuat hal yang tidak menguntungkannya.

Ia merasa bahwa Agung Sedayu seolah-olah telah menghinanya dengan mempertunjukkan berbagai macam kelebihan. Sehingga karena dorongan harga dirinya, setelah ia merasa seakan-akan tidak berharga lagi di hadapan Sekar Mirah dalam olah ketrampilan sebagai seorang laki-laki, maka tiba-tiba timbullah kenekatan di hatinya. Itulah sebabnya, maka ia telah berbuat tanpa pertimbangan.

Ketika Sidanti masih berdiri membeku memandangi Swandaru dan Agung Sedayu berganti-ganti tiba-tiba Wuranta meloncat menyerangnya. Pedangnya terjulur lurus langsung menusuk lambung Sidanti. Tetapi Wuranta sama sekali tidak mengingat, bahwa Sidanti sama sekali bukan kanak-kanak lagi. Apalagi anak muda itu masih juga menggenggam pedang di tangannya.

Betapa pun Sidanti dicengkam oleh rasa terkejut, namun dengan gerak naluriah ia bergeser ke samping. Dengan sepenuh tenaganya maka dipukulnya pedang Wuranta. Sidanti tidak perlu mengulangi lagi. Pedang itu pun terpelanting beberapa langkah daripadanya. Bahkan Wuranta sendiri terdorong ke samping beberapa langkah karena tarikan kekuatannya sendiri dan pukulan pedang Sidanti yang telah melepaskan pedangnya.

Kini Wuranta berdiri terhuyung-huyung. Dengan susah payah ia mencoba menjaga keseimbangannya. Dadanya tiba-tiba berdesis ketika ia melihat dengan penuh kemarahan Sidanti berteriak, “Kau tikus Jati Anom. Kenapa kau masih hidup dan berada di sini pula? Tetapi memang sudah menjadi garis nasibmu. Kau harus mati hari ini.”

Wuranta yang masih belum menemukan keseimbangan sepenuhnya itu hanya dapat memandang saja apa yang akan dilakukan oleh Sidanti yang sedang dibakar oleh kemarahannya.

Maka sekali lagi Agung Sedayu dan Swandaru melihat, Wuranta berada dalam kesulitan. Sidanti yang garang itu pasti sudah tidak akan melepaskannya lagi. Apabila mereka membiarkannya, maka Wuranta pasti akan benar-benar dibunuhnya.

Sejenak Agung Sedayu dilanda oleh kebimbangan. Baru saja ia dibingungkan oleh sikap Wuranta, karena ia berusaha menolongnya. Dan kini Wuranta berada dalam keadaan yang serupa.

Tetapi Agung Sedayu tidak akan sampai hati melihat pedang Sidanti menghunjam ke dalam dada Wuranta. Maka tanpa mempedulikan lagi apa yang akan dilakukan Wuranta atasnya, maka sekali lagi Agung Sedayu berusaha menolongnya.

Namun kini yang menyerang Wuranta bukan sekedar seorang pengawal padepokan Tambak Wedi. Tetapi yang menyerang itu adalah Sidanti. Karena itu maka Agung Sedayu tidak berani berbuat dengan tergesa-gesa. Ia harus mempertimbangkan kekuatan Sidanti.

Tenryata Agung Sedayu tidak mendapat kesempatan lebih lama lagi. Sejenak kemudian ia melihat Sidanti dengan mata yang menyala berteriak, “Kaulah yang pertama-tama aku bunuh di dalam rumah ini di antara kalian.”

Wuranta tidak dapat berbuat sesuatu. Tetapi ternyata hatinya cukup tabah. Anak muda itu sama sekali tidak menjadi ketakutan melihat Sidanti siap menerkamnya dengan ujung pedang. Wuranta telah menyiapkan dirinya untuk menerima ujung pedang itu dengan dadanya. Seandainya ia harus mati, maka kesan yang ditinggalkannya adalah kesan yang dapat membuatnya berbangga. Meskipun ia tidak setrampil Agung Sedayu, tetapi ia bukan seorang pengecut. Mudah-mudahan Sekar Mirah dapat menangkap api yang tersirat pada sikapnya itu.

Tetapi sekali lagi Wuranta harus melihat Agung Sedayu berusaha menolongnya. Kali ini Agung Sedayu tidak berani langsung melawan pedang Sidanti. Tetapi untuk mengurungkan serangan Sidanti yang langsung dapat berarti maut itu. Agung Sedayu dengan garangnya menyerangnya pula. Seperti Sidanti, maka Agung Sedayu pun berteriak nyaring, “Sidanti, aku dapat lebih cepat daripadamu. Ternyata kaulah yang mati pertama-tama.”

Sidanti terperanjat melihat sikap Agung Sedayu. Suaranya telah membuat hati Sidanti berdesir. Apalagi ketika ia melihati ujung pedang Agung Sedayu langsung mengarah ke ulu hatinya.

Tak ada cara lain kecuali menangkis pedang Agung Sedayu itu. Tetapi Sidanti tidak ingin melepaskan korbannya. Karena itu maka ia berusaha untuk melakukan keduanya. Membunuh Wuranta dan kemudian menangkis serangan Agung Sedayu.

Namun waktu terlampau sempit, sehingga Sidanti tidak dapat melakukan rencananya dengan sempurna. Pedangnya kemudian tidak lagi terjulur lurus, tetapi pedang itu terayun dengan cepatnya. Ia ingin menyobek dada Wuranta dan langsung memukul pedang Agung Sedayu.

Yang terdengar kemudian adalah desah Wuranta tertahan, disusul oleh dentang kedua pedang beradu. Wuranta ternyata terdorong beberapa langkah surut. Apabila ia tidak membentur dinding bambu maka ia pasti akan terpelanting jatuh. Kedua tangannya tertekan di dadanya. Dan dari sela-sela jari-jari tangannya itu mengalir darah yang merah segar.

Namun ternyata Sidanti yang tidak sepenuhnya dapat melawan tenaga Agung Sedayu itu pun terdorong beberapa langkah mundur. Betapa kemarahan membayang di wajahnya sehingga wajah itu seolah-olah telah membara. Tetapi ketika ia melihat darah di dada Wuranta, maka ia masih juga dapat tertawa sambil berteriak.

“Nah, salahmulah kalau kau hari ini diterkam maut.”

Wuranta memandang Sidanti dengan mata yang memancarkan kebencian. Tampaklah mulutnya bergerak-gerak, dan terdengarlah ia berkata perlahan-lahan, “Lukaku tidak seberapa Sidanti.”

“Persetan!” teriak Sidanti. “Tetapi kau akan mati. Kau akan mati. Kalau tidak oleh lukamu itu, maka sesudah aku membunuh Agung Sedayu dan Swandaru, maka akan datang juga giliranmu.”

Wuranta tidak menjawab tetapi bibirnya masih juga bergetar. Yang terdengar adalah suara Swandaru tertawa menyakitkan hati. Katanya, “Sidanti, kau masih juga sempat menyombongkan dirimu. Aku sekarang bukan Swandaru yang akan berdiam dirinya ditampar mulutnya. Aku sekarang mempunyai kesempatan yang serupa dengan kau.”

“O, jangan membual kau kerbau bodoh,” sahut Sidanti. “Ayo, majulah kalian berdua, aku sudah siap.”

Agung Sedayu masih belum menjawab sepatah kata pun. Sekilas ia memandangi wajah Wuranta yang menyeringai menahan sakit. Tetapi menurut penilaian Agung Sedayu, luka itu tidak akan membahayakan jiwanya, seandainya Wuranta tidak kehabisan darah. Diam-diam Agung Sedayu mengharap kehadiran Ki Tanu Metir. Bukan karena ia cemas menghadapi lawan-lawannya, tetapi Ki Tanu Metir akan dapat menolong Wuranta yang terluka itu.

Sebelum seorang pun menjawab, maka terdengar suara di luar pintu, “Siapakah orang-orang itu Sidanti?”

Ketika mereka yang berada di dalam rumah itu berpaling, maka yang mereka lihat adalah Argajaya dan Ki Tambak Wedi berdiri sambil memandang mereka yang berada di dalam rumah itu dengan marahnya.

“Guru,” sahut Sidanti, “ternyata di sini ada tikus-tikus dari Jati Anom dan Sangkal Putung bersama-sama.”

“O,” Ki Tambak Wedi mengangguk-anggukkan kepalanya, “ternyata kalian telah berada di sini pula.”

Agung Sedayu, Swandaru, Sekar Mirah, dan Wuranta seakan-akan membeku di tempatnya melihat orang tua itu berdiri dengan wajah yang membayangkan kemarahan yang telah membakar jantungnya.

Apalagi ketika mereka mendengar Ki Tambak Wedi itu berkata, “Sidanti, jangan kau perturutkan perasaanmu. Kita harus segera menyelesaikan pekerjaan ini. Karena itu, supaya semua dapat selesai dengan cepat, biarlah aku saja yang menyelesaikannya. Aku akan membunuh mereka bertiga, dan sementara itu bawa gadis itu pergi.”

Kata-kata itu cukup tegas dan pasti. Tak akan ada orang yang dapat menghalangi Ki Tambak Wedi berbuat demikian. Memang Ki Tambak Wedi akan dapat menyelesaikannya dengan cepat.

Tetapi yang berada di dalam gubug itu bukan hanya tiga ekor tikus dari Jati Anom dan Sangkal Putung. Tetapi mereka cukup jantan yang mempunyai harga diri sebagai seorang laki-laki. Karena itu maka Agung Sedayu menjawab, “Ki Tambak Wedi. Kalau Kiai akan melakukan hal itu, maka Kiai akan segera dapat menyelesaikan. Dan biarlah murid Kiai dan pamannya itu melihat, bahwa ternyata Ki Tambak Wedi adalah seorang pahlawan yang berani. Tetapi murid Kiai sendiri sama sekali tidak mempunyai keberanian dan kemampuan berbuat sesuatu.”

Betapa kata-kata itu menusuk jantung Sidanti. Dengan lantang ia berteriak, “Cukup! Aku mampu membunuhmu dengan tanganku.”

“Jangan hiraukan Sidanti,” potong Ki Tambak Wedi, “orang itu sengaja membakar perasaanmu supaya ia mendapat waktu untuk menunggu bantuan dari orang-orang Pajang. Dengarkan aku. Aku akan membunuhnya. Kita perlu menghemat waktu. Nah, sekarang keluarlah.”

Terdengar gigi Sidanti gemeretak. Betapa ia merasa tersinggung mendengar kata-kata Agung Sedayu. Apalagi ketika kemudian terdengar Swandaru tertawa mengejeknya sambil berkata, “Keluarlah Sidanti, supaya kau tidak menjadi pingsan mendengar aku dan Kakang Agung Sedayu berteriak ketakutan, dan melihat darah yang memancar dari leher kami.”

“Tutup mulutmu,” Sidanti berteriak semakin keras, “aku masih sanggup mencekikmu sampai mati.”

“Tetapi kau tidak akan mendapat kesempaum untuk melakukannya. Juga pamanmu itu,” sahut Swandaru. “Bukankah begitu Argajaya yang perkasa? Apakah kau masih ingat kepada kami yang menjadi saksi betapa kau sama sekali tidak berdaya menghadapi anak muda pengawal Kademangan Sangkal Putung yang bernama Sutajia.”

“Diam!” Argajaya pun berteriak. Tetapi Ki Tambak Wedi berteriak lebih keras, “Cukup! Cukup. Ayo, kau keluar Sidanti. Jangan hiraukan igauan mereka. Aku akan segera membunuhnya.”

Sidanti tidak dapat berbuat lain dari menuruti perintah itu. Perlahan-lahan ia melangkah ke arah pintu. Sekali ia berhenti dan berpating memandangi wajah-wajah di dalam gubug itu. Wajah Agung Sedayu, Swandaru, Wuranta, dan Sekar Mirah.

“Jangan cemaskan gadis itu,” bentak Ki Tambak Wedi yang sudah tidak bersabar lagi, “ia akan selamat dan kau dapat membawanya setelah aku menyelesaikan pekerjaanku.”

“Baik, Guru,” sahut Sidanti perlahan-lahan sambil meninggalkan ruangan itu. Tetapi ia masih juga berhenti ketika ia mendengar suara tertawa Agung Sedayu, “Nah, keluarlah anak manis. Dengarlah ibu akan berdendang supaya kau segera tidur di pangkuannya.

“Gila, gila!” teriak Sidanti. Tetapi disusul oleh suara Ki Tambak Wedi, “Kau yang gila Sidanti. Cepat keluar!”

Sidanti tidak sempat berbuat apa-apa lagi ketika ia merasa sebuah tarikan yang kuat di lengannya. Ternyata Ki Tambak Wedi telah benar-benar kehilangan kesabaran. Didorongnya Sidanti keluar sehingga anak itu hampir jatuh terjerembab.

“Nah, membuallah untuk yang terakhir kali,” geram Ki Tambak Wedi. “Setelah ini kau akan diam untuk selamanya. Dan Sekar Mirah akan ikut dengan kami meninggalkan padepokan ini.”

Kali ini terdengar jerit gadis itu melengking tinggi, “Tidak! Aku tidak mau. Lebih baik kau membunuh aku sama sekali bersama orang-orang lain di dalam rumah ini.”

“Itu bukan urusanku,” sahut Ki Tambak Wedi, “mintalah kepada Sidanti nanti sesudah aku selesai.”

“Tidak! Tidak!” Sekar Mirah memekik-mekik.

Tetapi Ki Tambak Wedi sudah tidak menghiraukannya. Kini ia berjalan perlahan-lahan memasuki rumah itu. Melangkahi tlundak dan berhenti sejenak. Di tangannya ternyata tergenggam senjata ciri kebesaran padepokan Tambak Wedi. Nenggala.

Diputarnya pandangan matanya di sekeliling ruangan. Dilihatnya Wuranta dengan lemah bersandar dinding. Darahnya masih juga menetes dari luka di dadanya. Meskipun luka itu tidak terlampau dalam, tetapi darah yang keluar itulah yang berbahaya baginya.
“Tanpa kusentuh kau sudah akan mati,” gumam Ki Tambak Wedi. “Dengan membiarkan kau tidur di sini sehari ini, kau sudah tidak akan mendapat kesempatan bangun lagi karena kehabisan darah.”

Wuranta tidak menjawab. Mulutnya serasa membeku melihat semua yang terjadi di sekitamya.

Tetapi sekali lagi mereka terkejut. Mereka mendengar derit kecil di sudut rumah itu. Ketika mereka berpaling, mereka melihat sesosok tubuh meluncur masuk ke dalam lewat dinding yang terbuka di sudut. Hanya sekejap. Dan sekejap kemudian mereka telah melihat tubuh itu tegak berdiri. Tampaklah oleh mereka sebuah wajah yang tersenyum sambil berkata. “Permainan di sini agaknya lebih menarik daripada di banjar itu. Karena itu aku memilih ikut bermain-main di sini saja.”

“Setan Alas!” Ki Tambak Wedi berteriak dengan penuh kemarahan ketika ia menyadari siapakah yang berdiri di luar rumah itu. Di tangan orang itu tergenggam sebuah cambuk yang bertangkai pendek tetapi berjuntai panjang. Juntainya masih tergulung, dan berada di dalam genggaman tangan yang lain.

“Selamat bertemu lagi, Kiai,” berkata orang itu sambil membungkuk hormat.

“Persetan akan kedatanganmu. Kau hanya akan menyaksikan orang-orang ini mati terbunuh.”

“Aku tahu bahwa kau bersungguh-sungguh. Senjata di tanganmu yang bukan hanya sekedar gelang-gelang besi menyatakan bahwa kau tidak sedang bermain-main. Senjata itu biasanya berada di tangan muridmu setelah senjatanya tertinggal di Sangkal Putung. Tetap kini kau telah menggenggamnya, tidak sekedar tergantung di lambungmu, di dalam selongsongnya. Mungkin karena muridmu baru saja menyelesaikan perang tanding, dan senjata itu tidak diperlukannya. Tetapi bahwa senjata itu berada di tanganmu adalah sangat membahayakan sekali. Karena itu aku terpaksa membawa cambukku ini pula. Mudah-mudahan kita tidak akan terganggu lagi kali ini.”

Ki Tambak Wedi menggeram mendengar kata-kata Ki Tanu Metir. Kata-kata itu tegas dan langsung menyentuh dinding jantungnya. Tantangan Ki Tanu Metir agaknya juga tidak hanya sekedar bersenda-gurau.

Betapa kemarahan menyala di dada Ki Tambak Wedi. Kehadiran Ki Tanu Metir benar-benar telah mengganggunya. Tetapi kini ia telah berdiri berhadapan sehingga sulitlah untuk menghindari tantangannya itu.

Sejenak Ki Tambak Wedi tidak menjawab. Dipandanginya wajah Ki Tanu Metir yang tenang tetapi dalam, kemudian wajah Agung Sedayu yang bersungguh-sungguh dan Swandaru Geni yang gemuk.

“Kau dapat membawa muridmu dan pamannya serta,” berkata Ki Tanu Metir, “tetapi apabila tidak kau kehendaki, maka biarlah mereka menjadi saksi. Kedua muridku pun tidak akan mengganggumu. Bagaimana?”

Dada Ki Tambak Wedi serasa akan bengkah mendengarnya. Namun ia masih harus mempertimbangkan segala kemungkinan. Di dalam padepokan itu Untara dan pasukannya seakan-akan telah melanda seperti banjir bandang yang tidak akan dapat dibendung lagi.

Tetapi Sidanti yang melihat kehadiran Ki Tanu Metir dan mendengar tantangannya di luar pintu berteriak, “Baiklah kami terima tantangan itu guru. Aku memang ingin membelah dada Agung Sedayu dan Swandaru. Biarlah Sekar Mirah menjadi saksi, bahwa kedua laki-laki itu sama sekali tidak berarti. Terutama Agung Sedayu itu.”

Sekali lagi Ki Tambak Wedi menggeram. Ia pun menyadari bahwa kini ia tidak mempunyai pilihan lain, kecuali Sidanti masih ada Argajaya. Mungkin perbedaan keseimbangan yang kecil, akan sangat berarti dalam keadaan serupa itu. Mungkin Argajaya mempunyai sedikit kelebihan atas salah seorang kedua murid Ki Tanu Metir atau mungkin Sidanti sendiri.

Karena itu, maka tidak ada kesempatan untuk berbuat lain daripada menjawab, “Baiklah Kiai Gringsing. Tantanganmu aku terima. Tentang murid-muridmu dan muridku serta pamannya. Biarlah mereka menentukan sikap mereka sendiri. Kalau mereka ingin bertempur, biarlah mereka mencoba diri, apakah ilmu keturunan perguruan Tambak Wedi lebih baik dari perguruan Kiai Gringsing.”

“Bagus, bagus,” sahut Kiai Gringsing, “marilah kita berbuat seperti orang-orang yang sudah pikun. Kita pilih tempat yang luas, tidak di dalam gubug yang sempit, supaya kita masing-masing mendapat kesempatan leluasa untuk berbuat apa saja sesuai dengan kegemaran orang tua-tua.”

Ki Tambak Wedi terdiam sesaat. Ia menggenggam senjata yang pendek. Baginya tempat yang sempit mempunyai kemungkinan yang lebih baik daripada cambuk Ki Tanu Metir. Tetapi di dalam tempat yang sempit, apabila tiba-tiba pasukan Untara itu meluas sampai ketempat ini, maka sangat sulitlah baginya untuk melepaskan diri. Ia juga tidak akan dapat mengawasi murid dan pamannya, serta memberinya isarat apa pun, karena mereka pasti akan berkelahi di luar.

Dengan demikian maka Ki Tambak Wedi itu pun menjawab, “Baiklah, Kiai. Tantangamnu aku terima penuh. Aku bersedia berkelahi di luar meskipun bagiku di dalam ruangan yang sempit telah menguntungkan. Bukankah kau tidak berani bertempur di dalam karena jenis senjata itu? Kau memerlukan tempat yang cukup luas, supaya juntai cambukmu tidak tersangkut dinding.”

Ki Tanu Metir tertawa mendengar dawaban Ki Tambak Wedi itu. Katanya, “Jangan seperti kanak-kanak, Kiai. Alasan semacam itu adalah alasan bagi anak-anak cengeng. Kalau seandainya kau merasa mendapat keuntungan berkelahi di dalam, marilah kita berkelahi di dalam ruangan ini. Aku sama sekali tidak berkeberatan. Cambukku pun tidak akan terganggu pula, sebab cambukku adalah senjata yang telah aku kenal sejak bertahun-tahun, sehingga sifat-sifatnya pun aku kenal dengan baik seperti engkau mengenal jenis senjatamu yang mengerikan itu.”

Wajah Ki Tambak Wedi menjadi semakin merah mendengar jawaban itu. Sahutnya hampir berteriak, “Jangan banyak bicara lagi. Aku tunggu kau di luar bersama kedua muridmu.”

“Baik. Di luar udaranya cerah dan angin membuat tubuh kita menjadi segar. Kesempatan untuk lari pun lebih luas terbuka. Seandainya salah satu pihak dari kita merasa tidak mampu lagi untuk melawam, maka kita akan dapat segera meloncat meninggalkan gelanggang. Tetapi di dalam ruangan yang sempat ini, kesempatan itu hampir tidak ada.”

“Persetan! Jangan mengigau lagi,” kini Ki Tambak Wedi benar-benar berteriak. Ia tidak lagi menunggu jawaban Kiai Gringsing. Dengan tergesa-gesa ia melangkah ke luar. Dan dengan garangnya berdiri bertolak pinggang di halaman, di samping muridnya. Namun ia sempat berbisik, “Kalau pasukan Untara datang kemari, kita harus meninggalkan tempat ini.”

“Bagaimana dengan Sekar Mirah?” bertanya Sidanti perlahan.

“Kita melihat perkembangan keadaan. Tetapi setan itu benar-benar mengganggu.”

Dada Sidanti menjadi pepat mendengar jawaban gurunya. Kehadiran Kiai Gringsing benar-benar telah membuat jantungnya hampir meledak. Tetapi ia tidak dapat menutup kenyataan, bahwa mengalahkan orang-orang itu bukan pekerjaan yang terlampau mudah. Mungkin Sidanti dan Argajaya mempunyai beberapa kelebihan dari kedua murid Kiai Gringsing. Namun kedua orang itu pun masih memerlukan waktu untuk mengalahkannya.

Kiai Gringsing pun segera melangkah menyusul Ki Tambak Wedi, keluar rumah. Tetapi langkahnya tertegun ketika ia melihat Wuranta. Orang tua itu melihat luka di dada anak muda itu, dan ia melihat darah masih saja menetes dari luka itu. Maka Kiai Gringsing pun segera mengambil sebuah bumbung kecil dari kantong ikat pinggangnya. “Inilah, Ngger,” berkata orang tua itu, “di dalam bumbung ini ada bubuk yang dapat kau pakai untuk menahan darah itu. Taburkanlah bubuk itu sedikit saja pada lukamu. Mudah-mudahan luka itu tidak akan mengeluarkan darah lagi. Tetapi jangan terlampau banyak bergerak. Sisanya, tolong simpanlah dahulu.”

Wuranta masih saja berdiri seperti tonggak. Ditatapnya saja Kiai Gringsing seperti baru dilihatnya kali itu. Tetapi ketika tangan Kiai Gringsing terjulur menyerahkan bumbung kecil, maka seperti bukan kehendaknya sendiri, Wuranta pun menerima.

“Jangan kau sia-siakan waktumu,” berkata Ki Tanu Metir. “Cepat, usahakan lukamu itu tidak lagi mengeluarkan darah supaya kau masih cukup mempunyai kekuatan untuk kembali ke Jati Anom.”

Wuranta kini mengangguk. Kata-kata Ki Tanu Metir itu seperti sebuah pesona yang tidak dimengertinya. Namun terasa bahwa tak ada cara lain baginya daripada memenuhinya.

“Mudah-mudahan obat itu menolong,” gumam Ki Tanu Metir. “Kemudian awasilah Sekar Mirah. Mungkin masih ada bahaya yang mengintainya. Kami akan berusaha untuk menghindarkannya dari tangan Sidanti dan gurunya.”

Tanpa sesadarnya Wuranta mengangguk.

“Nah, aku akan melayani Ki Tambak Wedi,” guman Ki Tanu Metir sambil melangkah meninggalkan anak muda itu. Sampai di muka pintu ia berpaling. Dilihatnya Sekar Mirah berdiri menggigil di belakang Swandaru Geni. Di sisi dinding yang lain ia melihat Agung Sedayu. Sedang kedua orang Tambak Wedi yang terikat tanganya masih berdiri beradu punggung.

“Marilah,” berkata Ki Tanu Metir,” kalian mempunyai pekerjaan. Di luar ada dua orang yang menunggu kalian selain Ki Tambak Wedi. Menurut penilaianku maka kau berdua, Angger Swandaru Geni dan angger Agung Sedayu akan dapat melayaninya apabila dikehendaki. Tetapi dengarlah nasehatku. Keduanya adalah orang-orang yang tangguh tanggon. Kalau mereka ingin bertempur pula, maka bagi Angger Agung Sedayu, lebih baik memilih Angger Sidanti untuk mendapatkan keseimbangan, sedang Angger Swandaru dapat melayani tamu paman Angger Sidanti itu.”

Kedua muridnya mengangguk-anggukkan kepalanya. Hampir bersamaan mereka menyahut, “Baik, Kiai.”

“Ingat-ingatlah.”

Sekali lagi keduanya menganggukkan kepala mereka. Kalau gurunya berpesan, itu bukannya tidak berarti bagi mereka keduanya.

Dan keduanya menyadari, bahwa pesan itu harus dijalani. Gurunya pasti mempunyai perhitungan-perhitungan tersendiri atas kekuatan mereka masing-masing. Sebab mau tidak mau, harus diakui bahwa kekuatan Swandaru dan Agung Sedayu pun masih berselisih beberapa lapis tipis.

Ki Tanu. Metir itu mengangkat kepalanya ketika ia mendengar Ki Tambak Wedi membentak, “Cepat sedikit Kiai! Aku sudah tidak sabar lagi. Kau tidak perlu banyak berpesan kepada murid-muridmu. Pesan itu sama sekali tidak akan berarti. Sebab kau dan murid-muridmu sebentar lagi sudah akan terbunuh di sini.”

“Baik, Ki Tambak Wedi. Baik. Aku akan cepat datang.” Kiai Gringsing itu segera melangkah keluar ketika ia melihat Ki Tambak Wedi menebarkan pandangan matanya ke sekeliling halaman. Sebagai seorang yang berpengalaman, maka segera ia menangkap apa yang tersirat di hati orang tua yang selama ini menghantui lereng Gunung Merapi.

“Apakah kau sedang mencari sesuatu, Kiai?” bertanya Kiai Gringsing.

“Aku hanya tidak sabar lagi menunggumu. Apakah kau sedang mengulur waktu?”

“Tidak, aku memang harus segera mulai. Bukankah kau sedang mencari jalan keluar? Seharusnya kau tidak perlu lagi mencari, bukankah daerah ini kau kenal dengan baik?”

“Cukup!” potong Ki Tambak Wedi lantang. “Ternyata memang kau ajari muridmu untuk membual. Ayo, bersiaplah kita akan segera mulai.”

Kiai Gringsing menganggukkan kepalanya. Kini wajahnya yang biasanya selalu dihiasi dengan senyumnya yang jernih, tampak, menjadi bersungguh-sungguh. Orang tua itu melihat wajah Ki Tambak Wedi yang menyala. Menghadapinya kini sama sekali bukan permainan yang dapat dianggap ringan. Ia harus bersungguh-sungguh pula seperti Ki Tambak Wedi.

Sementara itu Agung Sedayu dan Swandaru telah keluar pula dari dalam rumah. Tak ada pesan yang mereka ucapkan kepada Wuranta. Tiba-tiba saja hubungan mereka menjadi sangat kaku. Mereka ingin berkata seperti apa yang dikatakan oleh Ki Tanu Metir. Menitipkan Sekar Mirah kepadanya. Tetapi Wuranta sama sekali tidak memandang mereka ketika mereka melangkahi tlundak pintu. Bahkan kemudian Sekar Mirah pun berdiri saja membeku. Sekali ia mencoba mencuri pandang ke arah wajah Wuranta yang pucat. Tetapi Wuranta melemparkan pandangan matanya jauh menembus pintu ke luar. Ia sama sekali tidak tertarik pada beberapa orang yang berdiri di luar pintu. Tetapi sorot matanya hinggap pada hijaunya dedaunan di kejauhan. Ditatapnya sinar matahari yang seolah-olah menari-nari pada ujung pepohonan. Angin yang lembut berhembus membelai ranting-ranting yang bergerak-gerak di bawah bayangan yang seolah-olah berloncatan dari daun ke daun.

“Alangkah nikmatnya menghayati sinar matahari yang cemerlang,” desisnya di dalam hati.

Tiba-tiba Wuranta teringat kepada obat yang digenggamnya. Perlahan-lahan tangannya yang gemetar membuka sumbat bumbung kecil itu. Ditaburkannya beberapa berkas serbuk di tangannya yang merah karena darah. Kemudian diulaskannya taburan itu pada luka di dadanya. Terasa pada lukanya seolah-olah dijalari oleh perasaan yang dingin.

Setelah bumbung itu disumbatnya kembali, maka tanpa disengaja matanya hinggap pada wajah Sekar Mirah yang tunduk. Terasa dadanya bergetar. Gadis itu masih saja berdiri kaku di tempatnya. Seperti dirinya sendiri yang sama sekali belum beranjak selangkah pun. Sedang di luar beberapa orang laki-laki telah bersiap untuk bertempur.

Wuranta terkejut ketika ia mendengar gemeletarnya suara cambuk. Terasa dadanya berdesir. Suara cambuk itu telah membuat tulang-tulang iganya seolah-olah akan rontok. Apalagi ketika suara itu disusul oleh pekik kecil Sekar Mirah yang ketakutan.

Sejenak Wuranta menjadi bingung. Hampir-hampir ia meloncat mendekati Sekar Mirah dan menenteramkan hati gadis itu supaya ia menjadi tidak terlampau takut. Tetapi niat itu tidak pernah dilakukannya. Bukan karena lukanya yang membahayakan jiwanya. Sebab luka itu dalam keadaan yang demikian seakan-akan tidak lagi terasa begitu pedih. Namun ada perasaan yang lain yang mencegahnya untuk mendekati Sekar Mirah. Dan perasaan itulah yang kini terasa sakit.

Ketika ia memandangi Sekar Mirah sekali lagi, maka dilihatnya wajah gadis itu amat pucatnya, dan bahkan tubuhnya menjadi gemetar. Lewat lubang pintu yang miring, gadis itu melihat bayangan Ki Tambak Wedi dan Ki Tanu Metir sambar-menyambar. Bahkan kemudian suara cambuk Kiai Gringsing itu ternyata tidak hanya menggeletar satu kali, tetapi dua kali, tiga kali dan berulang kali.

Sekar Mirah akhirnya tidak tahan lagi. Tiba-tiba ia duduk dengan lemahnya di atas tanah. Sekali-sekali dilontarkannya pandangan matanya kepada Wuranta, seolah-olah minta anak muda itu menemaninya. Tetapi Sekar Mirah pun tiba-tiba menjadi segan dan bingung menghadapinya.

Di dalam ruangan itu. kedua orang Tambak Wedi masih saja terikat erat-erat. Sekilas mereka memandang Wuranta yang lemah, kemudian Sekar Mirah yang pucat. Tetapi mereka sendiri kemudian menjadi gemetar pula mendengar suara lecutan yang dahsyat di luar rumah.

Ternyata Ki Tanu Metir dan Ki Tambak Wedi sudah terlibat dalam perkelahian yang sengit. Perkelahian antara dua orang yang jarang-jarang dicari tandingannya.

Sementara itu Sidanti dan Argajaya pun telah bersiap pula menghadapi kedua murid Kiai Gringsing. Tetapi sejenak mereka terpesona melihat pertempuran yang dahsyat itu. Mereka melihat senjata ciri kebesaran perguruan Tambak Wedi menyambar-nyambar seperti seribu tatit yang melonjak-lonjak di udara menyerang Kiai Grngsing dari segala arah. Tetapi kemudian mereka melihat Kiai Gringsing mengambil jarak beberapa langkah. Dan bergetarlah udara di atas padepokan Tambak Wedi karena ledakan cambuk Kiai Gringsing. Ledakan cambuk yang seolah-olah ledakan guruh yang menyusul sambaran kilat yang mendahuluinya. Dan cambuk itu pun kemudian berputar melampaui kecepatan baling-baling yang ditiup angin prahara. Bergulung-bergulung melanda hantu yang selama ini merajai lereng Merapi.

Tetapi nenggala Ki Tambak Wedi pun seolah-olah memiliki mata tujuh kali lipat tajam mata manusia. Betapa rapatnya putaran cambuk Kiai Gringsing, namun senjata yang runcing di kedua ujungnya itu mampu menyusup, untuk mematuk tubuh Ki Tanu Metir. Namun Ki Tanu Metir pun cukat seperti sikatan. Sehingga setiap kali serangan masing-masing tidak menyenluh sasarannya.

Pertempuran itu semakin lama menjadi semakin dahsyat, seperti angin pusaran di musim peralihan. Berputaran mengerikan.

Agung Sedayu dan Swandaru pun memperhatikan pertempuran itu dengan dada berdebar-debar. Mereka sering melihat gurunya bergerak-gerak dengan lincah dalam latihan-latihan hampir setiap hari. Tetapi perkelahian kali ini agaknya telah memeras hampir segenap kemampuan orang tua itu sehingga tata geraknya menjadi semakin cepat dan lincah.

Tetapi kedua anak muda itu segera menyadari keadaannya ketika mereka melihat Sidanti dan Argajaya telah siap menerkam mereka dengan senjata masing-masing. Kali ini Argajaya telah bersiap dengan tombak pendeknya, sedang Sidanti menggenggam pedang.

“Kau tidak akan dapat lari lagi,” desis Sidanti.

Agung Sedayu tidak menjawab. Tetapi mengingat pesan gurunya segera ia menempatkan diri untuk melawan murid Tambak Wedi itu. Sedang Swandaru Geni telah bersedia pula melawan Argajaya.

Seleret Ki Tanu Metir memandang mereka. Hatinya menjadi tenteram ketika murid-muridnya menuruti masehatnya. Ia tahu benar perbandingan kekuatan kedua muridnya dan kedua lawannya. Kiai Gringsing pernah melihat Sidanti berkelahi dan pernah melihat Argajaya bertempur. Ia melihat pula kedua-duanya ketika mereka melawan para prajurit Pajang yang datang bersama Untara. Karena itu maka ia dengan sungguh-sungguh berpesan kepada kedua muridnya untuk menempatkan dirinya sesuai dengan keseimbangannya.

Dalam pada itu Swandaru telah berdiri beberapa langkah dari Argajaya. Tiba-tiba ia membungkuk hormat sambil lersenyum. Katanya, “Bukankah Tuan tidak lupa kepadaku?”

“Persetan!” geram Argajaya.

“Di Prambanan Tuan bertempur melawan anak muda yang bernama Sutajia. Kini Tuan berhadapan dengan aku, Swandaru Geni.”

“Tutup mulutmu. Aku sudah tahu siapa kalian dan siapa anak yang menyebut dirinya Sutajia itu.”

“O,” Swandaru mengangguk-anggukkan kepalanya.

“Kau sangka aku takut karenanya?” Argajaya semakin marah.

Swandaru menggeleng, “Tidak. Aku tahu bahwa Tuan tidak mengenal takut seperti apa yang aku lihat di Prambanan dahulu. Tuan memang luar biasa.”

“Sekarang apa yang akan kau lakukan?”

“Sekarang aku akan bertempur melawan Tuan. Tetapi aku tidak akan sekedar menakut-nakuti seperti Sutawijaya. Tetapi aku ingin benar-benar membenamkan pedangku ini ke dalam perut Tuan.”

Argajaya menjadi semakin marah. Wajahnya seolah-olah terbakar oleh api yang menyala di dalam dadanya. Tetapi ia ternyata lebih lambat dari Sidanti. Sebab saat itu Sidanti telah meloncat menyerang Agung Sedayu sejadi-jadinya.

“Nah, lihat, kemanakan Tuan sudah mulai. Apa lagi yang Tuan tunggu?”

Argajaya tidak ingin menjawab lagi. Segera ditundukkannya tombaknya. Selangkah demi selangkah ia maju mendekati Swandaru ynng kemudian menyilangkan pedangnya di muka dadanya.

Jarak antara Swandaru Geni dan Argajaya itu pun menjadi semakin pendek, dan sejalan dengan itu wajah-wajah mereka pun menjadi semakin tegang. Swandaru pernah melihat Argajaya bertempur, melawan Sutawijaya, dan melihat betapa keras hati orang itu. Dengan demikian maka ia tidak lagi berani bermain-main. Ia harus bersungguh-sungguh menghadapi tombak pendek yang siap mematuknya itu.

Beberapa langkah dari Swandaru, Argajaya berhenti. Tetapi ia sudah tidak ingin berbicara lagi. Sekilas ia melihat Sidanti telah berkelahi semakin sengit dan Ki Tambak Wedi bertempur semakin dahsyat. Karena itu, maka segera ia pun akan membuka perkelahian pula.

Sejenak kemudian Swandaru melihat Argajaya mengambil ancang-ancang. Dan sekejap kemudian orang itu telah meloncat sambil menjulurkan tombaknya ke arah dadanya.

Swandaru dapat menduga kekuatan yang tersalur lewat tombak itu. Dengan demikian maka ia harus sangat berhati-hati. Tetapi Swandaru pun memiliki kekuatan dasar yang cukup, apalagi setelah mendapat petunjuk dari Kiai Gringsing bagaimana ia harus menyalurkannya. Karena itu maka Swandaru pun mempunyai kebanggaan pula atas tenaganya.

Kali ini pun Swandaru akan menjajagi kekuatan tenaga lawannya, selagi Argajaya agaknya belum menumpukkan segenap kekuatannya. Karena itu, maka Swandaru sama sekali tidak menghindar. Dibiarkannya tombak itu semakin lama menjadi semakin dekat ke dadanya. Namun ia telah mempersiapkan pedangnya untuk menangkisnya.

Argajaya yang melihat sikap Swandaru itu mengumpat di dalam, hatinya, “Setan kecil ini benar-benar sombong.” Dan dengan demikian maka Argajaya pun menambah tenaganya lagi.

Sejenak kemudian terjadilah sebuah benturan dari kedua senjata itu. Senjata Argajaya, sebuah tombak pendek dan pedang Swandaru Geni. Benturan yang cukup kuat, sehingga telah menarik perhatian Ki Tanu Melir dan Agung Sedayu serta lawan-lawannya.

“Bukan main,” desah Kiai Gringsing, “anak itu memang terlalu banyak yang ingin diketahui. Dalam keadaan serupa ini pun ia masih juga mencoba-coba.”

Akibat dari benturan itu pun ternyata mengejutkan kedua belah pihak. Swandaru Geni bergetar dan meloncat surut selangkah. Tangannya merasakan betapa kuat tenaga Argajaya yang tersalur lewat tombaknya, ditambah tenaga dorong dari loncatannya. Namun Argajaya pun terdorong pula ke samping. Hampir saja ia harus berputar karena tarikan tombaknya yang dipukul ke samping oleh Swandaru Geni.

Hampir bersamaan mereka berdua menggeram. Tetapi wajah Argajaya-lah yang tampak seolah-olah menyala karena kemarahannya. Ternyata anak yang gemuk itu mempunyai kekuatan yang cukup, meskipun tidak berhasil melepaskan tombaknya seperti Sutawijaya di pinggir Kali Opak. Namun apabila anak muda itu sudah melepaskan seluruh kekuatannya, maka tidak mustahil bahwa kali ini pun tombaknya akan meloncat dari tangannya. Justru karena itu maka Argajaya menjadi semakin berhati-hati. Ia tidak dapat lagi merendahkan lawannya. Ia tidak mau peristiwa di pinggir Kali Opak itu terulang lagi meskipun ia sama sekali tidak takut menghadapi akibat daripadanya. Namun mati di ujung senjata anak-anak sama sekali tidak menyenangkannya.

Demikianlah maka perkelahian itu pun segera berkobar pula dengan dahsyatnya. Tiga lingkaran perkelahian yang seimbang. Ki Tanu Metir dan Ki Tambak Wedi pun ternyata telah mengerahkan kekuatan dan ilmu mereka. Bukan main dahsyat perkelahian itu.

Sedahsyat angin prahara yang mengamuk di lautan. Senjata-senjata mereka menyambar-nyambar dan menukik-nukik seperti panggilan maut dari ujung bumi. Sentuhan-sentuhan senjata itu telah menggoyangkan pepohonan dan menggugurkan daun-daunnya. Sedang tanah tempat mereka berjejak menjadi seperti baru saja dibajak.

Di sisi lain Sidanti bertempur melawan Agung Sedayu dengan nyala dendam di dalam dada masing-masing. Bukan saja karena mereka berdiri pada pihak yang berlawanan dalam persoalan tata pemerintahan, tetapi ternyata di dalam dada mereka telah berkobar pula kebencian dan kedengkian karena seorang gadis.

Bukan saja karena yang seorang berdiri pada barisan Tambak Wedi dan yang lain sebagai seorang adik Senapati Pajang yang bertugas untuk menyelesaikan masalah itu, tetapi juga karena keduanya telah mencoba menambatkan hati mereka kepada tambatan yang sama. Sekar Mirah.

Dengan demikian maka pertempuran di antara mereka benar-benar merupakan usaha untuk menyelesaikan persoalan yang bertimbun itu. Sebagai seorang murid Ki Tambak Wedi, betapa Sidanti membenci adik Untara itu dan sebaliknya juga sebagai seorang anak muda yang menginginkan Sekar Mirah, maka mereka tidak melihat jalan lain daripada memusnakan lawannya.

Ternyata Agung Sedayu tidak mengecewakan gurunya. Setelah mendapat tuntunan dengan sebaik-baiknya, serta usaha yang tekun tanpa mengenal lelah, Agung Sedayu tidak lagi mengalami banyak kesulitan menghadapi murid Tambak Wedi. Gerak dan tandang Agung Sedayu memberikan beberapa kebanggaan kepada gurunya. Cepat, namun dilambari oleh kekuatan yang cukup. Sebagai seorang murid dari Kiai Gringsing, maka anak muda ini benar-benar mencerminkan gurunya. Tetapi sebagai putera dari seorang yang bernama Ki Sadewa, Agung Sedayu telah membawa dasar kekuatan tubuh serta otot bebayu. Ketajaman pandangan mata dan perhitungan yang terang menghadapi keadaan. Bahkan bekal yang sudah dibawanya pada saat ia mendapat tuntunan dari Kiai Gringsing, ilmu yang didapat dari ayahnya, kakaknya dan pamannya, ternyata telah luluh menjadi susunan gerak yang manis tetapi cukup berbahaya bagi Sidanti yang perkasa.

***
Sedang di sudut lain, Swandaru Geni menghadapi lawannya dengan hati yang tegang. Ternyata Argajaya benar-benar tangguh dan kuat. Ia mampu bergerak cepat dan cukup membingungkan.

Dengan demikian maka Swandaru kini sudah tidak sempat lagi untuk tersenyum dan bergurau. Ia harus memusatkan segenap tenaga dan pikirannya untuk menghadapi lawannya.

Namun, bekal Swandaru pun ternyata cukup baik untuk menghadapinya. Meskipun Swandaru tidak, dapat berbuat terlampau banyak seperti Sutawijaya, tetapi menghadapinya, Argajaya pun tidak dapat berbuat sekehendak hatinya. Ternyata anak ini pun meskipun bertubuh gemuk, namun cukup lincah pula melawan segala macam serangannya.

Maka perkelahian itu pun menjadi semakin lama semakin seru. Keduanya mengerahkan segenap kemampuan yang ada pada diri masing-masing. Argajaya melihat bahwa yang terjadi saat ini adalah berbeda dengan apa yang terjadi dipinggir Kali Opak. Dahulu ia berkelahi benar-benar hanya menuruti perasaan, tanpa sebab dan tanpa taruhan yang berarti. Tetapi kini sebabnya adalah jelas dan taruhannya pun jelas.

Argajaya pun telah merasakan, bahwa Tambak Wedi pasti tidak akan dapat dipertahankan lagi. Dengan demikian maka satu taruhan telah pasti pula lepas dari tangan. Namun kini kemanakannya baru mempertahankanya yang kedua. Bagi Sidanti, taruhan ini tidak kalah penting dengan mempertahankan Tambak Wedi ini sendiri. Sebagai seorang paman, maka ia wajib ikut serta berbuat sesuatu dengan kemampuannya untuk kepentingan kemanakannya, selain dendamnya sendiri karena kekalahannya di pinggir Kali Opak.

Maka tak ada pikiran lain yang bergolak di dalam kepala Argajaya selain membunuh anak yang gemuk ini. Apalagi setelah mereka bertempur beberapa lama. Terasa oleh Argajaya bahwa kekuatan lawannya kali uni tidak sama seperti anak muda yang dilawannya di pinggir Kali Opak. Pada anak ini ternyata masih dapat diketemukan beberapa segi kelemahannya. Ternyata kecepatan bergerak Swandaru Geni masih agak lambat dibanding dengan Argajaya yang cekatan. Tetapi kekuatan tenaga Swandaru masih dapat dibanggakan. Karena itulah maka Swandaru lebih banyak membenturkan tenaganya daripada berusaha menghindar.

Namun setiap kali Argajaya masih harus mengumpat di dalam hatinya. Apabila Swandaru dibingungkan oleh kecepatan serangan lawannya, maka jalan yang ditempuhnya adalah meloncat jauh-jauh untuk mengambil jarak. Kemudian dengan demikian ia menemukan kesempatan untuk memperbaiki keadaannya. Apabila lawannya tidak segera menyerangnya, maka serangannyalah yang datang seperti runtuhnya lereng Gunung Merapi. Bertubi-tubi, sehingga kadang-kadang Argajaya pun terpaksa menghindarinya agak jauh.

Ki Tanu Metir sempat juga sekilas melihat perkelahian, murid-muridnya. Ternyata Swandaru telah membuatnya agak cemas. Meskipun Argajaya pasti tidak akan dapat menguasainya dalam waktu yang singkat, tetapi orang tua itu dapat melihat beberapa kelemahan muridnya menghadapi Argajaya yang agaknya telah memiliki pengalaman yang cukup menghadapi lawan yang tangguh.

Kekalahan yang pernah dialaminya di pinggir Kali Opak agaknya telah mendorongnya menjadi semakin garang. Bahkan di dalam hati orang itu berjanji untuk menebus kekalahannya. Karena yang ada kini adalah Swandaru maka kepadanyalah dendam dan pembalasan itu akan ditumpahkan.

“Mudah-mudahan anak itu tetap tenang dan tidak kehilangan akal,” gumam orang tua itu di dalam hatinya. “Yang dapat menolongnya kali ini hanyalah ketenangan dan perhitungan yang cermat menghadapi segala macam keadaan.”

Untunglah bahwa Swandaru mempunyai sifat-sifat yang agak luar biasa. Menghadapi kesulitan yang bagaimanapun juga anak itu tidak segera menjadi bingung dan bermata gelap. Bahkan kadang-kadang dalam keadaan yang berbahaya ia masih juga dapat bergurau. Namun kali ini wajahnya menjadi tegang dan bersungguh-sungguh. Tetapi seperti harapan gurunya, Swandaru tidak kehilangan akal dan menjadi mata gelap. Dengan demikian maka ia masih mampu menghadapi lawannya dalam keadaan yang cukup baik.

Ki Tanu Metir sendiri pasti tidak akan segera dapat menolongnya. Ki Tambak Wedi ternyata telah memeras segenap ilmu untuk menguasai keadaan. Namun keduanya adalah orang-orang yang cukup menyimpan ilmu dan pengalaman, sehingga sampai sejauh itu, sama sekali tidak ada tanda-tanda bahwa salah seorang dari padanya akan memenangkan perkelahian itu. Hanya sekali-sekali saja ujung cambuk Kiai Gringsing mampu menyentuh tubuh K Tambak Wedi. Sekali-sekali dan terlampau jarang. Itulah kemenangan yang dapat dinikmati oleh Kiai Gringsing. Sedang senjata lawannya sama sekali tidak dapat menyentuh kulitnya. Tetapi tubuh Ki Tambak Wedi pun cukup kuat untuk bertahan atas sengatan ujung cambuk lawannya, meskipun ia terpaksa menyeringai menahan pedih.

Wuranta yang luka itu akhirnya tidak tahan berdiri saja di tempatnya. Apalagi melihat Sekar Mirah yang duduk dengan lemahnya di lantai dengan tubuh yang gemetar. Ia tidak dapat pula mendekatinya dan berkata kepadanya supaya gadis itu tidak takut melihat perkelahian di luar dan tidak gentar mendengar suara ledakan cambuk itu, karena cambuk itu adalah suara cambuk Ki Tanu Metir.

Tidak. Tak ada tenaga yang cukup mendorongnya untuk mendekati Sekar Mirah. Tiba-tiba saja terasa ada sebuah tirai yang memisahkannya. Tirai yang tidak mampu ditembusnya.

Maka tanpa dikehendakiuya sendiri, anak muda itu melangkah dengan lemahnya ke arah pintu yang telah menjadi miring. Ia tidak bernafsu lagi untuk segera memungut pedangnya yang terlepas dari tangannya.

Sejenak ia berdiri mematung. Tanpa berkedip ia menyaksikan tiga lingkaran perkelahian di halaman rumah itu. Pertempuran antara Ki Tanu Metir dan Ki Tambak Wedi membuatnya menjadi pening. Keduanya seolah-olah telah kehilangan bentuknya. Seolah-olah keduanya telah berubah menjadi bayangan yang melontar-lontar tanpa berhenti, melingkar-lingkar dengan kecepatan yang tidak pernah dapat dibayangkan.

Di sudut lain ia melihat Swandaru bertempur melawan Argajaya. Meskipun ia sendiri tidak mampu berkelahi secepat dan sekuat itu, namun ia dapat menangkap betapa dahsyatnya perkelahian itu, betapa berbahayanya ujung senjata masing-masing yang seolah-olah menjadi kehausan, untuk menghisap darah.

Sedang Agung Sedayu dan Sidanti pun bertempur tidak kalah sengitnya. Bahkan terasa betapa nyata dendam di hati masing-masing berkobar dengan dahsyatnya. Ujung-ujung pedang mereka berputaran dan melonjak-lonjak, mematuk ke segenap bagian tubuh lawan masing-masing.

Wuranta tertegun menyaksikan pertempuran itu. Semakin seru kedua orang itu berkelahi, semakin terasa betapa kecil dirinya sendiri. Anak muda itu merasa, bahwa ia sama sekali bukan akan dapat berbuat serupa itu. Apalagi serupa itu, bahkan mengikuti perkelahian itu pun hampir-hampir ia tidak mampu lagi. Gerak masing-masing terlampau cepat baginya. Apalagi gerak ujung senjatanya.

Tiba-tiba Wuranta itu merasa bahwa dirinya sama sekali tidak berarti dalam persoalan ini. Apa yang dilakukan hanyalah sekedar melakukan perintah. Ia tidak akan mampu berbuat demikian tanpa petunjuk-petunjuk dari orang tua yang menamakan dirinya Ki Tenu Metir. Dan bahkan ia merasa bahwa dirinya tidak lebih berharga dari sehelai pedang.

“Aku hanya alat,” desisnya, “apabila sudah tidak terpakai lagi maka aku akan dibuang. Betapa pentingnya sebuah alat, maka yang lebih penting adalah yang menggerakkannya.”

Wuranta menarik nafas dalam-dalam. “Apa gunanya aku mengobati lukaku,” katanya pula di dalam hati, “bukankah aku sudah tidak diperlukan lagi? Selama ini aku merupakan alat yang hidup untuk melepaskan gadis itu. Kini saat pelepasan sudah semakin dekat. Dan aku tinggallah di tempatku yang lama.”

Kini sakit lukanya sudah tidak terasa lagi. Yang lebih pedih adalah luka di hatinya. Hubungannya yang terjadi hanya beberapa hari dengan Sekar Mirah, ternyata telah membekas terlampau dalam di dadanya. Ia tidak lagi dapat berpura-pura, seperti kepada Sidanti dan Alap-alap Jalatunda. Ia tidak lagi dapat menipu seperti ia menipu orang-orang Tampak Wedi dan orang-orang Jipang. Kali ini yang dihadapi adalah perasaan sendiri. Dan ia tidak dapat mengingkari kenyataan yang ada di dalam dirinya sendiri itu.

Tanpa disengaja, sekali Wuranta berpaling. Dilihatnya Sekar Mirah yang duduk di lantai itu justru sedang memandanginya. Terasa betapa hatinya meratap seperti belanga yang terbanting di atas batu. Pecah hancur berserakan.

“Hem,” Wuranta itu menarik nafas dalam-dalam, “seandainya aku dapat bermain pedang dan berkelahi secepat Agung Sedayu. Aku akan dapat menengadahkan dada dan berkata seperti Sidanti, ‘Ayo, kita selenggarakan perang tanding,’ Tetapi aku tidak lebih dari anak padesan. Anak padesan yang hanya pantas dipakai sebagai alat. Seandainya aku mati dalam tugas yang diberikan oleh Ki Tanu Metir itu pun tak seorang akan menangisi aku. Dan apakah sebenarnya hak Ki Tanu Metir saat itu memberi tugas yang berbahaya ini? Tugas yang ternyata telah hampir membunuhku, bukan karena ujung pedang, tetapi oleh perasaan sendiri yang justru hancur di dalam tugas ini?”

Wuranta sekali lagi menarik nafas dalam-dalam. “Seharusnya aku tidak melarikan diri dari tiang gantungan yang segera akan dipasang oleh Sidanti hari ini. Aku tidak akan menyaksikan dan merasakan kepahitan seperti ini.”

Wuranta itu terkejut ketika kemudian ia mendengar lecutan meledak di halaman itu. Agak lebih keras dari yang mendahuluinya. Dan Wuranta itu kemudian melihat Ki Tambak Wedi meloncat agak jauh ke belakang. Tetapi sejenak kemudian keduanya telah terlibat lagi dalam perkelahian yang kisruh menurut pandangan mata Wuranta.

Sedang di tempat lain Swandaru masih melawan Argajaya dengan gigihnya meskipun beberapa kali ia harus meloncat surut. Sedang Agung Sedayu dan Sidanti pun berkelahi dengan dahsyatnya.

Dan perkelahian yang semakin sengit itu ternyata telah menyiksa perasaan Wuranta semakin pedih. Perkelahian itu seolah-olah seperti sebuah cermin yang menunjukkan betapa kerdil dirinya dalam lingkaran keprajuritan.

“Aku memang bukan prajurit. Aku tidak ingin menjadi seorang prajurit. Apakah tidak ada lain bidang kebaktian selain menjadi seorang prajurt? Bukankah aku seorang petani yang mempunyai bidang tersendiri dalam mengabdikan diriku kepada lingkungan hidupku, kepada kampung halaman dan kepada Pajang. Biarlah mereka yang mampu bertempur sebagai seorang prajurit berbuat dan mengabdi sesuai dengan kemampuan mereka. Mereka pun pasti tidak akan mampu memberikan pengabdian seperti aku. Dan biarlah aku berbangga karena itu.”

Dengan demikian maka Wurauta sedikit menemukan ketenteraman di dalam dirinya. Ia mencoba membangunkan kebanggaan atas dirinya sendiri yang hampir-hampir jatuh tersungkur di dalam rasa rendah diri dan tidak berarti. Meskipun demikian kepahitan yang dirasakannya, sama sekali tidak dapat dimuntahkannya kembali. Gadis itu benar-benar telah menyiksanya.

Di luar pengetahuan Wuranta, maka Ki Tanu Metir selalu diganggu oleh kecemasannya tentang Swandaru. Semakin lama terasa bahwa kecepatan bergerak Argajaya agak membahayakan anak muda itu. Untunglah bahwa Swandaru menyadari kekurangannya, dan anak muda itu tidak kehilangan akal karenanya. Setiap kali Swandaru berusaha untuk beradu kekuatan. Setiap kali ada kesempatan, Swandaru berusaha untuk membenturkan senjatanya. Dengan demikian maka getaran-getaran yang timbul dari benturan-benturan itu telah merayapi tangan Argajaya. Kadang-kadang benturan itu terlampau keras, sehingga tangan Argajaya terasa menjadi pedih. Namun sesaat kemudian Swandaru telah dibingungkan oleh gerak yang cepat dari lawannya itu. Hanya ketenangannyalah yang membantunya setiap kali melepaskannya dari bahaya. Setiap kali tepat pada saatnya pedangnya berhasil menggeser ujung tombak lawannya yang hampir menyentuh kulitnya.

“Sampai berapa lama anak itu akan dapat bertahan,” desah Ki Tanu Metir di dalam hatinya. Tetapi adalah lebih baik melawan Argajaya itu daripada harus melawan Sidanti yang garang dan terlampau buas.

Demikianlah maka mereka yang bertempur itu telah tenggelam dalam suatu pemusatan segala macam kemampuan mereka. Ki Tanu Metir telah mencoba pula mengatasi lawannya. Tetapi setiap kali ia sadar, bahwa Ki Tambak Wedi pun telah berbuat serupa pula sehingga tidak mungkin baginya untuk menguasai lawannya dalam waktu yang singkat. Sedang keadaan Swandaru semakin lama menjadi semakin sulit. Agung Sedayu pun tidak akan dapat berbuat apa-apa, sebab perkelahiannya sendiri tidak juga tampak segera sampai ke ujung.
Namun ada satu harapan yang masih membersit di dalam dada Ki Tanu Metir. Untara. Kalau anak muda itu segera menyelesaikan perkelahiannya atau segera mengetahui bahwa Ki Tambak Wedi dan Sidanti berserta pamannya hilang dari pertempuran, maka ia pasti akan mencarinya. Setidak-tidaknya beberapa orang perwiranya akan disebarnya di seluruh padepokan ini. Ki Tambak Wedi pasti diketahui tidak akan meninggalkan padepokan ini lewat pintu padepokan, sebab Untara telah menempatkan beberapa orang di sana.

“Ternyata Argajaya masih terlampau kuat untuknya,” desis Ki Tanu Metir di dalam hatinya. Meskipun demikian, tak ada cara lain bagi orang tua itu, apabila keadaan memaksa, adalah mencoba menggabungkan kekuatan kedua muridnya. Bertempur berpasangan. Ia mengharap bahwa Agung Sedayu dan Swandaru akan dapat bekerja sama lebih rapi dari Sidanti dan pamannya. Kelincahan dan kecepatan bergerak Agung Sedayu dan kekuatan tenaga Swandaru akan dapat bergabung menghadapi kedua lawannya.

Tetapi tiba-tiba perkelahian itu terganggu. Di kejauhan samar-samar mereka mendengar suara sorak sorai membelah udara padepokan Tambaik Wedi. Suara itu bergelombang seolah-olah memecahkan dinding-dinding padepokan yang kokoh kuat itu.

“Gila,” geram Ki Tambak Wedi, “apa yang telah terdiadi?”

“Selesai,” sahut Ki Tanu Metir, “pertempuran itu pasti sudah selesai.”

“Kau sangka bahwa pasukan Untara akan menang?”

“Ya.”

“Omong kosong!” bentak Ki Tambak Wedi. Sementara itu mereka masih juga sibuk bertempur dengan serunya, “Untara terbunuh. Yang bersorak itu adalah orang-orang Tambak Wedi dan orang-orang Jipang. Kau mau mencoba mempengaruhi perasaanku, supaya kau mendapat kesempatan baik untuk menolong muridmu yang sebentar lagi pasti akan mati terbunuh oleh tombak Angger Argajaya. Sesudah itu, maka keseimbangan dari kekuatan kita akan miring. Agung Sedayu harus melawan dua orang. Sidanti dan Angger Argajaya. Nah akibat seterusnya dapat kau perhitungkan. Kau sendiri pasti akan mati berkubur di padepokan ini.”

Ki Tanu Metir tidak segera menjawab. Tetapi terdengar suara tertawanya menyakitkan hati. Baru kemudian ia berkata, “Kau sangka aku tidak melihat perkelahian di halaman banjar itu? Perkelahian yang menyenangkan? Pasukanmu dan orang-orang Jipang ternyata telah terlampau lelah untuk melawan pasukan Angger Untara yang masih segar. Apalagi setelah pasukannya yang berjalan kaki memasuki padepokan ini. Kalau tidak demikian, maka kau pasti tidak akan lari dari arena bersama muridmu dan pamannya itu.”

“Tutup mulutmu!” bentak Ki Tambak Wedi. Serangarmya tiba-tiba melonjak mengerikan. Hampir saja mulut Ki Tanu Metir tersentuh ujung senjata hantu lereng Merapi itu.

“Ut,” Ki Tanu Metir terpaksa mengelak mundur. Dengan serta-merta cambuknya menyambar lawannya. Terdengar ledakannya memekakkan telinga. Tetapi Ki Tambak Wedi sempat menghindarkan dirinya.

Namun sorak yang terdengar di kejauhan telah mempengaruhi hati Ki Tambak Wedi. Sebenarnya ia pun tahu bahwa pasukannya sama sekali tidak aakan memenangkan pertempuran. Tepat seperti kata-kata Ki Tanu Metir, apabila imbangan pertempuran itu tidak terlampau berat sebelah, maka ia tidak akan lari dari arena.

“Sorak itu adalah akhir dari pertempuran,” desis Ki Tanu Metir kemudian.

Ki Tambak Wedi tidak menjawab. Ia berusaha semakin kuat untuk menekan lawannya. Tetapi seperti Kiai Gringsing, usaha yang demikian pasti hanya akan sia-sia.

Ketika sekali Ki Tambak Wedi melihat Argajaya dan Swandaru Geni, maka segera ia melihat bahwa agaknya Argajaya akan lebih cepat daripadanya menyelesaikan perkelahiannya. Tetapi apakah Argajaya dapat lebih cepat dari kedatangan pasukan Untara itu?

Dengan demikian maka Ki Tambak Wedi sudah mulai dijalari oleh perasaan gelisah. Sorak di kejauhan sudah mulai menurun. Hampir dapat dipastikan bahwa sebentar lagi pasukan berkuda yang tersisa akan berlari-larian di sepanjang padepokan ini. Satu dua orang dari mereka tidak akan berarti apa-apa bagi Ki Tambak Wedi. Tetapi selanjutnya pasti akan menyusul yang lain lagi. Empat, lima, sepuluh dan kemudian berpuluh-puluh bersama-sama dengan Untara sendiri.

Dalam kegelisahan itu Ki Tambak Wedi terpaksa meloncat surut untuk menghidari serangan Kiai Gringsing yang justru menjadi semakin garang. Berkali-kali cambuknya meledak-ledak memekakkan telinga. Kedua muridnya seakan-akan telah menjadi kebal mendengar suara cambuk itu. Tetapi bagi Sidanti dan Argajaya suara itu agaknya cukup mengganggu ketenangan mereka.

Setiap kali cambuk itu meledak, maka Swandaru merasa mendapat kekuatan baru. Setiap kali ia mendengar Argajaya berdesah, dan bahkan mengumpat. Kesempatan yang kecil itu dimanfaatkan oleh Swandaru sebaik-baiknya, sebab ia merasa bahwa tekanan Argajaya semakin lama menjadi semakin berat. Bahkan kemudian Argajaya seakan-akan telah membuat telinganya menjadi tuli.

Meskipun suara cambuk Ki Tanu Metir masih juga kadang-kadang menghentak dadanya, tetapi Argajaya telah memusatkan segenap perhatiannya atas lawannya. Ia yakin bahwa lawannya yang gemuk itu akan dapat dikalahkan apabila ia mendapat waktu yang cukup. Ia pun sadar, bahwa pengaruh suara cambuk itu telah memperlambat kemenangannya. Namun kini ia telah berhasil memusatkan segenap tenaganya tanpa menghiraukan suara cambuk yang meledak-ledak itu lagi.

Tetapi meskipun demikian, meskipun ia berhasil melenyapkan pengaruh suara cambuk Ki Tanu Metir, namun Argajaya sama sekali tidak berhasil meniadakan pendengarannya atas suara sorak-sorai di kejauhan yang seolah-olah membelah langit. Suara itu langsung menyentuh hatinya.

“Setan alas!” orang itu mengumpat. “Aku tinggal memerlukan waktu sedikit untuk membinasakan anak gemuk yang sombong ini. Apakah sorak itu pertanda bahwa pertempuran telah selesai?”

Dengan demikian maka Argajaya pun menjadi gelisah pula. Kegelisahannya kini yang mempengaruhinya, sehingga justru kemenangannya menjadi tertunda pula. Setiap kali ia mencoba memandang kemenakannya dan Ki Tambak Wedi. Dan setiap kali pula suara sorak di kejauhan mengetuk dadanya.

Bukan saja Argajaya yang menjadi gelisah seperti Ki Tambak Wedi, tetapi Sidanti pun demikian pula. Anak muda itu pun mendengar suara sorak yang riuh menggetarkan udara padepokan Tambak Wedi. Dengan demikian maka pemusatan pikirannya pun menjadi terganggu. Setiap kali ia terpaksa menghindar surut dan bahkan meloncat jauh-jauh.

Suara sorak yang gemuruh itu kini sudah mereda. Bahkan hampir tidak terdengar lagi. Yang terdengar kini adalah gemerincing senjata beradu. Tombak Argajaya yang sering benar berbenturan dengan pedang Swandaru. Senjata Sidanti dan Agung Sedayu, serta ledakan-ledakan cambuk Ki Tanu Metir yang memekik-mekik tinggi.

“Setan tua ini licik sekali,” geram Ki Tambak Wedi di dalam hatinya. “Sengaja ia meledakkan cambuknya keras-keras untuk memanggil kawan-kawannya.”

Namun ternyata bukan saja demikian, tetapi Ki Tambak Wedi yang terganggu itu benar-benar mulai terdesak. Beberapa kali ia meloncat mundur seperti Sidanti. Beberapa kali pula ia terkejut melihat serangan lawannya yang terlampau cepat dan tiba-tiba.

Tetapi perhatian Ki Tambak Wedi kini sudah tidak lagi pada lawan-lawannya. Beberapa kali ia memandangi keadaan di sekitarnya. Dan akhirnya ditemukannya jalan yang sebaik-baiknya untuk menghindarkan diri dari bencana. Kalau Untara dan pasukannya sebentar lagi datang, itu berarti bencana baginya, bagi Sidanti beserta pamannya, Argajaya.

Karena itu, maka Ki Tambak Wedi segera mengambil keputusan untuk melarikan dirinya. Orang tua itu yakin, bahwa ia tidak akan dapat keluar lewat regol padepokannya. Karena itu ia harus mempergunakan jalan lain. Tetapi satu hal yang membuatnya ragu-ragu. Dengan demikian maka Sidanti tidak akan dapat membawa Sekar Mirah bersama mereka. Betapa akan kecewanya anak muda itu. Mungkin akan melampaui segala macam kegagalannya yang lain. Hal ini akan dapat membahayakan masa depannya.

Tetapi Ki Tambak Wedi tidak melihat jalan yang dapat ditempuhnya untuk mengambil Sekar Mirah. Meskipun mungkin Sekar Mirah kini sama sekali tidak diawasi oleh siapa pun, namun tak ada jalan baginya untuk masuk ke dalam gubug itu.

Ki Tambak Wedi terkejut ketika tiba-tiba saja ia mendengar kuda berderap. Terlampau cepat mendekati tempat perkelahian itu.

Terdengar Ki Tambak Wedi mengumpat. Kini tidak ada kesempatan lagi untuk menimbang-nimbang. Ia harus segera meninggalkan tempat itu bersama dengan Sidanti dan pamannya.

Ketika suara derap kaki kuda itu menjadi semakin dekat, maka tiba-tiba terdengar Ki Tambak Wedi bersuit nyaring. Dengan cekatan ia meloncat mundur, melepaskan diri dari lawannya dan kemudian berlari meninggalkannya.

Sidanti dan Argajaya telah mengenal tanda itu. Mereka pun dapat mengerti kesulitan yang bakal datang. Betapa kecewa hati Sidanti dan Argajaya, namun mereka harus meninggalkan tempat itu. Sidanti kecewa karena ia tidak berhasil membawa Sekar Mirah yang dengan susah payah telah diambilnya dari Sangkal Putung, sedang Argajaya kecewa karena ia tidak berhasil melepaskan dendamnya karena kekalahannya di pinggir Kali Opak. Tetapi keadaan telah memaksa mereka pergi. Dan mereka pun mendengar derap kuda semakin dekat.

Ketika mereka melihat Ki Tambak Wedi telah meninggalkan lawannya maka dengan tergesa-gesa mereka pun segera melepaskan diri. Meloncat dan berlari secepat-cepat mereka dapat. Semula mereka tidak mengerti, kenapa tiba-tiba saja Ki Tambak Wedi mendahului meninggalkan mereka. Namun mereka kemudian menyadari, bahwa orang itu ternyata telah mencoba melindungi mereka dari kejaran lawan-lawannya.

Ternyata ketika Agung Sedayu meloncat dengan pedang terjulur mengejar Sidanti, terdengar Ki Tambak Wedi berteriak nyaring memanggilnya. Tetapi Agung Sedayu tidak dapat mengekang diri untuk berhenti. Untunglah bahwa Ki Tanu Melir berhasil meloncat mendekatinya. Sejenak kemudian terdengar cambuk meledak, dekat sekali di muka Agung Sedayu. Mau tidak mau Agung Sedayu terpaksa berhenti. Alangkah terkejut anak muda itu ketika ia melihat sebuah gelang-gelang besi menggelepar di bawah kakinya.

“Hati-hatilah,” desis Ki Tanu Metir, “iblis itu sangat licik.”

Agung Sedayu sesaat berdiri saja seperti patung. Demikian juga Swandaru yang tidak pula kalah terperanjat dari Agung Sedayu ketika ia melihat gelang-gelang itu.

“Apakah mereka akan kita biarkan saja?” bertanya Agung Sedayu.

“Ikutlah di belakangku. Marilah mereka kita kejar,” jawab gurunya. Namun dengan demikian mereka telah kehilangan waktu sejenak.

Waktu yang sejenak itu ternyata telah dipergunakan sebaik-baiknya oleh Ki Tambak Wedi. Dengan secepat-cepatnya ia berlari diikuti oleh Sidanti dan Argajaya meloncati pagar halaman yang tidak begitu tinggi menuju ke jalan sempit di sebelah.

“Kita kehilangan waktu sesaat,” desis Ki Tanu Metir sambil berlari mengejar. Di belakangnya kedua muridnya mengikutinya

“Uh,” desah Swandaru sambil berlari-lari, “ternyata aku bukam pelari yang baik.”

Meskipun demikian Swandaru itu tidak tertinggal terlampau jauh dari saudara seperguruannya.

Sebenarnya kali ini Ki Tanu Metir benar-benar tidak ingin lagi melepaskan lawannya. Namun ternyata lawannya mempunyai cara yang licik untuk melepaskan dirinya. Untunglah bahwa ia melihat orang tua yang selama ini menggetarkan lereng Merapi itu mengambil gelang-gelang besinya dan siap untuk melemparkan. Dengan demikian maka ia dapat menyelamatkan Agung Sedayu, meskipun ia tahu juga bahwa itu hanyalah suatu cara untuk mendapatkan sekedar waktu.

Tetapi ternyata Ki Tambak Wedi telah beberapa puluh langkah berada di depan. Namun seandainya ia mempunyai kesempatan yang cukup, setidak-tidaknya ia akan mendapatkan Sidanti atau Argajaya, atau akan lebih baik lagi kalau Ki Tambak Wedi sendiri mencoba melindungi muridnya.

Ketika Ki Tambak Wedi hampir mencapai jalan sempit di sebelah halaman di samping, maka derap kuda yang mereka dengar telah menjadi dekat sekali. Bahkan kemudian mereka melihat seleret bayangan yang berlari di balik dedaunan.

Ki Tanu Metir menjadi berdebar-debar sejenak. Orang berkuda itu pasti akan melihat Ki Tambak Wedi berlari melintasi jalan yang dilalui kudanya. Tetapi apakah, yang akan terjadi kemudian apabila mereka justru bertemu?

“Mudah-mudahan Ki Tambak Wedi terhambat meskipun hanya sekejap,” desis Kiai Gringsing di dalam hatinya.

Tetapi yang terjadi telah mengguncangkan dadanya. Penunggang kuda itu ternyata adalah seorang prajurit Pajang. Beberapa puluh langkah di belakangnya kuda yang kedua menyusulnya. Ketika prajurit itu melihat seorang berlari melintas halaman, maka segera prajurit itu bermaksud memotong jalan. Namun nasibnya ternyata tidak terlampau baik. Begitu ia mencoba menghalangi orang yang sedang berlari itu, maka hampir tak dapat diketahui sangkan parannya, sebuah gelang-gelang besi menghantam pundak kanannya. Terasa pundaknya terdorong oleh kekuatan yang tidak dapat dibayangkannya sehingga prajurit itu terpelanting dari kudanya. Tanpa sesadarnya prajurit itu pun memekik tinggi.

Untunglah bahwa kaki-kaki kuda kawannya yang berada di belakangnya sempat menghindar, sehingga tubuhnya yang terbanting di tanah itu tidak terinjak. Meskipun demikian, maka prajurit itu menjadi pingsan. Ia tidak tahu apa yang terjadi atas dirinya. Ia tidak menyadari lagi bahwa kawannya itu kemudian meloncat turun dan mencoba merawatnya.

Ternyata apa yang diharapkan Kiai Gringsing terjadi sebaliknya. Ia ingin prajurit berkuda itu meskipun hanya sekejap menghambat Ki Tambak Wedi, tetapi yang terjadi adalah, Ki Tanu Metir sendirilah yang sekali lagi terpaksa melepaskan waktu sesaat. Sebagai seorang dukun, maka secara naluriah orang tua, itu berhenti sambil berteriak kepada prajurit yang seorang, “Rawatlah kawanmu itu sejenak, bawalah ia masuk ke rumah itu.”

Meskipun dengan demikian maka jarak Ki Tambak Wedi menjadi semakin jauh, tetapi ia tidak dapat melihat dan membiarkan seseorang yang sedang dibelai maut.

Setelah Ki Tanu Metir yakin bahwa prajurit yang seorang itu akan merawat kawannya, maka segera ia pun meneruskan langkahnya mengejar Ki Tambak Wedi.

“Mudah-mudahan tak ada jalan yang dapat dilaluinya,” berkata orang tua itu kepada kedua muridnya yang berlarian di belakangnya. “Kalau mereka memanjat dinding halaman, maka kita akan sempat menangkapnya. Tidak mudah untuk memanjat dinding yang cukup tinggi ini. Sedang apabila mereka mencoba terjun kesungai, maka kitalah yang akan mendapat giliran, melempar mereka dengan batu.”

“Tetapi kalau mereka terjun lewat urung-urung, maka mereka akan dapat meloloskan diri guru.”

Ki Tanu Metir terdiam sejenak. Namun langkahnya justru menjadi semakin cepat.

“Ya,” gumamnya, “tetapi mereka tidak menuju ke urung-urung.”

“Ya,” Agung Sedayu menyahut.

Mereka kemudian terdiam. Mereka mencoba mempercepat langkah mereka. Tetapi Ki Tambak Wedi, Sidanti, dan Argajaya pun berlari semakin cepat.

“Kemanakah mereka,” Ki Tanu Metir dan kedua muridnya berpikir di dalam hatinya. Orang-orang yang mereka kejar ternyata berlari ke arah yang tidak mereka mengerti. “Apakah ada pintu rahasia?” pertanyaan itu berputar-putar di dalam hati mereka.

Sejenak kemudian Ki Tanu Metir dan kedua muridnya melihat Ki Tambak Wedi, Sidanti, dan Argajaya menyeberangi sungai. Mereka sama sekali tidak berlari menyusur sungai itu. Apabila demikian maka mereka akan dapat mencari jalan memintas. Tetapi tidak, ketiganya berlari melintas sungai.

“Kemana mereka?” bertanya Swandaru yang ketinggalan beberapa langkah di belakang.

Ki Tanu Metir tidak menjawab. Ia berlari semakin cepat, sehingga kedua muridnya pun kini tertinggal semakin jauh. Orang tua itu ingin setidak-tidaknya untuk menangkap Sidanti atau Argajaya.

Seperti kedua murid Ki Tanu Metir, maka jarak antara Sidanti dan Argajaya dengan Ki Tambak Wedi pun menjadi semakin jauh pula. Namun Ki Tanu Metir menyadari, bahwa setiap saat Ki Tambak Wedi akan berhenti, berbalik dan melontarkan gelang-gelang besinya untuk melindungi Sidanti beserta pamannya.

Dengan demikian maka Ki Tanu Metir tidak kehilangan kewaspadaan meskipun tampaknya ia sedang mengejar musuhnya. Setiap kali ia bersiap menerima serangan yang bagaimanapun bentuknya.

Tetapi yang masih menjadi teka-teki baginya, kemana Ki Tambak Wedi ini akan berlari. Satu-satunya kemungkinan yang sedang dilakukan adalah, keluar dari padepokan ini lewat pintu rahasia. Karena itu maka ia harus menjadi semakin dekat. Begitu pintu rahasia itu terbuka bagi Ki Tambak Wedi dan Sidanti serta pamannya, maka ia pun harus dapat lewat pula di situ.

Ki Tanu Metir menjadi berdebar-debar ketika mereka sudah hampir mencapai dinding padepokan. Beberapa puluh langkah di muka mereka, dinding itu seakan-akan raksasa yang berdiri tegak, bertolak pinggang menghadang jalan.

“Kemana mereka akan lari?” desis Ki Tanu Metir di dalam hatinya.

Beberapa langkah di hadapannya Sidanti dan Argajaya tersuruk-suruk mempercepat larinya. Namun jarak mereka dengan Ki Tanu Metir menjadi semakin dekat.

“Dalam keadaan yang wajar aku akan mendapatkan salah seorang dari mereka,” berkata Ki Tanu Metir di dalam hatinya, “meskipun seandainya di muka itu ada sebuah pintu rahasia yang tiba-tiba saja terbuka.”

Tetapi apa yang diduganya sejak semula benar-benar terjadi. Ketika Ki Tambak Wedi telah berdiri di bawah dinding padepokan itu, maka tiba-tiba ia berbalik, dan sebuah gelang-gelang besi meluncur ke arah Ki Tanu Metir. Terdengar cambuk Ki Tanu Metir meledak. Ia ingin tetap tidak berhenti di tempatnya meskipun ia harus menangkis serangan-erangan Ki Tambak Wedi. Tetapi ketika Ki Tambak Wedi melepaskan gelang-gelang besinya yang kedua, sasarannya bukan Ki Tanu Metir. Kali ini sasarannya adalah Agung Sedayu. Untunglah bahwa Ki Tanu Metir melihat arah pandangan mata iblis itu, sehingga cepat ia dapat mengetahui apa yang akan dilakukan.

Sekali lagi cambuk Ki Tanu Metir menggeletar. Tetapi ia tidak dapat menghindarkan Agung Sedayu dari bencana sambil tetap berlari. Ki Tanu Metir terpaksa berhenti dan bahkan mundur selangkah mendekati Agung Sedayu. Bagaimanapun juga Ki Tanu Metir telah kehilangan lagi beberapa langkah.

Yang kemudian menghentak dada Ki Tanu Metir dan kedua muridnya adalah soal-soal yang sama sekali tidak diduganya. Ternyata mereka benar-benar mempergunakan pintu rahasia. Tetapi sama sekali tidak terdapat pada dinding padepokan itu. Sama sekali tidak ada sebuah pintu yang tiba-tiba saja terbuka, atau sebuah goa tempat mereka menyuruk ke luar dan yang tiba-tiba bibirnya runtuh menutup jalan.

Ternyata pintu rahasia itu adalah sebatang pohon. Merek bertiga dengan cepatnya meloncat memanjat sebatang pohon preh yang rimbun.

“Oh, kalian sangka aku tidak dapat secepat itu,” geram Ki Tanu Metir di dalam hatinya, “aku akan mengejar mereka sekalipun akan sampai ke puncak gunung ini.”

Tetapi sekali lagi Ki Tanu Metir menggeram. Ternyata pohon preh itu adalah pohon yang memang telah dipersiapkan sebagai sebuah pintu rahasia untuk meninggalkan padepokan ini tanpa melalui regol.

Meskipun Ki Tanu Metir dan kedua muridnya telah memanjat pohon itu pula, namun mereka terpaksa menarik nafas dalam-dalam untuk menenteramkan gelora di dada mereka. Mereka hanya dapat saling berpandangan ketika mereka melihat Argajaya, orang yang terakhir dari ketiga orang yang mereka kejar itu lelah mencapai dinding padepokan. Dengan sebuah sentuhan kaki, maka sebatang kayu yang mereka pergunakan untuk melempar dari dahan pohon preh itu ke dinding, terlempar jatuh.

“Setan!” Swandaru berteriak tanpa sesadarnya ketika ia melihat, ketiga orang itu meloncat turun dan hilang di seberang dinding.

“Ambil kayu itu,” teriak Agung Sedayu kepada Swandaru yang berada di paling bawah dari ketiganya.

“Tak ada gunanya,” sahut Ki Tanu Metir dengan nada yang dalam, “mereka sudah berlari semakin jauh, atau mereka menunggu di bawah dinding itu. Setiap kepala yang tersembul, pasti akan segera dipecahkan oleh gelang-gelang besi Ki Tambak Wedi. Ia sudah mendapat waktu untuk mempersiapkan dirinya. Tetapi apabila kita berada dekat di belakangnya, maka ia tidak mendapat kesempatan itu.”

“Kita meloncat dari dahan pohon ini langsung ke dinding itu,” berkata Swandaru.”

“Tak ada kemungkinan. Aku sangka mereka akan berbuat demikian juga. Dari bawah, kayu yang menyilang dari dahan pohon ini ke dinding batu itu tidak begitu tampak, tertutup oleh daun-daunnya. Sedang dahan-dahannya yang langsung tumelung ke atas dinding itu terlampau kecil,” sahut gurunya.

“Jadi bagaimana sekarang?” bertanya Agung Sedayu.

“Gagal,” jawab gurunya.

“Tak ada jalan lain?”

Kiai Gringsing menggelengkan kepalanya. “Satu-satunya kemungkinan kita mencari kuda. Kita mencoba menjelajahi daerah di sekitar padepokan ini. Tetapi kemungkinan untuk menemukannya terlampau kecil.”

Kedua muridnya mengangguk-anggukkan kepalanya mereka. Mereka pun menyadari, bahwa mereka telab kehilangan kemungkinan untuk segera dapat menemukan ketiga orang itu.

Terdengar Swandaru menggeretakkan giginya. Ia menjadi sangat kecewa. Ia ingin menangkap orang-orang yang melarikan adiknya dan membawanya ke Sangkal Pulung mati atau hidup. Tetapi mereka telah lepas dari tangan.

“Mereka telah memelihara dan mengatur pohon preh ini baik-baik,” berkata Kiai Gringsing kemuidian. “Mereka menebas setiap dahan yang cukup besar yang dapat mencapai dinding batu itu. Tetapi mereka sengaja membiarkan dahan2 yang kecil dan berdaun agak rimbun untuk menutupi kayu yang mereka silangkan itu.”

Sejenak kemudian mereka bertiga saling berdiam diri. Tetapi, mereka tidak segera turun dari atas pohon preh itu. Bahkan Agung Sedayu mencoba memanjat semakin tinggi. Ia mencoba untuk melihat ke luar dinding padepokan itu dari atas pohon. Tetapi anak muda itu tidak melihat sesuatu. Yang terbentang di luar padepokan itu adalah sebuah lapangan rumput yang sempit, kemudian di sebelah lapangan rumput itu adalah sebuah pategalan yang rimbun. Pategalan salak yang digarap oleh orang-orang yang tinggal di dalam padepokan Ki Tambak Wedi. Dengan demikian seandainya Ki Tambak Wedi, Sidanti, dan Argajaya menyusup ke dalam kebun salak itu, maka amat sukarlah untuk mencarinya.

“Dapatkah Kakang melihat?” bertanya Swandaru. Agung Sedayu menggelengkan kepalanya. “Kebun salak,” jawabnya.

“Marilah kita turun,” berkata Kiai Gringsing kemudian, “kita melihat Sekar Mirah. Apakah ia tidak terganggu selama ini.”

“O,” Swandaru berdesis, “marilah. Hampir aku lupa.”

Tiba-tiba Agung Sedayu pun menjadi tergesa-gesa turun dari pohon itu. Bahkan seolah-olah anak muda itu menyelusur saja ke bawah.

Ketiganya pun kemudian melangkah kembali ke gubug Sekar Mirah. Swandaru dan Agung Sedayu merasa langkah mereka itu terlampau lambat. Sekali-sekali mereka mendahului gurunya,

Ki Tanu Metir yang dapat mengetahui perasaan anak-anak muda itu pun kemudian mempercepat langkahnya pula. Tetapi ia tidak menjadi terlampau cemas. Menurut perhitungannya, maka beberapa orang prajurit Untara pasti sudah sampai ke tempat itu pula.

Namun tanpa mereka duga-duga, tiba-tiba terdengar Swandaru berdesah, “Aneh.”

“Apa yang aneh?” bertanya Agung Scdatu tidak mengerti.

“Argajaya,” jawab Swandaru.

“Kenapa?”

“Di Prambanan, ia tidak gentar melihat ujung tombak Sutawijaya. Bahkan tombak itu telah melekat di lambungnya. Tetapi kini ia terpaksa melarikan diri seperti seekor tikus melihat kucing.”

“Keadaannya sangat berbeda,” potong gurunya. “Di Prambanan Argajaya mempertaruhkan segalanya untuk harga diri serta kehormatannya. Di sini ia sama sekali hampir tidak berperan. Kebetulan ia adalah paman Sidanti. Ketika Sidanti dan gurunya berlari meninggalkan arena, maka ia pun akan lari juga. Bukan seharusnya ia bertahan mati-matian di padepokan yang asing baginya. Apalagi mempertaruhkan nyawanya.”

Swandaru dan Agung Sedayu mengangguk-anggukkan kepalanya mereka. Mereka dapat mengerti keterangan gurunya. Argajaya hampir tidak berkepentingan apa pun dengan padepokan ini, selain secara kebetulan kemanakannya berada di sini. Dan kemanakannya itu pun telah menghindarkan diri pula.

Mereka bertiga kini telah menyeberangi sungai yang membujur membelah padepokan itu. Semakin dekat mereka dengan tempat tinggal Sekar Mirah, mereka menjadi semakin cepat melangkah. Mereka selalu diganggu oleh perasaan cemas, karena mereka merasa bahwa mereka berada di tengah-tengah bahaya yang setiap saat dapat menerkam mereka dari segala penjuru. Mungkin dari balik-balik dinding batu halaman, mungkin dari dalam gerumbul atau rumpun-rumpun bambu. Apabila bahaya itu menimpa Sekar Mirah, maka gadis itu pasti tidak akan dapat berbuat apa-apa. Wuranta yang berada di rumah itu pun telah terluka. Tak akan banyak yang dapat dilakukannya seandainya ada seorang saja orang padepokan ini yang datang menyerang rumah itu. Mudah-mudahan prajurit Pajang yang merawat kawannya yang terluka masih berada di sana.

Ketika mereka muncul di mulut sebuah lorong sempit, mereka tertegun sejenak. Mereka melihat beberapa ekor kuda di halaman rumah yang dipergunakan oleh Sekar Mirah. Sejenak mereka saling berpandangan, namun kemudian Ki Tanu Metir berkata, “Mereka pasti prajurit-prajurit Pajang. Aku memang sudah menyangka bahwa mereka pasti akan segera datang.”

“Bahkan mungkin Kakang Untara ada di antara mereka,” desis Swandaru.

“Mungkin,” sahut Ki Tanu Metir.

Agung Sedayu tidak berkata sepatah kata pun. Tetapi langkahnya menjadi semakin panjang dan cepat. Seolah-olah jarak di hadapannya itu mau diloncatinya dengan sekali langkah.

Sebenarnyalah bahwa di rumah itu telah berkumpul beberapa orang prajurit Pajang, tetapi ternyata Untara tidak ada di antara mereka. Ketika salah seorang dari mereka melihat Ki Tanu Metir dan kedua muridnya, maka segera dipanggilnya kawan-kawannya ke luar.



Demikian Ki Tanu Metir beserta Agung Sedayu dan Swandaru menginjakkan kakinya di halaman itu, maka segera para prajurit Pajang mengerumuninya.