Api di Bukit Menoreh 23

MAKA katanya kemudian, “Alap-alap Jalatunda, aku tidak dapat mengerti maksud kata-katamu. Bukankah dengan demikian persoalan kita akan menjadi berkepanjangan? Kau harus berbuat sesuatu supaya kita untuk seterusnya tidak terganggu lagi. Baik oleh Sidanti maupun oleh orang-orang lain.”

“Sekar Mirah,” jawab Alap-alap Jalatunda, “kalau aku dapat datang kemari tanpa diketahui oleh seorang pun, maka pasti tak akan ada yang mengganggu kita, seperti saat ini pula. Tak akan ada seorang pun yang akan mengganggu kita, apa pun yang akan kita lakukan.”

“Tetapi lambat laun pasti akan ada yang mengetahuinya pula. Apabila kau sering datang kemari. Karena itu, apakah kita tidak lebih baik menempuh suatu cara yang lain, yang tidak akan mendapat gangguan apa pun lagi?”

“Apalagi yang harus kita lakukan? Cara yang mana lagi yang harus kita pilih? Kalau tidak ada orang yang mengganggu kita, maka kita tidak usah memikirkan cara yang mana pun juga.”

Akhirnya Sekar Mirah tidak dapat lagi menahan diri ia ingin Alap-alap Jalatunda mengerti maksudnya. Namun agaknya pembicaraan itu menjadi bersimpang-siur. Karena itu maka Sekar Mirah berkata berterus terang. “Begini maksudku Alap-alap Jalatunda. Kita tidak akan dapat berhubungan hanya sekedar bertemu selama kau mendatangi pondokku. Berbicara dan menyusun harapan-harapan saja. Marilah kita hadapi masa depan kita dengan bersungguh-sungguh. Kalau kau benar mengingini aku, maka lakukanlah usaha yang langsung dapat membuka jalan bagi persoalan itu. Bukankah kau masih harus datang kepada kedua ayah-bundaku untuk melamarku? Kemudian kita tentukan hari perkawinan kita. Setelah itu, maka kita akan dapat mencari perlindungan kepada orang-orang yang kita anggap mengerti persoalan kita. Maka semua perbuatanmu, semua yang telah kau lakukan pasti akan dilupakan orang. Akulah yang akan menanggung semuanya. Sehingga persoalan kita sekarang adalah, bagaimana kita berdua dapat menghadap ayah dan ibuku di Sangkal Pulung untuk membicarakan keputusan kita ini.”

Alap-alap Jalatunda mendengar kata-kata Sekar Mirah itu seperti mendengar gemelegarnya Gunung Merapi yang akan meledak. Tiba-tiba wajahnya menjadi pucat, tetapi sesaat kemudian menjadi kemerah-merahan. Sejenak ia terbungkam, tanpa dapat mengucapkan sepatah kata pun. Diingatnya pula pertanyaan Wuranta yang serupa, bagaimana ia akan mengawini Sekar Mirah. Tetapi hal itu sama sekali tidak ada di dalam benaknya.

“Sekar Mirah,” berkata Alap-alap Jalatunda kemudian dengan suara yang bergetar. Kepalanya menjadi semakin pening. Pening karena kata-kata Sekar Mirah itu dan pening karena pengaruh tuak yang semakin mencengkam jantungnya. “Kenapa kau mencari cara yang terlampau sulit itu? Aku tidak akan mempedulikan apakah ayahmu sependapat atau tidak. Marilah kita nikmati pertemuan kita ini. Dengan bersusah payah aku berusaha memasuki pondokmu ini. Karena itu jangan pikirkan orang yang tidak ada. Yang ada di dalam ruangan ini adalah Sekar Mirah dan Alap-alap Jalatunda. Kita adalah orang-orang yang kesepian, dan kini kita telah bertemu tanpa seorang pun yang akan mengganggu kita, apa pun yang akan kita lakukan.”

Tanah tempatnya berpijak serasa berguncang dengan dahsyatnya ketika Sekar Mirah mendengar dan menangkap maksud Alap-alap Jalatunda. Anak muda yang berdiri dihadapannya itu kini tampak seperti seekor serigala buas yang siap untuk menerkamnya. Karena itu maka tubuh Sekar Mirah menjadi semakin menggigil karenanya. Wajahnya menjadi merah padam dan jantungnya menjadi semakin berdebar-debar.

Untunglah bahwa gadis itu tetap menyadari dirinya. Menyadari bahwa pondoknya telah kemasukan seekor serigala yang buas dan liar. Sedang dirinya sendiri tak ubahnya seperti seekor anak kambing yang lemah.

“Aku harus mempergunakan otakku,” berkata Sekar Mirah di dalam batinya. Ia tidak mau menyerah dalam keputus-asaan.

Apa pun yang dapat dilakukan, akan dilakukannya untuk menyelamatkan dirinya.

Karena Sekar Mirah tidak segera menyahut, maka berkatalah Alap-alap Jalatunda yang menjadi semakin buas, “Mirah. Apa lagi yang kita tunggu?”

Alap-alap Jalatunda itu maju selangkah, dan dengan kaki gemetar Sekar Mirah surut selangkah.

“Kemarilah Mirah,” desis Alap-alap Jalatunda. Tengkuk Sekar Mirah meremang mendengar panggilan itu.

Bahkan ia menjadi semakin jauh surut. Namun Alap-alap Jalatunda itu menjadi semakin mendekat.

“He, kenapa kau menjauh?” bertanya Alap-alap Jalatunda yang kepalanya menjadi semakin pening dan matanya menjadi semakin merah dan liar. “Bukankah kau menunggu kedatanganku? Kini aku telah datang? Aku telah datang memenuhi janji.”

Sekar Mirah menjadi semakin ketakutan melihat wajah yang liar itu. Ia menyesal bahwa ia telah bermain-main dengan seekor serigala. Kini serigala itu telah siap untuk menerkamnya.

Ketika Alap-alap Jalatunda itu melangkah semakin maju, maka Sekar Mirah itu pun menjadi semakin surut. Tetapi akhirnya Sekar Mirah tidak dapat mundur lagi ketika tubuhnya telah melekat dinding biliknya.

Hati gadis itu telah hampir menjadi pepat. Tetapi Sekar Mirah masih mencoba untuk bertahan dengan caranya.

“Mirah. Kenapa kau berdiri di situ?” bertanya Álap-alap Jalatunda. “Apakah kau akan masuk ke dalam bilikmu?”

Pertanyaan itu benar-benar hampir merontokkan segenap nalar dan perasaannya. Namun Sekar Mirah masih berusaha untuk yang terakhir kalinya. Dengan mengumpulkan segenap kekuatannyai gadis itu tiba-tiba tersenyum dan berkata, “Alap-alap Jalatunda. Kau memang terlampau tergesa-gesa. Kenapa? Apakah kau sangka bahwa hari hampir kiamat?”

Alap-alap Jalatunda terdiam. Dipandangnya wajah Sekar Mirah yang sedang tersenyum itu. Terpancarlah keheranan pada sorot matanya yang liar.

Dan terdengarlah suara Sekar Mirah, “Duduklah. Bukankah kita dapat bercakap-cakap dengan baik?”

“Waktuku tidak banyak Mirah. Aku harus segera kembali ke banjar para pemimpin padepokan ini. Aku adalah seorang panglima sebuah pasukan yang besar. Pasukan Jipang. Sehingga karena itu tanggung jawabku pun besar pula. Nah, jangan terlampau banyak tingkah. Kau harus membantu aku, supaya aku tidak terlambat apabila ada pembicaraan-pembicaraan yang penting di banjar nanti.”

Dada Sekar Mirah menjadi semakin terguncang-guncang mendengar jawaban-jawaban Alap-alap Jalatunda. Tetapi ia masih mencoba terus. Sekar Mirah yakin, bahwa ia tidak akan dapat membebaskan dirinya apabila Alap-alap Jalatunda memilih jalan kekerasan. Meskipun besok ia dapat mengatakan kepada Sidanti atau kepada orang lain, dan Alap-alap itu digantungnya, tetapi apa yang hilang daripadanya tak akan diketemukan lagi sepanjang hidupnya. Karena itu ia tidak boleh kehilangan akal. Sehingga Sekar Mirah itu masih saja tersenyum untuk melunakkan hati Alap-alap Jalatunda, supaya serigala itu tidak segera menerkamnya.

Tetapi senyum Sekar Mirah itu telah membuat Alap-alap Jalatunda menjadi semakin gila. Pengaruh tuak di kepalanya, serta nafsunya yang hampir tak terkendali telah membuat ia menjadi mata gelap.

“Alap-alap Jalatunda,” berkata Sekar Mirah, “jangan terlampau kasar, supaya Sidanti tidak mengetahui apa yang terjadi di pondok ini. Setidak-tidaknya pengawas-pengawasnya yang sering berkeliaran di sini. Kita harus berhati-hati dan kita harus dapat menyesuaikan diri dengan keadaan.”

“Persetan dengan Sidanti,”sahut Alap-alap Jalatunda. Anak muda itu sudah tidak dapat lagi mempertimbangkan apa pun juga. Yang tampak di matanya kini adalah Sekar Mirah itu saja.

“Kita tidak dapat menempuh jalan seperti yang kau kehendaki,” sambung Sekar Mirah. “Dengan demikian kita tidak akan mendapatkan kebahagiaan. Kita akan selalu dikejar-kejar oleh waktu seperti sekarang ini. Tetapi apabila kita kelak menjadi suami isteri, maka hidup kita akan tenteram. Kau dapat hidup dengan tenang. Dan aku dapat melayanimu dengan tenteram pula.”

“Persetan semuanya itu.”

Dada Sekar Mirah berdesir. Namun Ia masih berkata lebih lanjut, “Kau hanya terburu oleh nafsu-nafsu sesat. Tetapi kau tidak membayangkan suatu masa yang panjang. Alap-alap Jalatunda. Ingatlah masa depanmu. Marilah kita pergi ke orang tuaku. Kau akan mendapat tempat yang baik di Kademangan Sangkal Putung.”

Alap-alap Jalatunda itu terdiam sejenak. Dipandanginya wajah Sekar Mrah dengan mata yang membara. Tampaklah mulutnya berkomat-kamit. Sekar Mirah menunggu jawabannya dengan penuh harap. Tetapi gadis itu hampir menjadi pingsan ketika ia mendengar Alap-alap itu berkata, “Kau akan membujukku, memperalat aku, dan kemudian menjebakku he? Aku bukan seorang yang gila Mirah.”

Sekar Mirah itu pun kemudian berdiri saja seperti patung. Mulutnya serasa tersumbat dan darahnya serasa berhenti mengalir. Ditatapnya saja wajah Alap-alap Jalatunda seperti menatap wajah hantu yang akan menghisap darahnya. Dan sebenarnyalah Alap-alap Jalatunda itu akan menghisap mahkota hidupnya. Lebih baik ia mati dihisap darahnya oleh iblis pemakan darah daripada maksud Alap-alap Jalatunda yang kini berdiri di hadapannya.

Dan Alap-alap Jalatunda itu agaknya benar-benar telah menjadi mata gelap. Selangkah ia maju sambil menggeram, “Sekar Mirah. Kau sangka aku tidak tahu maksudmu itu? Kau pura-pura mengajakku menghadap kepada ayah bundamu. Tetapi belum lagi aku sampai ke Sangkal Pulung, maka leherku pasti akan sudah dijerat. Kau pasti akan memberi kesempatan kepada ayahmu atau kepada siapa saja. mungkin kakakmu yang gemuk itu, untuk bersama-sama mengeroyokku seperti rampogan matian di alun-alun.”

Dada Sekar MSrah serasa akan pecah karenanya. Ia. kini melihat Alap-alap Jalatunda melangkah semakin dekat dan mulutnya masih saja bergumam, “Bagiku Mirah, tak ada jalan lain daripada mendapatkan kau sekarang. Tak pernah ada perempuan yang menolak kedatanganku atau setidak-tidaknya menunda keinginanku. Nyai Lasem, Nyai Pinan, semuanya, dan kini kau. Kau tidak akan dapat menghindar lagi. Perempuan-perempuan justru mengejarku dan memegangi ujung bajuku apabila aku akan pergi. Kau pun harus berbuat demikian.”



Wajah Sekar Mirah kini telah menjadi pucat seperti mayat. Tetapi ia masih juga menyadari bahwa ia tidak seharusnya menyerah dalam keputus-asaan. Dengan memeras keberaniannya ia berkata gemetar, “Alap-alap Jalatunda. Urungkan niatmu.”

“Tak ada yang dapat menahan Alap-alap Jalatunda.”

“Aku akan dapat berteriak memanggil para pengawal. Aku tahu bahwa di halaman di depan rumah ini tinggal para pengawas yang bertugas mengawasi aku.”

“Kalau kau mencoba berteriak, aku cekik kau sampai pingsan. Dan kau tidak akan banyak tingkah lagi.”

“Sidanti akan mengetahui apa yang terjadi kalau kau tidak mengurungkan niatmu. Dan kau akan digantung besok.”

“Persetan Sidanti!” Alap-alap Jalatunda yang sudah bermata gelap dan menjadi kian pening karena pengaruh tuak di kepalanya itu sama sekali sudah tidak dapat berpikir bening. Apalagi ketika sekali lagi ditatapnya wajah Sekar Mirah yang pucat itu tampaknya menjadi kian kuning semburat kemerah-merahan karena cahaya pelita yang menggapai-gapai oleh sentuhan angin. Katanya selanjutnya, “Sidanti tidak akan berani berbuat apa pun atasku. Kini pasukan Untara sudah berada di depan hidung kita.Ia memerlukan anak-buahku. Apakah kira-kira yang akan dilakukan atasku meskipun ia melihat apa yang terjadi sekarang ini? Tidak. Ia tidak akan berani berbuat sesuatu. Ia akan menyesal sepanjang hidupnya, bahwa ia berbuat sebagai seorang banci. Dan aku tidak akan melupakan kemenanganku saat ini. Sekar Mirah. Jangan banyak solah. Kau tidak akan dapat melawan aku dan berteriak memanggil para pengawas. Apalagi menipu aku untuk melarikan kau dari tempat jahanam ini dan kemudian menjerat leherku sendiri.”
Sekar Mirah kini merasa bahwa ia telah berdiri diujung bara api yang menyala. Sebentar lagi ia akan hangus terbakar. Tetapi ia tidak akan dapat menyerahkan diri tanpa berbuat sesuatu. Karena itu tiba-tiba Sekar Mirah pun bergeser setapak.

Alap-alap Jalatunda benar-benar menjadi seolah-olah gila. Mulutnya kemudian bergerak-gerak dan terdengarlah ia tertawa perlahan-lahan seperti iblis yang tertawa melihat sesosok mayat terkapar di hadapannya.

“Akan lari kemana kau Sekar Mirah?”

Sekar Mirah masih mempunyai secercah harapan, meskipun sangat tipisnya. Ia akan dapat berteriak dan para pengawas pun pasti akan datang menengoknya.

Tiba-tiba saja di kejauhan terdengar kentongan berbunyi. Empat pukulan sebelum nada dara muluk diulang dua kali.

Alap-alap Jalatunda yang hampir gila itu masih mendengar tanda itu. Itu adalah tanda bahwa para pemimpin padepokan harus segera berkumpul termasuk para pemimpin laskar Jipang yang berada di padepokan itu.

“Setan!” geramnya. “Apa lagi yang akan diperbuat oleh iblis tua itu.”

Sekar Mirah yang mendengar suara kentongan itu merasa bahwa serigala itu akan mengurungkan niatnya. “Mudah-mudahan suara kentongan itu merupakan suatu pertanda yang memaksa Alap-alap yang liar ini pergi meninggalkan aku,” desisnya di dalam hati. Dan dengan luka di hatinya ia berdoa, “Semoga Tuhan menyelamatkan aku dari tangan anak muda yang gila ini.”

Tetapi kembali harapannya seakan-akan lenyap dihembus oleh angin malam yang kencang ketika tiba-tiba Alap-alap Jalatunda itu berkata, “Persetan dengan segala pertemuan. Aku tidak perlu mengunjunginya. Biarlah semuanya diselesaikan oleh Sanakeling. Aku akan menyelesaikan urusanku sendiri.” Kemudian ia menggeram seperti seekor serigala lapar, “Mirah. Jangan menunda-nunda lagi. Kau dengar waktuku tidak terlampau banyak.”

Sekar Mirah itu kini hampir-hampir menjadi putus-asa. Satu-satunya kemungkinan yang dapat dilakukan adalah berteriak. Kini ia benar-benar kehilangan rasa takutnya seandainya ia akan dibunuh sekalipun. Sebab mati baginya akan lebih baik dari apa yang dapat terjadi saat itu.

Karena itu, maka dengan segenap tenaga yang ada padanya, maka gadis itu telah mencoba untuk berteriak.

Tetapi malang baginya. Ternyata Alap-alap Jalatunda adalah seorang prajurit muda yang lincah. Dengan kecepatan yang sukar dimengerti oleh Sekar Mirah, tiba-tiba saja tangan Alap-alap Jalatunda telah menyentuh mulutnya. Alangkah terkejutnya gadis itu, sehingga suaranya tertahan karenanya. Bahkan demikian terkejut cemas dan takut bercampur baur, Sekar Mirah itu seakan-akan telah kehilangan segenap tenaganya, sehingga ia tidak mendengar bahwa di kejauhan suara kentongan masih juga mengumandang memenuhi padepokan.

Bukan saja Sekar Mirah yang tidak lagi mendengar suara kentongan itu, tetapi Alap-alap Jalatunda pun kini sudah tidak mendengar lagi. Ia sama sekali tidak menghiraukan panggilan Sanakeling atau Sidanti lewat suara kentongan itu. Baginya lebih penting menerkam mangsanya daripada datang memenuhi panggilan itu.

Sekar Mirah pun kemudian benar-benar menjadi putus asa. Tak ada lagi cara yang dapat ditempuhnya untuk membebaskan dirinya. Apabila ia akan berusaha berteriak, maka secepat itu pula Alap-alap Jalatunda akan berhasil membungkam mulutuya.

Tiba-tiba terbersitlah di dalam dada Sekar Mirah itu suatu cara yang masih dapat dilakukannya. Yaitu mati. Satu-satunya cara untuk melepaskan diri dari tangan Alap-alap itu adalah mati.

Justru karena itu maka timbullah kembali keberanian di dalam dada gadis itu. Keberanian di dalam keputus-asaan. Sehingga dengan demikian tiba-tiba gadis cantik itu menggeram.

Alap-alap Jalatunda melihat sikap Sekar Mirah yang tiba-tiba menjadi garang. Tetapi ia adalah seorang prajurit. Apalagi Sekar Mirah, sedang seorang laki-laki yang menggenggam senjata di tangannya pun dapat dilumpuhkannya.

Perlahan-lahan Alap-alap Jalatunda itu melangkah maju. Dibiarkannya Sekar Mirah menjadi bertambah garang. Bahkan ketika ia telah menjadi semakin dekat, maka Sekar Mirah itu mncoba menerkam wajahnya dengan kuku-kukunya.

Alap-alap Jalatunda tertawa sambil menarik kepalanya.

Tangan Sekar Mirah itu terayun tidak lebih setebal daun di hadapan wajah Alap-alap Jalatunda yang justru menjadi semakin liar. Dan dengan buasnya, Alap-alap Jalatunda itu pun kemudian menangkap tangan Sekar Mirah dan memutar gadis itu sehingga membelakanginya.

Sekar Mirah mengerahkan segenap kekuatannya untuk melepaskan dirinya. Tetapi tangan Alap-alap Jalatunda benar-benar telah menjepitnya seperti sebuah kancing besi. Ketika Sekar Mirah sekali lagi akan berteriak, maka suaranya hilang di dalam mulutnya, karena Alap-alap Jalatunda itu telah membungkamnya dengan telapak tangannya.

Kemudian Sekar Mirah benar-benar tidak akan dapat berbuat sesuatu lagi. Bahkan bunuh diri pun ia sudah tidak mampu. Alap-alap Jalatunda yang buas itu benar-benar telah dapat menguasainya dengan kekuatan yang berlipat-lipat dari kekuatan Sekar Mirah.

Namun Alap-alap Jalatunda itu tidak menyadari, bahwa sepasang mata telah mengintipnya dari balik dinding di belakang rumah itu dengan tajamnya, setajam ujung mata keris berlipat tujuh.

Dengan darah yang mendidih, orang yang mengintip ke dalam pondok itu mengikuti saja apa yang telah terjadi. Dibiarkannya kebuasan Alap-alap Jalatunda itu memuncak. Dengan demikian maka orang itu akan kehilangan segenap kewaspadaannya dan tidak akan melihatnya apabila ia memasuki pondok itu lewat jalan yang tadi dilalui oleh Alap-alap Jalatunda itu sendiri.

Kini ia melihat bahwa Sekar Mirah sudah tidak berdaya lagi. Maka ia tidak akan dapat membiarkannya. Ia tidak ingin terlambat dan menemukan Sekar Mirah telah kehilangan. Karena itu, maka perlahan-lahan ia merayap mendekati sudut rumah yang dindingnya sudah terbuka. Tetapi orang itu tertegun ketika telinganya mendengar sesuatu di muka pondok itu.

Baik orang yang mengintip di belakang dinding itu, maupun Alap-alap Jalatunda dan bahkan Sekar Mirah terkejut bukan kepalang ketika tiba-tiba saja pondok itu berderak dengan kerasnya, sehingga seluruh rumah kecil itu bergetar. Sejenak kemudian terdengar pintu itu terbuka dan sesosok tubuh yang tegap berdiri tegak di muka pintu, seperti sebuah tonggak yang kokoh kuat bertiang besi. Dari sepasang matanya memancar sinar kemerahan yang seakan-akan membakar wajah Alap-alap Jalatunda yang berdiri kaku tegang.

Dengan suara bergetar maka orang yaug berdiri di muka pintu menggeram, “Kau Alap-alap kerdil.”

Sejenak Alap-alap Jalatunda tidak menjawab. Tetapi sorot matanya pun kemudian memancarkan api kemarahan.

“Apakah kau sudah menjadi gila?” sambung orang yang berdiri di muka pintu.

“Kenapa kau menggangguku, Sidanti?” sahut Alap-alap Jalatunda tidak kalah garangnya.

Dada Sidanti hampir meledak mendengar kata-kata Alap-alap yang lapar itu. Tetapi ia menjawab, “Perbuatanmu adalah perbuatan yang paling biadab yang pernah kau lakukan.”

Perlahan-lahan Alap-alap Jalatunda melapaskan Sekar Mirah. Demikian gadis itu terlepas dari tangannya, maka gadis itu pun segera terjatuh di tanah. Meskipun Sekar Mirah tidak pingsan, tetapi otot bayunya seakan-akan telah dilolosi. Namun kedatangan Sidanti itu sedikit memberinya harapan. Meskipun kalau ia kemudian lepas dari tangan Alap-alap itu, maka suatu ketika Sidanti sendiri akan menerkamnya pula. Tetapi ia masih mempunyai waktu.

Kini Sidanti dan Alap-alap Jalatunda telah berdiri berhadapan, tetapi Alap-alap Jalatunda menyadari bahwa Sidanti tidak seorang diri. Tetapi Sidanti agaknya telah membawa beberapa orang laskarnya bersamanya.

“Sidanti, aku masih ingin memberimu peringatan. Tinggalkan tempat ini. Jangan kau ganggu aku.”

Terdengar gigi Sidanti gemeretak. Katanya, “Apakah aku harus membiarkan kebiadabanmu itu tanpa berbuat sesuatu.”

“Jangan terkejut, bahwa Sekar Mirah telah memilih aku dari padamu.”

“Tutup mulutmu!” teriak Sidanti, “aku tidak percaya. Kau pasti tidak usah mempergunakan kekerasan apabila demikian.”

“Persetan dengan mulutmu! Seandainyai demikian, maka apakah yang akan kau lakukan? Ayo, majulah bersama semua orang-orangmu yang kau bawa sekarang. Aku tidak akan gentar. Aku tidak akan lari. bahkan saat inilah yang aku tunggu-tunggu. Kapan aku dapat membalas sakit hatiku, pada saat aku mendengar apa yang telah kau lakukan atas Kakang Plasa Ireng.”

Wajah Sidanti menjadi merah padam mendengar sindiran itu. Terdengar giginya gemeretak, tetapi justru mulutnya serasa terkunci untuk sesaat. Sehingga Alap-alap Jalatunda masih berkata terus, “Kau menganggap perbuatanku ini sebagai suatu kebiadaban. Lalu katakan, apa yang pernah kau perbuat atas Kakang Plasa Ireng. Bukankah itu juga kebiadaban yang lebih biadab dari tindakanku kali ini. Aku hanya dapat dianggap melanggar pagar kesusilaan. Tetapi kau telah melanggar pagar perikemanusiaan. Menurut aku, maka kemanusiaan lebih berharga dari kesusilaan.”

“Persetan!” jawab Sidanti berteriak keras sekali. “Pendirianmu itu benar-benar pendirian seorang yang telah menjadi gila. Kau sangka apa yang kau lakukan ini bukan suatu pelanggaran kemanusiaan. Kau akan merenggut sesuatu yang paling berharga dari Sekar Mirah. Gadis itu akan menderita sepanjang hidupnya. Ia akan merasa tidak berharga lagi. Dan bagi seorang gadis akan lebih baik mati bunuh diri daripada hidup dalam keadaannya.”

Terdengar Alap-alap Jalatunda itu tertawa terbahak-bahak. Kepalanya kini benar-benar telah dicengkam oleh pengaruh tuak. Jawabnya, “O, Sidanti. Kau merasa tanganmu bersih sebersih tangan bayi. Siapakah yang membawa domba itu ke kandang serigala? Bukan salah serigala kalau ada kesempatan menerkam anak domba yang manis ini.”

Kembali terdengar gigi Sidanti gemeretak. Sejenak ia terbungkam tanpa dapat mengucapkan sepatah kata pun.

Sepasang mata dibalik dinding di belakang rumah itu mengikuti semua peristiwa itu dengan saksama. Dilihatnya raksasa-raksasa padepokan ini berkumpul di pondok yang kecil itu.

Orang itu bergumam dalam hatinya, “Untung Sidanti itu tidak terlambat. Aku pergi lama kemudian sesudah ia meninggalkan pondoknya. Tetapi kenapa baru sekarang ia hadir di sini? Ah, sebagai seorang pemimpin mungkin ia memerlukan singgah di tempat-tempat tertentu.”

Suasana rumah itu untuk sesaat dicengkam oleh kesepian yang mengerikan. Wajah-wajah yang berada dipondok itu menjadi semakin lama semakin tegang.

Apalagi ketika seorang yang tegap bersenjata sebatang tombak pendek melangkah masuk sambil berkata, “Apa yang kau tunggu Sidanti. Sebaiknya kau binasakan monyet itu.”

“Ha, kau akan ikut serta pendatang dari Menoreh. Meskipun kau bernama Argajaya, tetapi kau sama sekali tidak dapat menakut-nakuti anak-anak sekalipun. Soal ini adalah soal antara Sidanti dan Alap-alap Jalatunda. Persoalan ini adalah persoalan seorang gadis, kau tahu. Nah, sebaiknya kau minggir saja. Meskipun seandainya kau akan turut serta, maka aku pun bersedia melayanimu berdua.”

“Setan alas!” teriak Argajaya yang hampir saja meloncat sambil berteriak. “Aku sendiri mampu membunuhmu.”

Alap-alap Jalatunda mundur setapak. Tetapi Argajaya itu tidak jadi meloncat maju. Di antara orang-orang yang berdiri di muka pintu datanglah seorang yang acuh tidak acuh saja melihat semua peristiwa itu. ia berjalan sambil mulutnya mengunyah segumpal daging rusa muda. Dengan seenaknya ia masuk ke dalam gubug itu, kemudian bersandar dinding di dekat Alap-alap Jalatunda berdiri.

Wajah Alap-alap Jalatunda menjadi semakin tegang melihat kehadirannya. Ia sama sekali tidak mengetahui, apakah maksud kedatangannya, karena wajahnya yang hitam itu sama sekali tidak menunjukkan kesan suatu apa.

Baru sejenak kemudian orang itu berkata, “Kau ulangi lagi peristiwa yang serupa Alap-alap yang malang. Dahulu kepalamu hampir melesat dipukul oleh Tohpati ketika kau membawa Nyai Pinan ke dalam pondokmu. Sekarang kau terpaksa berhadapan dengan Sidanti.”

Alap-alap Jalatunda menggeram, tetapi ia tidak segera menjawab.

“Aku tahu bahwa ilmumu maju dengan pesat tanpa bimbingan seorang guru pun. Tetapi kau tidak akan mampu melawan kedua orang itu bersama-sama.” Kemudian kepada Argajaya orang itu berkata, “Kakang Argajaya. Biarkan saja persoalan anak-anak muda ini. Kita yang sudah lebih tua sebaiknya tidak usah turut campur.”

Wajah Argajaya menjadi merah pula. Jawabnya. “Tetapi ia telah menghina Sidanti.”

“Biarlah Sidanti yang menyelesaikannya. Tidak baik akibatnya seandainya kita yang tua-tua ini akan turut serta.”

“Apakah kau akan membela orangmu yang berbuat gila itu?”

Sanakeling, orang yang sedang mengunyah daging rusa muda itu menggeleng. Katanya, “Tidak. Kalau ia harus bertanggung jawab secara jantan, maka aku akan membiarkannya. Tetapi kau pun jangan mencampuri urusannya. Kau adalah seorang pendatang seperti kami di padepokan ini.”

Dada Argajaya hampir meledak mendengar kata-kata Sanakeling itu. Hampir-hampir ia berteriak menjawab kata-kata Sanakeling. Tetapi tiba-tiba terdengar sebuah panggilan yang mencengkam segenap jantung orang-orang yang berdiri di tempat itu, “Sidanti.”

Sidanti berpaling. Ia melihat Ki Tambak Wedi tergesa-gesa memasuki tempat itu. Dengan wajah yang merah padam ia bertanya, “Apakah yang telah terjadi?”

Sidanti mengatakan dengan singkat apa yang telah dilihatnya, dan Ki Tambak Wedi pun menggeram pula. “Perempuan ini adalah biang keladi dari kegagalan rencanaku. Supaya tidak ada persoalan lagi di antara kita dan kita dapat meneruskan rencana penyerangan ke Jati Anom maka sebaiknya perempuan ini dibunuh saja. Besok fajar kita datang ke Jati Anom dan melemparkan mayatnya di hadapan pasukan Untara.”

Semua wajah yang mendengar kata-kata itu tampak berkerut-merut. Hampir tak masuk di dalam akal mereka, bahwa Ki TambaK Wedi telah mengucapkan kata-kata itu. Namun justru dengan demikian maka mereka berdiri tegang tanpa dapat mengucapkan sepatah kata pun. Sedang Sekar Mirah yang masih terduduk dengan lemahnya di tanah, tiba-tiba menengadahkan wajahnya. Dalam keputus-asaan ia bahkan mampu menyahut, “Bagus. Itu adalah keputusan yang paling baik buat aku.”

Tetapi agaknya Sidanti berpendirian lain. Sejak lama ia terpikat oleh gadis itu, yang kemudian dengan susah payah diambilnya dari Sangkal Putung. Tetapi sekarang gurunya mengambil suatu sikap yang terlampau keras. Karena itu maka katanya, “Guru. aku memerlukan gadis itu.”

“Buat apa kau inginkan gadis Sangkal Putung itu?” bertanya gurunya.

“Bukankah guru menyetujui pula pada saat aku mengambilnya?”

“Aku mempunyai kepentingan lain dengan gadis itu. Dengan gadis itu di sini, maka Untara tidak akan berani dengan serta-merta saja menghancurkan padepokan ini, meskipun ia membawa pasukan seluruh prajurit Pajang.”

“Kenapa ia akan dibunuh?” bertanya Sidanti. “Apabila gadis itu sudah mati, maka Untara tidak akan terpengaruh oleh gadis yang sudah mati itu.”

“Ternyata pasukan Untara sama sekali tidak berarti bagi kita di sini. Kalau kalian tidak menjadi gila karena gadis itu, maka pada saat fajar nanti menyingsing maka kalian pasti sudah akan menghancurkan pasukan Untara di Jati Anom.”

“Guru,” berkata Sidanti kemudian, “aku mohon gadis ini dihidupi. Aku ingin mengambilnya sebagai seorang isteri. Kalau Sidanti kelak menggantikan kedudukan ayahanda Argapati di pegunungan Menoreh, maka ia akan menjadi seorang isteri yang kajen keringan. Aku sama sekali tidak berhasrat mempermainkannya seperti Alap-alap yang gila ini.”

“Persetan dengan keinginanmu!” potong Alap-alap Jalatunda. “Aku tidak peduli apakah ia akan kau ambil sebagai isterimu atau kau bunuh sekali. Aku hanya akan mengambilnya yang aku ingini daripadanya.”

“Diam!” teriak Sidanti dengan kemarahan yang meluap-luap.

“Seharusnya kau diam saja,” berkata Ki Tambak Wedi kepada Alap-alap Jalatunda.

“Itu tidak adil,” tiba-tiba terdengar Sanakeling yang berdiri bersandar dinding sambil melipat tangan di dadanya. “Persoalan ini adalah persoalan Sidanti dan Alap-alap Jalatuda. Kalau Sidanti dapat dan boleh menyatakan pendiriannya, maka Alap-alap Jalatunda pun harus mendapat kesempatan yang serupa.”

Ki Tambak Wedi mengerutkan keningnya. Tetapi ia adalah seorang yang cukup memiliki perhitungan. Karena itu, betapa hatinya menjadi marah mendengar bantahan Sanakeling, tetapi ia tidak segera berbuat sesuatu atasnya, karena di belakang Sanakeling dan Alap-alap Jalatunda itu berdiri sepasukan laskar yang kuat.

“Aku pun ingin bersikap adil,” tiba-tiba Sidanti menggeram, “karena itu guru, serahkan persoalan ini kepadaku dan kepada Alap-alap Jalatunda.”

“Bagus!” sahut Alap-alap Jalatunda lantang. “Itu adalah sikap jantan. Kita melakukan perang tanding, Kalau aku mati dalam perkelahian ini, maka aku merasa puas, karena taruhanya cukup berharga bagiku. Bukankah taruhan dari perang tanding itu nanti adalah Sekar Mirah? Kalau kau menang Sidanti, maka Sekar Mirah menjadi milikmu. Apakah ia akan kau peristeri atau apa saja, sekehendak hatimu. Tetapi kalau aku menang, maka kau tidak boleh mencampuri lagi urusanku dengan gadis itu. Apakah yang akan aku lakukan.”

“Aku terima tantanganmu,” sahut Sidanti tidak kalah lantangnya.

Namun kemudian ruang yang tidak terlalu luas itu digetarkan oleh teriakan Sekar Mirah, “Tidak, tidak!”

Gadis itu pun tiba-tiba berdiri. Seperti orang gila ia berlari kearah Ki Tambak Wedi. Dengan serta-merta Sekar Mirah berpegang baju orang tua itu sambil berteriak-teriak, “Kiai, Kiai. Apakah kau pemimpin orang-orang ini? Kalau demikian, tolong Kiai, perintahkan saja mereka membunuh aku, supaya persoalan ini tidak berlarut-larut. Aku tidak mau jatuh ketangan kedua-duanya. Aku ingin mati saja Kiai. Karena itu bunuh saja aku.”

Sejenak Ki Tambak Wedi diam mematung. Namun kemudian perlahan-lahan didorongnya Sekar Mirah. Tetapi Sekar Mirah tidak mau melepaskan baju Ki Tambak Wedi, sehingga orang tua itu berkata, “Lepaskan bajuku. Lepaskan!”

Tetapi Sekar Mirah tidak mendengar kata-kata itu. ia masih saja berteriak-teriak seperti orang kesurupan.

“Lepaskan!” bentak Ki Tambak Wedi kemudian. Sekar Mirah terkejut mendengar bentakan itu. Tiba-tiba ia menyadari keadaannya. Ketika kemudian Ki Tambak Wedi mendorongnya perlahan-lahan, maka Sekar Mirah itu kembali terduduk di tanah.

Sejenak ruangan itu dicengkam oleh kesenyapan. Orang yang mengintip di belakang rumah itu pun terpaksa menahan nafasnya, supaya Ki Tambak Wedi, yang bertelinga setajam telinga serigala itu tidak mendengarnya. Agaknya orang itu mampu menyesuaikan dirinya dengan keadaan, meskipun ia tidak berani berbuat apa-apa. Jangankan setelah kehadiran Ki Tambak Wedi. Terhadap Sidanti dan Alap-alap Jalatunda pun ia harus memperhitungkan seribu satu macam pertimbangan.

Namun orang itu menyadari pula, bahwa di depan rumah itu menjadi semakin banyak orang berkumpul. Baik ia orang padepokan itu sendiri, maupun orang-orang dari laskar Sanakeling. Sehingga di luar gubug itu pun telah dirayapi pula ketegangan seperti yang terjadi di dalamnya.

Ki Tambak Wedi, pemimpin dari padepokan itu menjadi pening melihat keadaan berkembang demikian buruknya. Sedangkan di hadapan hidung mereka telah berkumpul orang-orang Pajang yang sebentar lagi akan dimusnahkan. Tetapi kalau keadaan tidak segera dapat diatasi, maka rencananya pasti akan tertunda.

Karena itu bagaimanapun juga, Ki Tambak Wedi mencoba berusaha untuk meredakan keadaan. Maka katanya, “Baiklah. Kalau kalian telah sependapat untuk melakukan perang tanding, maka baiklah dilakukan lain kali. Sekarang, kita akan melakukan rencana yang telah kita susun. Kita harus turun ke Jati Anom dengan segenap kekuatan. Kita hancurkan pasukan Uutara yang tidak seberapa kuat itu.”

Kesenyapan yang tegang kembali mencengkam ruangan yang tidak terlampau luas itu, Sidanti dan Alap-alap Jalatunda berdiri berhadapan dengan wajah yang membara. Sedang Sanakeling masih saja berdiri sambil melipat tangan di dadanya. Di lambung kirinya tergantung sebilah pedang, sedang di lambung kanannya tergantung sebuah bindi. Di sisi lain Argajaya berdiri tegak meremas-remas tangkai tombak pendeknya.

“Kenapa kalian berdiri saja seperti patung!” bentak Tambak Wedi. “Tinggalkan tempat ini. Siapkan pasukan kalian dan kita akan segera turun ke Jati Anom. Kita masih mempunyai waktu. Kita akan sampai ke Jati Anom sebelum fajar. Setelah beristirahat sebentar kita akan melanda Kademangan itu tepat pada saat matahari terbit.”

Tetapi Alap-alap Jalatunda dan Sidanti belum juga beranjak dari tempatnya, sehingga sekali lagi Ki Tambak Wedi berteriak, “He apakah kalian telah menjadi tuli!”

Kedua orang yang sedang berdiri berhadapan itu benar-benar seperti patung yang mati. Mereka tidak beringsut sama sekali. Bahkan berkedip pun tidak.

Yang berkata kemudian adalah Argajaya, “Urusan ini harus diselesaikan dahulu Kiai. Kalau tidak, maka hubungan mereka di garis perang pun akan dapat mengganggu kelancaran seluruh pasukan.”

“Tidak,” potong Ki Tambak Wedi, “setiap prajurit pasti tahu menempatkan diri. Persoalan pribadi akan disimpan lebih dahulu sebelum persoalan kita bersama dapat diselesaikan. Persoalan Jati Anom bukan persoalan yang dapat diabaikan. Kalau kita kehilangan waktu ini, maka kita akan menyesal sepanjang hidup kita. Karena itu, maka tinggalkan urusan kalian. Kita akan segera berangkat.”

Sanakeling mengerutkan keningnya melihat sikap Argajaya. Karena itu maka ia menyahut, “Aku sependapat, dengan tamu kita yang terhormat itu. Pasukanku tidak akan bergerak sebelum persoalan ini selesai.”

“Tidak, Tidak!” Ki Tambak Wedi benar-benar menjadi marah. Tetapi Sanakeling yang masih saja berdiri dalam sikapnya, tahu benar, bahwa Ki Tambak Wedi saat ini sedang memerlukannya. Memerlukan pasukannya untuk membantu menghancurkan Jati Anom, atau kalau Untara mengambil sikap lebih dahulu, Ki Tambak Wedi memerlukannya untuk mempertahankan padepokan ini.

Melihat sikap Sanakeling dada Argajaya hampir meledak karenanya, seperti juga dada Ki Tambak Wedi. Tetapi Ki Tambak Wedi terpaksa menahan segenap kemarahan itu di dadanya sehingga dada itu menjadi panas sepanas bara.

“Tak akan ada bedanya kalau serangan kita atas Jati Anom itu kita tunda sehari,” berkata Sanakeling.

“Kau seorang prajurit, Ngger,” berkata Ki Tambak Wedi yang tiba-tiba menjadi lunak. “Kau pasti tahu. bahwa satu hari dalam kesempatan seperti ini adalah penting sekali. Jangankan satu hari, sedang sekejap pun di dalam perhitungan tata peperangan akan sangat besar sekali artinya.”

“Kiai benar,” sahut Sanakeling, “tetapi bagi sebuah pasukan yang utuh bulat. Sedang tak ada tanda-tanda pada lawan kita akan mendapat perubahan yang berarti, bukankah begitu? Bahkan seandainya besok datang sepasukan yang kuat dari Pajang, maka kita akan dapat menyusun perhitungan baru. Tetapi menilik keadaan Pajang sekarang, maka apa yang diberikan oleh Karebet kepada Untara itu sudah tidak akan dapat ditambah dengan segera.”

“Kau memperingan persoalan, Ngger,” sahut Ki Tambak Wedi. “Apa pun yang sedang dilakukan oleh Karebet dan Pemanahan, tetapi semakin cepat pekerjaan kita selesai, maka kita pun akan segera melakukan rencana kita berikutnya.”

“Kenapa Kiai berkeberatan memenuhi permintaannya,” potong Argajaya yang wajahnya benar-benar semerah bara. “Beri malam ini kesempatan untuk melakukan perang tanding. Setelah itu apabila kita masih mempunyai kesempatan, kita pergi ke Jati Anom. Kalau tidak, kita tunda serangan kita dengan satu hari.”

Terdengar Ki Tambak Wedi menggeram. Tetapi ia merasa bahwa betapa sulitnya mengatasi keadaan ini. Ia menyesal bahwa ia dahulu mengijinkan Sidanti mengambil perempuan itu dari Sangkal Putung. Ternyata perempuan itu kini telah menumbuhkan kesulitan baginya dan bagi rencananya.

Sejenak Ki Tambak Wedi itu terdiam. Dipandanginya Sidanti dan Alap-alap Jalatunda berganti-ganti. Orang tua itu tahu, bahwa Alap-alap Jalatunda selama ini telah mesu diri, melatih berbagai macam ilmu yang telah dimilikinya dengan berbagai macam cara dan alat. Pasir, batang-batang kayu di tepian, batu-batu, dan melatih kecepatan bergerak. Tetapi menurut penilaian Ki Tambak Wedi, betapa kemajuan yang dicapai oleh Alap-alap Jalatunda, namun ia masih belum akan dapat menyusul Sidanti. Karena itu sebenarnya Ki Tambak Wedi tidak akan mencemaskan nasib muridnya. Meskipun demikian, ia masih juga mencemaskan sikap orang-orang Jipang yang lain. Seandainya Alap-alap Jalatunda itu terbunuh dalam perang tanding, apakah mereka tidak akan membelanya? Harapan Ki Tambak Wedi hanyalah terletalak pada Sanakeling. Menilik sikapnya maka Sanakeling dapat dipercayanya, bahwa ia akan membiarkan perang tanding itu berlangsung dengan jujur dan dalam sikap jantan.

Karena itu, maka setelah tidak diketemukan lagi jalan lain, serta menurut penilikannya di Jati Anom, tidak ada tanda-tanda bahwa akan segera datang perubahan yang berarti, maka akhirnya Ki Tambak Wedi pun dengan hati yang berat berkata, “Baiklah, kalau itu menjadi pilihan kalian. Tetapi ketahuilah, bahwa siapa pun yang kalah dan siapa pun yang menang, maka kita akan kehilangan satu tenaga yang sangat kita perlukan. Karena itu, untuk menghindari hal yang demikian, maka aku menentukan ketetapan, bahwa perang tanding itu berlangsung sampai salah seorang tidak lagi mampu melawan. Tetapi tidak sampai mati. Aku harap kebesaran jiwa kalian dan kejujuran kalian sebagai seorang prajurit jantan.”

Meskipun tanpa berjanji, tetapi hampir bersamaan Sidanti dan Alap-alap Jalatunda terpaling. Wajah-wajah mereka menyatakan, bahwa mereka tidak senang mendengar keputusan Ki Tambak Wedi itu. Bagi mereka, perang tanding hanya dapat diakhiri dengan maut. Sehingga tanpa sesadarnya Sidanti menyahut, “Guru, itu tidak lazim bagi sebuah perang tanding.”

“Aku tidak peduli. Tetapi aku, tetua padepokan ini berhak membuat ketetapan sendiri yang sesuai dengan keadaan di padepokan ini. Satu kematian dari kau berdua, adalah pasti merugikan. Karena itu, maka aku tidak ingin kekuatan kita berkurang dengan sebuah kematian yang sia-sia,” jawab Ki Tambak Wedi.

“Kematian ini bukan kematian yang sia-sia,” potong Alap-alap Jalatunda. “Tetapi kematian ini adalah kematian jantan. Karena itu biarlah kami saling membunuh dengan sikap jantan.”

“Tutup mulutmu!” Ki Tambak Wedi membentak keras sekali sehingga semua yang mendengarnya menjadi terkejut karenanya. Bahkan orang yang sedang bersembunyi di belakang dinding rumah itu pun terkejut pula. “Semua harus tunduk kepadaku. Kalau tidak, aku dapat berbuat apa saja sekehendak hatiku di sini. Tak ada orang yang dapat melawan kekuasaan Ki Tambak Wedi. Aku dapat membunuh seratus limapuluh orang sekaligus dan membunuh seribu orang tidak lebih dari satu malam. Ayo, kalau memang kita sudah ingin meninggalkan tujuan kita. Kalau kita sudah tidak mempedulikan lagi kepada pasukan Untara. Ayo, kita melakukan perang tanding, bunuh-bunuhan di antara kita. Aku cukup seorang diri, dan kalian semuanya di satu pihak. Aku akan berkelahi sampai aku menjadi bangkai. Tetapi di antara kalian yang hidup akan menjadi saksi, berapa banyaknya mayat akan bertimbun di samping mayatku.”

Pengaruh kata-kata orang tua itu ternyata tajam sekali. Sidanti dan Alap-alap Jalatunda tidak lagi berani mengucapkan sepatah kata pun. Sedang Sanakeling, meskipun masih saja berdiri bersandar dinding sambil melipat tangannya, namun ia pun berdiam diri menunggu perkembangan keadaan.

Dengan demikian maka ruangan itu kembali menjadi sunyi. Sinar pelita yang redup bergerak-gerak oleh sentuhan angin malam dari lubang pintu yang menganga.

Karena tidak ada seorang pun yang bersuara, maka berkata pula Ki Tambak Wedi, “Ayo, sekarang, sediakanlah arena. Kita akan mulai dengan perang tanding. Kita akan segera melihat, siapakah yang kalah dan siapakah yang menang. Kemudian perempuan ini tidak akan menimbulkan keonaran lagi.”

Ki Tambak Wedi tidak lagi menunggu sebuah jawaban. Segera ia beranjak dari tempatnya, melangkah ke arah pintu. Tak seorang pun yang menghalanginya. Bahkan beberapa orang segera menyibak memberinya jalan. Di muka pintu orang tua itu berhenti sejenak, sambil berpaling ia berkata, “Arena itu berada di halaman banjar pimpinan padepokan ini. Para pemimpin akan menjadi saksi dan semua orang harus menyaksikannya, selain yang sedang meronda. Setelah itu, apabila masih saja timbul persoalan maka aku sendirilah yang akan membunuhnya.”

Orang-orang di sekitarnya kemudian melihat orang tua itu melangkah dengan tergesa-gesa meninggalkan tempat itu hilang di dalam gelapnya malam.

Sepeninggal Ki Tambak Wedi, maka Sidanti pun segera pergi pula sambil berkata, “Aku tunggu kau Alap-alap cengeng.”

“Persetan!” sahut Alap-alap Jalatunda.

Langkah Sidanti terhenti. Hampir-hampir ia melangkah kembali kalau Sanakeling tidak berkata, “Bukan di sinilah arena yang ditentukan oleh Ki Tambak Wedi.”

Sidanti menggeram mendengar kata-kata Sanakeling itu. Dipandanginya wajahnya yang hitam-kelam. Namun Sanakeling sendiri tampaknya seperti acuh tak acuh saja menanggapinya.

Alangkah panasnya hati Sidanti. Namun ia tidak dapat membantah lagi, bahwa memang bukan di ruangan itulah arena yang sudah ditentukan.

Dengan hati yang bergelora ia meneruskan langkahnya diiringi oleh pamannya dan kemudian orang-orang di luar pintu ruangan itu. Alap-alap Jalatunda pun kemudian melangkah keluar bersama Sanakeling yang bergumam, “Kau memang bodoh Alap-alap kerdil. Kau terlampau percaya kepada latihanmu di pinggir kali itu. Dua kali kau terlibat dalam persoalan dengan perempuan, dalam keadaan yang serupa. Kau memang tidak dapat menyamakannya dengan perempuan jalanan yang kau jumpai di mana-mana.”

***

Alap-alap Jalatunda tidak menjawab. Tetapi ia sama sekali tidak menyesal menghadapi perang tanding ini. Kecuali kepalanya memang telah dicengkam oleh tuak, juga karena kebenciannya kepada Sidanti telah benar-benar memuncak.

Namun berbeda dengan Alap-alap Jalatunda, Sekar Mirah yang masih juga mendengar ucapan itu, hatinya menjadi semakin pedih. Ternyata dalam tanggapan Alap-alap Jalatunda, dirinya tidak lebih daripada perempuan-perempuan yang dijumpai orang itu di sepanjang jalan. Karena itu, maka tiba-tiba Sekar Murah itu jatuh tertelungkup. Wajahnya disembunyikannya di bawah telapak tangannya. Dan tangisnya meledak tanpa dapat dikendalikannya.

Sanakeling dan Alap-alap Jalatunda tertegun sejenak. Sesaat mereka berpaling, tetapi ketika Alap-alap Jalatunda akan berbalik, berkatalah Sanakeling, “Kau masih harus melakukan perang tanding untuk dapat menjamahnya.”

Alap-alap Jalatunda mengangguk. Tetapi Sekar Mirah memekik tinggi. Dan tangisnya meledak-ledak semakin keras.

Sanakeling dan Alap-alap Jalatunda itu pun kemudian meninggalkan ruangan itu pula diikuti oleh orang-orangnya. Dan pintu depan pun kemudian tertutup. Dua orang pengawas telah mendapat tugas untuk mengawasinya.

Ruangan itu pun kemudian menjadi lengang. Hanya tangis Sekar Mirahlah yang masih terdengar memenuhinya. Tetapi tangis itu pun seakan-akan hilang saja ditelan oleh gelapnya malam. Bahkan kedua pengawas itu pun berjalan menjauh, karena mereka tidak tahan mendengar tangis Sekar Mirah yang sama sekali tidak terkendali.

Tetapi di balik dinding belakang rumah itu, sepasang mata masih saja mengintai dari lubang-lubang dinding, melihat ke dalam ruangan yang lengang itu. Orang itu masih belum beranjak dari tempatnya. Bahkan seakan-akan ia tidak sampai hati untuk meninggalkan Sekar Mirah dalam keadaan itu.

Sekali-sekali orang itu menarik nafas dalam-dalam. Tetapi tiba-tiba timbullah niatnya untuk mencoba masuk dan mencoba menghibur gadis itu supaya berhenti menangis dan tidak lagi terlampau mencemaskan dirinya.

Dengan hati-hati orang itu berdiri. Digesernya tubuhnya ke sudut rumah itu. Tidak dengan sengaja, maka dicobanya untuk melihat dinding di sudut rumah.

Orang itu melihat tali-tali pengikat dinding rumah itu telah diputuskan. Sehingga segera ia tahu cara Alap-alap Jalatunda masuk. “Hem,” ia bergumam lirih sekali, “dari sini Alap-alap itu masuk.”

Kemudaan bulat pulalah tekadnya untuk memasuki ruangan itu pula. Tak ada niat apa pun di dalam hatinya, selain meredakan kepedihan hati Sekar Mirah. Mungkin dengan kehadirannya, maka luka hati gadis itu dapat sedikit terobati, dan dengan kehadirannya, maka gadis itu tidak terlampau dalam dicengkam oleh ketakutan melihat masa-masa yang akan datang.

Perlahan-lahan dan hati-hati sekali ia mencoba menarik dinding bambu di sudut itu. Sedikit kekuatan yang diberikan, maka dinding itu telah menganga. Dan ia akan segera dapat masuk ke dalamnya.

Tetapi orang itu terperanjat bukan main, sehingga darahnya hampir berhenti mengalir. Tanpa diketahui sangkan-paran arah datangnya, tiba-tiba ia telah melihat sesosok tubuh berdiri di sampingnya. Karena itu, maka dengan serta-merta dilepaskannya dinding rumah itu. Selangkah ia meloncat surut sambil menarik pedangnya. Tetapi sebelum ia dapat berbuat sesuatu, maka pedang itu telah terlepas dari tangannya.

Orang itu seolah-olah membeku karenanya. Ia tidak dapat membayangkan, kekuatan dan ilmu apakah yang telah menggerakkan bayangan itu demikian cepatnya, merampas pedang hanya dalam waktu sekejap, dengan seolah-olah tanpa menggerakkan tubuhnya?

Sejenak orang itu tercenung memandangi bayangan yang hanya tampak kehitam-hitaman di dalam gelap malam.

Hatinya berdesir ketika bayangan itu kemudian berkata perlahan-lahan, “Kau memang berani, terlampau berani.”

Tanpa dikehendakinya sendiri orang itu pun menjawab perlahan-lahan, “Apa pedulimu? Tetapi siapakah kau?”

Terdengar suara tertawa lirih.

“Siapa?” orang itu mendesak.

“Untunglah bahwa Ki Tambak Wedi sedang ditegangkan oleh peristiwa yang dihadapinya, yang agaknya sangat memukul hatinya,” bayangan itu berkata seakan-akan tidak menghiraukan pertanyaan orang itu. “Kalau tidak, maka kau pasti sudah menjadi pengewan-ewan di sini, Ngger.”

“Siapa kau?” orang itu mendesak pula, dan ia pun seolah-olah tidak mendengar kata-kata bayangan itu.

“Inilah pedangmu,” berkata bayangan itu sambil memberikan pedang yang dirampasnya.

Orang itu merasa aneh. Tetapi ia merasa pula bahwa orang itu tidak bersikap bermusuhan terhadapnya. Ketika orang itu berkata seterusnya dalam nada yang berbeda, maka orang itu pun sekali lagi terperanjat, “Apakah kau tidak kenal aku, Ngger.”

Nada yang kini adalah nada yang pernah didengarnya. Bahkan sering didengarnya memberinya berbagai macam petunjuk, sehingga dengan serta-merta ia bertanya, “Apakah Kiai ini Ki Tanu Metir?”

Terdengar bayangan itu tertawa. Suara tertawanya pun kini berbeda dari suara yang didengarnya tadi. “Ah,” desah orang itu, “Kiai mengganggu dan menakut-nakuti aku.”

“Tidak, Ngger,” jawab bayangan yang tidak lain adalah Ki Tanu Metir. “Aku berkata sebenarnya. Angger terlampau berani berbuat malam ini. Mungkin Angger kurang menyadari bahaya yang dapat menerkam Angger setiap saat. Tetapi aku tidak sempat memperingatkan Angger. Untunglah Ki Tambak Wedi benar-benar sedang dibingungkan oleh muridnya.”

“Bagaimana Kiai dapat masuk ke dalam sini?” bertanya orang itu.

“Kenapa Angger Wuranta malam ini tidak turun ke Jati Anom?” bertanya Ki Tanu Metir.

Orang itu, yang tidak lain adalah Wuranta, menarik nafas dalam-dalam. Jawabnya, “Aku hampir digantung Kiai. Kalau malam ini aku tidak dapat keluar dari padepokan ini, maka besok pagi, sesudah perang tanding itu selesai, orang-orang padepokan ini akan beramai-ramai memburuku dan menangkap aku seperti menangkap kelinci.”

“Kenapa?”

“Ki Tambak Wedi telah mengetahui segalanya. Bahkan Ki Tambak Wedi telah mengetahui, bahwa Adi Swandaru dan Agung Sedayu berada di rumahku. Tetapi Ki Tambak Wedi sama sekali tidak menyebut Kiai berada di sana pula.”

Orang tua yang terlindung dalam kegelapan itu tegak seperti patung. Tetapi terdengar nafasnya menjadi semakin cepat. Terasa hatinya menjadi berdebar-debar. Perlahan-lahan ia bertanya, “Jadi Ki Tambak Wedi sendiri telah melihat Jati Anom dan rumahmu?”

“Ya. Lalu sepulang dari Jati Anom agaknya para pemimpin padepokan ini mengambil keputusan untuk malam ini juga menyerang Jati Anom.”

“Ya, aku sudah mendengarnya tadi. Tetapi serangan itu tertunda karena peristiwa ini.”

“Ya, Kiai.”

“Kita berselisih jalan,” gumam Ki Tanu Metir. “Ki Tambak Wedi ke Jati Anom, dan aku datang ke mari. Mungkin Ki Tambak Wedi menempuh jalan yang sering kau lalui pula. Aku memang mengambil jalan lain. Hem,” Ki Tanu Metir menarik nafas dalam-dalam.

Wuranta pun mengangguk-anggukkan kepalanya. Ia tahu sekarang, kenapa ketika Ki Tambak Wedi mengintip rumahnya, yang dijumpainya hanya Swandaru dan Agung Sedayu. Agaknya pada saat itu Ki Tanu Metir telah meninggalkan Jati Anom pula menuju ke padepokan ini.



Dan Wuranta itu pun kemudian bertanya pula, “Tetapi bagaimana Kiai dapat masuk ke dalam padepokan ini?”

Ki Tanu Metir tersenyum. Ia tidak segera menjawab pertanyaan itu, bahkan ia bertanya kepada Wuranta, “Angger. Apakah sebabnya Angger besok akan menjadi orang buruan di dalam padepokan ini? Apakah Ki Tambak Wedi dapat mengetahui hubungan Angger dengan orang-orang Jati Anom?”

“Ya, Kiai,” sahut Wuranta, “justru karena Adi Swandaru dan Agung Sedayu yang berada di rumahku. Sebelum itu Ki Tambak Wedi telah bertanya-tanya pula kepada Sidanti bagaimana saat-saat ia menemukan aku di Jati Anom. Dengan demikian maka Ki Tambak Wedi berkesimpulan bahwa aku harus digantung.”

“Tetapi kenapa Angger dapat datang ke halaman ini?”

Wuranta menarik nafas dalam-dalam. Dipalingkannya wajahnya ke arah rumah tempat Sekar Mirah masih berbaring di lantai sambil menangis.

“Biarkan, Ngger. Tangis kadang-kadang dapat menjadi kawan yang baik bagi seorang wanita. Dan kali ini dapat menjadi kawan yang baik bagi kita, karena dengan demikian percakapan kita tidak didengar orang.”

Wuranta mengerutkan keningnya.

“Bukan maksudku membiarkannya dalam keadaan putus-asa, Ngger. Tetapi sementara ini, biarlah ia meringankan perasaannya dengan tangisnya.”

Wuranta masih tegak seperti patung.

“Sekarang, bagaimanakah kau dapat datang kemari? Apakah dengan keputusan Ki Tambak Wedi tentang dirimu, kau tidak mendapat pengawasan sama sekali?”

“Aku memang sudah ditahan Kiai,” jawab Wuranta. “Aku ditahan di dalam sebuah gubug dengan empat orang pengawal.”

“Lalu?”

“Salah seorang daripada mereka memberi aku kesempatan meninggalkan rumah itu.”

“He?” Ki Tanu Metir mengerutkan keningnya.

“Orang itu adalah seorang tua tempat aku menumpang selama aku berada di padepokan ini. Agaknya ia senang mendengar sendau-gurauku tepat pada siang hari sebelum aku harus masuk ke dalam rumah itu. Orang itu pulalah yang menangkap aku dan membawa aku ke dalam tahanan. Orang itu pulalah yang sepanjang jalan berada di sisiku sambil berbisik, bahwa aku akan dapat melepaskan diri lewat atap yang ditunjukkan kepadaku, yang ternyata beberapa utas talinya telah diputuskannya. Dan aku diperingatkan adanya seorang pengawas di sudut belakang halaman.”

“Kau dapat memaanfaatkannya?”

“Ya, Kiai. Aku berhasil keluar dari atas atap itu dan diam-diam menerkam penjaga yang terkantuk-kantuk di halaman belakang. Pedang ini adalah pedang penjaga itu.”

Ki Tanu Metir mengangguk-anggukkan kepalanya. Gumamnya, “Kau memang mempunyai bakat yang kuat di dalam tubuhmu untuk menjadi seorang petugas sandi. Lalu bukankah dengan demikian kau harus keluar dari padepokan ini supaya kau selamat?”

“Ya Kiai. Orang tua yang memberi aku kesempatan itu berkata kepadaku, “Angger, aku hanya dapat memberi kau petunjuk sampai pada lubang di atap ini. Seterusnya, terserah kepadamu. Juga tentang penjaga yang berada di sudut halaman belakang, di bawah pohon ramin itu. Sayang, aku tidak dapat memberimu petunjuk, darimana kau harus keluar dari padepokan ini. Barangkali kau dapat melakukannya besok apabila pasukan padepokan ini sudah berangkat ke Jati Anom. Dengan demikian aku juga tidak berkhianat terhadap pimpinanku. Sebab apabila kau keluar dari padepokan malam ini, maka kau pasti akan menyampaikan kabar ini kepada orang-orang di Jati Anom.”

Ki Tanu Metir mengerutkan keningnya mendengar ceritera Wuranta. Sambil mengangguk-anggukkan kepalanya ia berkata, “Angger, kau memang harus segera turun ke Jati Anom sebelum orang-orang itu mencarimu. Kau akan membawa pesan yang harus kau sampaikan kepada Untara. Agung Sedayu dan Swandaru akan mempertemukan kau meskipun kesan tentang dirimu bagi beberapa orang Jati Anom kurang menyenangkan.”

“Tetapi bagaimana aku harus keluar, Kiai?”

Ki Tanu Metir terdiam sesaat. Tiba-tiba ia bertanya, “He, apakah sebabnya orang itu memberimu kesempatan? Apakah bukan sekedar suatu pancingan saja bagimu?”

“Aku rasa tidak, Kiai. Kemarin siang aku berbincang dengan orang itu tentang kesempatan untuk menikmati sinar matahari pagi. Ia berkata kepadaku sebelum aku dilepaskannya. ‘Aku sependapat dengan kau ngger. Aku memang tidak mendapat kesempatan menikmati cerahnya matahari hampir di sepanjang hidupku. Apalagi menikmati keagungan Penciptanya. Sampai setua ini aku adalah budak dari kerja duniawi melulu.’”

Sekali lagi Ki Tanu Metir mengangguk-anggukkan kepalanya. Katanya, “Hem, agaknya kau mampu juga menyentuh perasaannya yang paling dalam. Nah, Ngger. Sekarang dengarlah. Sebaiknya kau turun ke Jati Anom. Cepat, secepat-cepatnya. Pasukan Untara harus berada di ambang pintu padepokan ini sebelum fajar.”

“He,” Wuranta terkejut, “bagaimana mungkin, Kiai?”

“Keluarlah dari padepokan ini. Aku membawa kuda. Kau pergunakan kudaku. Demikian kau sampai di Jati Anom, maka Agung Sedayu dan Swandaru harus masuk kepadepokan ini secepat-cepatnya. Pasukan Untara yang sempat mendapatkan kuda, kuda yang dibawanya dari Pajang atau kuda yang dapat diambil di Jati Anom harus mendahului yang lain, sedang yang lain secepatnya pula harus menyusul. Aku akan memberi tanda dengan panah sendaren. Ingat, Agung Sedayu harus membawa panah sendaren. Aku atau anak itu harus menunggu di sini.”

“Lalu bagaimana dengan pesan selanjutnya buat Kakang Untara?”

“Ia harus sudah siap secepatnya. Aku mengharap keadaan akan berkembang dengan cepat tanpa dapat terkendali lagi. Aku akan memberikan tanda-tanda untuk setiap gerakan berikutnya.”

Tetapi Wuranta tidak segera beranjak dari tempatnya. Ia masih saja berdiri memandangi wajah Ki Tanu Metir dengan sorot mata bertanya-tanya.

“Apakah masih ada yang ingin Angger tanyakan?”

“Ya, Kiai,” sahut Wuranta.

“Tentang apa?”

“Tentang pesan itu.”

“Pesan itu?” Ki Tanu Metirlah yang menjadi heran, tetapi kemudian ia menyadari bahwa pesannya terlampau singkat buat Wuranta, sehingga, ia masih perlu banyak penjelasan.

Demikianlah Ki Tanu Metir memberinya beberapa penjelasan tentang pesannya. Untara harus membawa seluruh pasukannya ke ambang pintu padepokan Tambak Wedi. Tetapi supaya sebagian dari mereka segera siap dipergunakan apabila perlu, maka mereka yang mendapatkan kuda harus berangkat lebih dahulu. Sedang yang lain harus segera menyusul.

“Kalau aku melepaskan tiga panah sendaren berturut-turut, ingat Ngger, tiga,” berkata Ki Tanu Metir seterusnya, “maka pasukan Untara harus bergerak memasuki padepokan ini. Tetapi kalau aku melepaskan dua panah sendaren berturut-turut beberapa kali, maka mereka harus mengurungkan niatnya dan kembali ke Jati Anom. Sedang apabila aku melepaskan lima panah sendaren berturut-turut beberapa kali, maka aku memberi tahukan bahwa keadaan Jati Anom gawat. Mereka harus bersiap sedia menyingkiri sergapan Ki Tambak Wedi dan menghindari benturan pasukan.”

Wuranta mengangguk-anggukkan kepalanya. Dan Ki Tanu Metir berkata selanjutnya, “Nah, cepat ke Jati Anom, pakai kudaku.”

“Di mana kuda Kiai, dan dari mana aku akan keluar?”

Ki Tanu Metir tersenyum. Jawabnya, “Bukankah kau pernah berceritera tentang urung-urung sungai. Nah, aku masuk lewat urung-urung itu, Ngger. Aku menyelam sejenak, lalu muncul lagi di balik dinding padepokan ini.”

“Oh,” Wuranta berdesah.

“Apakah kau tidak dapat berenang?”

“Dapat, Kiai.”

“Dan apakah kau kira-kira dapat menyelam lewat, urung-urung yang pendek itu?”

“Ya, Kiai.”

“Nah, ambillah kudaku. Kudaku ada di bagian Selatan dari padepokan ini. Kau berjalan saja sepanjang pinggiran sungai. Kau akan menemukan kudaku terikat pada sebatang pohon turi.”

“Apakah Kiai masuk dari sebelah Selatan?”

“Tidak, sangat sulit untuk menentang arus sungai. Aku masuk lewat urung-urung Utara mengikuti arus.”

“Tetapi kenapa kuda Kiai berada di Selatan?”

“Aku siapkan kuda itu lebih dahulu, apabila setiap saat aku harus menghindarkan diri dari padepokan ini. Aku telah meneliti seluruh keadaan di sekitar padepokan ini.”

Wuranta mengangguk-anggukkan kepalanya, “Begitu hati-hati orang tua ini, sehingga semuanya telah diperhitungkannya dengan rapi. Dan kini ia harus pergi ke Jati Anom dengan kuda Ki Tanu Metir itu untuk menyampaikan pesannya kepada Untara.”

Sebelum Wuranta berangkat, Ki Tanu Metir masih berpesan, “Kau, dan juga Agung Sedayu dan Swandaru harus berbuat serupa itu pula, Ngger. Kalian nanti harus mengikat kuda-kuda kalian di bagian Selatan meskipun kalian, akan masuk lewat bagian Utara.”

“Baik, Kiai.”

“Nah, yang paling cepat harus sampai di sini adalah Agung Sedayu, Swandaru, dan kau, Ngger. Kalau aku tidak ada karena aku sedang melihat keadaan, maka kalian harus menunggu aku di sini.”

“Baik, Kiai.”

“Kalau keadaan berbahaya bagi kalian aku akan menungu di bawah pohon turi itu. Kecuali kalau aku ditangkap oleh Ki Tambak Wedi.”

Wuranta tersenyum. Jawabnya, “Aku akan segera pergi Kiai, mudah-mudahan aku dapat melakukan tugas ini.”

“Jangan kau pacu kudamu sebelum kau yakin bahwa derap kudamu tidak akan didengar oleh setiap orang di padepokan ini. Demikian pula apabila, kau nanti kembali beserta pasukan berkuda Angger Untara. Apabila mereka menyadari bahwa kau lolos maka keadaan akan dapat berubah dan berkembang ke arah yang tidak kita kehendaki.”

“Baik, Kiai.”

Wuranta itu pun kemudian meninggalkan Ki Tanu Metir. Orang tua itu masih memberinya beberapa petunjuk dan pesan, kemudian sekali ia berkata, “Jangan kau cemaskan nasib gadis ini. Aku akan mencoba mempertanggungjawabkannya.”

Wuranta mengangguk. Lalu melangkahkan kakinya hilang di dalam gelap. Namun Wuranta itu harus berhati-hati. Ditempuhnya jalan-jalan yang sepi, yang tidak sering dilalui orang. Namun terasa padepokan itu amat sunyinya. Ketika ia memberanikan diri mendekati simpang-simpang empat di dalam padepokan itu ternyata tak seorang pun yang mengawalnya. Agaknya mereka sedang berkumpul di halaman banjar yang luar untuk dapat menyaksikan apa yang sedang terjadi di sana.

Ketika Wuranta sampai ke pinggir sungai, ia menjadi ragu-ragu sejenak. Tetapi ia adalah perenang yang baik sejak kanak-anak. Karena itu, maka disangkutkannya kainnya tinggi-tinggi dan betapapun dingin malam menggigit tubuhnya, namun Wuranta itu pun kemudian terjun juga menyelam. Sambil meraba-raba dinding padepokan menyelusur mengikuti arus sungai. Ternyata dinding itu tidak begitu tebal, dan sejenak kemudian ia telah rnuncul pula di seberang dinding di luar padepokan.

“Hem,” Wuranta itu menjadi basah kuyup. Terdengar giginya gemeretak karena dingin. “Segar juga mandi di malam buta.”

Sejenak kemudian Wuranta itu telah menemukan kuda Ki Tanu Metir di pinggir kali di belakang sebuah gerumbul terikat pada sebatang pohon turi yang tinggi. Hati-hati dipakainya kuda itu menuju ke Jati Anom. Tetapi selalu diingatnya pesan Ki Tanu Metir. Dihindarinya jalan yang lazim. Ia melingkar lewat sebuah lapangan perdu yang agak rimbun. Meskipun jalan tidak datar, tetapi Wuranta berhasil memotong arah dan agak jauh dari padepokan ia berhasil menemukan jalan yang harus dilalui. Ketika ia yakin bahwa ia sudah cukup jauh dari padepokan, maka segera ia berpacu seperti angin, meskipun jalan yang ditempuhnya kadang-kadang terjal, tetapi ia ingin segera sampai di Jati Anom untuk menyampaikan pesan Ki Tanu Metir kepada Untara.

Sepeninggal Wuranta, Ki Tanu Metir berdiri diam untuk sesaat. Dicobanya untuk mendengar tangis Sekar Mirah. Ternyata tangis itu masih saja berkepanjangan.

Sejenak orang tua itu menjadi ragu-ragu. Tetapi kemudian diputuskannya untuk membiarkan saja Sekar Mirah itu dalam keadannnya, supaya tidak menimbulkan kecurigaan pada para pengawasnya. Bahkan Ki Tanu Metir itu pun segera meninggalkan tempat itu dengan hati-hati untuk melihat apa yang sedang terjadi di padepokan ini.

Orang tua itu sama sekali belum pernah menginjakkan kakinya di dalam padepokan ini. Tetapi ia telah mengenal beberapa arah menurut petunjuk dan ceritera Wuranta. Sebagai seorang yang telah kenyang minum air di perantauan, maka Kiai Gringsing pun segera mampu menyesuaikan dirinya. Tetapi orang tua itu menyadari sepenuhnya, bahwa di dalam padepokan itu ada seorang yang sebaya dengan dirinya. Bukan saja sebaya umurnya, tetapi hampir segala-galanya. Itulah sebabnya maka ia harus berada di puncak kewaspadaan.

Perlahan-lahan orang itu menyusuri halaman demi halaman. Mengingati setiap pengamatannya atas sesuatu. Pohon-pohon yang cukup besar, rumah-rumah dan pagar-pagar. Dikenalinya setiap regol yang dijumpainya dan arah yang dapat ditempuhnya apabila ia menjumpai bahaya.

Akhirnya dari kejauhan Ki Tanu Metir itu melihat berpuluh-puluh obor yang ditancapkan di halaman. Itu adalah halaman banjar para pemimpin padepokan Tambak Wedi. Ternyata Sidanti dan Alap-alap Jalatunda tidak dapat menunda persoalannya sampai besok apabila matahari telah menyingsing. Mereka benar-benar ingin menyelesaikan persoalannya malam ini. Bahkan sekarang.

Dari kejauhan Kiai Gringsing melihat bahwa laskar padepokan itu benar-benar telah terbagi. Sebagian di sebelah sisi adalah laskar Tambak Wedi, sedang di sisi yang lain, yang tampaknya lebih sigap, adalah para prajurit Jipang. Tetapi kelebihan pada orang-orang Tambak Wedi adalah para pemimpinnya. Ki Tambak Wedi, Sidanti, Argajaya dan beberapa orang lagi. Mereka adalah orang-orang pilihan, yang mempunyai takaran yang cukup banyak bagi prajurit-prajurit biasa. Apalagi Ki Tambak Wedi sendiri.

Kiai Gringsing masih melihat beberapa orang mempersiapkan arena. Beberapa orang yang lain memasang obor-obor di tempat-tempat yang telah ditentukan. Perang tanding kali ini adalah benar-benar sebuah perang tanding yang sangat menarik.

Sambil melihat persiapan itu Kiai Gringsing masih saja selalu menghitung waktu. Wuranta itu benar-benar diharapkannya dapat menyampaikan pesannya. Kalau tidak, maka Untara akan banyak kehilangan kesempatan. Dan orang tua itu mengharap bahwa Wuranta akan jauh lebih cepat mencapai Jati Anom dengan kudanya. Menurut perhitungannya, maka pasukan Untara yang mendapatkan kuda akan segera datang pula. Sedang mereka yang berjalan akan menyusul. Mereka akan sampai di ambang pintu padepokan ini selambat-lambatnya pada saat fajar menyingsing. Sehingga sesaat sebelum fajar, ia sudah dapat mengharap pasukan berkuda Untara bergerak apabila diperlukan, sementara menunggu pasukannya yang lain.

“Mudah-mudahan aku tidak salah hitung,” gumam Kiai Gringsing di dalam hatinya, “dan mudah-mudahan perkelahian itu tidak segera selesai. Apabila demikian, maka aku akan mendapat kesulitan. Yang paling mungkin aku lakukan adalah melarikan Sekar Mirah, membenamkannya di bawah urung-urung kemudian membawanya bersembunyi di balik belukar. Hem.” Orang tua itu menarik nafas. Tampaklah ia tersenyum, tetapi sejenak kemudian wajahnya telah menjadi tegang kembali. Sebenarnyalah bahwa hatinya selalu gelisah dan berdebar-debar. Tanpa disadari ia telah menggerakkan sepasukan prajurit Pajang di bawah pimpinan senapati muda yang berkuasa di daerah sekitar Gunung Merapi.

“Kalau aku gagal, dan laporannya nanti didengar oleh Ki Gede Pemanahan, maka aku akan digantungnya,” desisnya kepada diri sendiri.

Kini Kiai Gringsing melihat persiapan hampir selesai. Obor-obor telah terpasang berkeliling. Dan sebagian dari laskar kedua pihak telah berada di sekitar arena itu pula.

Sementara itu Wuranta berpacu tanpa mengingat jalan yang dilaluinya. Sekali-sekali kudanya meloncati tempat-tempat yang terjal, dan sekali-sekali terpaksa mendaki sedikit untuk seterusnya berlari lagi menuruni tebing. Yang terpahat di dalam dadanya adalah, secepatnya menemui Agung Sedayu dan Swandaru untuk mempertemukannya dengan Untara.

Waktu yang diperlukan oleh Wuranta ternyata terlampau pendek. Kecepatan kudanya benar-benar mengagumkan dan Wuranta sendiri ternyata mampu menguasai kuda yang sedang berlari dalam kecepatan yang sangat tinggi. Dipilihnya jalan-jalan sempit dan memintas untuk menghindarkan diri dari para peronda dan memilih jarak terdekat.

Tanpa turun dari kudanya Wuranta memasuki halaman rumahnya, sehingga Agung Sedayu dan Swandaru menjadi sangat terkejut karenanya. Berloncatan mereka turun dari pembaringannya dan dengan tergesa-gesa pula berlari ke arah pintu dengan pedang masing-masing di tangan, meskipun belum mereka tarik dari sarungnya.

“Adi Agung Sedayu dan Swandaru,” berkata Wuranta dengan nafas terengah-engah, “marilah, ikut aku. Pertemukan aku dengan Kakang Untara.”

Swandaru dan Agung Sedayu tidak sgera menjawab. Suara itu adalah suara Wuranta. Perlahan-lahan Swandaru membuka pintu.

Sejenak mereka menatap wajah Wuranta yang tegang. Kemudian terdengar Agung Sedayu bertanya, “Apakah yang terjadi Kakang Wuranta?”

“Aku harus segera bertemu dengan Kakang Untara.”

“Adakah sesuatu yang penting?”

“Ya. Penting dan tergesa-gesa.”

Sejenak Agung Sedayu dan Swandaru saling berpandangan. Kemudian bertanyalah Swandaru, “Apakah yang penting itu?”

“Nanti, nanti kau akan mendengarnya juga. Aku harus menghadap Kakang Untara, tetapi aku tidak berani seorang diri. Sebab ada kesan yang kurang baik tentang diriku.”

Belum lagi Swandaru menjawab, maka mereka pun segera dikejutkan oleh derap dua ekor kuda yang seolah-olah saja langsung meloncat di jalan di muka halaman itu. Ketika kuda-kuda itu telah berada tepat di muka regol, maka mereka pun berhenti. Salah seorang daripada mereka masuk dengan hati-hati ke halaman sambil berkata, “Siapa di situ? Aku melihat seekor kuda memasuki halaman ini. Tetapi terlampau cepat bagi kami yang hanya melihat dari kejauhan. Tetapi agaknya kuda dan penunggangnya masih berada di halaman.”

“Ya,” Agung Sedayulah yang menjawab, “yang datang adalah Kakang Wuranta.”

“He, Wuranta anak Jati Anom?”

“Ya.”

“O, kalau begitu aku berkepentingan dengan anak itu. Bukankah anak itu yang dikatakan selama ini berpihak kepada orang-orang di lereng Merapi, dari padepokan Ki Tambak Wedi.”

Dada Wuranta berdesir mendengar kata-kata itu. Hampir-hampir ia berteriak menjawabnya, tetapi segera disadarinya kedudukannya dan dipercayakannya dirinya kepada Agung Sedayu dan Swandaru.

“Akulah yang bertanggung jawab atasnya saat ini,” jawab Agung Sedayu.

“Kami adalah petugas ronda malam ini. Kamilah yang bertanggung jawab atas keamanan Jati Anom dan sekitarnya.”

“Tetapi aku mempunyai wewenang khusus dari Kakang Untara, senapati di daerah ini, meskipun aku bukan seorang prajurit.”

Kedua prajurit berkuda itu terdiam. Tetapi belum lagi mereka puas dengan jawaban itu, maka kemudian menyusul empat orang peronda datang berjalan kaki masuk kedalam regol halaman setelah sejenak bercakap-cakap dengan prajurit berkuda yang seorang di luar halaman.

“Aku juga melihat kuda itu. Aku ikuti arahnya. Ternyata ia telah berada di sini.”

Wuranta menarik nafas dalam-dalam. Kini ia pun tahu, betapa ketatnya penjagaan Kademangan Jati Anom yang tampaknya begitu lengang. Tetapi agaknya setiap jengkal tanah selalu mendapat pengawasan yang teliti.

Dalam pada itu pun Agung Sedayu berkata, “Berdasarkan wewenang khusus yang aku miliki, biarlah aku membawa Kakang Wuranta menghadap Kakang Untara.”

Para prajurit yang berada di regol halaman, itu sejenak saling berpandangan. Tetapi mereka harus mempercayai Agung Sedayu. Mereka mengenal anak itu sebagai adik Untara. Dan mereka pun telah mendengar apa yang telah dilakukan oleh Agung Sedayu. Karena itu tidak ada alasan bagi mereka untuk mencurigainya.

Meskipun demikian para prajurit itu sejenak masih diselubungi oleh keragu-raguan, sehingga Agung Sedayu berkata, “Berikan kuda kalian. Aku dan Adi Swandaru akan mengantarkan Kakang Wuranta sekarang juga. Ada hal yang penting harus segera diketahui oleh Kakang Untara.”

Kedua prajurit berkuda itu tidak menjawab. Sesaat mereka saling berpandangan. Sementara itu Agung Sedayu telah melangkah di halaman mendekati kedua prajurit berkuda itu diikuti oleh Swandaru.

“Maaf, aku memerlukan kuda kalian untuk kepentingan Jati Anom dan Pajang.”

Kedua prajurit itu menjadi seperti orang yang sedang kebingungan. Prajurit itu tidak berbuat apa-apa ketika Agung Sedayu menarik kendali kudanya, dan bahkan prajurit itu pun meloncat turun tanpa disadarinya. Demikian prajurit yang seorang lagi. Dengan kepala kosong diserahkannya kudanya kepada Swandaru.

“Aku akan pergi ke kademangan,” berkata Agung Sedayu kepada prajurit-prajurit yang berdiri tegak mematung di halaman itu, “susullah kami ke sana. Mungkin kalian pun akan mendengar sesuatu yang penting itu.”

Agung Sedayu tidak menunggu prajurit itu menjawab. Segera ia berkata kepada Wuranta, “Mari Kakang, aku antarkan kau kepada Kakang Untara.”

Sejenak kemudian ketiga ekor kuda itu telah berlari dengan cepatnya menuju ke kademangan. Para prajurit yang melihatnya seolah-olah terpaku beku di tempatnya. Mereka memandangi kepulan debu yang putih yang sesaat kemudian telah lenyap dalam kegelapan malam.

Ketika kuda-kuda itu telah hilang dari pandangan mata mereka maka seolah-olah mereka pun baru menyadari keadaan mereka sehingga salah seorang berkata, “He, kenapa kita berdiri saja di sini. Mari kita lihat, apakah mereka benar-benar pergi ke kademangan.”

Seperti berloncatan berebut dahulu mereka pun segera melangkah pergi, meninggalkan halaman rumah Wuranta, pergi menyusul ketiga ekor kuda itu ke kademangan seperti yang dikatakan oleh Agung Sedayu.

Demikian Wuranta memasuki jalan induk kademangan bersama Agung Sedayu dan Swandaru, segera ia melihat, bahwa penjagaan di Jati Anom pun kini tidak kalah rapatnya dibanding dengan Padepokan Tambak Wedi. Bahkan ia sama sekali tidak dapat menilai, manakah yang lebih kuat di antara kedua pasukan itu. Namun agaknya mata Ki Tambak Wedi mempunyai ketajaman penglihatan yang jauh melampaui penglihatannya.

Karena Wuranta berjalan beriring dengan Agung Sedayu dan Swandaru maka ia tidak banyak mendapat pertanyaan. Bahkan untuk menghindari hal-hal yang dapat memperlambat perjalanan itu, maka Agung Sedayu dan Swandaru sama sekali tidak menyebut-nyebut nama Wuranta. Sebab nama itu mempunyai kesan yang tidak menyenangkan bagi orang-orang Jati Anom, terutama anak-anak mudanya dan bagi orang-orang Pajang yang telah mendengarnya. Wuranta adalah salah seorang yang mereka anggap telah hilang dari lingkungan mereka dan berada di dalam lingkungan lawan.

Tetapi ketika Wuranta memasuki halaman kademangan, maka suasana tiba-tiba menjadi tegang. Di halaman kademangan, Agung Sedayu dan Swandaru tidak lagi berhasil menyembunyikan anak muda itu dari pengamatan anak-anak muda Jati Anom yang berada di halaman kademangannya. Bahkan beberapa orang datang berlari-lari sambil bertanya, “Agung Sedayu, apakah kau telah berhasil menangkapnya?”

Agung Sedayu tidak menjawab. Tetapi wajah Wuranta-lah yang menjadi merah padam. Ketika kuda-kuda mereka berhenti, maka segera mereka dikerumuni oleh beberapa anak muda dan prajurit Pajang. Wajah-wajah mereka menunjukkan pancaran kebencian bercampur-baur dengan teka-teki tentang kedatangan anak muda itu.

“Kita menghadap Kakang Untara,” desis Agung Sedayu. Wuranta tidak menyahut. Setelah mengikatkan kudanya pada tiang di halaman, maka ia pun segera berjalan rapat di belakang Agung Sedayu untuk menghindari hal-hal yang tidak dikehendaki. Namun demikian, Wuranta itu mengeluh di dalam hati sampai demikian dalam pengorbanan yang harus diberikan kepada kampung halamannya. Seandainya tak seorang pun sempat menerangkan apa yang senenarnya dilakukan, maka seandainya ia mati dibunuh anak muda sepadukuhannya, maka mayatnya pasti akan dilempar saja ke kali sebagai seorang pengkhianat. Tetapi kali ini ia masih menggantungkan diri kepada Agung Sedayu. Bukan soal hidup atau mati, tetapi soal kebersihan namanya itulah yang lebih penting baginya.

“Akan kau bawa ke mana anak itu?” tiba-tiba terdengar suara di antara mereka yang berdiri di seputar ketiga anak muda itu.

Agung Sedayu berpaling. Dilihatnya seorang bertubuh tinggi agak kekurus-kurusan, “Oh, kau Kakang Jawawi.”

“Ya, tetapi akan kau bawa ke mana anak itu?” Wuranta mengerutkan keningnya. Jawawi adalah salah seorang anak muda yang banyak mendapat kepercayaan di Jati Anom seperti dirinya. Dan ia sadar sesadar-sadarnya bahwa Jawawi pun telah menjadi salah paham memandang persoalannya.

“Akan aku bawa menghadap Kakang Untara.”

“Jangan,” berkata Jawawi. Matanya menjadi semakin tajam memancarkan kebencian, “Wuranta adalah anak Jati Anom. Persoalannya adalah persoalan kami. Bukan persoalan prajurit Pajang.”

Dada Agung Sedayu dan Swandaru berdesir. Apalagi Wuranta. Tetapi dalam keadaan ini, Wuranta mengambil sikap yang baginya paling menguntungkan. Diam.

Karena Agung Sedayu tidak segera menjawab, maka Jawawi berkata terus sambil melangkah maju, “Adi Sedayu. Serahkan anak itu kepadaku, kepada anak-anak muda Jati Anom.”

“Jangan, Kakang,” sahut Agung Sedayu. “Yang mempunyai kekuasaan tertinggi di daerah ini sekarang adalah Kakang Untara. Kakang Untara adalah senapati yang mendapat kekuasaan dari Panglima Wira Tamtama.”

“Sekali lagi aku peringatkan,” potong Jawawi, “persoalan ini bukan persoalan prajurit Pajang. Persoalan ini adalah persoalan anak-anak muda Jati Anom.”

Agung Sedayu menjadi semakin berdebar-debar. Tetapi sudah pasti bahwa ia tidak akan dapat menyerahkan Wuranta kepada Jawawi. Maka jawabnya, “Kakang, biarlah Kakang Untara. mengambil sikap. Kecuali Kakang Untara sedang mengemban tugas sebagai seorang senapati, ia pun seorang anak Jati Anom pula. Aku pulalah yang menemukan Kakang Wuranta. Aku pun anak Jati Anom. Nah, percayakanlah Kakang Wuranta kepadaku dan Kakang Untara. Kami akan memenuhi keinginanmu, karena kami pun anak-anak muda Jati Anom pula.”

Agung Sedayu tidak ingin persoalan ini menjadi berkepanjangan. Segera Ia berjalan maju menyibakkan orang-orang yang mengelilinginya. Wuranta pun mengikutinya, dekat-dekat di belakangnya. Sedang di belakang Wuranta berjalan Swandaru yang gemuk.

Beberapa orang tanpa menyadari, segera menyibak memberi mereka jalan. Tetapi agaknya Jawawi masih belum puas dengan keadaan itu, sehingga segera ia melangkah pula mengikuti Agung Sedayu sambil berkata, “Adi Agung Sedayu. Jangan membuat kami kecewa. Supaya kami tidak berbuat hal-hal yang tidak kalian inginkan.”

Agung Sedayu mengerutkan keningnya. Tetapi ia pun tetap pada pendiriannya. Jawabnya, “Jangan memaksa, Kakang Jawawi. Supaya keadaan Jati Anom tidak menjadi bertambah kisruh hanya karena kau menuruti perasaanmu saja.”

Wajah Jawawi menjadi merah mendengar jawaban Agung Sedayu. Hampir-hampir ia membentaknya dan mencoba menahannya, seandainya pintu kademangan itu tiba-tiba tidak terbuka. Ketika mereka berpaling, mereka melihat di muka pintu itu berdiri Untara dan Ki Demang Jati Anom.

“Apa yang kalian ributkan?”

Sebelum Agung Sedayu menjawab, terdengar Jawawi mendahului, “Kami hanya ingin Wuranta diserahkan kepada kami. Tetapi Adi Agung Sedayu berkeberatan, sehingga kami terpaksa memaksanya.”

Untara mengerutkan keningnya. Ketika dilihat olehnya dalam keremangan malam, orang-orang berkerumun di halaman demikian tegangnya.

“Bawa anak itu kemari,” tiba-tiba terdengar suara Untara. Suara yang penuh memancarkan kewibawaan seorang pemimpin prajurit yang bertanggung jawab. “Aku mempunyai kekuasaan tidak terbatas di sini sebagai pengemban perintah dari Pajang.”

Tak ada seorang pun yang berani menentang kata-kata itu. Kecuali kata-kata itu mengandung ancaman, tetapi wibawanya seolah-olah memukau setiap hati orang yang mendengarnya. Karena itu ketika kemudian Agung Sedayu membawa Wuranta meninggalkan halaman dan menaiki pendapa kademangan langsung masuk ke pringgitan, orang-orang yang berada di halaman itu hanya memandangi mereka saja. Namun demikian, setelah Wuranta itu hilang di balik pintu pringgitan, terbersitlah kata-kata di antara mereka, bahwa mereka akan menunggu di halaman sampai Wuranta diserahkan kepada mereka. “Hanya kamilah yang berhak menghukumnya,” gumam mereka.

Di dalam pringgitan, Ki Demang Jati Anom memandangi Wuranta dengan hampir tak berkedip, seakan-akan baru pertama kali ini ia melihat. Sedang Wuranta yang merasakan tatapan mata itu, hanya menundukkan kepalanya saja. Ia masih tetap berpendirian, bahwa segala sesuatunya akan sangat tergantung kepada Agung Sedayu dan Swandaru.

“Duduklah Wuranta,” Untara mempersilahkan. Wuranta terperanjat mendengar suara Untara. Suara itu telah dikenalnya sejak beberapa puluh tahun yang lampau, selagi mereka masih kanak-anak. Wuranta telah mengenal Untara dalam permainan, dalam pergaulan yang lebih dewasa, sampai suatu ketika Untara itu meninggalkan Jati Anom mengabdikan diri kepada Adipati Pajang. Tetapi nada suara itu agak berbeda dengan nada suara Untara di masa-masa mudanya. Kini terasa bahwa kata-kata itu diucapkan bukan oleh seorang anak muda padesan seperti dirinya, tetapi nadanya adalah nada seorang pimpinan prajurit.

Wuranta itu pun kemudian duduk diapit-apit oleh Agung Sedayu dan Swandaru. Sekali-sekali anak muda Jati Anom itu mengangkat wajahnya pula, namun kemudian wajah itu pun tertunduk lagi.

“Kau baru datang dari padepokan Tambak Wedi, Wuranta?”

Wuranta mengangkat wajahnya. Perlahan-lahan ia menjawab, “Ya, Untara, eh, Tuan, eh.”

“Panggil namaku,” potong Untara.

“Ya, Kakang Untara.”

“Hem,” tiba-tiba terdengar Ki Demang Jati Anom menggeram. Ketika Wuranta beserta orang lain yang berada di dalam pringgitan itu berpaling kearahnya, maka tampaklah wajah itu menjadi tegang. Dengan kata-kata yang bergetar Ki Demang berkata, “Wuranta, ternyata kau sangat mengecewakan kami, orang-orang Jati Anom. Apakah sebabnya maka tiba-tiba saja kau telah berada di padepokan setan lereng Merapi itu? Apakah tanah ini, kampung halaman ini, kurang memberimu kepuasan? Kurang memberimu sandang pangan dan perlindungan?”

“Nanti dulu, Ki Demang,” potong Untara, “jangan tergesa-gesa menyatakan sikap. Aku ingin tahu, kenapa tiba-tiba saja ia menemui Agung Sedayu dan Swandaru.”
***
Ki Demang menelan ludahnya. Tetapi dadanya serasa menghentaki karena kecewa. Kecewa terhadap anak muda yang pernah dipercayainya.

“Wuranta,” berkata Untara kemudian, “apakah, kau membawa sesuatu berita atau pesan atau apa pun yang penting untukku dan untuk seluruh Jati Anom?”

Wuranta mengerutkan keningnya. Ketika ia mengangkat wajahnya, maka terpandang olehnya wajah Ki Demang menjadi semakin tegang. Dengan serta-merta Demang Jati Anom itu bertanya, “Apakah artinya ini?”

Untara tidak menjawab. Tetapi tatapan matanya telah memaksa Wuranta berkata, “Ya, Kakang. Aku membawa pesan Ki Tanu Metir untuk Kakang.”

Wajah Ki Demang Jati Anom menjadi semakin tegang karenanya. Dari sepasang matanya memancar sorot yang mengandung beribu macam pertanyaan.

Untara agaknya dapat menangkap pertanyaan-pertanyaan yang bergumul lewat pancaran mata Demang Jati Anom. Maka supaya pembicaraan seterusnya menjadi lancar maka ia berkata, “Wuranta, apakah pekerjaanmu dapat berjalan dengan baik?”

“Ya, Kakang Untara. Tetapi malam ini adalah malam terakhir bagi Wuranta di lereng Merapi, di padepokan Tambak Wedi. Seharusnya pagi ini aku sudah digantung di muka regol padepokan itu, karena ternyata Ki Tambak Wedi dapat mengetahui perananku.”

“Tetapi kau berhasil melepaskan dirimu.”

“Aku bertemu dengan Ki Tanu Metir.”

“Apakah Ki Tanu Metir ada di dalam padepokan itu?”

“Ya. Ki Tanu Metir telah berhasil masuk ke dalam padepokan setelah Ki Tanu Metir mendapat gambaran tentang daerah itu.”

Untara menarik nafas dalam-dalam. Kemudian dengan singkat dikatakannya beberapa hal tentang anak muda yang bernama Wuranta itu. Akhirnya Untara berkata, “Ki Demang, sekarang ternyata peranan Wuranta telah berakhir. Ia tidak akan menjadi orang padepokan Tambak Wedi lagi. Beruntunglah ia berhasil melepaskan diri dan kembali ke Jati Anom. Kalau tidak, maka ia akan menjadi banten sedang mayatnya akan bergantungan di regol padepokan Ki Tambak Wedi.”

Sejenak Ki Demang Jati Anom itu tidak dapat mengucapkan sepatah kata pun. Dengan ternganga-nganga dipandanginya wajah Wuranta yang tunduk berganti-ganti dengan wajah Untara yang tersenyum.

“Ki Demang, kau akan berbangga mempunyai seorang anak muda seperti Wuranta. Maafkanlah bahwa segalanya telah dirahasiakan, oleh Ki Tanu Metir, karena Ki Tanu Metir belum banyak mengenal orang-orang Jati Anom sendiri. Anggaplah itu sebagai suatu sikap berhati-hati daripadanya.”

“Oh,” Ki Demang menarik nafas dalam-dalam, setelah getar di dadanya mereda, gumamnya, “maafkan aku Wuranta. O, sungguh aku tidak menyangka bahwa demikianlah keadaan yang sebenarnya. Hem, ternyata telah kau pertaruhkan apa saja yang kau miliki untuk pekerjaanmu. Nyawa dan nama, sokurlah bahwa kau masih tetap hidup.”

“Tuhan melindunginya,” desis Agung Sedayu.

“Ya. ya, Tuhan telah melindunginya,” sahut Ki Demang. “Dan sekarang, apakah pesan yang kau bawa itu?”

“Kakang Untara,” berkata Wuranta kemudian, “pesan ini penting dan tergesa-gesa. Kalau mungkin maka sebelum fajar pasukan Kakang Untara harus sudah berada di ambang pintu padepokan Ki Tambak Wedi.”

“He,” Untara mengerutkan keningnya, “bagaimana mungkin?”

“Keadaan di padepokan Tambak Wedi berkembang terlampau cepat. Meskipun perhitungan Ki Tanu Metir mendasarkan pada persoalan di dalam padepokan itu sendiri, tetapi agaknya Ki Tanu Metir yakin bahwa kali ini Kakang akan dapat berhasil.”

Dahi Untara tampak berkerut-merut, sedang Ki Demang masih belum terlepas sama sekali dari debar jantungnya pada saat ia mengetahui kedudukan Wuranta sebenarnya. Ia masih saja serasa bermimpi melihat anak muda itu duduk di hadapannya sambil memberikan beberapa keterangan dan pesan dari orang yang bernama Ki Tanu Metir.

“Sebenarnya aku mempunyai kepercayaan yang kuat terhadap Ki Tanu Metir,” gumam Untara.

“Aku melihat hal-hal yang tidak masuk di dalam nalarku,” sahut Wuranta.

“Meskipun demikian, tetapi menggerakkan pasukan demikian tergesa-gesa hampir tidak mungkin aku lakukan.”

“Menurut Ki Tanu Metir, maka pasukan berkudalah yang diperlukannya dahulu. Sedang pasukan yang lain dapat menyusul kemudian.”

Untara mengangguk-anggukkan kepalanya. Senapati yang masih muda itu berpikir dan mencoba membayangkan apa yang sedang terjadi di padepokan Tambak Wedi.

“Apakah perang tanding itu akan sedemikian menarik bagi orang-orang Tambak Wedi dan orang Jipang?” bertanya Untara kemudian.

“Ya, Kakang,” jawab Wuranta.

“Sehingga mereka akan lengah dan tidak menyadari bahwa kita menyerang mereka dengan tiba-tiba? Seandainya demikian, maka apakah mereka tidak akan segera dapat menyusun diri dan melakukan perlawanan? Sedang kekuatan mereka berada di atas kekuatan kita, apalagi hanya sekedar prajurit-prajurit berkuda sebelum prajurit yang lain datang.”

Wuranta tidak segera menjawab. Agaknya ia menjadi ragu-ragu mendengar pertanyaan itu. Tetapi akhirnya ia berkata, “Aku kurang tahu Kakang. Ki Tanu Metir-lah yang membuat perhitungan berdasarkan pengamatannya dan laporan-laporan yang aku berikan setiap saat aku bertemu.”

Untara mengangguk-anggukkan kepalanya. Kemudian ia berkata, “Baiklah, aku akan menyiapkan prajurit-prajurit berkuda. Mereka akan dapat mencapai padepokan Tambak Wedi sebelum fajar. Tetapi pasukan yang lain masih memerlukan waktu, sehingga kemungkinan, yang terbesar, mereka akan sampai sesudah matahari terbit.”

“Terserahlah kepadamu, Kakang. Aku hanya sekedar menyampaikan pesan itu. Kemudian aku harus segera kembali bersama Adi Agung Sedayu dan Swandaru. Kami harus memasuki padepokan dan berada di sekitar pondok tempat Sekar Mirah disembunyikan. Kami harus membawa panah sendaren sebagai tanda yang dimaksud oleh Ki Tambak Wedi, yang akan dilepaskan pada saatnya menurut pesannya.”

“Apakah perjalanan itu tidak terlampau berbahaya bagimu serta Agung Sedayu dan Adi Swandaru?”

“Tetapi kami harus kembali segera sebelum semuanya terjadi. Panah-panah itulah yang akan dipakai oleh Ki Tanu Metir untuk memberikan tanda kepada Kakang Untara.”

Untara mengangguk-anggukkan kepalanya. Kerut-merut di dahinya menyatakan betapa ia mencoba memecahkan persoalan yang sedang dihadapi.

Akhirnya pemimpin prajurit Pajang di Jati Anom itu berkata, “Baik. Aku akan memenuhi pesan Ki Tanu Metir. Aku akan segera mengumpulkan semua prajurit berkuda. Aku akan minta Ki Demang Sangkal Putung untuk meminjamkan kepada kami, berapa saja kuda yang ada di kademangan ini.”

“Nah. Begitulah Kakang. Mudah-mudahan semua dapat berjalan lancar. Mudah-mudahan rencana Ki Tanu Metir dapat terjadi. Aku hanya dapat membantu menurut kemampuan yang ada padaku. Tetapi apabila kali ini Kakang Untara berhasil, maka aku akan turut berhingga karenanya.”

“Baiklah Wuranta. Sekarang bagaimana dengan kau?”

“Aku akan mendahului bersama adi Agung Sedayu dan adi Swandaru.”

“Pergilah. Hati-hatilah dengan perjalanan yang berbahaya itu. Kalau kalian gagal memasuki padepokan itu dan menyerahkan anak-anak panah sendaren itu kepada Ki Tanu Metir, maka segalanya akan menjadi gagal pula.”

“Baiklah, Kakang. Aku akan berusaha untuk melakukan tugasku sebaik-baiknya”

“Aku mempunyai gambaran yang agak terang tentang peristiwa yang akan terjadi di padepokan itu. Aku dapat mengerti jalan pikiran Ki Tanu Metir. Dan aku sependapat pula. Karena itu, pergilah, dan lakukan tugasmu baik-baik.”

“Baiklah, Kakang,” sahut Wuranta. Kemudian kepada Agung Sedayu dan Swandaru ia berkata, “Marilah kita berangkat. Kita harus mendahului Kakang Untara seperti yang dimaksud oleh Ki Tanu Metir.”

Sebenamya Agung Sedayu dan Swandaru sudah tidak sabar lagi menunggu Wuranta dan Untara berbincang berkepanjangan. Karena itu ketika Wuranta mengajak mereka pergi, maka seperti berjanji mereka menyahut, “Marilah, aku sudah siap.”

Wuranta, Agung Sedayu, dan Swandaru itu pun segera minta diri kepada Untara dan Ki Demang Jati Anom, yang melepaskan mereka dengan hati yang berdebar-debar. Namun ketika mereka sudah sampai di ambang pintu, maka kembali mereka diganggu oleh kecemasan mereka menghadapi anak-anak muda Jati Anom. Karenanya maka langkah mereka pun tertegun sejenak.

“Kenapa?” bertanya Untara.

“Bagaimana dengan Jawawi? Ia salah terima melihat sikapku selama ini, Ki Demang,” berkata Wuranta kepada Ki Demang.

“Bukan hanya Jawawi, aku pun salah mengerti. Tetapi marilah, aku antar kalian keluar halaman. Sesudah itu, selamat jalan melakukan tugas kalian.”

Ki Demang-lah yang kemudian mendahului keluar dari pringgitan menemui anak-anak muda Jati Anom yang masih saja menunggu di halaman.

Ketika Ki Demang turun ke halaman, diikuti oleh Wuranta, Agung Sedayu, dan Swandaru kemudian Untara, maka yang pertama sekali menyambut adalah Jawawi. Katanya, “Nah, Ki Demang. Akhirnya anak itu jatuh juga ke tangan kita. Setelah beberapa hari ia menghantui kita dengan tingkah laku dan perbuatannya, maka sekarang ia tidak akan dapat lagi meninggalkan halaman kademangan ini.”

“Ya, ya Jawawi,” sahut Ki Demang, “demikianlah kiranya apabila dugaan kita atas anak ini benar.”

Jawawi mengerutkan keningnya. Dadanya menjadi berdebar-debar ketika ia masih melihat pedang tergantung di lambung Wuranta. Apakah ia masih berhak membawa pedang itu?

“Tetapi,” berkata Ki Demang seterusnya, “ternyata pimpinan prajurit Pajang masih memerlukannya. Untuk suatu keperluan maka kita belum dapat berbuat apa-apa atas anak muda ini. Biarlah ia kami serahkan saja kepada pimpinan prajurit Pajang di Jati Anom.”

Jawawi benar-benar tidak dapat mengerti pernyataan Ki Demang itu, sehingga beberapa langkah ia maju, “Ki Demang, kami tidak dapat mengerti penjelasan itu.”

“Jelasnya,” berkata Ki Demang, “kita belum dapat berbuat apa-apa atas Wuranta saat ini. Ia masih diperlukan oleh pimpinan prajurit Pajang. Ia harus pergi bersama Angger Agung Sedayu dan Angger Swandaru untuk suatu tugas. Nah, relakanlah, ia pergi. Sebenarnyalah Wuranta adalah seorang anak muda yang tidak seperti kalian sangka. Tetapi kali ini aku kekurangan waktu untuk memberi penjelasan yang berkepanjangan. Untuk kepentingan Jati Anom dan Pajang, biarlah Wuranta pergi. Nanti atau besok kalian akan mendengar, apakah, sebabnya maka kami tidak dapat berbuat apa-apa atasnya.”

“Ki Demang. Apakah sebenarnya yang akan dilakukannya? Kami menjadi bingung. Apakah kami harus mempergunakan kekerasan untuk menangkapnya?”

“Tidak perlu,” sahut Ki Demang, “kita tidak memerlukan kekerasan. Aku akan menjadi tanggungan apabila ia lari. Akulah yang akan kalian tangkap, dan akulah yang akan menggantikannya menerima tuduhan apa pun juga.”

Anak-anak muda Jati Anom saling berpandangan sejenak. Mata mereka memancarkan ketidak-relaan hati mereka menghadapi sikap Ki Demang. Tetapi mereka tidak dapat berbuat banyak. Karena itu mereka hanya berdiri saja seperti patung ketika Ki Demang kemudian mempersilahkan Agung Sedayu, Swandaru, dan Wuranta untuk segera pergi. “Silahkan. Silahkan melakukan tugas itu.”

“Baiklah Ki Demang,” sahut Agung Sedayu.

Mereka pun kemudian mengemasi kuda-kuda mereka. Dari seorang prajurit Agung Sedayu telah menerima seendong panah-panah sendaren yang akan dipergunakannya nanti untuk memberi tanda. Setelah menyilangkan busur dipunggungnya, maka mereka pun segera meloncat ke atas punggung kuda masing-masing dan kuda itu pun segera berlari secepat angin.

Di perjalanan mereka tidak menjumpai sandungan apa pun. Tak seorang pun peronda dari Tambak Wedi yang mereka jumpai. Agaknya mereka lebih senang atau mungkin lebih tegang menyaksikan arena yang berada di banjar pimpinan daripada melakukan tugas masing-masing.

Seperti pesan Ki Tanu Metir, maka mereka pun tidak menyembunyikan kuda-kuda mereka di arah Utara, darimana mereka masuk, tetapi kuda-kuda itu disembunyikan di arah Selatan, dari mana mereka nanti akan keluar.

Setelah mengikat kuda-kuda mereka di tempat yang rimbun, namun banyak ditumbuhi oleh rerumputan yang hijau, maka segera mereka berjalan tergesa-gesa, mengelilingi pagar tembok dari jarak yang cukup. Seperti pada saat Wuranta keluar dari padepokan itu, maka mereka pun kemudian akan memasuki padepokan itu dengan cara yang sama.

“Kita meloncat turun?” bertanya Swandaru perlahan-lahan.

“Ya,” sahut Wuranta.

“Berenang di bawah permukaan air?” Swandaru mendesak.

“Tidak hanya di bawah permukaan air, tetapi di bawah urung-urung dinding padepokan ini. Apakah kau dapat mengerti Adi?”

Swandaru mengangguk-anggukkan kepalanya. Tetapi kemudian ia berdesis, “Dinginnya bukan main. Bagaimanakah kalau aku membeku di dalam urung-urung itu?”

Agung Sedayu tersenyum, katanya, “Aku akan menyeretmu.” Swandaru tertawa perlahan-lahan. Kemudian dicancutkannya kain panjangnya dan dilepasnya bajunya, diikatkan pada lambungnya.

“Marilah,” ajak Wuranta, “lihat aku.”

“Gelapnya bukan main,” desis Swandaru.

Sejenak kemudian Wuranta pun segera meloncat diikuti oleh Agung Sedayu. Sedang sejenak Swandaru masih ragu-ragu. Giginya beradu kedinginan. Tetapi ia tidak dapat berdiam diri saja di situ, sehingga sejenak kemudian ia pun meloncat pula, terjun ke dalam air.

Ketika Wuranta dan Agung Sedayu telah berada di tepian, maka Swandaru pun masih juga belum nampak. Kedua anak muda itu menjadi berdebar-debar dan cemas. Namun sejenak kemudian mereka melihat sebuah kepala tersembul agak jauh dari tepian.

“Uah,” Swandaru mengeluh begitu ia berdiri di pinggir kali, “kepalaku bengkak.”

“Kenapa?” bertanya Agung Sedayu.

“Terbentur urung-urung itu. Bukan main. Aku kira aku sudah berada di dalam. Ketika aku ingin mumbul kepermukaan air, tiba-tiba kepalaku membentur batu.”

“Latihan yang baik. Latihan apabila kepala itu nanti terbentur tangkai pedang prajurit-prajurit Tambak Wedi.”

Swandaru tertawa, sehingga Agung Sedayu terpaksa mencegahnya, “Hus. Jangan terlampau keras. Kita tidak berada di Kademangan Sangkal Putung atau Jati Anom. Tetapi kita berada di Padepokan Tambak Wedi.”

Swandaru menutup mulutnya dengan kedua tangannya. Tetapi kemudian ia berkata, “Kita tetap dalam pakaian basah kuyup.”

Agung Sedayu dan Wuranta tertawa. Mereka melihat Swandaru menggigil dan giginya beradu.

“Dinginnya bukan main,” keluhnya.

“Mungkin Ki Tambak Wedi menyediakan ganti pakaian, untukmu,” berkata Agung Sedayu.

Swandaru Geni itu pun tersenyum pula. Diraba-rabanya kepalanya yang terbentur urung-urung. Katanya, “Untung aku tidak pingsan di dalam air. Kalau aku pingsan, maka kalian tidak akan menemuiku lagi.”

“Tetapi kita tidak boleh menyia-nyiakan waktu,” berkata Agung Sedayu kemudian. “Nah, tunjukkanlah, di mana tempat kita berjanji dengan Ki Tanu Metir.”

“Marilah,” sahut Wuranta.

Mereka pun segera melangkahkan kaki mereka. Dengan hati-hati mereka menyusuri tepian sungai, menuju ke tempat Sekar Mirah ditempatkan.

Tetapi tiba-tiba Agung Sedayu menggamit kedua kawannya sambil berdesis perlahan-lahan, “Aku mendengar orang bercakap-cakap.”

“Ya,” sahut Swandaru berbisik. Dan Wuranta pun menyahut pula, “Ya, aku juga mendengar.”

“Kita bersembunyi,” ajak Agung Sedayu, “supaya kita tidak terlampau sibuk nanti.”

Ketiganya pun kemudian segera bersembunyi. Sejenak kemudian suara orang bercakap-cakap itu pun menjadi semakin dekat.

“Marilah, agak cepat sedikit,” ajak salah seorang dari orang-orang yang bercakap-cakap itu, “aku ingin melihat akhir dari perang tanding yang dahsyat itu.”

“Bukan main,” sahut yang lain, “keduanya memang tanggon.”

“Sehari semalam perkelahian itu tidak akan selesai,” potong yang lain.

“Tidak,” berkata yang pertama, “aku masih melihat beberapa kelebihan dari Angger Sidanti. Mungkin Alap-alap yang gila itu tidak akan dapat bertahan sampai fajar.”

“Kau dapat memperhitungkan perkelahian itu? Aku tidak percaya,” sahut yang lain.

“Tetapi aku mendengar orang dari Menoreh itu bercakap-cakap.”

“Jadi bukan taksiranmu sendiri.”

Tak ada jawaban. Mereka pun semakin lama menjadi semakin jauh. Akhirnya percakapan mereka sudah tidak dapat ditangkap lagi oleh Agung Sedayu yang sedang bersembunyi.

Ketika prajurit-prajurit itu sudah menjadi semakin jauh, maka ketiga anak-anak muda itu pun meneruskan perjalanan mereka sambil bercakap berbisik-bisik.

“Agaknya perkelahian itu dahsyat sekali,” desis Swandaru.

“Aneh. Apakah Alap-alap Jalatunda menjadi jauh meloncat maju? Aku sangka jarak antara Alap-alap Jalatunda dan Sidanti agak terlampau jauh, sehingga perang tanding antara keduanya tidak akan makan waktu terlampau lama.”

“Menurut Alap-alap Jalatunda sendiri,” jawab Wuranta, “ia selalu melatih diri di tepian dengan pasir, batu-batu dau kayu-kayuan.”

“Betapapun tekunnya, tetapi berlatih seorang diri tidak akan dapat mendatangkan kemajuan yang sepesat itu,” sahut Swandaru.

“Hal itu mungkin saja terjadi, Adi,” berkata Agung Sedayu. Ia sendiri pernah mengalami. Bukan saja berlatih di tepian, tetapi berlatih di atas rontal. Membuat gambar gerakan-gerakan yang kemudian dicobanya. Dan Agung Sedayu itu meneruskan.

“Mungkin gurunya telah memberinya bekal bermacam-macam unsur gerak yang dapat dihubungkan yang satu dengan yang lain dalam satu susunan yang serasi, serta latihan-latihan jasmaniah untuk memperbesar kekuatan tenaga dan ketrampilan bergerak.”

Swandaru dan Wuranta mengangguk-anggukkan kepalanya. Meskipun mereka tidak mengerti seluruhnya, tetapi keterangan Agung Sedayu itu dapat masuk di dalam akal mereka.

Sejenak kemudian mereka telah menyelusur halaman menuju kepondok Sekar Mirah. Mereka harus sangat hati-hati. Wuranta menyadari bahwa Sidanti meletakkan beberapa orang pengawas di sekitar rumah itu.

Mereka terpaksa melingkar dan masuk ke halaman pondok Sekar Mirah lewat belakang. Sejenak mereka berdiam diri, memperhatikan suasana di sekitarnya.

Malam dengan tenangnya merayap ke ujungnya. Tetapi gelapnya masih saja sedemikian pekatnya, sehingga mereka hampir-hampir tidak dapat melihat apa pun di halaman itu selain bayangan-bayangan tetumbuhan yang hitam kelam.

“Marilah kita mendekat. Aku berjanji dengan Ki Tanu Metir tepat di belakang rumah, di sudut kiri.”

“Marilah,” desis Agung Sedayu. Mereka pun kemudian merayap mendekati pondok itu. Semakin lama semakin dekat, tiba-tiba Swandaru mengangkat wajahnya sambil berdesis. Anak itu masih menangis. Apakah semalaman ia menangis saja?”

Wuranta tidak menyahut. Tetapi mereka kini menjadi semakin dekat dengan sudut rumah itu.

Ketika mereka sampai di balik gerumbul-gerumbul yang rimbun dekat, di belakang rumah itu, maka mereka pun berhenti. Mereka harus menanti Ki Tanu Metir di tempat itu.

Tetapi Swandaru dan Agung Sedayu hampir-hampir tidak dapat menahan diri ketika mereka masih saja mendengar Sekar Mirah menangis terisak-isak. Dengan terbata-bata Swandaru berbisik, “Aku akan masuk. Aku tidak dapat membiarkan Sekar Mirah selalu kecemasan dan ketakutan.”

“Tetapi Ki Tanu Metir berpesan supaya kita menunggu.”

“Kenapa kita harus menunggu? Aku akan membawanya ke luar,” sahut Swandaru.

“Lewat urung-urung?” bertanya Wuranta.

“Apakah tidak ada jalan lain?”

“Ada. Di sana ada sebuah regol yang cukup besar. Tetapi di regol itu, orang-orang Tambak Wedi dan orang-orang Jipang menyambut setiap orang yang akan lewat.”

Swandaru mengerutkan keningnya. Sadarlah ia kini, bahwa ia berada di suatu tempat yang tertutup rapat. Tidak mudah baginya untuk menerobos masuk dan keluar dari lingkungan itu. Meskipun barangkali dengan sedikit kesulitan, dinding padepokan yang tinggi itu dapat juga dipanjatnya, tetapi para peronda yang hilir mudik mungkin akan melihatnya.

Untuk sesaat mereka pun saling berdiam diri. Isak tangis Sekar Mirah masih juga mereka dengar. Semakin lama terasa semakin pedih di hati Swandaru dan Agung Sedayu. Ingin mereka segera meloncat masuk menolongnya dan membawanya lari. Tetapi hal itu ternyata berada di luar kemampuan mereka.

Belum lagi mereka dapat menenangkan diri mereka, tiba-tiba mereka dikejutkan oleh kehadiran sesosok tubuh dekat di belakang mereka. Namun segera mereka dapat mengenalnya. Orang itu adalah Ki Tanu Metir.

“Ha aku memang mengira kalau kalian telah menunggu aku di sini,” desisnya perlahan-lahan.

“Ya, Kiai,” sahut Wuranta.

“Bagus. Apakah kalian tidak lupa membawa panah sendaren?”

“Tidak, Kiai,” jawab Agung Sedayu.

Ki Tanu Metir tersenyum melihat seendong panah dan busur yang menyilang di punggung Agung Sedayu.

“Di sini banyak dapat diketemukan busur,” berkata Ki Tanu Metir, “tetapi baik juga kau membawanya.”

Agung Sedayu tidak tahu maksud kata-kata Ki Tanu Metir itu, tetapi ia tidak bertanya sesuatu.

“Sekarang, marilah kita melihat perang tanding yang berlangsung di banjar para pemimpin padepokan ini. Perang tanding antara Sidanti dan Alap-alap Jalatunda. Perang tanding yang benar-benar tanding. Aku sama sekali tidak menyangka bahwa Alap-alap Jalatunda mampu mengimbangi kekuatan Sidanti.”

“Apakah mereka benar-benar seimbang menurut penilaian Kiai?” bertanya Agung Sedayu.

“Ya,” sahut Ki Tanu Metir, “tetapi memang Sidanti mempunyai beberapa kelebihan. Meskipun perkelahian itu dapat berlangsung lama, namun kalau Sidanti tidak membuat kesalahan-kesalahan yang berarti, maka Alap-alap Jalatunda tidak akan dapat memenangkan perkelahian itu. Tetapi kelengahan Sidanti itu masih mungkin saja terjadi, sebab Sidanti masih juga merasa mempunyai banyak kelebihan dari lawannya, sehingga beberapa kali hampir-hampir saja ia tergilas oleh amukan Alap-alap Jalatunda yang benar-benar seperti orang gila.”

“Menarik sekali,” desis Swandaru, “marilah kita melihat. Tetapi bagaimana dengan Sekar Mirah itu? Apakah tidak sebaiknya kita lepaskan dahulu dan kita bawa keluar dari padepokan ini?”

“Jalan masih belum terbuka. Aku kira sulit untuk membawanya lewat urung-urung seperti yang baru saja kau lalui.”

“Bagaimana jalan itu dapat terbuka?”

“Marilah kita mengharap bersama-sama. Tetapi apabila terpaksa dan jalan itu tidak juga terbuka, kita akan menempuh jalan yang paling berbahaya, keluar lewat urung-urung.”

“Tetapi bagaimana sekarang?”

“Biarlah kita tinggalkan saja gadis itu untuk sementara,” Swandaru dan Agung Sedayu tidak menyahut. Sebenamya mereka tidak sampai hati melihat gadis itu menangis terisak-isak dengan penuh ketakutan dan kecemasan akan nasibnya.

“Apakah setidak-tidaknya kita tidak memberitahukan kehadiran kita kepadanya?” bertanya Agung Sedayu kemudian.

“Itu akan mempengaruhi sikapnya. Mungkin ia akan kehilangan segala akal dan nalarnya, sehingga justru akan menyulitkan. Mungkin gadis itu tidak lagi dapat mengekang perasaannya. Ia akan dapat berteriak-teriak minta supaya ia dilarikan atau untuk kepentingan yang lain. Tetapi dengan demikian maka tugas kita akan gagal.”

Agung Sedayu dan Swandaru dapat mengerti sepenuhnya keterangan gurunya. Karena itu mereka tidak mendesaknya.

“Marilah, kita lihat perkelahian itu,” gumam Ki Tanu Metir kemudian.

“Marilah,” jawab ketiga anak-anak muda itu hampir bersamaan.

Ketiganya pun kemudian dengan sangat hati-hati berjalan mengikuti Ki Tanu Metir menyusup diantara tanaman-tanaman di kebun dan halaman-halaman. Menyelinap di balik gerumbul-gerumbul liar dan rumpun-rumpun bambu yang rimbun. Sekali-sekali mereka harus meloncati dinding halaman yang tidak terlampau tinggi, tidak setinggi dinding padepokan ini.

Tak sepatah kata pun terucapkan dalam perjalanan yang pendek itu. Mereka saling berdiam diri dan berangan-angan. Tetapi mereka pun ingin segera sampai ke banjar para pemimpin padepokan untuk segera melihat apa yang terjadi di arena perang tanding antara Sidanti dan Alap-alap Jalatunda.

“Angger Agung Sedayu,” berbisik Ki Tanu Metir, “kalau apa yang aku harapkan tidak terjadi, maka aku akan memberimu isyarat. Kau harus segera kembali ke tempat Sekar Mirah dan mencoba melarikannya lewat urung-urung itu. Memang pekerjaan ini berbahaya bagimu dan bagi Sekar Mirah, tetapi apabila tidak ada jalan lain maka hal ini harus dilakukan. Aku bersama Angger Swandaru dan Angger Wuranta akan mencoba melindungi, sampai kita akan mencapai kuda-kuda kita. Bukankah kalian membawa empat ekor-kuda?”

“Oh,” anak-anak muda itu saling berpandangan. Ternyata mereka lupa membawa seekor kuda kosong untuk Ki Tanu Metir.

“Apakah kalian lupa membawa seekor kuda untukku?”

“Ya, Kiai.”

Ki Tanu Metir tersenyum, “Tidak apa,” katanya, “aku akan ikut di atas kuda Angger Swandaru. Tetapi aku mengharap bahwa kita tidak akan memerlukannya, sebab kita akan melalui jalan yang lapang dan aman tanpa gangguan suatu apa pun.”

Setelah mereka melampaui beberapa halaman, memintasi jalan-jalan sempit dan gelap, meloncati dinding-dinding dan menyusup lewat rumpun-rumpun bambu yang lebat, maka akhirnya mereka melihat cahaya obor yang bersinar terang-benderang tidak terlampau jauh dari mereka.

Ki Tanu Metir yang berjalan paling depan pun berhenti sejenak. Perlahan-lahan ia berbisik, “Nah, itulah, Ngger. Itulah arena perang tanding yang agaknya masih cukup ramai.”

“Marilah kita melihat, Kiai,” ajak Swandaru.

“Hem, kita bukan orang padepokan Tambak Wedi. Apabila salah seorang dari mereka melihat kehadiran kita, maka perang tanding itu akan terhenti sejenak, dan mereka akan beramai-ramai mengejar kita seperti anak-anak sedang mengejar tupai. Karena itu, kita harus cukup berhati-hati.”

Swandaru mengangguk-anggukkan kepalanya, katanya, “Ya. Aku mengerti.”

“Kita hanya dapat melihat dari kejauhan. Beruntunglah bahwa perhatian Ki Tambak Wedi seluruhnya telah dirampas oleh perkelahian yang agaknya tidak diduganya. Ki Tambak Wedi benar-benar terkejut melihat tandang Alap-alap Jalatunda. Orang tua itu agaknya masih terlampau percaya kepada Sidanti. Dan kepercayaannya itu yang telah membuatnya lengah. Kini ia dihadapkan pada kenyataan, bahwa Alap-alap Jalatunda itu mampu menandingi muridnya. Kalau kepandaian mereka terpaut, maka perbedaan itu sama sekali tidak banyak dan tidak menentukan.”

Ketiga anak muda itu mengangguk-anggukkan kepalanya. Betapa mereka ingin melihat perang tanding itu, namun mereka tidak dapat berbuat sekehendak hati. Sebab nasib mereka pun kini sedang berada diujung duri.

Ki Tanu Metir itu kemudian berbisik lagi, “Kita akan mencoba untuk mendekat. Tetapi tidak terlampau dekat. Supaya kita dapat melihat dengan jelas, maka kita akan memanjat.”

Ketiganya bersama Ki Tanu Metir pun lalu mencoba merayap semakin dekat. Tetapi mereka selalu berusaha untuk tetap berada di balik bayangan dedaunan yang rimbun. Ketika mereka kemudian tidak mungkin lagi untuk berada di tempat yang lebih dekat, mereka lalu mencari pohon-pohon yang daunnya akan cukup memberi mereka perlindungan. Dari tempat itulah mereka melihat perang tanding yang sedang berlangsung.

Meskipun mereka tidak terlampau dekat, tetapi mereka dapat melihat cukup jelas. Mereka dapat melihat hampir setiap bagian dari unsur-unsur gerak yang dipergunakan oleh kedua belah pihak. Unsur-unsur gerak yang dipergunakan oleh Alap-alap Jalatunda unsur-unsur gerak yang dipergunakan oleh Sidanti. Mereka pun dapat melihat beberapa kelebihan Sidanti atas lawannya, tetapi kelebihan itu hampir tidak banyak berarti dibanding dengan tekad yang menyala-nyala di dalam dada Alap-alap Jalatunda. Nafsu yang menggila itu agaknya telah banyak merubah dirinya menjadi orang yang perkasa. Satu hal yang sangat menyulitkan adalah bahwa meskipun Alap-alap Jalatunda itu hampir-hampir menjadi benar-benar gila, tetapi otaknya agaknya masih tetap terang menghadapi senjata lawan.

Ki Tanu Metir, Agung Sedayu, Swandaru, dan Wuranta melihat perkelahian itu dengan tegangnya. Seolah-olah mereka sendirilah yang terlibat dalam sebuah perang tanding. Meskipun mereka tidak dapat memihak salah satu diantara mereka, tetapi kadang-kadang mereka, harus menahan nafas melihat gerak senjata kedua belah pihak.

“Kenapa Sidanti tidak mempergunakan senjata khususnya. Akhir-akhir ini Sidanti sering mempergunakan senjata rangkap. Pedang dan senjatanya yang mengerikan itu.” bertanya Agung Sedayu.

Ki Tahu Melir menggelengkan kepalanya, “Entahlah, tetapi agaknya Ki Tambak Wedi telah menentukan bahwa senjata mereka harus sejenis.”

Agung Sedayu tidak bertanya lagi. Perhatian mereka benar-benar dicengkam oleh perkelahian yang semakin lama menjadi semakin seru. Alap-alap Jalatunda ternyata menjadi semakin lincah. Selama ia berada di Tambak Wedi, agaknya ia telah mempergunakan waktunya yang terluang sebaik-baiknya. Sedang Sidanti hampir tidak mendapat perubahan apa-apa. Tingkatan ilmunya pun masih juga seperti yang pernah dilihatnya. Hanya beberapa unsur gerak yang kini menjadi luluh dengan serasi seolah-olah menjadikannya semakin kaya dan cekatan.

Tetapi lebih daripada itu, nafsu dan tekad yang menyala-nyala di dalam dada Alap-alap Jalatunda agaknya telah menjadikannya seorang yang aneh. Kekuatannya seolah-olah menjadi berlipat ganda. Kecepatannya bergerak kadang-kadang ada di luar dugaan, bahwa Alap-alap Jalatunda mampu melakukannya. Pengaruh tidak tuak di kepalanya pun agaknya telah membuatnya seperti orang kesurupan.

Meskipun demikian, matanya masih juga melihat dengan jelas ujung senjata lawan. Alap-alap Jalatunda itu masih juga tidak kehilangan akal menghadapi saat-saat yang sulit karena serangan-serangan Sidanti.

Namun demikian, semakin lama perkelahian itu berlangsung, maka semakin jelaslah bagi mereka yang memiliki ilmu yang cukup, bahwa betapa Alap-alap Jalatunda itu maju pesat sekali, dan betapa ia berkelahi dengan penuh nafsu kemarahan serta pengaruh tuak di kepalanya, tetapi ia masih belum berhasil menyejajarkan diri dengan Sidanti.

Meskipun perkelahian itu agaknya masih tampak seimbang, tetapi Sidanti masih cukup cerdik untuk menyimpan tenaga yang pada saatnya akan dapat mengakhiri perkelahian itu. Dan inilah yang sama sekali tidak diperhitungkan oleh Alap-alap Jalatunda.

Ia menganggap bahwa apa yang terjadi itu adalah puncak dari kekuatan, ilmu, kelincahan dan segala macam unsur dalam tata perkelahian. Tetapi ia tidak memperhitungkan, bahwa waktu pun akan turut menentukan akhir dari perkelahian itu.

Namun demikian, saat yang menegangkan itu sangat berbahaya pula bagi Sidanti. Kesalahan dan kelengahan akan segera mengakhiri perkelahian.

Sekejap demi sekejap perkelahian itu menjadi semakin dahsyat. Bahkan kini tubuh-tubuh mereka telah mulai dialiri oleh titik darah dari goresan-goresan ujung pedang pada tubuh mereka. Tetapi darah yang bercampur dengan keringat ternyata telah menjadikan mereka semakin buas.

Dengan demikian maka mereka, yang menyaksikan perkelahian itu pun menjadi semakin tegang. Wajah-wajah mereka menjadi keras dan mata mereka seakan-akan tidak berkedip lagi. Bahkan Ki Tambak Wedi pun kini menjadi semakin tegang pula. Mau tidak mau ia terpengaruh oleh keadaan kedua anak muda yang sedang berkelahi itu. Ia tidak dapat melepaskan diri dari hubungan pribadi antara dirinya dengan Sidanti, sebagai guru dan murid. Sehingga mau tidak mau, betapapun ia mencoba untuk berdiri di tengah-tengah, melepaskan diri dari persoalan yang sedang berlangsung itu, namun orang tua itu di dalam hatinya sudah berpihak kepada muridnya. Ia mengharap Sidanti memenangkan perkelahian itu, tetapi ia juga mengharap agar Alap-alap Jalatunda dan orang-orang Jipang tidak menjadi sakit hati. Demikian asyik ia melihat perkelahian itu, sehingga Ki Tambak Wedi tidak melihat apa yang terjadi di sekitarnya, apalagi melihat orang-orang Sangkal Putung dan Jati Anom, sedang wajah-wajah orang yang berada di sekitarnya pun tidak dilihatnya. Wajah-wajah yang memancarkan suatu sikap dalam menghadapi perang tanding itu. Orang-orang Jipang dan orang-orang Tambak Wedi sendiri ternyata berbagi sikap. Mau tidak mau mereka memihak kepada kawan terdekat.

Sanakeling yang hitam itu pun kini tidak lagi acuh tak acuh melihat perkelahian itu. Wajahnya kini tampak menjadi bersungguh-sungguh. Dahinya berkerut-merut dan matanya bersinar, memancarkan kemarahan dan kejengkelan. Betapa ia menyesali tindakan Alap-alap Jalatunda, tetapi ia tidak rela apabila ia harus menyaksikan Alap-alap Jalatunda menjadi korban dalam perang tanding itu. Alap-alap Jalatunda adalah kawan yang telah lama berada dalam satu lingkaran pahit manisnya peperangan melawan Pajang. Meskipun untuk sementara mereka tidak berkumpul di dalam satu lingkungan karena Sanakeling berada di daerah Utara, namun akhirnya mereka bersama-sama mengalami masa yang paling pahit dalam perjuangan mereka. Perjuangan yang tidak berujung pangkal. Yaitu pada saat-saat matinya Tohpati yang bergelar Macan Kepatihan. Kemudian keinginan Sumangkar untuk menyerahkan diri kepada Senapati Pajang yang masih muda, yang bernama Untara, yang kini berada di ujung hidung mereka lagi. Hubungan yang telah terjalin selama ini, hidup dalam satu lingkungan yang dibumbui oleh asin asamnya peperangan, telah menumbuhkan rasa setia-kawan yang dalam.

Tetapi ternyata sikap itu bukan sekedar sikap Sanakeling. Hampir setiap prajurit Jipang merasa, seolah-olah mereka sendirilah yang berada di dalam arena melawan Sidanti. Tanpa mereka sadari maka perkelahian itu telah mengingatkan mereka pada peristiwa-peristiwa yang pernah terjadi. Terbunuhnya Plasa Ireng. Bukan saja terbunuh oleh ujung senjata di dadanya. Tetapi mayatnya pun kemudian mengalami perlakuan yang mengerikan. Dan itu dilakukan oleh Sidanti, yang kini berkelahi melawan Alap-alap Jalatunda.

Kenangan itu ternyata telah membuat orang-orang Jipang semakin benci dan muak melihat Sidanti yang lincah cekatan itu bertempur di dalam arena. Bahkan satu dua di antara mereka ada yang hampir-hampir tidak tahan lagi. Hampir-hampir mereka meloncat masuk ke dalam arena untuk bersama-sama melawan Sidanti yang bagi mereka sangat memuakkan karena sikapnya yang sombong. Sidanti merasa, bahwa ia adalah anak murid Ki Tambak Wedi yang menguasai padepokan ini. Sehingga seolah-olah semua orang di padepokan ini harus tunduk kepadanya. Kekuasaannya justru menjadi terlampau besar, melampaui kekuasaan Tohpati yang bergelar Macan Kepatihan.

Sementara orang-orang Jipang dan Tambak Wedi merasa berada di satu pihak dalam kepentingan yang sama, mereka dapat melupakan kebencian itu. Tetapi kini, kebencian, muak dan kejemuan seolah-olah telah mencengkam dada setiap orang Jipang.

Demikianlah perkelahian itu berlangsung terus. Tubuh Alap-alap Jalatunda kini telah menjadi basah kuyup. Basah oleh keringat dan titik darah dari luka-lukanya. Namun tubuh Sidanti pun tidak juga dapat menghindari sentuhan-sentuhan senjata lawannya, sehingga goresan-goresan pedang Alap-alap Jalatunda pun telah meneteskan darah anak Tambak Wedi itu pula.

Titik-titik keringat itu pun mengalir dari dahi Ki Tambak Wedi yang tua. Wajahnya sejenak menegang, tetapi kemudian semakin lama menjadi semakin kendor ketika ia melihat bahwa keadaan Sidanti menjadi semakin baik. Kini Sidanti mendapat waktu untuk mengatur pernafasannya. Meskipun ia masih harus berjuang sekuat-kuat tenaganya, tetapi orang tua yang bermata tajam setajam mata burung hantu itu mampu melihat, bahwa keadaan Sidanti sudah tidak berbahaya lagi.

Namun tidak demikian halnya deugan orang-orang Jipang dan orang-orang Tambak Wedi. Mereka masih juga dicengkam oleh ketegangan yang justru menjadi semakin memuncak. Betapapun juga, akhimya mereka dapat melihat, bahwa kedudukan Sidanti masih lebih baik dari kedudukan Alap-alap Jalatunda.

Meskipun kerut-merut di wajah Ki Tambak Wedi sudah tidak sedalam semula, tetapi perhatiannya masih juga tersangkut seluruhnya pada perkelahian itu. Perkelahian itu menjadi begitu mengasyikkan baginya, seolah-olah ia mendapat kesempatan melihat muridnya berlatih dengan memeras segenap kemampuan yang ada padanya. Dalam perkelahian itu ia sempat melihat kesalahan-kesalahan yang dibuat oleh Sidanti. Kemungkinan-kemungkinan yang baik yang dilepaskannya tanpa menyadari akibatnya. Dan unsur-unsur gerak yang masih belum matang dan serasi dalam hubungan keseluruhan.

Ki Tanu Metir, Agung Sedayu, Swandaru, dan Wuranta pun masih juga dicengkam oleh ketegangan. Meskipun Ki Tanu Metir pun kemudian melihat kelebihan Sidanti atas Alap-alap Jalatunda, namun ketegangan yang mencengkamnya mempunyai bentuk yang berbeda dengan apa yang terjadi atas Ki Tambak Wedi. Kini Ki Tanu Metir ditegangkan, bukan saja oleh perkelahian itu, tetapi terutama oleh rencananya. Perkelahian itu agaknya telah mendekati akhirnya. Apakah saat itu pasukan Untara, setidak-tidaknya mereka yang berkuda telah berada di luar padepokan ini? Seandainya mereka telah datang, mudah-mudahan para penjaga dan peronda tidak melihatmya. Dalam hal ini ia percaya kepada Untara, seorang pemimpin prajurit yang telah cukup berpengalaman.

Namun sebenarnya Ki Tanu Metir tidak perlu mencemaskan Untara kalau ia akan dapat dilihat oleh para peronda dan para penjaga. Sebab pada saat itu hampir, setiap orang di padepokan Tambak Wedi telah berada dan berkerumun di sekitar banjar para pemimpin padepokan itu. Sebagian besar berada pada lingkaran yang mengelilingi arena, namun sebagian yang lain berada di atas dinding-dinding halaman. Mereka melihat perkelahian itu dari atas dinding, dari pepohonan dan bahkan dari atap-atap rumah. Sedang mereka yang tidak mendapat kesempatan untuk melihat, berkumpul di jalan-jalan di muka banjar itu. Seolah-olah mereka berada pada suatu puncak ketegangan, pada saat-saat mereka berada dalam gelar perang yang telah berhadapan wajah dengan gelar lawan.
***
Perkelahian itu sendiri kini benar-benar telah mencapai puncaknya pula. Alap-alap Jalatunda telah memeras segenap kemampuan dan tenaga yang ada padanya. Sedang pada saat itu Sidanti jusrtru telah menemukan suatu kepastian, bahwa ia akan segera memenangkan perang tanding itu. Terasa bahwa Alap-alap Jalatunda telah menumpahkan segenap kemungkinan yang ada padanya. Dan karena itu maka ia telah kehilangan perhitungan tentang waktu. Tentang daya tahannya menghadapi waktu yang sengaja diperpanjang oleh Sidanti supaya murid Tambak Wedi itu mendapat suatu keyakinan bahwa saatnya telah datang untuk mengakhiri perkelahian tanpa kesulitan. Dan waktu itu kini telah menjadi semakin dekat.

Dalam ketegangan itu Ki Tanu Metir berbisik, “Angger, lihatlah, langit telah memerah di Timur.”

“Hampir fajar, Kiai,” desis Agung Sedayu.

“Apakah kira-kira Angger Untara telah datang?”

“Aku rasa sudah, Kiai. Kedatangan Kakang Untara tidak akan terpaut lama dengan kedatanganku.”

“Baiklah. Berikanlah panah itu kepadaku. Kita akan sampai pada saat yang menentukan. Kalau aku salah hitung, maka sebaiknya Angger Untara kembali ke Jati Anom. Dan kalian harus segera pergi mengambil Sekar Mirah. Setelah memberi tanda-tanda kepada Angger Untara, aku akan segera melindungi kalian apabila ada bahaya yang mengancam.”

Agung Sedayu, Swandaru, dan Wuranta merasakan ketegangan dalam pesan Ki Tanu Metir. Ternyata orang tua itu benar-benar sedang menghadapi saat yang menentukan, apakah rencananya dapat berjalan atau gagal sama sekali. Tetapi setidak-tidaknya usaha menyelamatkan Sekar Mirah akan dijalankan, betapapun besar bahayanya.

Panah sendaren dan busurnya segera diberikan oleh Agung Sedayu kepada Ki Tanu Metir. Ki Tanu Metir-lah yang nanti akan memberikan tanda-tanda itu kepada Agung Sedayu.

Ketika mereka melihat arena perkelahian, maka jelaslah kini bahwa Alap-alap Jalatunda telah menjadi semakin terdesak. Meskipun dari jarak yang agak jauh, tetapi kemampuan mereka mengenal tata perkelahian cukup memberi mereka pengertian apa yang sebenarnya telah terjadi.

“Sesaat lagi ngger. Sesaat lagi kita akan melihat apa yang akan terjadi. Dan sesaat kemudian akan kita lihat, apakah aku tidak akan mendapat marah dari Angger Untara.”

Dalam saat-saat terakhir itu, maka Ki Tambak Wedi tampak menjadi tegang lagi. Kini ia tidak saja berdiri memperhatikan setiap gerak kedua anak muda di dalam arena itu, tetapi kini ia bergeser semakin dekat.

Ketika cahaya merah di Timur menjadi semakin jelas, maka Alap-alap Jalatunda pun menjadi semakin payah. Ternyata dalam perkelahian yang terjadi itu, ia telah memeras segenap kemampuan yang ada padanya, sehingga dalam waktu yang singkat ia seakan-akan telah kehabisan tenaga. Pada saat itu keadaan Sidanti masih cukup baik. Tenaganya masih segar dan perhitungannya atas kelemahan Alap-alap Jalatunda menjadi semakin masak.

Sanakeling pun ternyata melihat keadaan itu. Wajahnya yang hitam menjadi semakin tegang. Kini ia berdiri terbungkuk-bungkuk di dalam lingkaran orang-orang yang melihat perkelahian itu seperti Ki Tambak Wedi. Seakan-akan apa yang dilihatnya itu tidak begitu jelas di matanya. Namun sebenarnya, dadanya telah dipenuhi oleh kecemasan yang memuncak. Kalau Sidanti tidak dapat mengendalikan dirinya, maka Alap-alap Jalalunda itu akan mengalami nasib yang sangat jelek.

Maka setiap wajah orang-orang yang melihat perkelahian itu kini menjadi kian tegang. Mereka menyadari bahwa perkelahian itu sudah akan sampai pada akhirnya. Meskipun Alap-alap Jalatunda masih tetap dalam perlawanan yang cukup, tetapi setiap kali ia selalu terdesak. Luka-luka di tubuhnya pun menjadi kian banyak. Goresan-goresan pedang Sidanti telah membuat tubuhnya berwarna darah. Tetapi tubuh Sidanti sendiri juga telah diwarnai oleh darahnya yang menetes dari luka-lukanya. Dan darah itu telah membuat Sidanti menjadi buas dan liar, seperti Alap-alap- Jalatunda itu pula.

Dan itulah yang dicemaskan oleh Ki Tambak Wedi. Betapapun ia memihak muridnya di dalam hati, tetapi orang tua itu masih selalu mengingat kepentingan yang jauh lebih besar daripada seorang Sekar Mirah. Kepentingan yang selama ini selalu diperhitungkan dan diotak-atik. Karena itulah maka ia menjadi cemas melihat perkembangan keadaan. Melihat mata muridnya yang menjadi semerah darah yang menetes dari luka-lukanya. Agaknya Sidanti itu telah melupakan pesan-pesannya, bahwa perang tanding itu diakhiri apabila salah seorang telah terluka dan telah jelas tidak dapat memberikan perlawanan, sehingga kemenangan telah dapat ditentukan pada pihak yang lain.

Tetapi dalam keadaan serupa itu, apakah mereka yang berkelahi masih dapat mengingat peraturan yang dibuatnya itu?

Semakin jelas cahaya fajar memancar dari balik dedaunan di Timur, maka Sidanti pun menjadi semakin bernafsu. Kini ia telah sampai pada suatu saat, untuk memenangkan perang tanding itu. Karena itulah maka ia pun menjadi semakin garang. Sedang Alap-alap Jalatunda pun agaknya merasa, bahwa kesempatan baginya menjadi semakin tipis. Namun dengan demikian, maka hatinya menjadi bulat untuk mempertahankan dirinya tanpa mengenal surut sebelum nyawanya loncat dari tubuhnya.

Karena itu, pada saat-saat terakhir, seolah-olah kekuatan Alap-alap Jalatunda yang telah surut itu tumbuh kembali. Tandangnya benar-benar mengejutkan. Sidanti sama sekali tidak menduga, bahwa ketika perkelahian itu justru hampir berakhir karena Alap-alap Jalatunda sudah kehabisan tenaga, maka anak muda itu tiba-tiba melenting secepat bilalang menyerangnya. Begitu cepat dan begitu garang. Pedangnya menebas dengan kecepatan yang hampir tidak dapat dimengerti, bahwa seseorang mampu berbuat demikian. Serangan yang tidak disangka-sangka itu telah membuat Sidanti menjadi bingung. Agaknya Alap-alap Jalatunda mengerahkan segenap sisa-sisa tenaganya dalam keputus-asaan. Dan bentuk daripadanya sungguh-sungguh di luar dugaan.

Bukan saja Sidanti yang terkejut melihat serangan itu. Ki Tambak Wedi yang berada di belakang Sidanti pun menjadi terkejut pula. Tak masuk di akalnya bahwa Alap-alap Jalatunda telah berbuat sedemikian cepat dan mengejutkan.

Ki Tanu Metir dan ketiga anak-anak muda yang melihat perkelahian itu pun menahan nafasnya. Bahkan terdengar Ki Tanu Metir berdesis karena gejolak perasaannya. Serangan Alap-alap Jalatunda itu benar-benar mengejutkan dan di luar perhitungan.

Akibat dari serangan itu bagi Sidanti pun tidak terduga pula. Dalam kebingungan Sidanti hanya mampu berusaha menangkis kilatan pedang yang menyambarnya. Tetapi ia tidak menyangka bahwa kekuatan yang terlontar pada sambaran pedang itu pun luar biasa pula. Karena itulah, maka tangkisan Sidanti terdorong oleh kekuatan tenaga Alap-alap Jalatunda. Dan Sidanti tidak mampu untuk menghindar lagi. Pedang Alap-alap Jalatunda itu menyambar pundaknya.

Terdengar Sidanti mengeluh pendek. Setiap mulut di arena itu pun berdesis melihat kejadian yang sama sekali tidak terduga-duga itu. Mereka tidak lagi berkedip ketika mereka melihat darah mengalir dari pundak yang menganga karena luka.

Betapa cemas hati Ki Tambak Wedi melihat muridnya terluka. Kalau Sidanti kemudian tidak dapat memperbaiki keadaannya, dan pedang Alap-alap Jalatunda itu sekali lagi mengenainya, maka kemungkinan terbesar bagi muridnya adalah, kalah di dalam perang tanding itu. Dan akibat dari kekalahan ini akan panjang sekali. Akibat dari kekalahan yang dirasakan sebagai suatu penghinaan ini pasti akan membekas di hati Sidanti sepanjang hidupnya. Mungkin Sidanti akan kehilangan segala gairah hidup di masa mendatang karena Sekar Mirah juga akan lepas dari tangannya. Namun berlawanan daripada itu, maka Sidanti akan dapat menjadi seorang iblis yang kehilangan bentuk-bentuk kemanusiaannya sama sekali. Ia akan menjadi seorang yang paling berbahaya. Seorang yang kehilangan tujuan hidupnya selain dendam. Dan dendam itu akan dibawanya kemana ia pergi dan ditumpahkannya kepada siapa saja yang dijumpainya.

Karena itu maka wajah Ki Tambak Wedi pun menjadi semakin tegang. Otot-otot di wajahnya seakan-akan mencuat ke luar dari keningnya.

Apalagi ketika sekali lagi ia melihat Alap-alap Jalatunda mengayunkan pedangnya. Anak muda itu agaknya tidak mau melepaskan kesempatan yang ada pada saat itu. Dalam keputus-asaan ia melihat lawannya terluka. Dalam saat-saat yang tidak disangka-sangkanya ia melihat darah Sidanti meleleh dari luka yang menganga di pundaknya. Dengan demikian maka nafsunya menjadi melonjak kembali. Kesempatan terakhir itu akan dipergunakannya sebaik-baiknya. Mengakhiri perkelahian dengan mengakhiri hidup Sidanti yang memuakkan baginya itu.

Tetapi ternyata membunuh Sidanti tidak semudah yang disangkanya. Tidak seperti yang dibayangkan oleh Alap-alap Jalatunda dalam saat-saat ia berputus-asa, dalam saat-saat otaknya sudah mulai kabur.

Ketika pedangnya terayun sederas ayunannya yang pertama, maka Sidanti sudah menyadari kesalahannya, bahwa ia menganggap Alap-alap Jalatunda sudah tidak berdaya sama sekali. Karena itu, sebelum ia siap benar menghadapinya, maka tiba-tiba ia melontar mundur sejauh-jauhnya. Itulah yang segera dapat dilakukan menghadapi Alap-alap Jalatunda yang seakan-akan menjadi gila. Ketika Ki Tambak Wedi melihat sikap dan geraknya itu, maka perlahan-lahan ia berdesis, “Bagus, Sidanti.”

Ternyata Alap-alap Jalatunda sudah tidak mampu lagi membuat perhitungan yang baik. Kali ini ayunannya sama sekali tidak menyentuh apa pun juga, sedang tenaga yang dilontarkan lewat ayunan itu adalah segenap tenaga yang masih tersisa padanya. Sehingga ketika ayunan itu tidak mengenai lawannya, Alap-alap Jalatunda terseret oleh kekuatan tenagannya sendiri. Sejenak ia terhuyung-huyung. Dengan susah payah ia mencoba mempertahankan keseimbangan badannya. Tetapi ternyata tenaganya telah terkuras habis dalam gerak-geraknya yang terakhir. Karena itulah maka kemudian anak muda yang sedang dilanda oleh nafsu yang tidak terkendali itu tidak lagi mampu bertahan dalam keseimbangan. Sesaat kemudian orang-orang yang mengerumuni arena itu melihat Alap-alap Jalatunda itu terdorong ke samping lalu terjerembab jatuh di tanah.

Sidanti yang telah berhasil membuat jarak beberapa langkah dari Alap-alap Jalatunda menggeram. Ia melihat Alap-alap Jalatunda itu terjatuh. Ketika terasa pundaknya menjadi pedih, maka hatinya pun menjadi terbakar karenanya. Kemarahannya yang telah memuncak, bukan saja karena pundaknya terluka, tetapi juga karena Alap-alap Jalatunda telah mencoba untuk merampas Sekar Mirah dari tangannya, maka kini seakan-akan meledak dengan dahsyatnya.

Gelora di dalam dada Sidanti sudah tidak tertahan lagi. Giginya terdengar gemeretak. Matanya menjadi semerah darah yang memercik dari lukanya. Tangannya yang menggenggam pedang itu pun kemudian menjadi gemetar.

Ketika sekali lagi ia melihat Alap-alap Jalatunda yang sedang tertatih-tatih mencoba untuk berdiri itu, nyala yang membakar dadanya telah berkobar menghanguskan perasaannya. Yang terdengar kemudian adalah Sidanti itu berteriak nyaring. Seperti seekor harimau lapar, ia menerkam lawannya dengan ujung pedangnya.

Setiap dada mereka yang melihat gerak Sidanti itu terasa berdesir. Kemudian jantung mereka seolah-olah berhenti mengalir. Mereka terpukau oleh suatu kejadian yang begitu dahsyat dan mengerikan.

Mereka tersadar ketika mereka mendengar Ki Tambak Wedi berteriak nyaring, “Sidanti, hentikan. Hentikan!”

Tetapi suara itu seolah-olah tidak didengar oleh anak muda yang sedang mengamuk itu. Luka di pundaknya ternyata telah menjadikannya bermata gelap, ia lupa segala-galanya. Lupa kepada peraturan yang dibuat oleh gurunya. Lupa akan kepentingan-kepentingan lain yang lebih besar daripada yang kini sedang dipertengkarkan. Lupa kepada semua usaha yang telah dirintis oleh gurunya selama ini.

Alap-alap Jalatunda bagi Sidanti saat itu adalah iblis yang harus dilenyapkan. Iblis yang telah melukai tangannya cukup parah. Bahkan hampir-hampir merenggut jiwanya pula. Apalagi iblis itu telah mencoba merampas Sekar Mirah dengan kekerasan. Karena itu, maka tidak ada yang lebih baik baginya daripada membinasakannya.

Betapa gurunya berteriak mencegahnya, namun semuanya sudah terjadi. Sidanti yang sedang dibakar oleh kemarahan itu pun mampu bergerak secepat Alap-alap Jalatunda. Bahkan ternyata sisa-sisa kekuatan Sidanti masih cukup banyak, sehingga tumpahan sisa-sisa tenaga itu pun lebih dahsyat pula.

Sekali lagi mereka mendengar Ki Tambak Wedi berteriak, “Sidanti, apakah kau gila?”

Sidanti tidak juga mendengar. Bahkan dalam kegelapan pikiran karena kemarahan yang memuncak, maka kebuasan anak muda itu tumbuh kembali. Seperti pada saat ia berhasil membunuh Plasa Ireng, maka kini diulanginya perbuatannya itu. Alap-alap Jalatunda sama sekali tidak berdaya ketika Sidanti menerkamnya. Ujung pedangnya yang tajam berkilat-kilat langsung menghunjam ke dadanya. Alap-alap Jalatunda yang sedang tertatih-tatih berdiri itu mengaduh pendek. Beberapa langkah ia terdorong oleh kekuatan Sidanti yang ditumpahkannya di ujung pedangnya. Kemudian anak muda itu pun terbanting jatuh di tanah. Darah yang merah menyembur dari luka di dadanya itu. Namun sekejap matanya masih memancarkan dendam tiada terhingga. Sekali tubuh itu menggeliat lalu kemudian diam untuk selamanya.

Tetapi agaknya Sidanti tidak puas dengan tusukan yang langsung menghunjam jantung lawannya. Sekali lagi pedang itu ditariknya, dan sekali lagi pedang itu menghunjam ke tubuh lawannya. Ketika untuk ketiga kalinya ia ingin menusuk tubuh yang tidak berdaya itu, terasa badannya terdorong ke samping oleh suatu kekuatan yang luar biasa, sehingga hampir-hampir ia jatuh terjerambab. Sambil berteriak tinggi ia memperbaiki keseimbangannya. Hampir-hampir ia meloncat menyerang. Tetapi niatnya itu diurungkannya. Betapapun hatinya menjadi gelap pekat, tetapi ketika ia melihat gurunya berdiri di hadapannya, maka Sidanti itu pun tegak seperti patung di tempatnya.

“Ternyata kau benar-benar gila, Sidanti,” teriak Ki Tambak Wedi.

Tetapi sebelum Sidanti menjawab, maka terdengar orang lain berteriak nyaring, “Omong kosong! Kalian, guru dan murid, ternyata telah merencanakan hal ini. Kalian telah dengan sengaja melakukan pembunuhan yang direncanakan.”

Dada Ki Tambak Wedi bergetar mendengar teriakan itu. Ketika ia berpaling, dilihatnya wajah yang hitam itu seolah-olah membara memancarkan kemarahan tiada taranya. Sambil menuding Ki Tambak Wedi dengan pedangnya ia berkata, “Satu-satu kau akan menghilangkan pemimpin-pemimpin prajurit Jipang. Kali ini Alap-alap Jalatunda. Tetapi lain kali aku, supaya kau dapat berbuat menurut kehendakmu atas pasukanmu. Tidak. Aku bukan budak kalian. Kami prajurit Jipang bukan budak-budak orang Tambak Wedi. Kalian jangan mimpi memperalat kami untuk tujuan-tujuan kalian yang memuakkan itu.”

Betapa kemarahan melanda dada Ki Tambak Wedi yang tua itu, tetapi sekali lagi ia masih mencoba menyabarkan diri. Ia tidak dapat melupakan bahwa Untara telah berada di Jati Anom.

“Sanakeling,” katanya, “aku minta maaf atas kesalahan Sidanti. Aku berjanji untuk membuat perhitungan atas perbuatannya ini.”

“Tidak ada lain kecuali Sidanti harus dibunuh seperti Alap-alap Jalatunda. Dibunuh tanpa mengenal perikemanusiaan. Ia pula yang telah membunuh Plasa Ireng dan menggores-gores punggungnya dengan senjatanya silang-menyilang selagi orang itu telah mati. Kini Alap-alap Jalatunda yang tidak berdaya dan telah ditusuk oleh pedangnya tepat di dada, masih juga tidak memberinya kepuasan. Lihat, Ki Tambak Wedi. Lihat luka di tubuh Alap-alap Jalatunda itu. Betapapun gila anak muda itu, tetapi Alap-alap Jalatunda adalah kawan seperjuanganku sejak masa Adipati Jipang, Aria Penangsang. Sekarang anak itu dibunuhnya dengan semena-mena.”

“Sanakeling,” berkata Ki Tambak Wedi, “peristiwa ini tidak berlangsung begitu saja. Peristwa ini terjadi karena suatu sebab. Menilik dari sebab itu, maka Alap-alap Jalatunda pun mempunyai kesalahan pula sehingga perang tanding ini pun tidak dapat dihindari.”

“Tetapi kau telah membuat peraturan untuk perang tanding ini, Kiai. Ternyata kau curang dengan peraturanmu. Kalau Alap-alap Jalatunda menang, kau masih sempat menyelamatkan muridmu, tetapi kalau muridmu menang, maka akibatnya adalah seperti yang kita lihat sekarang. Kalau kau benar-benar ingin mencegah, Kiai, maka kau pasti dapat menggagalkan pembunuhan ini.”

“Jangan berprasangka begitu jelek Sanakeling,” jawab Ki tambak Wedi, “kau tahu, aku berdiri pada jarak yang cukup jauh dari Sidanti. Aku juga sudah berusaha, tetapi …”

“Aku bukan anak-anak yang dapat kau tipu dengan jawaban itu,” jawab Sanakeling.

Gelora di dalam dada Ki Tambak Wedi menjadi semakin keras, tetapi dengan sekuat tenaga ia masih berusaha menyabarkan diri. ia masih selalu mengingat kepentingan yang selama ini telah diperhitungkannya baik-baik.

Tetapi tiba-tiba terdengar dari belakangnya, Sidanti berteriak, “Guru, jangan dibiarkan orang itu mengigau sesuka hatinya. Serahkan orang itu kepadaku pula.”

Mendengar teriakan Sidanti itu, maka wajah Senakeling yang telah menjadi kemerah-merahan itu semakin menegang. Sejenak dipandanginya anak muda yang bernama Sidanti dengan penuh kebencian. Dan tiba-tiba Sanakeling itu tanpa diduga-duga melenting ke arah Sidanti dengan pedang terjulur lurus.

samping oleh kekuatan yang tak dapat dilawannya. Dalam pada itu Ki Tambak Wedi pun telah berdiri di hadapannya.

“Tunggu dulu,” katanya.

“Setan itu harus dibinasakan!” teriak Sanakeling tidak kalah kerasnya dari suara Sidanti. “Ia menjadi semakin memuakkan bagiku.”

“Ayo, lakukanlah kalau kau mampu,” jawab Sidanti lantang, “aku tidak akan lari dari arena.”

“Tutup mulutmu!” kini Ki Tambak Wedi-lah yang berteriak sambil berpaling ke arah Sidanti. “Kau telah menghancurkan segala rencana yang telah aku susun berminggu-minggu. Kau menganggap bahwa perempuan keparat itu lebih penting dari segala-galanya.”

“Minggir kau tua bangka,” yang berteriak adalah Sanakeling tidak kalah kerasnya dari suara teriakan Tambak Wedi. Ternyata orang itu pun telah kehilangan nalar jernihnya. Kemarahan yang telah membakar jantungnya, ternyata tidak dapat diredakannya.

“Sanakeling,” wajah Ki Tambak Wedi pun telah mulai berkerut-merut, “aku sudah menahan diri sekian lama supaya aku tidak terseret dalam arus kemarahan yang tidak bermanfaat sama sekali ini selain akan menghancurkan diri kita sendiri. Tetapi kau pun harus menyadari bahwa ketelanjuran ini jangan menjadi sebab bagi kita untuk menikam dada sendiri.”

“Ternyata kau masih juga ingin melindungi muridmu itu?” bentak Sanakeling tanpa mengenal takut.

“Sanakeling,” suara Ki Tambak Wedi menjadi semakin keras dan bergetar. Betapa ia masih mencoba menahan dirinya sekuat-kuat tenaganya. “Aku peringatkan sekali lagi. Hentikan tuduhan itu. Kita bicara dengan baik, supaya kita dapat memecahkan persoalan dengan baik pula.”

“Tak ada yang dibicarakan. Hanya ada satu pilihan bagimu, Ki Tambak Wedi. Serahkan Sidanti kepadaku. Aku akan membunuhnya dan membelah dadanya. Aku ingin melihat jantung dan hati yang tersimpan di dalam dada itu. Jantung dan hati anak itu pasti ditumbuhi bulu-bulu seperti jantung dan hati iblis.”

Betapapun kesabaran yang dipaksakan di dalam dada Ki Tambak Wedi, namun akhirnya wajahnya menjadi merah pula seperti warna langit di ujung Timur menjelang fajar. Warna merah di langit menjadi semakin nyata, dan warna merah wajah Ki Tambak Wedi pun menjadi semakin menyala.

“Minggir!” teriak Sanakeling kemudian dengan penuh nafsu.

“Aku tidak akan minggir,” jawab Ki Tambak Wedi, “aku akan tetap menghalangi setiap tindakan lebih lanjut.”

Sejenak Sanakeling terdiam. Dipandanginya wajah Ki Tambak Wedi dengan tajamnya. Tiba-tiba ia menyadari dengan siapa yang sedang berbicara. Orang tua itu, Ki Tambak Wedi, memang tidak akan dapat digertaknya, apalagi ditakut-takutinya. Meskipun demikian hasratnya untuk membunuh Sidanti tidak juga dapat disingkirkanhya dari hatinya.

Dalam pada itu terdengar Sidanti berkata, “Guru, kenapa guru menghalanginya. Biarlah Sanakeling mencoba, apakah Sidanti mampu melawannya atau tidak.”

“Diam!” teriak Ki Tambak Wedi keras sekali. “Diam, diam kau!”

Namun nyala di dada Sanakeling telah menjadi semakin dahsyat membakar hangus jantungnya dan mendidihkan darahnya. Ia tidak lagi mau mundur. Sidanti harus mati.

“Kiai,” berkata Sanakeling, “aku pun tidak akan minggir. Aku pun tidak akan mengurungkan niatku. Aku tetap dalam pendirianku untuk membunuh Sidanti. Nyawa Plasa Ireng dan Alap-alap Jalatunda akan selalu menuntut kepadaku, seandainya aku tidak berhasil membunuhnya dengan tanganku.”

Tubuh Sidanti menjadi gemetar karenanya. Tetapi ia tidak berani berteriak lagi. Namun demikian ia melangkah beberapa langkah maju dengan pedang yang berwarna darah di dalam genggamannya.

Ki Tambak Wedi hampir-hampir tidak dapat menahan tangannya lagi. Hampir-hampir mulut Sanakeling ditamparnya. Tetapi niat itu diurungkan. Namun orang tua itu menggeram, “Lalu apa maumu? Aku akan tetap berdiri di sini. Apakah kau akan menyerang aku?”

Sekali lagi Sanakeling terdiam untuk sejenak. Tanpa sesadarnya ia memandang berkeliling. Hati Sanakeling itu pun bergelora ketika ia melihat orangnya, prajurit-prajurit Jipang berdiri tegak di satu sisi di luar arena. Tangan-tangan mereka telah melekat di hulu pedang masing-masing. Ketika Sanakeling melihat wajah-wajah itu di bawah cahaya obor dan cahaya fajar, maka wajah-wajah itu tampak seperti wajah-wajah yang berlumuran darah merah.

Hati Sanakeling pun menjadi semakin dahsyat diamuk oleh dendam dan kebencian. Kini ia berdiri di antara anak buahnya yang ternyata setia kepadanya. Anak buah yang telah dipisahkannya dari Sumangkar yang lemah dan menyerah. Anak buahnya yang ada padanya adalah anak buahnya yang dapat dianggapnya prajurit-prajurit pilihan. Kehadirannya di Tambak Wedi bukanlah untuk menghambakan diri dan menjadikan diri mereka alat untuk kepentingan Sidanti. Tidak. Sanakeling merasa bahwa ia masih tetap senapati, pengganti Tohpati yang bergelar Macan Kepatihan.

Dengan demikian maka ia tidak lagi berhasil membendung gelora di dalam dadanya. Ketika, terpandang olehnya sekali lagi wajah Ki Tambak Wedi yang berkerut-merut, bermata tajam setajam mata burung hantu dan berhidung seperti paruh itu, serta kemudian dilihatnya wajah Sidanti yang licik dan bengis, maka Sanakeling itu pun melangkah beberapa langkah mundur. Namun tiba-tiba pedangnya bergetar, dan terdengar suitan nyaring melontar dari mulutnya. Suitan aba-aba yang diberikan oleh seorang senapati, kepada prajuritnya yang telah bersiap menunggu perintahnya.

Orang Jipang yang berdiri mengitari arena, yang selama itu terpaku di tempatnya, seperti wajah lautan yang tenang dengan tiba-tiba telah bergejolak seperti tersentuh badai. Dengan tangkasnya mereka berloncatan dengan senjata terhunus.

Mereka itu adalah prajurit-prajurit yang telah cukup berpengalaman. Dengan demikian maka segera mereka dapat menyesuaikan diri dengan kehendak pimpinannya. Dalam waktu yang singkat mereka telah menemukan bentuk kelompok-kelompok masing-masing. Dan sesuai dengan bunyi aba-aba yang diberikan oleh Sanakeling, maka mereka pun segera bergerak.

Tetapi Sidanti pun adalah bekas seorang prajurit yang mengenal tata gelar olah peperangan dalam kelompok yang besar. Ia tidak saja mampu berkelahi perseorangan, tetapi ia pun mampu menguasai orang-orangnya. Karena itu ketika ia mendengar Sanakeling memberikan aba-abanya kepada orang-orangnya, maka Sidanti pun segera berteriak nyaring menyiapkan orang-orangnya untuk menanggapi keadaan.

Ternyata orang-orang Tambak Wedi pun tanggap akan segala sasmita dan perintah yang diberikan Sidanti. Mereka pun segera bergerak dan bersiap untuk menghadapi setiap kemungkinan.

Ki Tambak Wedi melihat peristiwa itu dengan hati yang bergelora. Keadaan telah menjadi semakin buruk, dan kedua belah pihak pun telah terbagi dalam lingkungan masing-masing, bertebaran di halaman sampai ke jalan-jalan di sepanjang pedukuhan itu. Kalau benar-benar terjadi benturan antara mereka, maka perkelahian akan berlangsung di mana-mana. Di halaman banjar ini, di halaman di sekitarnya, di sepanjang jalan dan di mana saja kedua pihak itu akan bertemu. Dengan demikian maka korban akan tidak terhitung lagi jumlahnya. Dan yang paling menyedihkan bagi Ki Tambak Wedi adalah, rencana yang telah disusunnya selama ini ternyata akan gagal.

Karena itu maka seperti orang kesurupan ia berdiri di antara kedua belah pihak yang telah siap untuk bertempur. Dengan mengangkat tangannya tinggi-tinggi ia berteriak, “Hentikan, hentikan!”

Tetapi Sanakeling dan Sidanti sudah tidak mendengar lagi teriakan itu. Sejenak kemudian terdengar Sanakeling memekikkan perintah untuk maju, dan sekejap kemudian yang terdengar adalah teriakan Sidanti.

“Hentikan! Hentikan!” teriak Ki Tambak Wedi. “Sanakeling, tarik orang-orangmu. Kau sadar bahwa aku dapat membunuhmu dalam sekejap?”

Tetapi Sanakeling kini sudah tidak berdiri sendiri. Beberapa orang berdiri di sekitarnya dalam suatu kelompok yang rapi. Susunan yang teratur dari suatu sikap perang prajurit-prajurit yang berpengalaman. Dari kelompoknya Sanakeling berteriak, “Jangan menakut-nakuti, Tambak Wedi. Ayo, cobalah sekarang membunuh Sanakeling. Senapati Jipang yang berkuasa sejak meninggalnya Kakang Raden Tohpati yang bergelar Macan Kepatuhan.”

Dada Ki Tambak Wedi bergetar dahsyat sekali mendengar jawaban itu. Di belakangnya ia melihat Sidanti pun telah bersiap pula dengan seluruh kekuatan Tambak Wedi.

Namun Ki Tambak Wedi menyadari, bahwa orang-orang Jipang mempunyai pengalaman yang lebih baik. Mereka adalah bekas-bekas prajurit Wira Tamtama yang terlatih dan berpengalaman dalam perang-perang yang besar dan bahkan mereka telah membiasakan diri pula perang dalam keadaan yang paling dahsyat sekalipun. Selama mereka berkeliaran sepeninggal Arya Jipang, maka keadaan mereka telah menjadi semakin parah, dan mereka pun menjadi semakin garang menghadapi lawan-lawannya. Tetapi meskipun demikian mereka hanya mempunyai seorang pemimpin yang cukup tangguh, Sanakeling. Sedang di pihaknya ada beberapa orang yang dapat dipercaya. Sidanti, Argajaya dan apabila tidak terelakkan lagi, adalah Ki Tambak Wedi sendiri.

Ketika sekali lagi Ki Tambak Wedi mendengar Sanakeling berteriak, maka habislah harapannya untuk melerai pertengkaran itu, dan habis pulalah kesabarannya. Perkelahian antara mereka sudah tidak terelakkan lagi. Meskipun Ki Tambak Wedi itu menyesali perbuatan Sidanti bukan alang-kepalang, namun setelah keadaan menjadi sedemikian, ia tidak dapat mengingkarinya. Ia harus melibatkan diri dan ikut dalam perkelahian itu.

Demikianlah maka sesaat lagi ketika sinar fajar telah menjadi kekuning-kuningan, maka kedua pihak itu pun kehilangan segala macam pertimbangan. Kedua belah pihak telah masak untuk bertempur karena keadaan mereka sehari-hari. Setiap kali mereka merasa saling iri hati, saling mengejek, dan saling menyindir. Kini mereka tidak lagi perlu mengejek dan menyindir, tetapi pedang-pedang mereka segera dapat berbicara.

Pertempuran pun segera berkobar di dalam halaman banjar desa yang tidak begitu luas itu. Sebagian lagi berkelahi di halaman di sekitar banjar itu. Bahkan di jalan-jalan dan di mana saja kedua belah pihak dapat bertemu. Ternyata menghadapi keadaan yang demikian, prajurit-prajurit Jipang segera dapat menyusun diri dalam lingkungan masing-masing. Mereka mampu membuat semacam gelar-gelar kecil meskipun tidak sempurna. Sergapan-sergapan yang tiba-tiba dari arah yang tidak diduga-duga membuat orang-orang Tambak Wedi agak menjadi bingung.

Namun sejenak kemudian Ki Tambak Wedi sendiri terjun ke dalam pertempuran itu sambil berteriak, “Sanakeling. Menyerahlah sebelum orang-orangmu habis binasa di padepokan ini.”

Sanakeling melihat Tambak Wedi itu langsung menyerangnya. Tetapi ia telah cukup mempersiapkan diri menyambut serangan itu. Tidak seorang diri, tetapi sekelompok prajurit-prajurit pilihan. Sepuluh orang bersama-sama dalam satu lingkaran menyongsong hadirnya hantu dari lereng Merapi itu. Sepuluh ujung pedang terjulur lurus ke arah Ki Tambak Wedi yang meloncat menyerang Sanakeling, sehingga serangan itu pun terpaksa diurungkannya.

Dalam pada itu Sidanti pun segera melihat keadaan. Ia tidak perlu berada di dekat gurunya. Ia harus mempengaruhi daerah pertempuran yang lain, seperti juga Argajaya segera meloncat menjauhi Ki Tambak Wedi.

Pada sebatang pohon di luar halaman banjar itu, Ki Tanu Metir, Agung Sedayu, Swandaru, dan Wuranta mengamati keadaan dengan hati yang berdebar-debar. Mereka kini melihat orang-orang Jipang dan orang-orang padepokan Tambak Wedi telah bergumul dalam pertempuran-pertempuran yang seru. Sidanti dan Argajaya telah mengambil tempatnya masing-masing, sedang Ki Tambak Wedi masih saja tetap berada di halaman banjar berhadapan dengan Sanakeling. Tetapi lingkaran perkelahian itu menjadi semakin ribut ketika beberapa orang telah berada di sekitar Sanakeling pula untuk bersama-sama melawan Ki Tambak Wedi.

Sejenak orang-orang yang berada di atas pohon itu melihat perkembangan keadaan. Namun kemudian Ki Tanu Metir itu pun berkata, “Marilah kita turun. Perkelahian itu sebentar lagi akan menebar sampai kemari. Apabila kita masih tetap berada di sini, maka kita tidak akan sempat turun.”

Mereka berempat pun segera turun dengan hati-hati. Apalagi cahaya merah fajar telah menjadi kuning keputih-putihan. Sejenak lagi matahari pasti sudah akan menjenguk di atas ujung-ujung pepohonan.

Demikian sibuk orang-orang Jipang dan padepokan Tambak Wedi berkelahi, sehingga mereka tidak melihat orang-orang yang meloncat turun dari pohon itu. Mereka masing-masing hanya melihat ujung pedang lawan yang terarah ke dada masing-masing.

“Perkelahian ini benar-benar seimbang. Orang-orang Jipang mempunyai beberapa kelebihan, tetapi orang-orang Tambak Wedi pun mempunyai kelebihannya sendiri. Mungkin perkelahian ini akan memakan waktu yang lama, namun korban pun akan berhamburan seperti babatan alang-alang.”

Agung Sedayu dan Swandaru mengerutkan keningnya, sedang tengkuk Wuranta terasa meremang. Ia belum pernah menyaksikan sendiri perkelahian yang hiruk-pikuk seperti yang terjadi saat itu.

Dalam pada itu Agung Sedayupun bertanya, “Lalu apa yang harus kita lakukan, Kiai?”

“Kalian bertiga pergi ke tempat Sekar Mirah. Aku akan tetap di sini melihat keadaan. Apabila keadaan telah memungkinkan, aku akan memberi tanda kepada Angger Untara. Aku harap mereka telah siap di mulut padepokan ini. Dan mudah-mudahan sebentar lagi pasukannya yang berjalan kaki telah sampai pula di sini.”

Agung Sedayu, Swandaru, dan Wuranta mengangguk-anggukkan kepalanya. Kini mereka baru jelas akan perhitungan Ki Tanu Metir. Ternyata perhitungannya kini telah mendekati kebenaran. Orang-orang Jipang dan orang-orang Tambak Wedi saling bertempur sendiri. Ketiga anak muda itu dapat membayangkan, bagaimanakah akhir dari peristiwa ini. Untara akan hadir sebagai pihak ketiga. Dan pertempuran akan menjadi semakin kisruh. Hanya prajurit-prajurit Pajang cukup berpengalaman sajalah yang akan dapat menyesuaikan dirinya dalam keadaan yang demikian.

“Apakah Kiai akan segera memberikan tanda itu?”

“O, jangan tergesa-gesa, Ngger. Kita menunggu kekuatan yang ada di padepokan ini berkurang. Sebentar lagi maka orang-orang Jipang dan orang-orang padepokan ini akan sudah menjadi jauh susut. Dalam pertempuran serupa ini, maka korban akan cepat sekali berjatuhan,”

Agung Sedayu tidak menjawab. Yang menyahut kemudian adalah Swandaru, “Biarlah, kita biarkan saja mereka menumpas diri mereka sendiri.”

“Hal itu memang mungkin sekali terjadi, Ngger. Orang yang terakhir akan berdiri di atas timbunan bangkai kawan dan lawan. Tetapi jangan dibiarkan hal itu terjadi. Apabila menurut perhitungan Angger Untara sudah mampu mengatasi keadaan, maka biarlah ia menghentikan pertempuran ini. Biarlah mereka tidak berlarut-larut saling membantai dengan luapan dendam tiada taranya.”

Swandaru mengerutkan keningnya. Dipandanginya gurunya dengan pertanyaan yang memancar dari matanya.

“Kalau kita biarkan hal ini terjadi, Ngger, itu adalah karena terpaksa harus kita lakukan. Sebenarnya kita sama sekali tidak menghendaki. Tetapi, jalan lain tidak kita ketemukan untuk segera dapat menyelesaikan persoalan ini, sehingga mereka yang terlampau bernafsu dalam kepentingan sendiri, terpaksa kita korbankan. Tetapi pembunuhan yang mengerikan seterusnya sedapat mungkin harus dicegah.”

Agung Sedayu mengangguk-anggukkan kepalanya mendengar keterangan gurunya, sedang Wuranta menekurkan wajahnya. Tetapi Swandaru masih saja belum mengerti. Dalam persoalan seperti ini, maka apabila terjadi pembunuhan, bukankah itu salah mereka yang saling berbunuhan itu sendiri? Namun Swandaru itu tidak bertanya lagi. Disadarinya bahwa waktu sudah menjadi kian sempit.

“Nah, sekarang pergilah kalian ke tempat Sekar Mirah. Aku tetap di sini untuk pada waktunya memanggil Angger Untara.”

“Baiklah, Kiai,” sahut ketiga anak-anak muda itu bersamaan.

Dan mereka pun kemudian meninggalkan halaman itu dengan hati-hati. Mereka berjalan di sepanjang halaman, meloncati dinding-dinding batu dan berlindung di balik rimbunnya rumpun-rumpun bambu liar. Tetapi cahaya pagi semakin lama menjadi semakin terang.

Sekali-sekali mereka mendengar derap orang berlari-lari, sehingga mereka terpaksa mengendapkan diri mereka. Orang-orang itu adalah orang-orang padepokan Tambak Wedi yang terlambat datang ke banjar desa karena tugas-tugas mereka. Ketika mereka mengetahui bahwa perkelahian telah berkobar dari kawan-kawan mereka yang sengaja berkeliling padepokan untuk memberitahukan tentang hal itu, maka mereka pun meninggalkan tugas-tugas mereka dan berlari-lari pergi ke banjar desa untuk segera melibatkan diri dalam perkelahian yang semakin lama menjadi semakin hiruk-pikuk.

Ketika ketiga anak-anak muda itu meloncat masuk ke halaman belakang rumah yang diperuntukkan bagi Sekar Mirah, maka hati mereka menjadi berdebar-debar. Sesaat mereka tertegun. Dengan berbisik Swandaru bertanya, “Lalu, apakah yang akan kita lakukan atas Sekar Mirah. Apakah anak itu kita ambil dan kita bawa ke luar?”

“Jangan,” sahut Agung Sedayu, “kita menunggu Ki Tanu Metir. Selama ini kita awasi saja rumah itu, untuk menjaga keselamatannya.”

Swandaru mengangguk-anggukkan kepalanya. Tetapi ia agaknya masih ragu-ragu. Apakah dengan menunggu Ki Tanu Metir, mereka tidak akan terlambat. Bagaimanakah seandainya kemudian Sidanti memerintahkan atau ia sendiri datang bersama orang-orangnya untuk mengambil gadis itu.

Agung Sedayu agaknya melihat keragu-raguan itu. Maka katanya pula, “Kita tidak tahu pasti maksud Ki Tanu Metir. Bukankah Ki Tanu Metir berkata, bahwa kita akan membawa Sekar Mirah lewat jalan yang aman dan lapang, hanya apabila terpaksa kita akan mencobanya lewat urung-urung itu.

Swandaru mengangguk-anggukkan kepalanya. Meskipun ia masih juga ragu-ragu tetapi ia tidak memaksanya, tetapi ia kemudian berkata, “Kalau demikian, marilah kita mendekat, supaya kita melihat apa yang terjadi di dalam gubug kecil itu.”

Agung Sedayu tidak berkeberatan dengan pendapat Swandaru itu. Sebenarnya ia pun terlampau mencemaskan nasib gadis itu. Maka jawabnya, “Marilah. Kita menungguinya di belakang rumah. Bukankah begitu, Kakang Wuranta?”

“Marilah,” sahut Wuranta sambil menganggukkan kepalanya.

Ketiganya pun kemudian merayap semakin dekat. Mereka kemudian duduk di belakang serumpun perdu. Tetapi hati mereka sama sekali tidak tenteram ketika mereka masih juga mendengar gadis itu menangis.

“Semalam suntuk ia menangis,” desis Wuranta.

“Kasihan,” sahut Swandaru, “anak itu anak bengal. Setiap kali aku selalu bertengkar dan berkelahi di rumah. Tetapi aku menjadi sangat beriba hati melihatnya kini.”

“Apakah salahnya kalau kita masuk?” tiba-tiba Agung Sedayu berbisik. “Kita berada di dalam. Kita sudah terlanjur berada di sarang lawan. Apa pun yang terjadi harus kita tanggungkan.”

Sejenak Swandaru memandangi wajah Agung Sedayu. Dan sesaat kemudian ia berkata, “Itu adalah pendapat yang paling baik. Mari kita masuk.”

“Aku sudah mempunyai jalan yang paling baik untuk memasuki rumah itu,” berkata Wuranta. “Jangan lewat pintu depan. Sidanti pasti masih menempatkan satu dua pengawas di sekitar tempat ini. Biasanya di rumah di muka rumah ini,” berkata Wuranta.

Agung Sedayu dan Swandaru memandanginya sejenak, “Jalan manakah yang kau maksud?”

“Aku kira jalan yang telah dipergunakan oleh Alap-alap Jalatunda,” jawab Wuranta. “Lihatlah sudut rumah itu.”

Karena cahaya pagi telah memercik ke atas padepokan Tambak Wedi itu pula, maka segera mereka melihat bahwa sudut rumah itu telah terbuka.

“Hem,” Swandaru menarik nafas dalam-dalam. Tiba-tiba ia menjadi tergesa-gesa untuk segera menemui adiknya. Maka katanya, “Marilah. Apalagi yang kita tunggu? Kalau sebentar lagi Sidanti datang kemari, biarlah aku menyambutnya.”

Agung Sedayu tidak menjawab. Tetapi kalimat itu telah menumbuhkan kekaguman di hati Wuranta. Katanya di dalam hati, “Anak muda putera Ki Demang Sangkal Putung ini agaknya seorang anak muda yang pilih tanding. Kebenciannya kepada Sidanti sampai ke ujung ubun-ubun. Dan agaknya ia mampu mengimbanginya.” Tetapi Wuranta itu tidak mengucapkan sepatah kata pun.

Mereka bertiga pun kemudian pergi ke sudut rumah. Perlahan-lahan Swandaru merenggangkan dinding.

“Dinding ini memang sudah terbuka,” bisiknya perlahan-lahan.

“Masuklah,” sahut Agung Sedayu.

Dengan hati-hati Swandaru yang gemuk itu pun merangkak masuk. Tetapi agaknya jalan itu terlalu sempit baginya, sehingga anak yang gemuk itu mendapatkan sedikit kesulitan.

“Tolong, tariklah dinding ini. Bajuku terkait,” desis Swandaru.

Tetapi ternyata kata-katanya itu telah mengejutkan Sekar Mirah yang sedang terisak-isak. Ketika ia bangkit dan memandangi sudut rumah itu, dilihatnya sesosok bayangan merangkak masuk. Maka tanpa sesadarnya gadis itu pun menjerit sekuat-kuat tenaganya. Ia menjadi sangat ketakutan dan ngeri. Terasa seakan-akan Alap-alap Jalatunda atau Sidanti-lah yang datang itu.

“He,” Swandaru pun terkejut sehingga ia pun berkata lantang, “Kenapa kau berteriak Mirah.”

Bukan kepalang terkejut gadis itu mendengar suara yang sudah dikenalnya baik-baik. Suara yang selalu mengganggunya di Kademangan Sangkal Putung. Suara yang selalu mengejeknya dan memarahinya setiap saat. Tetapi dalam keadaan serupa itu, maka suara itu seakan-akan suara panggilan dari dunia yang lepas bebas, panggilan dari kampung halaman.

Begitu besar pengaruh suara itu, sehingga justru sekali lagi Sekar Mirah berteriak, “Kakang, Kakang Swandaru.”

“Hus, anak bodoh,” bentak Swandaru, “jangan berteriak-teriak.”

Tetapi Sekar Mirah tidak mendengarnya. Dengan penuh luapan perasaan ia berkata, “Kau datang Kakang. Bukankah kau akan mengambil aku dan membawa aku kepada ayah dan ibu kembali?”

“Ya, ya,” potong Swandaru, “tetapi jangan berteriak-teriak.” Kemudian kepada Agung Sedayu ia berkata, “Kakang, tolong, bajuku terkait. Anak gila itu malahan berteriak-teriak saja. Kalau aku dekat, aku bungkam mulutnya.”

Dengan tergesa-gesa dan tangan gemetar Agung Sedayu menarik dinding bambu di sudut rumah itu. Dengan demikian maka kini Swandaru dapat merangkak masuk. Ketika ia berdiri dan berjalan mendekati Sekar Mirah, maka Sekar Mirah pun segera mengenalnya pula. Anak yang gemuk bulat itu. Maka dengan serta-merta Sekar Mirah pun berlari, menubruk dan memeluknya seperti kanak-anak yang manja. Sambil menangis sejadi-jadinya ia berkata, “Kakang, Kakang, bawa aku kembali. Bawa aku kembali kepada ayah dan ibu.”

Sesaat Swandaru tidak dapat mengucapkan kata-kata. Dibiarkannya Sekar Mirah menangis di dadanya. Bahkan terasa matanya pun menjadi pedih.

Sejenak kedua kakak beradik itu tenggelam dalam keadaan yang demikian. Mereka sama sekali tidak mengucapkan kata-kata, tetapi isak Sekar Mirah melontarkan harapan untuk dapat menikmati masa depannya yang masih panjang. Masa depan yang cerah. Gadis itu merasa bahwa seolah-olah mereka telah berada kembali di Kademangan Sangkal Putung, di rumah ayah dan ibunya.

Tetapi gadis itu terkejut ketika ia mendengar dinding di sudut rumah itu berderik. Ketika ia berpaling, ia melihat sesosok bayangan yang lain sedang memasuki rumah itu.

“Kakang,” katanya, “siapakah orang itu?”

Tetapi Swandaru tidak perlu menjawab. Orang yang merangkak itu kini telah berdiri. Dalam keremangan pagi dalam gubug yang tertutup itu, Sekar Mirah melihat seorang anak muda berdiri di hadapannya. Sekali lagi anak itu terkejut seperti pada saat ia melihat kakaknya masuk.

“Jadi, kau tidak sendiri kakang?” Swandaru menggeleng.

“Bukankah itu Kakang Agung Sedayu?”

Swandaru mengangguk. “Ya,” gumamnya.

“Oh,” tiba-tiba Sekar Mirah itu melepaskan kakaknya. Ia ingin meloncat untuk mendapatkan Agung Sedayu. Tetapi langkahnya tertegun karena tangannya ditahan oleh Swandaru. Sekar Mirah mencoba untuk menarik tangannya, tetapi pegangan Swandaru cukup kuat, sehingga tangan itu tidak terlepas dari pegangannya.

Baru sesaat kemudian Sekar Mirah menyadari kegadisannya. Wajahnya tiba-tiba menjadi kemerah-merahan. Ditundukkannya kepalanya dalam-dalam. Dan kembali ia menyembunyikan wajahnya di dada kakaknya. Ia merasa bersyukur bahwa kakaknya telah menahannya, sehingga ia tidak merasa malu untuk seterusnya, apabila ia bertemu dengan Agung Sedayu.

Agung Sedayu sendiri menundukkan wajahnya pula. Anak muda itu benar-benar telah membeku. Ia tidak tahu apa yang sebaiknya dilakukan dan apa yang harus dikatakan. Karena itu ia berdiri saja seperti patung.

Di belakang Agung Sedayu, Wuranta telah berdiri pula di dalam rumah itu. Terasa sesuatu berdesir di dalam dadanya. Ia merasa aneh untuk mengenali dirinya sendiri. Ketika ia melihat sikap Sekar Mirah terhadap Agung Sedayu, meskipun Swandaru tidak melepaskannya, namun ia menangkap hubungan yang lain antara keduanya. Hubungan bukan saja hubungan karena keadaan yang menyentak seperti saat itu. Tetapi hubungan yang telah cukup lama dan bukan hanya sekedar sentuhan yang baru-baru saja pada permukaan pandangan. Tetapi hubungan itu adalah hubungan yang telah menghunjam dalam-dalam di dalam dada masing-masing.